You are on page 1of 57

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HALUSINASI

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Halusinasi merupakan akibat adanya gangguan dalam proses berpikir dan
orientasi realitas. Individu tidak mampu membedakan rangsangan internal dan
eksternal. Halusinasi didefinisikan sebagai persepsi sensori dari suatu obyek tanpa
adanya suatu rangsangan dari luar. Gangguan persepsi ini meliputi seluruh panca
indra.
Disfungsi yang terjadi pada halusinasi menggambarkan hilangnya kemampuan
menilai realitas, klien hidup dalam dunianya sendiri dan merasa terganggu dalam
interaksi sosialnya sehingga menyebabkan gangguan berhubungan sosial, komunikasi
susah, dan kadang-kadang membahayakan diri klien, orang lain maupun lingkungan,
menunjukan bahwa klien memerlukan pendekatan asuhan keperawatan secara intensif
dan komprenhensif.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu obyek atau gambaran
dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem pengindraan (Ermawati, dkk, 2009).
Halusinasi adalah distorsi persepsi yang terjadi pada respon neurobilogikal yang
maladaptive (Struat and Sundeen, 1998).
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang
menibulkannya atau tidak ada obyek (Sunardi, 2005).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apa pun pada pancaindra,
dan terjadi dalam keadaan sadar/bangun (Maramis, 2009).
2.2 Jenis-Jenis Halusinasi
1.
Halusinasi penglihatan (visual, optik) merupakan halusinasi yang merupakan
stimulus pemglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometris,
2.

gambaran kartun, orang atau binatang dan atau panorama yang luas dan komplek.
Halusinasi pendengaran (auditif, akustik) merupakan halusinasi yang seolah-olah
mendengar suara, paling sering suara orang. Suara dapat berkisar dari suara yang
sederhana sampai suara orang berbicara menganai klien, klien mendengar orang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien dan meminta klien

3.

untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang melakukan hal yang bahagia.


Halusinasi penciuman (olfaktori) merupakan halusinasi yang seolah-olah
mencium bau busuk, amis, atau bau yang menjijikan seperti darah, urin atau

4.

feses.
Halusinasi pengecap (gustatorik) merupakan halusinasi seolah-olah rasa

5.

mengecap rasa sesuatu.


Halusinasi perabaan (taktil) merupakan perasaan seperti di raba, disentuh, ditiup,

6.

disinari atau seperti ada ulat bergerak dibawah kulitnya.


Halusinasi kinestetik merupakan halusinasi seolah-olah merasa badanya bergerak
dalam sebuah ruang, atau anggota badannya bergerak misalnya (misalnya

7.
8.

anggota badan, bayangan atau phantom limb).


Halusinasi visceral merupakan perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya.
Halusinasi hipnagogik merupakan halusinasi yang ada kalanya pada seorang yang
normal, tepat sebelum tertidur persepsi sensori bekerja salah.

9.

Halusinasi hipnopompik adalah halusinasi terjadi tepat sebelum terbangun penuh

10.

dari tidurnya.
Halusinasi histerik merupakan halusinasi yang timbul pada neurosis histerik
karena konflik emosional.

2.3 Faktor Penyebab Halusinasi


1. Faktor predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak ditermia lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka dalam tubuh akan dihasilkan sesuatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffenon dan Dimatritransferasi
(DMP).

Akibat

stress

berkepanjangan

menyebabkan

teraktivasinya

neurotransmitter otak. misalnya ketidakseimbangan asetilkolin dan dopamine.


4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dalam alam nyata menuju alam khayal.
5) Faktor Genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia
cenderung mengalami skizofrenia. Hasil study menunjukkan bahwa faktror
keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor Presipitasi
Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, tidak dapat membedakan keadaan nyata atau tidak nyata.
Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seseorang individu sebagai mahluk yang
dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat

dilihat dari 5 dimensi yaitu:


1) Dimensi Fisik : halusinasi dapat disebabkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga derilium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional : perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi Intelektual : dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi Sosial : klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal
dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak di dapatka dalam dunia nyata.
5) Dimensi Spiritual : secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.

2.4 Tanda dan gejala


1. Halusinasi penglihatan
1)
Melirikkan mata kekiri dan kekanan seoerti mencari siapa atau apa yang
sedang dibicarakan
2)
Mendengarkan penuh perhatian dengan orlang lain yang sedang tidak
berbicara atau pada benda seperti mebel.
3)
Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak
tampak
4)
Menggerak-gerakan mulut atau seperti sedang berbicara atau menjawab
suara
5)
Ketakutan pada objek yang di lihat
6)
Tatapan mata pada tempat tertentu
2. Halusinasi pendengaran

1) Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakuti oleh orang lain, benda mati
atau stimulus yang tidak tampak
2) Tiba-tiba berlari keruangan lain
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
5) Menutup telinga
6) Mulut komat-kamit, ada gerakan tangan
3. Halusinasi penciuman
1) Hidung dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
2) Mencium bau tubuh.
3) Mencium bau udara ketika sedang berjalan kearah orang lain.
4) Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau darah.
5) Tipe halusinasi ini sering menyertai klien demensia, kejang atau penyakit
serebro vaskuler.
4. Halusinasi perabaan
1) Klien mengatakan ada sesuatu yang menggeranyangi tubuh seperti tangan,
binatang kecil, makhluk kecil.
2) Merasakan sesuatu di permukaan kulit, merasakan sangat panas atau
dingin,merasakan tersengat aliran listrik.
3) Menggaruk-garuk, mengusap, meraba-raba permukaan kulit.
4) Terlihat menggerak-gerakan badan seperti merasakan sesuatu rabaan
5. Halusinasi pengecapan
1) Meludahkan makanan atau minuman
2) Menolak untuk makan, minum, atau minum obat
3) Tiba-tiba meninggalkan meja makan
6. Halusinasi kinestetik
1) Klien melaporkan bahwa fungsi tubuhnya tidak dapat terdeteksi misalnya tidak
adanya denyutan di otak atau sensasi pembentukan urine dalam tubuhnya,
perasaan tubuhnya melayang di atas bumi
2) Klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan sesuatu yang
aneh tentang tubuhnya.
2.5 Tahapan halusinasi
1. Stage I : sleep disorder
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi. Klien merasa banyak masalah,
ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya
banyak masalah.masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi
misalnya : kekasih hamil, terlibat narkoba, di khianati kekasih, masalah di kampus,
PHK di tempat kerja, penyakit, hutang, nilai di kampus, DO, dsb. Masalah terasa
menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi
terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga
menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal sebagai pemecahan
masalah.

2. Stage II : comforting moderate level of ansiety


Halusinasi secara umum dia terima sebagai sesuatu yang alami. Pasien mengalami
emosi yang berlanjut seperti adanya perasan cemas, kesepian, perasaan berdosa,
ketakutan dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia
beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sesnsorinya dapat ia kontrol bila
kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada keenderungan klien merasa nyaman
dengan halusinasinya.
3. Stage III : Condeming severe level of anxiety
Secara umum halusinasi ssering mendatangi klien. Pengalaman sensori klien
menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi
mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek
yang dipersepsikan. Klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas
waktu yang lama.
4. Stage IV : controlling severe level of anxiety
Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Klien mencoba melawan
suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian
bila halusinasinya berakhir . dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik
5. Stage V : conquering panic level of anxiety
Klien mengalami gangguan dalam menilailingkungannya. Pengalaman sensorinya
terganggu klien mulai merasa terancam dengan datangnya sura-suara terutama bila
klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi berlangsungselama minimal 4 jam atau seharian bila
klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN HALUSINASI
3.1 Pengkajian Keperawatan
Sangat penting untuk mengkaji perintah yang diberikan lewat isi halusinasi klien.
Karena mungkin saja klien mendengar perintah menyakiti orang lain membunuh atau
loncat jendela. Tindakan dalam melakukan pengkajian :
1. Membina hubungan saling percaya dengan pasien
Tindakan pertama dalam melakukan pengkajian klien dengan halusinasi adalah
membina hubungan saling percaya sebagai berikut :
1) Awali pertemuan dengan selalu mengucapkan salam,misalnya : Assalamualaikum,
selamat pagi, selamat siang, selamat malam atau sesuai konteks agama.
2) Berkenalan dengan pasien. Perkenalan nama lengkap dan nama panggilan perawat
termasuk peran, jam dinas, ruangan, dan senang dipanggil dengan apa. Selanjutnya
perawat menanyakan nama klien serta senang dipanggil apa.
3) Buat kontrak asuhan. Jelaskan kepada pasien tujuan kita merawat klien, aktivitas
apa yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan itu, kapan aktivitas akan
dilaksanakan, dan berapa lama akan dilakukan aktivkitas tersebut.
4) Bersikap empati yang ditunjukkan dengan : mendengarkan keluhan pasien dengan
penuh perhatian, tidak membantah dan tidak menyokong halusinasi pasien, segera
menolong pasien jika pasien membutuhkan perawat.
2. Mengkaji data subjektif dan obyektif
1) Di rumah sakit jiwa indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami pasien
gangguan jiwa adalah halusinasi suara, 20% halusinasi penglihatan, dan 10%

adalah halusinasi penciuman, pengecapan dan perabaan. Mengakaji halusinasi


dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku pasien dan menanyakan secara
verbal apa yang sedang dialami pasien
2) Data objektif dikaji perawat dengan cara mengobservasi perilaku pasien,
memeriksa,mengukur, sedangkan data subjektif di dapatkan dengan cara
wawancara, curahan hati, ungkapan klien, apa yang dirasakan dan didengar klien
secara subjektif. Data ini di tandai dengan klien menyatakan dan atau klien
merasakan. Contoh:
Jenis Halusinasi
Halusinasi
Dengar
(Auditorihearing voices or
sounds)

Data Subjektif
1) Mendengar
melakukan

suara

menyuruh

sesuatu

Data Objektif
1) Mengarahkan

yang

telinga pada sumber

berbahaya
2) Mendengar suara atau bunyi
3) Mendengar
suara
yang

suara
2) Bicara atau tertawa

mengajak bercakap-cakap
4) Mendengar seseorang yang
sudah meninggal
5) Mendengar
suara
mengancam

diri

yang

klien

atau

sendiri
3) Marah-marah tanpa
sebab
4) Menutup telinga
5) Mulut komat-kamit
6) Ada gerakan tangan

orang laing atau suara lain yang


Halusinasi

membahayakan
1) Melihat seseorang yang sudah

Penglihatan

meninggal,

(Visual-seeing

tertentu melihat bayangan atau

persons or

hantu

things)

menakutkan,

atau

melihat
sesuatu
cahaya,

makhluk
yang
monster

1) Tatapan mata pada


tempat tertentu
2) Menunjuk ke arah
tertentu
3) Ketakutan

pada

objek yang dilihat

yang memasuki perawat.


3. Mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi
Perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang
dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu
terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.
Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi
terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya
halusinasi.
4. Mengkaji respon terhadap halusinasi
Untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respon klien saat halusinasi

muncul, perawat dapat menanyakan pada klien hal yang dirasakan atau dilakukan saat
halusinasi timbul. Perawat dapat menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat
dengan klien, dapat juga mengobservasi dampak halusinasi pada pasien, jika halusinasi
timbul.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1.
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
2.
Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan
3.
Isolasi Sosial
3.3 Tindakan Keperawatan
1. Tujuan keperawatan
1) Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya
2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya
3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan keperawatan
1)
Membantu pasien mengenali halusinasi
Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusi dengan
pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar, dilihat, atau diraba), waktu
terjadi halusinasi , frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
2)

halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul.


Melatih pasien mengontrol halusinasi
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat
melatih pasien 4 cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi.

3)

Keempat cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut:


Menghardik halusinasi
Merupakan cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak
halusinasi yang muncul. Pasein dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya. Jika ini dapat
dilakukan pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti
halusinasi muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini,
pasien tidak akan larut untuk menuruti halusinasinya. Berikut ini tahapan
intervensi yang dilakuakan perawat dalam mengajarkan pasien. Tahapan
tindakan meliputi:
a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi
b. Memperagakan cara menghardik
c. Meminta pasien memeragakan ulang
d. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.

4)

Melatih bercakap-cakap dengan orang lain


Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol halusinasi.
Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain, terjadi distraksi, fokus

perhatian pasien akan beralih dari halusinasi kepercakapan yang dilakukan


5)

dengan orang lain.


Melatih klien beraktivitas secara terjadwal
Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan
diri melakukan aktivias yang teratur. Libatkan klien dalam terapi modalitas,
untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi dengan menyibukan diri
dengan membimbing klien membuat jadwal yang teratur. Dengan beraktivitas
secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang
sering mencetuskan halusinasi. Untuk itu klien yang mengalami halusinasi bisa
dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara beraktifitas secara teratur
dari bangun bagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam satu minggu. Tahapan
intervensinya sebagai berikut:
(1) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi.
(2) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien.
(3) Melatih pasien melakukan aktivitas.
(4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang sudah
dilatih.
(5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan.
(6) Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
Agar klien mampu mengontrol halusinasi, maka perlu dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien gangguan
jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga pasien
mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi
semula akan membutuhkan waktu. Berikut ini kegiatan agar klien patuh
menggunakan obat:
a. Jelaskan pentingnya penggunaan obat
b. Jelaskan akibat jika obat tidak digunakan sesuai program
c. Jelaskan akibat bila putus obat
d. Jelaskan cara untuk mendapatkan obat
e. Jelaskan cara menggunakan obata dengan prinsip lima benar (benar obat,
benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).
a) Pemberian Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik yang biasanya deiatasi
dengan menggunakan obat-obatan psikotik antara lain, golongan
Butirofenon: Haloperidol, Haldon, Serenace, Ludomer.
Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 35mg secara
IM. Pemberian injeksi biasanya cukup 324 jam. Setelahnya klien
diberikan obata per-oral 31,5 mg atau 35 mg. Golongan Penotiazene:
Chlorpromazene/ Largacitile/ Promacitile (Biasannya diberikan per-oral).
Kondisi akut biasanya diberikan 3100 mg. Apabila kondisi sudah stabil

dosis dapat dikurangi 1100 mg pada malam hari saja.


b) Memantau efek samping obat
Perawat perlu memahami efek samping yang ditimbulkan oleh obat-obat
psikotik seperti mengantuk, tremor, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik
sebelah, hipersaliva, mata melihat ke atas. Untuk mengatasi ini biasanya
dokter memberikan obat antiparkinsonisme.
c) Melibatkan keluarga dalam tindakan
Diantara penyebab kambuh yang paling sering adalah faktor keluarga dan
klien itu sendiri. Keluarga adalah support system terdekat dan sering
bersama klien. Keluarga yang mendukung klien secara konsiten akan
membuat klien mandiri dan patuh mengikuti program pengobatan. Salah
satu tugas perawat adalah melatih keluarga agar mampu merawat klien
gangguan jiwa dirumah. Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan
(HE) kepada keluarga, informasi yang perlu disampaikan kepada
keluarga, meliputi:
(a) Pengertian Halusinasi
(b) Jenis Halusinasi yang dialami
(c) Tanda dan gejala Halusinasi
(d) Proses terjadinya Halusinasi
(e) Cara merawat pasien Halusinasi
(f) Cara berkomunikasi
(g) Pengaruh pengobatan dan tata cara pemberian obat
(h) Pemberian aktivitas pada klien
(i) Sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau
(j) Pengaruh stigma masyarakat terhadap kesembuhan klien.
SP 1 pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama: menghardik halusinasi.
Orientasi:
assalamualaikum D. saya perawat yang akan merawat D. nama saya SS, saya senang
dipanggil S. nama D siapa? Senang dipanggil apa?
bagaimana perasaan D hari ini? Apa keluhan D saat ini?
baiklah bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini D dengar
tetapi tak tampak wujudnya? Dimana kita duduk? Diruang tamu? Berapa lama?
Bagaimana kalau 30 menit?
Kerja:
apakah D mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu?
Apakah terus menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan paling sering D dengar
suara? Berapa kali sehari D alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada
waktu sendiri?
apa yang D rasakan saat mendengar suara itu?
apa yang D lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan itu suara-suara bisa

hilang?

Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu

muncul.
D, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan
menghardik suara-suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat
secara teratur.
bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik
caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung D bilang, pergi saya
tidak mau dengar.. saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang
sampai suara itutak terdengar lagi. Coba D peragakan! Nah begitubagus! Ya bagus D
sudah bias.
Terminasi:
bagaimana perasaan D setelah peragaan latihan tadi? kalau suara-suara itu muncul
lagi, silahakan coba cara tersebut! Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau
jam berapa saja latihannya? (ssaudara masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi
dalam jadwal kegiatan harian pasien). Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar
latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang kedua? Jam berapa D? bagaimana
kalau 2 jam lagi? Berapa lama kita akan berlatih? Dimana tempatnya?
baiklah, sampai jumpa. Assalamualaikum.
SP 2 pasien: melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara yang kedua:
bercakap-cakap dengan orang lain.
Orientasi:
assalamualaikum D. bagaimana perasaan D hari ini? Apakah suara-suaranya masih
muncul? Apakah sudah dipakai cara yang sudah kita latih? Berkurangkan suara-suara?
Bagus! Sesuai janji kita tadi saya akan latih scara yang kedua untuk mencegah halusinasi
dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau
dimana? Disini saja.
Kerja:
cara kedua untuk mencegah halusinasi yang lain adalah dengan bercakap-cakap dengan
orang lain. Jadi kalau D mulai mendengar suara-suara, langsung saja cari teman untuk
diajak ngobrol. Minta teman untuk ngobrol dengan D. contohnya begini:.. tolong saya
mulai dengar suara-suara, ayo ngbrol dengan saya! Atau kalau ada orang dirumah
misalnya kakak D katakana: kak, ayo ngbrol dengan D. D sedang dengar suara-suara.
Begitu D. coba D lakukan seperti saya tadi lakukan. Ya, begitu bagus! Coba sekali lagi!
Nah, latih terus ya D.
Terminasi:
bagaimana persaan D setelah latihan ini? Jadi sudah berapa cara yang D pelajari
untuk mencegah suara-suara itu? Bagus! Cobalah kedua cara ini kalau D mengalami

halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian D. mau
jam berapa latihan bercakap-cakap? Nah nanti lakukan secara teratur serta sewaktuwaktu suara itu muncul! besok pagi saya akan kemari lagi. Bagaimana kalau kita latih
cara yang ketiga yaitu melakukan aktivitas terjadwal mau jam berapa? Bagaimana
kalau jam 10.00? mau dimana? Disini lagi? Sampai besok ya. Assalamualaikum
SP 3 pasien: melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara yang ketiga:
Melaksanakan aktivitas terjadwal.
Orientasi:
assalamualaikum D, bagaimana perasaan D hari ini? Apakah suara-suaranya masih
muncul? Apakah sudah dipakai dua cara yang sudah kita latih? Bagaimana hasilnya?
Bagus!. Sesuai janji kita , hari ini kita akan belajar cara ketiga untuk mencegah
halusinasi yaitu melakukan kegiatan terjadawal. Mau dimana kita bicara? Baik kita
duduk diruang tamu. Berapa lama kita bicara? Bagaimana kalau 30 menit? Baiklah.
Kerja:
apa saja yang biasa D lakukan? Pagi-pagi apa kegiatannya? Terus jam beriktnya (terus
ajak sampai didapatkan kegiatan sampai malam). Wah banyak sekali kegiatannya. Mari
kita latih dua kegiatan hari ini (latih kegiatan tersebut). Bagus sekali D bisa lakukan.
Kegiatan ini dapat D lakukan untuk mencegah halusinasi. Kegiatan yang lain akan kita
latih agar pagi sampai malam ada kegiatan.
Terminasi:
bagaimana perasaan D setelah kita bercakap-cakap cara yang ketiga untuk mencegah
suara-suara? Bagus sekali! Coba sebutkan 3 cara yang sudah kita latih untuk mencegah
suara-suara itu. Bagus sekali! Mari kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian D. coba
lakukan sesuai jadwal ya! (saudara dapat melatih kegiatan yang lain pada pertemuan
berikut sampai terpenuhi seluruh aktivitas dari pagi sampai malam). Bagaimana kalau
menjelang makan sinag nanti, kita membahas cara minum obat yang baik serta guna
obat. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 12.00. diruang makan ya. Sampai jumpa.
Wassalamualaikum.
SP 4 pasien: melatih pasien menggunakan obat secara reeatur
Orientasi:
assalamualaikum D. bagaimana perasaan D hari ini? Apakah suara-suara masih
muncul? Apakah sudah dipakai tiga cara yang sudah kita latih? Apakah jadwak
kegiatannya sudah dilakukan? Apakah pagi ini sudah minum obat? Baik. Hari ini kita
akan mendiskusikan tentang obat-obatan yang D minum. Kita akan diskusi selama 10
menit sambil menunggu makan siang. Disini saja ya!.

Kerja:
D adakah bedanya setelah minum obat secara teratur. Apakah suara-suara berkurang
atau hilang? Minum obat sangat penting supaya suara-suara yang D dengar dan
menganggu selama ini tidak muncul lagi. Berapa macam obat yang D minum? (perewat
menyiapkan obat pasien). Ini yang warna orange (cpz) 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1
siang dan jam 7 malamgunanya untuk menghilangkan suara-suara. Ini yang putih (thp) 3
kali sehari jamnya sama. Gunanya untuk rileks dan tidak kaku. Sedangkan yang merah
jambu 3 kali sehari jamnya sama. Gunanya untuk pikiran biar tenang. Kalau suara-suara
sudah hilang obatnya tidak boleh diberhentikan. Nanti konsultasikan dengan dokter,
sebab kalau putus obat D akan sulit mengembalikan ke keadaan semula. Kalau obat habis
D bias minta ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. D juga harus teliti saat
menggunakan obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, artinya D harus memastikan ini
benar-benar obat punya D. jangan keliru dengan obat milik orang lain. Baca nama
kemasannya. Pastikan obat diminum pada waktunya, dengan cara yang benar, yaitu
diminum sesudah makan, dan tepat jamnya. D juga harus perhatikan berapa jumlah obat
sekali minum, dan harus cukup minum 10 gelas per hari.
Terminasi:
bagaimana perasaan D setelah kita bercakap-cakap tentang obat? Sudah berapa cara
yang kita latih uuntuk menghilangkan suara-suara? Coba sebutkan? Bagus! (jika
jawaban benar). Mari kita masukkan jadwal minum obatnya pada jadwal kegiatan D.
jangan lupa pada waktunya minum obat minta ke perawatnya atau pada keluarga kalau
dirumah. Nah, makanan sudah datang. Besok kita ketemu lagi untuk melihat manfaat 4
cara mencegah suara yang sudah kita bicarakan. Mau jam berapa? Bagaimana kalau
jam 10.00. sampai jumpa. Assalamualaikum.

DAFTAR PUSTAKA
Dalami, Ermawati dkk. (2009). Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan Jiwa.
Cetakan Pertama. Jakarta : Trans Info Media
Maramis, W. F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Stuart, G. W., 2006. Buku Saku keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Yosep, iyus.S.Kp.,M.Si. 2007. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL


BAB 1
PENDAHULUAN
Setiap individu memiliki kemampuan menjalin hubungan sosial, mulai dari hubungan
intim biasa sampai hubungan saling ketergantungan . Hubungan sosial tersebut diperlukan
individu dalam rangka menghadapi dan mengatasi berbagai kebutuhan hidup. Maka dari
itu seorang manusia perlu membina hubungan interpersonal yang memuaskan.
Kepuasan hubungan akan tercapai bila individu terlibat aktif dalam melakukan
interaksi peran serta yang tinggi , disertai respon lingkungan yang positif akan
meningkatkan rasa memiliki, kerja sama , hubungan timbal balik yang harmonis (Stuart
and Sundeen ,1995).
Pemutusan hubungan akan terjadi apabila terdapat ketidakpuasan individu dalam
menjalin interaksi,juga adanya respon lingkungannya yang negatip.Kondisi ini akan
mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak percaya dengan orang lain dan keinginan
untuk menghindar dari orang lain.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu menglami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien

mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain (Iyus yosep, 2011).
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptive dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan social (Depkes RI, 2000).
2.2 Proses terjadinya masalah
Pola asuh keluarga, misal Koping
pada

anak

kelahirannya

Gangguan

tugas Stress

yang individu tidak perkembangan,


tidak efektif, misal misal

dikehendaki akibat hamil saat

internal

dan

eksternal, misal ansietas

kegagalan akibat berpisah dengan

individu menjalin hubungan orang

terdekat,

diluar nikah menyebabkan mengalami

intim dengan lawan hilangnya

keluarga

jenis atau sesama atau orang yang dicintai

mengeluarkan kegagalan

komentar-kpmentar
negative,

menyalahkan

merendahkan, orang lain

menyalahkan anak

pekerjaan

jenis menyebabkan
ketergantungan
pada orang tua

Harga diri rendah


kronis

Isolasi sosial
Menurut Stuart Sundeen rentang respon klien ditinjau dari interaksinuya dengan
lingkungan social merupakan suatu kontinu yang terbentang antara respon adaptif dengan
maladaptive sebagai berikut:
Respon adaptif
Menyendiri,
otonomi,
bekerjasama,
interdependen

respon maladaptif
Merasa
sendiri,deped
ensi, curiga

Menarik diri,
ketergantungan
,manipulasi, curiga

2.3 Tanda dan gejala


1. Gejala subjektif
1) klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) respon verbal kurang dan sangat singkat

4) klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain


5) klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6) klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7) klien merasa tidak berguna
8) klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
9) klien merasa ditolak
2. Gejala objektif
1)

klie

n banyak diam dan tidak mau bicara


2)

tida

k mengikuti kegiatan
3)

ban

yak berdiam diri dikamar


4)

klie

n tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal


5)

kon

tak mata kurang


6)

kur

ang spontan
7)

apa

tis
8)

me

ngisolasi diri
9)

ren

dah diri

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

3.1 Pengkajian Keperawatan


1. Identitas
Sering ditemukan pada usia dini atau muncul pertama kali pada masa pubertas.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit biasanya akibat

adanya kumunduran kemauan dan kedangkalan emosi.


3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat terkait dengan faktor etiologi yakni keturunan,
endokrin, metabolisme, susunan syaraf pusat, kelemahan ego.
4. Psikososial
1)

Genogram : Orang tua penderita skizofrenia, salah satu kemungkinan


anaknya 7-16 % skizofrenia, bila keduanya menderita 40-68 %, saudara tiri
kemungkinan 0,9-1,8 %, saudara kembar 2-15 %, saudara kandung 7-15 %.

2)

Konsep Diri : Kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi yang


mengenai pasien akan mempengaruhi konsep diri pasien.

3)

Hubungan Sosial : Klien cenderung menarik diri dari lingkungan


pergaulan, suka melamun, berdiam diri.

4)

Spiritual : Aktifitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran


kemauan.

5. Status Mental
1)

Penampilan Diri : Pasien tampak lesu, tak bergairah, rambut acak-acakan,


kancing baju tidak tepat, resliting tak terkunci, baju tak diganti, baju terbalik
sebagai manifestasi kemunduran kemauan pasien.

2)

Pembicaraan : Nada suara rendah, lambat, kurang bicara, apatis.

3)

Aktifitas

Motorik

Kegiatan

yang

dilakukan

tidak

bervariatif,

kecenderungan mempertahankan pada satu posisi yang dibuatnya sendiri


(katalepsia).
4)

Emosi : Emosi dangkal

5)

Afek : Dangkal, tak ada ekspresi roman muka.

6)

Interaksi Selama Wawancara : Cenderung tidak kooperatif, kontak mata


kurang, tidak mau menatap lawan bicara, diam.

7)

Persepsi : Tidak terdapat halusinasi atau waham.

8)

Proses Berfikir : Gangguan proses berfikir jarang ditemukan.

9)

Kesadaran : Kesadaran berubah, kemampuan mengadakan hubungan


dengan dan pembatasan dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu
pada taraf tidak sesuai dengan kenyataan (secara kualitatif).

10)

Memori : Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tempat, waktu,


orang baik.

11)

Kemampuan penilaian : Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat


bertindak dalam suatu keadaan, selalu memberikan alasan meskipun alasan
tidak jelas atau tidak tepat.

12)

Tilik diri : Tak ada yang khas.

6. Kebutuhan Sehari-hari
Pada permulaan penderita kurang memperhatikan diri dan keluarganya, makin
mundur dalam pekerjaan akibat kemunduran kemauan. Minat untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri sangat menurun dalam hal makan, BAB/BAK, mandi,
berpakaian, intirahat tidur.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi social
2. Harga diri rendah kronis
3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
4. Koping keluarga tidak efektif
5. Koping individu tidak efektif
6. Intoleransi aktifitas
7. Deficit perawatan diri
8. Resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3.3 Tindakan Keperawatan
1. Membina hubungan saling percaya
1) mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
2) berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang
disukai serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien
3) menanyakan keluhan dan perasaan klien saat ini
4) buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama klien, berapa lama
akan dikerjakan, dan tempatnya dimana
5) jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi
6) setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap klien
7) penuhi kebutuhan dasar klien saat berinteraksi
8) Membantu klien menyadari perilaku isolasi social
9) pendapat klien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
10) menanyakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain
11) diskusikan keuntungan bila klien memiliki banyak teman dan bergaul akrab
dengan mereka
12) diskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan
orang lain
13) jelaskan pengaruh isolasi social terhadap kesehatan fisik klien
2. Melatih klien cara-cara berinteraksi dengan orang lain secara bertahap

1) jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain.


2) beri contoh cara berbicara dengan orang lain.
3) beri kesempatan klien mempraktekan cara berinteraksi dengan orang lain yang
dilakukan didepan perawat.
4) mulailah bantu klien berinteraksi dengan satu orang teman atau anggota
keluarga.
5) bila klien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan
2, 3, 4 orang dst.
6) beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh klien.
7) siap mendengarkan ekspresi perasaan klien setelah berinteraksi dengan orang
lain.
3. Diskusikan dengan klien tentang kekurangan dan kelebihan yang dimiliki.
4. Inventarisir kelebihan klien yang dapat dijadikan motivasi untuk membangun
kepercayaan diri klien dalam pergaulan.
5. Ajarkan kepada klien koping mekanisme yang adaptif.
6. Libatkan klien dalam interaksi dan terapi kelompok secara bertahap.
7. Diskusikan dengan keluarga pentingnya interaksi klien yang dimulai dengan
keluarga terdekat.
8. Eksplorasi keyakinan agama klien dalam menumbuhkan sikap pentingnya
sosialisasi dengan lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Yosep iyus. 2011. Keperawatn jiwa, edisi revisi. Bandung: PT Refika aditama
Depkes RI. 1996. Proses keperawatn jiwa jilid 1

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN WAHAM


BAB 1
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan yang memungkinkan untuk terjadinya
perkembangan fisik, intelektual, dan emosional individu secara potimal, sejauh
perkembangan tersebut sesuai dengan perkembangan optimal individu-individu lain.
Sementara itu, gangguan jiwa adalah suatu keadaan dengan adanya gejala klinis yang
bermakna, berupa sindrom pola perilaku dan pola psikologik, yang berkaitan dengan
adanyadistress (tidak nyaman, tidak tentram, rasa nyeri), distabilitas (tidak mampu
mengerjakan pekerjaan sehari-hari), atau meningkatkan resiko kematian, kesakitan, dan
distabilitas.
Gangguan jiwa terdiri dari beberapa macam termasuk diantaranya adalah waham atau
delusi. Waham atau delusi adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat, tidak
sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang budaya,
selalu

dikemukakan

berulang-ulang

dan

berlebihan

biarpun

kemustahilannya atau kesalahannya atau tidak benar secara umum.

telah

dibuktikan

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses
interaksi atau informasi secara akurat (Iyus Yosep, 2011).
Seseorang yang mengalami waham berpikir bahwa ia memiliki banyak kekuatan dan
bakat serta tidak merasa terganggu jiwanya atau ia merasa sangat kuat dan sangat terkenal
(Varcarolis, 2006).
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita normal (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Budi Anna Keliat, 2009).
2.2 Etiologi
Menurut doengoes, M.E (1987) mengemukakan bahwa etiologi waham dapat
dijelaskan melalui 3 teori, yaitu ;
1. Teori psikodinamika
Perkembangan emosi lambat kurangnya perhatian Ibu yang menyebabkan kehilangan
perlindungan dan gagal membuktikan rasa percaya dengan orang lain, sehingga
individu selalu hati-hati dalam mengucapkan gangguan harga diri, kehilangan kontrol,
takut / cemas, sikap curiga terhadap orang lain dan sikap umum yang digunakan yatu
proyeksi.

2. Teori dinamika keluarga


Beberapa teori percaya bahwa orang yang paranoid mempunyai orang tua yang
berkarakter keras, banyak permintaan dan yang ingin segalanya sempurna, sering
marah, mengutamakan kepertingan pribadi, mencurigai individu, sehingga pengalaman
yang didapat dari dulunya akan mempengaruhi kepribadian seseorang
3. Teori biologi
Muncul karena adanya pengaruh dari beberapa penyakit individu yang keluarganya
mempunyai gejala penyakit yang sama, contohnya : pad anak kemabar, jika salah satu
terkena skizofrenia, maka 58 % kemungkinan akan terkena pada anak yang satunya.
2.3 Proses Terjadinya Waham
Menurut Iyus Yosep, 2011 proses terjadinya waham adalah sebagai berikut:
1. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status social dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal
dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Fase
control.
3. internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang dia yakini atau apa-apa yang dia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat,
karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adequate karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan

tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfunngsinya norma (super ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien lebih sering menyendiri dan menghindari interaksi social (isolasi social).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering
berkaitan dengan traumatic masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi
(rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham
dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), proses terjadinya waham, dapat dirangkum
dalam pohon masalah sebagai berikut :
Effect : Resiko tinggi perilaku kekerasan
Core problem : Gangguan isi piker : Waham
Causa : Isolasi Sosial
Harga Diri Rendah Kronis
2.4 Tanda dan Gejala
Menurut Iyus Yosep (2011), tanda dan gejala waham adalah sebagai berikut:
1. Waham Kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan
berulangkali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh : Saya ini titisan Bung Karno, punya banyak perusahaan, punya rumah di
berbagai Negara dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
2. Waham Curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan ataupun
mencederai dirinya, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : banyak polisi mengintai saya, tetangga saya ingin menghancurkan hidup
saya, suster akan meracuni makanan saya.
3. Waham Agama

Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang kali
tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : Tuhan telah menunjuk saya menjadi wali, saya harus terus menerus
memakai pakaian putih setiap hari agar masuk surga.
4. Waham Somatik
Meyakini bahwa tubuh klien atau bagian tubuhnya terganggu, diucapkan berulangkali
tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : Sumsum tulang saya kosong, saya pasti terserang kanker, dalam tubuh saya
banyak kotoran, tubuh saya telah membusuk, tubuh saya menghilang.
5. Waham Nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan berulang kali
tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : Saya sudah menghilang dari dunia ini, semua yang ada disini adalah rohroh, sebenarnya saya sudah tidak ada di dunia.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
DENGAN WAHAM
3.1 Pengkajian Keperawatan
Selama

pengkajian

perawat

harus

mendengarkan,

memperhatikan

dan

mendokumentasikan semua informasi, baik melalui wawancara maupun observasi yang


diberikan oleh pasien tentang wahamnya. Berikut ini beberapa contoh pertanyaan yang
dapat digunakan perawat sebagai panduan untuk mengaji pasien waham (Budi Anna,

2010).
1. Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan
menetap?
2. Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau apakahpasien cemas
berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya?
3. Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda di sekitarnya aneh dan tidak
nyata?
4. Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada di luar tubuhnya?
5. Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain?
6. Apakah pasien merasa bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orang lain atau
kekuatan dari luar?
7. Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lainnya
atau yakin bahwa orang lain bisa membaca pikirannya?
3.2 Diagnosis Keperawatan
Gangguan Proses Pikir : Waham (Budi Anna, 2009)
3.3 Tindakan Keperawatan
Selanjutnya, setelah diagnosis keperawatan ditegakkan, perawat melakukan tindakan
keperawatan bukan hanya pada pasien, tetapi juga keluarga. Tindakan keperawatan pasien
waham dan keluarganya menurut Budi Anna, 2009 meliputi :
1. Tindakan keperawatan pada pasien
1) Tujuan Keperawatan
(1) Pasien dapat berorientasi pada realitas secara bertahap
(2) Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
(3) Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
(4) Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
2) Tindakan Keperawatan
(1) Membina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien waham, perawat harus membina hubungan
saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus dilakukan oleh perawat dalam
rangka membina hubungan saling percaya, yaitu :
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Berjabat tangan
c. Menjelaskan tujuan interaksi
d. Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
(2) Membantu orientasi realitas
a. Tidak mendukung atau membantah waham pasien
b. Meyakinkan pasien berada dalam keadaan aman
c. Mengobservasi pengaruh waham pada aktivitas sehari-hari
d. Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan

dukungan

membicarakannya

atau

menyangkal

sampai

pasien

berhenti

e. Memberikan pujian jika penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan


realitas.
(3) Mendiskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.


Meningkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Mendiskusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki.
Membantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
Mendiskusikan tentang obat yang diminum.
Melatih minum obat yang benar.

Sp 1 pasien : Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan yang tidak


terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktikkan pemenuhan kebutuhan yang
tidak terpenuhi.
Orientasi :
Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Citto, saya perawat yang dinas pagi ini di
Ruang melati. Saya dinas dari jam 07.0014.00, saya yang akan membantu perawatan
bapak hari ini. Nama bapak siapa? senangnya dipanggil apa?
Bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang bapak R rasakan sekarang?
Berapa lama bapak R mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?
Dimana enaknya kita berbincang-bincang pak?
Kerja :
Saya mengerti pak R merasa bahwa pak R adalah seorang Nabi, tapi sulit bagi saya untuk
mempercayainya, karena setahu saya semua Nabi tidak hidup didunia ini, bisa kita
lanjutkan pembicaraan yang tadi terputus pak?
Tampaknya pak R gelisa sekali, bias pak R ceritakan kepada saya apa yang pak R
rasakan?
Oooo, jadi pak R merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak
untuk mengatur diri pak R sendiri?
Siapa menurut pak R yang sering mengatur-atur diri pak R?
Jadi teman pak R yang terlalu mengatur-atur ya pak, juga adik pak R yang lain?
Kalau pak R sendiri inginnya seperti apa?
Ooo, Bagus pak R sudah punya rencana dan jadwal unutk diri sendiri.
Coba kita tuliskan rencana dan jadwal tersebut pak R.
Wah, bagus sekali, jadi setiap harinya pak R ingin ada kegiatan di luar rumah sakit
karena bosan kalau dirumah sakit terus ya?
Terminasi :
Bagimana perasaan pak R setelah berbincang-bincang dengan saya?
Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus.
Bagaimana kalau jadwal ini pak R coba lakukan, setuju pak?
Bagaimana kalau bincang-bincang kita saat ini kita akan lanjutkan lagi.
Saya akan datang kembali dua jam lagi.
Kita akan berbincang-bincang tentang kemampuan yang pernah pak R miliki?
Bapak mau kita berbincang-bincang dimana? Bagaimana kalau disini saja pak R?

Sp

pasien

Mengidentifikasi

kemampuan

positif

pasien

dan

membantu

mempraktikkannya.
Orientasi :
Assalamualaikum pak R, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus
Apakah pak R sudah mengingat-ngingat apa saja hobi atau kegemaran pak R?
Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?
Dimana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi pak R tersebut?
Berapa lama pak R mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit?
Kerja :
Apa saja hobi pak R? Saya catat ya pak, terus apa lagi?
Wah, rupanya pak R pandai main suling ya.
Bisa pak R ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main Suling, siapa yang
dulu mengajarkannya kepada pak R, dimana?
Bisa pak R peragakan kepada saya bagaiman bermain suling yang baik itu.
Wah, bagus sekali pak. Bagaimana kalau kita buat jadwal untuk kemampuan pak R ini.
Berapa kali sehari/seminggu pak R mau bermain suling?
Apa yang pak R harapkan dari kemampuan bermain suling ini?
Ada tidak hobi atau kemampuan pak R yang lain selain bermain suling?
Terminasi :
Bagaimana perasaan pak R setelah kita berbincang-bincang tentang hobi dan kemampuan
pak R?
Setelah ini coba pak R lakukan latihan bermain suling sesuai denga jadwal yang telah
kita buat ya?
Bagaimana kalau

bincang-bincang

kita

saat

ini

kita

akan

lanjutkan

lagi.

Bagaiman kalau nanti sebelum makan siang? Nanti kita ketemuan di taman saja, setuju
pak?
Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang harus pak R minimum, setuju?
Sp 3 pasien : Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar.
Orientasi :
Assalamualaikum pak R.
Bagaimana pak, sudah dicoba latihan main sulingnya?

Bagus

sekali.

Sesuai dengan janji kita tadi, kita akan membicarakan tentang obat yang harus pak R
minum, Bagaimana kalau kita mulai sekarang pak?
Berapa lama pak R mau kita membicarakannya? Bagaimana kalau 20 atau 30 menit
saja?
Kerja:
Pak R berapa macam obat yang diminum, jam berapa saja obat yang diminum?
Pak R perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang.
Obatnya ada tiga macam pak, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya agar tenang,
yang putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan yang merah jambu ini namanya
HLP gunanya agar pikiran jadi teratur. Semuanya ini diminum 3 kali sehari, jam 7 pagi,

jam 1 siang, dan jam 7 malam.


Bila nanti setelah minum obat mulut pak R terasa kering, untuk membantu mengatasinya
pak

bisa

banyak

minum

dan

mengisap-isap

es

batu.

Sebelum minum obat ini pak R mengecek dulu label dikotak obat apakah benar nama pak
R tertulis disitu, berapa dosis atau butir yang harus diminum, jam berapa saja harus
diminum.

Baca

juga

apakah

nama

obatnya

sudah

benar!

Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum dalam
waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi, sebaiknya pak R tidak menghentikan sendiri
obat

yang

harus

diminum

sebelum

berkonsultasi

dengan

dokter.

Terminasi :
Bagaiman perasaan pak R setelah kita becakap-cakap tentang obat yang pak R minum?
Apa

saja

nama

obatnya?

Jam

berapa

minum

obat?

Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan! Jangan lupa minum obatnya dan nanti saat
makan minta sendiri obatnya pada perawat!
Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya pak!
Pak besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan.
Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 dan ditempat sama?
Sampai besok ya pak.
2. Tindakan keperawatan pada keluarga
1) Tujuan keperawatan
(1) Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien
a. Keluarga Cara merawat pasien waham ddi rumah
b. Tindakan tindak lanjut dan pengobatan yang teratur
c. Lingkungan yang tepat untuk pasien
d. Obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek samping, akibat penghentian
obat)
(2) Kondisi mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi
oleh wahamnya
(3) Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.
2) Tindakan keperawatan
(1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga saat merawat pasien di rumah
(2) Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien
(3) Diskusikan dengan keluarga tentang : pasien yang memerlukan konsultasi segera
Sp 1 keluarga : Membina hubungan saling percaya dengan keluarga; mengidentifiksi
masalah menjelaskan proses terjadinya masalah; dan membantu pasien untuk patuh
minum obat.
Orientasi :
Assalamualaikum pak, pekenalkan nama saya Citto, saya perawat yang dinas diruang
melati ini. Saya yang merawat Pak R selama ini. Kalau bisa saya tahu nma bapak siapa?
Senangnya dipanggil apa?

Bagaimana kalau sekarang kita membicarakan tentang masalah pak R cara merawat pak
R dirumah.
Dimana bapak mau berbicara dengan saya? Bagaimana diruang wawancara?
Berapa lama bapak mau berbincang-bincang dengan saya? Bagaimana kalau 0 menit
saja?
Kerja :
Pak S, apa masalah yang bapak rasakan dalam merawat pak R? apa yang sudah pak R
lakukan dirumah? Dalam menghadapi sikap pak R yang selalu mengaku-ngaku sebagi
seorang nabi tetapi nyatanya bukan nabi hanya merupak salah satu gangguan proses
berpikir. Untuk itu akan saya jelaskan sikap dan cara enghadapinya. Setiap kali pak R
berkata bahwa ia seorang nabi, pak S dan ibu berikap dengan mengatakan;
Pertama: Pak S atau ibu mengerti bahwa pak R merasa seorang nabi, tapi sulit bagi pak S
dan ibu untuk mempercayainya karena setahu kita semua nai tidak ada yang hidup
didunia.
Kedua: Pak S atau ibu harus lebih sering memuji Pak R jika ia melakukan hal-hal yang
baik
Ketiga: hal-hal ini sebaiknya dilakukan oleh seluruh keluarga yan berinteraksi dengan pak
R. Bapak dan ibu dapat bercakap-cakap dengan Pak R tentang kebutuhan yang diinginkan
oleh pak R, misalnya; Pak S dan ibu percaya kalau pak R punya kemampuan dan
keinginan.

Coba

ceritakan

kepada

kami,

kan

punya

kemampuan

Keempat: Pak S atau ibu mengatakan kepada pak R, Bagaimana kalau kemampuan untuk
bermain suling dengan baik dicoba sekarang dan kemudian setelah dia melakukannya
pak S dan ibu harus memberikan pujian. Pak S dan ibu jangn lupa, pak R ini perlu minum
obat agar pikirannya jadi tenang.
Obatnya ada tiga macam pak, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya agar tenang,
yang putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan yang merah jambu ini namanya
HLP gunanya agar pikiran jadi teratur. Semuanya ini diminum 3 kali sehari, jam 7 pagi,
jam 1 siang, dan jam 7 malam, jangn dihentikan sebelum berkonsultasi dengan dokter
karena dapat menyebabkan Pak R bisa kambuh kembali. Pak R sudah punya jadwal
minum obat. Jika dia minta obat sesuai jamnya, segera berikan pujian!
Terminasi :
Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah berbincang-bincang dengan saya tentang cara
merawat pak R dirumah nanti?
Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah saya jelaskan tadi setiap kali
berkunjung kerumah sakit.
Baiklah, bagaimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali kesini dan kita
akan mencoba melakukan langsung cara merawat pak R sesuai dengan pembicaraan kita

tadi.
Baik kalau begitu pertemuan kita kali ini kita akhiri dulu, saya tunggu kedatangan bapak
dan ibu lagi kita ketemu ditempat ini ya pak,bu.
Sp 2 keluarga : Melatih keluarga cara merawat pasien.
Orientasi:
Assalamualaikum pak, bu sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu kita sekarang
ketemu lagi. Bagaimana pak, bu ada pertanyaan tentang cara merawat pasien seperti yang
telah kita bicarakan dua hari yang lalu?, sekarang kita akan latihan cara-cara merawat
pasien tersebut ya pak, bu.
Kita akan coba disini dulu, setelah itu baru kita coba langsung pada Pak R ya?
Kerja:
Sekarang anggap saja saya pak Ryan sedang mengaku nabi, coba bapak dan ibu
praktikkan cara bicara yang benar bila pak R sedang dalam keadaan seperti ini!
Bagus,betul begitu caranya, sekarang coba praktikkan cara memberikan pujian atas
kemampuan yang dimiliki oleh pak R. bagus !
Sekarang coba cara memotivasi pak R minum obat dan melakukan kegitan positifnya
sesuai jadwalnya! Bagus sekali ternyata bapak dan ibu sudah mengerti cara merawata
Pak R.
Bagaimana kalau sekarang kita coba langsung kepada pak R.
Terminasi:
Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah kita berlatih cara merawat pak R?
Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi setiap kali bapak dan
ibu membesuk pak R!
Baiklah, bagaimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali ke sini dan kita
akan mencoba lagi cara merawat pak R sampai bapak dan ibu lancer elakukannya?
Jam berapa bapak dan ibu bisa kemari? Baik, kita akan ketemu lagi di tempat ini ya
pak,bu.
Sp 3 keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
Orientasi:
Assalamualaikum pak, bu, karena pada hari ini pak R sudah boleh pulang, maka kita
bicarakan jadwal pak R selama dirmah.
Bagaimana pak, bu selama bapak dan ibu besuk apakah sudah terus dilatih cara merawat
pak R?
Nah, sekarang bagaimana kalau kita bicarakan jadwal di rumah? Mari bapak dan ibu ikut
saya
Berapa lama bapak dan ibu mau berbincang-bincang dengan saya? Bagaimana kalau 30
menit saja? Sebelum ibu dan bapak menyelesaikan administrasinya
Kerja:

Pak, bu, ini jadwal pak R selama di rumah sakit. Coba perhatikan! Apakah kira-kira dapat
dilaksanakan semuanya di rumah? Jangan lupa perhatikanpak R agar ia tetap
melaksanakannya dirumah dan jangan lupa member tanda M (mandiri), B (bantuan), atau
T (tidak mau melaksanakannya).
Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilku yang ditampilkan oleh pak R
selama dirumah. Misalnya pak R mengaku sebagai seorang nabi terus menerus dan tidak
memeperlihatkan perbaikan, menolak minum obat atau memperlihatkan perilaku
membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi petugas rumah sakit, agar
petugas rumah sakit dapat memantaunya.
Terminasi:
Apa yang ingin bapak dan ibu tanyakan? Bagaimana perasaan bapak dan ibu? Sudah siap
unutk melanjutkan dirumah?
Ini jadwal kegiatan hariannya. Ini rujukan untuk bisa control lagi. Kalau ada apa-apa
bapa dan ibu segera menhubungi kami. Mungkin hanya ini yang bisa saya sampaikan
mohon maaf bila ada kata-kata saya yang menyinggung perasaan bap dan ibu mohon
dimaafkan. Terimakasih atas kerjasamanya pak,bu.
Silahkan ibu dan Bapak untuk dapat menyelesaikan administrasinya ke kantor depan!
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
TAK yang dapat dilakukan untuk pasien waham meliputi hal-hal berikut : (Budi Anna,
2010).
a. TAK orientasi realitas
1. Sesi 1 : Pengenalan orang
2. Sesi 2 : Pengenalan tempat
3. Sesi 3 : Pengenalan waktu
b. TAK sosialisasi
1. Sesi 1 : Kemampuan memperkenalkan diri
2. Sesi 2 : Kemampuan berkenalan
3. Sesi 3 : Kemampuan berbicara
4. Sesi 4 : Kemampuan berbicara topic tertentu
5. Sesi 5 : Kemampuan berbicara masalah pribadi
6. Sesi 6 : Kemampuan berkerjasama
7. Sesi 7 : Evaluasi kemampuan sosialisasi
3.5 Evaluasi Keperawatan
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi dilakukan terdadap
kemampuan pasien waham dan keluarganya, serta kemampuan perawat dalam merawat
pasien waham (Budi Anna, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Yosep iyus. 2011. Keperawatn jiwa, edisi revisi. Bandung: PT Refika aditama
Depkes RI. 1996. Proses keperawatn jiwa jilid 1
Budi Anna Keliat.2009. Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PERILAKU KEKERASAN


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat

membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalnya: memaki-maki
orang di sekitarnya, membantingbanting barang, menciderai diri sendiri dan orang lain,
bahkan membakar rumah, mobil dan sepeda montor.
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan
oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul
anggota keluarga/ orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan
alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan
oleh keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien seyogyanya sekeluarga
mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku
kekerasan).
Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku kekerasan
perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah sakit umum. Asuhan
keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu asuhan keperawatan yang bertujuan melatih
klien mengontrol perilaku kekerasannya dan pendidikan kesehatan tentang MPK pada
keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan menjadi pendekatan proses
keperawatan.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang
tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan adalah perilaku destruktif terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
2.2 Etiologi
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau
intimidasi., selain itu perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri
rendah. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
2.3 Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku kekerasan/ amuk


Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah
Sumber : Budiana Keliat (1999)
2.4 Manifestasi Klinis (Budiana Keliat, 1999)
1. Subjektif
1) Mengancam
2) Mengumpat
3) Bicara keras atau kasar

2. Objektif
1) Agitasi
2) Meninju
3) Membanting
4) Melempar
3. Gejala lain yang timbul
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
2)
3)
4)
5)

(rambut botak karena terapi)


Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

2.5 Faktor Predisposisi


Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang mungkin menjadi faktor predisposisi
yang mungkin/ tidak mungkin terjadi jika faktor berikut dialami oleh individu :
1. Psikologis; kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif atau amuk.
2. Perilaku, reinforcement

yang

diteima

ketika

melakukan

kekerasan,

sering

mengobservasi kekerasan, merupakan aspek yang menstimuli mengadopsi perilaku


kekerasan
3. Sosial budaya; budaya tertutup, control sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima
4. Bioneurologis; kerusakan sistem limbic, lobus frontal/temporal dan ketidakseimbangan
neurotransmiser
2.6 Faktor presipitasi
Bersumber dari klien (kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri
kurang), lingkungan (ribut, padat, kritikan mengarah penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/pekerjaan dan kekerasan) dan interaksi dengan orang lain(provokatif dan konflik)
( Budiana Keliat, 2004).

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
Data yang perlu dikaji:

1)

Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan


a. Data Subyektif :
(a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
(b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jikasedang
kesal atau marah.
(c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Objektif :
(a) Mata merah, wajah agak merah.
(b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul
diri sendiri/orang lain.
(c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
(d) Merusak dan melempar barang-barang.

2)
a.

Perilaku kekerasan / amuk


Data Subyektif :
(a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
(b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jikasedang
kesal atau marah.
(c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

b.

Data Obyektif
(a) Mata merah, wajah agak merah.
(b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
(c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
(d) Merusak dan melempar barang-barang.

3)

Gangguan harga diri : harga diri rendah


a.

Data subyektif: Klien mengatakan: saya tidak


mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,

mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.


b.
Data obyektif: Klien tampak lebih suka sendiri,
bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin
mengakhiri hidup.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan/amuk.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri rendah.

3.3 Rencana Tindakan


Diagnosis 1 : Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan/amuk.
Tujuan Umum : klien tidak mencederai diri / orang lain/ lingkungan
Tujuan Khusus :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Klien dapat membina hubungan saling percaya


Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Klien dapat mengidentifikasi Berespon terhadap kemarahan secara konstruktif
Klien dapat mengidentifikasi menggunakan obat dengan benar.

Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan
jelaskan tujuan interaksi.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan
2)

sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.


Beri kesempatan pada klien

untuk

mengugkapkan

perasaannya.

Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam
menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3)
Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam
akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4)
Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian
5)

masalah yang konstruktif pula.


Observasi
tanda

perilaku

kekerasan

pada

klien.

Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan


6)

untuk intervensi.
Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.

Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.


7)
Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8)
Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
9)

Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.


Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya

selesai.

Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan


masalahnya.
10)
Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11)
Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukan.
12)

Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.


Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.

13)

Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.


Berikan
pujian
jika
klien
mengetahui
cara
yang

sehat.

Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri


klien.
14)

Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.


Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
15)
Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
16)

kekerasan.
Bantu

klien

mengidentifikasi

manfaat

yang

telah

dipilih.

Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.

Diagnosis 2 : Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri
rendah.
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan
dengan orang lain.
Tujuan Khusus:
1)
2)

Klien dapat membina hubungan saling percaya


Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang
positif yang dimiliki.

3)
4)

Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki.


Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai

5)

kemampuan yang dimiliki.


Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.

6)

Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.

Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat


dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif

yang

dimiliki

Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.


3) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian

klien.
negatif.

Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam


hidupnya.
4) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif
klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5) Diskusikan dengan klien kemampuan

yang

masih

dapat

digunakan.

Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.


6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7) Berikan

pujian.

Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.


8) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan
yang dimiliki.
9) Bantu
klien

melakukannya

jika

perlu

beri

Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.


10) Beri
pujian
atas
keberhasilan

contoh.
klien.

Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.


11) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang

telah

dilatih.

Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.


12) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya
menggunakan respon koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan
harga

diri

rendah.

Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara


bersama.
14) Bantu
keluarga

memberikan

dukungan

selama

klien

dirawat.

Rasional : meningkatkan peran serta keluarga dalam membantu klien


meningkatkan harga diri rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Stuart GW, Sundeen.1995.Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book
Keliat Budi Ana.1999.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta : EGC
Keliat Budi Ana.1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I. Jakarta : EGC
Aziz R, dkk.2003.Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo

ASUHAN KEPERAWATAN HARGA DIRI RENDAH (HDR)


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam hidup di masyarakat manusia harus dapat mengembangkan dan
melaksanakan hubungan yang harmonis baik dengan individu lain maupun lingkungan
sosialnya. Tapi dalam kenyataannya individu sering mengalami hambatan bahkan
kegagalan yang menyebabkan individu tersebut sulit mempertahankan kestabilan dan
identitas diri, sehingga konsep diri menjadi negatif. Jika individu sering mengalami
kegagalan maka gangguan jiwa yang sering muncul adalah gangguan konsep diri misal
harga diri rendah.
Faktor psikososial merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam kehidupan
seseorang (anak, remaja, dan dewasa). Yang mana akan menyebabkan perubahan dalam
kehidupan sehingga memaksakan untuk mengikuti dan mengadakan adaptasi untuk
menanggulangi stressor yang timbul. Ketidakmampuan menanggulangi stressor itulah
yang akan memunculkan gangguan kejiwaan.
Salah satu gangguan jiwa yang ditemukan adalah gangguan konsep harga diri rendah,
yang mana harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan
(Keliat, 1999). Perawat akan mengetahui jika perilaku seperti ini tidak segera
ditanggulangi, sudah tentu berdampak pada gangguan jiwa yang lebih berat. Beberapa
tanda-tanda harga diri rendah adalah rasa bersalah terhadap diri sendiri, merendahkan
martabat sendiri, merasa tidak mampu, gangguan hubungan sosial seperti menarik diri,
percaya diri kurang (Townsend, 1998).

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa

gagal mencapai

keinginan. Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara kronik, yaitu
perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama. Gangguan harga diri rendah
merupakan masalah bagi banyak orang dan diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang
sedang sampai berat. Umumnya disertai oleh evaluasi diri yang negatif, membenci diri
sendiri dan menolak diri sendiri (Keliat, 1998).
Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung (Schult & Videbeck, 1998).
Gangguan harga diri yang disebut harga diri rendah dapat terjadi secara:
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan,
dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu (
korban perkosaan, ditubuh KKN, dipenjara tiba-tiba ).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena:
a. Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya: pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan ( pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perineal ).\
b. Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat atau sakit atau penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang yidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, tanpa persetujuan. Kondisi ini banyak
ditemukan pada klien gangguan fisik.
2. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit atau dirawat. Klien mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respon yang maladaptif. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien
gangguan fisik yang kronis atau pada klien gangguan jiwa.
2.2 Penyebab
Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang
tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistik.
Stressor pencetus mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal, seperti :

trauma fisik maupun psikis, ketegangan peran, transisi peran situasi dengan bertambah
atau berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian, serta transisi peran
sehat sakit sebagai transisi dari keadaan sehat dan keadaan sakit. (Stuart & Sundeen,
1991).
2.3 Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah
Tanda dan gejala yang dapat dikaji pada gangguan harga diri rendah adalah:
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit, misalnya: malu dan sedih karena rambut jadi rontok setelah mendapat terapi
sinar pada kanker.
2. Rasa bersalah pada diri sendiri, misalnya ini tidak akan terjadi jika saya segera ke
rumah sakit, menyalahkan, mengejek, dan mengkritik diri sendiri.
3. Merendahkan martabat, misalnya saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya tidak tahu
apa-apa atau saya orang bodoh.
4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu dengan
orang lain, suka menyendiri.
5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya memilih alternatif
tindakan.
6. Mencederai diri, akibat harga diri rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien
ingin mengakhiri kehidupan.
2.4 Proses terjadinya Masalah
Individu yang kurang mengerti akan arti dan tujuan hidup akan gagal menerima
tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain. Ia akan tergantung pada orang tua dan
gagal mengembangkan kemampuan sendiri ia mengingkari kebebasan mengekspresikan
sesuatu termasuk kemungkinan berbuat kesalahan dan menjadi tidak sabar, kasar dan
banyak menuntut diri sendiri, sehingga ideal diri yang ditetapkan tidak tercapai.
Sedangkan stressor yang mempengaruhi harga diri rendah dan ideal diri adalah
penolakan dan kurang penghargaan diri dari orang tua dan orang yang berarti, pola asuh
yang tidak tepat, misalnya terlalu dilarang, dituntut, dituruti, persaingan dengan saudara.
Kesalahan dan kegagalan yang terulang, cita-cita yang tidak tercapai, gagal bertanggung
jawab terhadap diri sendiri.
Harga diri rendah dapat terjadi karena adanya kegagalan atau berduka disfungsional
dan individu yang mengalami gangguan ini mempunyai koping yang tidak konstruktif atau

kopingnya maladaptive.
Resiko yang dapat terjadi pada individu dengan gangguan harga diri rendah adalah
isolasi sosial: menarik diri karena adanya perasaan malu kalau kekurangannya diketahui
oleh orang lain ( Stuart dan Sundeen, 1991 ).
2.5 Akibat Harga Diri Rendah
Klien yang mengalami gangguan harga diri rendah bisa mengakibatkan gangguan
interaksi sosial : menarik diri, perubahan penampilan peran, keputusasaan maupun
munculnya perilaku kekerasan yang beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
(Keliat, 1998)
2.6 Faktor Predisposisi dan Presipitasi
1. Faktor Predisposisi
Faktor yang mempengaruhi harga diri rendah adalah pengalaman masa kanak-kanak
merupakan suatu faktor yang dapat menyebabkan masalah atau gangguan konsep diri.
Anak-anak sangat peka terhadap perlakuan dan respon orang tua, lingkungan, sosial
serta budaya. Orang tua yang kasar, membenci dan tidak menerima akan mempunyai
keraguan atau ketidakpastian diri, sehingga individu tersebut kurang mengerti akan
arti dan tujuan kehidupan, gagal menerima tanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
tergantung pada orang lain serta gagal mengembangkan kemampuan diri. Sedangkan
faktor biologis, anak dengan masalah biologis juga bisa menyebabkan harga diri
rendah. Misalnya anak lahir menilai dirinya rigatif (Stuart & Sundeen, 1991).
2. Faktor Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh situasi yang dihadapi individu
dan individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah. Situasi atau stresor dapat
mempengaruhi konsep diri dan komponennya. Stresor yang mempengaruhi harga diri
dan ideal diri adalah penolakan dan kurang penghargaan diri dari orang tua yang
berarti : pola asuh anak tidak tepat, misalnya: terlalu dilarang, dituntut, dituruti,
persaingan dengan saudara, kesalahan dan kegagalan yang terulang, cita-cita yang
tidak dapat dicapai, gagal bertanggung jawab terhadap diri sendiri (Stuart Sundeen,
1991). Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi transisi peran yang dapat
menimbulkan stres tersendiri bagi individu.
2.7 Mekanism Koping
Menurut Keliat (1998), mekanisme koping pada klien dengan gangguan konsep diri
dibagi dua yaitu:

1. Koping jangka pendek


1) Aktivitas yang memberikan kesempatan lari sementara dari krisis, misalnya :
pemakaian obat, ikut musik rok, balap motor, olah raga berat dan obsesi nonton
televisi.
2) Aktivitas yang memberi kesempatan mengganti identitas, misalnya: ikut kelompok
tertentu untuk mendapat identitas yang sudah dimiliki kelompok, memiliki
kelompok tertentu, atau pengikut kelompok tertentu.
3) Aktivitas yang memberi kekuatan atau dukungan sementara terhadap konsep diri
atau identitas diri yang kabur, misalnya: aktivitas yang kompetitif, olah raga,
prestasi akademik, kelompok anak muda.
4) Aktivitas yang memberi arti dari kehidupan, misalnya: penjelasan tentang
keisengan akan menurunnya kegairahan dan tidak berarti pada diri sendiri dan
orang lain.
2. Koping jangka panjang
Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka panjang.
Penyelesaian positif akan menghasilkan ego identitas dan keunikan individu.
Identitas negatif merupakan rintangan terhadap nilai dan harapan masyarakat. Remaja
mungkin menjadi anti sosial, ini dapat disebabkan karena ia tidak mungkin
mendapatkan identitas yang positif. Mungkin remaja ini mengatakan saya mungkin
lebih baik menjadi anak tidak baik.
Individu dengan gangguan konsep diri pada usia lanjut dapat menggunakan egooriented reaction (mekanisme pertahanan diri) yang bervariasi untuk melindungi diri.
Macam mekanisme koping yang sering digunakan adalah : fantasi, disosiasi, isolasi,
proyeksi.
Dalam keadaan yang semakin berat dapat terjadi deviasi perilaku dan kegagalan
penyesuaian sebagai berikut: psikosis, neurosis, obesitas, anoreksia, nervosa, bunuh
diri criminal, persetubuhan dengan siapa saja, kenakalan, penganiayaan.

2.8 Pohon masalah


Resiko isolasi sosial: menarik diri

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Core problem

Berduka disfungsional

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN HARGA DIRI RENDAH

3.1 Pengkajian Keperawatan


1.

Masalah keperawatan:
a.

Resiko isolasi sosial: menarik diri.

b.

Gangguan konsep diri: harga diri rendah.

c.

Berduka disfungsional.

2.

Data yang perlu dikaji:


a. Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.

b. Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri atau ingin mengakhiri hidup.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1.

Resiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

2.

Gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan berduka


disfungsional.

3.3 Rencana Tindakan Keperawatan


1. Tujuan umum
Klien tidak menarik diri
2. Tujuan khusus:
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan:
(1) Bina hubungan saling percaya
a. Salam terapeutik
b. Perkenalan diri
c. Jelaskan tujuan inteniksi
d. Ciptakan lingkungan yang tenang
e. Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan).
(2) Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya.
(3) Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.
(4) Katakan kepada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga dan bertanggung
jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi
pujian yang realistis.
c. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan:
a. Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah.

4) Klien dapat menetapkan atau merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang


dimiliki.
Tindakan :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan.
b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
a.

Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan.

b.

Beri pujian atas keberhasilan

c.

Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.

6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.


Tindakan:
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien.
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

Tindakan Pelaksaan Harga Diri Rendah


SP 1 Pasien : Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien,
membantu pasien menilai kemampuan yang masih dapat digunakan, membantu pasien
memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih, melatih kemampuan yang sudah
dipilih dan menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang telah dilatih dalam rencana
harian.
Orientasi :
Selamat pagi, Perkenalkan nama sayaNoviananda, dari Poltekkes Kemenkes Sueabaya
Prodi Tuban. Bagaimana keadaan bapak hari ini ? bapak terlihat segar.
Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan dan kegiatan yang pernah
bapak lakukan? Setelah itu kita akan nilai kegiatan mana yang masih dapat

bapak

dilakukan. Setelah kita nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih
Dimana kita duduk ? Bagaimana kalau di ruang tamu ? Berapa lama ? Bagaimana kalau

20 menit ?
Kerja :
Bapak, apa saja kemampuan yang bapak miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat daftarnya
ya! Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa bapak lakukan? Bagaimana dengan
merapihkan kamar? Menyapu ? Mencuci piring..............dst..
Wah, bagus sekali ada lima kemampuan dan kegiatan yang bapak miliki .
Bapak dari lima kegiatan/kemampuan ini, yang mana yang masih dapat dikerjakan di
rumah sakit ? Coba kita lihat, yang pertama bisakah, yang kedua.......sampai 5 (misalnya
ada 3 yang masih bisa dilakukan). Bagus sekali ada 3 kegiatan yang masih bisa
dikerjakan di rumah sakit ini.
Sekarang, coba bapak pilih satu kegiatan yang masih bisa dikerjakan di rumah sakit
ini. O yang nomor satu, merapihkan tempat tidur?Kalau begitu, bagaimana kalau
sekarang kita latihan merapihkan tempat tidur

bapak. Mari kita lihat tempat tidur

bapak Coba lihat, sudah rapihkah tempat tidurnya?


Nah kalau kita mau merapihkan tempat tidur, mari kita pindahkan dulu bantal dan
selimutnya. Bagus ! Sekarang kita angkat spreinya, dan kasurnya kita balik. Nah,
sekarang kita pasang lagi spreinya, kita mulai dari arah atas, ya bagus !. Sekarang
sebelah kaki, tarik dan masukkan, lalu sebelah pinggir masukkan. Sekarang ambil bantal,
rapihkan, dan letakkan di sebelah atas/kepala. Mari kita lipat selimut, nah letakkan
sebelah bawah/kaki. Bagus !
Bapak sudah bisa merapihkan tempat tidur dengan baik sekali. Coba perhatikan
bedakah dengan sebelum dirapikan? Bagus
Coba bapak lakukan dan jangan lupa memberi tanda MMM (mandiri) kalau bapak
lakukan tanpa disuruh, tulis B (bantuan) jika diingatkan bisa melakukan, dan bapakbapak
(tidak) Bagaimana perasaan
merapihkan tempat tidur ? Yach,

bapak setelah kita bercakap-cakap dan latihan


t ternyata banyak memiliki kemampuan yang dapat

dilakukan di rumah sakit ini. Salah satunya, merapihkan tempat tidur, yang sudah bapak
praktekkan dengan baik sekali. Nah kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah
setelah pulang.
Sekarang, mari kita masukkan pada jadual harian.

Bapak Mau berapa kali sehari

merapihkan tempat tidur. Bagus, dua kali yaitu pagi-pagi jam berapa ? Lalu sehabis
istirahat, jam 16.00
Besok pagi kita latihan lagi kemampuan yang kedua. Bapak masih ingat kegiatan apa
lagi yang mampu dilakukan di rumah selain merapihkan tempat tidur? Ya bagus, cuci

piring.. kalu begitu kita akan latihan mencuci piring besok jam 8 pagi di dapur ruangan
ini sehabis makan pagi Sampai jumpa ya
Terminasi

SP 2: Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan pasien.
Orientasi :
Selamat pagi, bagaimana perasaan Bapak pagi ini ? Wah, tampak cerah
Bagaimana Bapak, sudah dicoba merapikan tempat tidur sore kemarin atau tadi pagi?
Bagus (kalau sudah dilakukan, kalau belum bantu lagi, sekarang kita akan latihan
kemampuan kedua. Masih ingat apa kegiatan itu ?
Ya benar, kita akan latihan mencuci piring di dapur
Waktunya sekitar 15 menit. Mari kita ke dapur!
Kerja :
Bapak sebelum kita mencuci piring kita perlu siapkan dulu perlengkapannya, yaitu sabut
atau tapes untuk membersihkan piring, sabun khusus untuk mencuci piring, dan air untuk
membilas., Bapak bisa menggunakan air yang mengalir dari kran ini. Oh ya jangan lupa
sediakan tempat sampah untuk membuang sisa-makanan.
Sekarang saya perlihatkan dulu ya caranya
Setelah semuanya perlengkapan tersedia, Bapak ambil satu piring kotor, lalu buang dulu
sisa kotoran yang ada di piring tersebut ke tempat sampah. Kemudian Bapak bersihkan
piring tersebut dengan menggunakan sabut/tapes yang sudah diberikan sabun pencuci
piring. Setelah selesai disabuni, bilas dengan air bersih sampai tidak ada busa sabun
sedikitpun di piring tersebut. Setelah itu Bapak bisa mengeringkan piring yang sudah
bersih tadi di rak yang sudah tersedia di dapur. Nah selesai
Sekarang coba Bapak yang melakukan
Bagus sekali, Bapak dapat mempraktekkan cuci pring dengan baik. Sekarang dilap
tangannya
Terminasi :
Bagaimana perasaan Bapak setelah latihan cuci piring ?
Bagaimana jika kegiatan cuci piring ini dimasukkan menjadi kegiatan sehari-hari
Bapak Mau berapa kali t mencuci piring? Bagus sekali Bapak mencuci piring tiga kali
setelah makan.
Besok kita akan latihan untuk kemampuan ketiga, setelah merapihkan tempat tidur dan

cuci piring. Masih ingat kegiatan apakah itu? Ya benar kita akan latihan mengepel
Mau jam berapa ? Sama dengan sekarang ? Sampai jumpa
Latihan dapat dilanjutkan untuk kemampuan lain sampai semua kemampuan dilatih.
Setiap kemampuan yang dimiliki akan menambah harga diri pasien.
3.4 Tindakan Keperawatan Pada Keluarga
Keluarga diharapkan dapat merawat pasien dengan harga diri rendah di rumah dan
menjadi sistem pendukung yang efektif bagi pasien.
1) Tujuan:
(1) Keluarga membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien.
(2) Keluarga memfasilitasi pelaksanaan kemampuan yang masih dimiliki pasien.
(3) Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan yang sudah dilatih dan
memberikan pujian atas keberhasilan pasien.
(4) Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien.
2) Tindakan Keperawatan
(1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
(2) Jelaskan kepada keluarga tentang harga diri rendah yang ada pada pasien
(3) Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien dan memuji pasien
atas kemampuannya
(4) Jelaskan cara-cara merawat pasien dengan harga diri rendah
(5) Demontrasikan cara merawat pasien dengan harga diri rendah
(6) Beri kesempatan kepada keluarga untuk mempraktekkan cara merawat pasien
dengan harga diri rendah seperti yang telah perawat demonstrasikan sebelumnya
(7) Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan pasien di rumah
Strategi Tindakan Pelaksanaan Pada Keluarga
SP 1: Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien di rumah,
menjelaskan tentang pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah, menjelaskan cara
merawat pasien dengan harga diri rendah, mendemonstrasikan cara merawat pasien
dengan harga diri rendah, dan memberi kesempatan kepada keluarga untuk
mempraktekkan cara merawat.
Orientasi:
Selamat pagi !
Bagaimana keadaan Bapak/Ibu pagi ini ?
Bagaimana kalau pagi ini kita bercakap-cakap tentang cara merawat Bapak? Berapa
lama
waktu Bapak/Ibu?30 menit? Baik, mari duduk di ruangan wawancara!
Kerja :
Apa yang bapak/Ibu ketahui tentang masalah Bapak

Ya memang benar sekali Pak/Bu, Bapak itu memang terlihat tidak percaya diri dan
sering menyalahkan dirinya sendiri. Misalnya pada Bapak, sering menyalahkan dirinya
dan mengatakan dirinya adalah orang paling bodoh sedunia. Dengan kata lain, anak
Bapak/Ibu memiliki masalah harga diri rendah yang ditandai dengan munculnya pikiranpikiran yang selalu negatif terhadap diri sendiri. Bila keadaan Bapak ini terus menerus
seperti itu, Bapak bisa mengalami masalah yang lebih berat lagi, misalnya t jadi malu
bertemu dengan orang lain dan memilih mengurung diri
Sampai disini, bapak/Ibu mengerti apa yang dimaksud harga diri rendah?
Bagus sekali bapak/Ibu sudah mengerti
Setelah kita mengerti bahwa masalah dapat menjadi masalah serius, maka kita perlu
memberikan perawatan yang baik untuk Bapak
Bpk/Ibu, apa saja kemampuan yang dimiliki Bapak? Ya benar, dia juga mengatakan hal
yang sama(kalau sama dengan kemampuan yang dikatakan Bapak)
Bapak itu telah berlatih dua kegiatan yaitu merapihkan tempat tidur dan cuci piring.
Serta telah dibuat jadual untuk melakukannya. Untuk itu, Bapak/Ibu dapat mengingatkan
Bapak untuk melakukan kegiatan tersebut sesuai jadual. tolong bantu menyiapkan alatalatnya, ya Pak/Bu. Dan jangan lupa memberikan pujian agar harga dirinya meningkat.
Ajak pula memberi tanda cek list pada jadual yang kegiatannya.
Selain itu, bila Bapak sudah tidak lagi dirawat di Rumah sakit, bapak/Ibu tetap perlu
memantau perkembangan Bapak. Jika masalah harga dirinya kembali muncul dan tidak
tertangani lagi, bapak/Ibu dapat membawa Bapak ke rumah sakit
Nah bagaimana kalau sekarang kita praktekkan cara memberikan pujian kepada
Bapak
temui Bapak dan tanyakan kegiatan yang sudah dia lakukan lalu berikan pujian yang
yang mengatakan: Bagus sekali Bapak, kamu sudah semakin terampil mencuci piring
Coba Bapak/Ibu praktekkan sekarang. Bagus
Terminasi:
Bagaimana perasaan Bapak/bu setelah percakapan kita ini?
Dapatkah Bapak/Ibu jelaskan kembali maasalah yang dihadapi t dan bagaimana cara
merawatnya?
Bagus sekali bapak/Ibu dapat menjelaskan dengan baik. Nah setiap kali Bapak/Ibu
kemari lakukan seperti itu. Nanti di rumah juga demikian.
Bagaimana kalau kita bertemu lagi dua hari mendatang untuk latihan cara memberi
pujian langsung kepada Bapak

Jam berapa Bp/Ibu dating? Baik saya tunggu. Sampai jumpa.


SP2 Keluarga:
Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah harga diri rendah
langsung kepada pasien.
Orientasi:
Selamat pagi Pak/Bu
Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini?
Bapak/IBu masih ingat latihan merawat keluarga BapakIbu seperti yang kita pelajari
dua hari yang lalu?
Baik, hari ini kita akan mampraktekkannya langsung kepada Bapak.
Waktunya 20 menit.
Sekarang mari kita temui Bapak
Kerja:
Selamat pagi Bapak. Bagaimana perasaan Bapak hari ini?
Hari ini saya datang bersama keluarga Bapak. Seperti yang sudah saya katakan
sebelumnya, keluarga Bapak juga ingin merawat Bapak agar Bapak cepat pulih.
(kemudian saudara berbicara kepada keluarga sebagai berikut)
Nah Pak/Bu, sekarang Bapak/Ibu bisa mempraktekkan apa yang sudah kita latihkan
beberapa hari lalu, yaitu memberikan pujian terhadap perkembangan keluarga
Bapak/Ibu
(Saudara mengobservasi keluarga mempraktekkan cara merawat pasien seperti yang
telah dilatihkan pada pertemuan sebelumnya).
Bagaimana perasaan Bapak setelah berbincang-bincang dengan keluarga?
Baiklah, sekarang saya dan orang tua Bapak ke ruang perawat dulu
(Saudara dan keluarga meninggalkan pasien untuk melakukan terminasi dengan
keluarga)
Terminasi:
Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita latihan tadi?
Mulai sekarang Bapak/Ibu sudah bisa melakukan cara merawat tadi kepada Bapak
Tiga hari lagi kita akan bertemu untuk mendiskusikan pengalaman Bapak/Ibu
melakukan cara merawat yang sudah kita pelajari. Waktu dan tempatnya sama seperti
sekarang Pak/Bu
Sampai jumpa

SP3 : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.


Orientasi:
Selamat pagi Pak/Bu
Karena hari ini bapak direncanakan pulang, maka kita akan membicarakan jadwal
Bapak selama di rumah
Berapa lama Bpk/Ibu ada waktu? Mari kita bicarakan di kantor
Kerja:
Pak/Bu ini jadwal kegiatan Bapak selama di rumah sakit. Coba diperhatikan, apakah
semua dapat dilaksanakan di rumah?Pak/Bu, jadwal yang telah dibuat selama Bapak
dirawat dirumah sakit tolong dilanjutkan dirumah, baik jadwal kegiatan maupun jadwal
minum obatnya
Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan oleh
Bapak selama di rumah. Misalnya kalau Bapak terus menerus menyalahkan diri sendiri
dan berpikiran negatif terhadap diri sendiri, menolak minum obat atau memperlihatkan
perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi rumah sakit atau
bawa bapak lansung kerumah sakit
Terminasi:
Bagaimana Pak/Bu? Ada yang belum jelas? Ini jadwal kegiatan harian Bapak. Jangan
lupa kontrol ke rumah sakit sebelum obat habis atau ada gejala yang tampak. Silakan
selesaikan administrasinya!

DAFTAR PUSTAKA
Azis, R, dkk. Pedoman asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
Keliat BA. Proses kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Carpenito, Lynda Juall. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta.

You might also like