You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Korupsi pada dasarnya merupakan permasalahan umum yang hampir terjadi di seluruh
Negara. Korupsi berpengaruh pada empat elemen: politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di
bidang politik, korupsi merupakan halangan yang mendasar dari suatu demokrasi dan supremasi
hukum. Dalam sebuah sistem demokratik, perkantoran dan institusi kehilangan legitimasi mereka
pada saat mereka disalah gunakan untuk kepentingan pribadi. Walaupun hal ini adalah amat
berbahaya dalam sebuah alam demokrasi yang telah terbina, namun hal ini lebih berbahaya di
alam demokrasi yang baru muncul. Kepemimpinan politik yang akuntabel tidak akan pernah bisa
berkembang dalam sebuah iklim korupsi. Secara ekonomis, korupsi berujung pada penipisan
kekayaan negara. Korupsi adalah suatu tindakan yang amat merusak masyarakat. Jadi memang
bisa dikatakan bahwa korupsi membawa pengaruh yang amat besar pada kehidupan manusia
dalam berbagai cara.

Permasalahan korupsi tersebut pada dasarnya juga terjadi di benua Asia. Pertumbuhan
ekonomi yang cepat di berbagai negara di Asia Tenggara dan Asia Timur melibatkan pengaruh
pemerintah yang amat besar. Namun negara-negara di Asia Pasifik menderita karena korupsi,
dan di beberapa kasus bersifat endemis. Pada waktu yang bersamaan, terdapat beberapa contoh
menyangkut transparansi dan akuntabilitas di wilayah tersebut. Dengan bekerja sama secara
efektif, baik di tingkat pemerintah maupun tingkat non-pemerintah, para stakeholder dapat
berbagi praktek-praktek terbaik dalam rangka mengurangi tindak korupsi.

Di Asia Permasalahan korupsi bisa dibagi menjadi 2 bagian,yaitu korupsi di negara


berkembang dan di negara maju. Perbedaan utama korupsi di negara berkembang dan negara
maju adalah aktornya, di negara maju korupsi cenderung dilakukan secara kecil-kecilan, dalam
arti lain hanya melibatkan beberapa aktor tertentu, sedangkan di negara-negara berkembang
korupsi telah menjadi suatu hal yang bersifat sistemik bahkan bisa melibatkan para petinggi
negara1, yang akhirnya korupsi di negara berkembang diistilahkan extraordinary crimes karena
keterkaitannya satu perbuatan pidana dengan pidana lainnya, yang merugikan masyarakat baik
dari segi sosial,ekonomi dan kebudayaan.

Berangkat dari pemahaman tersebut,penulis berusaha membandingkan upaya-upaya


pemberantasan korupsi yang dilakukan di negara berkembang dan negara maju terutama di
wilayah Asia, yaitu dengan melakukan perbandingan di Indonesia sebagai negara berkembang
dan Korea Selatan sebagai negara maju.

1
Ulul Albab,Op cit ,hlm. X
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Perbandingan Sistem Politik Indonesia dan Korea Selatan

II.1.1 Sistem Politik Indonesia

Politik memiliki banyak definisi, diantaranya adalah menurut Austin Ranney, yang
mendefinisikan Politik sebagai proses pembuatan kebijakan pemerintahan (public policy), lalu
Ramlan Surbakti mendefinisikan politik sebagai proses interaksi antara pemerintah dan
masyarakat untuk kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Proses dalam sistem Politik mencakup serangkaian tindakan pengambilan keputusan baik oleh
lembaga Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif dalam rangka memenuhi atau menolak aspirasi
masyarakat. Sistem politik merupakan kesatuan antara struktur dan fungsi-fungsi Politik.
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk
satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta
melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok
individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara..

Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan
dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan
tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala
prioritasnya. Model sistem politik indonesia, sebagaimana yang tersirat dalam Undang- Undang
Dasar 1945 dan Pancasila, adalah Demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan
dan keadilan sosial. Model sistem politik yang demikian bukan adopsi, adaptasi maupun kooptasi
dari model sistem politik di negara manapun. Sebaliknya, nilai-nilai tersebut diatas merupakan
representasi dari keanekaragaman masyarakat indonesia yang pluralistik.

Indonesia merupakan negara dengan pemerintahan berbentuk Republik, dan Negara yang
berbentuk kesatuan berdasarkan UUD 1945. Didalam sistem pemerintahannya Indonesia
memiliki tiga lembaga, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, atau biasa disebut trias
politica. Di Indonesia, lembaga Legislatifnya adalah DPR dan DPD (bikameral), lembaga
Eksekutifnya dipimpin oleh seorang Presiden, sedangkan lembaga Yudikatifnya adalah
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Berdasarkan
penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensial. Tapi dalam praktiknya banyak
elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan
Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak
menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni
sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan
(distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang
Dasar 1945 :

a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu
organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.

b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan
dilakukan oleh 3 organ saja

c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-
lembaga negara lainnya.

II.1.2 Sistem Politik Korea Selatan

Korea telah mengembangkan ekonomi kapitalis dan politik demokrasi, yang menyajikan
suatu pandangan menuju kemungkinan landasan teoritis alternatif bagi politik demokratis. Dalam
demokrasi politik ini, menyebabkan adanya pembagian dalam pemerintahan. Pemerintahan Pusat
dan DPR Nasional Korea menjalankan pemerintahan Negara Republik Korea di DKI Seoul dan
di Kotamadya Kwochon. Sedangkan jawatan di pusatkan di daerah tingkat I, yaitu DKI, DI dan
Provinsi. Hubungan antara daerah dan pusat tadinya bersifat unilateral, akan tetapi dengan
adanya UU Otonomi Daerah berubah menjadi bilateral untuk mendorong demokratisasi dan
efisiensi pemerintahan daerah, menjamin pembangunan daerah yang seimbang dan memperkuat
dasar-dasar demokrasi politik.

Sistem politik Korea Selatan didasarkan pada suatu bentuk pemerintahan Republik
dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
Presiden dipilih oleh masyarakat untuk masa jabatan lima tahun. Sedangkan Perdana Menteri
sebagai Kepala Pemerintahan ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan Majelis Nasional.
Kabinet terdiri dari Dewan Negara yang ditunjuk oleh Presiden atas rekomendasi Perdana
Menteri. Majelis Nasional memiliki 299 anggota, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, 243
anggota dalam satu kursi konstituen dan 56 anggota oleh perwakilan proporsional.

Korea Selatan membagi pemerintahannya dalam tiga bagian yaitu Legislatif, Eksekutif,
dan Yudikatif. Lembaga eksekutif dipegang oleh presiden dan dibantu oleh perdana menteri.
Lembaga legislatif dipegang oleh dewan perwakilan yang menjabat selama 4 tahun. Pelaksanaan
sidang paripurna diadakan setiap setahun sekali atau berdasarkan permintaan presiden. Sidang ini
terbuka untuk umum namun dapat berlangsung tertutup. Lembaga eksekutif dan legislatif
terutama beroperasi di tingkat nasional, walaupun berbagai departemen di cabang eksekutif juga
melaksanakan fungsi lokal. Sedangkan Pengadilan konstitusional menjadi lembaga tertinggi
pemegang kekuasaan yudikatif yang terdiri atas 9 hakim yang direkomendasikan oleh presiden
dan dewan perwakilan. Hakim akan menjabat selama enam tahun dan usianya tidak boleh
melebihi 65 tahun pada saat terpilih. Lembaga yudikatif beroperasi pada tingkat nasional dan
lokal.

Matrix Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dan Korea Selatan

INDONESIA KOREA SELATAN

Tipe Pemerintahan Republik Republik

Eksekutif Presidensial : Presidensial:

Presiden Presiden

Perdana Menteri

Legislatif Bikameral: Unikameral:

DPR Majelis Nasional

DPD

Yudikatif MA MA

MK MK

KY

II.2 PERBANDINGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DAN KOREA


SELATAN

II.2.1 Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Permasalahan Korupsi di Indonesia merupakan sesuatu permasalahan yang


kompleks,menurut Robertson-Snape, permasalahan korupsi di Indonesia pada umumnya
disebabkan adanya budaya korupsi yang mengakar,budaya tersebut timbul akibat adanya budaya
patrionalisme dikalangan birokrasi. Permasalahan tersebut diperparah dengan adanya peran
pemerintah yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan perilaku Rent Seeking. menurut
Transparansi International dalam survey Global corruption barometer 2009, aktor korupsi di
Indonesia paling banyak dilakukan oleh Lembaga Legislatif yaitu dengan skor 4,42. Tingginya
korupsi tersebut akhirnya mulai diperhatikan oleh pemerintah pada Awal reformasi, dalam
perjalanannya pemberantasan korupsi di Indonesia mulai dicanangkan dengan serius, menurut
Hamilton-Hart pasca Era Reformasi.Pemerintah di Indonesia melakukan beberapa hal seperti:

1. Political Reform yaitu dengan memberikan wewenang DPR sebagaimana


mestinya sesuai dengan konsep Trias Politica dan dilakukannya pemilu
yaitu pada tahun 1999,sebagai simbol awal reformasi
2. Fiscal Transparency and Financial Monitoring yaitu dengan cara
melakukan audit fiskal yang dipimpin langsung oleh departemen keuangan
dan melakukan restrukturisasi perbankan yaitu dengan mendirikan BPPN
3. Legal Reform yaitu dengan cara melakukan reformasi di bidang yuridiksi
seperti melakukan fit and proper test,dan pembuatan hakim ad hoc
4. Direct Strategies against Corruption dalam rangka melakukan
pemberantasan korupsi yang masih ada pada era pasca reformasi,maka
dibentuklah badan/komisi independen yang bertujuan melakukan
pemberantasan korupsi
5. Foreign Involvement In the Reform Process dalam proses reformasi pihak
asing dilibatkan terutama dalam pengawasan agar tidak terjadi penyalah
gunaan
6. Civil Service Reform yaitu melakukan reformasi dalam PNS dengan cara
melakukan renumerasi,downsizing dll

Dari beberapa point tersebut ada satu point penting yang mempunyai peran penting dalam
pemberantasan korupsi,yaitu Direct Strategies against Corruption. Point tersebut menekankan
perlu adanya pembuatan suatu komisi independen dalam rangka melakukan pemberantasan
korupsi. Perwujudan point tersebut adalah didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang didirikan berdasarkan UU No 30 Tahun 2002. Upaya lainnya adalah pembuatan Komisi
Ombusdman Nasional.

II.2.2 Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada dasarnya didirikan dengan pertimbangan


bahwa kondisi korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu extraordinary crimes. Komisi ini
didirikan dengan dasar UU No 32 Tahun 2002. Komisi ini bekerjasama dengan Kepolisian
Republik Indonesia dan Kejaksaan. KPK didirkan dalam rangka menunjukan keseriusan
pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Secara Umum fungsi KPK berbeda dengan komisi-
komisi Independen yang dibuat pada masa sebelumnya.

2
Skor dihitung dari skala 1-5 (1:tidak korup sama sekali 5:sangat korup)
Adapun Fungsi KPK adalah sebagai berikut :

1. Koordinasi dan supervisi dengan lembaga-lembaga lainnya yang memiliki


kewenangan untuk memberantas korupsi;

2. Melakukan pra-penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK;

3. Melakukan tindakan pencegahan terhadap korupsi

4. Memonitor Penyelenggaraan Negara

II.2.3 Ombusdman Nasional

Ombudsman Republik Indonesia bermula dari dibentuknya "Komisi Ombudsman


Nasional" pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000.
Peran Komisi Ombudsman Nasional saat itu adalah melakukan pengawasan terhadap pemberian
pelayanan publik oleh penyelenggara negara, termasuk BUMN/BUMD, lembaga pengadilan,
Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Daerah, Departemen dan
Kementerian, Instansi Non Departemen, Perguruan Tinggi Negeri, TNI, dan sebagainya.

Dalam menjalankan kewenangannya KON berpegang pada asas mendengarkan kedua


belah pihak (imparsial) serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor
atau pun instansi yang dilaporkan. KON tidak memiliki kewenangan menuntut maupun
menjatuhkan sanksi kepada instansi yang dilaporkan, namun memberikan rekomendasi kepada
instansi untuk melakukan self-correction. Penyelesaian keluhan oleh KON merupakan salah satu
upaya alternatif penyelesaian masalah (alternative dispute resolution) di samping cara lainnya
yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang harus dikeluarkan.

Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai


kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta
atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna
DPR RI pada tanggal 9 September 2008.

Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas 9 anggota (termasuk 1 ketua dan 1 wakil
ketua), yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh
Presiden. Pada saat pertama kali dibentuk sebagai Komisi Ombudsman Nasional, anggotanya
dipilih dan ditetapkan langsung oleh presiden, yang terdiri dari satu orang Ketua, satu orang
Wakil Ketua dan enam orang Anggota. Namun dalam perkembangannya beberapa anggota
ditempatkan pada tugas lain dan/atau mengundurkan diri. Sehingga pada masa akhir sebelum
berubah nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia.

Ombudsman Republik Indonesia memiliki kewenangan mengawasi pemberian pelayanan


umum oleh penyelenggara negara dan pemerintah kepada masyarakat. Penyelenggara negara
dimaksud meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertanahan Nasional,
Pemerintah Daerah, Instansi Departemen dan Non-Departemen, BUMN, dan Perguruan Tinggi
Negeri, serta badan swasta dan perorangan yang seluruh/sebagian anggarannya menggunakan
APBN/APBD.

Fungsi Ombudsman Republik Indonesia meliputi :

1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan


publik.
2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan.
3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangannya.
4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga
pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan.
6. Membangun jaringan kerja.
7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

Proses penanganan kasus oleh Ombudsman :

• Setelah persyaratan dipenuhi pengaduan akan ditelaah oleh asisten Ombudsman.


• Apabila ternyata berkas yang dilampirkan belum lengkap, maka Staf Ombudsman
akan menghubungi agar segera melengkapinya. Bila dirasa perlu akan dilakukan
konsultasi di kantor Ombudsman Republik Indonesia.
• Setelah berkas pengaduan lengkap akan ditindaklanjuti sesuai kewenangan
Ombudsman yang diamanatkan dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia.

Pada hakikatnya Ombudsman mengembang misi untuk melakukan pengawasan secara


moral. Pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not
legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding) dan menjadi penyeimbang
(amicus curie) antara aparatur pemerintah dengan rakyatnya.Ombudsman tidak memberi
sanksi hukum sebagaimana Lembaga Peradilan (Magistrature of Sanction) akan tetapi
memberi pengaruh kepada aparatur(Magistrature of Influence).Dengan mengedepankan
pengawasan yang dilandasi serta diarahkan kepada moralitas diharapkan pemberian
pelayanan kepada masyarakat akan lebih meningkat kualitasnya. Institusi Ombudsman ingin
mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya pengawasan serta sanksi moral lebih
mendasar daripada pengawasan serta sanksi hukum.

II.3.1. Pemberantasan Korupsi Di Korea Selatan

Korupsi di korea selatan dimulai pada masa awal 1950 an, namun permasalahan tersebut
ditanggapi dengan cepat oleh pemerintah sehingga hal tersebut mengakibatkan korupsi di Korea
Selatan dapat dicegah. Keberhasilan tersebut akhirnya membuat korea dapa dikatakan sebagai
developmental state with a competent and uncorrupt bureaucracy3. Namun pada tahun
1997,pada saat krisis ekonomi melanda di Asia, Korupsi di Korea Selatan mulai
mewabah,bahkan hal tersebut pada perkembangganya menjadi semakin kronis. Meningkatnya
korupsi di Korea Selatan akhirnya membuat citra birokrasi di Korea Selatan memburuk, menurut
IMF timbulnya korupsi di birokrasi Korea Selatan tersebut pada dasarnya disebabkan adanya
Crony Capitalism. Permasalahan lainnya juga yang menyebabkan timbulnya korupsi di Korea
Selatan adalah adanya budaya Confucianism. Dengan adanya budaya tersebut telah
menyebabkan adanya suatu jarak antar penguasa dengan yang diperintah, sehingga cenderung
tidak adanya transparansi,akibat tidak adanya jarak tersebut. Aktor Korupsi di Korea selatan
menurut Transparansi International dalam survey Global corruption barometer,aktor korupsi di
Korea Selatan paling banyak dilakukan oleh Partai politik dengan skor 4,34.

II.3.2 The Korea Independent Commission Against Corruption

Tingginya tingkat korupsi tersebut tentunya membuat pemerintah Korea Selatan harus
melakukan pemberantasan korupsi yang tepat. Dalam rangka upaya memberantas korupsi,
pemerintah Korea Selatan pada era presiden Kim Dae Jung membuat suatu komisi independen
yang berguna untuk melakukan pemberantasan korupsi. Yaitu dengan mendirikan Korea
Independent Commission Against Corruption (KICAC). Komisi tersebut didirkan dengan dasar
UU Anti Korupsi Korea yang disahkan pada tahun 2001.

KICAC pada dasarnya mempunya beberapa fungsi yaitu

1. Mengembangkan dan mengkordinir gerakan anti korupsi secara nasional


2. Melakukan evaluasi terhadap kebijakan anti korupsi
3. Merekomendasikan pengembangan pada suatu institusi dalam rangka
melakukan reformasi birokrasi
3
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/opinon/2009/07/137_48563.html
4
Skor dihitung dari skala 1-5 (1:tidak korup sama sekali 5:sangat korup)
4. Menerima laporan korupsi dan melindungi saksi
5. Meningkatkan kesadaran anti korupsi yaitu dengan melakukan pelatihan
dini seperti di bidang pendidikan

Dari berbagai penjelasan tersebut ada satu point penting yaiu point tentang melindungi
saksi. Point tersebut merupakan salah satu program unggulan KICAC. Point tersebut
menekankan bahwa saksi akan dilindungi dan diberikan kompensasi sekitar 2 juta won. KICAC
dalam perjalanannya pada tahun 2008,digabung dengan Ombudsman Nasional Korea,
penggabungan tersebut tidak memberikan perubahan fungsi dari KICAC itu
sendiri,penggabungan KICAC dengan Ombudsman Nasional Korea ditujukan dalam rangka
melakukan Integrasi untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang terpadu.

II.3.3 The Anti-Corruption & Civil Rights Commission (ACRC)

Anti-Corruption & Civil Rights Commission (ACRC) merupakan lembaga yang didirikan
pada 29 Febuari 2008. Dasar berdirinya adalah UU No. 8878 tentang pendirian ACRC.
Lembaga tersebut merupakan gabungan dari 3 lembaga negara yaitu gabungan dari KICAC,
Ombudsman Nasional Korea,dan Administrative Appeals Commission, gabungan ke tiga
lembaga tersebut diharapkan mampu memberikan suatu sistem pemberantasan korupsi yang
lebih baik. Dalam hal lainnya penggabungan ke tiga lembaga tersebut berusaha meminimalisir
konflik kepentingan yang ada antar lembaga.

Fungsi ACRC antara lain sebagai berikut :

1. Menangani pengaduan masyarakat dan memperbaiki sistem administrasi yang tidak


efisien

2. Membentuk Birokrasi yang bersih dan bebas korupsi dengan menciptakan peraturan
yang bertujuan preventif

3. Melindung Individu dari praktek Maladministrasi dengan cara memberikan legitasi


dalam rangka menangani masalah tersebut
Tabel Perbandingan KPK dengan KICAC

KPK KICAC

Dasar Hukum UU No 32 Tahun 2002 tentang Tindak UU No.6494, 24 Juli 2001


Pidana Korupsi tentang anti korupsi

Struktur Susunan KPK terdiri atas Ketua KPK dan Susunan KICAC terdiri dari 9
Organisasi 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi anggota termasuk 1 ketua dan
Pemberantasan Korupsi (Pasal 26) 2 anggota independen (Pasal
12)

Fungsi 1. Koordinasi dan supervisi dengan1. Mengembangkan dan


lembaga-lembaga lainnya yang mengkordinir gerakan anti
memiliki kewenangan untuk korupsi secara nasional
memberantas korupsi; 2. Melakukan evaluasi
terhadap kebijakan anti
2. Melakukan pra-penyelidikan,
korupsi
penyidikan, dan penuntutan terhadap
TPK; 3. Merekomendasikan
pengembangan pada suatu
3. Melakukan tindakan pencegahan institusi dalam rangka
terhadap korupsi melakukan reformasi
birokrasi
4. Monitor penyelenggaraan Negara
4. Menerima laporan korupsi
Pasal 6 dan melindungi saksi
5. Meningkatkan kesadaran
anti korupsi yaitu dengan
melakukan pelatihan dini
seperti di bidang
pendidikan

Pasal 11
Tabel Perbandingan Ombudsman Indonesia dengan ACRC

Ombudsman Indonesia ACRC

Dasar Hukum KEPPRES No 44 tahun 2000 UU No. 8878 tentang


pendirian ACRC
Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008

Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia ACRC terdiri dari 15


terdiri atas 9 anggota (termasuk 1 anggota,termasuk 3 wakil
ketua dan 1 wakil ketua

Fungsi 1. Menerima Laporan atas dugaan 1. Menangani pengaduan


Maladministrasi dalam masyarakat dan
penyelenggaraan pelayanan memperbaiki sistem
publik. administrasi yang tidak
2. Melakukan pemeriksaan efisien
substansi atas Laporan.
3. Menindaklanjuti Laporan yang2. Membentuk Birokrasi yang
tercakup dalam ruang lingkup bersih dan bebas korupsi
kewenangannya. dengan menciptakan
4. Melakukan investigasi atas peraturan yang bertujuan
prakarsa sendiri terhadap preventif
dugaan Maladministrasi dalam3. Melindung Individu dari
penyelenggaraan pelayanan praktek Maladministrasi
publik. dengan cara memberikan
5. Melakukan koordinasi dan kerja legitasi dalam rangka
sama dengan lembaga negara menangani masalah
atau lembaga pemerintahan tersebut
lainnya serta lembaga
kemasyarakatan dan 4. Melakukan
perseorangan. Investigasi/Penindak
6. Membangun jaringan kerja. lanjutan dari Laporan yang
7. Melakukan upaya pencegahan diterima
Maladministrasi dalam
5. Membuat Rancangan
penyelenggaraan pelayanan
Pemberantasan Korupsi
publik.
8. Melakukan tugas lain yang Pasal 12
diberikan oleh undang-undang.
Pasal 7 UU No 37 Tahun 2008

BAB III

KESIMPULAN

1. Permasalahan Korupsi Di Indonesia dan Korea Selatan pada umumnya hampir sama,yaitu
adanya budaya patrionalisme yang mengakar didalam birokrasi mengakibatkan timbulnya
budaya korupsi. Budaya patrionalisme di Indonesia dapat dilihat dari budaya orang jawa yang
mendefinisikan kekuasaan sebagai sesuatu yang cenderung homogen. Sedangkan budaya
patrionalisme di Korea Selatan dapat dilihat dari adanya Confucianism di dalam birokrat.
2. Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Korea Selatan menggunakan metode yang
sama, kesamaan tersebut dilihat dari adanya suatu komisi Independen yang bertujuan untuk
memberantas Korupsi

3. Pendekatan yang dilakukan oleh Indonesia dan Korea Selatan berbeda, Korea Selatan
menekanakn pada pendekatan Halus yaitu preventif,sedangkan pendekatan yang dilakukan
oleh Indonesia bersifat Keras atau disebut juga dengan penindakan

4. Aktor korupsi di Korea Selatan dan Indonesia Kurang lebih sama yaitu legislatif dan Partai
Politik

Daftar Pustaka

Arifianto, Alexander. 2006. Corruption in Indonesia: Causes History, Impacts, and Posiible
Cures
Bahrin. 2004. Dampak Korupsi Terhadap Negara dan Penanggulangannya.Bogor: IPB
Davisen, Soren, Vishnu, Juwono, dan David G. Timberman. 2006. Curbing Corruption in
Indonesia 2004-2006. CSIP and USINDO
Hamzah, Adit. 1985 Korupsi: Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta: Akademika
Presindo
Hamilton-Hart, Natasha. 2001. 67-63. Anti-Corruption Strategies in Indonesia dalam Buletin Of
Indonesia Economic Study, Vol.37, No.1 (hlm: 65-82) Indonesia: Project ANU
Robertson-Snape, Fiona. 1999. Corruption, Collusion and nepotism in Indonesia, dalam Thirld
Wolrld Quaterly,Vol.20,No.3
Ulul Albab. 2009. A to Z korupsi. Surabaya:Jaring Pena
UU RI No 32 Tahun 2002 Tentang pembentukan KPK

Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000.

UU Korea Selatan No UU No.6494 tentang anti korupsi

UU No. 8878 tentang pendirian ACRC

http://www.icac.org.hk/newsl/issue22eng/button3.htm diakses pada 18 April 2010 Pukul 18:00

http://www.icac.org.hk/newsl/issue18eng/button2.htm diakses 18 April 2010 Pukul 18:20

www.transparancy.org/Global Barometer Corruption 2009... diakses pada tanggal


18 April 2010 Pukul 17:00

You might also like