Professional Documents
Culture Documents
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeclampsia dan eklamsia tergantung dari
berbagai faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status medis dari
pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan dilakukan secara
bedah Caesar maka pemilihan teknik anestesia di sini termasuk epidural, spinal, combine
spinal-epidural dan anestesia umum. Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia
berat dan eklamsia dikatakan berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan
arteri sistemik dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia.
Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi
endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring. Apapun teknik
anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun persalinan adalah terapi untuk
preeklampsia, pada periode post partum perubahan kardiovaskular, cardiac output dan status
cairan, harus tetap dimonitor.1
Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa: 1. Tidak terdapat koagulopati
(koagulopati merupakan kontra indikasi anestesi spinal). 2. Anestesia yang aman / terpilih
adalah anestesia umum untuk eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal,
bila risiko anestesi terlalu tinggi.
Pilihan anestesi spinal pada eklamsia kurang begitu dianjurkan, dengan alasan: 1.
Pada spinal anestesi, hemodimanik akan bergejolak dan cenderung turun padahal looding
cairan harus dibatasi karena resiko terjadi odema paru 2. Pada eklampsi pasti pasien sudah
ada kejang TIK meningkat. Spinal anestesi sangat tak dianjurkan pada peningkatan TIK 3.
Pada pasien PEB/ EB biasanya pasien sudah diberi MgSO4 oleh spesialis obsgin, obat ini
potensiasi dengan relaxan kurangi dosis karena dosis normal akan berefek lebih panjang
kelumpuhan ototnya. Harus diperhatikan resiko HELLP Syndrom sebagai salah satu efek
PEB/ EB. Jika dilakukan anestesi spinal dan terjadi epidural hematoma, maka blok akan
ireversibel. Kecuali sebelum 7 jam dan diketahui dg pemeriksaan MRI atau CT scan dan
langsung dilakukan laminektomi maka blok bisa reversibel.
Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang obstetri sama, kecuali
pelaksanaan tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklampsia berat persalinan harus
dilakukan dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia persalinan harus terjadi dalam waktu 12
jam setelah timbul gejala eklampsia. Jika ada gawat janin atau dalam 12 jam tidak terjadi
persalinan dan janin masih ada tanda-tanda kehidupan harus dilakukan bedah Caesar.
Masalah koagulopati merupakan hal yang perlu dipertimbangkan sebelum tindakan operasi
pada pasien preeklampsia/ eklampsia. Bedah Caesar pada eklampsia merupakan tindakan
darurat, anestesi umum.1
2
Persiapan perioperative
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien sebelumnya pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan
lebih baik. Kita harus pandai memilah apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek
samping obat.2,3
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi
nikotin yang mempengaruhi system kardiosirkulasi, dihentikan beberapa minggu
untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi
produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya
penyakit hepar.1
Dengan anamnesis juga dapat dikaji perkawinan ibu apakah menikah atau
tidak menikah, berapa kali menikah, atau lamanya menikah, dan setelah berapa tahun
baru hamil.
Anamnesis untuk kehamilan, persalinan, dan kala nifas meliputi hal-hal berikut.
a.
Respon terhadap control nyeri dan beberapa efek opioid yang tak
menguntungkan
e. Alergi/Reaksi Obat
Alergi yang sebenarnya atau reaksi hipersensitivitas lebih jarang terjadi jika
dibandingkan dengan efek samping obat non-alergik yang tidak diinginkan.
Perbedaan diantara keduanya biasanya dapat diketahui dengan mengajukan
pertanyaan spesifik kepada pasien. Manifestasi klinis pada kulit (urtikaria,
eritema), bronkospasme, kolaps kardiovaskuler, dan edema angioneuritik, harus
dinyatakan sebagai reaksi alergi sampai dibuktikan lain. Selain agen anestesi,
alergi terhadap antibiotic, plester perekat, spray, dan jenis tertentu makanan
penting untuk dicatat; hal ini kan mempengaruhi pemilihan teknik anestesi.2,3
f. Riwayat Sosial
Riwayat kebiasaan merokok, konsumsi alcohol, dan ketergantungan obat
penting diketahui. Pada perook, adanya batuk produktif dapat mengindikasikan
pasien butuh terapi dan evaluasi lebih lanjut. Berhenti merokok selama >12 jam
akan menurunkan jumlah CO-Hb darah secara signifikan dan memperbaiki
transport oksigen ke jaringan. Efek menguntungkan terhadap reaktivitas dan
sekresi saluran napas tidak akan terlihat (dalam bentuk menurunnya komplikasi
paru-paru) sampai 4 minggu berhenti merokok. Intoksikasi akut terhadap alcohol
dapat menyebabkan agitasi, konfusi, hipertensi, palpitasu, dan kejang.
Penyalahgunaan obat stimulant merupakan predisposisi terjadinya aritmia dan
konvulsi. Penggunaan stimulant dapat meningkatkan kebutuhan agen anestesi
(peningkatan MAC). Penyalahgunaan opioid meningkatkan dosis agen anestesi
yang dibutuhkan selama operasi.2,3
4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan umum meliputi kesan umum tentang keadaan gizi
(anemia, ikterus) dan pernapasan (sianosis, dispnea). Apakah terdapat edema,
bagaimana bentuk dan tinggi badan, apakah ada perubahan pigmentasi, kloasma
gravidarum, striae alba, striae lividae, striae nigra, hiperpigmentasi, dan areola
mammae.
Pemeriksaan umum meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan berat badan;
pemeriksaan paru dan jantung; pemeriksaan refleks lutut.
Pemeriksaan khusus obstetri. Pemeriksaan ini meliputi inspeksi abdomen (tinggi
fundus uteri, pigmentasi dinding abdomen, dan penampakkan gerak janin), palpasi
menurut Leopold I-IV, Kneble, Buddin, Ahfeld, kontraksi Braxton Hicks dan tanda
cairan bebas; perkusi tidak begitu banyak artinya, kecuali jika ada suatu indikasi;
auskultasi
menggunakan
stetoskop
monoaural
(stetoskop
obstetrik)
untuk
mengetahui denyut jantung janin pada bulan ke 4-5, bising tali pusat, gerakan dan
tendangan janin, dapat juga didengarkan pada ibu yaitu bising rahim (uterine souffle),
bising aorta dan peristaltik usus.3
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
hematologi.
Hemoglobin
dan
hematokrit
meningkat
karena
preeklampsia-eklampsia.
Perubahan
yang
terjadi
dapat
meliputi
ASA III
ASA IV
kongesti.
Mengganggu
aktivitas
secara
signifikan
dan
ASA V
ASA VI
Donor organ
2. Mallampati
Salah satu penilaian klinik yang dapat dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya kesulitan intubasi adalah tes mallampati. Tes ini dilakukan dengan cara
meminta pasien untuk membuka mulut semaksimal mungkin yang dapat dilakukan
disertai dengan lidah yang dijulurkan, dan pada saat itu kita melihat daerah faring
bagian posterior. Tes Mallampati bertujuan untuk mengukur besarnya lidah di dalam
rongga mulut, Apabila saat tes mallampati ditemukan ukuran lidah yang besar yang
menutupi struktur faring atau bagian posterior faring tidak dapat terlihat, maka
kemungkinan nantinya akan terjadi kesulitan intubasi.5,6
Palatum durum, palatum molle, uvula dan kedua pilar faring terlihat
Palatum durum, palatum molle, Sebagian uvula dan bagian atas kedua
Kelas 3
Kelas 4
pilar terlihat
Hanya palatum durum, palatum molle dan dasar uvula yang terlihat
Hanya palatum durum yang terlihat
Inform Consent
Pasien mungkin takut, cemas, atau khawatir terhadap tindakan bedah dan pembiusan
sehingga informasi dan keterangan yang diberikan jangan tentang pembedahannya (seperti
7
prognosis bedah, bekas lukam cacat, keterbatasan pola hidup). Anestesi berhubungan dengan
kecemasan meliputi kematian, kesadaran, nyeri selama operasi, nyeri setelah operasi,
kehilangan control, mual muntah. Cobalah periksa kecemasan dan tenangkan pasien.1
Realistis tentang resikonya tapi dengan cara yang bijak. Pasien mempunyai hak
untuk tahu resiko utama (dengan angka kejadian lebih dari 1%) dan resiko
signifikan yang menyebabkan luka permanen.
Terangkan apa yang akan dilakukan untuk mengurangi dan menghindari resiko.
Perioperative
Premedikasi
Pemberian obat sebelum anestesi untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan
sedasi dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien disebut premedikasi. Tujuan
premedikasi pada dasarnya terdiri dari dua yaitu : 5-7
a. Mempengaruhi pasien dalam hal ini terdiri dari
Memberikan sedasi
Membuat amnesia
Golongan Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6 mg IM bekerja setelah 10 15 menit.5-7
Golongan Transquilizer
Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian dosis rendah
bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.
mg/kgBB IM.5-7
Airway Management
Tindakan Intubasi
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan, antara lain :8
a. Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala, sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta
trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan
9
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi
kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak
aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten
diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
e.
f. Ventilasi.
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.8
Langkah-langkah pemasangan:
1) Siapkan alat dan pasien
2) Cuci tangan
3) Pakai masker penutup hidung dan mulut dan sarung tangan
4) Atur posisi pasien,kepala ekstensi,leher fleksi
5) Tangan kanan memegang kedua bibir lalu buka mulut pasien Tangan kiri
memegang laringoscope,masukkan blade dari sebelah kanan mulut sambil
membawa bagian lidah ke arah kiri sampai terlihat uvula dan epiglottis.
10
6) Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya
epiglottis
7) Masukkan endotracheal tube dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk
putar ke arah tengah
8) Isi balon endotracheal dengan spuit kosong
9) Sambungkan endotracheal dengan ventilator/bag
10) Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop masuk ke esophagus, terlalu kanan
atau terlalu kiri dari bronchus
11) Fiksasi menggunakan plester.8
Monitoring Perioperatif
Monitoring yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien,
tetapi tidak dapat menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Monitoring standar atau minimal yaitu
stetoskop prekordial/esophageal, manset tekanan darah, EKG, oksimeter, dan thermometer.
Sebelum mengerjakan anestesia semua peralatan harus diperiksa apakah bekerja cukup
baik.7,9
Monitoring Kardiovaskuler
1. Non-invasif (tidak langsung)
a. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan sirkulasi sering
terjadi seama anestesi. Makin bradikardi makin menurunkan curah jantung.
Monitoring terhadap nadi dapat dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis,
brakialis, femoralis, dan karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama,
dan kekuatan nadi. Selain palpasi, dapat dilakukan auskultasu dengan
menmpelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus melalui esophagus.
Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas, karena kita tidak melakukannya
secara terus menerus.
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan elektronik
sperti EKG atau oksimeter yangd isertai dengan alarm. Pemasangan EKG untuk
mengetahui secara kontinyu frekuensi nadi, disritmia, iskemia jantung, gangguan
konduksi, abnormalitas elektrolit, dan fungsi pacemaker.
b. Tekanan Darah
11
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan manset yang
harus tepat ukurannya, karena bila terlalu lebar akan menghasilkan nilai yang
lebih rendah dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan sistolikdiastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan arteri ratarata (Mean Arterial Pressure) diketahui dengan langsung dengan monitor tekanan
darah elektronik atau dengan menghitungnya yaitu 1/3(tekanan sistolik + 2 x
tekanan diastolic) atau tekanan diastolic + 1/3 (tekanan sistolik-tekanan diastolic).
c. Banyaknya Perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang kain kassa ketika
sebelum terkena darah dan setelah terkena darah, mengukur jumlah darah dibotol
pengukur darah ditambah 10-20% untuk yang tidak dapat diukur.7,9
2. Invasif (Langsung)
Biasanya dikerjakan untuk bedah khusus atau pasien keadaan umum kurang baik.
a. Dengan kanulasi arteri melalui a.radialis, a.dorsalis pedis, a.karotis, a.femoralis
dapat diketahui secara kontinyu tekanan darah pasien.
b. Dengan kanulasi vena sentral, v.jugularis interna-eksterna, v.subklavia, v.basilika,
v.femoralis dapat diketahui tekanan vena sentral secara kontinyu.
c. Dengan kanulasi a.pulmonalis (Swanz-Ganz) dapat dianalisa curah jantung.
d. Pada bayi baru lahir dapat digunakan arteria atau vena umbilikalis. Selain itu,
kanulasi arteri ini dapat digunakan untuk memonitor ventilasi dengan mengukur
kadar pH, PO2, PCO2, bikarbonat dengan lebih sering sesuai kebutuhan. Pada
bedah jantung yang kompleks digunakan ekokardiografi transesofageal.7,9
Monitoring Respirasi
1. Tanpa Alat
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung gerakan dada-perut
baik pada saat bernapas spontan atau dengan bernapas kendali dan gerakan kantong
cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari
dan darah pada luka bedah apakah pucat, kebiruan, atau merah muda.
2. Stetoskop
Dengan stetoskop prekordial atau esophageal dapat didengar suara pernapasan.
3. Oksimetri Denyut (pulse oximetry)
Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu, dapat diketahui frekuensi nadi
dan adanya disritmia.7,9
4. Kapnometri
12
Untuk mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam udara inspirasi dan ekspirasi.
Kapnometer dipengaruhi oleh system anestesia yang digunakan. Monitoring khusus
biasanya bersifat invasive karena kita inginsecara kontinyu mengukur tekanan darah,
arteri dan tekanan darah vena, produksi urin, analisa gas darah, dan sebagainya.7,9
Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu sangat
penting bagi anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi,
konveksi, evaporasi, dan konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia,
asidosis, pulih anestesia lambat dan pada neonates dapat terjadi sirkulasi persistent fetal.
Tempat lazim digunakan, antara lain:
1. Aksila (ketiak)
2. Untuk membacanya perlu waktu 15 menit. Dipengaruhi oleh banyaknya rambut
ketiak, gerakan pasien, manset tensimeter, dan suhu cairan infus.
3. Oral-sublingual
Pada pasien sadar sebelum anestesia.
4. Rectal
Seperti thermometer aksila tetapi lebih panjang.
5. Nasofaring, esophageal
Berbentuk kateter.
6. Lain-lain
Jarang digunakan, misal: kulit, buli-buli, liang telinga.7,9
Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal. Produksi air kemih normal minimal 0,51,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari
retensi urin dan distensi buli-buli. Monitoring produksi air kemih harus dilakukan dngan hatihati, karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke pielonefritis. Secara rutin
digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-6oF. kalau >1ml/kgBB/jam dan reduksi urin
positif 2, dicurigai adanya hiperglikemia.7,9
Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau orientasi terhadap
personal, waktu, dan tempat baik. Pada saat pasien dalam keadaan tidak sadar, monitoring
terhadap SSP dikerjakan dengan memeriksa respons pupil terhadap cahay, respons terhadap
trauma pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.7,9
13
Anastesi Umum
Anastesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya
kesadaran yang bersifat sementara yang di hasilkan melalui penekanan system syaraf pusat
karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada syaraf. Anastesi
umum merupakan kondisi yang di kendalikan dengan ketidaksadaran reversible dan diperoleh
melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi atau inhalasi yang di tandai dengan hilangnya
respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau reflex dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran.
Trias anestesi : hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Obat-obat Anastesi:10
a) Pentotal
Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan untuk
induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat.
Dosis pentotal
Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5% dengan pH 10.8,
tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.
Keuntungan pentotal
Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).
Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.
Tidak terdapat delirium
Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.
Komplikasi pentotal
Kontraindikasi pentotal
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan berikut:
Gangguan pernafasan
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Anemia
Alergi terhadap pentotal
14
b) Ketamin
Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas rapid setting general
anaesthesia, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun 1965.
Sifat ketamin :10
o Efek analgetiknya kuat
o Efek hipnotiknya ringan
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan halusinasi
o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak)
o Tekanan darah intrakranial meningkat
o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat sekitar20-25%
o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus)
Premedikasi pada anestesia umum ketamin
Pada anestesia umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan premedikasi dengan
obat-obat sebagai berikut:
Dosis ketamin
Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja sekitar 10-15
menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K (dilatasi dan kuretase) atau
untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 1 mg/Kg BB.
Indikasi anestesi ketamin
15
Dekompensasi kordis
Kelainan jiwa
Terjadi disorientasi
Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan dapat
menimbulkan pneumonia.
Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan posisi tidurnya
dibuat miring (ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat sedikit lebih
rendah.10
Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan
dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan
air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal
dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia
jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.11
1. Cairan prabedah
Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi anestesi untuk
mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut. Penilaian status cairan ini
didapat dari :
-
Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing terakhir,
jumlah dan warnya.
Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif dari status
cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan mukosa.
dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan
pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma
pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.11
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid
atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini perdarahan
selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi
hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 10 g/dl atau Hct 21 30%.
20 25% pada individu sehat atau anemia kronis.11
3. Cairan Pasca Bedah
Kebutuhan didasarkan pada kebutuhan basal (kebutuhan normal per hari) ditambah
kebutuhan pengganti (sejumlah cairan yang hilang akibat demam tinggi, poliuria, drainase
lambung, muntah, diare, atau perdarahan). Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).
c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.11
Pascaoperatif
Monitoring
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke
ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada
saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan
keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri,
pendarahan dari drain, dll.12
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan dilakukan
paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan
setiap 15 menit. Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan suhu
juga dilakukan. Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus
mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia sementara.
Pasien yang memiliki resiko tinggi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki resiko tinggi
hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan
17
tindakan operasi di daerah abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisis gas darah
dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen
benar-benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis atau
dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.12
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pascaoperasi. Kriteria yang digunakan
dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernapasan, dan aktivitas
motorik, seperti skor Aldrete. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total
adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.
Seluruh tindakan anestesi dicatat dalam lembaran khusus berisi tindakan yang dilakukan, obat
yang diberikan, status fisik pasien sebelum, selama, dan sesudah anestesi dilakukan sesuai
urutan waktu.12
Tabel 1. Skor Pemulihan Pasca-anestesi
yang butuh penanganan medis. Maka dari itu penanganan nyeri pasca operasi di bagi 2
medika mentosa dan non-medikamentosa :
1. Medikamentosa
Untuk mengatasi rasa nyeri pasca operasi, dokter dapat meresepkan obat untuk
meringankannya. Beberapa jenis obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri, antara
lain:
2. Non-medikamentosa
Selain menggunakan obat anti nyeri, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan
dirumah untuk mengatasi nyeri pasca operasi, antara lain:
Mengonsumsi makanan yang dianjurkan dokter atau ahli gizi, hal ini sangat
penting untuk mempercepat proses penyembuhan.
Relaksasi
otot
rangka
dipercaya
dapat
menurunkan
nyeri
dengan
mengalami penguatan oleh preeklamsia-eklamsia dan hal ini memudahkan terjadinya edema
paru. Hal ini penting, tekanan onkotik plasma berkurang bermakna pada kehamilan aterm
normal karena berkurangnya albumin serum, dan pada preeklamsia tekanan onkotik ini turun
semakin jauh.
Pemberian cairan intravaskular dalam jumlah sedang dan pencegahan ekspansi
volume dapat membatasi timbulnya komplikasi ini.14
Kebutaan
Pada sekitar 10 persen wanita, kejang eklamsia sedikit banyak diikuti oleh kebutaan.
Kebutaan juga dapat timbul secara spontan pada preeklamsia. Terdapat paling sedikit dua
penyebab: (1) ablasio retina dengan derajat bervariasi; dan (2) iskemia, infark, atau edema
lobus oksipitalis. Meski penyebabnya adalah patologi otak atau retina, prognosis pulihnya
penglihatan baik dan biasanya berseling-seling dalam seminggu. Sekitar 5 persen pasien akan
mengalami perubahan kesadaran yang substansial, termasuk koma menetap, setelah kejang.
Hal ini disebabkan oleh edema otak yang luas, sedangkan herniasi unkus transtentorium
dapat menyebabkan kematian pada pasien ini.14
Kematian
Pada sebagian kasus eklamsia, pasien meninggal mendadak bersamaan dengan kejang
atau segera sesudahnya, akibat perdarahan otak yang luas. Perdarahan subletal dapat
menyebabkan hemiplegia. Perdarahan otak lebih besar kemungkinan terjadi pada wanita yang
lebih tua dengan hipertensi kronis. Meskipun jarang, perdarahan dapat juga disebabkan oleh
ruptur aneurisma berry atau malformasi arteriovena.14
Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. Usahausaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :14
1.
2.
3.
Prognosis
Untuk ibu
Prognosis pasien-pasien preeklampsia baik jika tidak terjadi eklampsia. Kematian
20
karena preeklampsia kurang dari 0,1%. Jika terjadi kejang eklamtik, 5%-7% pasien akan
meninggal. Penyebab kematian meliputi perdarahan intrakranial, syok, gagal ginjal,
pelepasan prematur plasenta dan pneumonia aspirasi. Lebih lanjut, hipertensi kronik dapat
merupakan sekuele eklampsia.14
Untuk bayi
Kematian perinatal sebesar 20%. Sebagian besar bayi-bayi ini kurang bulan. Namun
dengan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, kematian ini mungkin dapat dikurangi
hingga <10%.14
Kesimpulan
Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan
koma. Kejang disini bukan akibat kelainan neurologis. Dan sebelum timbulnya gejala
eklampsia pastinya pasien sudah mengalami keadaan preeklampsia terlebih dahulu setelah itu
berlanjut menjadi eklampsia karena tidak mendapat penanganan. Pasien ibu hamil dengan
eklampsia masih dapat melahirkan secara normal apabila dalam keadaan stabil.
21
Daftar pustaka
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. h.1, 29-32, 46-8, 90, 125-9, 133.
2. Oswari J, Wulandari WD. Anestesiologi. Edisi ke-10. Jakarta: EGC; 2004. h. 2-5.
3. Benson RC, Pernoll ML. Buku saku obstetri dan ginekologi. Dalam: Primarianti SS,
Resmisari T, editor. Jakarta: EGC; 2008. h.366-9.
4. Sofian A. Rustam Mochtar sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. Edisi 3.
Jakarta: EGC; 2011. h.39-45.
5. Vanluchene
AL,
Vereecke
H,
Thas
O,
et
al.
Spectral
entropy
as
an
and
processed
midlatency
auditory
evoked
response.
Anesthesiology.
2004;h.101:34.
6. Bader AM, Fischer SP, Sweitzer B. Preoperative Evaluation. In : Millers Anesthesia. 8 th
ed. Editor: Miller RD. USA. Churchill Livingstone; 2009 : h.1002.
7. Arifin J, Harahap MS, Sasongko H. Persiapan Preanestesi. In : Anestesiologi. Editors:
Jatmiko HD, Soenarjo. Semarang. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010 : h.85 100.
8. Chowles CE. Anesthetic Management : Airway Management. In : Morgan & Mikhails.
13th ed. Editors: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. New York. The McGraw-Hill
Companies; 2013 :h. 313.
22
9. Soenarjo; Jatmiko, Heru Dwi. Anestesiologi. Semarang : Ikatan Dokter Spesialis Anestesi
dan Reanimasi. 2010. p.121-135.
10. Soenarto RF, Chandra S. BukuAjarAnestesiologi. Jakarta: FakultasKedokteran UI; 2012.
Hlm127-397.
11. Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan. Ed.3, Cet. 8. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: 2006. Hal 281 300
12. Aitkemhead AR, Smith G, Rowbotham DJ. Textbook of anesthesia. Ed. 5. Netherland:
Elsevier, 2007. h. 280-314, 484-508.
13. Anas, Tamsuri. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2006.
14. Taber B. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Dalam: Melfiawati, editor.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 1994.h.165.
23