You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemoglobin (Hb) adalah molekul dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut
oksigen untuk diangkut ke seluruh tubuh. Hb yang kurang menyebabkan tubuh juga kekurangan
oksigen untuk menunjang kehidupannya. Hb yang kurang ditandai dengan bagian-bagian tubuh
yang terlihat pucat, terutama bagian perifer dari tubuh (karena kita bisa melihat apakah distribusi
darah baik atau tidak). Kalau Hb seseorang menurun tentu ada berbagai sebab antara lain adanya
kelainan pada sel darah baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif.
1.2 Tujuan
1. Untuk menambah wawasan pembaca tentang proses pembentukan darah.
2. Untuk memahami lebih lanjut berbagai penyakit kelainan darah seperti DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation), anemia, inkompatibilitas ABO (sistem darah
& rhesus), jaundice, atresia bilier, hemofilia, thalasemia mayor & minor.

BAB II
PEMBAHASAN

Setiap mililiter darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah merah).
Eritrosit adalah sel gepeng berbentuk piringan yang di bagian tengah di kedua sisinya
mencekung dengan garis tengah 8 m, tepi luar tebalnya 2 m, dan bagian tengah tebalnya 1
m.1 Bentuk khas ini ikut berperan yaitu dalam mengangkut O2 dalam darah (bentuk bikonkaf
menghasilkan luas permukaan yang lebih besar bagi difusi O2 menembus membran daripada
yang dihasilkan oleh sel bulat dengan volume yang sama), tipisnya sel memungkinkan O 2
berdifusi secara lebih cepat antara bagian paling dalam sel dengan eksteriornya, mempermudah
fungsi transportasi mereka yaitu kelenturan membran selnya sehingga jika eritrosit melalui
kapiler yang sempit dan berkelok-kelok tidak akan mengalami ruptur.
Fungsi utama sel darah merah yaitu menyalurkan oksigen ke jaringan dan membantu
membuang karbondioksida serta proton yang dibentuk oleh metabolisme jaringan. Sel darah
merah merupakan suatu membran yang membungkus larutan hemoglobin. Molekul hemoglobin
terdiri dari 2 bagian yaitu globin (protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang
sangat berlipat-lipat) dan gugus heme yang masing-masing terikat ke satu polipeptida. Heme
terdiri dari 4 cincin protoporfirin dengan 1 atom Fe 2+.1 Hemoglobin adalah suatu pigmen yang
secara alamiah berwarna, kemerahan jika berikatan dengan O2 dan kebiruan jika tidak ada O2.
Selain mengangkut O2 hemoglobin juga berikatan dengan CO2 (dari jaringan ke paru), H+ dari
asam karbonat yang terionisasi (yang dibentuk dari CO2 dari tingkat jaringan), dan CO (gas ini
tidak terdapat dalam darah namun jika terhirup maka akan menggantikan ikatan O 2 terhadap
hemoglobin sehingga mengakibatkan keracunan karbon monoksida).
Sel darah merah tidak memiliki organel sel seperti mitokondria, nukleus (inti sel),
lisosom, atau aparatus golgi.1 Karena tidak memiliki mitokondria (tempat keberadaan enzimenzim fosforilasi oksidatif) sehingga eritrosit hanya mengandalkan glikolisis untuk menghasilkan
ATP, yang penting dalam proses mempertahankan bentuknya yang bikonkaf dan juga dalam
pengaturan transpor ion dan air keluar masuk sel. Di dalam eritrosit matang terdapat sedikit
enzim yang tidak dapat diperbaharui, enzim tersebut adalah enzim glikolitik dan karbonat
anhidrase. Enzim glikolitik ini penting untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk
2

menjalankan mekanisme transportasi aktif yang terlibat dalam pemeliharaan konsentrasi ion-ion
di dalam sel sedangkan karbonat anhidrase penting dalam pengangkutan CO2.
Umur sel darah merah normal adalah 120 hari dikarenakan sel darah merah tidak
memiliki DNA dan RNA untuk memperbaiki sel, pertumbuhan dan pembelahan atau untuk
memperbaharui pasokan enzim. Sel darah merah dapat bertahan 120 hari itu juga dikarenakan
karena memiliki superoksida dismutase, katalase, dan glutation yang melindungi sel darah merah
dari stres oksidatif (kadar antioksidan berkurang maupun kadar oksidan meningkat). 2
Superoksida dibentuk dalam sel darah merah oleh proses auto-oksidasi hemoglobin menjadi
methemoglobin. Superoksida secara spontan mengalami dismutasi untuk membentuk H 2O2 dan
O2 namun laju reaksi ini dipercepat oleh kerja enzim superoksida dismutase. Enzim katalase dan
glutation peroksidase berperan untuk mengubah hidrogen peroksidase H2O2 menjadi H2O dan
O2.2
Pada sel darah terdapat senyawa antioksidan juga yaitu NADPH, GSH (glutation
tereduksi), asam askorbat, dan vitamin E.2 Glutation peroksidase menyebabkan peningkatan
produksi GSSG (glutation teroksidasi). GSH dihasilkan dari GSSG oleh kerja enzim glutation
reduktase yang bergantung pada ketersediaan NADPH. GSH penting dalam metabolisme sel
darah merah dan salah satu fungsinya adalah untuk mengimbangi efek peroksida yang berpotensi
toksik.

Karena NADPH dan GSH diperlukan maka juga harus tersedia G6PD (glukosa 6-fosfat
dehidrogenase) dan piruvat kinase. Berkurangnya aktivitas G6PD maka berkuranglah kadar
NADPH dan juga berkuranglah pembentukan GSH dan GSSG oleh glutation reduktase (yang
menggunakan NADPH) terjadilah oksidasi gugus SH pada Hb (membentuk badan Heinz)
serta protein membran karena berkurangnya kadar GSH dan meningkatnya kadar oksidan
3

intrasel, yang mengubah struktur membran serta meningkatkan kerentanan terhadap ingesti oleh
makrofag (kerusakan peroksidatif di lipid membran juga dapat terjadi) dan akhirnya terjadilah
hemolisis.2 Piruvat kinase diperlukan agar sel darah merah tidak menjadi kaku, berperan dalam
pembentukan ATP.

phospho ADP
enol
P K
pyruvate
ATP

py *NAD la
ru H
ct
va NAD a
te
t
e

Sel darah merah tua yang ruptur harus diganti oleh sel baru yang dihasilkan oleh sumsum
tulang yaitu jaringan lunak yang sangat seluler yang mengisi rongga-rongga internal tulang.
Sumsum tulang dalam keadaan normal menghasilkan sel darah, proses ini disebut hemopoiesis.
Selama perkembangan masa janin, hemopoiesis terjadi di yolk sac, hati, limpa, kelenjar limfe,
dan sumsum tulang. Setelah lahir, sel darah diproduksi oleh sumsum tulang dan kelenjar limfe.
Sumsum tulang yang aktif membentuk sel darah adalah sumsum merah. Pada bayi dan anak < 2
tahun, sumsum merah banyak terdapat pada tulang panjang (tibia, femur, fibula, humerus) dan
tulang pipih (vertebra, sternum, tulang iga).1 Semakin bertambahnya usia, sumsum merah pada
tulang panjang akan berubah menjadi sumsum kuning yang tidak aktif lagi membentuk sel-sel
darah sehingga pada orang dewasa, pembentukan sel darah terjadi di sumsum tulang pipih
(sternum, crista iliaca).1
Selain berbagai organ tubuh di atas yang berperan pada proses hemopoiesis, maka
dibutuhkan juga beberapa zat yaitu Fe, vitamin B12, dan asam folat. Vitamin B12 dan asam folat
berperan dalam metabolisme sel melalui proses sintesis RNA dan DNA. 2 Vitamin B12 terutama
untuk mengatur pembelahan sel dan pematangan eritrosit.
Asam folat

THF

Prekursor

purin & pirimidin


ribotides

RNA

Koenzim
vit. B12
purin & pirimidin
deoxyribotides

DNA

Zat besi (Fe) dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin dan cadangan besi berupa
ferritin dan hemosiderin. Organ yang berfungsi sebagai tempat cadangan besi yaitu hati, limpa,
dan sumsum tulang. Absorbsi Fe dipengaruhi beberapa hal yaitu tubuh lebih cepat mengabsorbsi
ion Ferro daripada ion Ferri, cepat diabsorbsi dalam keadaan asam (sebelum makan), dan
vitamin C juga mempercepat absorbsi Fe.
Sel-sel sumsum tulang terdiri dari sel hemopoietik (sel darah seri eritrosit, seri mieloid,
seri monosit, seri limfosit, seri trombosit, seri plasmosit) dan sel non hemopoietik (sel lemak,
osteoblas, osteoklas, histiosit granuler, histiosit fagositik, basofil jaringan, eosinofil jaringan,
neutrofil jaringan).1 Pada hemopoiesis terjadi 3 proses yaitu proliferasi, diferensiasi, dan
maturasi. Proliferasi terjadi dengan adanya pembelahan sel sehingga sel bertambah banyak yang
akan diikuti dengan proses diferensiasi sehingga dari 1 sel induk akan terbentuk berbagai jenis
sel darah. Pada proses maturasi akan terjadi perubahan pada ukuran, inti, dan sitoplasma sel.
Makin tua sel, ukuran sel makin kecil. Ukuran inti sel akan makin kecil (pada eritrosit inti sel
akan hilang) sedangkan pada sitoplasma terjadi perubahan warna dan adanya granula (kecuali
eritrosit).
Hemopoiesis yang terjadi pada saat janin disebut hemopoiesis pranatal sedangkan
hemopoiesis yang terjadi setelah lahir disebut hemopoiesis pasca natal. Hemopoiesis prenatal
terdiri dari 3 stadium yaitu stadium mesoblastik, stadium hepatik, stadium mieloid.
1. Pada stadium mesoblastik, hemopoiesis terjadi pada yolk sac, mulai janin umur 2 minggu
dan berakhir sekitar 10 minggu. Pada stadium ini dibentuk terutama eritroblas primitif.
Sel ini selanjutnya akan membentuk hemoglobin. Eritroblas primitif tidak berkembang
menjadi eritrosit dan akan diganti dengan normoblas definitif. Pada janin sekitar 9
minggu, sekitar 50% sel darah terdiri dari eritroblas primitif.
2. Stadium hepatik dimulai sebelum stadium mesoblastik berakhir yaitu pada janin berumur
6 minggu, mencapai puncak pada bulan III-IV dan berakhir sampai beberapa minggu bayi
lahir. Organ yang berperan adalah hati, limpa, kelenjar limfe, dan kelenjar timus. Sel
darah yang dibentuk pada stadium ini adalah sel darah seri eritrosit, granulosit, limfosit,
5

monosit, dan trombosit. Hemopoiesis pada limpa sudah dimulai sejak janin berumur 10
minggu. Limpa mula-mula aktif dalam eritropoiesis, granulopoiesis, dan limfopoiesis.
Pada bulan kelima, aktivitas mielopoiesis sangat berkurang. Aktivitas eritropoiesis tetap
berlangsung sampai akhir kehamilan dan aktivitas limfopoiesis terjadi seumur hidup.
Pada kelenjar limfe terjadi limfopoiesis yang dimulai sejak janin umur 4-5 bulan dan
berlangsung seumur hidup. Pada stadium hepatik telah terbentuk semua jenis sel darah
yaitu seri eritrosit, seri megakariosit pada bulan kedua, seri granulosit pada bulan ketiga,
seri limfosit pada bulan keempat, dan seri monosit pada bulan kelima.
3. Stadium mieloid terjadi pada sumsum tulang dan telah terjadi mulai janin umur 5 bulan.
Aktivitas hemopoiesis pada stadium ini sangat meningkat selama trimester terakhir
kehamilan dan berlangsung seumur hidup.
Sel darah seri monosit terdiri dari monoblas promonosit monosit. Sel darah seri
trombosit terdiri dari megakarioblas promegakariosit megakariosit trombosit. Sel darah
seri plasmosit terdiri dari plasmoblas proplasmosit plasmosit. Sel darah seri limfosit terdiri
dari limfoblas prolimfosit limfosit. Sel darah seri eritrosit terdiri dari rubriblas
prorubrisit rubrisit metarubrisit difus basofil eritrosit eritrosit. Sel darah seri mieloid
terdiri dari mieloblas promielosit mielosit (eosinofil, basofil, neutrofil) metamielosit
(eosinofil, basofil, neutrofil) band (eosinofil, basofil, neutrofil) segmen (eosinofil, basofil,
neutrofil).
Skenario 2
Seorang ibu membawa bayinya yang berusia 7 hari ke poliklinik dengan keluhan pucat.
Tidak ada komplikasi sebelum, saat, dan setelah melahirkan anaknya. Pada pemeriksaan bayi
tampak sakit sedang, konjungtiva anemis, terdapat hepatosplenomegali. Hasil pemeriksaan darah
sebagai berikut Hb 5 g/dl, Ht 16%, leukosit 18.000/mm3, trombosit 230.000/mm3, MCV 50 fL,
MCH 34 pg, MCHC 32%.

Pada anamnesis kita dapat menanyakan hal-hal sebagai berikut:


1. Pucat pada bayi tersebut sudah berapa lama?
2. Anak ke berapa? (Pada inkompatibilitas rhesus, anak kedua justru yang lebih mengalami
kelainan, sudah terbentuk antibodi)
6

3. Apakah sebelumnya pernah aborsi? (Pada thalasemia dimana terdapat delesi 4 gen
globin alpha dari kromosom 16 dapat terjadi hydrops fetalis)
4. Apakah ibu minum obat penambah darah? (Jika ibu menderita anemia, biasanya anak
juga menderita anemia)
5. Apakah ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu? (Beberapa obat dapat mengakibatkan
anemia seperti kloramfenikol (anemia aplastik), sefalosporin, tetrasiklin, penisilin
(anemia hemolitik)
6. Ibu berasal dari mana? (Waspada jika berasal dari daerah endemis malaria seperti Papua
karena malaria dapat mengakibatkan anemia hemolitik)
7. Pada waktu lahir bagaimana tinja pertama si bayi (meconium)? (Pada atresia bilier,
meconium berwarna putih seperti dempul)
8. Apakah dalam 1 keluarga ada yang mengalami hal seperti demikian? (Pikirkan kelainan
hematologi kongenital)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:


1. Pemeriksaan hematologi meliputi
a) darah lengkap: kadar Hb, hitung eritrosit, hitung leukosit, hitung trombosit, hitung
jenis sel (basofil, eosinofil, batang, segmen, limfosit, monosit), LED (laju endap
darah), Ht (hematokrit), hitung retikulosit, sediaan hapus darah tepi untuk menilai
morfologi, nilai eritrosit rata-rata MCV (mean corpuscular volume), MCH
(mean concentration hemoglobin), MCHC (mean corpuscular hemoglobin
concentration).
b) sumsum tulang.
2. Pemeriksaan golongan darah dan rhesus orang tua si bayi.
3. Pemeriksaan kimia meliputi kadar bilirubin indirek serum, SI (serum iron), TIBC (total
iron binding capacity), saturasi transferin, kadar feritin serum, folat serum, B12 serum.

Dilihat dari skenario tersebut maka kemungkinan penyakit yang diderita dengan adanya pucat
pada si bayi yaitu:
A. Anemia
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam
sel darah merah berada di bawah normal. Kriteria Anemia (WHO) yaitu:
dewasa: <13g/dL
7

dewasa: <12g/dL
hamil:

<11g/dL

Anak 6-14 th: <12g/dL


Anak 6 bln-6 th: <11g/dL
Berdasarkan patogenesisnya anemia digolongkan menjadi tiga kelompok:
1. berkurangnya produksi sel darah merah disebabkan karena defisiensi nutrisi,
kerusakan pada sumsum tulang, dan kadar hormon yang rendah (eritropoietin yaitu
hormon yang dihasilkan oleh ginjal ke dalam darah, merupakan regulator utama
eritropoiesis di sumsum tulang sebagai respons terhadap hipoksia).
2. peningkatan

penghancuran

sel

darah

merah

disebabkan

karena

kelainan

intrakorpuskuler/ pada eritrositnya (kelainan membran, defisiensi enzim seperti G6PD


dan piruvat kinase, kelainan Hb baik secara kualitatif dan kuantitatif) dan kelainan
ekstrakorpuskuler/ di luar eritrositnya (autoimun, obat-obatan, infeksi).
3. kehilangan darah baik perdarahan akut (melahirkan, kecelakaan) maupun kronik (haid
yang berlebihan, haemoroid, gagal ginjal).
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:3
I. Anemia mikrositik hipokrom (bentuk eritrosit kecil dan pucat, Hb menurun)
a. anemia defisiensi besi
b. thalasemia
c. anemia akibat penyakit kronik
II. Anemia normositik normokrom (ukuran & warna eritrosit normal, Hb normal)
a. anemia aplastik
b. anemia akibat penyakit kronik
c. anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositik
a. anemia defisiensi vitamin B12
b. anemia defisiensi folat
c. anemia pada hemolitik
d. anemia pasca perdarahan

megaloblastik
non megaloblastik

Parameter pemeriksaan laboratorium pada anemia yaitu:


1. Pemeriksaan hematologi meliputi
c) darah lengkap: kadar Hb, hitung eritrosit, hitung leukosit, hitung trombosit, hitung
jenis sel (basofil, eosinofil, batang, segmen, limfosit, monosit), LED (laju endap
darah), Ht (hematokrit), hitung retikulosit, sediaan hapus darah tepi untuk menilai
morfologi, nilai eritrosit rata-rata MCV (mean corpuscular volume), MCH
(mean concentration hemoglobin), MCHC (mean corpuscular hemoglobin
concentration).
d) sumsum tulang.
2. Pemeriksaan urin meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, dan kimia.
3. Pemeriksaan tinja meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, dan darah samar.
4. Pemeriksaan kimia meliputi kadar bilirubin indirek serum, SI (serum iron), TIBC (total
iron binding capacity), saturasi transferin, kadar feritin serum, folat serum, B12 serum.
5. Pemeriksaan lain meliputi faal ginjal, hati, kelenjar tiroid.
Gejala klinis yang dapat dijumpai dari anemia yang berjalan perlahan adalah pucat,
takikardi, dan systolic ejection murmur. Pada anemia yang terjadi dengan cepat (misal pada
keadaan perdarahan akut dan anemia hemolitik berat), gejala yang dijumpai adalah sinkop saat
bangun dari tidur, hipotensi ortostatik, dan takikardi ortostatik.3 Saat gejala bertambah berat,
timbul berbagai keluhan akibat kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan: sesak saat
beraktivitas, mudah lelah, pingsan, kepala terasa melayang, tinnitus, dan sakit kepala. 3 Juga,
keadaan hiperdinamik pada sistem kardiovaskular dapat menyebabkan palpitasi dan juga
tinnitus.
Warna konjungtiva, kuku, bibir, mukosa mulut, dan lipatan telapak tangan adalah temuan
dari pemeriksaan fisik yang secara tradisional dipakai oleh dokter untuk menegakkan diagnosa
anemia. Disini diteliti 50 pasien untuk menentukan apakah ada korelasi antara temuan ini dan
kadar Hb. Ternyata, ada korelasi signifikan secara statistik antara kadar Hb dengan temuan fisik:
pucat pada konjungtiva tarsal bawah mata, pucat/ merahnya kuku, dan warna pada lipatan
telapak tangan.
Anemia defisiensi besi (Fe)

Jumlah

besi pada orang dewasa rata-rata 3-5 gram dan pada anak rata-rata 55

mg/kgbb. Jumlahnya pada pria lebih besar dibandingkan pada wanita. 70% besi dalam tubuh
dalam bentuk Hb, 26% akan disimpan dan 3,9% berikatan dengan mioglobin dan enzim lain,
0,1% besi plasma.4 Keseimbangan besi dalam tubuh terutama ditentukan oleh absorbsi besi
dibanding ekskresinya. Jumlah besi yang diekskresikan perhari kira-kira 1-1,5 mg.

Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Dalam lambung akan
dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Diubah menjadi ion fero oleh
pengaruh alkali di lambung. Kemudian akan diabsorbsi oleh sel mukosa usus. Sebagian disimpan
dalam bentuk feritin serta hemosiderin dan sebagian lagi akan masuk ke dalam peredaran darah
berikatan dengan protein yang disebut transferin. 4 Transferin akan dipakai untuk sintesis Hb
dalam pembentukan sel darah merah. Ion fero lebih mudah diabsorbsi dibandingkan ion feri.
Absorbsinya dihambat oleh fosfat, oksalat, fitat, tannin, calsium dan serat namun dipercepat oleh
vitamin C, asam amino dan fruktosa.
Anemia defisiensi besi dikarenakan:4
1.

Pemasukan besi yang kurang:

Intake besi yang tidak adekuat.

Kurangnya bioavaibilitas besi pada makanan.


Daging, ikan dan produk peternakan merupakan sumber besi dalam bentuk heme. Pada
orang vegetarian, sumber besi sangat kurang. Absorbsi dari besi dalam bentuk ion feri
dan fero dihambat oleh teh, kopi, kulit padi, kuning telur, calsium fosfat, EDTA, antasid,
kolestiramin, tanah liat dan tepung kanji. Substansi ini tidak begitu berpengaruh pada besi
dalam bentuk heme. Dan ditingkatkan oleh asam askorbat. Bioavaibilitas besi dalam
bentuk heme lebih tinggi daripada nonheme. Absorbsi besi pada bayam meningkat bila di
konsumsi bersama daging.

10

2.

Penurunan absorbsi besi.


Penyebab malabsorbsi besi antara lain diare kronik, sindroma malabsorbsi, alergi susu,
gastrektomi total atau parsial, dan defek genetik pada besi. Achlorhydria yang lama dapat
menyebabkan defisiensi besi, karena kondisi yang asam diperlukan untuk melepaskan ion
feri dari makanan sehingga dapat bergabung dengan substansi lain seperti asam amino,
gula dan amida agar mudah larut dan dapat diabsorbsi dalam kondisi alkali di duodenum.

3.

Kebutuhan besi yang meningkat.


Sebagian besar pada bayi prematur, masa pertumbuhan pada bayi dan remaja.

4.

Kehilangan darah yang lama

Perdarahan gastrointestinal.
Kehilangan darah beberapa mililiter per hari dapat menyebabkan deplesi penyimpanan
besi hingga terjadi anemia defisiensi besi. Di negara berkembang disebabkan karena
Ankylostoma duodenale, yang dapat menyebabkan hilangnya darah 0,2 cc/cacing/hari
dan Necator americanus 0,1-0,5 cc/hari. Diperkirakan anemia pada wanita karena cacing
terjadi bila terdapat > 100 cacing (darah yang hilang = 5 cc/hari) dan pada pria bila
terdapat > 250 cacing (darah yang hilang = 12,5 cc/hari).

Perdarahan feto-maternal
Merupakan penyebab utama anemia pada bayi baru lahir. Dari 50% kehamilan, 8%
terlihat nyata (0,5 - 40 cc fetal blood loss) dan 1% perdarahan hebat (> 100 cc fetal blood
loss).

5.

Punksi vena yang berulang, hemodialysis.


Hemosiderinuria, hemoglobinuria dan pulmosiderosis paru.

11

Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena hilangnya besi dalam tubuh ke urin. Bila urin
berwarna merah, namun pada pemeriksaan tidak didapatkan adanya sel darah merah,
diperkirakan adalah hemoglobinuria (paroxysmal nocturnal hemoglobinuria). Karena
pigmen yang ada yaitu hemoglobin dan bukan mioglobin.
Gejala klinis pada anemia defisiensi besi antara lain gangguan fungsi/ struktur jaringan
epitel seperti kulit kering, rambut kering & rapuh, atrofi papil lidah, glositis, stomatitis angularis,
kuku mudah patah & mungkin berbentuk seperti sendok (koilonychia).4
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan LED , Hb dan Ht . Pada sediaan hapus
darah tepi eritrosit menjadi mikrositik hipokrom (MCV , MCH & MCHC ), anisositosis,
poikilositosis, terdapat sel pensil. Hitung leukosit normal/ menurun, hitung trombosit normal/
meningkat, hitung retikulosit normal/ menurun, Fe serum , TIBC , feritin serum , saturasi
transferin . Pada pemeriksaan sumsum tulang didapatkan sumsum yang hiperseluler,
eritropoiesis hiperaktif, dan terdapat banyak metarubrisit.
Anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat
Kebutuhan tubuh terhadap vitamin B12 dan asam folat sangat sedikit. Sumbernya yaitu
berasal dari produk hewani yang nanti akan disimpan di hepar dan ginjal. Vitamin B12 dan asam
folat dibutuhkan oleh eritrosit terutama untuk mengatur proses pembelahan dan pematangan sel.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sel darah jika semakin matang maka bentuknya semakin
kecil jadi pada anemia ini akan ditemukan sel darah merah dalam ukuran yang besar, maka
penyakit ini disebut juga anemia megaloblastik (pematangan inti terganggu). 4 Anemia defisiensi
vitamin B12 sering dijumpai pada wanita usia 40-70 tahun.
Anemia defisiensi vitamin B12 dikarenakan:
1. Intake vitamin B12 yang tidak adekuat (pada vegetarian).
2. Gangguan absorbsi:

Gangguan ekskresi faktor intrinsik yaitu pasca gastrektomi, auto antibodi terhadap
sel parietal, faktor intrinsik menurun, antibodi terhadap faktor intrinsik.

Gangguan absorbsi usus halus yaitu adanya abnormalitas ileum, infeksi bakteri,
cacing Diphyllobotrium latum, obat-obatan (PAS, neomisin), dan pankreatitis kronik.
12

3. Defisiensi transcobalamin I.
4. Pecandu alkohol, N2O (gas anestesi).
5. Kehamilan, hipertiroid, neoplasma.
Anemia defisiensi asam folat dikarenakan:
1. Asupan asam folat yang kurang.
2. Gangguan absorbsi pada alkoholisme, reseksi usus halus, limfoma intestinal, hipotiroid,
akibat

obat-obatan

seperti

sulfasalazine,

kolestiramin,

fenitoin,

fenobarbital,

karbamazepin.
3. Peningkatan kebutuhan pada kehamilan, anemia hemolitik, hipertiroid, leukemia.
Patofisiologi:5
Absorbsi vitamin B12 di ileum memerlukan faktor intrinsik yaitu glikoprotein yang
disekresi lambung, faktor intrisik akan mengikat 2 molekul kobalamin. Pada orang dewasa,
faktor intrinsik dapat berkurang karena adanya atrofi lambung (gastritis atropikan), gangguan
imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik lambung) yang mengakibatkan defisiensi
kobalamin. Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin intraseluler kemudian
menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang berkurang akan
menurunkan prekursor timidilat yang selanjutnya mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut
methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5 metil
tetrahidrofolat. Sebelum diabsorbsi, asam folat harus diubah menjadi bentuk monoglutamat.
Bentuk folat tereduksi yaitu tetrahidrofolat (FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat
menyebabkan penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu sintesis timidilat dan selanjutnya
mengganggu sintesis DNA.
Gejala klinis anemia defisiensi vitamin B12 terdapat manifestasi utama yaitu glositis dan
neuropati. Neuropati dapat berupa parestesi, kelemahan otot dari yang ringan sampai berat, dan
spastisitas. Dapat juga ditemukan gangguan mental, depresi, paranoid, gangguan memori,
gangguan kesadaran, delusi, dan halusinasi.5 Sedangkan gejala pada defisiensi asam folat yaitu
adanya glositis. Pada anemia megaloblastik ini juga ditemukan subikterus, petekhiae, perdarahan
retina, dan hepatosplenomegali.

13

Pada anemia ini, pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia neutropenia


dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami hipersegmentasi dengan granula kasar (Giant
Stab-cell), trombositopenia ringan. Pada sediaan hapus darah tepi, eritrosit menjadi makrositik
(MCV ), anisositosis, poikilositosis, makro ovalosit, Howell Jolly bodies, dan Cabots ring. 5
Pada pemeriksaan sumsum tulang didapatkan gambaran megaloblastik, sumsum tulang yang
hiperseluler, eritropoiesis hiperaktif, dominasi prorubrisit. Kadar bilirubin indirek serum .
Pada anemia defisiensi vitamin B12 serum B12 , serum folat normal, ditemukan
methyl malonic aciduria sedangkan pada anemia defisiensi asam folat serum B12 normal,
serum folat , tidak ditemukan methyl malonic aciduria. Terdapat tes yang spesifik untuk anemia
defisiensi vitamin B12 yaitu tes schilling, untuk menilai kemampuan usus untuk menyerap
vitamin B12.4 Nilai normalnya 7-30% dari dosis vitamin B12 oral.
Anemia aplastik
Adalah suatu keadaan dimana sumsum tulang gagal memproduksi sel darah mencakup
eritrosit, leukosit, dan trombosit namun tidak ada kekurangan bahan untuk hemopoiesis. 5
Keadaan ini dikarenakan:
1. Primer kongenital atau idiopatik didapat.
2. Sekunder akibat radiasi, bahan kimia (insektisida, benzene), infeksi virus (hepatitis,
Epstein Barr, HIV, dengue), obat-obatan seperti kloramfenikol, sulfonamid, fenilbutazon.
Patofisiologi:
Dalam tubuh manusia terdapat sel-sel yang mengekspresikan protein cytoadhesive yang
disebut CD34. Adanya reaksi autoimun mengakibatkan sel-sel asal hemopoietik dihancurkan
oleh limfosit T sitotoksik. Jalur destruksi melalui pengaktifan IFN dan TNF- yang merupakan
inhibitor langsung hemopoiesis dan bersifat toksik pada sel-sel CD34. Pada anemia aplastik, selsel CD34 juga hampir tidak ada, yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid,
mieloid dan megakariositik sangat kurang jumlahnya.6
Gejala klinis anemia aplastik antara lain mudah menderita infeksi, mudah terjadi
perdarahan contohnya adalah adanya ptekhiae, purpura, dan perdarahan gusi (trombosit
berfungsi untuk pembekuan darah, pada anemia aplastik ini terjadi kelainan pembentukan
trombosit sehingga masa pembekuan akan memanjang), tidak ada pembesaran organ (hati, limpa,
kelenjar limfe).5

14

Pada pemeriksaan ditemukan anemia yang normositik normokrom, terdapat pansitopenia,


granulositopenia, limfositosis relatif. Pada pemeriksaan sumsum tulang hasilnya dry tap
(sumsum susah didapat karena penuh jaringan ikat), sumsum tulang hipoplasia, sumsum diganti
dengan lemak 75%. SI , feritin , transferin .
Anemia hemolitik
Keadaan dimana meningkatnya penghancuran sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan sumsum tulang dalam memproduksi eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh
terhadap berkurangnya eritrosit.5 Keadaan ini terjadi karena:

Herediter: dikarenakan ada kelainan pada membran eritrosit (sferositosis, eliptositosis),


kelainan pada metabolisme (defisiensi G6PD dan piruvat kinase), dan kelainan
hemoglobin baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Didapat: autoimun, hipersplenisme, infeksi (malaria), obat-obatan (penisilin, sefalosporin,


tetrasiklin), zat kimia.
Gejala klinis pada anemia yang ringan bisa asimptomatik namun jika berat terdapat pucat,

mual, muntah, demam, menggigil, nyeri pada perut, pinggang, dan ekstremitas, badan lemah,
sesak nafas, ikterus, splenomegali, petekhiae, purpura, urin berwarna merah/ gelap.5 Pada anemia
hemolitik yang kongenital terdapat tower skull (tengkorak bentuk menara), chipmunk face
(facies rodent), pertumbuhan badan yang terganggu, ulkus tungkai, kardiomegali, bising sistolik,
dan edema.
Hasil pemeriksaan pada anemia hemolitik:
a) Gambaran peningkatan penghancuran sel darah merah
1. Bilirubin indirek serum
2. Urobilinogen urin
3. Sterkobilinogen feses

b) Gambaran peningkatan produksi sel darah merah


1. Retikulosit
2. Hiperplasia eritroid sumsum tulang
c) Sel darah merah rusak
1. Ditemukan adanya fragmentosit, mikrosferosit (warna tampak lebih gelap
dengan diameter lebih kecil daripada eritrosit normal)
15

2. Umur sel darah merah memendek


3. Fragilitas osmotik (terjadi penurunan resistensi sel terhadap cairan
hipotonik)
d) Sediaan hapus darah tepi ditemukan eritrosit normositik, anisositosis, polikromasi
dengan normoblas, burr cell, akantosit.
e) Pemeriksaan laboratorium terdapat kadar Hb & Ht , hitung leukosit / normal,
hitung trombosit / normal, feritin .
B. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Suatu sindrom yang menyertai penyakit tertentu akibat aktivasi pembekuan darah dengan
manifestasi adanya trombosis dan perdarahan yang ditandai adanya aktivasi prokoagulan,
fibrinolisis, konsumsi inhibitor, dan faktor pembekuan serta adanya disfungsi organ.4
Keadaan ini disebabkan adanya pemecahan fibrin yang sudah terbentuk oleh plasmin
dengan 3 mekanisme pencetus yaitu aktivasi trombosit (pada sepsis, infeksi, luka bakar), aktivasi
jalur ekstrinsik oleh tromboplastin (pada emboli lemak, keganasan), aktivasi faktor X atau II
(pada gigitan ular berbisa, pankreatitis akut).
Patofisiologi:
Aktivasi pembekuan darah terjadi karena kerusakan jaringan endotel dan masuknya
protease dari jaringan ke dalam sirkulasi. Aktivasi ini menyebabkan thrombin dan plasmin akan
beredar sistemik:4
1. Dengan adanya thrombin dalam sirkulasi, fibrinogen terpecah menjadi fibrinopeptide
A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer akan berpolimerisasi menjadi fibrin
dalam sirkulasi sehingga terjadi trombosis mikrosirkulasi dan makrosirkulasi yang
menyebabkan iskemik perifer dan kerusakan organ.
2. Plasmin menyebabkan fibrinogen terurai menjadi FDP (fibrin/ fibrinogen
degradation product) yaitu fragmen X, Y, D dan E.
3. Fibrin monomer bergabung dengan fragmen X dan Y menjadi soluble fibrin
monomer yang dipakai sebagai dasar tes parakoagulasi (tes protamin sulfat, tes
etanol gelatin), dan selanjutnya akan terbentuk fibrin.
4. Fragmen D dan E melekat pada dinding trombosit, menyebabkan disfungsi trombosit
sehingga terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi akibat trombositopenia dan disfungsi
trombosit.
5. Plasmin mengaktivasi komplemen C1, C3, C8, dan C9 yang menyebabkan lisis
eritrosit dan trombosit, menambah material prokoagulan.
6. Aktivasi pembekuan darah juga mengaktivasi sistem kinin, menyebabkan
bertambahnya permeabilitas vaskuler, hipotensi dan shock.

16

Gejala yang menyertai penyakit ini adalah gejala yang berkaitan dengan penyakit yang
mendasarinya maupun yang berkaitan dengan peristiwa DIC itu sendiri seperti perdarahan pada
kulit sperti petekhiae, ekimosis, perdarahan dari tempat infus, perdarahan luka operasi.
Kemudian terdapat tanda kerusakan organ akibat trombosis seperti gagal ginjal, gagal hati, gagal
nafas, bahkan bisa sampai koma. Selain itu terdapat takikardi, hipotensi, dan edema.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya pansitopenia, pada sediaan hapus
darah tepi ditemukan burr cell dan fragmentosit, masa perdarahan dan pembekuan memanjang,
PT & APTT memanjang, fibrinogen , faktor II, V, VIII berkurang, D-dimer , ureum dan
kreatinin meningkat (tanda adanya disfungsi organ).4 Pada sumsum tulang ditemukan
megakariosit bertambah.
C. Inkompatibilitas ABO dan Rhesus
Inkompatibilitas Rhesus:
Golongan darah Rhesus ditemukan oleh Levin dan Stetson serta Landsteiner dan Wiener.
Berdasarkan sistem Rhesus dikenal dua jenis golongan darah yaitu golongan darah Rhesus
positif dan golongan darah Rhesus negatif. Eritrosit golongan darah Rhesus positif mengandung
antigen Rhesus sedangkan eritrosit golongan darah Rhesus negatif tidak mengandung antigen
Rhesus. Penetapan golongan darah Rhesus dilakukan dengan cara forward grouping yaitu
berdasarkan reaksi antigen-antibodi yang akan menyebabkan aglutinasi.
Golongan darah Rh positif: Eritrosit + anti Rh aglutinasi.
Golongan darah Rh negatif: Eritrosit + anti Rh aglutinasi.
Kira-kira 85% orang kulit putih mempunyai Rhesus positif dan 15% Rhesus negatif.
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negatif dan janin rhesus positif. Bila sel
darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga
membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh ini dapat melalui plasenta dan masuk ke
dalam peredaran darah janin dan selanjutnya menyebabkan penghancuran sel darah merah janin
(hemolisis).7 Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah
merah oleh tubuh bayi secara berlebihan sehingga akan didapatkan sel darah merah berinti yang
banyak. Oleh karena itu pula keadaan ini disebut eritroblastosis fetalis. Pengaruh kelainan ini
biasanya tidak terlihat pada keadaan anak pertama akan tetapi menjadi makin nyata pada anak
yang dilahirkan selanjutnya.
17

Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang
inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai rhesus positif,
pengaruh kelainan inkompatibilitas rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.
Bayi yang lahir mungkin mati atau berupa hidrops fetalis yang hanya dapat hidup
beberapa jam dengan gejala edema yang berat, asites, anemia, dan hepatosplenomegali. Biasanya
bayi seperti ini mempunyai plasenta yang besar, bayi tampak pucat dan cairan amnionnya
bewarna kuning emas.7 Eritroblastosis fetalis pada saat lahir tampak normal tapi beberapa jam
kemudian timbul ikterus yang makin lama makin berat (hiperbilirubinemia) yang dapat
mengakibatkan kernikterus, hepatosplenomegali, dan pada pemeriksaan darah tepi akan
didapatkan anemia, retikulositosis, jumlah normoblas dan eritroblas lebih banyak daripada biasa,
banyak sel darah (granulosit) muda.7 Kadar bilirubin direk dan indirek meninggi juga terdapat
bilirubin dalam urin dan tinja.
Inkompatibilitas ABO:
Menurut statistik kira-kira 20% dari seluruh kehamilan terlihat dalam ketidakselarasan
golongan darah ABO dan 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O dan janin
golongan darah A atau B. Walaupun demikian hanya pada sebagian kecil tampak pengaruh
hemolisis pada bayi baru lahir hal ini disebabkan oleh karena isoaglutinin anti-A dan anti-B yang
terdapat dalam serum ibu sebagian besar berbentuk 19-S, yaitu gama globulin-M yang tidak
dapat melalui plasenta (merupakan macroglobulin) dan disebut isoaglutinin natural. 7 Hanya
sebagian kecil dari ibu yang mempunyai golongan darah O, mempunyai antibodi 7-S, yaitu
gamaglobulin g (isoaglutinin imun) yang tinggi dan dapat melalui plasenta sehingga
mengakibatkan hemolisis pada bayi.
Manifestasi klinis: ikterus biasanya timbul dalam waktu 24 jam sesudah lahir, tidak pucat
oleh karena tidak terdapat anemia atau hanya didapatkan anemia ringan saja. Jarang sekali
menyebabkan hidrops fetalis atau lahir mati serta hepatosplenomegali. Kira-kira 40-50%
mengenai anak pertama sedangkan anak-anak berikutnya mungkin terkena dan mungkin tidak.
Bila terkena tidak tampak gejala yang berat seperti pada inkompatibilitas rhesus.
Laboratorium: kadar Hb normal dan kadang-kadang agak menurun (10-12 g/dl),
retikulositosis, polikromasi, sferositosis, dan sel darah merah berinti jumlahnya meningkat, uji
Coombs mungkin negatif atau positif lemah.
D. Jaundice

18

Jaundice adalah keadaan dimana menguningnya kulit atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh, disebut ikterus. Bila kadar bilirubin darah melebihi 2 mg%
maka ikterus akan terlihat tapi pada neonatus ikterus masih belum terlihat meski kadar bilirubin
sudah melampaui 5%. Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala
fisiologis ataupun patologis. Masalah ikterus pada neonatus juga berkaitan dengan metabolisme
bilirubin indirek dan direk. Bilirubin adalah suatu antioksidan berwarna kuning yang berasal dari
pemecahan eritrosit oleh makrofag, merupakan komponen empedu yang memberikan warna
pada feses, urin, plasma dan warna kehijauan pada empedu. Asal mula bilirubin daripada heme,
oleh enzim hemoksigenase heme dirubah jadi biliverdin yang kemudian dirubah lagi jadi
bilirubin atas enzim bilirubin reduktase.8
Produksi
Bilirubin dibentuk dari hemoglobin yang terdegradasi di sistem retikuloendotelial (RES). 1 gram
hemoglobin menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek adalah bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo, yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut
dalam lemak.
Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke
dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Di dalam sel bilirubin akan terikat terutama pada
ligandin (protein Y, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase
lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses 2 arah tergantung dari konsentrasi dan afinitas
albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk
hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu.
Konjugasi
Dalam sel hepar, bilirubin akan diikat oleh asam glukoronat yang berasal daripada asam uridin
difosfoglukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transferase. Hasil gabungan ini larut dalam
air sehingga disebut bilirubin direk atau bilirubin terikat (conjugated bilirubin).
Ekskresi
Bilirubin direk diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin
indirek dan direabsorpsi.8 Siklus ini disebut siklus enterohepatik.
globin

Hemoglobin
19

Heme
Heme oksigenase
Biliverdin
Biliverdin reduktase
Bilirubin
Glukoronil transferase
Bilirubin glukoronida
Urobilinogen
Ekskresi ke Feses

Pada neonatus karena aktifitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin
indirek meningkat dan terabsorpsi sehingga siklus enterohepatik meningkat.
Ikterus fisiologis apabila kadar bilirubin serum < 12 mg/ dL pada bayi cukup bulan serta
< 15 mg/ dL pada bayi prematur pada minggu pertama kehidupan. 9 Ikterus patologis apabila
ikterus muncul dalam 24 jam pertama setelah lahir, kenaikan kadar bilirubin cepat (> 5 mg/ dL
dalam 24 jam) kadar bilirubin serum > 12 mg/ dL pada bayi cukup bulan dan > 15 mg/ dL pada
bayi prematur pada minggu pertama kehidupan, ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
dan peningkatan bilirubin direk serum > 1 mg/ dL, bila bilirubin total < 5 mg/ dL atau bilirubin
indirek > 20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5 mg/ dL.9

20

Salah satu cara pemeriksaan derajat ikterus yang paling sederhana dan mudah menurut
Kramer (1969):

Ikterus pada neonatus dapat dikarenakan oleh:

Produksi bilirubin yang berlebihan, keadaan yang berhubungan dengan pemecahan


eritrosit yang abnormal contohnya pada hemolisis, inkompatibilitas golongan darah fetalmaternal, polisitemia, abnormalitas sel darah merah.

Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, karena imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, asidosis, hipoksia dan infeksi,
tidak ada enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar), serta defisiensi protein
Y dalam hepar yang penting untuk uptake bilirubin ke sel hepar.

Gangguan transportasi, bilirubin dapat diangkut ke hati jika terikat pada albumin. Ada
beberapa obat seperti salisilat, sulfafurazole yang menyebabkan ikatan dengan albumin
ini rusak. Dan jika albumin kurang maka bilirubin indirek mudah melekat ke sel otak.

Gangguan dalam ekskresi bilirubin, karena ada kerusakan hati baik dari dalam maupun
dari luar (peningkatan sirkulasi enterohepatik) maupun karena hormon dan obat-obatan,
prematur, kolestasis.
Apabila ikterus tidak ditangani maka dapat terjadi kernikterus yaitu suatu kerusakan otak

akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus
subtalamus hipokampus, nukleus merah, dan nukleus di dasar ventrikel IV.9 Gejala klinis pada
permulaanya tidak jelas tapi dapat disebutkan ialah mata yang berputar, letargi, kejang, tak mau
menghisap, tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus. Pada umur yang lebih
lanjut bila bayi ini hidup dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai

21

ketegangan otot. Ketulian pada nada tinggi dapat ditemukan, gangguan bicara dan retardasi
mental.
E. Atresia bilier
Keadaan ini dapat terjadi pada semua bagian saluran empedu ekstrahepatik, termasuk
juga kandung empedu. Kadang-kadang terdapat juga atresia saluran empedu intrahepatik yang
mungkin disebabkan oleh degenerasi sekunder dan bukan oleh kelainan kongenital. Akibat
atresia saluran empedu ialah kolestasis hebat intrakanal, intraduktulus, dan intraduktus yang
kemudian berkembang menjadi sirosis bilier. Hati pada sirosis bilier lebih besar, berwarna
kuning hijau dan permukaannya tidak rata. Kelainan ini sebenarnya bukan sirosis sejati karena
yang tampak ialah bukan pseudolobulus di seluruh jaringan hati, melainkan daerah portal yang
melebar dengan fibrosis akibat rangsangan empedu. Bocornya empedu disebabkan oleh tekanan
empedu yang tinggi yang mengakibatkan pecahnya saluran empedu. Selain fibrosis tampak pula
pada daerah portal itu proliferasi saluran empedu yang mengandung toraks empedu sebagai
usaha tubuh mengatasi kolestasis.
Manifestasi klinis: gejala yang terjadi ialah ikterus yang umumnya baru tampak pada
umur 2-3 minggu. Ikterus ini makin lama makin hebat dan tampak kehijauan, akibat biliverdin.
Mula-mula hanya bilirubin direk dalam serum yang meninggi, tetapi kemudian bila juga disertai
kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas, maka bilirubin indirek dalam
serum pun akan meningkat.8 Urin berwarna lebih tua akibat bilirubinuria. Berhubung dengan
tidak mengalirnya empedu ke dalam usus, maka tidak terdapat urobilinogen dalam urin.
Walaupun meconium dapat tampak normal, namun tinja kemudian biasanya berwarna dempul
(clay-colored).8 Pada ikterus yang hebat dan anak yang lebih besar tinja dapat mengandung
sedikit empedu yang berasal dari sekresi dan deskuamasi mukosa usus yang mengandung
empedu, sehingga warna dempul menjadi kekuning-kuningan. Namun warna ini tidak sekuning
yang kadang-kadang secara intermiten dapat ditemukan pada tinja penderita dengan hepatitis
neonatal atau kista duktus koledokus. Hati biasanya membesar dan konsistensinya kenyal,
permukaannya agak rata dan tepinya tajam. 8 Akibat sirosis bilier ialah hipertensi portal yang
bermanifestasi sebagai splenomegali, asites, dan varises esofagus.
F. Hemofilia
Hemofilia A adalah kelainan herediter X-linked resesif dengan karakteristik adanya
defisiensi faktor VIII. Ini dikarenakan mutasi gen pada kromosom X : Xq28.4
Patofisiologi:
22

Dasar abnormalitas pada hemofili A adalah defisiensi abnormalitas protein plasma yaitu
faktor anti hemofili (AHF= antihemophilic faktor/ VIII). Dalam keadaan normal, dalam plasma
fVIII bersirkulasi dalam bentuk ikatan dengan faktor vonWillebrand (vWF). Faktor
vonWillebrand disebut f VIII ag (f VIII antigen) berfungsi sebagai pembawa f VIII. Fungsi f VIII
dalam proses koagulasi dinamakan f VIII C. Reduksi VWF dikode oleh gen autosomal. Pada
hemofili A VWF diproduksi dalam kualitas normal dengan jumlah normal atau meningkat. Pada
hemofili A didapatkan gangguan pada proses stabilisasi sumbat trombosit oleh fibrin mutasi
generik yang ditemukan pada hemofili A:4

Transposisi basa tunggal: codon arginin menjadi stop codon yang menghentikan sintesis
f VIII yang menyebabkan hemofili berat.

Substitusi asam amino tunggal: menyebabkan hemofili ringan.

Delesi beberapa ribu nukleotida: menyebabkan hemofili berat.


Laboratorium:

1. Tes pembekuan: APTT (activated partial tromboplastin time) memanjang, BT (bleeding


time) normal, PT (protrombin time) normal, TT (thrombin time) normal.
2. Kadar f VIII (normal 52-100%).

3. Deteksi carier hemofili A:


a) Immunoassay = ratio f VIII C : VWF yaitu 0,18 0,9 (normal: 0,74 - 2,2).
b) Polymorphic DNA probes.
Manifestasi perdarahan tergantung kadar (%) faktor VIII:4
50 100 %
25 50 %
5 25 %

Tidak ada perdarahan


Perdarahan setelah trauma besar
Perdarahan setelah operasi, trauma kecil, tidak

13%

ada perdarahan spontan


Perdarahan pada trauma kecil, kadang-kadang

0%

perdarahan spontan
Perdarahan spontan ke dalam sendi, otot,
hematom

23

Hemofili B adalah suatu kelainan X-linked herediter yang bersifat resesif yang
menyebabkan defisiensi faktor IX (Christmas factor = Plasma tromboplastin component). Ini
dikarenakan mutasi pada gen faktor IX. Manifestasi klinis sama dengan hemofili A.
Patofisiologi:4
Lebih dari 30% mutasi gen faktor IX menyebabkan terminasi codon atau substitusi asam
amino (transisi C T). Mutasi tersebut menyebabkan abnormalitas kuantitas dan kualitas faktor
IX. Terdapat 3 varian hemofili B berdasarkan reaksi plasma penderita terhadap antibodi
autologus yaitu varian CRM positif (tipe paling banyak), varian CRM negatif, netralisasi
antibodi bervariasi.
Laboratorium:
1. Tes pembekuan: APTT memanjang, BT normal, PT normal, TT normal.
2. Kadar faktor IX .
G. Thalasemia
Thalasemia adalah suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang
diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai polipeptida yang
menyusun molekul globin dalam hemoglobin.

Secara klinis bisa dibagi menjadi:4


1. thalasemia mayor (bentuk homozigot) sangat tergantung pada transfusi,
memberikan gejala klinis yang jelas. Terjadi bila keduia orang tuanya membawa
sifat thalasemia.
2. thalasemia minor/ karier tanpa gejala, tidak memberikan gejala klinis yang jelas.
Biasanya hanya sebagai pembawa sifat gen thalasemia.
Secara molekuler thalasemia dibagi menjadi:

Thalasemia (gangguan pembentukan rantai )


Thalasemia (gangguan pembentukan rantai )
Thalasemia - (gangguan pembentukan rantai dan yang letak gennya diduga

berdekatan)
Thalasemia (gangguan pembentukkan rantai )
Thalasemia ini terjadi karena beberapa sebab antara lain:

Kongenital Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain


seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.
24

Didapat
a)
bahan kimia: benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb.
b) obat-obatan: kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan),

piribenzamin

(antihistamin), santonin-kalomel, obat sitostatika.


c)
radiasi: sinar rontgen, radioaktif.
d)
faktor individu: alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain.
e)
infeksi: tuberculosis milier, hepatitis, EBV.
f)
lain-lain: keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin, idiopatik.
Penyakit thalasemia disebabkan oleh adanya kelainan/ perubahan/ mutasi pada gen globin
alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang atau tidak ada.
Akibatnya produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih
pendek dari sel darah normal (120 hari). Bila kelainan pada gen globin alpha maka penyakitnya
disebut thalasemia alpha, sedangkan kelainan pada gen globin beta akan menyebabkan penyakit
thalasemia beta. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi
tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Patofisiologi:
Molekul globin terdiri atas sepasang rantai- dan sepasang rantai lain yang menentukan jenis Hb.
Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A (merupakan > 96% dari Hb total, tersusun
dari 2 rantai- dan 2 rantai- = 22), Hb F (< 2% = 22), dan HbA2 (< 3% = 22). Kelainan
produksi dapat terjadi pada rantai- (-thalasemia), rantai- (-thalasemia), rantai- (thalasemia), rantai- (-thalasemia), maupun kombinasi kelainan rantai- dan rantai- (thalasemia).
Pada thalasemia-, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan kekurangan pembentukan
22 (Hb A); kelebihan rantai- akan berikatan dengan rantai- yang secara kompensator HbF
meningkat, sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies
dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoesis).
Thalasemia merupakan kelainan dimana terjadi defek sintesis rantai dengan akibat
depresi produksi Hb yang rantai misalnya HbA, HbA2, dan HbF. Defisiensi rantai
menyebabkan timbunan rantai pada fetus dan rantai pada orang dewasa. Bila melihat jumlah
gen yang mengalami kelainan, thalasemia dikelompokan sebagai silent carrier (1 gen), trait
25

thalassemia (2 gen), penyakit HbH (3 gen), dan Hb-Barts hidrops fetalis (4 gen). 4 Rantai
membentuk tetramer Hb-Barts dan presipitat rantai yang tidak stabil membentuk HbH. Adanya
Hb-Barts dan HbH dalam eritrosit membawa akibat yang serius karena Hb tersebut mempunyai
afinitas oksigen yang tinggi dan tidak dapat membawa oksigen secara adekuat ke jaringan.
Thalasemia meliputi empat sindrom klinis. Yaitu silent carrier, trait thalasemia,
thalasemia intermedia, dan thalasemia mayor. Heterogenitas klinis menunjukan perbedaan
mutasi. Banyak mutasi yang mengeliminasi ekspresi gen globin , sedangkan yang lain secara
bervariasi menurunkan derajat ekspresi gen globin . Makin ringan penurunan ekspresi gen
globin , makin baik manifestasi klinisnya, karena derajat ketidakseimbangan antara rantai dan
menunjukan derajat beratnya penyakit.
Gejala klinis:4
1.

Mongoloid facies/ facies rodent karena ekspansi sumsum tulang pada tulang

maksila dan tengkorak.


2.
Tanda-tanda adanya hemolisis: anemia, sklera ikterik, hepatosplenomegali.
Hepatosplenomegali terjadi sebagai akibat dari destruksi eritrosit, hemopoiesis
ekstrameduler dan timbunan besi. Splenomegali mengakibatkan destruksi eritrosit
meningkat, pooling eritrosit, dan peningkatan volume plasma yang berakibat kebutuhan
3.
4.
5.

untuk transfusi darah meningkat.


Gangguan pertumbuhan.
Gangguan maturitas seksual.
Gagal jantung kongestif.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk thalasemia adalah:
a) Periksa darah lengkap Hb 3-10 mg/dl, retikulosit .
b) Periksa sediaan hapus darah tepi, liat morfologi anemia mikrositik hipokrom,
banyak eritrosit berinti, sel target.
c) Elektroforesis Hb.
d) Pemeriksaan fragilitas osmotik hasilnya berarti terjadi peningkatan resistensi sel
terhadap cairan hipotonik.
e) Bilirubin indirek serum .

26

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bayi yang terlihat pucat dapat kita pikirkan menderita anemia namun lebih lanjutnya
harus dipastikan dengan pemeriksaan darah lengkap, sumsum tulang, sediaan hapus darah tepi,
dan sebagainya, karena penyakit dengan manifestasi pucat sangatlah banyak, yaitu kelainan
darah yang lain seperti DIC, inkompatibilitas ABO & rhesus, atresia bilier, jaundice, hemofilia,
dan talasemia.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001.hlm.345-9.
2. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi 27. Jakarta: EGC;
2009.hlm.636-41.
3. Glader B. The anemias. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
textbook of pediatrics 18th edition. USA: Saunders; 2007.hlm.2003-23.
4. Sumantri R. Hematologi onkologi medik. Bandung: Q-communication; 2003.hlm.1-16,1126,195-201.
5. Windisatuti E, Moeslichan MZ. Anemia. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG,
Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar hematologi onkologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2006.hlm.24-9.
6. Permono B, Ugrasena IDG. Hemoglobin Abnormal. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena
IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar hematologi onkologi anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2006.hlm.64-84.
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak III. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 1985.hlm.1095-6.
8. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 1985.hlm.519-22,542-3.
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Jilid II.
Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.hlm.503-7.
28

You might also like