You are on page 1of 7

Studi Kasus Pengelolaan Sampah di TPA Jatibarang, Semarang

Oleh Alfonds Andrew Maramis SSi MSi*

Di Indonesia, sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji dampak


dari pencemaran air lindi di sekitar TPA. Salah satunya yaitu penelitian yang
dilakukan oleh penulis, sebagai bentuk tugas akhir (tesis) di program pascasarjana
magister biologi terapan pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah.
Penelitian tersebut difokuskan pada telaah dinamika dan distribusi logam berat
dalam air sungai yang mendapat masukan air lindi TPA serta pengaruhnya
terhadap biota sungai. Sungai yang dipilih sebagai objek yaitu Sungai Kreo, salah
satu sungai besar yang terletak di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sungai Kreo ini
mendapat masukan air lindi dari TPA Jatibarang, yang merupakan tempat
pembuangan sampah terakhir dari Kota Semarang dan sekitarnya. Ironisnya,
sekitar 40 km sebelah hilir Sungai Kreo dari titik outlet air lindi TPA Jatibarang
terletak Perusahaan Air Minum (PAM) Kota Semarang.
Pengelolaan sampah di TPA Jatibarang awalnya menggunakan sistem sanitary
landfill, yang dibangun pada 1993 dengan luas 460.183 m2. Namun karena
keterbatasan dari pihak pengelola, pengelolaannya berubah menjadi open
dumping. TPA ini dibangun dengan bantuan dari Bank Dunia. Pada saat dibangun,
diperkirakan TPA ini bisa digunakan sampai 10 tahun ke depannya. Namun pada
2001, Bank Dunia menyatakan bahwa TPA ini sudah penuh dan harus dicari
lokasi yang baru. Kenyataan ini disebabkan karena tidak proporsionalnya volume
sampah yang dibuang dengan daya tampung TPA. Luas areal TPA Jatibarang
460.183 m2, dengan luas areal buangan 276.469,8 m2 atau sekitar 60 persen
dari luas totalnya. TPA ini mempunyai daya tampung sampah 4.147.047 m3,
dengan kedalaman rata-rata 40 m. Dalam kondisi normal, sampah yang dibuang di
TPA Jatibarang setiap hari mencapai sekitar 2.500 m3 atau sekitar 600 ton.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa tiga (Cu,
Fe, dan Zn) dari empat (tiga yang sudah disebutkan diawal + Cd) jenis logam
berat yang diukur pada beberapa stasiun di Sungai Kreo melampaui baku mutu air
sungai yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ada empat stasiun
yang ditentukan sebagai tempat pengambilan sampel. Stasiun pertama berada
sebelum titik outlet air lindi TPA (sebelah hulu), sedangkan ketiga stasiun
berikutnya berada setelah titik outlet air lindi (sebelah hilir). Analisis statistik dari
data kandungan logam berat tersebut menunjukkan bahwa pencemaran air lindi
pada air sungai berada pada tingkat signifikan.

Bukan itu saja, parameter keragaman biota sungai pun terjadi pergeseran akibat
pencemaran air lindi. Ada beberapa jenis makroinvertebrata bentik (jenis biota
sungai) yang terdapat melimpah pada daerah sebelah hulu masukan air lindi,
namun berkurang pada daerah sebelah hilir masukan air lindi TPA tersebut, begitu
juga sebaliknya. Tren kepadatan masing-masing spesies makroinvertebrata bentik
ini pada daerah sebelah hulu dan hilir dari masukan air lindi di Sungai Kreo
diperkuat dengan analisis statistik yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan
tersebut relatif signifikan.
Pengurangan jumlah akibat adanya masukan air lindi dialami oleh spesies
Hydropsyche sp. (Insecta: Trichoptera), Liebebiella deigma, dan Baetis sp.
(Insecta: Ephemeroptera). Spesies-spesies ini umumnya tidak toleran terhadap
adanya pencemaran senyawa organik maupun anorganik. Hal tersebut berbeda
dengan spesies Paragyractis sp. (Insecta: Lepidoptera) dan Chironomidae (Insecta:
Diptera), yang cenderung toleran terhadap adanya beban pencemar. Materi
pencemar berdampak seperti racun bagi spesies yang tidak toleran. Sebaliknya,
spesies yang toleran menggunakan materi pencemar sebagai nutrisi bagi
kelangsungan metabolisme di dalam tubuhnya. Berkurang maupun melimpahnya
spesies-spesies ini di habitatnya tergantung pada seberapa besar tingkat toleransi
terhadap pencemaran, karena setiap jenis makroinvertebrata bentik mempunyai
tingkat toleransi yang berbeda dengan yang lainnya.
Perencanaan/Penentuan Lokasi TPA
Berkaca dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis ingin berbagi masukan dengan
stakeholder khususnya pemerintah daerah-daerah yang ada di provinsi tercinta ini.
Keseluruhan proses pengelolaan sampah janganlah dilakukan secara asal-asalan.
Pengelolaan sampah secara baik dan teratur saja belum tentu tidak memberikan
masukan pencemar ke lingkungan, apalagi pengelolaan yang dilakukan dengan
serampangan. Penimbunan sampah yang efisien dan efektif berhubungan erat
dengan pembuangan sampah padat yang terkontrol pada atau di dalam lapisan
bawah dari kulit bumi. Aspek penting yang termasuk dalam pelaksanaan
penimbunan sampah yaitu: pemilihan lokasi, metoda dan pengoperasian
penimbunan sampah, terjadinya gas dan air lindi, dan pergerakan dan
pengontrolan gas dan air lindi di tempat penimbunan sampah.

Pemilihan Lokasi
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi penentuan
tempat pembuangan sampah padat yaitu: ketersediaan lahan, jarak pengangkutan
sampah, kondisi tanah dan topografi, hidrologi air permukaan, kondisi geologis
dan hidrogeologis, kondisi klimatologi (iklim), kondisi lingkungan lokal, dan
praktek pasca-penggunaan tempat. Salah satu syarat dari faktor ketersediaan lahan
yaitu lahan tersebut harus mempunyai masa pakai minimal 1 tahun. Jarak
pengangkutan sampah juga penting karena mempunyai dampak signifikan pada
biaya pengoperasian. Berdasarkan topografi dan kondisi tanah, materi tanah
penutup harus tersedia di dekat lahan tersebut. Dampak pengaliran air juga
merupakan aspek penting dalam hidrologi air permukaan. Seperti kasus yang
dibicarakan di atas, jangan sampai aliran air dari tempat penimbunan sampah ini
bermuara pada infrastruktur daerah yang penting, seperti perusahaan air minum
daerah (PAM) misalnya.
Faktor yang penting juga dalam pembukaan lahan penimbunan sampah yaitu
kondisi geologi dan hidrogeologi lahan tersebut, terutama menyangkut persiapan
penggunaan lahan. Hal yang tidak kalah penting yaitu kondisi klimatologi (iklim).
Lahan penimbunan sampah ini harus dibekali dengan perlengkapan tertentu agar
supaya operasi penimbunan sampah dapat dilakukan dalam musim hujan
sekalipun. Kebanyakan pengoperasian TPA tidak memperhatikan faktor ini.
Akibatnya lahan penimbunan sampah tidak dapat dioperasikan secara maksimal,
bahkan timbunan sampah dapat menyebabkan bencana. Sebut saja bencana
longsor yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung, pada awal 2005, yang
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Bencana ini santer dipublikasikan oleh
media elektronik maupun media cetak pada waktu itu, karena longsoran sampah
menimbun beberapa tempat peristirahatan dari pemulung-pemulung yang mencari
nafkah di areal TPA tersebut.
Faktor yang terkadang menimbulkan dilema dalam penentuan tempat
penimbunan sampah yaitu kondisi lingkungan lokal. Faktor ini bersinggungan
secara langsung dengan segi sosial masyarakat, karena di dalamnya terkandung
aspek estetika dari tempat penimbunan sampah. Tidak jarang adanya penolakan
dari masyarakat di dalam penentuan tempat penimbunan sampah. Sebut saja
contohnya, penolakan masyarakat sekitar terhadap penentuan lokasi TPA yang
direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara, yang pernah dimuat di
koran ini beberapa waktu yang lalu. Stigma dari sampah yang pada umumnya
mengeluarkan bau yang tidak sedap, debu, bahkan vektor penyakit, belum lagi
kebisingan yang ditimbulkan seperti tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat.
Faktor terakhir yang juga perlu untuk diperhatikan, yaitu faktor pasca-penggunaan

tempat penimbunan sampah. Sama seperti kegiatan pertambangan emas di


Ratatotok yang saat ini menjalani proses penutupan, dalam penentuan tempat
penimbunan sampah juga sudah harus memikirkan langkah ke depan (action plan)
apabila lahan ini sudah tidak bisa dipergunakan lagi untuk menimbun sampah.
Berkaitan dengan keterbatasan lahan, ditambah dengan peningkatan jumlah
sampah yang seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, proses pengelolaan
sampah di TPA mempunyai batasan umur pakai. Semakin lama TPA bisa dipakai
untuk menimbun sampah, tidak bisa dipakai sebagai patokan bahwa proses
penimbunan sampah berjalan dengan baik.
Metoda dan Pengoperasian Penimbunan Sampah
Untuk menggunakan secara efektif areal yang tersedia pada lahan penimbunan
sampah, sebuah rencana pengoperasian untuk penempatan sampah padat perlu
dipersiapkan. Operasi penimbunan biasanya dimulai dengan membangun
bendungan atau tanggul yang terbuat dari tanah yang berlawanan dengan di mana
sampah akan ditempatkan. Sampah kemudian disusun dan dipadatkan, kemudian
diberi lapisan penutup berupa tanah. Tingginya susunan sampah bisa disesuaikan
dengan luasan lahan buangan sampah dan volume sampah perharinya, namun
jangkauan ketinggian sampah (setelah dipadatkan) berdasarkan referensi berkisar
antara 23 m. Setelah mencapai ketinggian tersebut, timbunan sampah kemudian
ditutup dengan material tanah setebal 15 30 cm. Di atas timbunan yang sudah
ditutup tanah tersebut, masih dapat ditimbun lagi dengan sampah yang baru,
begitu seterusnya sampai mencapai tinggi akhir berdasarkan desain tempat
penimbunan sampah tersebut.
Lokasi di mana terdapat bagian yang curam secara alami atau artifisial (buatan)
sekalipun dimungkinkan untuk digunakan sebagai tempat penimbunan secara
efektif. Jurang, ngarai, tebing, terowongan, bahkan bekas galian tambang pun
dapat digunakan untuk tujuan ini. Teknik untuk menempatkan dan memadatkan
sampah padat bervariasi terhadap geometri dari lahan, karakteristik dari material
penutup, hidrologi dan geologi dari lahan, dan akses menuju lahan tersebut.
Penimbunan sampah pada lahan basah jarang digunakan karena potensi risiko
kontaminasi air tanah sekitar cukup tinggi, belum lagi dengan terbentuknya bau
yang tidak sedap, dan kestabilan struktur lahan. Jika terpaksa menggunakan lahan
basah seperti rawa, paya, daerah pasang surut, kolam, dan lubang untuk lahan
penimbunan, berbagai ketentuan khusus harus dibuat untuk menahan atau
menyisihkan aliran dari air lindi atau gas. Biasanya ketentuan awal yang harus
dilakukan yaitu mengeringkan lahan tersebut kemudian melapisi dasar lahan
dengan tanah lempung atau materi penutup lainnya yang tepat.

Terjadinya Gas dan Air Lindi


Gas-gas yang terbentuk dari penimbunan sampah termasuk di dalamnya yaitu:
udara, ammonia, karbon dioksida, karbon monoksida, hidrogen, hidrogen sulfida,
metan, nitrogen, dan oksigen. Karbon dioksida dan metan merupakan gas-gas
utama yang dihasilkan dari dekomposisi (pembusukan) anaerobik (tanpa udara)
dari komponen sampah padat organik. Nilai dari dekomposisi dalam penimbunan
sampah yang tidak terkelola dengan baik, seperti yang pernah diukur lewat
produksi gas (berdasarkan beberapa referensi), mencapai puncak di antara dua
tahun pertama dan kemudian secara perlahan menurun, dan berlanjut (pada
beberapa kasus), untuk periode 25 tahun bahkan lebih. Volume keseluruhan dari
gas yang dihasilkan selama dekomposisi anaerobik dapat diperkirakan melalui
reaksi kesetaraan kimia.
Seperti yang sudah didefinisikan di atas, air lindi merupakan cairan yang tertapis
dari sampah padat, yang mana material tersuspensi atau terlarut dalam sampah
padat ikut terekstrak ke dalam tapisan cairan tersebut. Pada kebanyakan tempat
penimbunan sampah, porsi cairan dari air lindi tersusun dari produksi cairan hasil
dekomposisi dari sampah dan cairan yang masuk ke tempat penimbunan dari
sumber luar, seperti aliran air permukaan, air hujan, air tanah, dan air dari mata air
bawah tanah.
Pergerakan dan Pengontrolan Gas dan Air Lindi
Di bawah kondisi ideal, gas-gas yang dihasilkan dari proses penimbunan sampah
boleh dilepaskan ke atmosfer atau, pada tempat penimbunan sampah yang sangat
besar dapat dikumpulkan sebagai bentuk produksi energi. Pada kebanyakan kasus,
lebih dari 90 persen volume gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah padat
terdiri dari metan dan karbon dioksida. Meskipun sebagian besar metan terlepas
ke atmosfer, konsentrasi metan yang tertinggal dapat mencapai angka lebih dari
40 persen dan menyebar menjauhi pusat terbentuknya sampai lebih dari 120 m
dari bagian tepi tempat penimbunan. Bila pelepasan ke atmosfer tidak terkontrol,
metan dapat terakumulasi di bawah bangunan atau lahan tertutup lainnya pada
atau dekat tempat penimbunan.
Tidak jarang kita mendapat informasi dari media masa bahwa ada masyarakat
yang kaget ketika dari dalam rumah mereka atau di sekitar pekarangan mereka,
keluar dari tanah, gas berbau tajam yang dapat terbakar. Fenomena ini sering
terjadi disekitar tempat penimbunan sampah yang masih aktif ataupun bekas

tempat penimbunan. Pernah terjadi di TPA Jatibarang, Kota Semarang, kebakaran


yang terjadi dengan sendirinya akibat akumulasi gas metan yang tinggi. Saking
tingginya,
kebakaran
ini
berlangsung
selama
seminggu
lebih.
Berbeda dengan metan, karbon dioksida yang mempunyai berat jenis sekitar 1,5
kali udara segar dan 2,8 kali metan, cenderung bergerak ke arah dasar tempat
penimbunan. Pada akhirnya, karena berat jenisnya, karbon dioksida akan bergerak
ke bawah melalui lapisan dasar tanah sampai menembus air tanah. Karena karbon
dioksida bisa larut dalam air, ini biasanya mengurangi pH tanah, sehingga dapat
meningkatkan hardness (kesadahan) dan kandungan mineral dari air tanah melalui
pelarutan kalsium dan magnesium karbonat.
Pergerakan gas ke samping yang diproduksi di tempat penimbunan dapat
dikontrol dengan memasang ventilasi yang terbuat dari materi yang lebih
permeabel (mudah tembus) daripada tanah sekelilingya. Pada tempat penimbunan
yang telah penuh dan tidak dilengkapi dengan material ventilator, dapat dibuat
beberapa sumur atau pipa gas di antara timbunan sampah, sehingga gas tidak
tertahan di dalamnya.
Di bawah kondisi normal, air lindi sering dijumpai di bagian dasar tempat
penimbunan. Angka rembesan air lindi dari dasar tempat penimbunan dapat
diestimasi melalui asumsi bahwa material di bawah tempat penimbunan sampai di
atas batas air telah penuh dan hadirnya lapisan tipis air lindi pada dasar timbunan.
Di bawah kondisi ini, angka pelepasan air lindi per unit area adalah setara dengan
nilai dari koefisien permeabilitas yang diekspresikan dalam satuan meter per hari.
Sebagaimana air lindi dapat masuk melalui lapisan dasar tanah, sebagian besar
unsur kimia dan biologi yang mula-mula terkandung dalam air lindi terlepas
melalui penyaringan dan teradsorpsi oleh materi penyusun lapisan tanah. Pada
umumnya, tingkat penyaringan dan adsorpsi ini tergantung pada karakteristik
tanah, khususnya kandungan tanah liat atau lempung. Mengingat air lindi dapat
masuk sampai menembus air tanah, tingkat penyaringan dan adsorpsi dapat diatur
sedemikian rupa menggunakan materi lempung sehingga resiko tercemarnya air
tanah oleh air lindi dapat ditekan.
Dewasa ini, masalah penentuan tempat penimbunan sampah semakin kompleks.
Keterbatasan lahan dan volume sampah semakin meningkat, mau tidak mau
penggunaan lahan penimbunan sampah secara efektif dan efisien perlu
diperhatikan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, dimana setiap wilayah
daerah dengan sendirinya harus memiliki setidaknya sebuah TPA yang memadai.
Barangkali, jarang ditemukan suatu daerah yang dengan besar hati mengijinkan
daerah lain untuk membuang sampah di wilayahnya. Sebaliknya, setiap daerah
biasanya mencari cara untuk dapat menempatkan sampahnya di luar wilayahnya,

dengan berprinsip pada slogan NIMBY not in my back yard. Apapun itu,
permasalahan mengenai persampahan yang sangat kompleks ini perlu dicari
solusinya, bukan ditangguhkan atau dikesampingkan.

You might also like