You are on page 1of 11

IX.

PEMBAHASAN
Pasien wanita 36 tahun sebelumnya sudah didiagnosis menderita
diabetes mellitus selama 17 tahun. Pada anamnesis didapatkan adanya
keluhan muntah-muntah, nyeri uluhati, lemas. Pasien memiliki riwayat
pemakaian insulin dan glimipiride. Pasien juga mengeluh anyanganyangan saat BAK. Pasien jg mengeluh terdapat benjolan pada leher
bagian kanan. Tidak didapatkan riwayat penggunaan steroid ataupun
minum alkohol. Pasien juga mempunyai riwayat kejang 10 tahun
yang lalu yang tidak diketahui penyebabnya. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan BMI underweight, tanda vital terdapat takikardi, tidak
didapatkan tanda dehidrasi, terdapat nyeri tekan epigastrium dan pada
pemeriksaan leher didapatkan benjolan pada leher bagian kanan
dengan diameter 1cm, teraba lunak, permukaan rata, nyeri tekan tidak
ada, teraba naik saat pasien menelan, bruit tidak ada. Pada pasien
sudah terdiagnosa diabetes melitus sejak usia 19 tahun dan sudah
menggunakan insulin sejak terdiagnosa. Hasil dari pemeriksaan
penunjang yaitu C-peptide 0,7 ng/ml, HOMA-R 4,20, HOMA-B 15,0.
Hasil C-peptide yang rendah <0,85 ng/ml menunjukkan kriteria dari
DM tipe 1 selain trias klasik yaitu polidipsi, poliuri dan polifagi,
dengan hasil pemeriksaan kadar gula yang abnormal. Pemeriksaan
HOMA-B 15,0 menunjukkan bahwa HOMA-B sebagai pemeriksaan
yang menunjukkan kerusakan sel beta pancreas yang memproduksi
insulin, menurut buku Prof Askandar bahwa nilai normal untuk
HOMA-B yaitu 70-150%. HOMA-R diperiksa untuk mengetahui
resistensi jaringan terhadap insulin, nilai nomal untuk HOMA-R < 4
pada pasien didapatkan nilai HOMA-R 4,20 hal ini menujukkan
terdapat resistensi jaringan terhadap insulin. Dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien menderita DM
tipe 1. Menurut International Society of Pediatric and Adolescence

36

Diabetes dan WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan


etiologi (Tabel 1). DM tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan
sel -pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang
atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin.
Pada DM tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan
meningkat. DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi
insulin lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans,
hipertensi ataupun hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk.
2010).
Pasien juga memiliki keluhan benjolan pada leher dengan ukuran
sebesar kelereng, dari hasil pemeriksaan TSH 1,15, FT3 2,69 dan FT4
24,63. Dari hasil pemeriksaan USG colli didapatkan kesan nodul tiroid
kanan suspect malignancy tetapi setelah dilakukan pemeriksaan AJH
tiroid kanan didapatka hasil nodul tiroid. Penyakit tiroid pada
penelitian cross-sectional dilaporkan bahwa risiko disfungsi tiroid di
pasien dengan diabetes tipe 1 adalah dua sampai tiga kali lipat lebih
tinggi daripada populasi umum. Prevalensi gangguan tiroid meningkat
dengan usia lanjut dan pada subyek dengan antibodi tiroid positif.
Pada pasien didapatkan anti TPO yang positif. Gangguan tiroid
autoimun adalah penyakit imunologi yang paling umum pada pasien
dengan diabetes tipe 1. Prevalensi dari pemeriksaan peroksidase tiroid
positif (TPO) antibodi (sebelumnya disebut sebagai antibodi
antimicrosomal tiroid ) dilaporkan pada 80% pasien dengan diabetes
tipe 1 dan tingkat TSH meningkat, hanya pada 10-20 % pada pasien
diabetes yang memiliki nilai TSH yang normal. Penelitian Long-term
dan prospektif definitif memberikan bukti hubungan antara autoimun
hipotiroidisme dan diabetes tipe 1. Kejadian hipotiroidisme lebih
tinggi pada wanita, terutama mereka dengan antibodi TPO positif.

37

Kelainan inflamasi otoimun pada kelenjar tiroid sangat sering


dijumpai dengan gambaran yang beragam. Kelainan ini ditandai oleh
kerusakan pada sel-sel tiroid oleh proses imun yang dimediasi oleh
antibodi yang akan mempengaruhi

kemampuan

tiroid untuk

memproduksi hormon, dengan akibat terjadi penurunan produksi dan


sekresi hormon tiroid. Tiroiditis otoimun kronik terdiri atas dua bentuk
klinis yaitu bentuk goiter yang sering disebut penyakit Hashimoto dan
bentuk atropik yang disebut tiroiditis atropikans. Pada keduanya
dijumpai adanya otoantibodi terhadap tiroid dalam serum penderita
dan disfungsi tiroid dalam derajat yang bervariasi. Perbedaan antara
keduanya hanyalah pada ada tidaknya goiter. Kelainan ini dianggap
sebagai penyebab utama hipotiroidisme dan diagnosis dibuat
berdasarkan manifestasi klinis dan tes laboratoris.
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyebab paling umum
hipotiroidisme di Amerika Serikat pada usia di atas 6 tahun dengan
insidens diperkirakan sebesar 1,3% pada 5000 anak usia 11-18 tahun.
Pada orang dewasa, insidensnya diperkirakan sebesar 3,5 per 1000 per
tahun pada wanita dan 0,8 per 1000 per tahun pada pria. Insidens
tahunan tiroiditis Hashimoto di seluruh dunia diperkirakan sebesar
0,3-1,5 kasus per 1000 orang.
Penanda laboratorium yang paling signifikan untuk penyakit ini
adalah

adanya

antibodi

anti-

tiroperoksidase

dan

anti-

tiroglobulin. Pengukuran uptake tiroid dan temuan scintigrafi


(umumnya dilakukan dengan technetium-99m atau iodine-123)
digunakan untuk menunjukkan keadaan fungsional tiroid pada saat
timbul gejala klinis, sehingga merupakan pelengkap bersama dengan
tes fungsi tiroid dalam membedakan tiroiditis otoimun dari kelainan
tiroid lainnya. Dalam beberapa kasus, evaluasi histologis terhadap
spesimen biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitif.
Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang dapat
mengakibatkan

disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi


38

saluran cerna ternyata merupakan masalah yang sering ditemui pada


penderita-penderita disbetes mellitus lanjut, dimana hal ini sebagian
disangkakan berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari
saluran cerna tersebut.Sering terjdi penderita diabetes mellitus
mengeluhkan gejala gangguan saluran cerna atas tanpa sebab yang
jelas. Penderita seperti ini bila dilakukan uji tertentu dapat
menunjukkan adanya keterlambatan pengosongan lambung, keadaan
seperti ini dinamai gastroparesis diabetika. Gastroparesis diabetika
merupakan komplikasi dari diabetes mellitus yang kini semakin
dikenal. Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas
lambung

yang

terjadi

pada

penderita

diabetes

yang

dapat

dimanisfestasikan oleh berbagai macam gejala serta dijumpainya


kelainan pada uji pengosongan lambung.

Istilah gastroparesis

diabeticorum pertama sekali digunakan oleh Kassender terhadap


keadaan retensi lambung yang dijumpai pada penderita diabetes
mellitus yang asimptomatik. Gastroparesis diabetika dapat terjadi pada
penderita IDDM maupun NIDDM. Horowitz dkk memperkirakan
keterlambatan waktu pengosongan lambung dijumpai pada sekitar
50% penderita IDDM maupun NIDDM. Meskipun belum sepenuhnya
dimengerti, yang dianggap sebagaifaktor patogenetikterpenting dalam
terjadinya gastroparesis diabetika dalah terjadinya neuropati diabetika
yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik

lambung.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya gastroparesis pada


penderita-penderita diabetes mellitus sangat berkorelasi dengan
keberadaan autonom dari nervus vagus. Namun demikian, penelitian
morfologis terhadap nervus vagus masih menunjukkan hasil yang
bertentangan. Pada sebagian penderita diabetes dengan atau tanpa
gastroparesis dapat ditunjukkan adanya penurunan densitas serabut
myelinated vagus dan degenerasi serabut unmyelinated. Sedangkan
penelitian lain tidak menemukan adanya kelainan morfologis dari
39

nervus vagus abdominalis pada penderita gastroparesis diabetika, baik


jumlah maupun penampilan dari neuron dan axonnya.
Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting lainnya yang
menyebabkan terjadinya gastroparesis. Ternyata bahwa peningkatan
kadar gula darah meskipun masih dalam rentang normal dapat
menyebabkan keterlambatan pengosongan lambung pada orang
normal maupun penderita diabetes. Burgstaller dkk mengatakan bahwa
pengosongan lambung melambat secara bermagna pada keadaan
hiperglikemia

dibandingkan dengan keadaan euglikemia pada

penderita diabetes (pengosongan lambung 1180 menit pada kadar


gula darah 5,5 mmol / 1, dan 240 menit pada kadar gula darah 14
mmol / 1).
Diduga mekanisme hiperglikemia memperlambat pengosongan
lambung adalah secara tak langsung yang melibatkan perubahan pada
aktivitas vagus, aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon
gastrointestinal

dan

mekanisme

miogenik

(7).

Fischer

dkk

menunjukkan bahwa hipergilemia post prandial pada penderita


diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik
lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan
pengosongan lambung (47). Studi oleh Barnett dan Ow yang
menunjukkan bahwa motilitas

antrum puasa akan menurun pada

kadar gula darah 7,8 mmol/1 sedangkan motilitas antrum postprandial


akan menurun pada kadar gula darah 9,7 mmol/1 .
Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan
keterlambatan pengosongan lambung dijumpai pada IDDM maupun
NIDDM. Tidak jelasnya kolerasi antara kadar HbA1c dengan
keterlambatan

pengosongan

lambung

menunjukkan

bahwa

keterlambatan pengosongan lambung lebih merupakan efek akut


hiperglikemia ketimbang efek kronisnya.
Peranan hormon-hormon gastrointestinal

dalam

mengatur

motilitas lambung telah diketahui, namun kebermaknaan perubahan

40

hormon tersebut terhadap motilitas yang abnormal masih belum jelas.


Tingginya kadar motilin plasma pada penderita gastroperasis diabetika
menunjukkan bahwa kelainan motilitas yang
tidak

berkaitan

dengan

defisiensi

motilin.

terjadi kelihatannya
Pemberian

infus

cholecystokinin octapeptida(CCK8) pada penderita baru NIDDM jelas


mengakibatkan keterlambatan pengosongan lambung akan tetapi
belum pernah diteliti begaimana kadar CCK pada penderita
gastroparesis diabetika.
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam
hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi
sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. 4 Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal
yang fungsi dasarnya normal (AKI klasik) atau tidak normal (acute
on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal
ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga
parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan
berbeda-beda pada berbagai kepus- takaan. Hal itu menyebabkan
permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian
untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk
membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap
penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia- tive
(ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika
pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI.
Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah
failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi
gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua
41

tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum
ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis
mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan
urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;
(4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan
LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker)
penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja.
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE
yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum
atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan
beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 1.

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan


menunjukkan kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat
penyakit, pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas.8
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah
kolaborasi

nefrolog

dan

intensivis

internasional,

mengajukan

modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN meng- upayakan peningkatan


sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan (1) kenaikan kadar
42

Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI karena


dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka
kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan batasan
waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati
selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria
RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar
Cr serum; (3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal
(TPG) diklasifikasikan dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap
penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena penggunaannya
tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis. Dengan
beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3.
Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis
(outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.6,7 Klasifikasi
AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2.

Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan


modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal
menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi
klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
Pada pasien mengalami BAK Nyeri dan anyang-anyangan. ISK
Adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan adanya bakteriurea
patogen dengan CFU per ml urine > 100.000, dan leukosituria > 10 per
lapangan pandang besar, serta manifestasi klinis :

43

Infeksi saluran kemih atas : Pielonefritis, Pielitis


Infeksi saluran kemih bawah : Sistitis, Prostatitis dan epidedimis,
Uretritis
Pada kasus ini penderita mengalami ISK karena dari anamnesa

dan pemeriksaan fisik didapatkan tanda dan gejala ISK yaitu BAK
nyeri, anyang-anyangan dan terasa panas serta dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan tanda ISK yaitu bakteriuria, Nitrit (+) dan
pada pemeriksaan kultur dan sensitivitas tes didapatkan jumlah kuman
> 105 dan kultur kuman yang positif

DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Nasional Pengelolaan
Diabetes Melitus Tipe 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
2. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.
Diabetes care. Alexandria: American Diabetes Association; 2015.
3. Lee SL, Odeke S, Nagelberg SB. Hashimoto Thyroiditis. Last update
November 11, 2011 (cited 2016 January 30). Medscape Reference.
Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/121865-

0verview

44

4. Sutadi SM. Gatroparesis Diabetika. USU digital library. 2003 (cited


2016 April 30). available from:
library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani8.pd
5. Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity.
Thyroid 2008;18(10):1035- 1037 (cited 2016 April 30). Available
from: http://online.liebertpub.com/doi/pdfplus/10.1089/thy.2008.1551
6. Djokomoeljanto R. Tiroidologi Klinik. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2009.
7. Subekti I. Neuropati diabetik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata MK, Setiyohadi B, et al (editors). Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta:Interna Publishing; 2014. p.2395-9.
8. Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis
and treatment. 45th ed. New York: McGraw Hill, Health Professions
Division; 2006. p. 1203-15.
9. Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher
KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al, (editors). Harrisons
principles of internal medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill,
Health Professions Division; 2005. p. 2152-80.
10. Simadibrata M. Dismotilitas gastrointestinal. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF (editors). Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta:Interna Publishing; 2014.
p.1798-1804
11. Vinik AI, Maser RE, Mitchell BD. Diabetic autonomic neuropathy.
Diabetes Care 2003;(26):1553-79
12. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the
fall of mortality of patients with acute renal failure: what the analysis
of two databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol.
2006;17:923-5.
13. Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli
RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan
pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin;
2008.p.27-40.

45

14. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and
classification: time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87
15. Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Maj Kedokt Indon. 2010 Februari (cited 2016 April 30).
Avalaible from:
indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/712
/709

46

You might also like