You are on page 1of 6

ERRISKA RAHMA PUTRI

PEMBERIAN HADIAH
Saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, Ibu saya yang berprofesi sebagai auditor
disalah satu perusahaan BUMN, mengharuskan dirinya untuk sering berpergian ke luar kota.
Kala itu tak banyak yang saya ketahui tentang apa dan bagaimana pekerjaan Ibu saya, namun
naluri seorang anak kecil saya begitu senang saat Ibu saya pulang dari perjalanan dinas dan
membawa begitu banyak hadiah juga oleh-oleh untuk saya, keluarga besar, dan tetangga kami.
Bagi saya saat itu, oleh-oleh dan bermacam hadiah yang Ibu berikan merupakan bentuk kasih
sayangnya, rasa syukurnya dapat berkumpul kembali, dan sebagai ucapan terimakasihnya kepada
kami anak-anaknya yang tetap berkelakuan baik selama Beliau tinggal.
Seiring berjalannya waktu saya mengerti bahwa budaya pemberian hadiah seperti yang
dicontohkan Ibu saya telah mengajarkan banyak hal baik, sehingga saya patut meniru kebiasaan
itu. Hadiah sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemberian,
persenan, atau kado. Kegiatan pemberian hadiah telah menjadi bagian dalam hidup manusia,
dilihat dari keberlangsungannya selama hidup manusia. Perilaku pemberian hadiah dapat
dikatakan menjadi perilaku yang umum dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Belk & Coon
(1993), manusia termotivasi untuk memberikan hadiah dengan tujuan pertukaran sosial,
pertukaran ekonomi, dan berbagi kasih sayang.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya lebih sering memberikan hadiah kepada orangorang terkasih sebagai tanda kasih sayang. Adapun bentuk dan nominal hadiah yang saya berikan
beraneka ragam. Sejujurnya, bagi saya memperhatikan nominal suatu hadiah tidak begitu
penting, namun manfaat dan waktu pemberian hadiahlah yang harus diperhatikan. Ada beberapa
moment berharga, dimana saya pernah memberikan hadiah untuk Ibu dan sahabat-sahabat saya
tanpa harus mengeluarkan modal besar, beberapa contoh hadiah yang pernah saya berikan, antara
lain:
1. Lampu Hias. Saya pernah membuatkan lampu hias untuk Ibu dan seorang sahabat dekat
saya. Inspirasi pembuatan lampu hias itu datang setelah saya melihat botol-botol beling
bekas cairan infuse. Kala itu saya membuatkannya sebagai tanda terimakasih, karena Ibu
dan sahabat saya dengan sabar telah menjaga dan menemani saya saat harus menjalani
operasi dan rawat inap. Pada botol infuse tersebut saya tempelkan beberapa foto

ERRISKA RAHMA PUTRI

kenangan kami dan saya masukan beberapa origami serta kata-kata indah yang
menunjukkan betapa bahagianya saya memiliki mereka, terakhir saya berikan lampu
yang dapat berkelap kelip. Walau bagi saya cukup sederhana dan tak sebanding dengan
apa yang telah mereka berikan, namun ternyata lampu tersebut cukup berharga untuk
mereka.
2. Contoh kedua hadiah unik yang pernah saya berikan, ialah hiasan dinding dengan
kumpulan tanda tangan dan pesan indah dari teman-teman seangkatan S1 saya. Hadiah
tersebut saya berikan untuk sahabat dekat sekaligus sahabat seperjuangan saya kala S1
dulu. Sebenarnya, saat itu saya memberikan hadiah pada waktu ulang tahunnya, namun
pada waktu yang sama pula sahabat saya tersebut sedang mengalami keadaan kurang
baik. Dimana dia harus menunda waktu kelulusannya karena suatu hal, padahal secara
akademis dia jauh lebih pandai dari saya, bahkan dia selalu membantu saya mengatasi
kesulitan-kesulitan akademik. Singkat cerita saya turut bangga, karena berdasarkan
pengakuannya, hiasan dinding itu dia letakkan di depan meja belajarnya, sehingga
mampu memotivasinya untuk segera menyusul saya wisuda dan bergelar S.Si.
3. Hadiah lainnya yang pernah saya berikan ialah, sebuah video buatan saya sendiri yang
menceritakan perjuangan dan kebersamaan saya dengan teman-teman satu kelas Kimia
UNJ 2010. Video itu saya buat sebagai kenang-kenangan kelulusan kami. Bagi saya
pembuatan video tersebut merupakan hadiah alternative yang dapat menutupi keadaan
financial saya kala itu, namun disatu sisi hadiah itu tetap berharga untuk teman-teman
seperjuangan saya. Oleh karena itu meskipun memakan waktu lebih banyak, ada
kepuasan tersendiri dari apa yang sudah saya berikan. Bahkan beberapa teman saya,
membuat postingan di blog dan akun sosial mereka yang menunjukkan betapa bahagia
dan terharunya mereka setelah menonton video yang saya buat. Melihat respon dan
apresiasi teman-teman terhadap karya sederhana saya, semakin menguatkan alasan saya
untuk senantiasa memberi hadiah-hadiah istimewa.
Ketiga keadaan diatas merupakan contoh alasan saya memberikan hadiah, diantaranya
sebagai ucapan terima kasih, simbolisasi cinta dan kasih sayang, dan pada intinya hadiah tersebut
dapat menjadi sarana untuk menunjukkan ekspresi emosional saya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Komter & Vollenbergh (1997) yang dikutip dari (Parsons, 2002) dan Wolfinbarger
(1990), bahwa hadiah merupakan sarana untuk menunjukkan ekspresi emosional dan kepribadian
atau diri pemberi hadiah.

ERRISKA RAHMA PUTRI

Sedangkan menurut Van Baal (1975) dalam Sherry (1983) menginterpretasikan bahwa
hadiah sebagai sebuah ajakan pertemanan, dan keterlibatan pemberi dalam peristiwa suka dan
duka yang dialami penerima. Hadiah juga dapat dijadikan sebagai dasar penciptaan, dan
pembangunan kembali relasi antara pemberi dan penerima, misalnya ucapan terima kasih,
permintaan maaf, simbolisasi cinta, dan berbagai ekspresi emosional yang lain. Model perilaku
pemberian hadiah pun beraneka ragam, namun menurut Sherry (1983) dalam (Assael, 1995),
secara umum ada 3 proses pertukaran hadiah, diantaranya:
1.

Pencarian dan pembelian hadiah, yaitu konsumen mengidentifikasi situasi pemberian


hadiah, seperti pada liburan (Natal, Tahun Baru, Idul Fitri) atau personal (ulang tahun,
pernikahan, kenaikan jabatan, kenaikan kelas). Pemberi menentukan kategori harga dan

2.

produk yang sesuai untuk hadiah dan melakukan pemilihan.


Pertukaran hadiah, yaitu proses pemberian hadiah dan kemungkinan pertukaran hadiah.
Pemberi menentukan waktu, tempat, dan cara penyampaian hadiah, serta menilai

3.

tanggapan penerima.
Penempatan hadiah dan pemposisian relasi pemberi/penerima, yaitu hadiah yang
diberikan akan dikonsumsi, dipajang, disimpan, atau dikembalikan. Penempatan hadiah
ini akan menguatkan atau melemahkan hubungan antara pemberi dan penerima.
Model tersebut dapat membantu menentukan pembelian hadiah, jumlah hadiah, dan

ekspresi emosional pemberi yang tersirat bersama dengan hadiah atau nilai dari hadiah (Parsons,
2002). Pemberian hadiah erat kaitannya dengan makna yang tersirat dalam hadia yang diberikan.
Penerima hadiah biasanya tidak menilai hadiah berdasarkan volume dan aspek finansial, namun
melihat manfaat asosiasi merek atau produk dari hadiah. Selanjutnya, penerima hadiah akan
menilai kaitan antara makna hadiah dan relasinya dengan pemberi.

ERRISKA RAHMA PUTRI

Kemudian setelah interaksi pemberian hadiah terhjadi, umumnya penerima hadiah akan
memiliki rasa untuk membalas atau menggantinya. Hal ini sesuai dengan teori analisis Mauss
(1950), yang menekankan pemberian hadiah sebagai sebuah kewajiban untuk memberi,
menerima, dan mengembalikan.
Perkembangan penelitian mengenai pemberian hadiah dilanjutkan pada tahun 1960an,
diaman studi-studi dari berbagai sudut pandang, seperti antropologi, sosiologi, psikologi,
ekonomi, dan riset konsumen, mulai bermunculan. Keputusan konsumen memberi hadiah yang
khusus menjadi topik penting hingga akhir 1970an. Lalu pada tahun 1980an budaya
sosioekonomi memainkan peranan penting. Pertukaran hadiah di antara para pekerja menjadi
topik yang populer dan penekanan terbesar ditempatkan pada pertukaran hadiah pada peristiwa
bahagia. Tren penelitian pemberian hadiah yang terjadi pada 1990an adalah seputar gender
wanita diasumsikan memainkan peranan penting dalam membeli hadiah. Sejak awal abad ke-20,
beberapa penelitian memfokuskan pada bagaimana gaya hidup modern mempengaruhi
pemberian hadiah.
Hasil pekerjaan Mauss yang paling terkenal adalah buah pemikirannya yang berjudul The
Gift, yang ditulis pada tahun 1925. The gift merupakan teori analisis proses pemberian hadiah
terbaik saat itu (Homick, 2007). Mauss menggunakan studi kasus yang dilakukan di Amerika
Utara, Polynesia, dan Melanesia untuk membuktikan bahwa pertukaran hadiah adalah sebuah
sistem total di tengah-tengah masyarakat (Homick, 2007). Berdasarkan teori Mauss, pertukaran
hadiah dalam budaya yang berbeda melibatkan aspek-aspek, seperti religius, hukum, ekonomi,
mitologi, dan aspek pemberian lainnya (Homick, 2007).
Jika ditinjau dari aspek religi, karena saya seorang muslim maka beberapa perkara
mengenai pemberian hadiah dalam Islam diperbolehkan. Hal ini diterangkan oleh beberapa hadis
yang mengutip perkataan Rasulullah SAW seperti:
Hendaknyalah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.
(HR. Al Bukhari).
Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.
(HR. Al Bukhari).
Terlebih lagi jika hadiah yang kita berikan merupakan hadiah yang bermanfaat untuk penerima,
maka selain saling menumbuhkan rasa cinta dan kasih, hadiah tersebut juga akan memberikan
pahala yang berlipat ganda untuk kita.

ERRISKA RAHMA PUTRI

Selanjutnya apabila ditinjau dari psikologi maka hadiah yang diterima tersebut akan
memberikan emosional tersendiri bagi penerima, sehingga memunculkan beberapa atau banyak
perubahan sifat atau sikap dari diri penerima. Sebagai contoh jika ada sahabat yang sulit bangun
pagi, maka bisa memberi hadiah kepadanya jam weker, sehingga perlahan-lahan ia mampu
mengubah kebiasaannya, masih banyak lagi contoh hadiah yang dapat mengubah psikologi
penerimanya.
Dampak ekonomi perilaku pemberian hadiah dapat dilihat dari jumlah pengeluaran khusus
yang dialokasikan untuk hadiah. Menurut Shama & Thompson (1989), konsumen menghabiskan
lebih dari 10 persen dari pendapatan rumah tangga hanya untuk membeli hadiah (Homick, 2007).
Garner & Wagner (1991) menemukan bahwa konsumen di Amerika menghabiskan lebih dari $
110 miliar setiap tahun untuk pemberian hadiah. Penelitian Garner & Wagner (1991)
menunjukkan bahwa ketika pendapatan meningkat, pengeluaran tambahan untuk hadiah juga
meningkat, demikian sebaliknya (Homick, 2007).
Pemahaman tentang perilaku pemberian hadiah merupakan hal yang penting bagi para
peritel dan manajer merek (Parsons, 2002). Para pemasar dan pengiklan mempunyai kepentingan
yang sama untuk memahami emosi dan afektif pemberian hadiah, sehingga diperoleh
pemahaman yang lebih baik dalam pilihan dan perilaku konsumen (Kimeldorf, et al., 2007).
Pemahaman yang baik tentang perilaku pemberian hadiah membantu dalam menemukan pilihan
produk dan merek yang tepat bagi konsumen, sehingga mampu meraup dan melayani potensi
pasar hadiah yang tersedia sepanjang tahun, khususnya pasar remaja. Terlebih lagi dalam buku
Mauss yang berjudul The Gift, Mauss menemukan tiga tipe kewajiban yang biasanya memotivasi
dan menginspirasi seseorang dalam proses pemberian hadiah. Ketiga tipe tersebut, antara lain: 1)
memberi, 2) menerima, dan 3) membalas (Homick, 2007). Berdasarkan pengamatan-pengamatan
tersebutlah yang membuat para ekonom jeli melihat peluang, karena jelas sekali bahwa budaya
untuk memberi hadiah tak akan pernah terhenti.

ERRISKA RAHMA PUTRI

DAFTAR PUSTAKA
Assael, Henry (1995), Consumer Behavior and Marketing Action, Cincinnati, Ohio, SouthWestern College Publishing.
Homick, A.V. (2007), An Exploration of Gift Giving: Re-gifting as a Gift-giving Behavior,
Thesis University of North Carolina.
Kimeldorf, et al., (2007), Gift Giving as Costly Signaling in Courtship Contexts, University of
Miami.
Parsons, Andrew (2002), Brand Choice in Gift-Giving: Recipient Influence, Journal of
Product & Brand Management, Vol.11 No.4.
Sherry, J.F. Jr (1983), Gift-Giving in Anthropological Perspective, Journal of Consumer
Research, Vol. 10 No. 2, pp. 157-168.

You might also like