Professional Documents
Culture Documents
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
Mengingat
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN
MENTERI
KESEHATAN
TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI
FASILITAS
PELAYANAN
KESEHATAN
TINGKAT
PERTAMA.
-3KESATU
KEDUA
KETIGA
KEEMPAT
KELIMA
KEENAM
-4KETUJUH
KEDELAPAN
KESEMBILAN
KESEPULUH
KESEBELAS
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
-5LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN
PRAKTIK
KLINIS
BAGI
DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik adalah tugas
dan tanggung jawab dari negara sebagai bentuk amanah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
pelaksanaannya negara berkewajiban menjaga mutu pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan yang
berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga kesehatan yang berkualitas,
negara sangat membutuhkan peran organisasi profesi tenaga
kesehatan yang memiliki peran menjaga kompetensi anggotanya.
Bagi tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia yang mendapat
amanah untuk menyusun standar profesi bagi seluruh anggotanya,
dimulai dari standar etik (Kode Etik Kedokteran Indonesia KODEKI),
standar kompetensi yang merupakan standar minimal yang harus
dikuasasi oleh setiap dokter ketika selesai menempuh pendidikan
kedokteran, kemudian disusul oleh Standar Pelayanan Kedokteran
yang harus dikuasai ketika berada di lokasi pelayanannya, terdiri atas
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur
Operasional.
Standar Pelayanan Kedokteran merupakan implementasi dalam
praktek yang mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI) yang telah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
melakukan
2.
3.
4.
5.
7) Peralatan
Bagian ini berisi komponen fasilitas pendukung spesifik dalam
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit tersebut.
Penyediaan peralatan tersebut merupakan kewajiban fasilitas
pelayanan kesehatan disamping peralatan medik wajib untuk
pemeriksaan umum tanda vital.
8) Prognosis
Kategori prognosis sebagai berikut :
1. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses
kehidupan.
2. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap
fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya.
3. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh
total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa.
Prognosis digolongkan sebagai berikut:
1. Sanam: sembuh
2. Bonam: baik
3. Malam: buruk/jelek
4. Dubia: tidak tentu/ragu-ragu
5. Dubia
ad
sanam:
tidak
tentu/ragu-ragu,
sembuh/baik
6. Dubia
ad
malam:
tidak
tentu/ragu-ragu,
memburuk/jelek
cenderung
cenderung
-13BAB II
DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN
MASALAH DAN PENYAKIT
A. KELOMPOK UMUM
1. TUBERKULOSIS (TB) PARU
No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis
No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologically and
histologically confirmed
Tingkat Kemampuan 4A
a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa
Masalah Kesehatan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis.
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia merupakan negara yang
termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban
TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul
kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten
Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB.
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu,
yang disertai:
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis)
dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam dan mudah lelah).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit
sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara
dan
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari
penggunaan monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai,
diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien
Fase Intensif
Fase Lanjutan
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3x/minggu
(R/H/Z/E)
(R/H/Z)
(R/H/Z)
(R/H)
(R/H)
150/75/400/275
150/75/40
150/150/500
150/75
150/150
30-37
38-54
55-70
>71
Harian
3x seminggu
INH
RIF
PZA
EMB
Kontak TB
Tidak
jelas
Uji Tuberkulin
(Mantoux)
(-)
2
Laporan
keluarga, BTA
(-) atau BTA
tidak
jelas/tidak
tahu
Berat badan/
keadaan gizi
BB/TB <
90% atau
BB/U < 80%
Demam
yang
tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
Pembengkakan tulang/
sendi panggul
lutut, falang
Foto toraks
> 2 minggu
Klinis gizi
buruk atau
BB/TB <70%
atau BB/U <
60%
3
BTA (+)
(+) (10mm,
atau 5mm
pd keadaan
immunocomp
romised
3 minggu
>1 cm,
Lebih dari 1
KGB,
tidak nyeri
Ada
pembengkakan
Normal,
kelainan
tidak
jelas
Gambaran
sugestif TB
Skor Total
Beri OAT
2 bulan terapi
Terapi TB
diteruskan
Terapi TB diteruskan
sambil
mencaripenyebabnya
lengkap
Skor
-24Tabel 1.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak (sesuai
rekomendasi IDAI)
Berat badan
(kg)
5-9
10-14
15-19
20-32
Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah
sakit
2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi
dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum
(pelacakan sentripetal).
Evaluasi Hasil Pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan
pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis,
yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya
ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lainlain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan
berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam.
Kriteria Rujukan
1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan pengobatan.
2. Terjadi efek samping obat yang berat.
-253. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani pengobatan selama >2
minggu.
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
2. Mantoux test (uji tuberkulin).
3. Radiologi.
Referensi
Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak.
Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
2. TB DENGAN HIV
TB:
No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis
No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and
histologically confirmed
HIV:
No. ICPC-2 : B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10 : Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus
(HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
TB meningkatkan progresivitas HIV karena penderita TB dan HIV
sering mempunyai kadar jumlah virus HIV yang tinggi.Pada keadaan
koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih cepat dan pertahanan
hidup lebih singkat walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita
TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih singkat dibandingkan
penderita HIV yang tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART)
menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/HIV.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Batuk tidak merupakan gejala utama pada pasien TB dengan HIV.
Pasien diindikasikan untuk pemeriksaan HIV jika:
1. Berat badan turun drastis
2. Sariawan/Stomatitis berulang
Dahak mikroskopis
TB ekstraparu
Mikobakterimia
Tuberkulin
Foto toraks
Adenopati
hilus/mediastinum
Efusi pleura
-27-
Infeksi dini
Infeksi lanjut
Sering positif
Jarang
Tidak ada
Positif
Reaktivasi TB, kavitas
di puncak
Tidak ada
Sering negatif
Umum/banyak
Ada
Negatif
Tipikal primer TB
milier/interstisial
Ada
Tidak ada
Ada
Diagnosis Banding
1. Kriptokokosis
2. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
3. Aspergillosis
Komplikasi
1. Limfadenopati
2. Efusi pleura
3. Penyakit perikardial
4. TB Milier
5. Meningitis TB
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa
HIV/AIDS
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis
obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat.
3. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan
pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa
mempertimbangkan kadar CD4.
4. Perlu diperhatikan, pemberian secara bersamaan membuat pasien
menelan obat dalam jumlah yang banyak sehingga dapat terjadi
ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping, interaksi obat dan
Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome.
5. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.
6.
7.
8.
9.
-293. MORBILI
No. ICPC-2 : A71 Measles.
No. ICD-10 : B05.9 Measles without complication (Measles NOS).
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles.
Nama lain dari penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili
merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menular lewat udara
melalui aktivitas bernafas, batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita,
morbili dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti pneumonia
dan ensefalitis.
Salah satu strategi menekan mortalitas dan morbiditas penyakit
morbili adalah dengan vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, ternyata cakupan
imunisasi campak pada anak-anak usia di bawah 6 tahun di
Indonesia masih relatif lebih rendah(72,8%) dibandingkan negaranegara lain di Asia Tenggara yang sudah mencapai 84%. Pada tahun
2010, Indonesia merupakan negara dengan tingkat insiden tertinggi
ketiga di Asia Tenggara. World Health Organization melaporkan
sebanyak 6300 kasus terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang
tahun 2013.
Dengan demikian, hingga kini, morbili masih menjadi masalah
kesehatan yang krusial di Indonesia. Peran dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama sangat penting dalam
mencegah, mendiagnosis, menatalaksana, dan menekan mortalitas
morbili.
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas
(pilek, batuk), dan konjungtivitis.
2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan
papula eritem, yang dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi
rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal ke
bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada
hari ketiga.
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
4. Belum mendapat imunisasi campak
Komplikasi
-31-
Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk, anak
yang belum mendapat imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi
dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media, pneumonia, ensefalitis,
trombositopenia. Pada anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi kulit.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik. Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan
antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
usia, dilanjutkan dosis ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling dan Edukasi
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang
menular. Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat
sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. Edukasi
pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis.
Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin
efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita.
Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun,
bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia kurang dari 6 bulan yang lahir
dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Kriteria Rujukan
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan komplikasi
(superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi, croup, ensefalitis)
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk menegakkan diagnosis
morbili.
-32Prognosis
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan
penyakit self-limiting disease.
Referensi
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, 5th Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007.
(Djuanda, et al., 2007)
2. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrews Diseases of the
Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.
2000. (James, et al., 2000)
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman
Pelayanan Medik. 2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin, 2011)
4. VARISELA
No. ICPC-2
: A72 Chickenpox
No. ICD-10
: B01.9 Varicella without complication (Varicella NOS)
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster yang menyerang kulit
dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari.
Penularan melalui udara (air-borne) dan kontak langsung.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya lesi
kulit berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa jam berubah
menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal.
Faktor Risiko
1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
-33Tanda Patognomonis
Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa
jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan
embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian
menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikelvesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk
varisela. Penyebaran terjadi secara sentrifugal, serta dapat menyerang
selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas.
5. MALARIA
No. ICPC-2
: A73 Malaria
No. ICD-10
: B54 Unspecified malaria
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah,
dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan
menggigil, berkeringat, dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri otot
dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, mual muntah,
dan diare.
Faktor Risiko
1. Riwayat menderita malaria sebelumnya.
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria.
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemik malaria.
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Patognomonis
a. Pada periode demam:
Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat
dapat sampai di atas 400C dan kulit kering.
Pasien dapat juga terlihat pucat.
Nadi teraba cepat
Pernapasan cepat (takipneu)
b. Pada periode dingin dan berkeringat:
Kulit teraba dingin dan berkeringat.
2.
3.
4.
5.
6.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis ditemukan parasit
Plasmodium.
2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias Malaria: panas
menggigil berkeringat), pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit
plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis hapusan darah
tebal/tipis.
Klasifikasi
1. Malaria
2. Malaria
3. Malaria
4. Malaria
5. Malaria
Diagnosis Banding
1. Demam Dengue
2. Demam Tifoid
3. Leptospirosis
4. Infeksi virus akut lainnya
-39-
Peralatan
Laboratorium
sederhana
untuk
pembuatan
apusan
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan mikroskopis.
darah,
Prognosis
Prognosis bergantung pada derajat beratnya malaria. Secara umum,
prognosisinya adalah dubia ad bonam. Penyakit ini dapat terjadi
kembali apabila daya tahan tubuh menurun.
Referensi
1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et
al.Harrissons: Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009.
2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI.
Jakarta. 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
6. LEPTOSPIROSIS
No. ICPC-2
: A78 Infection disease other/ NOS
No. ICD-10
: A27.9 Leptospirosis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia
disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans dan memiliki
manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis mulai dari infeksi yang
tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan,
leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan
myalgia.Tikus adalah reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis
lebih banyak ditemukan pada musim hujan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan:
Demam disertai menggigil, sakit kepala, anoreksia, mialgia yang hebat
pada betis, paha dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual, muntah,
diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan kesadaran
Prognosis
-42-
7. FILARIASIS
: D96 Woms/other parasites
: B74 Filariasis
B74.0 Filariasis due to Wuchereria bancrofti
B74.1 Filariasis due to Brugia malayi
B74.2 Filariasis due to Brugia timori
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis
nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak
mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun
laki-laki.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global untuk mengeliminasi
filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of
LymphaticFilariasis as a Public Health problem by The Year 2020).
Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan
DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi
yangendemis serta perawatan kasus klinis baik yang akut maupun
kronis untuk mencegah kecacatandan mengurangi penderitaannya.
Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara
bertahap yang telah dimulai sejak tahun 2002 di 5 kabupaten.
Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun.
-43Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu:
Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular di
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari
genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat
berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik
dengan daerah endemik lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan intensitas paparan terhadap vektor infektif didaerah
endemik tersebut.
Manifestasi akut, berupa:
1. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila
istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah
lipatan paha, ketiak (lymphadentitis) yang tampak kemerahan,
panas, dan sakit.
3. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung
(retrograde lymphangitis).
4. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang
terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema).
Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran
limfe terjadi beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode
akut. Gejala kronis filariasis berupa: pembesaran yang menetap
(elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
(elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa
pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult
filariasis.
Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium
berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi
menjadi:
1. Masa prepaten, yaitu masa antara masuknya larva infektif hingga
terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya
sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi
mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik ini pun tidak
-46-
with or
without mild
Masalah Kesehatan
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah lahir dan luka baru
sembuh pada hari ke-15. Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di
sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka mencegah sepsis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Panas, rewel, tidak mau menyusu.
Faktor Risiko
1. Imunitas seluler dan humoral belum sempurna
2. Luka umbilikus
3. Kulit tipis sehingga mudah lecet
Faktor Predisposisi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali pusat seperti kemerahan,
panas, bengkak, nyeri, dan mengeluarkan pus yang berbau
busuk.
2. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila kemerahan dan bengkak
terbatas pada daerah kurang dari 1cm di sekitar pangkal tali pusat.
-503. Infeksi tali pusat berat atau meluas: bila kemerahan atau bengkak
pada tali pusat meluas melebihi area 1 cm atau kulit di sekitar tali
pusat bayi mengeras dan memerah serta bayi mengalami
pembengkakan perut.
4. Tanda sistemik: demam, takikardia, hipotensi, letargi, somnolen,
ikterus
Pemeriksaan Penunjang: Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Adanya tanda-tanda infeksi disekitar umblikus seperti bengkak,
kemerahan dan kekakuan. Pada keadaan tertentu ada lesi berbentuk
impetigo bullosa.
Diagnosis Banding
1. Tali pusat normal dengan akumulasi cairan berbau busuk, tidak
ada tanda tanda infeksi (pengobatan cukup dibersihkan dengan
alkohol)
2. Granuloma-delayed epithelialization/ Granuloma keterlambatan
proses epitelisasi karena kauterisasi
Komplikasi
1. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda: edema, kulit tampak
seperti jeruk (peau dorange appearance) disekitar tempat infeksi,
progresivitas cepat dan dapat menyebabkan kematian maka
kemungkinan menderita
2. Peritonitis
3. Trombosis vena porta
4. Abses
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Perawatan lokal
a. Pembersihan tali pusat dengan menggunakan larutan
antiseptik (Klorheksidin atau iodium povidon 2,5%) dengan
kain kasa yang bersih delapan kali sehari sampai tidak ada
nanah lagi pada tali pusat.
b. Setelah dibersihkan, tali pusat dioleskan dengan salep
antibiotik 3-4 kali sehari.
10. LEPRA
No. ICPC-2
: A78 Infectious disease other/NOS
No. ICD-10
: A30 Leprosy [Hansen disease]
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan
kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak
kulit pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata-rata
2,5 tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.
-54-
-55-
PB
Jumlah 1-5
MB
Jumlah >5
Hanya 1 saraf
BTA negatif
BTA positif
PB
Unilateral atau
bilateral asimetris
MB
Bilateral simetris
Permukaan bercak
Kering, kasar
Halus, mengkilap
Batas bercak
Tegas
Kurang tegas
Jelas
Deformitas
Proses
cepat
Ciri-ciri khas
terjadi
-57-
Tanda utama
Ada
Ragu
Tidak ada
Kusta
Tersangka
Bukan Kusta
Jumlah bercak
Penebalan saraf &
gangguan fungsi
BTA
BTA
Atau
Observasi
36
bulan
Tanda
utama
Bercak 1 5
Saraf 1
BTA (-)
Bercak >
5
Saraf > 1
BTA (+)
Ada
Tidak
ada
Ragu
Rujuk
MB
PB
Reaksi Tipe 2
BI >4+
Reaksi tipe 1
Reaksi tipe 2
1.
Tipe kusta
2.
Waktu
timbulnya
Biasanya setelah
mendapat pengobatan
yang lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
3.
Keadaan umum
4.
Peradangan di
kulit
5.
Saraf
Dapat terjadi
6.
Udem pada
ekstrimitas
(+)
(-)
7.
Peradangan
pada mata
Iritis, iridosiklitis,
galucoma, katarak, dll
8.
Peradangan
pada organ lain
4.
5.
6.
7.
8.
9.
-6110. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren,
untuk MB dengan alergi, terapinya hanya 2 macam obat
(dikurangi DDS).
Tabel 1.10 Efek samping obat dan penanganannya
Masalah
Nama Obat
Penanganan
Rifampisin
Clofazimin
Reassurance (Menenangkan
penderita dengan penjelasan
yang benar) Konseling
Konseling
Anemia
Dapson
Ringan
Serius
Ruam kulit yang gatal
Alergi urtikaria
Ikterus (kuning)
Syok, purpura, gagal
ginjal
Dapson
Dapson atau
Rifampisin
Rifampisin
Rifampisin
tentang
lepra,
-63-
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan BTA
Prognosis
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam
pada fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula
untuk kejadian berulangnya.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan , 2012)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. (Djuanda, et al., 2007)
-651. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah selflimiting, pengobatan khusus tidak diperlukan. Dari beberapa studi
didapatkan bahwa hanya 10% kasus membutuhkan terapi
antibiotik. Tujuan utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan
suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian cairan
rehidrasi oral (oralit) atau larutan intravena (misalnya, larutan
natrium klorida isotonik, larutan Ringer Laktat). Rehidrasi oral
dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung natrium dan
glukosa. Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium
hidroksida) membantu memadatkan feses diberikan bila diare
tidak segera berhenti.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus
ditentukan dengan melakukan kultur tinja. Untuk itu harus
segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri.
Konseling dan Edukasi
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga dan
pasien.
Kriteria Rujukan
1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani dengan
adekuat.
2. Pasien mengalami perburukan.
Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder dengan spesialis penyakit
dalam atau spesialis anak.
Peralatan
1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
3. Antibiotik bila diperlukan
Prognosis
Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami komplikasi adalah
bonam.
Referensi
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
2. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta.
2007. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
-67Faktor Risiko
Terdapat riwayat alergi di keluarga
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta paru.
Pemeriksaan Penunjang: Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnosis Banding
Intoksikasi makanan
Komplikasi
Reaksi alergi berat
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Medika mentosa
Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:
1. Hindari makanan penyebab
2. Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi makanan
Rencana Tindak Lanjut
1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
2. Menghindari makanan yang bersifat alergen secara sengaja mapun
tidak sengaja (perlu konsultasi dengan ahli gizi)
3. Perhatikan label makanan
4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan menimbulkan efek protektif
terhadap alergi makanan
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan
eliminasi makanan terjadi reaksi anafilaksis.
Peralatan : Prognosis
Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa
disertai dengan perubahan gaya hidup.
-68-
Referensi
1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol.
2010; 125: 116-25. (Sichere & Sampson, 2010)
2. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam
Alergi Makanan.Ed. Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta:
Dian Rakyat. 2003. (Davies, 2003)
13. SYOK
No. ICPC-2
: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD-10
: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Syok
merupakan
salah
satu
sindroma
kegawatan
yang
memerlukanpenanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu
sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau
sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsimultipel organ.
Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen sistemik
yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme
sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) ketergantungan suplai oksigen,
2) kekurangan oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi
metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ
vital dan kematian.
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik
pola hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu:
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
disebabkan oleh hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar
>20-25% sebagai akibat dari perdarahan akut, dehidrasi,
kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder dilatasi
arteri dan vena.
2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
disebabkan oleh adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas
pompa jantung untuk mencukupi volume jantung semenit,
berkaitan dengan terganggunya preload, afterload, kontraktilitas,
frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah
infark miokard akut, keracunan obat, infeksi/inflamasi, gangguan
mekanik.
-73Syok Neurogenik:
1. Setelah mengamankan jalan nafas dan resusitasi cairan, guna
meningkatkantonus vaskuler dan mencegah bradikardi diberikan
epinefrin.
2. Epinefrin berguna meningkatkan tonus vaskuler tetapi akan
memperberat bradikardi, sehingga dapat ditambahkan dopamin
dan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan glikopirolat juga
dapat untuk mengatasi bradikardi.
3. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla spinalis yang terkena.
Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab syok dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk tindakan lebih
lanjut yang diperlukan.
Konseling dan Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai kemungkinan terburuk yang
dapat terjadi pada pasien dan pencegahan terjadinya kondisi serupa.
Kriteria Rujukan
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien dirujuk ke pelayanan
kesehatan sekunder.
Peralatan
1. Infus set
2. Oksigen
3. NaCl 0,9%
4. Senter
5. EKG
Prognosis
Prognosis suatu syok amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya sehingga pada umumnya adalah dubia ad bonam.
Referensi
1. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.
Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,
2000)
2. Rahardjo, E. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu1.Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000.
3. Suryohudoyo, P. Update on Shock, Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.
Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000.
sering
tidak
sebab
gejala
-75yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh
karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus
diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat.
Manifestasi
dari
gangguan
gastrointestinal
berupa
perut
kram,mual,muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
Faktor Risiko:
Riwayat Alergi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena
edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang
menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital,
mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit
berupa urtikaria dan eritema.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy
Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi
anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal:
urtikaria
generalisata,
pruritus
dengan
kemerahan,
pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari
tanda berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat
bronkospasme,
stridor,
penurunan
arus
puncak
ekspirasi/APE, hipoksemia).
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
kegagalan organ target (misal: hipotonia, kolaps vaskular,
sinkop, inkontinensia).
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa
menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang
mungkin (likely allergen), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
-77d. Septik
5. Kelainan non-organik
a. Disfungsi pita suara
b. hiperventilasi
c. Episode psikosomatis
6. Peningkatan histamin endogen
a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast
b. Leukemia basofilik
7. Lainnya
a. Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II,
atau III, angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Systemic capillary leak syndrome
c. Red man syndrome akibat vancomycin
d. Respon paradoksikal pada feokromositoma
Komplikasi
1. Koma
2. Kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai
diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan
venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
2. Pemberian Oksigen 35 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan
yang sangat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi
perlu dipertimbangkan.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran) merupakan
pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler
secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian
cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah
kembali optimal dan stabil.
4. Adrenalin 0,3 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara
intramuskuler yang dapat diulangi 510 menit. Dosis ulangan
umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup
singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2 ml
adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis,
diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya
5.
6.
7.
8.
ampul,
difenhidramin
vial,
Prognosis
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan
diagnosa dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad
bonam.
Referensi
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of
Critical care. Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William,
C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia: WB Saunders Company. 2000: p.
246-56.
2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions.
In:International edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen.
Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam
Update on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran
Universitas Airlangga Surabaya. 2000.
15. DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE
: A77 Viral disease other/NOS
: A90 Dengue fever
A91 Dengue haemorrhagic fever
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden penyakit
DBD Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara Asia
Tenggara. Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat
Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan:
a. Trombositopenia ( 100.000/L).
b. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
peningkatan hematokrit (Ht) 20% dari nilai standar data
populasi menurut umur
Ditemukan adanya efusi pleura, asites
Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
c. Leukopenia < 4000/L.
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti-Dengue, yang titernya
dapat terdeteksi setelah hari ke-5 demam.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis Klinis Demam Dengue
1. Demam 27 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus,
bifasik.
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie,
purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif.
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
sekitar rumah.
5. Leukopenia < 4.000/mm3
6. Trombositopenia < 100.000/mm3
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau
lebih tanda dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat
ditegakkan.
Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
1. Demam 27 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus
(kontinua)
diperlukan
untuk
survailans
PERBAIKAN
TIDAK MEMBAIK
Ht dan frekuensi nadi meningkat, tekanan
darah menurun < 20 mmHg, produksi urin
menurun
Infus kristaloid
10 ml/kgBB/jam
TIDAK MEMBAIK
Infus kristaloid
15 ml/kgBB/jam
PERBAIKAN
KONDISI MEMBURUK
Tanda syok
pasien
dengan
demam
a.
b.
c.
d.
Kriteria Rujukan
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi).
2. Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit,
walaupun tidak ada kegagalan sirkulasi.
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah
dengan adekuat, walaupun DBD tanpa syok.
Konseling dan Edukasi
a. Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, prognosis, dan
rencana tatalaksana.
b. Penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya (warning signs) yang
perlu diwaspadai dan kapan harus segera ke layanan kesehatan.
c. Penjelasan mengenai jumlah cairan yang dibutuhkan oleh anak.
d. Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu diberikan.
e. Penjelasan mengenai cara minum obat.
f. Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara-cara pencegahan yang
berkaitan dengan perbaikan higiene personal, perbaikan sanitasi
lingkungan, terutama metode 4M plus seminggu sekali, yang
terdiri atas:
1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, tempayan, ember, vas
bunga, tempat minum burung, dan penampung air kulkas agar
telur dan jentik Aedes aegypti mati.
2) Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti
tidak dapat masuk dan bertelur.
3) Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang
dapat menampung air hujan agar tidak menjadi sarang dan
tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti.
4) Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat
nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.
5) Tidak menggantung baju, menghindari gigitan nyamuk,
membubuhkan bubuk abate, dan memelihara ikan.
-88-
Peralatan
1. Poliklinik set (termometer, tensimeter, senter)
2. Infus set
3. Cairan kristaloid (RL/RA) dan koloid
4. Lembar observasi / follow up
5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
Prognosis
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena
hal ini tergantung dari derajat beratnya penyakit.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention
and control. 2nd Edition. Geneva. 1997
4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama
di Kabupaten / Kota. 1 ed. Jakarta: World Health Organization
Country Office for Indonesia.
5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pedoman Diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada
anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2014.
B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN
1. ANEMIA DEFISIENSI BESI
No. ICPC-2
: B80 Iron Deficiency Anaemia
No. ICD-10
: 280 Iron Deficiency Anemias
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Anemia
merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
Masalah Kesehatan
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak negara di dunia serta menyebabkan krisis multidimensi.
Berdasarkan hasil estimasi Departemen Kesehatan tahun 2006
diperkirakan terdapat 169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS di
Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO memperkirakan
sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan
tertentu. Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau intermiten lebih dari
satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat
badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan
transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual
(IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskordan salah satu pasangan positif HIV
-94-
Stadium 1 Asimptomatik
1. Tidak ada penurunan BB
2. Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten
Stadium 2 Sakit Ringan
1. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya
(<10% dari perkiraan BB atau BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption)
7. Dermatitis seboroik
8. Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3 Sakit Sedang
1. Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (> 10%
dari perkiraan BB atau BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema,
meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteriemia,
penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, ginggivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8g/dL), neutropeni
(<0,5 x 10 g/L) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/L)
Diagnosis Banding
Penyakit gangguan sistem imun
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama dapat dimulai apabila
penderita HIV sudah dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi
Pilihan yang
direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC (atau
FTC) + EVF atau NVP
Perempuan
hamil
Ko-infeksi
HIV/TB
Ko-infeksi
HIV/Hepatitis
B kronik aktif
Catatan
Merupakan pilihan paduan yang
sesuai untuk sebagian besar pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Tidak boleh menggunakan EFV
pada trimester pertama
TDF bisa merupakan pilihan
Mulai terapi ARV segera setelah
terapi TB dapat ditoleransi (antara
2 minggu hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau tripel NRTI bila
EFV tidak dapat digunakan
Pertimbangkan pemeriksaan HbsAG
terutama bila TDF merupakan
paduan lini pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang memiliki
aktivitas anti-HBV
Dosis
Protease inhibitors
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
ART kombinasi
AZT -3TC (Duviral )
berkembang
sesuai
-100Faktor Risiko
Pasien dengan gejala klinis yang mendukung dan memiliki riwayat
keluarga yang menderita penyakit autoimun meningkatkan kecurigaan
adanya LES.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat dalam LES. Manifestasi
yang umum didapatkan antara lain:
1. Gejala konstitusional, misalnya: kelelahan, demam (biasanya tidak
disertai menggigil), penurunan berat badan, rambut rontok,
bengkak, dan sakit kepala.
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai lebih dari 90%, misalnya:
mialgia, artralgia atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi sendi).
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam malar/ruam kupukupu, fotosensitifitas, alopecia, dan ruam diskoid.
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis (sesak, batuk kering,
ronkhi di basal), emboli paru, hipertensi pulmonum, dan efusi
pleura.
5. Manifestasi kardiologi, misalnya Pleuropericardial friction rubs,
takipneu, murmur sistolik, gambaran perikarditis, miokarditis dan
penyakit jantung koroner.
6. Manifestasi renal dijumpai pada 40-75% penderita setelah 5 tahun
menderita lupus, misalnya hipertensi, hematuria, edema perifer,
dan edema anasarka.
7. Manifestasi gastrointestinal umumnya merupakan keterlibatan
berbagai organ dan akibat pengobatan, misalnya mual, dispepsia,
nyeri perut, dan disfagi.
8. Manifestasi neuropsikiatrik misalnya kejang dan psikosis.
9. Manifestasi hematologi, misalnya leukopeni, lymphopenia, anemia
atau trombositopenia.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan DPL (darah perifer lengkap) dengan hitung
diferensial dapat menunjukkan leukopeni, trombositopeni, dan
anemia.
b. Pemeriksaan serum kreatinin menunjukkan peningkatan serum
kreatinin.
c. Urinalisis menunjukkan adanya eritrosit dan proteinuria.
-1012. Radiologi
X-ray Thoraks dapat menunjukkan adanya efusi pleura.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. Berdasarkan American College of Rheumatology (ACR)
tahun 1997, LES dapat ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria
yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Batasan
Ruam malar
Ruam diskoid
Fotosensitifitas
Ulkus mulut
Artritis non-erosif
Pleuritis
atau perikarditis
Gangguan renal
Gangguan neurologi
Gangguan
-102Kriteria
hematologic
Batasan
b. Leukopenia- <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau
c. Limfopenia- <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau
d. Trombositopenia- <100.000/mm3 tanpa disebabkan
obat-obatan.
Gangguan
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik
yang abnormal atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan
atas:
1)
kadar
serum
antibodi
antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes
lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standar, atau 3) hasil tes positif palsu paling tidak
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorbsi
antibodi treponemal.
Antibodi antinuklear Titer positif dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif (ANA)
pemeriksaan
imunofluoresensi
atau
pemeriksaan
setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit
tanpa keterlibatan obat.
Diagnosis Banding
1. Mixed connective tissue disease
2. Sindrom vaskulitis
Komplikasi
1. Anemia hemolitik
2. Trombosis
3. Lupus serebral
4. Nefritis lupus
5. Infeksi sekunder
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif
Pemberian analgetik sederhana atau obat antiinflamasi non steroid,
misalnya parasetamol 3-4 x 500-1000 mg, atau ibuprofen 400-800 mg
3-4 kali perhari, natrium diklofenak 2-3 x 25-50 mg/hari pada keluhan
artritis, artralgia dan mialgia.
2.
3.
4.
5.
4. LIMFADENITIS
No ICPC-2
: L04.9 Acute lymphadenitis, unspecified
No ICD-10
: B70 Lymphadenitis Acute
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar
getah bening. Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai
organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. Secara
khusus, infeksi menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi kulit,
telinga, hidung atau mata.
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan Tuberkulosis adalah
penyebab paling umum dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa,
riketsia, jamur juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.
-105-
Keluhan:
Pembengkakan kelenjar getah bening
Demam
Kehilangan nafsu makan
Keringat berlebihan,
Nadi cepat
Kelemahan
Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bagian atas.
Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit kolagen atau penyakit
serum (serum sickness)
Faktor Risiko:
Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri
streptokokus, infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bakteri
anaerob.
Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke daerah endemis penyakit
tertentu, misalnya perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat
menunjukkan
penyebab
limfadenitis
adalah
penyakit
Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang yang bekerja di hutan
Limfadenitis dapat terkena Tularemia.
Paparan terhadap infeksi/kontak sebelumnya kepada orang
dengan infeksi saluran nafas atas, faringitis oleh Streptococcus,
atau Tuberkulosis turut membantu mengarahkan penyebab
limfadenopati.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher bagian posterior
(belakang) terdapat pada infeksi rubela dan mononukleosis.
Sedangkan pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya
bilateral (dua sisi-kiri/kiri dan kanan) dengan ukuran normal bila
diameter 0,5cm, dan lipat paha bila diameternya >1,5 cm
dikatakan abnormal).
Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi bakteri
Kemerahan dan hangat pada perabaan mengarah kepada infeksi
bakteri sebagai penyebabnya
Fluktuasi menandakan terjadinya abses
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan skrining TB: BTA Sputum, LED, Mantoux Test.
Laboratorium: Darah perifer lengkap
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Diagnosis Banding
1. Mumps
2. Kista Duktus Tiroglosus
3. Kista Dermoid
4. Hemangioma
Komplikasi
1. Pembentukan abses
2. Selulitis (infeksi kulit)
3. Sepsis (septikemia atau keracunan darah)
4. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh TBC)
Peralatan
-108-
Masalah Kesehatan
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan penyakit mukosa mulut
tersering dan memiliki prevalensi sekitar 10 25% pada populasi.
Sebagianbesar kasus bersifat ringan, self-limiting, dan seringkali
diabaikan oleh pasien. Namun, SAR juga dapat merupakan gejala dari
penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit Crohn, penyakit Coeliac,
malabsorbsi, anemia defisiensi besi atau asam folat, defisiensi vitamin
B12, atau HIV. Oleh karenanya, peran dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama dalam mendiagnosis dan menatalaksana
SAR sangat penting.
Stomatitis Herpes
Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada mukosa mulut akibat
infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 (HSV 1). Penyakit ini cukup sering
ditemukan pada praktik layanan tingkat pertama sehari-hari.
Beberapa diantaranya merupakan manifestasi dari kelainan
imunodefisiensi yang berat, misalnya HIV. Amat penting bagi para
Aftosa mayor
Jarang
Mukosa non-keratin dan
mukosa mastikatorik
(gingiva dan sisi dorsum
lidah)
Aftosa herpetiform
Jarang
Mukosa
keratin
non-
Banyak, bahkan
hingga ratusan
Dangkal
Dangkal
Bulat,
tegas
Bulat, namun
dapat
berkonfluensi
satu sama lain
membentuk
tampilan ireguler,
berbatas tegas
Diameter 5 7 mm
Diameter 1 2
mm
Tepi eritematosa
Kadang menyerupai
keganasan
Mukosa sekitar
eritematosa
Bagian tengah
berwarna putih
kekuningan
Pemeriksaan fisik
1. Tanda anemia (warna kulit, mukosa konjungtiva)
2. Pemeriksaan abdomen (distensi, hipertimpani, nyeri tekan)
3. Tanda dehidrasi akibat diare berulang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Darah perifer lengkap
2. MCV, MCH, dan MCHC
Stomatitis Herpes
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pemeriksaan penunjang
Tidak mutlak dantidak rutin dilakukan.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
Diagnosis SAR dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya penyakit
sistemik yang mendasari.
Diagnosis Banding
1. Herpes simpleks
2. Sindrom Behcet
3. Hand, foot, and mouth disease
4. Liken planus
5. Manifestasi oral dari penyakit autoimun (pemfigus, SLE, Crohn)
6. Kanker mulut
Stomatitis Herpes
Diagnosis stomatitis herpes dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Diagnosis banding:
1. SAR tipe herpetiform
2. SAR minor multipel
3. Herpes zoster
4. Sindrom Behcet
5. Hand, foot, and mouth disease
6. Manifestasi oral dari penyakit autoimun (pemfigus, SLE, Crohn)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
-113Stomatitis Herpes
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu:
1. Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan analgetik seperti
Parasetamol atau Ibuprofen. Larutan kumur chlorhexidine 0,2%
juga memberi efek anestetik sehingga dapat membantu.
2. Pilihan antivirus yang dapat diberikan, antara lain:
a. Acyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:
dewasa: 5 kali 200 400 mg per hari, selama 7 hari
anak: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 5 kali pemberian,
selama 7 hari
b. Valacyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:
dewasa: 2 kali 1 2 g per hari, selama 1 hari
anak
: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 5 kali
pemberian, selama 7 hari
c. Famcyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:
dewasa: 3 kali 250 mg per hari, selama 7 10 hari untuk
episode tunggal3 kali 500 mg per hari, selama 7 10 hari
untuk tipe rekurens
anak
: Belum ada data mengenai keamanan dan
efektifitas pemberiannya pada anak-anak
Dokter perlu memperhatikan fungsi ginjal pasien sebelum
memberikan obat-obat di atas. Dosis perlu disesuaikan pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal. Pada kasus stomatitis herpes akibat
penyakit sistemik, harus dilakukan tatalaksana definitif sesuai
penyakit yang mendasari.
Pencegahan rekurensi pada stomatitis herpes rekurens
Pencegahan rekurensi dimulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor
pencetus dan selanjutnya melakukan penghindaran. Faktor-faktor
yang biasanya memicu stomatitis herpes rekurens, antara lain trauma
dan paparan sinar matahari.
Peralatan
1. Kaca mulut
2. Lampu senter
Prognosis
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
1. Ad vitam
: Bonam
-1142.
3.
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia
Stomatitis Herpes
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: NonInfective Stomatitis. In Cawsons Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Spain: Elsevier Science Limited, pp. 192195.
(Cawson & Odell, 2002)
2. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease:
Diagnosis and Management. London: Martin Dunitz Limited, pp.
7382. (Scully, 1999)
3. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of
Diagnosis and Treatment. Journal of The American Dental
Association, 127, pp.12021213. (Woo & Sonis, 1996)
4. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and
Bullous Lesions. In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds.
Burkets Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p. 41. (Woo &
Greenberg, 2008)
2. REFLUKSGASTROESOFAGEAL
: D84 Oesphagus disease
: K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without
oesophagitis
Tingkat Kemampuan 4A
No ICPC-2
No ICD-10
Masalah Kesehatan
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah mekanisme refluks
melalui sfingter esofagus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau epigastrik dan dapat
menjalar ke leher disertai muntah, atau timbul rasa asam di mulut.
-115Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan volume besar dan
berlemak. Keluhan ini diperberat dengan posisi berbaring terlentang.
Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena makanan berupa saos
tomat, peppermint, coklat, kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul
pada malam hari.
Faktor risiko
Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok, konsumsi kopi,
alkohol, coklat, makan berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat,
teofilin dan verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja yang sering
mengangkat beban berat.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD. Tindakan untuk
pemeriksaan adalah dengan pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya
positif, maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI (Proton Pump
Inhibitor).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat. Kemudian
untuk di fasilitas pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi dengan
PPI test, bila memberikan respon positif terhadap terapi, maka
diagnosis definitif GERD dapat disimpulkan.
Standar baku untuk diagnosis definitif GERD adalah dengan
endoskopi saluran cerna bagian atas yaitu ditemukannya mucosal
break di esophagus namun tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh
dokter spesialis yang memiliki kompetensi tersebut.
Diagnosis Banding
Angina pektoris, Akhalasia,
duodenum, Pankreatitis
Dispepsia,
Ulkus
peptik,
Ulkus
Komplikasi
Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan esofagus, Striktur
esophagus, Barrets esophagus, Adenokarsinoma, Batuk dan asma,
Inflamasi faring dan laring, Aspirasi paru.
Gejala alarm
Umur > 40 th
Respon baik
Endoskopi
kambuh
Konsensus Gerd ,2004
-117Kriteria Rujukan
1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil
2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun kambuh kembali
3. Adanya alarm symptom:
a. Berat badan menurun
b. Hematemesis melena
c. Disfagia (sulit menelan)
d. Odinofagia (sakit menelan)
e. Anemia
Peralatan
Kuesioner GERD
Prognosis
Prognosis umumnya bonam tetapi sangat tergantung dari kondisi
pasien saat datang dan pengobatannya.
Referensi
Konsensus
Nasional
Penatalaksanaan
Penyakit
Refluks
Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia.
2004.
3. GASTRITIS
No ICPC-2
: D07 Dyspepsia/indigestion
No ICD-10
: K29.7 Gastritis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila
terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi
dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
-118-
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar
pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti
dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Faktor Risiko
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis
makanan pedas, porsi makan yang besar
2. Sering minum kopi dan teh
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid
5. Usia lanjut
6. Alkoholisme
7. Stress
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit
autoimun, HIV/AIDS, Chron disease
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan
saluran cerna berupa hematemesis dan melena.
3. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak
anemis.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan
pemeriksaan:
1. Darah rutin.
2. Untuk
mengetahui
infeksi
pemeriksaanUreabreath test dan feses.
3. Rontgen dengan barium enema.
4. Endoskopi
Helicobacter
pylori:
-119Diagnosis Banding
1. Kolesistitis
2. Kolelitiasis
3. Chron disease
4. Kanker lambung
5. Gastroenteritis
6. Limfoma
7. Ulkus peptikum
8. Sarkoidosis
9. GERD
Komplikasi
1.
2.
3.
4.
Prognosis
-120-
-122Prognosis
Pada umumnya, prognosis tidak mengancam jiwa, namun fungsionam
dan sanasionamnya adalah dubia ad bonam karena tergantung pada
paparan terhadap makanan penyebab.
Referensi
Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006. Hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
5. MALABSORBSI MAKANAN
No. ICPC-2
: D29 Digestive syndrome/complaint other
No. ICD-10
: K90.9 Intestinal malabsorbtion, unspecified
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Pankreatititis
Penyakit Chrons pada illeum terminalis
Sprue Celiac
Penyakit whipple
Amiloidosis
Defisiensi laktase
Sindrom Zollinger-Ellison
Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus halus atau kolon
Komplikasi
Dehidrasi
3.
4.
5.
6.
DOSIS
Dewasa: 4x500 mg
selama 10 hari
Anak 100
mg/kgBB/hari, per oral
atau intravena, dibagi 4
dosis, selama 10-14 hari
KETERANGAN
Merupakan obat yang sering
digunakan dan telah lama
dikenal efektif untuk tifoid
Murah dan dapat diberikan
peroral serta sensitivitas
masih tinggi
Pemberian PO/IV
Seftriakson
Ampisilin &
Amoksisilin
Dewasa: 2-4gr/hari
selama 3-5 hari
Anak: 80 mg/kgBB/hari,
IM atau IV, dosis tunggal
selama 5 hari
Dewasa: (1.5-2) gr/hr
selama 7-10 hari
Anak: 100
mg/kgbb/hari per oral
-130ANTIBIOTIKA
DOSIS
atau intravena, dibagi 3
dosis, selama 10 hari.
Kotrimoksazole
(TMP-SMX)
Kuinolon
Sefiksim
Thiamfen
ikol
Dewasa: 2x(160-800)
selama 7-10 hari
Anak: Kotrimoksazol 4-6
mg/kgBB/hari, per oral,
dibagi 2 dosis, selama 10
hari.
Ciprofloxacin 2x500 mg
selama 1 minggu
Ofloxacin 2x(200-400)
selama 1 minggu
Anak: 20 mg/kgBB/hari,
per oral, dibagi menjadi 2
dosis, selama 10 hari
Dewasa: 4x500 mg/hari
Anak: 50 mg/kgbb/hari
selama 5-7 hari bebas
panas
KETERANGAN
Tidak mahal
Pemberian PO/IV
Tidak mahal
Pemberian per oral
-132Kriteria Rujukan
1.
2.
3.
4.
Peralatan
Poliklinik set dan peralatan laboratorium
pemeriksaan darah rutin dan serologi.
untuk
melakukan
Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun adsanationam dubia ad bonam,
karena penyakit dapat terjadi berulang.
Referensi
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
(Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
(Sudoyo, et al., 2006)
3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of
pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders;
2004. (Feigin, et al., 2004)
4. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of
pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill &
Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugmans infectious disease of
children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al.,
2004)
6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making
strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al.,
2002)
7. CDC.
Typhoid
fever.
2005.
www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.htm
(Center for Disease and Control, 2005)
-1338. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the
management of typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al.,
2003)
9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL.
The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical
Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test
vis--vis blood culture and Widal test in the early diagnosis of
typhoid fever in children in a resource poor setting. Braz J Infect
Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
11. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009.
Section
3.
http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3.
117 (Anon., 2009)
Masalah Kesehatan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus
halus yang ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih
dalam waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut kronis. WHO
(World Health Organization) mendefinisikan diare akut sebagai diare
yang biasanya berlangsung selama 3 7 hari tetapi dapat pula
berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah episode diare
yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai
diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini
menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan kematian
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak karena daya tahan
tubuh yang belum optimal. Diare merupakan salah satu penyebab
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada anak di bawah
umur lima tahun di seluruh dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan
dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab gastroenteritis antara lain
infeksi, malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan psikologis
penderita.
Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)
Tabel 3.4 Skor penilaian klinis dehidrasi
Baik, sadar
*Gelisah, rewel
Normal
Cekung
Ada
Basah
Minum
tidak haus
Tidak ada
Kering
*haus ingin minum
banyak
Mata
Air mata
Mulut dan
lidah
Rasa haus
Periksa
turgor kulit
Hasil
pemeriksaan
Terapi
biasa
Kembali cepat
*kembali lambat
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi
ringan/sedang
Bila ada 1 tanda (*)
ditambah 1 atau
lebih tanda lain
Rencana Terapi B
Rencana Terapi A
Sangat kering
*malas minum atau
tidak bias minum
*kembali
sangat
lambat
Dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda (*)
ditambah
1
atau
lebih tanda lain
Rencana Terapi C
Kriptosporidia
(pada
penderita
HIV),
Kolitis
Komplikasi
Syok hipovolemik
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan
sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut.
-1431.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pemberian ASI
Pemberian makanan pendamping ASI
Menggunakan air bersih yang cukup
Mencuci tangan
Menggunakan jamban
Membuang tinja bayi dengan benar
Pemberian imunisasi campak
Kriteria Rujukan
1. Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak ada fasilitas rawat
inap dan pemasangan intravena.
2. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau tercapai dalam 3 jam
pertama penanganan.
3. Anak dengan diare persisten
4. Anak dengan syok hipovolemik
Peralatan
Infus set, cairan intravena, peralatan
pemeriksaan darah rutin, feses dan WIDAL
laboratorium
untuk
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, sehingga umumnya
prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan
dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam.
Referensi
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan
penyakit diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL.
(Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana
diare pada balita. Jakarta: Ditjen PP dan PL
(Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
3. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
4. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A.
Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2009.
1.
Febris
Nyeri perut pada penekanan di bagian sebelah kiri
Terdapat tanda-tanda dehidrasi
Tenesmus
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
1. Infeksi Eschericiae coli
2. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
3. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Komplikasi
1.
2.
3.
4.
Peralatan
-147-
9. PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
No. ICPC-2 : D14 Haematemesis/vomiting blood
D15 Melaena
D16 Rectal Bleeling
No. ICD-10 : K92.2 Gastrointestinal haemorrhage, unspecified
K62.5 Haemorrhage of anus and rectum
Tingkat Kemampuan 3B
a. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Masalah Kesehatan
Manifestasi perdarahan saluran cerna bervariasi mulai dengan
perdarahan masif yang mengancam jiwa hingga perdarahan samar
yang tidak dirasakan. Hematemesis menunjukkan perdarahan dari
saluran cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz.
Melena biasanya akibat perdarahan saluran cerna bagian atas,
meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian
kanan, juga dapat menimbulkan melena.
Di Indonesia perdarahan karena ruptur varises gastroesofagus
merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis
erosif sekitar 25-30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan karena
sebab lainnya <5%. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi
yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa
Prognosis
Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia, mungkin tidak sampai
mengancam jiwa, namun ad fungsionam dan sanationam
umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Soewondo. Pradana. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 291-4.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal 229.
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM, 2004)
3. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. Singer,
M,Critical Care. Focus 9 Gut. London: BMJ Publishing Group.
2002. (Galley, et al., 2002)
4. Elta, G.H.Approach to the patient with gross gastrointestinal
bleeding in Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, L.
Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book of Gastroenetrology.
4tEd. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2003. (Elta,
2003)
5. Rockey, D.C.Gastrointestinal bleeding in Feldman, M.
Friedman, L.S. Sleisenger, M.H.Eds.Sleisenger & Fordtrans
Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. Philadelphia: W.B.
Sauders.2002. (Rockey, 2002)
Penuaan
Lemahnya dinding pembuluh darah
Wanita hamil
Konstipasi
Konsumsi makanan rendah serat
Peningkatan tekanan intraabdomen
Batuk kronik
Sering mengedan
Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu
yang lama di toilet)
2.
Diagnosis Banding
Kondiloma Akuminata, Proktitis, Rektal prolaps
Komplikasi
Anemia
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Hemoroid di layanan tingkat pertama hanya untuk
hemoroid grade 1 dengan terapi konservatif medis dan menghindari
obat-obat anti-inflamasi non-steroid, serta makanan pedas atau
berlemak.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan
konstipasi pada pasien hemoroid.
Konseling dan Edukasi
Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan
hemoroid. Pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan cara:
1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk
membuat feses menjadi lebih lembek dan besar, sehingga
mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus.
2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari.
3. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segerakan ke kamar mandi
saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan
memperkeras feses. Hindari mengedan.
Kriteria Rujukan:
Hemoroid interna grade 2, 3, dan 4 dan hemoroid eksterna
memerlukan penatalaksanaan di pelayanan kesehatan sekunder.
Peralatan
Sarung tangan
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam
Referensi
-157-
11. HEPATITIS A
No. ICPC-2
: D72 Viral Hepatitis
No. ICD-10
: B15 Acute Hepatitis A
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang disebabkan oleh hepatitis
A virus (HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal
oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak
<6 tahun 70% asimtomatik. Kurang dari 1% penderita hepatitis A
dewasa berkembang menjadi hepatitis A fulminan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Demam
2. Mata dan kulit kuning
3. Penurunan nafsu makan
4. Nyeri otot dan sendi
5. Lemah, letih, dan lesu.
6. Mual dan muntah
7. Warna urine seperti teh
8. Tinja seperti dempul
Faktor Risiko
1. Sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak terjaga
sanitasinya.
2. Menggunakan alat makan dan minum dari penderita hepatitis.
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Febris
2. Sklera ikterik
-1583. Hepatomegali
4. Warna urin seperti teh
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah,
kadar SGOT dan SGPT 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang lebih lengkap.
3. IgM anti HAV (di layanan tingkat lanjutan)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis hepatis
Komplikasi
Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum, Koagulopati
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2. Tirah baring
3. Pengobatan simptomatik
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari.
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau
Domperidon 3 x 10mg/hari.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3 x 200
mg/hari atau Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Pump
Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).
Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.
Konseling dan Edukasi
1. Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan virus.
2. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang berisiko
tinggi terinfeksi.
3. Keluarga ikut menjaga asupan kalori dan cairan yang adekuat,
dan membatasi aktivitas fisik pasien selama fase akut.
-159Kriteria Rujukan
1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang laboratorium
2. Penderita Hepatitis A dengan keluhan ikterik yang menetap
disertai keluhan yang lain.
3. Penderita Hepatitis A dengan penurunan kesadaran dengan
kemungkinan ke arah ensefalopati hepatik.
Peralatan
Laboratorium darah rutin, urin rutin dan pemeriksaan fungsi hati
Prognosis
Prognosis umumnya adalah bonam.
Referensi
1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In:
Braunwald, E. et al. Harrisons Principles of Internal Medicine,
16thEd.New York: McGraw-Hill. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease
of Liver and Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002:
p.285-96. (Sherlock, 2002)
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 429-33.
4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal 435-9.
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17.
12. HEPATITIS B
No. ICPC-2
: D72 Viral Hepatitis
No. ICD-10
: B16 Acute Hepatitis B
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah
ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi. Virus ini
tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbedabeda. Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi
berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena obat atau toksin, hepatitis
autoimun, hepatitis alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris
Komplikasi
Sirosis hepar, Hepatoma
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2. Tirah baring
3. Pengobatan simptomatik
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari.
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau
Domperidon 3 x 10 mg/hari.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3 x 200
mg/hari atau Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Pump
Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).
Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.
Kriteria Rujukan
-1621. Penegakan
diagnosis
dengan
pemeriksaan
penunjang
laboratorium di pelayanan kesehatan sekunder
2. Penderita hepatitis B dengan keluhan ikterik yang menetap
disertai keluhan yang lain.
Konseling dan Edukasi
1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien
agar teratur minum obat karena pengobatan jangka panjang.
2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga asupan kalori dan cairan
yang adekuat, dan membatasi aktivitas fisik pasien.
3. Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi
pola hidup untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
Peralatan
Laboratorium darah rutin, urin rutin dan pemeriksaan fungsi hati
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya,
prognosis pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam dan
sanationamdubia ad malam.
Referensi
1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In:
Braunwald, E. et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th
Ed. McGraw-Hill. New York. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease
of Liver and Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002:
p.285-96.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 429-33.
4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal 435-9.
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
-16313. KOLESISTITIS
No. ICPC-2
: D98 Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD-10
: K81.9 Cholecystitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronisdinding kandung
empedu. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding
kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu
kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Kolesistitis akut:
1. Demam
2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium dan teralihkan
ke bawah angulus scapula dexter, bahu kanan atau yang ke sisi
kiri, kadang meniru nyeri angina pektoris, berlangsung 30-60
menit tanpa peredaan, berbeda dengan spasme yang cuma
berlangsung singkat pada kolik bilier.
3. Serangan muncul setelah konsumsi makanan besar atau
makanan berlemak di malam hari.
4. Flatulens dan mual
Kolesistitis kronik
1.
2.
3.
4.
Faktor Risiko
1.
2.
3.
4.
Wanita
Usia >40 tahun
Sering mengkonsumsi makanan berlemak
Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
Apendisitis
akut,
Ulkus
peptikum
perforasi,
Komplikasi
Gangren atau empiema kandung empedu, Perforasi kandung empedu,
Peritonitis umum, Abses hepar
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1.
2.
3.
4.
5.
Tirah baring
Puasa
Pemasangan infus
Pemberian anti nyeri dan anti mual
Pemberian antibiotik:
a. Golongan penisilin: Ampisilin injeksi 500 mg/6 jam dan
Amoksilin 500 mg/8 jam IV, atau
b. Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12 jam, Sefotaksim 1 gram/
8 jam, atau
c. Metronidazol 500 mg/ 8 jam
Perkusi
Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1.
2.
3.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah perifer lengkap
Kolesistitis akut
Divertikel Mackelli
Enteritis regional
Pankreatitis
-1695.
6.
7.
8.
Batu ureter
Cystitis
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Salpingitis akut
15. PERITONITIS
No. ICPC-2
: D99 Disease digestive system, other
No. ICD-10
: K65.9 Peritonitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Peritonitis adalah
inflamasi dari peritoneum.
Peritonitis dapat
disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung,
perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh
karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-menerus selama
beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di
seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan
naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak
letargik dan syok.
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ
visera atau akibat iritasi peritoneum.
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam
abdomen, yang dapat mendorong diafragma.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di layanan tingkat pertama
untuk menghindari keterlambatan dalam melakukan rujukan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dari
tanda-tanda khas yang ditemukan pada pasien.
Diagnosis Banding: Komplikasi
1. Septikemia
2. Syok
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pasien
segera
dirujuk
setelah
penatalaksanaan awal seperti berikut:
penegakan
diagnosis
1.
2.
3.
4.
dan
-172Peralatan
Nasogastric Tube
Prognosis
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad malam.
Referensi
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen
dalam Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC.
2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,
1999)
4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah.
Ed7.Alih bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000.
(Shrock, 2000)
16. PAROTITIS
No. ICPC-2
: D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other
No. ICD-10
: B26. Mumps
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar parotis. Parotitis dapat
disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan
autoimun, dengan derajat kelainan yang bervariasi dari ringan hingga
berat. Salah satu infeksi virus pada kelenjar parotis, yaitu parotitis
mumps (gondongan) sering ditemui pada layanan tingkat pertama dan
berpotensi menimbulkan epidemi di komunitas. Dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat berperan menanggulangi
parotitis mumps dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana yang
adekuat serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
imunisasi, khususnya MMR.
-173-
Keluhan
1. Parotitis mumps
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Bengkak berlangsung tiba-tiba
c. Rasa nyeri pada area yang bengkak
d. Onset akut, biasanya < 7 hari
e. Gejala konstitusional: malaise, anoreksia, demam
f. Biasanya bilateral, namun dapat pula unilateral
2. Parotitis bakterial akut
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Bengkak berlangsung progresif
c. Onset akut, biasanya < 7 hari
d. Demam
e. Rasa nyeri saat mengunyah
3. Parotitis HIV
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Tidak disertai rasa nyeri
c. Dapat pula bersifat asimtomatik
4. Parotitis tuberkulosis
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Onset kronik
c. Tidak disertai rasa nyeri
d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis lainnya
e. Parotitis autoimun (Sjogren syndrome)
f. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
g. Onset kronik atau rekurens
h. Tidak disertai rasa nyeri
i. Dapat unilateral atau bilateral
j. Gejala-gejala Sjogren syndrome, misalnya mulut kering, mata
kering
k. Penyebab parotitis lain telah disingkirkan
Faktor Risiko
1. Anak berusia 212 tahun
menderita parotitis mumps
merupakan
kelompok
tersering
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis
dan
Komplikasi
1. Parotitis mumps dapat menimbulkan komplikasi berupa:
Epididimitis, Orkitis, atau atrofi testis (pada laki-laki), Oovaritis
(pada perempuan), ketulian, Miokarditis, Tiroiditis, Pankreatitis,
Ensefalitis, Neuritis
2. Kerusakan permanen kelenjar parotis yang menyebabkan
gangguan fungsi sekresi saliva dan selanjutnya meningkatkan
risiko terjadinya infeksi dan karies gigi.
3. Parotitis autoimun berhubungan dengan peningkatan insiden
limfoma.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Parotitis mumps
a. Nonmedikamentosa
Pasien perlu cukup beristirahat
Hidrasi yang cukup
Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa
Pengobatan bersifat simtomatik (antipiretik, analgetik)
2. Parotitis bakterial akut
a. Nonmedikamentosa
Pasien perlu cukup beristirahat
Hidrasi yang cukup
Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa
Antibiotik
Simtomatik (antipiretik, analgetik)
3. Parotitis akibat penyakit sistemik (HIV, tuberkulosis, Sjogren
syndrome)
Tidak dijelaskan dalam bagian ini.
Konseling dan Edukasi
1. Penjelasan
mengenai
tatalaksana.
diagnosis,
penyebab,
dan
rencana
Hasil Anamnesis(Subjective)
-177-
Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan
menurun, mual, muntah.
Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing
dewasa dan migrasi larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat larva berada
diparu. Pada orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk,
demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindroma
Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan
sangat tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah
epigastrium, gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi
pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak kejadian
ini bisa diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti (berbahaya) adalah
bila cacing dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan menimbulkan
gejala akut. Pada keadaan infeksi yang berat, paling ditakuti bila
terjadi muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan komplikasi
penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain
dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa
cacing, ataupun apendisitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam
lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri ataupun
saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing
menjadi dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme
cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria,
asma bronkhial, konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang
hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan
Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya
-179e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan
tidak lembab.
2. Farmakologis
a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, atau
b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama
tiga hari berturut-turut, atau
c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet
(400 mg) atau 20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh
diberikan pada ibu hamil
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal
pada masyarakat. Syarat untuk pengobatan massal antara lain:
1.
2.
3.
4.
Prognosis
-180-
No. ICPC II
No. ICD X
Masalah Kesehatan
Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Di
Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih sering dijumpai
dibandingkan infeksi oleh A.duodenale. Hospes parasit ini adalah
manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.
Diperkirakan sekitar 576 740 juta orang di dunia terinfeksi dengan
cacing tambang. Di Indonesia insiden tertinggi ditemukan terutama
didaerah pedesaan khususnya perkebunan. Seringkali golongan
pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah,
mendapat infeksi lebih dari 70%. Dari suatu penelitian diperoleh
bahwa separuh dari anak-anak yang telah terinfeksi sebelum usia 5
tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi meningkat
sampai usia 6-7 tahun dan kemudian stabil.
-181-
Keluhan
Migrasi larva
1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk
pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada
kulit (ground itch). Creeping eruption (cutaneous larva migrans),
umumnya disebabkan larva cacing tambang yang berasal dari
hewan seperti kucing ataupun anjing, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan oleh larva Necator americanus ataupun Ancylostoma
duodenale.
2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi
tidak sesering oleh larva Ascaris lumbricoides.
Cacing dewasa
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus
dan melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi
tergantung pada berat ringannya infeksi; makin berat infeksi
manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok seperti :
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare,
penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum,
jejunum dan ileum.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia
hipokromik mikrositik.
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang
dan berat dengan tingkat kecerdasan anak.
Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul gejala anemia,
hipoalbuminemiadan edema. Hemoglobin kurang dari 5 g/dL
dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba.
Patogenesis anemia pada infeksi cacaing tambang tergantung pada 3
faktor yaitu:
1. Kandungan besi dalam makanan
2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien
3. Intensitas dan lamanya infeksi
Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk
3. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang.
-18419. SKISTOSOMIASIS
: D96 Worm/outer parasite
: B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC II
No. ICD X
Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang
disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood
fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda utama yang menjadi
penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma
haematobium dan Schistosoma mansoni. Spesies yang kurang dikenal
yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma
japonicum khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau
Lindu di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma
memerlukan keong sebagai intermediate host. Penularan Schistosoma
terjadi melalui serkaria yang berkembang dari host dan menembus
kulit pasien dalam air. Skistosomiasis terjadi karena reaksi
imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan.
Prevalensi Schistosomiasis di lembah Napu dan danau Lindu berkisar
17% hingga 37%.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam,
nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal.
Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan air misalnya danau
atau sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang
menjadi ruam kemerahan (pruritic rash).
2. Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi
misalnya:
a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga
nyeri saat berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis
biasanya disebabkan oleh S. hematobium.
b. Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh
intestinal skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. mansoni,
S. Japonicum juga S. Mekongi.
abdomen,
Pemeriksaan Penunjang
Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen urin.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga
penemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen
urin.
Diagnosis Banding: Komplikasi:
1. Gagal ginjal
Dosis Prazikuantel
S. mansoni, S. haematobium,
S. intercalatum
S. japonicum, S. mekongi
-187Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan
sedimen urin (pada S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam,
sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July
25, 2013. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center
for Disease and Control, 2013)
3. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013.
http://www.who.int/topics/shcistosomiasis/end (World Health
Organization, 2013)
4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005.
Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart.
(Kayser, et al., 2005)
5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo &
Pretty, 2007)
6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelsons Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
20. TAENIASIS
No. ICPC II
: D96 Worms/other parasites
No. ICD X
: B68.9 Taeniasis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh
cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,
Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia.
Faktor Risiko
1. Mengkonsumsi daging yang dimasak setengah matang/mentah,
dan mengandung larva sistiserkosis.
2. Higiene yang rendah dalam pengolahan makanan bersumber
daging.
3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan kandang dan makanannya.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital.
-1892. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus juga dapat terjadi jika
cacing membuat obstruksi usus.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur
dalam spesimen tinja segar.
2. Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja.
3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan
eosinofilia, leukositosis, LED meningkat.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding:Komplikasi: Sistiserkosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1.
2.
-190Kriteria Rujukan
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada sistiserkosis.
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan
feses.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika terdapat komplikasi
berupa sistiserkosis yang dapat mengakibatkan kematian.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengendalian Kecacingan.
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelsons Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
21. STRONGILOIDIASIS
No. ICPC II
: D96 Worms/other parasites
No. ICD X
: B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh
Strongyloides stercoralis, cacing yang biasanya hidup di kawasan
tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang diperkirakan terkena
penyakit ini di seluruh dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat
berat dan berbahaya pada mereka yang dengan status imun menurun
seperti pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ serta pada pasien
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang.
-191-
Keluhan
Pada infestasi ringan Strongyloides
menimbulkan gejala khas.
pada
umumnya
tidak
Gejala klinis
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan gejala seperti ditusuktusuk di daerah epigastrium dan tidak menjalar
3. Mual, muntah
4. Diare dan konstipasi saling bergantian
Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva
Strongyloides stercoralis.
3. Penggunaan tinja sebagai pupuk.
4. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Timbul kelainan pada kulit creeping eruption berupa papul
eritema yang menjalar dan tersusun linear atau berkelok-kelok
meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari.Predileksi
penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital
dan tangan.
2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva
rabditiform dalam tinja segar, atau menemukan cacing dewasa
Strongyloides stercoralis.
2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan eosinofilia
atau hipereosinofilia, walaupun pada banyak kasus jumlah sel
eosinofilia normal.
Peralatan
-193-
D. MATA
1. MATA KERING/DRY EYE
No. ICPC-2
: F99 Eye/adnexa disease, other
No. ICD-10
: H04.1 Otherdisorders of lacrimal gland
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan
konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi komponen air
mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering merupakan salah satu
gangguan yang sering pada mata dengan insiden sekitar 10-30% dari
populasi dan terutama dialami oleh wanita berusia lebih dari 40
tahun. Penyebab lain adalah meningkatnya evaporasi air mata akibat
faktor lingkungan rumah, kantor atau akibat lagoftalmus.
-194-
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal dan seperti berpasir.
Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah, perih dan silau.
Pasien seringkali menyadari bahwa gejala terasa makin berat di akhir
hari (sore/malam).
Faktor Risiko
1. Usia > 40 tahun
2. Menopause
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren, sklerosis sistemik
progresif, sarkoidosis, leukemia, limfoma, amiloidosis, dan
hemokromatosis
4. Penggunaan lensa kontak
5. Penggunaan komputer dalam waktu lama
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Visus normal
2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva forniks
3. Penilaian produksi air mata dengan tes Schirmer menunjukkan
hasil <10 mm (nilai normal 20 mm).
-195Komplikasi
1. Keratitis
2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata karboksimetilselulosa
atau sodium hialuronat.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Umumnya tidak diperlukan
Konseling dan Edukasi
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah
keadaan menahun dan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada
kasus ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva
masih reversibel.
Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan tidak berkurang
setelah terapi atau timbul komplikasi.
Peralatan
1. Lup
2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41)
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta:Erlangga.
2005. (Brus, 2005)
3.
4.
5.
6.
7.
2. BUTA SENJA
No. ICPC-2
: F99 Eye/adnexa disease other
No. ICD-10
: H53.6 Night blindness
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga nyctalopia atau
hemarolopia, adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik
pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih
merupakan tanda dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi
akibat kelainan pada sel batang retina yang berperan pada
penglihatan gelap. Penyebab buta senja adalah defisiensi vitamin A
dan retinitis pigmentosa.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap,
sulit beradaptasi pada cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A,
buta senja merupakan keluhan paling awal.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi vitamin A:
1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral
2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva
3. Xerosis kornea
mata
2.
3.
4.
5.
6.
3. HORDEOLUM
: F72 Blepharitis/stye/chalazion
: H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of
eyelid
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Hordeolum adalah peradangan supuratif kelenjar kelopak mata.
Biasanya merupakan infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum internum dan eksternum.
Hordeolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau
Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang
terletak di dalam tarsus. Hordeolum mudah timbul pada individu
yang menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang bengkak disertai rasa
sakit. Gejala utama hordeolum adalah kelopak yang bengkak dengan
rasa sakit dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan, serta
perasaan tidak nyaman dan sensasi terbakar pada kelopak mata
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan nyeri pada perabaan.
Nanah dapat keluar dari pangkal rambut (hordeolum eksternum).
Apabila sudah terjadi abses dapat timbul undulasi.
-199Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
1. Selulitis preseptal
2. Kalazion
3. Granuloma piogenik
Komplikasi
1. Selulitis palpebra
2. Abses palpebra
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit setiap
kalinya untuk membantu drainase. Tindakan dilakukan dengan
mata tertutup.
2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih atau pun dengan
sabun atau sampo yang tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun
bayi. Hal ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Tindakan
dilakukan dengan mata tertutup.
3. Jangan menekan atau menusuk hordeolum, hal ini dapat
menimbulkan infeksi yang lebih serius.
4. Hindari pemakaian make-up pada mata, karena kemungkinan hal
itu menjadi penyebab infeksi.
5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat menyebarkan infeksi
ke kornea.
6. Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin salep mata atau
kloramfenikol salep mata setiap 8 jam. Apabila menggunakan
kloramfenikol tetes mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
7. Pemberian terapi oral sistemik dengan Eritromisin 500 mg pada
dewasa dan anak sesuai dengan berat badan.
-2014. KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis infeksi
No. ICPC-2
: F70 Conjunctivitis infectious
No. ICD-10
: H10.9 Conjunctivitis, unspecified
Konjungtivitis alergi
No. ICPC-2
: F71 Conjunctivitis allergic
No ICD-10
: H10.1 Acute atopic conjunctivitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan oleh
mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi, atau reaksi alergi.
Konjungtivitis ditularkan melalui kontak langsung dengan sumber
infeksi. Penyakit ini dapat menyerang semua umur.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata merah, rasa mengganjal, gatal
dan berair, kadang disertai sekret. Keluhan tidak disertai penurunan
tajam penglihatan.
Faktor Risiko
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Referensi
-204-
5. BLEFARITIS
No. ICPC-2
: F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD-10
: H01.0 Blepharitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra)
yang dapat disertai terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan folikel
rambut.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1.
2.
3.
4.
-205Faktor Risiko
1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik
2. Higiene personal dan lingkungan yang kurang baik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis
pemeriksaan fisik.
Komplikasi
dilakukan
berdasarkan
anamnesis
dan
1. Blefarokonjungtivitis
2. Madarosis
3. Trikiasis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a. Membersihkan kelopak mata dengan lidi kapas yang dibasahi
air hangat
b. Membersihkan dengan sampo atau sabun
c. Kompres hangat selama 5-10 menit
2. Medikamentosa
Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, dapat diberikan
salep atau tetes mata antibiotik hingga gejala menghilang.
Peralatan
1. Senter
2. Lup
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
-2092. Oftalmoskop
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005.
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
No. ICPC-2
No. ICD-10
external
eye,
part
Masalah Kesehatan
Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal
tidak dijumpai di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi jaringan.
Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa
keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang
bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam
konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri,
mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia.
-210Faktor Risiko
Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung,
seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang
terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Visus biasanya normal.
2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi.
3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva tarsal
dan/atau inferiordan/atau konjungtiva bulbi.
superior
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis banding
Konjungtivitis akut
Komplikasi
1. Ulkus kornea
2. Keratitis
Terjadi bila benda asing pada konjungtiva tarsal menggesek
permukaan kornea dan menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi
inflamasi berat dapat terjadi jika benda asing merupakan zat kimia.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing
Berikut adalah cara yang dapat dilakukan:
a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5% sebanyak 1-2 tetes pada
mata yang terkena benda asing.
b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda
asing.
dikeluarkan,
misal:
karena
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
Lup
Lidi kapas
Jarum suntik 23G
Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%
Povidon Iodin
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
8. ASTIGMATISME
No. ICPC-2
: F91 Refractive error
No. ICD-10
: H52.2 Astigmatisme
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan
pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini
disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama
pada berbagai meridian.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan
sedikit distorsi yang kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien
memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat melihat lebih jelas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum biasanya baik.
Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan menunjukkan tajam
penglihatan tidak maksimal dan akan bertambah baik dengan
pemberian pinhole.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal
dengan pemberian lensa silindris.
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya.
-2149. HIPERMETROPIA
No. ICPC-2
: F91 Refractive error
No. ICD-10
: H52.0 Hypermetropia ringan
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan
ini menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis
kelamin.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat.
2. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada
penggunaan mata yang lama dan membaca dekat. Penglihatan
tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila
melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
pada jangka waktu yang lama, misalnya menonton TV dan lainlain.
3. Mata sensitif terhadap sinar.
4. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata
juling dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan akan
diikuti konvergensi yang berlebihan pula.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan trial frame
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan refraksi.
-215Komplikasi
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya
melakukan akomodasi
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan
siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata
3. Ambliopia
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam
penglihatan terbaik.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus dikoreksi dengan
bantuan kaca mata. Karena jika tidak, maka mata akan
berakomodasi terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Kriteria rujukan
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Peralatan
1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000
diagnosis
berdasarkan
anamnesis
dan
pemeriksaan
negatif
terlemah
yang
-21811. PRESBIOPIA
No. ICPC-2
: F91 Refractive error
No. ICD-10
: H52.4 Presbyopia
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Presbiopia adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan usia
dimana penglihatan kabur ketika melihat objek berjarak dekat.
Presbiopia merupakan proses degeneratif mata yang pada umumnya
dimulai sekitar usia 40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa mata
mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk berubah
bentuk.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
2. Gejala lainnya, setelah membaca mata terasa lelah, berair, dan
sering terasa perih.
3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan kertas yang dibaca.
4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama pada malam hari dan
perlu sinar lebih terang untuk membaca.
Faktor Risiko
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan jarak jauh dengan
menggunakan Snellen Chart dilakukan terlebih dahulu.
2. Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat dengan menggunakan
kartu Jaeger. Lensa sferis positif (disesuaikan usia - lihat Tabel 1)
ditambahkan pada lensa koreksi penglihatan jauh, lalu pasien
diminta untuk menyebutkan kalimat hingga kalimat terkecil yang
terbaca pada kartu. Target koreksi sebesar 20/30.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
KOREKSI LENSA
+1,0 D
+1,5 D
+2,0 D
+2,5 D
+3,0 D
Referensi
-220-
-2211.
2.
3.
4.
anamnesis
dan
Komplikasi
Glaukoma dan uveitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pasien dengan katarak yang telah menimbulkan gangguan
penglihatan yang signifikan dirujuk ke layanan sekunder yang
memiliki dokter spesialis mata untuk mendapatkan penatalaksanaan
selanjutnya. Terapi definitif katarak adalah operasi katarak.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga bahwa
penglihatan yang dapat diperbaiki.
katarak
adalah
gangguan
jika
sudah
Kriteria Rujukan
1. Katarak matur
2. Jika pasien telah mengalami
signifikan
3. Jika timbul komplikasi
gangguan
penglihatan
yang
Peralatan
1.
2.
3.
4.
Senter
Snellen chart
Tonometri Schiotz
Oftalmoskop
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
Mata merah
Tajam penglihatan turun mendadak
Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala
Mual dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi)
Faktor Risiko
Bilik mata depan yang dangkal
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
1. Visus turun
2. Tekanan intra okular meningkat
3. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi
silier, injeksi konjungtiva
4. Edema kornea
5. Bilik mata depan dangkal
6. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif
-224-
berdasarkan
anamnesis
dan
Diagnosis Banding:
1. Uveitis Anterior
2. Keratitis
3. Ulkus Kornea
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan tingkat pertama
bertujuan menurunkan tekanan intra okuler sesegera mungkin dan
kemudian merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit.
1. Non-Medikamentosa
Pembatasan asupan cairan untuk menjaga agar tekanan intra
okular tidak semakin meningkat
2. Medikamentosa
a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari.
b. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes
sehari
-225e.
Terapi simptomatik.
yang
bervariasi
dan
berbeda
berdasarkan
anamnesis
dan
-228Diagnosis Banding:
1.
2.
3.
4.
Katarak
Kelainan refraksi
Retinopati diabetes / hipertensi
Retinitis pigmentosa
2.
3.
4.
5.
6.
7.
15. TRIKIASIS
No ICPC-2
: F99. Eye / adnexa disease, other
No ICD-10
: H02. Entropion and trichiasis of eyelid
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Trikiasis adalah kondisi di mana bulu mata tumbuh mengarah ke
dalam, yaitu ke arah permukaan bola mata, sehingga dapat
menggores kornea atau konjungtiva dan menyebabkan berbagai
komplikasi, seperti nyeri, erosi, infeksi, dan ulkus kornea. Data
mengenai tingkat prevalensi penyakit ini di Indonesia tidak ada.
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus
memiliki kompetensi menangani kasus trikiasis karena pasien-pasien
yang mengalami tanda maupun komplikasi dari trikiasis sangat
mungkin mencari pertolongan di layanan tingkat pertama terlebih
dahulu.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Keluhan pasien dapat bermacam-macam, misalnya: mata berair,
rasa mengganjal, silau bila terpapar cahaya, atau kelilipan.
Penglihatan dapat terganggu bila sudah timbul ulkus pada
kornea.
2. Keluhan dapat dialami pada satu atau kedua mata.
3. Bila telah terjadi inflamasi, dapat timbul keluhan mata merah.
Lampu senter
Snellen Chart
Pinset untuk epilasi
Lup
Dapat pula disediakan kertas fluoresein dan larutan NaCl 0.9%
untuk ter fluoresein
6. Lampu biru (bisa berasal lampu biru pada oftalmoskop)
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Malam
Referensi
1. Carter, S.R., 1998. Eyelid Disorders: Diagnosis and Management.
American Family Physician, 57(11), pp.2695702. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9636333.Ilyas, S., 2005.
2. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
-23216. EPISKLERITIS
No ICPC-2
: F99. Eye / adnexa disease, other
No ICD-10
: H15.1. Episcleritis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Episkleritis merupakan reaksi radang pada episklera, yaitu jaringan
ikat vaskular yang terletak di antara konjungtiva dan permukaan
sklera. Penyakit ini termasuk dalam kelompok mata merah dengan
penglihatan normal. Tidak ada data yang spesifik mengenai tingkat
insiden episkleritis di Indonesia. Episkleritis umumnya terjadi pada
usia 20-50 tahun dan membaik dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu. Umumnya, episkleritis bersifat ringan, namun dapat pula
merupakan tanda adanya penyakit sistemik, seperti tuberkulosis,
reumatoid artritis, dan systemic lupus erythematosus (SLE).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Mata merah merupakan gejala utama atau satu-satunya
2. Tidak ada gangguan dalam ketajaman penglihatan
3. Keluhan penyerta lain, misalnya: rasa kering, nyeri, mengganjal,
atau berair. Keluhan-keluhan tersebut bersifat ringan dan tidak
mengganggu aktifitas sehari-hari. Bila keluhan dirasakan amat
parah, maka perlu dipikirkan diagnosis lain
4. Keluhan biasanya mengenai satu mata dan dapat berulang pada
mata yang sama atau bergantian
5. Keluhan biasanya bersifat akut, namun dapat pula berlangsung
beberapa minggu hingga beberapa bulan
6. Dapat ditemukan gejala-gejala terkait penyakit dasar, di
antaranya: tuberkulosis, reumatoid artritis, SLE, alergi (misal:
eritema nodosum), atau dermatitis kontak
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Episkleritis terbagi menjadi dua tipe, yaitu nodular dan simpel. Secara
umum, tanda dari episkleritis adalah:
1. Kemerahan hanya melibatkan satu bagian dari area episklera.
Pada penyinaran dengan senter, tampak warna pink seperti
daging salmon, sedangkan pada skleritis warnanya lebih gelap
dan keunguan.
2.
3.
4.
5.
6.
(a)
(b)
-2341. Konjungtivitis
2. Skleritis
Cara membedakan episkleritis dengan skleritis adalah dengan
melakukan tes Fenil Efrin 2,5% (tetes mata), yang merupakan
vasokonstriktor. Pada episkleritis, penetesan Fenil Efrin 2,5% akan
mengecilkan kongesti dan mengurangi kemerahan (blanching /
memucat); sedangkan pada skleritis kemerahan menetap.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a. Bila terdapat riwayat yang jelas mengenai paparan zat eksogen,
misalnya alergen atau iritan, maka perlu dilakukan avoidance
untuk mengurangi progresifitas gejala dan mencegah
rekurensi.
b. Bila terdapat gejala sensitifitas terhadap cahaya, penggunaan
kacamata hitam dapat membantu.
2. Medikamentosa
a. Episkleritis simpel biasanya tidak membutuhkan pengobatan
khusus.
b. Gejala ringan hingga sedang dapat diatasi dengan tetes air
mata buatan.
c. Gejala berat atau yang memanjang dan episkleritis nodular
dapat diatasi dengan tetes mata kortikosteroid, misalnya:
Prednisolon 0,5%, atau Betametason 0,1%.
d. Episkleritis nodular yang tidak membaik dengan obat topikal,
dapat diberikan anti-inflamasi non-steroid (NSAID), misalnya
Ibuprofen.
Konseling dan Edukasi
Dokter perlu memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakit
yang dideritanya, serta memberikan reassurance dan informasi yang
relevan, di antaranya tentang natur penyakit yang ringan, umumnya
self-limited, dan hal-hal yang pasien dapat lakukan untuk
menyembuhkan penyakitnya.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
Snellen chart
Lampu senter
Kapas bersih
Tetes mata vasokontriktor: Fenil Efrin 2,5%
-235Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to
Treat, When to Refer. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2),
pp.13744.
Available
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng,
2008)
2. Ilyas, S., 2005. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
3. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and
Management. Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.7138.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22977282
[Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
4. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis
I. British Journal Ophthalmology, 52, pp.278279. (Watson, et al.,
1968)
5. Sumber Gambar : http://www.studyblue.com
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Trauma kimia mata adalah salah satu kasus kedaruratan mata,
umumnya terjadi karena masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata
dan adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan penanganan
cepat dan segera oleh karena dapat mengakibatkan kerusakan berat
pada jaringan mata dan menyebabkan kebutaan. Zat kimia penyebab
dapat bersifat asam atau basa. Trauma basa terjadi dua kali lebih
sering dibandingkan trauma asam dan umumnya menyebabkan
kerusakan yang lebih berat pada mata. Selain itu, beratnya
Lup
Senter
Lidi kapas
Kertas lakmus (jika memungkinkan)
Cairan fisiologis untuk irigasi
Prognosis
-238-
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
(Ehlers & Shah, 2008)
-240Kriteria Rujukan
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, pasien segera dirujuk ke
dokter spesialis mata.
Peralatan
1. Lup
2. Senter
3. Lidi kapas
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : dubia
3. Ad sanationam : dubia
Referensi
1. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma.
Dalam : Duanes Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006. (Karesh, 2006)
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
19. HIFEMA
No. ICPC-2
: F75 Contusion/haemorrhage eye
No. ICD-10
: H21.0Hyphaema
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah pada bilik mata depan.
Hifema dapat terjadi akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema
dapat disertai dengan abrasi kornea, iritis, midriasis, atau gangguan
struktur lain pada mata akibat trauma penyebabnya. Hifema spontan
jarang ditemui. Hifema spontan dapat menjadi penanda terdapatnya
rubeosis iridis, gangguan koagulasi, penyakit herpes, masalah pada
lensa intraokular (IOL), retinoblastoma, serta leukemia.
-241-
Keluhan
1. Nyeri pada mata
2. Penglihatan terganggu (bila darah menutupi aksis visual)
3. Fotofobia/silau
Faktor Risiko
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada laki-laki usia muda
2. Hifema spontan disebabkan oleh neovaskularisasi iris (seperti
pada pasien diabetes dan oklusi vena retina), koagulopati, dan
pemakaian antikoagulan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Visus umumnya turun
2. Tampak darah di bilik mata depan. Darah dapat tertampung di
bagian inferior bilik mata depan atau dapat memenuhi seluruh
bilik mata depan (hifema penuh).
3. Perhatikan apakah ada trauma pada bagian mata yang lain
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tekanan intraokular dengan Tonometer Schiotz
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
1. Anamnesis untuk mengidentifikasi gejala, riwayat trauma, serta
kemungkinan adanya faktor risiko lain.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan
3. Pemeriksaan mata dengan senter dan lup untuk melihat adanya
darah di bilik mata, menilai lebar pupil, serta mengidentifikasi
kelainan kornea atau struktur lain akibat trauma.
4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometer Schiotz bila
tidak terdapat defek pada kornea
Diagnosis banding
Tidak ada
Komplikasi
Prognosis umumnya baik pada hifema tanpa komplikasi.
Snellen chart
Lup
Senter
Tonometer Schiotz
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000
-2432. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
-2443. Hiperlipidemia
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan visus.
3. Pada pemeriksaan funduskopi pupil lebar pada retina dapat
ditemukan perdarahan retina, eksudat keras, pelebaran vena, dan
mikroaneurisma (pada NPDR), yang pada kondisi lebih lanjut
disertai neovaskularisasi di diskus optik atau di tempat lain di
retina (pada PDR).
4. Pada keadaan berat dapat ditemukan neovaskularisasi iris
(rubeosis iridis).
5. Refleks cahaya pada pupil normal, pada kerusakan retina yang
luas dapat ditemukan RAPD (Relative Aferent Pupilary Defect),
serta penurunan refleks pupil pada cahaya langsung dan tak
langsung normal.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik,
teruttama funduskopi.
Diagnosis banding
1. Oklusi vena retina
2. Retinopati hipertensi
Komplikasi
1. Perdarahan vitreus
2. Edema makula diabetik
3. Ablasio retina traksional
4. Glaukoma neovaskular
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Setiap pasien yang terdiagnosis diabetes melitus perlu segera
dilakukan pemeriksaan mata, sekalipun belum ada keluhan mata.
tanda-tanda
retinopati
Peralatan
1. Snellen chart
2. Oftalmoskop
3. Tropikamid 1% tetes mata untuk melebarkan pupil
Prognosis
1. Ad vitam
: Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. Ad sanationam : Dubia ad malam
Referensi
1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
2. World Health Organization. Global initiative for the elimination of
avoidable blindness. Action Plan 20062011
(World Health
Organization, 2012)
3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and
treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
E. TELINGA
-246-
1. OTITIS EKSTERNA
No. ICPC-2
:H70.Otitis externa
No. ICD-10
: H60.9.Otitis externa, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Otitis eksternaadalah radang pada liang telinga luar. Penyakit ini
banyak ditemukan di layanan kesehatan tingkat pertama sehingga
dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus
memiliki kemampuan mendiagnosis dan menatalaksana secara
komprehensif.
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
1. OE akut
a. OE akut difus
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel rambut yang
menimbulkan furunkel di liang telinga luar.
2. OE kronik
3. OE ekzematoid, yang merupakan manifestasi dari kelainan
dermatologis, seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau SLE.
4. OE nekrotikans
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Rasa sakit pada telinga (otalgia), yang bervariasi dari ringan
hingga hebat, terutama saat daun telinga disentuh dan
mengunyah
2. Rasa penuh pada telinga
3. Pendengaran dapat berkurang
4. Terdengar suara mendengung (tinnitus)
5. Keluhan biasanya dialami pada satu telinga dan sangat jarang
mengenai kedua telinga dalam waktu bersamaan
6. Keluhan penyerta lain yang dapat timbul: demam atau meriang,
telinga terasa basah
Faktor Risiko
1. Riwayat sering beraktifitas di air, misalnya: berenang, berselancar,
mendayung.
-2472. Riwayat
trauma
yang
mendahului
keluhan,
misalnya:
membersihkan liang telinga dengan alat tertentu, memasukkan
cotton bud, memasukkan air ke dalam telinga.
3. Riwayat penyakit sistemik, seperti: diabetes mellitus, psoriasis,
dermatitis atopik, SLE, HIV.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Nyeri tekan pada tragus
2. Nyeri tarik daun telinga
3. Otoskopi:
a. OE akut difus: liang telinga luar sempit, kulit liang telinga luar
hiperemis dan edem dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
ditemukan sekret minimal.
b. OE akut sirkumskripta: furunkel pada liang telinga luar
4. Tes garputala: Normal atau tuli konduktif
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
Perikondritis yang berulang, Kondritis, Otomikosis
Komplikasi
Jika pengobatan tidak adekuat, dapat timbul abses, infeksi kronik
liang telinga, jaringan parut, dan stenosisliang telinga.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa:
a. Membersihkan liang telinga secara hati-hati dengan pengisap
atau kapas yang dibasahi dengan H2O2 3%.
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan drainase.
2. Medikamentosa:
a. Topikal
Larutan antiseptik povidon iodine
Lampu kepala
Corong telinga
Aplikator kapas
Otoskop
Prognosis
1.
2.
3.
Ad vitam
: Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. (Hafil, et al.,
2007)
2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997. (Adam & Boies, 1997)
Masalah Kesehatan
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan (tergantung stadium OMA yang sedang dialami)
1. Stadium oklusi tuba
Telinga terasa penuh atau nyeri, pendengaran dapat berkurang.
2. Stadium hiperemis
Nyeri telinga makin intens, demam, rewel dan gelisah (pada bayi /
anak), muntah, nafsu makan hilang, anak biasanya sering
memegang telinga yang nyeri.
3. Stadium supurasi
Sama seperti stadium hiperemis
4. Stadium perforasi
Keluar sekret dari liang telinga
5. Stadium resolusi
Setelah sekret keluar, intensitas keluhan berkurang (suhu turun,
nyeri mereda, bayi / anak lebih tenang. Bila perforasi permanen,
pendengaran dapat tetap berkurang.
Faktor Risiko
1. Bayi dan anak
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring telentang
4.
5.
6.
7.
Tampilan
Membran timpani suram, retraksi,
dan refleks cahayanya hilang
Membran timpani hiperemis dan
edema
Membran timpani menonjol ke arah
luar (bulging) berwarna kekuningan
Stadium perforasi
Stadium resolusi
atau
3. Tes penala
Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne (-) dan tes Schwabach
memendek pada telinga yang sakit, tes Weber terjadi lateralisasi ke
telinga yang sakit.
Pemeriksaan Penunjang
Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
-251Diagnosis Banding
Otitis media serosa akut, Otitis eksterna
Komplikasi
1. Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, Paresis nervus fasialis,
Petrositis, Hidrosefalus otik
2. Komplikasi ekstra-temporal / intrakranial: Abses subperiosteal,
Abses epidura, Abses perisinus, Abses subdura, Abses otak,
Meningitis, Trombosis sinus lateral, Sereberitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Medikamentosa
a. Topikal
i.
Pada stadium oklusi tuba, terapi bertujuan membuka
kembali tuba eustachius. Obat yang diberikan adalah:
- Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
pada mata yang terkena benda asing.
- Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda
asing.
- Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau
jarum suntik ukuran 23G.
- Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke
tepi.
- Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada
tempat bekas benda asing.
ii.
Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga:
- H2O2 3%, 3 kali sehari, 4 tetes di telinga yang sakit,
didiamkan selama 2 5 menit.
- Asam asetat 2%, 3 kali sehari, 4 tetes di telinga yang sakit.
- Ofloxacin, 2 kali sehari, 5 10 tetes di telinga yang sakit,
selama maksimal 2 minggu
b. Oral Sistemik: antibiotik, antihistamin (bila terdapat tanda-tanda
alergi), dekongestan, analgetik / antipiretik
Konseling dan Edukasi
1. Untuk bayi / anak, orang tua dianjurkan untuk memberikan ASI
minimal 6 bulan sampai 2 tahun.
2. Menghindarkan bayi / anak dari paparan asap rokok.
-252Pencegahan
Imunisasi Hib dan PCV perlu dilengkapi, sesuai panduan Jadwal
Imunisasi Anak tahun 2014 dari IDAI.
Tabel 5.2. Daftar antibiotik untuk terapi OMA
Obat
Amoxicillin
Dewasa
3 x 500
mg/hari
selama 1014 hari
Anak
25 50 mg/kgBB/hari, dibagi 3
dosis per hari
Trimetoprim
2 x 160 mg
Sulfametoksazol TMP/hari
8 20 mg TMP/kgBB/hari,
dibagi 2 dosis per hari
Amoxicillin
Asam
Clavulanat
Erithromycin
3 x 500 mg
/ hari
25 50 mg/kgBB/hari, dibagi 3
dosis per hari
4 x 500
mg/hari
25 50 mg/kgBB/hari, dibagi 4
dosis per hari
Kriteria Rujukan
1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Lampu kepala
Corong telinga
Otoskop
Aplikator kapas
Garputala
Suction
Prognosis
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
-2532. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke8. McGraw-Hill. 2003.
4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis
Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age.
PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007, pp. e1408-e1412.2007.
(Reyai, 2007)
3. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
No. ICPC-2
No. ICD-10
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
-256-
Lampu kepala
Spekulum telinga
Otoskop
Aplikator kapas
Kapas
Cairan irigasi telinga
Suction
Wadah ginjal (nierbekken)
Irigator telinga (spuit 20 - 50 cc + cateter wing needle)
Garputala frekuensi 512 1024 Hz
Prognosis
1. Ad Vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and
Management Options. WHO Library Cataloguing in publication
data. 2004. (J, 2004)
2. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder
AGM. Chronic suppurative otitis media: A review. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12.
(Verhoeff, et al., 2006)
3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala
Leher. FKUI. 2001
-2571. Benda asing reaktif, misal: batere, potongan besi. Benda asing
reaktif berbahaya karena dapat bereaksi dengan epitel MAE dan
menyebabkan edema serta obstruksi hingga menimbulkan infeksi
sekunder. Ekstraksi harus segera dilakukan.
2. Benda asing non-reaktif (inert). Benda asing ini tidak bereaksi
dengan epitel dan tetap ada di dalam MAE tanpa menimbulkan
gejala hingga terjadi infeksi.
3. Benda asing serangga, yang dapat menyebabkan iritasi dan nyeri
akibat pergerakannya.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Riwayat jelas benda asing masuk ke telinga secara sengaja
maupun tidak
2. Telinga terasa tersumbat atau penuh
3. Telinga berdengung
4. Nyeri pada telinga
5. Keluar cairan telinga yang dapat berbau
6. Gangguan pendengaran
Faktor Risiko
1. Anak-anak
2. Retardasi mental
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan MAE dengan senter / lampu kepala / otoskop
menunjukkan adanya benda asing, edema dan hiperemia liang telinga
luar, serta dapat disertai sekret.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Komplikasi
Ruptur membran timpani, perdarahan liang telinga, otitis eksterna,
tuli konduktif
Lampu kepala
Otoskop
Pengait serumen
Aplikator kapas
Forceps aligator
Spuit 20 cc yang telah disambung dengan selang wing needle
Suction
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
-259-
5. SERUMEN PROP
No. ICPC-2
: H81 Excessive ear wax
No. ICD-10
: H61.2 Impacted cerumen
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel
kulit yang terlepas, dan partikel debu yang terdapat pada bagian
kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini berlebihan maka dapat
membentuk gumpalan yang menumpuk di liang telinga, dikenal
dengan serumen prop.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Rasa penuh pada telinga
2. Pendengaran berkurang
3. Rasa nyeri pada telinga
4. Keluhan semakin memberat bila telinga kemasukan air (sewaktu
mandi atau berenang)
5. Beberapa pasien juga mengeluhkan adanya vertigo atau tinitus
Faktor Risiko
1. Dermatitis kronik liang telinga luar
2. Liang telinga sempit
3. Produksi serumen banyak dan kering
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
F. KARDIOVASKULER
-262-
-266Diagnosis Banding
Gastroesofageal Refluks Disease (GERD), Gastritis akut, Nyeri
muskuloskeletal, Pleuritis, Herpes di dada, Trauma, Psikosomatik
Komplikasi
Sindrom koroner akut
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Terapi farmakologi:
1. Oksigen dimulai 2 L/menit
2. Nitrat dikombinasikan dengan -blocker atau Calcium Channel
Blocker (CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan denyut
jantung (misalnya verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada
serangan akut :
a. Nitrat 5 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 5 mg peroral
sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di pelayanan
sekunder.
b. Beta bloker:
Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau
Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
c. Calcium Channel Blocker (CCB) non dihidropiridine
Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi, misalnya:
Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
Diltiazem 30 mg (3-4 kali sehari)
3. Antipletelet
Aspirin 160-320 mg sekali minum pada serangan akut.
Konseling dan Edukasi
Menginformasikan individu dan keluarga untuk melakukan modifikasi
gaya hidup antara lain:
1. Mengontrol
emosi
danmengurangi
kerja
berat
dimana
membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya
2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak
3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
4. Menjaga berat badan ideal
5. Mengatur pola makan
6. Melakukan olah raga ringan secara teratur
7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengobatan
diabetes secara teratur
2. INFARK MIOKARD
No. ICPC-2
: K75 Acute Myocardial Infarction
No. ICD-10
: I21.9 Acute Myocardial Infarction, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Infark miokard (IM) adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kritis antara suplai
oksigen dan kebutuhan miokardium. Umumnya disebabkan ruptur
dan
-2713. TAKIKARDIA
No. ICPC-2
No. ICD-10
-2725. Hipertiroid
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective )
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
1. Denyut jantung melebihi 100 kali per menit dan bisa menjadi
sangat cepat dengan frekuensi > 150 kali per menit pada keadaan
SVT dan VT
2. Takipnea
3. Hipotensi
4. Sering disertai gelisah hingga penurunan kesadaran pada kondisi
yang tidak stabil
Pemeriksaan Penunjang
EKG
1. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms) dengan frekuensi > 150 kali
per menit. Gelombang P bisa ada atau terkubur dalam kompleks
QRS.
2. VT: terdapat kompleks QRS lebar (>0,12ms), tiga kali atau lebih
secara berurutan. Frekuensi nadi biasanya > 150 kali per menit
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Diagnosis Banding: Komplikasi
Dapat menyebabkan kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Tata Laksana Takikardia Tidak Stabil
Keadaan ini merupakan keadaan yang mengancam jiwa terutama bila
disertai hemodinamik yang tidak stabil. Bila hemodinamik tidak stabil
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg) dengan nadi melemah, apalagi
disertai penurunan kesadaran bahkan pasien menjadi tidak responsif
harus dilakukan kardioversi baik dengan obat maupun elektrik.
Kondisi ini harus segera dirujuk dengan terpasang infus dan
Tingkat Kemampuan
Gagal jantung akut 3B
Gagal jantung kronik 3A
Masalah Kesehatan
Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah kesehatan yang
menyebabkan penurunan kualitas hidup, tingginya rehospitalisasi
karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian.
Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring
dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3%
(55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien
kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia
40 tahun, risiko terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan
20,3% pada perempuan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu deffort)
2. Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu)
3. Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)
Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan mental pada
orangtua
Faktor Risiko
1. Hipertensi
2. Dislipidemia
3. Obesitas
4. Merokok
5. Diabetes melitus
6. Riwayat gangguan jantung sebelumnya
7. Riwayat infark miokard
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik:
1. Peningkatan tekanan vena jugular
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pemeriksaan Penunjang
1. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali dan melihat gambaran
edema paru
2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang
T, dan gambaran abnormal lain).
3. Darah perifer lengkap
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham yaitu minimal
1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Kriteria Mayor:
1. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal nocturnal
dyspneu)
2. Distensi vena-vena leher
3. Peningkatan tekanan vena jugularis
4. Ronki basah basal
5. Kardiomegali
6. Edema paru akut
7. Gallop (S3)
8. Refluks hepatojugular positif
Kriteria Minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam
3. Dyspneu deffort (sesak ketika beraktifitas)
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari normal
7. Takikardi >120 kali per menit
Diagnosis Banding
1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi
paru berat (ARDS), emboli paru
2.
3.
4.
5.
Kriteria Rujukan
1. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas peayanan
kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung atau
spesialis penyakit dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan
lanjutan seperti ekokardiografi.
2. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan
dalam waktu cepat harus segera dirujuk layanan sekunder atau
layanan tertier terdekat untuk dilakukan penanganan lebih lanjut.
Peralatan
1. EKG
2. Radiologi (X ray thoraks)
3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap
Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon
pengobatan.
Referensi
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine,
et al., 2008)
3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE &
Rakel, 2011)
-280Kriteria rujukan
Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of Spontaneous
Circulation/ROSC)
pasien dirujuk ke layanan sekunder untuk
tatalaksana lebih lanjut.
Peralatan
1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Tabung oksigen
3. Bag valve mask
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung pada waktu
dilakukannya penanganan medis.
Referensi
1. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical
Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 4Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 255-279.
(Bigatello, 2006)
2. ORouke. Walsh. Fuster. Hursts The Heart Manual of
Cardiology.12th Ed.McGraw Hill. 2009.
3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI. 2007.
6. HIPERTENSI ESENSIAL
No ICPC-2
: K86 Hypertension uncomplicated
No ICD-10
: I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui
penyababnya. Hipertensi menjadi masalah karena meningkatnya
prevalensi, masih banyak pasien yang belum mendapat pengobatan,
maupun yang telah mendapat terapi tetapi target tekanan darah
belum tercapai serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
-281-
Keluhan
Mulai dari tidak bergejala
hipertensi antara lain:
1. Sakit atau nyeri kepala
2. Gelisah
3. Jantung berdebar-debar
4. Pusing
5. Leher kaku
6. Penglihatan kabur
7. Rasa sakit di dada
sampai
dengan
bergejala.
Keluhan
Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah
dan impotensi.
Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular dalam keluarga.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Riwayat pola makan (konsumsi garam berlebihan)
2. Konsumsi alkohol berlebihan
3. Aktivitas fisik kurang
4. Kebiasaan merokok
5. Obesitas
6. Dislipidemia
7. Diabetus Melitus
8. Psikososial dan stres
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit ringan-berat bila terjadi
komplikasi hipertensi ke organ lain.
2. Tekanan darah meningkat sesuai kriteria JNC VII.
3. Pada pasien dengan hipertensi, wajib diperiksa status neurologis
dan pemeriksaan fisik jantung (tekanan vena jugular, batas
jantung, dan ronki).
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
TD
Diastolik
< 80 mm
Hg
Pre-Hipertensi
120-139 mmHg
80-89
mmHg
Hipertensi stage -1
140-159 mmHg
80-99
mmHg
Hipertensi stage -2
160 mmHg
100
mmHg
Klasifikasi
Normal
Diagnosis Banding
White collar
Ensefalitis
hypertension,
Nyeri
akibat
tekanan
intraserebral,
Aktivitas fisik
aerobic
Stop alkohol
Rekomendasi
Jaga berat badan ideal
(BMI: 18,5 - 24,9 kg/m2)
Diet kaya buah, sayuran,
produk rendah lemak
dengan jumlah lemak total
dan lemak jenuh yang
rendah
Kurangi hingga <100 mmol
per hari (2.0 g natrium
atau 6.5 g natrium klorida
atau 1 sendok teh garam
perhari)
Aktivitas fisik aerobik yang
teratur (mis: jalan cepat) 30
menit sehari, hampir setiap
hari dalam seminggu
Rerata penurunan
TDS
5 20 mmHg/ 10 kg
8 14 mmHg
2 8 mmHg
4 9 mmHg
2 4 mmHg
-284KONDISI
MEMBURUK
Tanda syok
Stage I
Stage II
Diuretik tiazid,
dapat
dipertimbangkan
ACEi, BB, CCB,
atau kombinasi
Kombinasi 2
obat
Biasanya
diuretik dengan
ACEi, BB, atau
CCB
Obat-obatan untuk
indikasi khusus
tersebut
ditambah obat
antihipertensi lain
(diuretik, ACEi, BB,
CCB) sesuai
kebutuhan
Gagal jantung
Paska infark
miokard akut
Risiko tinggi
penyakit
coroner
DM
Penyakit
ginjal kronik
Pencegahan
stroke
berulang
Diuretik
Penyekat
beta (BB)
Antagonis
aldosteron
pemeriksaan
urinalisis
dan
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Referensi
Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian
Hipertensi. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
G. MUSKULOSKELETAL
-287-
1. FRAKTUR TERBUKA
No. ICPC-2
: L76 fracture other
No. ICD-10
: T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial.
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang terdapathubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri
dan dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Adanya patah tulang terbuka setelah terjadinya trauma
2. Nyeri
3. Sulit digerakkan
4. Deformitas
5. Bengkak
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas
8. Kelemahan otot
Faktor Risiko: Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi (look)
Adanya luka terbuka pada kulit yang dapat berupa tusukan tulang
yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena
tertembus, misalnya oleh peluru atau trauma langsung dengan
fraktur yang terpapar dengan dunia luar.
2. Palpasi (feel)
a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar
b. Nyeri tekan
c. Terabanya jaringan tulang yang menonjol keluar
d. Adanya deformitas
-289Komplikasi
Perdarahan, syok septik sampai kematian, septikemia, toksemia oleh
karena infeksi piogenik, tetanus, gangrene, perdarahan sekunder,
osteomielitis kronik, delayed union, nonunion dan malunion,
kekakuan sendi, komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Prinsip penanganan fraktur terbuka
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi dengan metode
ATLS
2. Lakukan irigasi luka
3. Lakukan imobilisasi fraktur
4. Pasang cairan dan berikan antibiotika intra vena yang sesuai dan
adekuat kemudian segera rujuk kelayanan sekunder.
Penatalaksanaan
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan
NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan
tulang menonjol keluarsedapat mungkin dihindari memasukkan
komponen tulang tersebut kembali kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi
eksterna.
4. Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah
terjadinya infeksi pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan
sebaiknya dengan dosis yang besar. Untuk fraktur terbuka
antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan
dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
5. Pencegahan tetanus: semua penderita dengan fraktur terbuka
perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah
mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian tetanus
toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus
imunoglobulin.
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap
mengawasi tanda vital.
Peralatan
-290-
2. FRAKTUR TERTUTUP
No. ICPC-2
: L76 fracture other
No. ICD-10
: T14 fracture of unspecified body
Tingkat Kemampuan 3B
MasalahKesehatan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak berhubungan dengan
lingkungan luar.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, dll)
2. Nyeri
3. Sulit digerakkan
4. Deformitas
5. Bengkak
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas
8. Kelemahan otot
Faktor Risiko:
Osteoporosis
Peralatan
-292-
1. Bidai
2. Jarum kecil
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad fungsionam adalah dubia
ad bonam. Hal ini bergantung kepada kecepatan dan ketepatan
tindakan yang dilakukan.
Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi
3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332.
3. POLIMIALGIA REUMATIK
No. ICPC-2
: L99 Musculosceletal disease other
No. ICD-10
: M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu sindrom klinis dengan
etiologi yang tidak diketahui yang mempengaruhi individu usia lanjut.
Hal ini ditandai dengan myalgia proksimal dari pinggul dan gelang
bahu dengan kekakuan pagi hari yang berlangsung selama lebih dari
1 jam.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada sekitar 50 % pasien berada dalam kesehatan yang baik sebelum
onset penyakit yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala muncul
pertama kali pada bahu. Sisanya, pinggul atau leher yang terlibat saat
onset. Gejala terjadi mungkin pada satu sisi tetapi biasanya menjadi
bilateral dalam beberapa minggu.
Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan bahu dan pinggul.
Kekakuan mungkin begitu parah sehingga pasien mungkin
mengalami kesulitan bangkit dari kursi, berbalik di tempat tidur, atau
mengangkat tangan mereka di atas bahu tinggi. Kekakuan setelah
periode istirahat (fenomena gel) serta kekakuan pada pagi hari lebih
-296Manifestasi artikular:
Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi
deformotas (swan neck, boutonniere, deviasi ulnar)
teraba
hangat,
Manifestasi ekstraartikular:
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak
menerima penekanan, vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen
shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang
merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis.
Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi
krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis
paru luas.
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif,
disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi,
aortritis, kardiomiopati.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laju endap darah (LED)
Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder atau rujukan
horizontal:
1. Faktor reumatoid (RF) serum.
2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan
jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi
pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah
sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral.
3.
4.
5.
6.
:
2-10 sendi besar
:
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) :
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) :
>10 sendi dengan minimal 1 sendi kecil
:
0
1
2
3
5
0
1
2
3
5
0
2
3
0
1
0
1
Catatan:
1. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi pasien baru.
Sebagai tambahan, pasien dengan penyakit erosif tipikal RA
dengan riwayat yang sesuai dengan kriteria 2010 ini harus
diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien dengan penyakit lama,
termasuk yang tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan), yang
berdasarkan data retrospektif yang dimiliki memenuhi kriteria
2010 ini harus diklasifikasikan ke dalam RA.
2. Diagnosis banding bervariasi diantara pasien dengan manifestasi
yang berbeda, tetapi boleh memasukkan kondisi seperti SLE,
artritis psoriatic, dan gout. Jika diagnosis banding masih belum
jelas, hubungi ahli reumatologi.
3. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak diklasifikasikan ke
dalam RA, status mereka dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa
dipenuhi secara kumulatif seiring waktu.
4. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi yang bengkak atau nyeri
pada pemeriksaan, yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan akan
adanya sinovitis. Sendi interfalang distal, sendi karpometakarpal I,
dan sendi metatarsofalangeal I tidak dimasukkan dalam
5.
6.
7.
8.
9.
10.
-299pemeriksaan.
Kategori
distribusi
sendi
diklasifikasikan
berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan
ke dalam kategori tertinggi berdasarkan pola keterlibatan sendi.
Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku, pinggul, lutut, dan
pergelangan kaki.
Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi metakarpofalangeal, sendi
interfalang proksimal, sendi metatarsophalangeal II-V, sendi
interfalang ibujari, dan pergelangan tangan.
Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi yg terlibat harus sendi
kecil; sendi lainnya dapat berupa kombinasi dari sendi besar dan
sendi kecil tambahan, seperti sendi lainnya yang tidak terdaftar
secara
spesifik
dimanapun
(misal
temporomandibular,
akromioklavikular, sternoklavikular dan lain-lain).
Negatif merujuk pada nilai IU yg batas atas nilai normal (BAN)
laboratorium dan assay; positif rendah merujuk pada nilai IU
yang BAN tetapi 3x BAN laboratorium dan assay; positif tinggi
merujuk pada nilai IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay. Ketika
RF hanya dapat dinilai sebagai positif atau negatif, hasil positif
harus dinilai sebagai positif rendah untuk RA. ACPA = anticitrullinated protein antibody.
Normal/tidak normal ditentukan oleh standar laboratorium
setempat. CRP (C-reactive protein); LED (Laju Endap Darah).
Durasi gejala merujuk pada laporan dari pasien mengenai durasi
gejala dan tanda sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri pada
penekanan) dari sendi yang secara klinis terlibat pada saat
pemeriksaan, tanpa memandang status pengobatan.
Diagnosis Banding
Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati seronegatif, Lupus
eritematosus istemik, Sindrom Sjogren
Komplikasi
1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar)
2. Sindrom terowongan karpal (TCS)
3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, splenomegali, leukopenia, dan
ulkus pada tungkai; juga sering disertai limfadenopati dan
trombositopenia)
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama
pada stadium akut dengan menggunakan decker.
-3002. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50100 mg 2x/hari, meloksikam 7,515 mg/hari, celecoxib 200-400
mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metil
prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
Kriteria rujukan
1. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid
dosis rendah.
2. RA dengan komplikasi.
3. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah.
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan
penyakit dan penatalaksanaan selanjutnya.
Referensi
1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser.
Eds. Harrisons Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA:
McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1184-91.
3. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta:
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007
Prognosis
-303-
6. VULNUS
No. ICPC-2 : S.16 Bruise / Contusion
S.17 Abration / Scratch / Blister
S.18 Laceration / Cut
No. ICD-10 : T14.1 Open wound of unspecified body region
Tingkat Kemampuan:
a. Vulnus laceratum, punctum 4A
b. Vulnus perforatum, penetratum 3B
Masalah Kesehatan
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling luar yang berguna
melindungi diri dari trauma luar serta masuknya benda asing.Apabila
kulit terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/vulnus.Luka
tersebut dapat merusak jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh
serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari.
Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh
berbagai macam akibat yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi),
luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan (avulsi), luka tembus
(penetrasi), gigitan, luka bakar, dan pembedahan.
Etiologi
Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari :
Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, misalnya :
1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
Penyebab adalah benda runcing tajam atau sesuatu yang masuk
ke dalam kulit, merupakan luka terbuka dari luar tampak kecil
tapi didalam mungkin rusak berat, jika yang mengenai
abdomen/thorax disebut vulnus penetrosum(luka tembus).
2. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
3.
4.
5.
6.
-304Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan benda tajam atau
jarum merupakan luka terbuka akibat dari terapi untuk
dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam dan licin.
Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka
tampak kehitam-hitaman, bisa tidak teratur kadang ditemukan
corpus alienum.
Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan
infeksi besar bentuk luka tergantung dari bentuk gigi
Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Luka jenis ini merupakan luka tembus atau luka jebol. Penyebab
oleh karena panah, tombak atau proses infeksi yang meluas
hingga melewati selaput serosa/epithel organ jaringan.
Vulnus Amputatum (Luka Terpotong)
Luka potong, pancung dengan penyebab benda tajam ukuran
besar/berat, gergaji. Luka membentuk lingkaran sesuai dengan
organ yang dipotong. Perdarahan hebat, resiko infeksi tinggi,
terdapat gejala pathom limb.
-305Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat mulai dari lepuh (bula),
sampai karbonisasi (hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
Patofisiologi
Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tubuh yang
bisa disebabkan oleh trauma mekanis dan perubahan suhu (luka
bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan beberapa tanda dan
gejala seperti bengkak, krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau
bisa juga menimbulkan kondisi yang lebih serius. Tanda dan gejala
yang timbul tergantung pada penyebab dan tipe vulnus.
Macam-macam Luka
Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4 tipe luka yaitu :
1. Luka bersih (Clean wound)
Luka bersih adalah luka karena tindakan operasi dengan tehnik
steril, misalnya pada daerah dinding perut, dan jaringan lain yang
letaknya lebih dalam (non contaminated deep tissue), misalnya
tiroid, kelenjar, pembuluh darah, otak, tulang.
2. Luka bersih-kontaminasi (Clean contaminated wound)
Merupakan luka yang terjadi karena benda tajam, bersih dan rapi,
lingkungan tidak steril atau operasi yang mengenai daerah usus
halus dan bronchial.
3. Luka kontaminasi (Contaminated wound)
Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh lingkungan kotor, operasi
pada saluran terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi bronkhial,
saluran kemih)
4. Luka infeksi (Infected wound)
Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi, kerusakan jaringan,
serta kurangnya vaskularisasi pada jaringan luka.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Terjadi trauma, ada jejas, memar, bengkak, nyeri, rasa panas
didaerah trauma.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah trauma, ada
perdarahan, edema sekitar area trauma, melepuh, kulit warna
kemerahan sampai kehitaman.
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi.
7. LIPOMA
No. ICPC-2
: S78 Lipoma
No. ICD-10
: D17.9 Benign lipomatous neoplasm
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak yang berada di bawah
kulit yang terdiri dari lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia
lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat dijumpai pada anak-anak.
Lipoma kebanyakan berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga
mencapai lebih dari diameter 6 cm.
Hasil Anamnesis
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri.
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). Hanya dikeluhkan
timbulnya benjolan yang membesar perlahan dalam waktu yang lama.
Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh dengan menekan saraf.
Untuk tempat predileksi seperti di leher bisa menimbulkan keluhan
menelan dan sesak.
-308Faktor Risiko
1. Adiposisdolorosis
2. Riwayat keluarga dengan lipoma
3. Sindrom Gardner
4. Usia menengah dan usia lanjut
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patologis
Keadaan Umum : tampak sehat bisa sakit ringan - sedang
Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk, bergerak jika ditekan.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk mengetahui isi massa.
Penegakan Diagnostik
Diagnosis Klinis
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang memiliki karakteristik
lembut, terlihat pucat. Ukuran diameter kurang dari 6 cm,
pertumbuhan sangat lama.
Diagnosis Banding
Epidermoid kista, Abses, Liposarkoma, Limfadenitis tuberkulosis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lain
seperti biopsi jarum halus.
merupakan
pemeriksaan
rujukan,
H. NEUROLOGI
1. TENSION HEADACHE
No. ICPC-2
: N95 Tension Headache
No. ICD-10
: G44.2 Tensiontype headache
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri
kepala tipe tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling sering
dijumpai dan sering dihubungkan dengan jangka waktu dan
peningkatan stres. Sebagian besar tergolong dalam kelompok yang
mempunyai perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar dan tegang. Pada
akhirnya, terjadi peningkatan tekanan jiwa dan penurunan tenaga.
Pada saat itulah terjadi gangguan dan ketidakpuasan yang
membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta
vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri kepala.
Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua usia,
adalah
dewasa
muda
yang
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus dan
sifat nyerinya mulai dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang
otot biasanya berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh.
Nyeri bisa dirasakan kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada
awalnya dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian
menjalar ke kepala bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian
depan. Selain itu, nyeri ini juga dapat menjalar ke bahu. Nyeri kepala
dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasakencang pada daerah
bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala.
Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi
anoreksia mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat
ditemukan seperti insomnia (gangguan tidur yang sering
terbangunatau bangun dini hari), nafas pendek, konstipasi, berat
badan menurun, palpitasi dan gangguan haid.
Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan
manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan
dan depresi.
Faktor Risiko: Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk mendiagnosis nyeri
kepalategang otot ini. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus
normal, pemeriksaan neurologis normal.Pemeriksaan yang dilakukan
berupa pemeriksaan kepala dan leher serta pemeriksaan neurologis
yang meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi, dan sensoris.
Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui adanya peningkatan
tekanan pada bola mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan fungsi mental pasien juga
dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyakit yang serius yang
NNT*
Aspirin 600-900 mg +
metoklopramid
Asetaminofen 1000 mg
Ibuprofen 200-400 mg
3,2
5,2
7,5
*Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual menjadi ringan atau
hilang dalam 2 jam).
Konseling dan Edukasi
1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan
fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa
takut akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
2. Keluarga ikut membantu mengurangi kecemasan atau depresi
pasien, serta menilai adanya kecemasan atau depresi pada pasien.
Kriteria Rujukan
1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis
saraf.
2. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien
harus dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peralatan
Obat analgetik
-313Prognosis
Prognosis umumnya bonam
pengobatan pemeliharaan.
karena
dapat
terkendali
dengan
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press.
Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com.
2008. (Blanda, 2008)
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000.
(Mansjoer, 2000)
4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from:
www.aafp.com. (Millea, 2008)
5. Tension headache. Feb 2009. Available from: www.mayoclinic.com.
2. MIGREN
No. ICPC-2
: N89 Migraine
No. ICD-10
: G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala
primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi.
Serangan seringkali berulang dan cenderung tidak akan bertambah
parah setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak diterapi akan
berlangsung antara 4-72 jam dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu
fase prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura (kurang lebih
15% kasus), fase nyeri kepala dan fase postdromal.
Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan
skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada
umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab
migren, diduga sebagai gangguan neurobiologis, perubahan
-315Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan ini
dilakukan jika ditemukan hal-hal, sebagai berikut:
a. Kelainan-kelainan struktural, metabolik dan penyebab lain yang
dapat menyerupai gejala migren.
b. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta yang dapat
menyebabkan komplikasi.
c. Menentukan dasar pengobatan dan untuk menyingkirkan
kontraindikasi obat-obatan yang diberikan.
2. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan).
3. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut:
a. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup
penderita.
b. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis
pada migren.
c. Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
d. Sakit kepala yang progresif atau persisten.
e. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren
dengan aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut.
f. Defisit neurologis yang persisten.
g. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan
dengan gejala-gejala neurologis yang kontralateral.
h. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
i. Gejala klinis yang tidak biasa.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Kriteria Migren:
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari
nyeri kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan,
intensitas sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau
muntah, fonofobia atau fotofobia.
Diagnosis Banding
Arteriovenous Malformations, Atypical Facial Pain, Cerebral Aneurysms,
Childhood Migraine Variants, Chronic Paroxysmal Hemicrania, Clustertype hedache (nyeri kepala kluster)
-316Komplikasi
1. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang
namun sangat serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
risiko seperti aura, jenis kelamin wanita, merokok, penggunaan
hormon estrogen.
2. Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari
stimulasi sensoris berlebihan.
2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang
dengan dikompres dingin.
a. Perubahan pola hidup dapat mengurangi jumlah dan tingkat
keparahan migren, baik pada pasien yang menggunakan obatobat preventif atau tidak.
b. Menghindari pemicu, jika makanan tertentu menyebabkan
sakit kepala, hindarilah dan makan makanan yang lain. Jika
ada aroma tertentu yang dapat memicu maka harus dihindari.
Secara umum pola tidur yang reguler dan pola makan yang
reguler dapat cukup membantu.
c. Berolahraga secara teratur, olahraga aerobik secara teratur
mengurangi tekanan dan dapat mencegah migren.
d. Mengurangi efek estrogen, pada wanita dengan migren dimana
estrogen menjadi pemicunya atau menyebabkan gejala menjadi
lebih parah, atau orang dengan riwayat keluarga memiliki
tekanan darah tinggi atau stroke sebaiknya mengurangi obatobatan yang mengandung estrogen.
e. Berhenti merokok, merokok dapat memicu sakit kepala atau
membuat sakit kepala menjadi lebih parah (dimasukkan di
konseling).
f. Penggunaan headache diary untuk mencatat frekuensi sakit
kepala.
g. Pendekatan terapi untuk migren melibatkan pengobatan akut
(abortif) dan preventif (profilaksis).
3. Pengobatan Abortif: Melihat kembali rujukan yang ada .
a. Analgesik spesifik adalah analgesik yang hanya bekerja sebagai
analgesik nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk kasus yang
berat atau respon buruk dengan NSAID. Contoh: Ergotamin,
Dihydroergotamin, dan golongan Triptan yang merupakan
agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1.
mg
NNT*
+ 3,2
5,2
7,5
Dosis
40-240 mg/hr
50-100 mg/hr
20-60 mg/hr
50-100 mg/hr
Amitriptilin
Fluoksetin
Mirtazapin
Valproat
Topiramat
Gabapentin
10-200 mg/hr
10-80 mg/hr
15-45 mg/hr
500-1000 mg/hr
50-200 mg/hr
900-3600 mg/hr
Verapamil
Flunarizin
Nimodipin
80-640 mg/hr
5-10 mg/hr
30-60 mg/hr
Komplikasi
1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan Aspirin dapat
menyebabkan efek samping seperti nyeri abdominal, perdarahan
dan ulkus, terutama jika digunakan dalam dosis besar dan jangka
waktu yang lama.
2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari dua atau tiga kali
seminggu dengan jumlah yang besar, dapat menyebabkan
komplikasi serius yang dinamakan rebound.
Konseling dan Edukasi
1. Pasien dan keluarga dapat berusaha mengontrol serangan.
2. Keluarga menasehati pasien untuk beristirahat dan menghindari
pemicu, serta berolahraga secara teratur.
3. Keluarga menasehati pasien jika merokok untuk berhenti merokok
karena merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit
kepala menjadi lebih parah.
Kriteria Rujukan
Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang
dengan pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis saraf).
Peralatan
-319-
3.
VERTIGO
No. ICPC-2
: N17 Vertigo/dizziness
No. ICD-10
: R42 Dizziness and giddiness
Tingkat Kemampuan 4A
(Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV))
Masalah Kesehatan
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau
lingkungan sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada
gangguan vestibular.
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang
yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu:
1. Vertigo vestibular perifer.
Terjadi pada lesi di labirin dan nervus vestibularis
2. Vertigo vestibular sentral.
tertentu:
temporal
bone
gejala
vertigo
surgery,
seperti:
transtympanal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.
Penegakan diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum
dan neurologis.
Tabel 8.4. Perbedaan vertigo vestibuler dan non vestibuler
Gejala
Vertigo
vestibuler
Rasa berputar
Episodik
Vertigo
non
vestibuler
Melayang, goyang
Kontinu, konstan
Positif
Negatif
Gangguan
pendengaran
Gerakan pencetus
Positif
atau Negatif
negative
Gerakan kepala Gerakan objek visual
Sensasi
Tempo serangan
Perifer
Lebih
mendadak
Berat
++
Mual/muntah/keringatan ++
Gangguan pendengaran
+/Tanda fokal otak
-
Sentral
Lebih
lambat
Ringan
+/+
+/-
Diagnosis Banding :
Seperti tabel di bawah ini, yaitu:
Tabel 8.6. Diagnosis banding gangguan neurologi
Gangguan otologi
Keadaan
lain
associated Kecemasan
Gangguan neurologi
Migraine
dizziness
Neuritis vestibularis Insufisiensi
Gangguan
vertebrobasiler
panik
Labirhinitis
Penyakit
Vertigo
demielinisasi
servikogenik
Superior canal dehi- Lesi susunan saraf Efek
scence syndrome
pusat
samping
obat
Vertigo
pasca
Hipotensi
trauma
postural
Penyakit meniere
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan
metode BrandDaroff.
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan
cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu
duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi
lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan
latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
Palu refleks
Sphygmomanometer
Termometer
Garpu tala (penala)
Obat antihistamin
Obat antagonis kalsium
Prognosis
Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun BPPV sering terjadi
berulang.
Referensi
1. Kelompok
Studi
Vertigo.
Pedoman
Tatalaksana
Vertigo.
Pehimpunan Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012.
(Kelompok Studi Vertigo, 2012)
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary
care. BJMP. 2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular
migraine.
Journal
Neurology.
2009:25:333-338.
(Lempert & Neuhauser, 2009)
4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American
Family Physician. 2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat. 2008. (Mardjono & Sidharta, 2008)
4. TETANUS
No. ICPC-2
: N72 Tetanus
No. ICD-10
: A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten,
disertai serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin adalah
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanospasmin
menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi
hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal
(disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum
atau generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak
dan batang tubuh). Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan
rahang yang mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau
lockjaw), serta melibatkan otot otot ekstremitas dan batang tubuh.
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah penyalahguna
obat yang menggunakan suntikan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat,
trismus, sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri
atas 4 macam yaitu:
1. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai
rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal
dapat berkembang menjadi tetanus umum.
2. Tetanus sefalik
-329Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan
imunisasi.
berdasarkan
temuan
klinis
dan
riwayat
-331menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak
rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus
Luka rentan tetanus
> 6-8 jam
Kedalaman > 1 cm
Superfisial < 1 cm
Terkontaminasi
Bersih
Bentuknya
tepi tajam
Denervasi, iskemik
Neurovaskular intak
Terinfeksi (purulen,
jaringan nekrotik)
Tidak infeksi
linear,
Prognosis
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh,
namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali
terinfeksi kembali oleh C. tetani.
Referensi
1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem
saraf. Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan
Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3.
Bandung: FKUP/RSHS. 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)
4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury, J.Eds. Clinical
Neurology.
Edinburg:
Churchill
Livingstone.
1991;
865871.(Rauscher, 1991)
5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook of
Pediatrics. Vol 1. 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004.
(Behrman, et al., 2004)
6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
-3347. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus:
progress to date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World Health
Organization, 1994)
8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the
Nervous System. In Darrof RB et al (Eds). Bradleys Neurology in
Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th
ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff & So, 2012)
5. RABIES
No. ICPC-2
: A77 Viral disease other/NOS
No. ICD-10
: A82.9 Rabies, Unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Rabies adalah infeksi virus yang menjalar ke otak melalui saraf
perifer. Perjalanan virus untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya
mengambil masa beberapa bulan. Masa inkubasi dari penyakit ini 1-3
bulan, tapi dapat bervariasi antara 1 minggu sampai beberapa tahun,
tergantung juga pada seberapa jauh jarak masuknya virus ke otak.
Penyakit infeksi akut sistem saraf pusat (ensefalitis) ini disebabkan
oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family
Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia, terutama melalui gigitan
hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala, kelelawar).
Beberapa kasus dilaporkan infeksi melalui transplantasi organ dan
paparan udara (aerosol). Rabies hampir selalu berakibat fatal jika
post-exposure prophylaxis tidak diberikan sebelum onset gejala berat.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
1. Stadium prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium sensoris
Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan
reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensoris.
3. Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal
-335yang sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macammacam fobia seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot
pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya
dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini
dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak
tanduk penderita tidak rasional kadang maniakal disertai dengan
responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai penderita
meninggal.
4. Stadium paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
sebelumnya, namun kadang ditemukan pasien yang tidak
menunjukkan gejala eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi
secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis.
Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8
minggu. Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya
timbul sesudah 12 minggu. Mengetahui port de entry virus tersebut
secepatnya
pada
tubuh
pasien
merupakan
kunci
untuk
meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure therapy). Pada
saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan
mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien sekarang mengeluh tentang
perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan tersebut.
Perasaan itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar
(panas), berdenyut dan sebagainya.
Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak
dengan anjing, kucing, atau binatang lainnya yang:
1. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka)
2. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh)
3. Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan
sebagainya)
4. Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lainlain).
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari sampai
7 tahun. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitandan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem
saraf pusat, derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka
gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas
46-78 hari.
Faktor Risiko : -
-337Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
1. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk
menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan
spasme otot ataupun untuk mencegah penularan.
2. Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun
(detergen) 5-10 menit kemudian dibilas dengan air bersih,
dilakukan debridement dan diberikan desinfektan seperti alkohol
40-70%, tinktura yodii atau larutan ephiran. Jika terkena selaput
lendir seperti mata, hidung atau mulut, maka cucilah kawasan
tersebut dengan air lebih lama; pencegahan dilakukan dengan
pembersihan luka dan vaksinasi.
3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah
menunjukkan gejala rabies. Penanganan hanya berupa tindakan
suportif berupa penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
4. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila serumheterolog (berasal
dari serum kuda) Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada
luka sebanyak-banyaknya, sisanya disuntikkan secara IM. Skin
test perlu dilakukan terlebih dahulu. Bila serum homolog (berasal
dari serum manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang
sama.
5. Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti
Rabies (VAR) pada hari pertama kunjungan.
6. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam waktu 10 hari infeksi
yang dikenal sebagai post-exposure prophylaxis atau PEPVAR
secara IM pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis
0,5 ml pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen atau rekomendasi
WHO), atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen
Zagreb/rekomendasi Depkes RI).
7. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5
tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin
cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan
berat vaksin diberikan lengkap.
8. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada
jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal.
Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada sekitar
luka dan setengah dosis IM pada tempat yang berlainan dengan
suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis
pertama SAR.
-340Faktor Risiko:
1. Tinggal atau pernah berkunjung ke daerah endemik malaria
2. Riwayat terinfeksi Plasmodium falciparum
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
1. Penurunan kesadaran yang dapat didahului mengantuk,
kebingungan, disorientasi, delirium atau agitasi namun kaku
kuduk dan rangsang meningeal lain tidak ditemukan dan dapat
berlanjut menjadi koma.
2. Kaku kuduk biasanya negatif, hiperekstensi leher terjadi pada
kasus berat
3. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai nistagmus dan deviasi
conjugee
4. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan retina yang pucat,
perdarahan retina (6-37% kasus), edema papil dan cotton wool
spots.
5. Gejala neurologi yang sering adalah lesi upper motor neuron, tonus
otot dan reflex tendon meningkat (tetapi dapat juga normal
ataupun menurun), refleks babinsky positif
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan apusan darah
Bisa ditemukan adanya Plasmodium falciparum aseksual pada
penderita yang mengalami penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan darah rutin dan gula darah
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan ditemukannya
Plasmodium falciparum bentuk aseksual pada pemeriksaan apusan
darah tepi pasien dengan penurunan kesadaran berat (koma),
walaupun semua gangguan kesadaran (GCS<15) harus dianggap dan
diterapi sebagai malaria berat. Gangguan kesadaran pada malaria
dapat pula disebabkan oleh demam yang tinggi, hipoglikemia, syok,
ensefalopati uremikum, ensefalopati hepatikum, sepsis. Semua
penderita dengan demam dan penurunan kesadaran seyogyanya
didiagnosis banding sebagai malaria serebral, khususnya jika
penderita tinggal atau pernah berkunjung ke daerah endemik malaria.
-341Diagnosis Banding:
Infeksi virus, bakteri, jamur (cryptococcal), protozoa (African
Trypanosomiasis), Meningoensefalitis, Abses serebral, Trauma kepala,
Stroke, intoksikasi, gangguan metabolik
Komplikasi:
Gagal ginjal akut, ikterus, asidosis metabolik, hipoglikemia,
hiperlaktemia, hipovolemia, edema paru, sindrom gagal nafas akut
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
Semua pasien yang didiagnosis dengan malaria serebral harus
dipastikan jalan nafas lancar dan pernafasan dibantu dengan oksigen,
setelah penatalaksanaan suportif seperti pemberian cairan agar
segera dirujuk ke fasilitas layanan kesehatan sekunder
Kriteria Rujukan:
Pasien dengan Malaria Serebral agar segera dirujuk ke RS
Edukasi dan Konseling:
1. Konsultasi ke dokter untuk penggunaan kemoprofilaksis bagi
mereka yang hendak berkunjung ke daerah endemic malaria
2. Malaria bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan nyamuk
anopheles baik dengan menggunakan kelambu maupun reppelen
3. Hindari aktivitas di malam hari khususnya bagi mereka yang
tinggal atau bepergian ke daerah endemik malaria
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Prognosis
1. Ad Vitam: Dubia ad Malam
2. AdFunctionam: Dubia et Malam
2.
Tabel 8.8. Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan epilepsi
Bangkitan
OAE
Fokal
Umum
Tonik Lena Mioklonik
sekunder klonik
Phenytoin
+
+
+
Carbamazepine
+
+
+
Valproic acid
+
+
+
+
+
Phenobarbital
+
+
+
0
?+
Gabapentin
+
+
?+
0
?Lamotrigine
+
+
+
+
+
Topiramate
+
+
+
?
?+
Zonisamide
+
+
?+
?+
?+
Levetiracetam
+
+
?+
?+
?+
Oxcarbazepine
+
+
+
-
Carbamazepine
Titrasi
Carbamazepine
Phenytoin
Dosis Awal
(mg/hr)
Dosis
Jumlah
Rumatan
Dosis/hari
(mg/hr)
400-600 mg 400-1600
2-3 (untuk
mg
CR 2)
Mulai 100/200 mg/hr ditingkatkan sampai
200-300 mg
200-400 mg
1-2
Waktu
Paruh
Plasma
15-25 jam
Waktu
Steady
State
2-7 hari
10-80 jam
3-15 hari
Titrasi
Phenytoin
Valproic Acid
Titrasi Valproic
Acid
Phenobarbital
Titrasi
Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam
Titrasi
Clobazam
Oxcarbazepine
Titrasi
Oxcarbazepine
Levetiracetam
Titrasi
Levetiracetam
Topiramate
Titrasi
Topiramate
Gabapentin
Titrasi
Gabapentine
Lamotrigine
Titrasi
Lamotrigine
Zonisamide
Titrasi
Zonisamide
Pregabalin
500-1000
mg
500-2500
mg
2-4 hari
50-100 mg
50-200 mg
1
50-170 jam 8-30 hari
Mulai 30-50 mg malam hari ditingkatkan bila perlu setelah 10-15 hari
1 mg
4 mg
1 atau 2
20-60 jam
2-10 hari
10 mg
10-30 mg
1-2
8-15 jam
2-4 hari
Mulai 10 mg/hr bila perlu ditingkatkan sampai 20 mg/hr setelah 1-2
minggu
600-900 mg 600-3000
2-3
8-15 jam
2-4 hari
mg
Mulai 300 mg/hr ditingkatkan sampai target dalam 1-3 minggu
1000-2000
1000-3000
2
6-8 jam
mg
mg
Mulai 500/1000 mg/hr bila perlu setelah 2 minggu
2 hari
1-2
15-35 jam 2-6 hari
50-100 mg
50-200 mg
Mulai 25 mg/hr selama 2 minggu ditingkatkan sampai 50 mg/hr
selama 2 minggu
60 jam
100-200 mg 100-400 mg 1-2
Mulai 200-400 mg/hr ditingkatkan sampai 1-2 minggu
7-10 hari
50-75 mg
1-2 hari
50-600 mg
2-3
6,3 jam
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Phenytoin
-349Obat
Phenobarbital
Hepatotoksik,gangguan
jaringan ikat dan sum-sum
tulang,
sindrom
steven
Johnson.
Valproate Acid
Hepatotoksik,
Mual,
muntah,
rambut
hiperamonemia,
leukopeni, menipis, tremor, amenore,
trombositopenia, pancreatitis. peningkatan
berat
badan,
konstipasi, hirsutisme, alopesia
pada
perempuan,
Polycystic Ovary Syndrome
(POS).
Levetiracetam
Belum diketahui.
Gabapentin
Teratogenik.
Lamotrigine
Ruam,
dizziness,
tremor,
ataksia, diplopia, pandang-an
kabur, nyeri kepala, mual,
muntah, insomnia, nistagmus,
ataxia trunkal, Tics
Oxcarbazepine
Ruam, teratogenik.
Topiramate
-350Obat
Zonisamide
Pregabalin
Belum diketahui
Kriteria Rujukan
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
Peralatan
Tersedia Obat Anti Epilepsi
Konseling dan Edukasi
1. Penting untuk memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit
ini tidak menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak
perlu pendampingan sehingga lingkungan dapat menerima dengan
baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan baik
Dilakukan untuk individu dan keluarga
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung klasifikasi epilepsi yang
dideritanya, sedangkan serangan epilepsi dapat berulang, tergantung
kontrol terapi dari pasien.
Referensi
Kelompok
Studi
Epilepsi.
Pedoman
Tatalaksana
Epilepsi,
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
Studi Epilepsi, 2012)
No. ICPC-2
No.ICD-10
attack,
Masalah Kesehatan
TIA atau serangan iskemik otak sepintas (SOS) adalah penurunan
aliran darah yang berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga mengakibatkan
disfungsi neurologis yang berlangsung singkat (kurang dari 24 jam).
Jika gejala nerologik menetap (irreversible), dan berlangsung lebih
lama (lebih dari 24 jam), maka dikategorikan sebagai stroke iskemik
(infark). Defisit neurologis yang berlangsung lebih lama dari 24 jam,
tapi tidak menetap (reversible,) dan dalam waktu kurang dari 2
minggu sembuh total tanpa gejala sisa, disebut reversible ischemic
neurological deficit (RIND).
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), dan biasanya berlangsung
singkat (beberapa menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam, diikuti
kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada pasien yang mengalami
serangan TIA lebih dari 3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari
50% diantaranya ditemukan gambaran infark di otak.
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai risiko lebih besar
untuk terserang stroke iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke,
pernah mengalami TIA sebelumnya. Sehingga TIA termasuk faktor
risiko stroke, dan disebut sebagai warning sign (tanda peringatan)
terjadinya stroke. Setelah TIA, antara 10-15% pasien mengalami
stroke iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian besar diantaranya
terjadi dalam waktu 48 jam setelah terjadinya TIA. Karena itu, TIA
maupun stroke iskemik, keduanya merupakan kedaruratan medik
yang mempunyai kesamaan mekanisme patogenesis, dan memerlukan
prevensi sekunder, evaluasi, dan penatalaksanaan yang hampir sama.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Secara umum, gejala neurologis yang diakibatkan oleh TIA tergantung
pada pembuluh darah otak yang mengalami gangguan, yaitu sistem
karotis atau vertebrobasilaris.
Modifiable, welldocumented
Umur
Jenis
kelamin
Berat badan
lahir rendah
Ras
Riwayat
keluarga
stroke/TIA
Hipertensi
Merokok
Diabetes
Dislipidemia
Fibrilasi Atrial
Stenosis karotis
asimtomatik
Penyakit sel sickle
Terapi hormon pasca
menopause
Kontrasepsi oral
Diet/nutrisi
Inaktivitas fisik
Obesitas
Penyakit
kardiovaskuler
(penyakit jantung
koroner, penyakit
-353Non Modifiable
Modifiable, welldocumented
pembuluh darah tepi)
dan
vital
Pemeriksaan neurologis
Terutama untuk menemukan adanya tanda defisit neurologis berupa
status mental, motorik, sensorik sederhana dan kortikal luhur, fungsi
serebelar, dan otonomik.
Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan standar dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder:
1. CT scan kepala (atau MRI)
2. EKG (elektrokardiografi)
3. Kadar gula darah
4. Elektrolit serum
5. Tes faal ginjal
6. Darah lengkap
7. Faal hemostasis
Catatan: CT scan atau MRI kepala pada pasien TIA biasanya tidak
menunjukkan kelainan, kecuali dengan teknik khusus, misalnya
perfusion CT, atau diffusion weighted MRI (DWI).
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
1. Foto toraks
2. Tes faal hati
3. Ekokardiografi (jika diduga emboli kardiogenik)
4. TCD (transcranial Doppler)
5. EEG (elektro-ensefalografi)
-354Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis dan CT scan kepala (bila diperlukan)
Diagnosis Banding:
1. Stroke iskemik (infark)
2. Stroke hemoragik
3. Gangguan fungsi otak yang menyerupai TIA/stroke, misalnya:
a. Cedera otak traumatik: hematoma epidural/subdural
b. Tumor otak
c. Infeksi otak: abses, tuberkuloma
d. Todds paralysis (hemiparesis pasca serangan kejang)
e. Gangguan metabolik: hipo/hiperglikemia
Komplikasi:
Antara 10-15% pasien mengalami stroke iskemik dalam waktu 3
bulan, dan sebagian besar diantaranya terjadi dalam waktu 48 jam
setelah terjadinya TIA.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
Bila mendapat serangan TIA, pasien harus segera dibawa ke rumah
sakit agar mendapatkan pemeriksaan untuk menemukan penyebab
dan penanganan lebih lanjut. Bila skor ABCD2 > 5, pasien harus
segera mendapat perawatan seperti perawatan pasien stroke iskemik
akut. Tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes dan penyakit
gangguan darah harus segera diterapi. Untuk mencegah berulangnya
TIA dan serangan stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, misalnya
asetosal, clopidogrel, dipyridamole, cilostazol. Pada stenosis karotis,
mungkin diperlukan tindakan carotid endarterectomy atau carotid
angioplasty. Jika ada fibrilasi atrial, mungkin diperlukan
antikoagulan oral, misalnya warfarin, rifaroxaban, dabigatran,
apixaban.
Kelemahan unilateral
2
1
2
1
D iabetes
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke RS untuk penanganan lebih lanjut.
Peralatan
Laboratorium: darah lengkap dan kimia darah
Pemeriksaan radiologi: foto toraks
Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di layanan sekunder
Prognosis
Prognosis bonam bila faktor risiko dapat teratasi dan penanganan
cepat dilakukan. Pemberian obat antiplatelet dan antikoagulan dapat
mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke iskemik.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In
Brust JCM (Ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, New York, 2007:100-25. (Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In
Goldstein LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment.
Wiley-Blackwell, Dallas, 2009: 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous
System. Ischemic Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al
(Eds). Bradleys Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of
9. STROKE
No. ICPC-2
: K90 Stroke/cerebrovascular accident
No. ICD-10
: I63.9 Cerebral infarction, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor
vaskuler. Secara global, saat ini stroke merupakan salah satu
penyebab kematian utama, dan penyebab utama kecacatan pada
orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, stroke
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan:
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak (tiba-tiba), yang sering
dijumpai adalah
1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemiparesis, hemiplegi)
2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemihipestesi, hemianesthesi)
3. Gangguan bicara (disartria)
4. Gangguan berbahasa (afasia)
5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan sempoyongan (ataksia),
rasa berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia), melihat ganda
(diplopia),
penyempitan
lapang
penglihatan
(hemianopsia,
kwadran-anopsia)
-357Catatan:
Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih dari satu macam gejala
diatas. Pada beberapa penderita dapat pula dijumpai nyeri kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang pada saat terjadi
serangan stroke.
Untukmemudahkan pengenalan gejala stroke bagi masyarakat awam,
digunakan istilah FAST (Facial movement, Arm Movement, Speech,
Time: acute onset). Maksudnya, bila seseorang mengalami kelemahan
otot wajah dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan bicara, yang
terjadi mendadak, patut diduga mengalami serangan stroke. Keadaan
seperti
itu
memerlukan
penanganan
darurat
agar
tidak
mengakibatkan kematian dan kecacatan. Karena itu pasien harus
segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
penanganan tindakan darurat bagi penderita stroke.
Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan anamnesis yang teliti
tentang faktor risiko TIA/stroke.
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah terjadinya serangan
stroke, misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), berat badan lahir
rendah, faktor herediter (familial), ras (etnik), memang tidak bisa
dihindari atau diubah (non modifiable risk factors). Sedangkan faktor
risiko lainnya mungkin masih bisa dihindari, diobati atau diperbaiki
(modifiable risk factors).
No
-1
Seizure
-1
+1
+1
+1
Speech disturbances
+1
+1
Stroke
Trombotik
Stroke
Embolik
Perdarahan
Intraserebral
Perdarahan
Subaraknoid
Serangan
Saat
istirahat/tidur
, malam
Sering didului
TIA/SOS
Fokal, sering
memberat
secara gradual
Saat
aktivitas
seharihari, tidak
saat tidur
Fokal,
seringkali
maksimal
saat
serangan
Saat
melakukan
aktivitas
Nyeri
kepala
sangat
hebat,
mendadak,
biasanya
saat
aktivitas
Defisit neurologik
fokal
jarang
dijumpai
Dijumpai
tanda
rangsangan
selaput otak (kaku
kuduk)
Tekanan
darah
Temuan
khusus
lainnya
Hipertensi
(sering)
Penyakit
jantung
/
pembuluh
darah arteriosklerotik
Hipertensi
berat
(sering)
Penyakit
jantung
hipertensif,
retinopati
hipertensif
Hipertensi (jarang)
CT
scan
kepala
Area hipodens
Normoten
si (sering)
Aritmia
jantung,
fibrilasi
atrial,
kelainan
katup
jantung,
bising
karotis
atau
tanda
sumber
emboli
lain
Area
hipodens.
Pada
infark
hemoragik
, tampak
pula area
hiperdens
Area
hiperdens
intraserebral/intrav
entricular
Area hiperdens di
sisterna basalis
Gangguan
fungsi otak
(defisit
neurologik)
Perdarahan
subhyaloid/
preretinal
Perdarahan pada
likuor
serebrospinal
-363Kriteria Rujukan
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara klinis dan
diberikan penanganan awal, segera mungkin harus dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis
saraf, terkait dengan angka kecacatan dan kematian yang tinggi.
Dalam hal ini, perhatian terhadap therapeutic window untuk
penatalaksanaan stroke akut sangat diutamakan.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
Prognosis
Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan letak lesi. Untuk stroke
hemoragik sebagian besar dubia ad malam. Penanganan yg lambat
berakibat angka kecacatan dan kematian tinggi.
Referensi
1. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke. Guideline Stroke 2011.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI),
Jakarta, 2011. (Misbach, 2011)
2. Jauch EC et al. Guidelines for the Early Management of Patients
with Acute Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2013; 44:870-947.(Jauch, 2013)
3. Morgenstern LB et al. Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Guideline for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2010;41:1-23. (Morgenstern, 2010)
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients
With Stroke or Transient Ischemic Attack : A Guideline for
Healthcare
Professionals
From
the
American
Heart
Association/American Stroke Association. Stroke 2011;42:227-276.
(Furie, 2011)
-3664. Pada fase awal, pasien juga dapat melaporkan adanya peningkatan
salivasi.
Jika paralisis hanya melibatkan wajah bagian bawah saja, maka
harus dipikirkan penyebab sentral (supranuklear). Apalagi jika pasien
mengeluh juga tentang adanya kelumpuhan anggota gerak
(hemiparesis), gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus, diplopia,
atau paresis saraf kranialis lainnya, kemungkinan besar BUKAN
Bells palsy. Pada keadaan seperti itu harus dicurigai adanya lesi
serebral, serebelar, atau batang otak, oleh karena berbagai sebab,
antara lain vaskular (stroke), tumor, infeksi, trauma, dan sebagainya.
Pada Bells palsy, progresifitas paresis masih mungkin terjadi, namun
biasanya tidak memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika
progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 7-10, harus dicurigai
diagnosis lain (bukan Bells palsy).
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi lebih
lanjut, karena dapat disebabkan oleh Sindroma Guillain-Barre,
penyakit Lyme,
meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit
autoimun (multiple sclerosis, neurosarcoidosis) dan lain-lain.
Manifestasi Okular
Komplikasi okular unilateral pada fase awal berupa:
1. Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk menutup mata secara total)
2. Penurunan sekresi air mata
3. Kedua hal diatas dapat mengakibatkan paparan kornea (corneal
exposure), erosi kornea, infeksi dan ulserasi kornea
4. Retraksi kelopak mata atas
Manifestasi okular lanjut
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melebarnyacelah palpebral.
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
3. Sinkinesis otonom (air mata buaya, berupa menetesnya air mata
saat mengunyah).
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi
karena penurunan fungsi orbicularis okuli dalam membantu
ekskresi air mata.
Nyeri auricular posterior
Separuh pasien dengan Bells palsy mengeluh nyeri auricular
posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri
mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu
ditanya apakah ada riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan
2.
3.
4.
5.
6.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade
III dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI disebut dengan paralisis
fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis
fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut
dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat
pada rekam medik pasien saat pertama kali datang memeriksakan
diri.
-369Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, yaitu:
1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis alternans)
2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle
3. Otitis media akut atau kronik
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi vesicular pada telinga atau
bibir)
5. Amiloidosis
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a. Carotis
7. Sindroma autoimun
8. Botulismus
9. Karsinomatosis
10. Cholesteatoma telinga tengah
11. Malformasi congenital
12. Schwannoma n. Fasialis
13. Infeksi ganglion genikulatum
14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Prognosis pasien Bells palsy umumnya baik. Karena penyebabnya
idiopatik, pengobatan Bells palsy masih kontroversi. Tujuan
pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan
mencegah kerusakan saraf lebih lanjut.
Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai diberikan pada pasien
dalam fase awal 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
1. Pengobatan inisial
a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day
selama 6 hari, diikutipenurunan bertahap total selama 10 hari.
b. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bells palsy (American Academy Neurology/AAN,
2011).
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN,
2012).
d. Apabila tidak ada gangguan gungsi ginjal, antiviral
(Asiklovir)dapat diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali
nervus
facialis
untuk
memantau
Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis banding)
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan. Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85%
pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale) berupa kelemahan fasial
unilateral atau kontralateral, sinkinesis, spasme hemifasialis, dan
terkadang terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan rujukan lebih
lanjut.
Referensi
1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradleys
Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
6th
-371Elsevier,
Management.
ed.
Philadelphia, 2012:1754-1757.
(Rucker, 2012)
2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New
York, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi, 2007)
3. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells Palsy Medication. Medscape.
4. Medscape: Empiric Therapy Regimens.
Oksigen
Kain kasa
Infus set
Spatel lidah
Alat pengukur gula darah sederhana
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan
fungsionam, namun dubia ad malam untuk quo ad sanationam.
Referensi
1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
Studi Epilepsi, 2012)
2. Darto Saharso. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag/SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Perubahan kesadaran
SINDROM DELIRIUM
Gambar 8.1 Confusion Assessment Method (Algoritma)
-377Kriteria Rujukan
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit
utamanya.
Peralatan : Prognosis
Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan dari penyakit yang
mendasarinya.
Referensi
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical
Manual for Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC:
APA. 2000.
2. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.
2009.
3. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion:
the confusion Assessment method;113:941-8: a new method for
detection of delirium.Ann Intern Med. 1990
4. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill. 2008.
5. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of
Clinical Geriatrics. 6th Ed. McGraw-Hill Co. 2009.
6. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
(PNPK) Jiwa/Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). 2012.
7. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
8. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di
Puskesmas. 2004.
9. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit
berdasarkan kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012
-3792. Usia
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan6tahun
b. Puncak tertinggi pada usia 1723 bulan
c. Kejang demam sebelum usia 56 bulan mungkin disebabkan
oleh infeksi SSP
d. Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan
febrile seizure plus (FS+).
3. Gen
a. Risiko meningkat 23x bila saudara sekandung mengalami
kejang demam
b. Risiko meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran.
Pada kejang demam tidak ditemukan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan umum ditujukan untuk mencari tanda-tanda infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan neurologi meliputi kepala, ubun-ubun
besar, tanda rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik, tonus
otot, refleks fisiologis dan patologis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab
demam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :
1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
2. Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa, elektrolit, pungsi lumbal.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-klonik.
b. Durasi < 15 menit
c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
b. Durasi > 15 menit
c. Kejang berulang dalam 24 jam.
-380Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Epilepsi
3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit.
Komplikasi dan prognosis
Kejang demam suatu kondis yang jinak/benign, tidak menyebabkan
kematian. Sebagian besar akan menghilang pada usia 5-6 tahun.
Faktor risiko epilepsi di kemudian hari tergantung dari: (1) kejang
demam kompleks, (2) riwayat epilepsi dalam keluarga, (3) terdapat
defisit neurologis.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Keluarga pasien diberikan informasi selengkapnya mengenai
kejang demam dan prognosisnya.
2. Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana kejang akut dan
tatalaksana profilaksis untuk mencegah kejang berulang.
3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kejang akut adalah
dengan:
a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB < 10 kg diazepam
rektal 5 mg , BB > 10 kg diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam
(0,1 mg/kg) harus segera diberikan jika akses intravena tidak
dapat diperoleh dengan mudah. Jika akses intravena telah
diperoleh diazepam lebih baik diberikan intravena dibandingkan
rektal. Dosis pemberian IV 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
maksimum pemberian 20 mg. Jika kejang belum berhenti
diazepam rektal/IV dapat diberikan 2 kali dengan interval 5
menit. Lorazepam intravena, setara efektivitasnya dengan
diazepam intravena dengan efek samping yang lebih minimal
(termasuk depresi pernapasan) dalam pengobatan kejang akut.
b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rektal/intravena masih
terdapat kejang dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis inisial
20 mg/kgBB, diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan pengenceran
10 mg fenitoin dalam 1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan
pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 50 mg/menit, dosis
inisial maksimum adalah 1000 mg. Jika dengan fenitoin masih
terdapat kejang, dapat diberikan fenobarbital IV dengan dosis
inisial 20 mg/kgBB, tanpa pengenceran dengan kecepatan
pemberian 20 mg/menit. Jika kejang berhenti dengan fenitoin
maka lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 jam kemudian
Lorazepam
Fenitoin
Fenobarbital
Per rektal
0,5 mg/kg atau.BB < 10
kg dosis 5 mg, BB > 10 kg
dosis 10 mg.
-382Indikasi EEG
Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada kejang demam,
kecuali jika ditemukan keragu-raguan apakah ada demam sebelum
kejang.
Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika terdapat kejang demam
yang bersifat fokal atau ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan
fisik.
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi dilakukan untuk membantu pihak keluarga
mengatasi pengalaman menegangkan akibat kejang demam dengan
memberikan informasi mengenai:
1. Prognosis dari kejang demam.
2. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau kesulitan
intelektual akibat kejang demam.
3. Kejang demam kurang dari 30 menit tidak mengakibatkan
kerusakan otak.
4. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di masa depan.
5. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan tidak adanya manfaat
menggunakan terapi obat antiepilepsi dalam mengubah risiko itu.
Kriteria Rujukan
1. Apabila
kejang
tidak
membaik
setelah
diberikan
obat
antikonvulsan sampai lini ketiga (fenobarbital).
2. Jika diperlukan pemeriksaan penunjang seperti EEG dan
pencitraan (lihat indikasi EEG dan pencitraan).
Peralatan
Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set, diazepam
rektal/intravena, lorazepam, fenitoin IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%.
Referensi
1. Esau, R. et al. 2006. British Columbias Childrens Hospital
Pediatric Drug Dosage Guidelines. 5th edition.Vancouver.
Department of Pharmacy Childrens and Womens Health Centre of
British Columbia. (Esau, 2006)
2. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.
-384Anamnesis, meliputi :
1. Penolong persalinan apakah tenaga medis/paramedis/non
medis/dukun bayi
2. Telah mendapat pelatihan atau belum
3. Alat yang dipakai memotong tali pusat
4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada perawatan tali pusat
5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama kehamilan
6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period)
7. Berapa lama selang waktu antara gejala-gejala tidak dapat
menetek dengan gejala spasme pertama (period of onset)
Faktor Risiko : Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran intak
2. Trismus
3. Kekakuan otot leher, punggung, perut
4. Mulut mencucu seperti mulut ikan
5. Kejang
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk tetanus
neonatorum. Diagnosis utamanya ditegakkan dengan adanya gejala
klinis seperti trismus, disfagia, kekakuan otot (muscular rigidity).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
Diagnosis Banding
Semua penyebab kejang neonatus seperti Kongenital (cerebral
anomalies ), perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal & atau
perdarahan intracranial)
dan postnatal (Intervensi & gangguan
metabolik)
Komplikasi
Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan pneumonia aspirasi, Long
bone fractures
dengan
jadwal
I.
PSIKIATRI
-387-
1. GANGGUAN SOMATOFORM
No ICPC-2
: P75. Somatization disorder
No ICD-10
: F45 Somatoform disorders
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok kelainan
psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik yang
dirasakan signifikan oleh pasien namun tidak ditemukan
penyebabnya secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu penelitian di Jakarta
mendapatkan prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis gangguan yang tersering
adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius, gejalagejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform
sangat mengganggu dan berpotensi menimbulkan distres emosional.
Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pada
kasus gangguan somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter
dalam mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis gangguan
somatoform dengan tepat, dan menatalaksana akan sangat
membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi rujukan
yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis
yang berlebihan atau merugikan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus
mempertimbangkan diagnosis gangguan somatoform bila terdapat
beberapa karakteristik berikut ini:
1. Keluhan atau gejala fisik berulang,
2. Dapat disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,
3. Hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan
yang dapat menjelaskan keluhan tesebut,
6.
7.
8.
9.
Non-medikamentosa
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana
yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT,
dokter memposisikan diri sebagai mitra yang membantu pasien.
Tahap awal dari CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan tepat
dan membantu pasien mengidentifikasi hal-hal yang selama ini
menimbulkan atau memperparah gejala fisik yang dialami, misalnya
distorsi kognitif, keyakinan yang tidak realistis, kekhawatiran, atau
perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien
mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang dapat
mengurangi atau mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal
sebagai behavioral experiments.
Medikamentosa
Penggunaan obat harus berdasarkan indikasi yang jelas. Hanya
sedikit studi yang menunjukkan efektifitas yang signifikan dari
penggunaan obat-obat untuk tatalaksana gangguan somatoform.
Antidepresan dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi atau
ansietas yang mengganggu.
-392-
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
:Dubia
:Dubia
2. DEMENSIA
No. ICPC-2
: P70 Dementia
No. ICD-10
: F03 Unspecified dementia
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat
kronik progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif
multiple, termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya tangkap
(komprehensi), kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial,
bahasa dan daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan
deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan sosial dan motivasi.
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada penyakit
Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat, mudah lupa terhadap
kejadian yang baru dialami, dan kesulitan mempelajari informasi
baru. Diawali dengan sering lupa terhadap kegiatan rutin, lupa
terhadap benda-benda kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama
sendiri atau keluarga.
Faktor Risiko
Usia> 60 tahun (usialanjut).
Riwayat keluarga.
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular (hipertensi, penyakit
jantung), atau diabetes mellitus.
-395PenatalaksanaanKomprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non farmakologi
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol penyakit fisik, lakukan
aktifitas fisik sederhana seperti senam otak, stimulasi kognitif
dengan permintaan, kuis, mengisi teka-teki silang, bermain
catur.
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih nyaman dan aman
bagi pasien.
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari (mandi, makan, dan
lain-lain) untuk mengoptimalkan aktivitas independen,
meningkatkan
fungsi,
membantu
adaptasi
dan
mengembangkan
keterampilan,
serta
meminimalisasi
kebutuhan akan bantuan.
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat membantu mengenal
barang
milik
pribadinya,
mengenal
waktu
dengan
menggunakan jam besar, kalender harian, dapat menyebutkan
namanya dan anggota keluarga terdekat, mengenal lingkungan
sekitar, beri pujian jika dapat menjawab dengan benar, bicara
dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap saja),
bila perlu gunakan isyarat atau sentuhan lembut.
2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
galantamine dan rivastigmine) atau memantine secara rutin
untuk semua kasus demensia. Pertimbangkan pemberiannya
hanya pada kondisi yang memungkinkan diagnosis spesifik
penyakit Alzheimer ditegakkan dan tersedia dukungan serta
supervisi adekuat oleh spesialis serta pemantauan efek
samping oleh pelaku rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik
dosis rendah, seperti Haloperidol 0,5 1 mg/hari.
Kriteria Rujukan
1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis dan penatalaksanaan
lanjutan.
2. Apabila
pasien
menunjukkan
gejala
agresifitas
dan
membahayakan dirinya atau orang lain.
-396-
Peralatan
Tidak ada Peralatan khusus
Prognosis
Sleep disturbance
Insomnia non organik pada psikiatri
Masalah Kesehatan
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa
kesulitan berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan
kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan
lainnya, baik mental (psikiatrik) atau fisik.
Secara umum lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang
spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk
menjelaskan secara kuat psikopatologi dan atau patofisiologinya.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
-4002. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti
ciri
kepribadian
dependen,
skizoid,
anankastik,
cemas
menghindar.
3. Adanya stres kehidupan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain
sesuai keluhan fisiknya.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda
yang bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
menyingkirkan diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya gejalagejala kecemasan dan depresi yang timbul bersama-sama, dan
masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang
cukup beratuntuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri.
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang,
tidak dapat santai
c. Aktivitas
autonomik
berlebihan:
palpitasi,
berkeringat
berlebihan, sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan
lambung, diare.
2. Gejala-gejala
depresi
antara
lain:
suasana
perasaan
sedih/murung, kehilangan minat/kesenangan (menurunnya
semangat dalam melakukan aktivitas), mudah, lelah, gangguan
tidur, konsentrasi menurun, gangguan pola makan, kepercayaan
diri yang berkurang, pesimistis, rasa tidak berguna/rasa bersalah
Diagnosis Banding
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan Mental dan Perilaku
Akibat Penggunaan Zat, Gangguan Depresi, Gangguan Cemas
Menyeluruh, Gangguan Panik, Gangguan Somatoform
5. GANGGUAN PSIKOTIK
No. ICPC-2
: P98 Psychosis NOS/other
No. ICD-10 PC : F20 Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat
dalam menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain
dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku
kacau, perilaku kekerasan
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan
baik
Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi,
kejang, trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai
penyebab timbulnya keluhan.
Faktor Risiko
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain
hiperaktivitas sistem dopaminergik dan faktor genetik.
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian
skizoid, paranoid, dependen.
3. Adanya stresor kehidupan.
J. RESPIRASI
-408-
1. INFLUENZA
No. ICPC-2
: R80 Influenza
No. ICD-10
: J11 Influenza, virus not identified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah penyakit menular
disebabkan oleh virus RNA yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang
C. Virus influenza terus mengalami perubahan, sehingga dalam
beberapa waktu akan mengakibatkan wabah (pandemik) yang parah.
Virus ini menyerang saluran napas atas dan paru-paru.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Keluhan yang sering muncul adalah demam, bersin, batuk, sakit
tenggorokan, hidung meler, nyeri sendi dan badan, sakit kepala,
lemah badan.
Faktor Risiko
1. Daya tahan tubuh menurun
2. Kepadatan hunian dan kepadatan penduduk yang tinggi
3. Perubahan musim/cuaca
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
5. Usia lanjut
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
1. Febris
2. Rinore
3. Mukosa hidung edema
Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
-412Faktor Risiko
1. Usia 3 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam
lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.
6. Paparan udara yang dingin.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis,
eksudat
(virus
influenza,
coxsachievirus,
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus
dapat timbul lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiaepada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar
limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya
hiperemis.
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma
perkejuan pada mukosa faring dan laring
7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
a. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul
ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
b. Stadium sekunder
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
-416-
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.(Adam dan Boies, 1997)
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.(Lee, 2003)
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, KepaladanLeher. Ed. ke-6.Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007(Hafil, et al., 2007)
3. LARINGITIS AKUT
No. ICPC-2
: R77. Laryngitis/tracheitis acute
No. ICD-10
: J04.0 Acute laryngitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan terhadap polutan
eksogen, atau infeksi pada pita suara. Refluks gastroesofageal,
bronkitis, dan pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis.
Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3 bulan hingga 3
tahun, dan biasanya disertai inflamasi pada trakea dan bronkus dan
disebut sebagai penyakit croup. Penyakit ini seringkali disebabkan
oleh virus, yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus influenza A
dan B, RSV, dan virus campak. Selain itu, M. pneumonia juga dapat
menyebabkan croup.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Pasien datang dengan keluhan suara serak atau hilang suara
(afonia).
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti suara yang kasar atau
suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah
dari suara yang biasa/normal bahkan sampai tidak bersuara sama
sekali (afoni). Hal ini terjadi karena gangguan getaran serta
ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan.
-4173.
4.
5.
6.
7.
-419tampak
sebagai
bintik-bintik
kebiruan.
Tuberkel
membesar, menyatu sehingga mukosa di atasnya
meregang. Bila pecah akan timbul ulkus.
Stadium Ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan
dan terasa nyeri oleh pasien
Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, paling sering
terkena kartilago aritenoid, dan epiglottis. Terbentuk nanah
yang berbau sampai terbentuk sekuester. Pada stadium ini
keadaan pasien buruk dan dapat meninggal. Bila bertahan
maka berlanjut ke stadium akhir yaitu stadium
fibrotuberkulosis
Stadium Fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara, dan subglotik.
b. Laringitis luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan.
Diagnosis Banding
Benda asing pada laring, Faringitis, Bronkiolitis,
Pneumonia, Tumor pada laring, Kelumpuhan pita suara
Bronkitis,
Komplikasi
Obstruksi jalan napas atas, Pneumonia, Bronkhitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a. Istirahat suara (vocal rest).
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila diperlukan.
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa
endotrakea, atau trakeostomi.
2. Medikamentosa
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai antipiretik dan analgetik.
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru dan
bila penyebab berupa Streptokokus grup A ditemukan melalui
kultur. Pada kasus ini, antibiotik yang dapat digunakan yaitu
golongan Penisilin.
indirek
kembali
untuk
memeriksa
Lampu kepala
Kaca laring
Kassa steril
Lampu spiritus
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
-421-
1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono, A. Kelainan Laring dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher.
Ed.
ke-6.Jakarta:Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
4. TONSILITIS AKUT
: R76. Tonsillitis acute
: J03. Acute tonsillitis
J35. Chronic tonsilitis
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlachs
tonsil).Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai
10 tahun.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala awal.
2. Nyeri pada tenggorok, terutama saat menelan. Rasa nyeri semakin
lama semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau
makan.
3. Nyeri dapat menyebar sebagai referred pain ke telinga.
4. Demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang
pada bayi dan anak-anak.
5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan berkurang.
6. Plummy voice / hot potato voice: suara pasien terdengar seperti
orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
-4227. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum
oris akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus).
8. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang /
mengganjal di tenggorok, tenggorok terasa kering dan pernafasan
berbau (halitosis).
9. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala
yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan
kepala, sakit tenggorokan, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi.
Faktor Risiko
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Tonsilitis akut:
a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran T2.
b. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripti yang
memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna,
atau pseudomembran. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus
yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan
terjadi tonsilitis lakunaris.
c. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran
semu (pseudomembran) yang menutupi ruang antara kedua
tonsil sehingga tampak menyempit. Temuan ini mengarahkan
pada diagnosis banding tonsilitis difteri.
d. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak
udem dan hiperemis.
e. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.
2. Tonsilitis kronik:
a. Tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan.
3. Tonsilitis difteri:
2.
3.
4.
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang
menyebabkan obstruksi saluran
nafas, disfagia berat, gangguan
tidur dan komplikasi
kardiopulmonar
Abses peritonsil yang tidak
membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan
kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan
biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
Indikasi Relatif
1. Terjadi 3 episode atau lebih
infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik adekuat
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik
yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
3. Tonsilitis kronik atau berulang
pada karier streptococcus yang
tidak membaik dengan
pemberian antibiotik laktamase
resisten.
septikemia,
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
Lampu kepala
Spatula lidah
Lidi kapas
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah lengkap
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan mikrobiologi dengan
pewarnaan Gram
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
-427-
1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke6. Jakarta: EGC. 1997
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
5. BRONKITIS AKUT
No. ICPC II : R78 Acute bronckitis /bronchiolitis
No. ICD X : J20.9 Acute bronchitis, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke
paru-paru). Radang dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk
produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun
atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien yang
diketahui tidak terdapat penyebab lain. Bronkitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: infeksi virus, infeksi bakteri,
rokok dan asap rokok, paparan terhadap iritasi, bahan-bahan yang
mengeluarkan polusi, penyakit gastrofaringeal refluk dan pekerja yang
terekspos dengan debu atau asap. Bronkitis akut dapat dijumpai pada
semua umur, namun paling sering didiagnosis pada anak-anak muda
dari 5 tahun, sedangkan bronkitis kronis lebih umum pada orang tua
dari 50 tahun.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) selama 2-3 minggu.
2. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kekuning-kuningan atau
kehijauan.
3. Demam (biasanya ringan)
4. Rasa berat dan tidak nyaman di dada.
5. Sesak nafas.
-4286. Sering ditemukan bunyi nafas mengi atau ngik, terutama setelah
batuk.
7. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat terjadi batuk darah.
Faktor Risiko:Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Komplikasi
1. Bronkopneumoni.
2. Pneumonia.
3. Pleuritis.
4. Penyakit-penyakit lain yang diperberat seperti:jantung.
5. Penyakit jantung rematik.
6. Hipertensi.
7. Bronkiektasis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak
hanya pada fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari sesuai dengan pola
kehidupannya.
2. Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat dideteksi
lebih awal.
3. Oksigenasi pasien harus memadai.
4. Istirahat yang cukup.
5. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): Kodein (obat Doveri)
dapat diberikan 10 mg, diminum 3 x/hari, bekerja dengan
menekan batuk pada pusat batuk di otak. Antitusif tidak
dianjurkan pada kehamilan, ibu menyusui dan anak usia 6 tahun
6.
7.
8.
9.
10.
-431Kriteria Rujukan
Pada pasien dengan keadaan umum buruk, perlu dirujuk ke rumah
sakit yang memadai untuk monitor secara intensif dan konsultasi ke
spesialis terkait.
Peralatan
Oksigen
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam.
Referensi
1. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002.
2. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
EGC.1998.
3. Harrison: Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13.Volume
ketiga. Jakarta.2003.
4. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
5. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
6. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:
Penerbit FKUI. 1998.
Faktor lingkungan
mempengaruhi berkembangnya
asma pada individu dengan
predisposisi asma
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/etnik
Alergen di dalam ruangan (mite domestic,
biantang, kecoa, jamur)
Alergen di luar ruangan (tepung sari
bunga, jamur)
Bahan di lingkungan kerja (Asap rokok
pada perokok aktif dan pasif)
Polusi udara(dalam dan luar ruangan)
Infeksi pernapasan (Hipotesis higiene)
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesitas
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap,
pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan
merangsang, household spray)
Gejala
I. Intermiten
Bulanan
Gejala< 1x/minggu
Gejala
Malam
2 kali
sebulan
III. Persisten
sedang
Mingguan
Gejala> 1
x/minggu, tetapi<
1 x/hari
Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan tidur
Harian
Gejala setiap hari
Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Faal Paru
APE 80%
VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80% nilai terbaik
Variabiliti APE < 20%
>2 kali
sebulan
>1
x/seminggu
-434Gejala
Malam
Derajat Asma
Gejala
IV.
Persisten
berat
Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinyu
Gejala terus
menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
Faal Paru
Variabiliti APE > 30%
Sering
APE 60%
VEP1 60% nilai
prediksi
APE 60% nilai terbaik
Variabiliti APE > 30%
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
( 2 /minggu)
Normal
> 2 /minggu
Tidak
terkontrol
< 80 %
prediksi atau
nilai yang
terbaik
B.
Penilaian risiko di masa akan datang (risiko eksaserbasi,
ketidakseimbangan, penurunan fungsi paru, efek samping)
Gambaran yang dihubungkan dengan peningkatan risiko yang lebih
parah di masa depan termasuk :
Kontrol klinis yang buruk, jumlah eksaserbasi pertahun, riwayat
perawatan karena asma, pajanan asap rokok, penggunaan obat dosis
tinggi)
-437membaik atau memburuk), jenis dan mekanisme kerja obatobatan dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat
asma secara berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
a) Menghindari setiap pencetus.
b) Menggunakan
bronkodilator/
steroid
inhalasi
sebelum
melakukan exercise untuk mencegah exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Persiapan dalam melakukan rujukan bagi pasien asma, yaitu:
1. Terdapat oksigen.
2. Pemberian steroid sistemik injeksi atau inhalasi disamping
pemberian bronkodilator kerja cepat inhalasi.
3. Pasien harus didampingi oleh dokter/tenaga kesehatan terlatih
selama perjalanan menuju ke pelayanan sekunder.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Prognosis
1. Ad sanasionam
2. Ad fungsionam
3. Ad vitam
: bonam
: bonam
: bonam
Referensi
1. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.
2014.(Global Initiatives for Asthma, 2011)
2. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.
2006.(Global Initiatives for Asthma, 2006)
Asma episodik
jarang
(Asma ringan)
< 1 x/bulan
Asma episodik
sering
(Asma sedang)
>1 x/bulan
Asma persisten
(Asma berat)
< 1 minggu
1 minggu
Diantara
serangan
Tidur dan
aktivitas
Pemeriksaan fisik
di luar serangan
Obat pengendali
(anti inflamasi)
Tanpa gejala
Tidak terganggu
Sering terganggu
Hampir sepanjang
tahun tidak ada
remisi
Gejala siang dan
malam
Sangat terganggu
PEF/VEP1 > 80 %
Mungkin terganggu
(ada kelainan)
Nonsteroid/steroid
hirupan dosis
rendah
PEF/VEP1 60-80%
Variabilitas faal
paru (bila ada
serangan)*
Variabilitas > 15
%
Variabilitas > 30 %
Sering
Tidak pernah
normal
Steroid
hirupan/oral
PEF/VEP1 < 60 %
Variabilitas 20-30
%
Variabilitas > 50
%
Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala
asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala
tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Pengukuran
ini merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada
penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala lebih sensitif
untuk menunjukkan awal terjadinya ekaserbasi karena memberatnya
gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma
bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari.
Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor
pencetus (paling sering infeksi virus atau allergen atau kombinasi
keduanya), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit.
-441Parameter
klinis, fungsi
paru,
laboratorium
Sesak
(breathless)
Ringan
Sedang
Berat
Tanpa ancaman Ancaman
henti napas
henti
napas
Istirahat
Bayi: tidak mau
minum/makan
Berjalan
Bayi:
menangis
keras
Berbicara
Bayi :
tangis pendek
dan lemah
kesulitan
menyusu/makan
Posisi
Bisa
berbaring
Lebih suka
duduk
Duduk
bertopang lengan
Bicara
Kalimat
Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran
Mungkin
iritable
Biasanya iritable
Biasanya
irritable
Kebingung
an
Sianosis
Mengi
Tidak ada
Sedang.
Sering
hanya
pada akhir
ekspirasi
Tidak ada
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi
inspirasi
Ada
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Nyata
Sulit/
tidak
terdengar
Penggunaan
otot bantu
respiratorik
Biasanya
tidak
Biasanya ya
Ya
Gerakan
paradox
torakoabdominal
Retraksi
Dangkal,
retraksi
interkostal
Dalam,
diatambah napas
cuping hidung
Dangkal/
hilang
Frekuensi
napas
Takipnea
Sedang,
ditambah
retraksi
suprasternal
Takipnea
Takipnea
Bradipnea
Frekuensi
nadi
Pulsus
paradoksus
-442Parameter
klinis, fungsi
paru,
laboratorium
(pemeriksaany
a tidak
praktis)
Ringan
Sedang
Berat
Tanpa ancaman Ancaman
henti napas
henti
napas
kelelahan
otot napas
> 95 %
91-95%
90%
PaO2
Normal
(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
> 60 mmHg
< 60 mmHg
PaCO2
> 45 mmHg
-443-
Obat pereda : -agonis atau teofilin (hirupan atau oral) bila perlu
> 3x dosis/ mengi
3x dosis/ mengi
Asma persisten
P
E
N
(-)
(+)
Antileukotrien
Atau dosis steroid hirupan ditingkatkan (tinggi)
(-)
G
H
I
(+)
Antileukotrien
Atau dosis steroid hirupan ditingkatkan (tinggi)
(-)
(+)
Obat steroid oral
A
R
A
N
-444Asma Eksaserbasi
Global initiative for asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan
asma menjadi dua yaitu tatalaksana di rumah dan di rumah sakit.
Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya)
sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang
sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai
pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah,
disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis kerja cepat
sebanyak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada
perbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter atau sarana
kesehatan.
Tatalaksana awal
nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit
nebulisasi kedua + antikolinergik jika serangan sedang/berat
nebulisasi langsung dengan B2agonis+antikolinergik
Serangan ringan
(nebulisasi 1x, respons baik)
Observasi 1-2 jam
Jika efek bertahan, boleh
pulang
Jika gejala timbul lagi,
perlakukan sebagai
serangan sedang
Serangan sedang
(nebulisasi 2x, respons parsial)
Berikan oksigen
Nilai kembali derajat serangan,
jika sesuai dengan serangan
sedang, observasi di Ruang
Rawat Sehari
Berikan steroid oral
Pasang jalur parenteral
Serangan berat
(bila telah nebulisasi 3x, respons
buruk)
Sejak awal berikan O2 saat/di
luar nebulisasi
Pasang jalur parenteral, nilai
ulang keadaan klinis, jika
seuai dgn serangan berat,
rawat di Ruang Rawat Inap
Foto rontgen toraks
Boleh pulang
Bekali dengan obat -agonis
(hirupan/oral)
Jika sudah ada obat
pengendali, teruskan
Jika pencetusnya adalah
infeksi virus, dapat
diberikan steroid oral
Dalam 24-48 jam control ke
klinik rawat jalan.
Catatan:
Jika menurut penilaian serangannya sedang/berat, nebulisasi pertama kali
langsung dengan -agonis + antikolinergik
Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif
Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali
Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit
diberikan sejak awal, termasuk pada saat nebulisasi
Prognosis
Prognosis tergantung
penanganan.
pada
beratnya
penyakit
dan
ketepatan
Referensi
1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2001.
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi
anak. Edisi pertama. Indonesia IDAI. 2010.
Asthma
Health.
Frekuensi
napas
Nadi
Pulsus
Paradoksus
Otot bantu
napas dan
retraksi
Mengi
APE
PaO2
PaCO2
SaO2
Ringan
Keadaan
mengancam
jiwa
Berjalan
Dapat tidur
telentang
Satu
kalimat
Mungkin
gelisah
Berbicara
Membungkuk
Gelisah
Istirahat
Duduk
membungkuk
Kata demi
kata
Gelisah
< 20/menit
20-30/menit
>30/menit
<100
- 10 mmHg
100-120
+/- 10-20
mmHg
+
>120
+ > 25 mmHg
Bradikardia
Kelelahan otot
Torakoabdominal
paradoksal
Akhir
ekspirasi
Inspirasi dan
ekspirasi
Silent chest
60-80 %
80-60 mmHg
< 45 mmHg
91-95 %
<
<
>
<
Akhir
ekspirasi
paksa
80 %
> 80 mmHg
< 45 mmHg
> 95 %
Beberapa kata
60
60
45
95
%
mmHg
mmHg
%
Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
-450Diagnosis banding
1. Obstruksi saluran napas atas
2. Benda asing di saluran napas
3. PPOK eksaserbasi
4. Penyakit paru parenkimal
5. Disfungsi pita suara
6. Gagal jantung akut
7. Gagal ginjal akut
Terapi Awal
Oksigen untuk mencapai saturasi 0%
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat secara kontinyu dalam 1 jam
Glukokortikosteroid sistemik jika pasien tak ada respons segera atau sebelumnya
pasien telah mendapat glukokortikosteroid oral atau jika serangan hebat
Respon Baik
Gejala (batuk/ berdahak/ sesak/ mengi)
membaik.
Perbaikan dengan agonis beta-2 dan
bertahan selama 4 jam. APE > 80%
prediksi / nilai terbaik
1.
2.
Respon Buruk
Gejala menetap atau bertambah berat
APE < 60% prediksi / nilai terbaik
Respon Baik
Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap
34 jam untuk 24 48 jam
Alternatif : Bronkodilator oral setiap 6
8 jam
Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis
tinggi (bila sedang menggunakan
steroid inhalasi) selama 2 minggu, kmd
kembali ke dosis sebelumnya
1.
2.
RUJUK
PENGOBATAN
TEMPAT
PENGOBATAN
RINGAN
Aktiviti relatif normal
Berbicara satu kalimat
dalam satu napas
Nadi <100
APE > 80%
Terbaik:
Di rumah
Inhalasi agonis beta-2
kerja singkat tunggal Di praktek dokter/
atau
dikombinasikan klinik/ puskesmas
dengan antikolinergik
SEDANG
Jalan jarak jauh
timbulkan gejala
Berbicara beberapa
kata dalam satu napas
Nadi 100-120
APE 60-80%
Terbaik
Nebulisasi agonis beta2 tiap 4 jam
Alternatif:
-Agonis
beta-2
subkutan
-Aminofilin IV
-Adrenalin
1/1000
0,3ml SK
Alternatif:
Kombinasi oral agonis
beta-2
dan aminofilin / teofilin
Darurat Gawat/ RS
Klinik
Praktek dokter
Puskesmas
Terbaik
Darurat Gawat/ RS
Nebulisasi agonis beta- Klinik
2 tiap 4 jam
Alternatif:
-Agonis beta-2 SK/ IV
-Adrenalin
1/1000
0,3ml SK
Aminofilin
bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
MENGANCAM JIWA
Kesadaran berubah/
menurun
Gelisah
Sianosis
Gagal napas
-453-
Tabung oksigen
Kanul hidung
Sungkup sederhana
Sungkup inhalasi
Nebulizer
Peak flow meter
Pulse oxymeter
Analisis gas darah
Tensimeter
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
2. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma
management and prevention. GINA. 2012.
Perkusi
Referensi
-457-
: R81 Pneumonia
: J18.0 Bronchopneumonia, unspecified
J18.9 Pneumonia, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Pneumonia adalah peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh
hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia yang dimaksud di sini tidak
termasuk dengan pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta
anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan
nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita
di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama
pneumonia. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur
(4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3%
dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan
(2,4% dan 4,8%) berdasarkan RISKESDAS 2013.
a. Pneumonia pada Pasien Dewasa
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan :
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40C
-459Komplikasi
Efusi pleura, Empiema, Abses paru, Pneumotoraks, gagal napas,
sepsis.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor
modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi
dengan mikroorganisme patogen yang spesifik.
1. Pengobatan suportif / simptomatik
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan
kurang dari 8 jam.
Pasien Rawat Jalan
a. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat ;
Makrolid:
azitromisin,
klaritromisin
atau
eritromisin
(rekomendasi kuat)
Doksisiklin (rekomendasi lemah)
b. Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati
atau penyakit ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan,
kondisi imunosupresif atau penggunaan obat imunosupresif,
antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor risiko lain infeksi
pneumonia :
Florokuinolon respirasi : moksifloksasisn, atau levofloksasin
(750 mg) (rekomendasi kuat)
-lactam + makrolid : Amoksisilin dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari)
atau amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/hari) (rekomendasi
kuat)
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan
cefuroxime (500 mg, 2x1/hari), doksisiklin
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
1. Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
2. -laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Jumlah poin
Umur (tahun)
Umur (tahun) 10
+10
+30
+20
+10
+10
+10
+20
-461Karakteristik penderita
Pernapasan 30 kali/menit
Tekanan darah sistolik 90 mmHg
Suhu tubuh < 35C atau > 40C
Nadi 125 kali/menit
Hasil laboratorum/ radiologi
Analisis gas darah arteri :pH 7, 35
BUN > 30 mg/dL
Natrium < 130 mEq/liter
Glukosa > 250 mg/dL
Hematokrit < 30 %
PO2 60 mmHg
Efusi pleura
Jumlah poin
+20
+20
+15
+10
+30
+20
+20
+10
+10
+10
+10
-464b. Pneumonia
Tidak ada sesak napas
Ada napas cepat dengan laju napas:
>50 x/menit untuk anak usia 2 bulan1 tahun
>40 x/menit untuk anak >15 tahun
Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
c. Bukan pneumonia
Tidak ada napas cepat dan sesak napas
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
2. Bayi berusia di bawah 2 bulan
a. Pneumonia
Ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
b. Bukan pneumonia
Tidak ada napas cepat atau sesak napas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan
simptomatis.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit,
misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau
ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai dan pengobatan suportif yang meliputi :
1. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap
gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah
2. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik
3. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif
4. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat
5. Komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi
Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini
pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada
pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal
oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian multisenter di
Termometer
Tensimeter
Pulse oxymeter (jika fasilitas tersedia)
Pemeriksaan pewarnaan gram
Pemeriksaan darah rutin
Radiologi (jika fasilitas tersedia)
Oksigen
-466-
Prognosis
Prognosis tergantung
penanganan.
pada
beratnya
penyakit
dan
ketepatan
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC,
Dowell SE, etc. Infectious diseases society of America/American
thoracic society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious
Diseases 2007; 44:S2772(Mandel, et al., 2007)
3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p.
310-33. (Said, 2011)
10. PNEUMOTORAKS
No. ICPC-2
: R99 Respiratory Disease Other
No. ICD-10
: J93.9 Respiratory Disease other
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas dalam
rongga pleura. Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena
episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria lebih banyak
dari wanita.
Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:
1. Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotoraks yang terjadi
tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, dan
dapat terjadi pada individu yang sehat. Terutama lebih sering pada
laki, tinggi dan kurus, dan perokok.
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks yang
terjadi pada penderita yang memiliki riwayat penyakit paru
sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain-lain.
-467-
Keluhan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan atau tidak. Keluhan
yang dapat timbul adalah sesak napas, yang dapat disertai nyeri
dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada tajam, timbul secara tibatiba, dan semakin nyeri jika menarik napas dalam atau terbatuk.
Keluhan timbul mendadak ketika tidak sedang aktivitas.
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, pneumonia
b. Trauma
c. Merokok
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis :
1. Hiperkapnia
2. Hipotensi
3. Takikardi
4. Perubahan status mental
5. Pemeriksaan fisik paru :
a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol dan
tertinggal pada pernapasan
b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di sisi yang sakit
c. Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan pergeseran
mediastinum ke arah yang sehat
d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan
jauh
Pemeriksaan Penunjang:
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru yang sangat
halus (pleural line), dan gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila
disertai darah atau cairan lainnya, akan tampak garis mendatar
yang merupakan batas udara dan cairan (air fluid level).
2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak untuk menegakkan
diagnosis, namun untuk menilai apakah telah terjadi gagal napas.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
untuk diagnosis definitif dengan pemeriksaan penunjang.
-468Komplikasi
1. Kegagalan respirasi
2. Kegagalan sirkulasi
3. Kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Oksigen
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, dilakukan pemasangan IV line
dengan cairan kristaloid
3. Rujuk
Konseling dan Edukasi
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai:
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada pneumotoraks
3. Perlunya rujukan segera ke RS
Kriteria Rujukan
Segera rujuk pasien yang terdiagnosis
dilakukan penanggulangan awal.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Infus set
Abbocath 14
Tabung oksigen
Kanul hidung
Sungkup sederhana
Lidocaine 2%
Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc
Three-way
Botol bervolume 500 cc
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
pneumotoraks,
setelah
Referensi
-469-
Masalah Kesehatan
PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati,
dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten,
progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronis di paru terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan
komorbid berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan tiap
individu. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur
(10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi
Selatan masing-masing 6,7 persen. PPOK lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan dan lebih tinggi di perdesaan dibanding
perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat
dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
1. Keluhan
a. Sesak napas
b. Kadang-kadang disertai mengi
c. Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
d. Rasa berat di dada
2. Faktor risiko
a. Genetik
b. Pajanan partikel
Asap rokok
Debu kerja, organik dan inorganik
a.
b.
c.
d.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji jalan 6
menit yang dimodifikasi. Untuk di Puskesmas dengan sarana
terbatas, evaluasi yang dapat digunakan adalah keluhan lelah yang
timbul atau bertambah sesak.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan bila fasilitas tersedia:
1. Spirometri
2. Peak flow meter (arus puncak respirasi)
3. Pulse oxymetry
4. Analisis gas darah
5. Foto toraks
6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
Tabel 10.9 Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK
Gejala
Keterangan
Sesak
berat
Hilang timbul
berdahak
dan
mungkin
tidak
-472Gejala
Keterangan
Spirometer
Peak flow meter
Pulse oxymeter
Tabung oksigen
Kanul hidung
Sungkup sederhana
Sungkup inhalasi
Nebulizer
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
Prognosis
-474-
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif
kronik. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc. 2013.(GLobal
Initiatives for COPD, 2013)
3. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc. 2006.(Global
Initiatives for COPD, 2006)
ALGORITMA PENGOBATAN PPOK EKSASERBASI AKUT
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat
disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan
atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
1. Sesak bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab
lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan
frekuensi pernapasan > 20% baseline , atau frekuensi nadi > 20%
baseline
-475PPOK Eksaserbasi
Pemberian oksigen
Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan
mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan
dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebulizer
Memberikan mukolitik & ekspektoran
Memberikan steroid oral
Memberikan antibiotik bila ada infeksi
Memberikan diuretik bila cairan berlebih
Lanjutkan tatalaksana,
kurangi jika mungkin
boeh pulang
Tidak ada
perbaikan
RUJUK
12. EPISTAKSIS
No. ICPC-2
: R06. Nose bleed/epistaxis
No. ICD-10
: R04.0 Epistaxis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang
berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir 90%
epistaksis dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat
merupakan gejala yang sangat mengganggu. Faktor etiologi dapat
tampon,
diberikan
antibiotik
-480-
-481-
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
-482oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda asing, yaitu benda
hidup (organik) dan benda mati (anorganik). Contoh benda asing
organik, antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda asing
anorganik, misalnya manik-manik, kertas, tisu, logam, baterai kecil,
kacang-kacangan, dan lain-lain.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1.
2.
3.
4.
5.
Hidung tersumbat
Onset tiba-tiba
Umumnya unilateral
Hiposmia atau anosmia
Setelah 2 3 hari, keluar sekret mukoid / mukopurulen dan
berbau di satu sisi hidung.
6. Dapat timbul rasa nyeri
7. Bila benda asing organik, terasa ada yang bergerak-gerak di dalam
rongga hidung. Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung
semakin memberat setiap hari.
8. Adanya laporan dari pasien atau orang tua mengenai adanya
benda yang masuk atau dimasukkan ke rongga hidung.
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan masuknya benda
asing ke dalam rongga hidung:
1. Umur: biasanya anak 5 tahun
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang normal, misal:
keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme, epilepsi
3. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan gangguan psikiatrik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior, nampak:
1. Benda asing
2. Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 3 hari)
Pemeriksaan Penunjang:
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan lateral, bila diperlukan
dan fasilitas tersedia.
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Lampu kepala
Spekulum hidung
Pengait tumpul(blunt hook)
Pinset
Forsep aligator
Suction
Xylocaine 2% spray
Formulir informed consent
Referensi
1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed. Jakarta: Kolegium Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
2008. (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008)
-486Komplikasi
1. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus
kavernosus
sehingga
menyebabkan
tromboflebitis
sinus
kavernosus.
2. Abses.
3. Vestibulitis.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
a. Kompres hangat
b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses
2. Medikamentosa
a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Amoksisilin 3 x 500
mg/hari, Sefaleksin 4 x 250 500 mg/hari, atau Eritromisin 4
x 250 500 mg/hari.
Konseling dan Edukasi
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel.
3. Selalu menjaga kebersihan diri.
Kriteria Rujukan: Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Lampu kepala
Spekulum hidung
Skalpel atau jarum suntik ukuran sedang (untuk insisi)
Kassa steril
Klem
Pinset Bayonet
Larutan Povidon Iodin 7,5%
Referensi
-487-
1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke6. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Faktor Risiko
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat iritatif.
3. Paparan dengan penderita infeksi saluran napas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Suhu dapat meningkat
2. Rinoskopi anterior:
Rinosinusitis
Otitis media akut.
Otitis media efusi
Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laringitis,
trakeobronkitis, pneumonia.
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed.
ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
-493Komplikasi
Anosmia, Rinosinusitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Kauterisasi konka yang hipertofi dapat menggunakan larutan
AgNO3 25% atau trikloroasetat pekat.
2. Medikamentosa
a. Tatalaksana dengan terapi kortikosteroid topikal dapat
diberikan, misalnya Budesonide 1-2 x/hari dengan dosis 100200 mcg/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mcg/hari.
Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama
2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam
aqua seperti Fluticasone Propionate dengan pemakaian cukup 1
x/hari dengan dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
b. Pada kasus dengan rinorea yang berat, dapat ditambahkan
antikolinergik topikal Ipratropium Bromide.
c. Tatalaksana dengan terapi oral dapat menggunakan preparat
simpatomimetik
golongan
agonis
alfa
(Pseudoefedrin,
Fenilpropanolamin, Fenilefrin) sebagai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Mengidentifikasi dan menghindari faktor pencetus, yaitu iritasi
terhadap lingkungan non-spesifik.
2. Berhenti merokok.
Kriteria Rujukan
Jika diperlukan tindakan operatif
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
-495-
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung
(rinorea), bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias
alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang,
terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap
patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan
reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air
mata.
Faktor Risiko
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor
risiko untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul
gejala alergis.
3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok
hidung dengan tangannya karena gatal.
2. Wajah:
a. Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan
berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
c. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang
tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi-geligi (facies adenoid).
3. Faring: dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
4. Rinoskopi anterior:
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide),
disertai adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan
purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat
terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.
5.
-496c. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan
tumor, atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior
yang dapat berupa edema atau hipertropik. Dengan
dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konka tidak akan
menyusut, sedangkan edema konka akan menyusut.
Pada kulit kemungkinan terdapat tanda dermatitis atopi.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan Tingkat Pertama.
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
2. Pemeriksaan Ig E total serum
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma), 2001, rinitis alergi dibagi berdasarkan sifat
berlangsungnya menjadi:
1. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih
dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan halhal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari
gangguan tersebut di atas.
Diagnosis Banding
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
Komplikasi
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
: Bonam
: Bonam
: Dubia ad bonam
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact
on Asthma Initiative).
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis Alergi dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007
No ICPC-2
No ICD-10
Masalah Kesehatan
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan pada mukosa sinus
paranasal dan rongga hidung. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
Tingkat Pertama harus memiliki keterampilan yang memadai untuk
-499mendiagnosis,
menatalaksana,
dan
mencegah
berulangnya
rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang efektif dari dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan Tingkat Pertama dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien secara signifikan, menurunkan biaya
pengobatan, serta mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Gejala yang dialami, sesuai dengan kriteria pada tabel 10.10
2. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi:
a. Akut
: < 12 minggu
b. Kronis
: 12 minggu
3. Khusus untuk sinusitis dentogenik:
a. Salah satu rongga hidung berbau busuk
b. Dari hidung dapat keluar ingus kental atau tidak beringus
c. Terdapat gigi di rahang atas yang berlubang / rusak
Tabel 10.10. Kriteria diagnosis rinosinusitis menurut American
Academy of Otolaryngology
Faktor mayor
Faktor minor
Sakit kepala
Hidung tersumbat
Keluar sekret dari hidung atau Demam
post-nasal
discharge
yang Halitosis
purulen
Nyeri pada wajah
Rasa lemah (fatigue)
Sakit gigi
Hiposmia / anosmia
Sakit atau rasa penuh di
telinga
Batuk
Faktor Risiko
Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, terutama pada kasus
rinosinusitis kronik, penting untuk digali. Beberapa di antaranya
adalah:
1. Riwayat kelainan anatomis kompleks osteomeatal, seperti deviasi
septum
2. Rinitis alergi
3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor, medikamentosa
4. Polip hidung
5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang signifikan
6. Asma bronkial
Pada anak
Dasar
penegakan
diagnosis
Klinis
Klinis
Kriteria
Sekurangnya
2
faktor
mayor, di mana salah satu
harus:
hidung tersumbat, atau
keluar
sekret
dari
hidung atau post-nasal
discharge yang purulen
dan dapat disertai:
nyeri pada wajah
hiposmia / anosmia
Onset gejala
Durasi gejala
Tiba-tiba
< 12 minggu
Bila rekurens, terdapat
interval
bebas
gejala
yang jelas
Rinoskopi anterior:
Edema dan hiperemia
konka
Sekret mukopurulen
Tiba-tiba
< 12 minggu
Bila rekurens, terdapat
interval bebas gejala yang
jelas
Rinoskopi anterior (bila dapat
dilakukan):
Edema
dan
hiperemia
konka
Sekret mukopurulen
Inspeksi rongga mulut:
Sekret pada faring
Eksklusi infeksi pada gigi
Tidak dianjurkan.
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
penunjang
(foto
Rontgen)
Kriteria
Durasi gejala
Pemeriksaan fisik
12 minggu
Rinoskopi anterior:
Edema konka, dapat disertai
hiperemia
Sekret mukopurulen
Inspeksi rongga mulut:
Sekret pada faring
Eksklusi infeksi pada gigi
sembuh
-503Pemeriksaan lain
Elaborasi
mendasari
faktor
risiko
yang
Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari rinosinusitis akut dan
kronis:
Tabel 10.13. Diagnosis banding Rinosinusitis Akut (RSA) dan
Rinosinusitis Kronik (RSK)
Rinosinusitis Akut (RSA)
Asma bronkial
Influenza
Benda
napas
asing
Cluster headache
Fibrosis kistik
Migrain
Sinusitis jamur
pada
saluran
Komplikasi
1. Kelainan orbita
Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis
etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai
sebagai infeksi orbita adalah: edema periorbita, selulitis orbita,
dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat mengenai satu mata
atau menyebar ke kedua mata.
2. Kelainan intrakranial
Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat menimbulkan meningitis,
abses ekstradural, dan trombosis sinus kavernosus. Gejala dan
tanda yang perlu dicurigai adalah: sakit kepala (tajam, progresif,
terlokalisasi), paresis nervus kranial, dan perubahan status mental
pada tahap lanjut.
3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis kronik, dapat berupa:
osteomielitis sinus maksila, abses subperiosteal, bronkitis kronik,
bronkiektasis.
-505Kriteria Rujukan
Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT dilakukan bila:
1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya: Edema /
eritema periorbital, perubahan posisi bola mata, Diplopia,
Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit kepala yang berat,
pembengkakan area frontal, tanda-tanda iritasi meningeal,
kelainan neurologis fokal.
2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi adekuat setelah 10 hari
(RSA viral), 14 hari (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA bakterial).
Rinosinusitis Kronis
Strategi tatalaksana RSK meliputi identifikasi dan tatalaksana faktor
risiko serta pemberian KS intranasal atau oral dengan / tanpa
antibiotik. Tatalaksana RSK dapat dilihat pada Algoritma tatalaksana
RSK.
Konseling dan Edukasi
1. Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor risiko yang mendasari
atau mencetuskan rinosinusitis kronik pada pasien beserta
alternatif tatalaksana untuk mengatasinya.
2. Pencegahan timbulnya rekurensi juga perlu didiskusikan antara
dokter dengan pasien.
Kriteria Rujukan
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila:
1. Pasien imunodefisien
2. Terdapat dugaan infeksi jamur
3. Bila rinosinusitis terjadi 4 kali dalam 1 tahun
4. Bila pasien tidak mengalami perbaikan setelah pemberian terapi
awal yang adekuat setelah 4 minggu.
5. Bila ditemukan kelainan anatomis ataupun dugaan faktor risiko
yang memerlukan tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya:
deviasi septum, polip nasal, atau tumor.
Sinusitis Dentogenik
1. Eradikasi fokus infeksi, misal: ekstraksi gigi
2. Irigasi sinus maksila
3. Antibiotik
Prognosis
Rinosinusitis Akut
1. Ad vitam
: Bonam
-5062. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
Rinosinusitis Kronis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
Sinusitis Dentogenik
1. Ad vitam
: Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Peralatan
1. Termometer
2. Spekulum hidung
3. Kaca rinoskop posterior
4. Kassa steril
5. Lampu kepala
6. Lampu Bunsen / spiritus dan korek api
7. Otoskop
8. Suction
9. Lampu baca x-ray
10. Formulir permintaan pemeriksaan radiologi
11. Formulir rujukan
Referensi
1. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps. Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at:
http://www.rhinologyjournal.com [Accessed June 24, 2014].
(Fokkens, 2012)
2. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala
Leher FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis.
3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines for
Acute and Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical
Immunology,
71,
pp.1-38.
Available
at:
http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,
2014]. (Desrosier et.al, 2011)
4. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in
Adults: Treatment. UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at:
Miliaria profunda
a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul putih
keras berukuran 1-3 mm, mirip folikulitis, dapat disertai
pustul.
b. Predileksi pada badan dan ekstremitas.
-509-
Gambar 11.2
4.
Miliaria profunda
Miliaria pustulosa
Berasal dari miliaria rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi
pustul.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan
fisik.
Diagnosis Banding
Campak / morbili, Folikulitis, Varisela, Kandidiasis kutis, Erupsi obat
morbiliformis
Komplikasi
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah mengurangi pruritus, menekan inflamasi, dan
membuka retensi keringat. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
adalah:
1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu:
a. Memakai pakaian yang tipis dan dapat menyerap keringat.
b. Menghindari panas dan kelembaban yang berlebihan
c. Menjaga kebersihan kulit
d. Mengusahakan ventilasi yang baik
Referensi
-511-
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Levin, N.A. 2014. Dermatologic manifestation of miliaria. Medscape.
May 21, 2014. http://emedicine.medscape.com/article/1070840overview#a0199
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
2. VERUKA VULGARIS
No. ICPC-2
: S03Warts
No. ICD-10
: B07 Viral warts
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis yang disebabkan
oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini
adalah kutil atau common wart. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab. Veruka ini sering dijumpai pada anak-anak
dan remaja.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kutil pada kulit dan mukosa.
Faktor Risiko
1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa sehat.
2. Pekerjaan yang berhubungan dengan daging mentah.
3. Imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
-515-
-516Komplikasi
1. Neuralgia pasca-herpetik
2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada ganglion genikulatum,
ditandai dengan gangguan pendengaran, keseimbangan dan
paralisis parsial.
3. Pada penderita dengan imunodefisiensi (HIV, keganasan, atau usia
lanjut), vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik
dapat terjadi infeksi sistemik.
4. Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi ptosis paralitik,
keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik.
5. Paralisis motorik.
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dilakukan dengan menghindari gesekan kulit yang
mengakibatkan pecahnya vesikel, pemberian nutrisi TKTP,
istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain.
2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari
oleh karena dapat menyebabkan Reyes syndrome.
3. Pengobatan topikal:
Stadium vesikel: bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin agar
vesikel tidak pecah.
Apabila erosif, diberikan kompres terbuka. Apabila terjadi ulserasi,
dapat dipertimbangkan pemberian salep antibiotik.
4. Pengobatan antivirus oral, antara lain dengan:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20 mg/kgBB
(dosis maksimal 800 mg), selama 7 hari, atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan
pada 24 jam pertama setelah timbul lesi.
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi dilakukan kepada pasien mengenai:
1. Edukasi tentang perjalanan penyakit Herpes Zoster.
2. Edukasi bahwa lesi biasanya membaik dalam 2-3 minggu pada
individu imunokompeten.
3. Edukasi mengenai seringnya komplikasi neuralgia pasca-herpetik.
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
4. HERPES SIMPLEKS
No. ICPC-2
: S71
Herpes Simplex
No. ICD-10
: B00.9 Herpesviral infection, unspecified
Tingkat Kemampuan Herpes Simpleks tanpa komplikasi 4A
Masalah Kesehatan
Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe 1 atau
tipe 2, yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah mukokutan.
Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Infeksi
primer oleh Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya dimulai pada
-519-
Peralatan
-521-
5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM
No. ICPC-2
: S95
Molluscum contagiosum
No. ICD-10
: B08.1 Molluscum contagiosum
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
poks yang menginfeksi sel epidermal. Penyakit ini terutama
menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa. Pada orang
dewasa, penyakit ini digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan
seksual. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
-522-
Keluhan
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar.
berlangsung satu sampai beberapa minggu.
Masa
inkubasi
Faktor Risiko
1. Terutama menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa.
2. Imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti
lilin, berbentuk kubah yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan
(delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa yang berwarna putih
seperti nasi. Lokasi predileksi adalah daerah muka, badan, dan
ekstremitas, sedangkan pada orang dewasa di daerah pubis dan
genitalia eksterna. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder
sehingga timbul supurasi.
Lup
Ekstraktor komedo, jarum suntik atau alat kuret kulit
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam karena penyakit ini merupakan
penyakit yang self-limiting.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
-5242. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-527b. Topikal
Kortikosteroid topikal potensi sedang-kuat: misalnya krim
mometason furoat 0,1% atau krim betametason valerat 0,5%
diberikan selama 2 kali sehari selama 7 hari.
Konseling dan Edukasi
Keluarga diberikan penjelasan mengenai:
1. Minum obat secara teratur.
2. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, memakai baju
berlengan panjang dan celana panjang, pada beberapa kasus
boleh memakai mosquito repellent jika diperlukan, dan lain-lain
agar terhindar dari gigitan serangga.
Kriteria rujukan
Jika kondisi memburuk, yaitu dengan makin bertambahnya patch
eritema, timbul bula, atau disertai gejala sistemik atau komplikasi.
Peralatan
1. Alat resusitasi
2. Tabung dan masker oksigen
Prognosis
Prognosis umumnya bonam. Quo ad sanationam untuk reaksi tipe
cepat dan reaksi tidak biasa adalah dubia ad malam, sedangkan
reaksi tipe lambat adalah bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-5287. SKABIES
No. ICPC-2
: S72 Scabies/other acariasis
No. ICD-10
: B86 Scabies
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi
kulit oleh tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. Prevalensi skabies
tinggi pada populasi yang padat. Dari hasil penelitian di Brazil,
prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh perkotaan
yang padat penduduk daripada di masyarakat nelayan dimana
mereka tinggal di tempat yang lebih luas.
Penularan dapat terjadi karena:
1. Kontak langsung kulit dengan kulit penderita skabies, seperti
menjabat tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama.
2. Kontak tidak langsung (melalui benda), seperti penggunaan
perlengkapan tidur bersama dan saling meminjam pakaian,
handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak memiliki alat-alat
pribadi sendiri sehingga harus berbagi dengan temannya.
Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap air dan sabun dan
tetap hidup bahkan setelah mandi dengan air panas setiap.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala klinis:
1. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat terutama pada malam
hari atau saat penderita berkeringat.
2. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, seperti di sela jari,
pergelangan tangan dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae
dan di bawah payudara (pada wanita) serta genital eksterna (pria).
Faktor Risiko:
1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok yang padat seperti tinggal
di asrama atau pesantren.
2. Higiene yang buruk.
3. Sosial ekonomi rendah seperti di panti asuhan, dan sebagainya.
4. Hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas.
Peralatan
-531-
1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan sediaan langsung
kerokan kulit.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana harus dilakukan juga
terhadap lingkungannya.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006. Scabies. The Lancet, 367,
1767-74. June 8, 2014.
http://Search.Proquest.Com/Docview/199054155/Fulltextpdf/Afb
f4c2fd1bd4016pq/6?Accountid=17242
3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
8. PEDIKULOSIS KAPITIS
: S73 Pediculosis/skin infestation other
: B85.0 Pediculosis due to Pediculus humanus
capitis
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan infestasi kulit kepala dan
rambut manusia yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus
humanus var capitis. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak
usia muda dan cepat meluas dalam lingkungan hidup yang padat,
misalnya di asrama atau panti asuhan. Ditambah pula dalam kondisi
higiene yang tidak baik, misalnya jarang membersihkan rambut atau
rambut yang relatif susah dibersihkan (rambut yang sangat panjang
pada wanita).
-533-
Peralatan
-537-
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita yang memiliki sifat
mencernakan keratin di jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
Sumber penularan dapat berasal dari manusia (jamur antropofilik),
binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur geofilik).
rosea,
Erythema
Tinea Kruris:
Kandidiasis, Dermatitis intertrigo, Eritrasma
Tinea Pedis:
Hiperhidrosis, Dermatitis kontak, Dyshidrotic eczema
Tinea Manum:
Dermatitis kontak iritan, Psoriasis
Tinea Fasialis:
Dermatitis seboroik, Dermatitis kontak
Komplikasi
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi bakterial sekunder.
annulare
Referensi
-541-
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-543Komplikasi
Jarang terjadi.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk tidak menggunakan pakaian yang
lembab dan tidak berbagi penggunaan barang pribadi dengan
orang lain.
2. Pengobatan terhadap keluhannya dengan:
a. Pengobatan topikal
Suspensi selenium sulfida 1,8%, dalam bentuk shampo
yang digunakan 2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan
pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi.
Derivat azol topikal, antara lain mikonazol dan klotrimazol.
b. Pengobatan sistemik diberikan apabila penyakit ini terdapat
pada daerah yang luas atau jika penggunaan obat topikal tidak
berhasil. Obat tersebut, yaitu:
Ketokonazol per oral dengan dosis 1x200 mg sehari selama
10 hari, atau
Itrakonazol per oral dengan dosis 1 x 200 mg sehari selama
5-7 hari (pada kasus kambuhan atau tidak responsif
dengan terapi lainnya).
Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga bahwa pengobatan harus dilakukan
secara menyeluruh, tekun dan konsisten, karena angka kekambuhan
tinggi ( 50% pasien). Infeksi jamur dapat dibunuh dengan cepat
tetapi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan
pigmentasi ke normal. Untuk pencegahan, diusahakan agar pakaian
tidak lembab dan tidak berbagi dengan orang lain untuk penggunaan
barang pribadi.
Kriteria Rujukan
Sebagian besar kasus tidak memerlukan rujukan.
Peralatan
1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
-544-
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
12. PIODERMA
No. ICPC-2
: S84 Impetigo
S76 Skin infection other
: L01 Impetigo
L02 Cutaneous abscess, furuncle and
carbuncle
L08.0 Pyoderma
Tingkat Kemampuan : Folikulitis superfisialis 4A
Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel 4A
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) dan
Impetigo bulosa 4A
Ektima (impetigo ulseratif) 4A
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis dan subkutis) yang
disebabkan oleh bakteri gram positif dari golongan Stafilokokus dan
Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Di
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, insidennya menduduki peringkat ketiga, dan
berhubungan erat dengan keadaaan sosial ekonomi. Penularannya
melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
-545-
Keluhan
Pasien datang mengeluh adanya koreng atau luka di kulit
1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil yang gatal, dapat berisi
cairan atau nanah dengan dasar dan pinggiran sekitarnya
kemerahan. Keluhan ini dapat meluas menjadi bengkak disertai
dengan rasa nyeri.
2. Bintil kemudian pecah dan menjadi keropeng/koreng yang
mengering, keras dan sangat lengket.
Faktor risiko:
1. Higiene yang kurang baik
2. Defisiensi gizi
3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Folikulitis adalah peradangan folikel rambut yang ditandai dengan papul
eritema perifolikuler dan rasa gatal atau perih.
Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan sekitarnya
berupa papul, vesikel atau pustul perifolikuler dengan eritema di
sekitarnya dan disertai rasa nyeri.
Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang tersebar.
Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa furunkel, ditandai dengan
beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk nodus bersupurasi di
beberapa puncak.
Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah peradangan yang
memberikan gambaran vesikel yang dengan cepat berubah menjadi
pustul dan pecah sehingga menjadi krusta kering kekuningan seperti
madu. Predileksi spesifik lesi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut,
telinga atau anus.
Impetigo bulosa adalah peradangan yang memberikan gambaran
vesikobulosa dengan lesi bula hipopion (bula berisi pus).
Ektima adalah peradangan yang menimbulkan kehilangan jaringan
dermis bagian atas (ulkus dangkal).
-546-
2.
3.
4.
5.
6.
untuk
pemeriksaan
darah
rutin
dan
Prognosis
Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya
bonam, bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-54913. ERISIPELAS
No. ICPC-2
: S 76Skin infection order
No. ICD-10
: A 46 Erysipelas
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri akut, biasanya disebabkan
oleh Streptococcus, melibatkan dermis atas dengan tanda khas meluas
ke limfatik kutaneus superfisial. Erisipelas pada wajah kebanyakan
disebabkan oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas pada
ekstremitas bawah kebanyakan disebabkan oleh streptococcus non
grup A. Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi pada ekstremitas
bawah.
Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, akan tetapi pada usia
muda lebih sering terjadi pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan pada
pasien berusia 60 80 tahun khususnya pada pasien dengan
gangguan saluran limfatik.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan malaise sebelum
terjadinya lesi pada kulit. Gejala umum pada lesi didapatkan gatal,
rasa terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma atau riwayat
faringitis.
Faktor Risiko:
1. Penderita Diabetes Mellitus
2. Higiene buruk
3. Gizi kurang
4. Gangguan saluran limfatik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Lokasi
Efloresensi
-550-
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding:
Selulitis, Urtikaria
-551Komplikasi:
Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis, demam Scarlet,
Pneumonia, Abses, Emboli, Meningitis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Istirahat
2. Tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan
Pengobatan sistemik :
1. Analgetik antipiretik
2. Antibiotik :
a. Penisilin 0,6 1,5 mega unit 5-10 hari
b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari
Rencana tindak lanjut :
1. Memantau terjadinya komplikasi
2. Mencegah faktor risiko
Konseling dan Edukasi
1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah
2. Menjaga kebersihan badan
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin.
Prognosis
Dubia ad bonam
Referensi
1. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-medicine.medscape.com
(10 Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
3. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological Data And Comorbidities
Of 428 Patients Hospitalized With Erysipelas. Angiology. Jul
2010;61(5):492-4
-553Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Prognosis
-555-
-556Faktor Risiko
1. Wanita lebih banyak menderita DA dibandingkan pria (rasio 1,3 :
1).
2. Riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga (rhinitis alergi,
konjungtivitis alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis atopik,
dan lain-lain).
3. Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu semakin
tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan
meningkatnya penggunaan antibiotik.
4. Riwayat sensitif terhadap wol, bulu kucing, anjing, ayam, burung,
dan sejenisnya.
Faktor Pemicu
1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan kacang tanah.
2. Tungau debu rumah
3. Sering mengalami infeksi di saluran napas atas (kolonisasi
Staphylococus aureus)
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Kulit penderita DA:
1. Kering pada perabaan
2. Pucat/redup
3. Jari tangan teraba dingin
4. Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi dan
krusta pada lokasi predileksi
Lokasi predileksi:
1. Tipe bayi (infantil)
a. Dahi, pipi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai,
serta lutut (pada anak yang mulai merangkak).
b. Lesi berupa eritema, papul vesikel halus, eksudatif, krusta.
2. Tipe anak
a. Lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian dalam,
kelopak mata, leher, kadang-kadang di wajah.
b. Lesi berupa papul, sedikit eksudatif, sedikit skuama,
likenifikasi, erosi. Kadang-kadang disertai pustul.
3. Tipe remaja dan dewasa
a. Lipat siku, lipat lutut, samping leher, dahi, sekitar mata,
tangan dan pergelangan tangan, kadang-kadang ditemukan
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan IgE serum (bila diperlukan dan dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan Tingkat Pertama)
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
harus terdiri dari 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria
Williams (1994) di bawah ini.
Kriteria mayor:
1. Pruritus
2.
3.
4.
5.
Kriteria minor:
1. Xerosis
2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau virus herpes simpleks)
3. Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis piliaris
4. Pitriasis alba
5. Dermatitis di papilla mamae
6. White dermogrhapism dan delayed blanch response
7. Kelilitis
8. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
9. Konjungtivitis berulang
10. Keratokonus
11. Katarak subskapsular anterior
12. Orbita menjadi gelap
13. Muka pucat atau eritem
14. Gatal bila berkeringat
15. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
16. Aksentuasi perifolikular
17. Hipersensitif terhadap makanan
18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau
emosi
19. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
20. Kadar IgE dalam serum meningkat
21. Mulai muncul pada usia dini
Pada bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi menjadi:
1. Tiga kriteria mayor berupa:
a. Riwayat atopi pada keluarga
b. Dermatitis pada muka dan ekstensor
c. Pruritus
2. Serta tiga kriteria minor berupa:
a. Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular
b. Fisura di belakang telinga
c. Skuama di scalp kronis
-559Diagnosis banding
Dermatitis seboroik (terutama pada bayi), Dermatitis kontak,
Dermatitis numularis, Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di daerah
palmoplantar), Sindrom Sezary, Dermatitis herpetiformis
Pada bayi, diagnosis banding, yaitu Sindrom imunodefisiensi
(misalnya sindrom Wiskott-Aldrich), Sindrom hiper IgE
Komplikasi
1. Infeksi sekunder
2. Perluasan penyakit (eritroderma)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu:
a. Menemukan faktor risiko.
b. Menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan termasuk
pakaian seperti wol atau bahan sintetik.
c. Memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab.
d. Menjaga kebersihan bahan pakaian.
e. Menghindari pemakaian bahan kimia tambahan.
f. Membilas badan segera setelah selesai berenang untuk
menghindari kontak klorin yang terlalu lama.
g. Menghindari stress psikis.
h. Menghindari bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor.
i. Pada bayi, menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh
kencing atau feses, dan hindari pemakaian bahan-bahan
medicatedbaby oil.
j. Menghindari pembersih yang mengandung antibakteri karena
menginduksi resistensi.
2. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi diberikan dengan:
a. Topikal (2 kali sehari)
Pada lesi di kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal,
seperti: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia
dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama
maksimal 2 minggu.
Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason
valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%.
Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan
pemberian antibiotik topikal atau sistemik bila lesi meluas.
Prognosis
Prognosis pada umumnya
pengobatan pemeliharaan.
-561bonam,
dapat
terkendali
dengan
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-562Pria, usia 55-65 tahun (pada wanita 15-25 tahun), riwayat trauma
fisis dan kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan
lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik
pada kasus dermatitis numularis anak, stress emosional, minuman
yang mengandung alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah,
riwayat infeksi kulit sebelumnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3 1 cm), berbentuk
uang logam, eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas.
2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian mengering
menjadi krusta kekuningan.
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral,
atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi.
Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan,
termasuk punggung tangan.
-565dan lebih
sering
terjadi
pada
wanita
-566Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
Dermatitis atopik, Dermatitis kontak, Liken planus, Dermatitis
numularis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan agar tidak terus menerus menggaruk lesi saat
gatal, serta mungkin perlu dilakukan konsultasi dengan psikiatri.
2. Prinsip pengobatan yaitu mengupayakan agar penderita tidak
terus menggaruk karena gatal, dengan pemberian:
a. Antipruritus: antihistamin dengan efek sedatif, seperti
hidroksisin 10-50 mg setiap 4 jam, difenhidramin 25-50 mg
setiap 4-6 jam (maksimal 300 mg/hari), atau klorfeniramin
maleat (CTM) 4 mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg/hari).
b. Glukokortikoid topikal, antara lain: betametason dipropionat
salep/krim 0,05% 1-3 kali sehari, metilprednisolon aseponat
salep/krim 0,1% 1-2 kali sehari, atau mometason furoat
salep/krim 0,1% 1 kali sehari. Glukokortikoid dapat
dikombinasi dengan tar untuk efek antiinflamasi.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu
keluarga
mengenai
kondisi
pasien
dan
penanganannya.
2. Menyarankan pasien untuk melakukan konsultasi dengan
psikiatri dan mencari kemungkinan penyakit lain yang mendasari
penyakit ini.
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi penyebab lain
yang mendasari penyakit dengan berkonsultasi kepada psikiatri atau
dokter spesialis kulit.
Peralatan
-567-
-569Infeksi sekunder
setelah
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
dermatitis kontak alergi.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan quo ad sanationam
adalah dubia ad malam (bila sulit menghindari kontak dan dapat
menjadi kronis).
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
3.
4.
5.
6.
7.
-574Diagnosis Banding
Dermatitis kontak alergi
Komplikasi
Infeksi sekunder.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian farmakoterapi, berupa:
a. Topikal (2 kali sehari)
Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak
tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim
0,025%).
Pada kasus DKI kumulatif dengan manifestasi klinis
likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan
betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat
krim 0,1%).
Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan
pemberian antibiotik topikal.
b. Oral sistemik
Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama
maksimal 2 minggu, atau
Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahanbahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan
fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung
pelembab, serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari
kontak iritan saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan di rumah saat
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sarung
tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria Rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch test
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan
standar dan sudah menghindari kontak.
Peralatan
-575-
-576-
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak merah berbatas tegas
mengikuti bentuk popok yang berkontak, kadang-kadang basah dan
membentuk luka.
Faktor Risiko
1. Popok jarang diganti.
2. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang popok.
3. Riwayat atopi diri dan keluarga.
4. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan kertas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
1. Makula eritematosa berbatas agak tegas (bentuk mengikuti bentuk
popok yang berkontak)
2. Papul
3. Vesikel
4. Erosi
5. Ekskoriasi
6. Infiltran dan ulkus bila parah
7. Plak eritematosa (merah cerah), membasah, kadang pustul, lesi
satelit (bila terinfeksi jamur).
-577Pemeriksaan Penunjang
Bila diduga terinfeksi jamur kandida, perlu dilakukan pemeriksaan
KOH atau Gram dari kelainan kulit yang basah.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
1. Penyakit Letterer-Siwe
2. Akrodermatitis enteropatika
3. Psoriasis infersa
4. Eritrasma
Komplikasi
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Untuk mengurangi gejala dan mencegah bertambah beratnya lesi,
perlu dilakukan hal berikut:
a. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan pelembab sebelum
memakaikan popok bayi.
b. Dianjurkan pemakaian popok sekali pakai jenis highly
absorbent.
2. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu untuk menekan inflamasi
dan mengatasi infeksi kandida.
a. Bila ringan: krim/salep bersifat protektif (zinc oxide/pantenol)
dipakai 2 kali sehari selama 1 minggu atau kortikosteroid
potensi lemah (hidrokortison salep 1-2,5%) dipakai 2 kali
sehari selama 3-7 hari.
b. Bila terinfeksi kandida: berikan antifungal nistatin sistemik 1
kali sehari selama 7 hari atau derivat azol topikal dikombinasi
dengan zinc oxide diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga mengenai penyebab dan menjaga higiene
kulit.
2. Mengajarkan cara penggunaan popok dan mengganti secepatnya
bila popok basah.
3. Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas telah penuh.
-580-
b.
c.
d.
e.
-58236,pp.796-8.
Available
from
http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc
ountid=17242 (7 Juni 2014).
3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On
The Treatment Of Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7.
Available
from
http://search.proquest.com/docview/275129538/DC34942E9874
4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014).
23. ERITRASMA
No. ICPC-2
: S76 Skin infection other
No. ICD-10
: L08.1 Erythrasmay
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneumyang
disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum. Eritrasma terutama
terjadi pada orang dewasa, penderita diabetes, dan banyak ditemukan
di daerah tropis. Eritrasma dianggap tidak begitu menular karena
didapatkan bahwa pasangan suami istri tidak mendapatkan penyakit
tersebut secara bersama-sama. Secara global, insidens eritrasma
-586Diagnosis Banding
Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis seboroik, Kandidiasis
Komplikasi: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3%
2. Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g sehari (4 x 250mg) untuk 2-3
minggu.
Prognosis
-587-
Bonam
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Kibbi
A.G.Erythrasma.
Available
from
http://emedicine.medscape.com (10 Juni 2014)
3. Morales-Trujillo ML, Arenas R, Arroyo S. Interdigital Erythrasma:
Clinical, Epidemiologic, And Microbiologic Findings. Actas
Dermosifiliogr. Jul-Aug 2008;99(6):469-73
4. Sarkany I, Taplin D, Blank H. Incidence And Bacteriology Of
Erythrasma.Arch Dermatol. May 1962;85:578-82
24. SKROFULODERMA
No. ICPC-2
No. ICD-10
: A 70 Tuberculosis
: A 18.4 Tuberculosis of skin and subcutaneous
tissue
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi tuberkulosis
akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit seperti
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan
melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah dan membentuk sinus
di permukaan kulit.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Skrofuloderma biasanya dimulai dengan pembesaran kelenjar getah
bening tanpa tanda-tanda radang akut. Mula-mula hanya beberapa
kelenjar diserang, lalu makin banyak sampai terjadi abses memecah
dan menjadi fistel kemudian meluas menjadi ulkus. Jika penyakitnya
telah menahun, maka didapatkan gambaran klinis yang lengkap.
-588Faktor Risiko
Sama dengan TB Paru
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Lokasi
Gambar 11.28
Skrofuloderma
Diagnosis Banding
Limfosarkoma,
Limfoma
Limfogranuloma venerum
Komplikasi :-
maligna,
Hidradenitis
supurativa,
berkeringat,
pemakaian
deodorant,
-596-
vulgaris
umumnya
sembuh
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Williams, H. C., Dellavalle, R. P. & Garner, S. 2012. Acne Vulgaris.
The
Lancet,
379,
pp.
361-72.
Available
from
http://search.proquest.com/docview/920097495/abstract?accoun
tid=17242#(7 Juni 2014).
3. Simonart, T. 2012. Newer Approaches To The Treatment Of Acne
Vulgaris. American Journal Of Clinical Dermatology, 13, pp. 357-64.
Available
from
http://search.proquest.com/docview/1087529303/F21F34D0057
44CD7PQ/20?accountid=17242# (7 Juni 2014).
-59927. URTIKARIA
: S98 Urticaria
: L50 Urticaria
L50.9Urticaria, unspecified
Tingkat Kemampuan:
Urtikaria akut
: 4A
Urtikaria kronis
: 3A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat bermacam-macam
sebab. Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle
rash. Ditandai oleh edema setempat yang timbul mendadak dan
menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan,
meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Dapat
disertai dengan angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada semua
usia, orang dewasa lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia
muda. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan
dengan orang normal. Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering
menimbulkan urtikaria.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, rasa tersengat atau
tertusuk. Gatal sedang-berat di kulit yang disertai bentol-bentol di
daerah wajah, tangan, kaki, atau hampir di seluruh tubuh. Keluhan
dapat juga disertai rasa panas seperti terbakar atau tertusuk.
Kadang-kadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut, muntahmuntah, nyeri kepala, dan berdebar-debar (gejala angioedema).
Faktor Risiko
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
2. Riwayat alergi.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik tersering penisilin,
diuretik, imunisasi, injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, kacang, dan sebagainya).
7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
8. Penyakit autoimun dan kolagen.
-601-
-602Diagnosis Banding
Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-Schonlein), Pitiriasis rosea (lesi
awal berbentuk eritema), Eritema multiforme (lesi urtika, umumnya
terdapat pada ekstremitas bawah).
Komplikasi
Angioedema dapat disertai obstruksi jalan napas.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Prinsip penatalaksanaan
Tata laksana pada layanan Tingkat Pertama dilakukan dengan firstline therapy, yaitu memberikan edukasi pasien tentang penyakit
urtikaria (penyebab dan prognosis) dan terapi farmakologis
sederhana.
Urtikaria akut
Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi
obstruksi saluran napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit Gawat
Darurat bersama-sama dengan/atau dikonsultasikan ke dokter
spesialis THT.
Bila disertai obstruksi saluran napas, diindikasikan pemberian
epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid
prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10
mg/hari.
Urtikaria kronik
1. Pasien menghindari penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria,
seperti:
a. Kondisi yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik.
b. Penggunaan antibiotik penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE
inhibitor.
c. Agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
2. Pemberian farmakoterapi dengan:
a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya loratadin 1 x 10 mg per
hari selama 1 minggu.
b. Bila tidak berhasil dikombinasi dengan Hidroksisin 3 x 25 mg
atau Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari selama 1 minggu.
c. Apabila urtikaria karena dingin, diberikan Siproheptadin 3 x 4
mg per hari lebih efektif selama 1 minggu terus menerus.
Masalah Kesehatan
Exanthematous Drug Eruption adalah salah satu bentuk reaksi alergi
ringan pada kulit yang terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya
sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi alergi
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe lambat)
menurut Coomb and Gell. Nama lainnya adalah erupsi makulopapular
atau morbiliformis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil pada
kulit. Kelainan muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan.
Biasanya disebabkan karena penggunaan antibiotik (ampisilin,
sulfonamid, dan tetrasiklin) atau analgetik-antipiretik non steroid.
Kelainan umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak,
kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gejala diikuti demam subfebril,
malaise, dan nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah mulai
mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-bahan yang dipakai untuk
diagnostik (contoh: bahan kontras radiologi).
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian,
pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka).
2. Riwayat atopi diri dan keluarga.
3. Alergi terhadap alergen lain.
4. Riwayat alergi obat sebelumnya.
-6072. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
29. FIXED DRUG ERUPTION
: A85 Adverse effect medical agent
: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs
and medicaments
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
No. ICD-10
Masalah Kesehatan
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu jenis erupsi obat yang
sering dijumpai. Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan
akan terjadi berkali-kali pada tempat yang sama. Mempunyai tempat
predileksi dan lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous Drug
Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang keluhan kemerahan atau luka pada sekitar mulut,
bibir, atau di alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah
mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi penyebab seperti
Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim, dan analgetik.
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan
obat-obatan atau jamu. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga
beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Keluhan lain adalah rasa
gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril.
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian,
pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka)
2. Riwayat atopi diri dan keluarga
3. Alergi terhadap alergen lain
4. Riwayat alergi obat sebelumnya
Pemeriksaan penunjang
Biasanya tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
Diagnosis Banding
Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS (Steven Johnson
Syndrome)
-609Komplikasi
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada
dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan.
Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:
1. Kortikosteroid sistemik, misalnya prednison tablet 30 mg/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian per hari
2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal; misalnya
Hidroksisin tablet 10 mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau
Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
3. Pengobatan topikal
a. Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila terjadi
erosi atau madidans dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau
Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa
selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai
lesi kering.
b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid
potensi ringan-sedang, misalnya Hidrokortison krim 2,5% atau
Mometason furoat krim 0,1%.
Konseling dan Edukasi
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga.
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di
dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan
adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang
terjadi kelainan yang sama, pada lokasi yang sama.
Kriteria Rujukan
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan
dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven
Johnson.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga
sebagai penyebab:
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
c. Uji provokasi.
pengobatan
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
Fixed Drug Eruption.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi
atau tidak memenuhi kriteria rujukan.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-611-
Keluhan
Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat infeksi. Pada awal
infeksi, lesi berbentuk papul yang kemudian diikuti dengan lesi
berbentuk linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar memanjang.
Keluhan dirasakan muncul sekitar empat hari setelah terpajan.
Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering berkontak dengan
tanah atau pasir.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun linear
atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per
hari.
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong,
genital dan tangan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis
Komplikasi
Dapat terjadi infeksi sekunder.
: S14burn/scald
: T30 burn and corrosion, body region unspecified
T31 burns classified according to extent of body surface
involved
T32 corrosions classified according to extent of body
surface involved
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Luka bakar (burn injury) adalah kerusakan kulit yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik dan radiasi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada luka bakar derajat I paling sering disebabkan sinar matahari.
Pasien hanya mengeluh kulit teras nyeri dan kemerahan. Pada luka
bakar derajat II timbul nyeri dan bula.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Luka bakar derajat I, kerusakan terbatas pada lapisan epidermis
(superfisial), kulit hanya tampak hiperemi berupa eritema
denganperabaan hangat, tidak dijumpai adanya bula, terasa nyeri
karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
-614-
-615-
dan
untuk
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang dan berat
Peralatan
Infus set, peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap
Prognosis
Prognosis luka bakar derajat 1 umumnya bonam, namun derajat 2
dapat dubia ad bonam.
Referensi
Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment.
United State of America. Lange Medical Publication.
2. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Ilmu%20Kedokte
ran%20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20IIa%2020072008/luka%20bakar%20akut%20text.pdf
3. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi ketiga. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
1.
Masalah Kesehatan
Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, vena, kapiler dan
pembuluh darah limfe yang dapat menyebabkan kelainan pada kulit.
Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Di
negara tropis, insidens ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi
dan didominasi oleh ulkus neurotropik dan ulkus varikosum. Wanita
lebih banyak terserang ulkus varikosum daripada pria, dengan
perbandingan 2:1, dengan usia rata-rata di atas 37 tahun untuk
prevalensi varises.
Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk, gangguan pada pembuluh
darah dan kerusakan saraf perifer dianggap sebagai penyebab yang
paling sering. Kerusakan saraf perifer biasanya terjadi pada penderita
diabetes mellitus dan penderita kusta. Hipertensi juga dikaitkan
sebagai salah satu penyebab rusaknya pembuluh darah. Pembagian
ulkus kruris dibagi ke dalam empat golongan yaitu, ulkus tropikum,
ulkus varikosus, ulkus arterial dan ulkus neurotrofik.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan luka pada tungkai bawah. Luka bisa disertai
dengan nyeri atau tanpa nyeri. Terdapat penyakit penyerta lainnya
yang mendukung kerusakan pembuluh darah dan jaringan saraf
perifer.
Anamnesa:
1. Dapat ditanyakan kapan luka pertama kali terjadi. Apakah pernah
mengalami hal yang sama di daerah yang lain.
2. Perlu diketahui apakah pernah mengalami fraktur tungkai atau
kaki. Pada tungkai perlu diperhatikan apakah ada vena tungkai
superfisial yang menonjol dengan tanda inkompetensi katup.
-620Tabel 11.1
Penyebab
Gejala Klinis
Ulkus
Tropikum
Ulkus
Varikosum
Kelainan
pembuluh
seperti
trombosis atau kelainan katup
vena yang berasal dari luar
pembuluh
darah
seperti
bendungan daerah proksimal
karena tumor di abdomen,
kehamilan atau pekerjaan yang
dilakukan berdiri.
Ulkus
Arteriosum
Kelainan
yang
disebabkan
ateroma.
Dibagi
menjadi
ekstramural,
mural
dan
intramural.
Ulkus
Neurotrofik
Terjadi karena
trauma
pada
anestetik.
tekanan atau
kulit
yang
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Urinalisa
Ulkus Varikosum
Ulkus Arteriosum
Ulkus Neurotrofik
-622Diagnosis Banding
Keadaan dan bentuk luka dari keempat jenis ulkus ini sulit di
bedakan pada stadium lanjut. Pada ulkus tropikum yang kronis dapat
menyerupai ulkus varikosum atau ulkus arteriosum.
Topikal
Ulkus
Tropikum
Ulkus
Varikosum
Ulkus
Arteriosum
-624Ulkus
Neurotrofik
Penatalaksanan Terapi
Infeksi yang terjadi dapat diobati seperti
pengobatan ulkus lainnya. Memperbaiki
sensibilitas akan sangat membantu.
Konsul ke bagian penyakit dalam
disarankan untuk dilakukan.
Komplikasi
1. Hematom dan infeksi pada luka
2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat dilakukan pembedahan)
3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara spontan
4. Resiko amputasi jika keadaan luka memburuk
Kriteria Rujukan
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai akan berbeda. Hal ini
terkait lamanya ulkus, luas dari ulkus dan penyebab utama.
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Dubia
: Dubia
: Dubia
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit
Kulit. Jakarta. Hipokrates.
3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012. Dermatologi Dasar
Untuk Praktik Klinik. Jakarta. EGC.
33. SINDROM STEVENS-JOHNSON
No. ICPC-2
: S99
Skin disease other
No. ICD-10
: L51.1 Bullous erythema multiforme
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai
kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
Skor Individu
SCORTEN
Prediksi
Mortalitas
(jumlah skor
individu)
(%)
Usia >40 tahun
Keganasan
Takikardi >120x/menit
Luas
awal
pelepasan
epidermis >10%
Serum urea >10 mmol/L
Serum
glukosa
>14
mmol/L
Bicarbonat >20 mmol/L
Ya:
Ya:
Ya:
Ya:
1
1
1
1
Tidak:
Tidak:
Tidak:
Tidak:
0
0
0
0
Ya: 1 Tidak: 0
Ya: 1 Tidak: 0
0-1
2
3
4
3,2
12,1
35,8
58,3
90
Ya: 1 Tidak: 0
-628Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and StevensJohnson syndrome.Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
3. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens Johnson
Syndrome: Our Current Understanding. Allergology International,
55, 9-16
-630IMT(kg/m2)
Underweight
< 18,5
Normal
18,5 22,9
Overweight
> 23,0
23,0-24,9
Obese I
25,0-29,9
Obese II
>30
Sumber:
WHO
WPR/IASO/IOTF
dalam
The
Perspective:Redefining Obesity and its Treatment
Asia-Pacific
Diagnosis Banding:
1. Keadaan asites atau edema
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada olahragawan
Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan yang berasosiasi
dengan obesitas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hipertensi
DM tipe 2
Dislipidemia
Sindrom metabolik
Sleep apneu obstruktif
Penyakit sendi degeneratif
Komplikasi
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit kardiovakular, Sleep
apnoe, abnormalitas hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan
hati
Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko tinggi bila disertai
dengan 3 atau lebih keadaan di bawah ini:
1. Hipertensi
2. Perokok
3. Kadar LDL tinggi
4. Kadar HDL rendah
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
-632Kriteria Rujukan
1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit dalam bila pasien
merupakan obesitas dengan risiko tinggi dan risiko absolut
2. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi gaya hidup (diet yang
telah diperbaiki, aktifitas fisik yang meningkat dan perubahan
perilaku) selama 3 bulan, dantidak memberikanrespon terhadap
penurunan berat badan, maka pasien dirujuk ke spesialis penyakit
dalam untuk memperoleh obat-obatan penurun berat badan
Prognosis
Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai obesitas. Risiko akan
meningkat seiring dengan tingginya kelebihan berat badan.
Referensi
1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese Patients.
[cite
2010
June
12]
Available
from:
http://cucrash.com/Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf.
2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Ed. V. Jakarta. 2006. Hal. 1973-83.
3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik
untuk Dokter Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200.
(Trisna, 2008)
2. TIROTOKSIKOSIS
No. ICPC-2
: T85 Hipertiroidisme/tirotoksikosis
No. ICD-10
: E05.9 Tirotoksikosis unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis akibat kelebihan hormon
tiroid yang beredar disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013,
hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter sebesar 0,4%. Prevalensi
hipertiroid tertinggi di DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing
0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%).
Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori, yaitu yang berhubungan
dengan hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan.
-6343.
4.
5.
6.
7.
Kemosis,
Ulkus kornea
Dermopati
Akropaki
Bruit
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin, SGOT, SGPT, gula darah sewaktu
2. EKG
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Untukhipertiroidismediagnosis yang tepat adalah dengan pemeriksaan
konsentrasi tiroksin bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3
meningkat dan TSH sedikit hingga tidak ada).
Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis melaui
anamnesis dan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan laboratorium,
namun untuk menilai kemajuan terapi tanpa pemeriksaan penunjang
sulit dideteksi.
Diagnosis Banding
1. Hipertiroidisme primer: penyakir Graves, struma multinudosa
toksik, adenoma toksik, metastase karsinoma tiroid fungsional,
struma ovari,mutasi reseptor TSH, kelebihan iodium (fenomena
Jod Basedow).
2. Tirotoksikosis tanpa hipotiroidisme: tiroiditis sub akut, tiroiditis
silent, destruksi tiroid, (karena aminoidarone, radiasi, infark
adenoma) asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis faktisia)
3. Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi
TSH, sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi
HCG, tirotoksikosis gestasional.
4. Anxietas
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pemberian obat simptomatis
2. Propanolol dosis 40-80 mg dalam 2-4 dosis.
3. PTU 300-600 mg dalam 3 dosis bila klinis Graves jelas
Rencana Tindak Lanjut
-6372. Mata
: Penurunan visus, lensa mata buram
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen
Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Puasa
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial
3. Urinalisis
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma
sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl.
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral
(TTGO)> 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram
yang dilarutkan dalam air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung
dari hasil yang diperoleh
Kriteria gangguan toleransi glukosa:
1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100125 mg/dl (5,66,9 mmol/l)
2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa
plasma 140199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram (7,8 -11,1 mmol/L)
3. HbA1C 5,7 -6,4%
Komplikasi
1. Akut
Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia
2. Kronik
Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah
perifer, Pembuluh darah otak
3. Mikroangiopati:
126
------ 200
GDP
Atau
GDS
Keluhan klasik-()
<126
------<200
GDP 126
Atau ------GDS 200
100- 125
-----------140-199
<100 GDP
------- Atau
< 140 GDS
GDP
Atau
GDS
126
?
126
------?200
200
<126
------<200
TTGO
GD 2 jam
200
DIABETES MELITUS
Evaluasi status gizi
Evaluasi penyulit DM
Evaluasi perencanaan
makan sesuai
kebutuhan
140-199
TGT
<140
GDPT
Normal
Nasihat Umum
Perencanaan makan
Latihan Jasmani
Berat idaman
Belum perlu obat
penurun glukosa
-639-
HDL
Sedang
Buruk
80 -99
100-125
126
80-144
145-179
180
< 6,5
6,5 8
>8
< 200
200-239
240
< 100
100 129
130
Pria > 40
Wanita >
50
Trigliserida
((mg/dL)
< 150
150-199
200
IMT (kg/m3)
18, 5 -23
23-25
> 25
130/80
>
130-140
>80-90
Tekanan
(mmHg)
darah
>140/90
-641Keterangan:
Angka-angka laboratorium di atas adalah hasil pemeriksaan plasma
vena.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah
utuh dan plasma vena
Konseling dan Edukasi
Edukasi meliputi pemahaman tentang:
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol
2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya
olahraga, menghindari rokok, dan menjaga pola makan.
3. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2
minggu
Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1. Karbohidrat
45 65 %
2. Protein
15 20 %
3. Lemak
20 25 %
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan
lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty
Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr,
diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari:
1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman
Rumus Broca:*
Berat badan idaman = ( TB 100 ) 10 %
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.
BB kurang
: < 90 % BB idaman
BB normal
: 90 110 % BB idaman
BB lebih
Gemuk
: >120 % BB idaman
- 20 %
2.
3.
4.
5.
-642b. BB lebih
- 10 %
c. BB kurang
+ 20 %
Umur > 40 tahun :
-5%
Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)
Aktifitas:
a. Ringan
+ 10 %
b. Sedang
+ 20 %
c. Berat
+ 30 %
Hamil:
a. trimester I, II
+ 300 kal
b. trimester III / laktasi
+ 500 kal
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu
selama kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu
intensitas sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan.
Kriteria Rujukan
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:
1. DM tipe 2 dengan komplikasi
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin
rutin, ureum, kreatinin
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Monofilamen test
Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah
penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam,
namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad
malam.
Referensi
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2.
3.
4.
5.
Infark
miokard,
Low-flow
syndrome,
DIC,
Referensi
-646-
1. Soewondo, Pradana. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1900-2.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
5. HIPOGLIKEMIA
No. ICPC-2
: T87 hypoglycaemia
No. ICD-10
: E16.2 hypoglycaemia unspecified
Tingkat Kemampuan
Hipoglikemia ringan 4A
Hipoglikemia berat 3B
Masalah Kesehatan
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah <60 mg/dl,
atau kadar glukosa darah <80 mg/dl dengan gejala klinis..
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penyandang diabetes
melitus dan geriatri.
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
1. Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau obat hipoglikemia oral
yaitu sulfonilurea.
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun; gagal ginjal
kronik,dan paska persalinan.
3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan
tidak tepat.
4. Kegiatan jasmani berlebihan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Tanda dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi pada setiap individu
dari yang ringan sampai berat, sebagai berikut:
1. Rasa gemetar
2. Perasaan lapar
3. Pusing
4. Keringat dingin
5. Jantung berdebar
6. Gelisah
1.
2.
3.
4.
6. HIPERURISEMIA-GOUT ARTHRITIS
T99 Endocrine/metabolic/nutritional disease
other
T92 Gout
No. ICD-10
: E79.0
Hyperuricemia
without
signs
of
inflammatory arthritis and tophaceous disease
M10 Gout
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
Masalah Kesehatan
Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dl pada pria
dan pada
wanita 6 mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat
meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam
urat, atau kombinasi dari keduanya.
Gout adalah
radang sendi yang diakibatkan deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan sekitar sendi.
-650-
Keluhan
1. Bengkak pada sendi
2. Nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pada malam hari.
3. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan.
4. Demam, menggigil, dan nyeri badan.
Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya pada 1 sendi dan
keluhan dapat menghilang dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan.
Faktor Risiko
1. Usia dan jenis kelamin
2. Obesitas
3. Alkohol
4. Hipertensi
5. Gangguan fungsi ginjal
6. Penyakit-penyakit metabolik
7. Pola diet
8. Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obat-obat TBC
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Arthritis monoartikuler dapat ditemukan, biasanya melibatkan sendi
metatarsophalang 1 atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang mengalami
inflamasi tampak kemerahan dan bengkak.
Pemeriksaan Penunjang
1. X ray: Tampak pembengkakan asimetris pada sendi dan kista
subkortikal tanpa erosi
2. Kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
untuk diagnosis definitif gout arthritis adalah ditemukannya kristal
urat (MSU) di cairan sendi atau tofus.
Gambaran klinis hiperurisemia dapat berupa:
1. Hiperurisemia asimptomatis
Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi klinis berarti. Serangan
arthritis biasanya muncul setelah 20 tahun fase ini.
2. Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu:
7. LIPIDEMIA
No. ICPC-2
: T93 Lipid disorder
No. ICD-10
: E78.5 Hiperlipidemia
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa
kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan kolesterol
HDL. Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis
sehingga dapat menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK),
Peripheral Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut (SKA).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan biasanya ditemukan
pada saat pasien melakukan pemeriksaan rutin kesehatan (medical
check-up).
Optimal
100-129 mg/dL
Mendekati optimal
130-159 mg/dL
Borderline
160-189 mg/dL
Tinggi
190 mg/dL
Sangat tinggi
Kolesterol Total
< 200 mg/dL
Diinginkan
200-239 mg/dL
Borderline
240 mg/dL
Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dL
Rendah
-654 60 mg/dL
Tinggi
Trigeliserida
< 150 mg/dL
Optimal
150-199 mg/dL
Borderline
200-499 mg/dL
Tinggi
500 mg/dL
Sangat tinggi
<130
<160
-656RisikoTinggi
- Gaya hidupsehat
- Periksaulangsetiap 6 12 tahun
- Dietdanolahraga
- Dipertimbangkanpemberian
statin bila LDL > 130 mg/dl
Periksaulang 3 bulan
- Mulai statin
- Periksaulang 3 bulan
-657JumlahFaktorRisiko 0 1
Caridanobatipenyebabsekunder
- Gaya hidupsehat
- Periksaulangsetiap1 2 tahun atau
3 5 tahunbilaKol LDL
< 130 mg/dl
Terapi diet
Periksaulang 3 bulan
- Mulai statin
- Periksa ulang 3
bulan
Caridanobatipenyebabsekunder
- Gaya hidupsehat
- periksaulangsetiap1 2 tahun
Terapi diet
Periksaulang 3 bulan
- Mulai statin
- Periksaulang 3 bulan
Kolesterol LDL
Kolesterol
HDL
Trigliserida
Statin
18 55 %
5- 15 %
7 30 %
Resin
15 30 %
3- 5 %
Fibrat
5 25 %
10 - 20 %
20 50 %
Asam
5 25 %
15- 35 %
20 50 %
17 18 %
3- 4 %
Nikot
inat
Ezetimibe
Golongan Statin
Fluvastatin
Lovastatin
Pravastatin
Simvastatin
Atorvastatin
Rosuvastatin
Pitavastatin
Dosis
Efek Samping
4 16 gram/hari
Konstipasi, gangguan
Flushing,
hiperglikemia,
hiperuricemia,
hepatotoksik,
gangguan saluran
cerna
Golongan
Asam
Fibrat
145,160 mg 1x/hari
Fenofibrat
600 mg 2x/hari
Gemfibrozil
900 mg 1x/hari
Penghambat
Absorbsi Kolesterol
Ezetimibe
10 mg 1x/ hari
Dispepsia, miopati
Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati
dan ginjal berat
Dispepsia,
sakit
kepala dan punggung
-663rambut kuning
3. Kwashiorkor: edema,
mudah rontok, crazy
pavement dermatosa
4. Tanda dehidrasi
5. Demam
6. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
7. Sangat pucat
8. Pembesaran hati, ikterus
9. Tanda defisiensi vitamin A pada mata: konjungtiva kering, ulkus
kornea, keratomalasia
10. Ulkus pada mulut
11. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium: gula darah, Hb, Ht, preparat apusan darah, urin
rutin, feses
2. Antropometri
3. Foto toraks
4. Uji tuberkulin
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta
pengukuran antropometri. Anak didiagnosis dengan gizi buruk,
apabila:
1. BB/TB < -3SD atau 70% dari median (marasmus).
2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor: BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor BB/TB
<-3SD).
Gizi kurang
Klinis
Tampak sangat kurus dan atau edema
pada kedua punggung kaki atau seluruh
tubuh
Tampak kurus
Antropometri
(BB/TB-PB)
<-3SD
Kunjungan Rumah
Tenaga kesehatan atau kader melakukan kunjungan rumah pada
anak gizi buruk rawat jalan, bila:
- Berat badan anak sampai pada minggu ketiga tidaknaik atau
turun dibandingkan dengan berat badanpada saat masuk
(kecuali anak dengan edema).
- Anak yang 2 kali berturut-turut tidak datang tanpa
pemberitahuan
Kunjungan rumah bertujuan untuk menggali permasalahan yang
dihadapi keluarga termasuk kepatuhan mengonsumsi makanan
untuk pemulihan gizi dan memberikan nasihat sesuai dengan
masalah yang dihadapi.
Dalam melakukan kunjungan, tenaga kesehatan membawa kartu
status, cheklist kunjungan rumah, formulir rujukan, makanan
untuk pemulihan gizi dan bahan penyuluhan.
Hasil kunjungan dicatat pada checklist kunjungan dan kartu
status. Bagi anak yang harus dirujuk, tenaga kesehatan mengisi
formulir rujukan.
Konseling dan Edukasi
Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuhtentang hasil
penilaian pertumbuhan anak.
Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi.
Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi.
Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi
anak dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan
anjuran makan dan memilih atau mengganti makanan.
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis, dehidrasi berat, anemia
berat, penurunan kesadaran
2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti: pneumonia berat
Peralatan
1. Alat pemeriksaan gula darah sederhana
2. Alat pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Skala antropometri
Prognosis
-666-
-667Faktor Risiko
1. Riwayat diabetes melitus
2. Riwayat kencing batu (urolitiasis)
3. Higiene pribadi buruk
4. Riwayat keputihan
5. Kehamilan
6. Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya
7. Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma
8. Kebiasaan menahan kencing
9. Hubungan seksual
10. Anomali struktur saluran kemih
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Demam
2. Flank pain (Nyeri ketok pinggang belakang/costovertebral angle)
3. Nyeri tekan suprapubik
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap
2. Urinalisis
3. Ureum dan kreatinin
4. Kadar gula darah
Pemeriksaan penunjang tambahan (di layanan sekunder) :
1. Urine mikroskopik berupa peningkatan >103 bakteri per lapang
pandang
2. Kultur urin (hanya diindikasikan untuk pasien yang memiliki
riwayat kekambuhan infeksi salurah kemih atau infeksi dengan
komplikasi).
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Recurrent cystitis, Urethritis, Pielonefritis, Bacterial asymptomatic
Komplikasi
Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik kekambuhan
No ICPC-2
No ICD-10
nephritis
Masalah Kesehatan
Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi
adalah peradangan
parenkim dan pelvis ginjal yang berlangsung akut. Tidak ditemukan
data yang akurat mengenai tingkat insidens PNA nonkomplikata di
Indonesia. Pielonefritis akut nonkomplikata jauh lebih jarang
dibandingkan sistitis (diperkirakan 1 kasus pielonefritis berbanding
28 kasus sistitis).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Onset penyakit akut dan timbulnya tiba-tiba dalam beberapa jam
atau hari
2. Demam dan menggigil
3. Nyeri pinggang, unilateral atau bilateral
4. Sering disertai gejala sistitis, berupa: frekuensi, nokturia, disuria,
urgensi, dan nyeri suprapubik
5. Kadang disertai pula dengan gejala gastrointestinal, seperti: mual,
muntah, diare, atau nyeri perut
Faktor Risiko
Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko penyakit infeksi saluran
kemih lainnya, yaitu:
1. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur
2. Sangat jarang terjadi pada pria berusia <50 tahun, kecuali
homoseksual
3. Koitus per rektal
4. HIV/AIDS
Pot urin
Urine dip-stick
Mikroskop
Object glass, cover glass
Pewarna Gram
Prognosis
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus
Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (Achmad, 2007)
2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines
for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and
Pyelonephritis in Women: A 2010 Update by the Infectious
Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease,
52, pp.103120 (Colgan, 2011)
3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and
Prostatitis. In A. s Fauci et al., eds. Harrisons Principles of Internal
Medicine. New York: McGraw-Hill, pp. 18201825. (Stamm, 2008)
3. FIMOSIS
No. ICPC-2
: Y81 Phimosis
No. ICD-10
: N47 Phimosis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak dapat diretraksi
melewati glans penis. Fimosis dapat bersifat fisiologis ataupun
patalogis. Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada bayi dan anak-
-674anak. Pada anak usia 3 tahun 90% preputium telah dapat diretraksi
tetapi pada sebagian anak preputium tetap lengket pada glans penis
sehingga ujung preputium mengalami penyempitan dan mengganggu
proses berkemih. Fimosis patologis terjadi akibat peradangan atau
cedera pada preputium yang menimbulkan parut kaku sehingga
menghalangi retraksi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin seperti:
1. Nyeri saat buang air kecil
2. Mengejan saat buang air kecil
3. Pancaran urin mengecil
4. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma.
Faktor Risiko
1. Hygiene yang buruk
2. Episode berulang balanitis atau balanoposthitis menyebabkan
skar pada preputium yang menyebabkan terjadinya fimosis
patalogis
3. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang tidak menjalani
sirkumsisi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal hingga ke korona
glandis
2. Pancaran urin mengecil
3. Menggelembungnya ujung preputium saat berkemih
4. Eritema dan udem pada preputium dan glans penis
5. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki skar dan tampak
sehat
6. Pada fimosis patalogis pada sekeliling preputium terdapat
lingkaran fibrotik
7. Timbunan smegma pada sakus preputium
ditegakkan
berdasarkan
gejala
klinis
dan
Diagnosis Banding
Parafimosis, Balanitis, Angioedema
Komplikasi
Dapat terjadi infeksi berulang karena penumpukan smegma.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05% betametason) 2 kali perhari
selama 2-8 minggu pada daerah preputium.
2. Sirkumsisi
Rencana Tindak Lanjut
Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan perkembangan maka
kondisi akan membaik dengan sendirinya
Konseling dan Edukasi
Pemberian penjelasan terhadap orang tua atau pasien agar tidak
melakukan
penarikan
preputium
secara
berlebihan
ketika
membersihkan penis karena dapat menimbulkan parut.
Kriteria Rujukan
Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk tindakan sirkumsisi
maka dirujuk ke layanan sekunder.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam bila penanganan sesuai
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran Kemih dan Alat Kelamin
Lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
4. PARAFIMOSIS
No. ICPC-2
: Y81. Paraphimosis
No. ICD-10
: N47.2 Paraphimosis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Parafimosis
merupakan
kegawatdaruratan
karena
dapat
mengakibatkan terjadinya ganggren yang diakibatkan preputium
penis yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat
dikembalikan pada kondisi semula dan timbul jeratan pada penis di
belakang sulkus koronarius.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Pembengkakan pada penis
2. Nyeri pada penis
Faktor Risiko
Penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada lakilaki yang belum disirkumsisi misalnya pada pemasangan kateter.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Preputium tertarik ke belakang glans penis dan tidak dapat
dikembalikan ke posisi semula
2. Terjadi eritema dan edema pada glans penis
3. Nyeri
4. Jika terjadi nekrosis glans penis berubah warna menjadi biru
hingga kehitaman
bila
penanganan
kegawatdaruratan
segera
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran kemih dan alat kelamin
lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
N. KESEHATAN WANITA
1. KEHAMILAN NORMAL
No. ICPC-2
: W90 Uncomplicated labour/delivery livebirth
No. ICD-10
:O80.9 Single spontaneous delivery, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahir. Lama kehamilan
normal 40 minggu dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT).
Untuk menghindari terjadinya komplikasi pada kehamilan dan
persalinan, maka setiap ibu hamil dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan secara rutin minimal 4 kali kunjungan selama masa
kehamilan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Faktor Risiko
Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di bawah ini:
1. Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat
riwayat obstetrik
sebagai berikut:
a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 hari
b. > 3 abortus spontan
c. Berat badan bayi < 2500 gram
2.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
22-27 minggu
28 minggu
29-35 minggu
36 minggu
(minggu
gestasi 2)
cm
(28 2) cm
(minggu
gestasi 2)
cm
(36 2) cm
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+)
2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO dan Rhesus pada
trimester 1, Hb dilakukan pada trimester 1 dan 3, kecuali bila
tampak adanya tanda-tanda anemia berat.
3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah dan protein urin sesuai
indikasi.
4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko, dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan: BTA, TORCH (toxoplasma, rubella, cytomegalo virus,
pemeriksaan
II
III
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Anamnesis
Riwayat medis lengkap
Catatan pada kunjungan sebelumnya
Keluhan yang mungkin dialami selama hamil
LILA
Gejala anemia (pucat, nadi cepat)
Edema
Tanda bahaya lainnya (sesak, perdarahan, dll)
*
*
*
*
*
*
Aspirin
Kalsium
KIE (sesuai materi)
*
*
*
*
*
*
Jumlah
kunjungan
minimal
1x
Sebelum minggu ke 16
II
1x
Antara minggu ke 24 28
III
2x
Antara minggu ke 36 38
2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan, kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai: sakit kepala lebih dari
biasa,
perdarahan
per
vaginam,
gangguan
penglihatan,
pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri abdomen (epigastrium),
mual dan muntah berlebihan, demam, janin tidak bergerak
sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI) eksklusif, dan inisiasi
menyusu dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin
misalnya hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular seksual
lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang beresiko bagi kesehatan,
seperti merokok dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300 kalori/hari dari menu
seimbang. Contoh: nasi tim dari 4 sendok makan beras, pasang
hati ayam, 1 potong tahu, wortel parut, bayam, 1 sendok teh
minyak goreng, dan 400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan, istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung gerakan janin dalam 12
jam, misalnya dengan menggunakan karet gelang 10 buah pada
-684pagi hari pukul 08.00 yang dilepaskan satu per satu saat ada
gerakan janin. Bila pada pukul 20.00, karet gelang habis, maka
gerakan janin baik.
Medikamentosa
1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi 60 mg/hari dan folat 250
mikogram 1-2 kali/hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan
menjadi dua kali. Apabila dalam follow up selama 1 bulan tidak
ada perbaikan, dapatdipikirkan kemungkinan penyakit lain
(talasemia, infeksi cacing tambang, penyakit kronis TBC)
2. Memberikanimunisasi TT (Tetanus Toxoid) apabila pasien memiliki
risiko terjadinya tetanus pada proses melahirkan dan buku
catatan kehamilan.
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak diketahui, pemberian
sesuai dengan tabel di berikut ini.
Tabel 14.4 Pemberian TT untuk ibu yang belum pernah imunisasi
atau tidak mengetahui status imunisasinya
Pemberian selang waktu minimal
TT1
TT2
TT3
TT4
TT5
1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
5 kali
Rujuk
untuk
pelayanan sekunder
memperoleh
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
-687Tindakan
Kondisi
Epilepsi
Pengguna
terlarang
lainnya
Nasehati
untuk
pengobatan
narkoba,
dan bahan
meneruskan
Tanda anemia berat dan Hb <70 Naikkan dosis besi dan rujuk bila
g/l
ibu hamil sesak nafas
Primigravida
di
Tekankan untuk
rumah sakit
melahirkan
di
perut
bagian Rujuk
untuk
evaluasi
(pertimbangkan standar ukuran
yang
sesuai
untuk
kondisi
setempat)
2.
3.
4.
5.
6.
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo..
2010(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. HIPEREMESIS
KEHAMILAN)
GRAVIDARUM
(MUAL
DAN
MUNTAH
PADA
No. ICPC-2
: W05 Pregnancy vomiting/nausea
No ICD-10
: O21.0 Mild hyperemis gravidarum
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Mual dan muntah yang terjadi pada awal kehamilan sampai umur
kehamilan 16 minggu. Mual dan muntah yang berlebihan, dapat
mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam-basa dan elektrolit dan
ketosis keadaan ini disebut sebagai keadaan hiperemesis.Mual
-689biasanya terjadi pada pagi hari, tapi dapat pula timbul setiap saat dan
malam hari. Mual dan muntah ini terjadi pada 60-80% primigravida
dan 40-60% multigravida.Mual dan muntah mempengaruhi hingga >
50% kehamilan. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat
dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan
sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu
pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi dan terdapat
aseton dalam urin bahkan seperti gejala penyakit appendisitis, pielitis,
dan sebagainya.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
1. Mual dan muntah hebat
2. Ibu terlihat pucat
3. Kekurangan cairan
Gejala klinis
1. Muntah yang hebat
2. Mual dan sakit kepala terutama pada pagi hari (morning sickness)
3. Nafsu makan turun
4. Beratbadan turun
5. Nyeri epigastrium
6. Lemas
7. Rasa haus yang hebat
8. Gangguan kesadaran
Faktor Risiko
Belum diketahui secara pasti namun diperkirakan erat kaitannya
dengan faktor- faktor :
1. Peningkatan hormon hormon kehamilan.
2. Adanya riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya.
3. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih jarang di rawat inap
karena hiperemesis.
4. Psikologis: adanya stress dan emosi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan tanda vital: nadi meningkat 100x/mnt, tekanan
darah menurun (pada keadaan berat), subfebris, dan gangguan
kesadaran (keadaan berat).
Referensi
-693-
penyakit
kronik,
Trait
Thalassemia,
Anemia
Kandungan
Besi
Elemental
Sulfas ferosus
325
65
Fero fumarat
325
107
Fero glukonat
325
39
Besi polisakarida
150
150
Jenis Sediaan
4. PRE-EKLAMPSIA
No. ICPC-2
: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10
: O14.9 Pre-eclampsia, unspecified
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan di atas 20
minggu yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon
maternal terhadap adanya inflamasi spesifik dengan aktivasi endotel
dan koagulasi.
Tanda utama penyakit ini adanya hipertensi dan proteinuria. Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki
tingkat komplesitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya
Dosis
Nifedipine
4 x 10-30 mg peroral
(short acting)
Nikardipin
Metildopa
Keterangan
Dapat meyebabkan
hipotensi pada ibu
dan janin, bila
diperlukan
diberikan
sublingual
Sambil menunggu
rujukan, mulai
dosisrumatan 6 g MgSO4
dalam 6 jam sesuai
prosedur
Tersedia Ca Glukonas
10%
-7035. EKLAMPSI
No. ICPC-2
: W81 Toxaemia of pregnancy
No. ICD-10
: O15.9 Eclampsia, unspecified as to time period
Tingkat Kemampuan 3B
Masalah Kesehatan
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita pre-eklampsia,
yang disertai dengan kejang menyeluruh dan atau koma. Sama halnya
dengan pre-eklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan
post partum. Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi dalam
waktu 24 jam pertama setelah persalinan. 50-60% kejadian eklampsia
terjadi dalam keadaan hamil. 30-35% kejadian eklampsia terjadi pada
saat inpartu, dan sekitar 10% terjadi setelah persalinan.
Pada negara berkembang kejadian ini berkisar 0,3-0,7%. Di Indonesia
Pre eklampsia dan eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 1525%, sedangkan 45-50% menjadi penyebab kematian bayi.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Kejang yang diawali dengan
gejala-gejala prodromal eklampsia,
antara lain:
1. Nyeri kepala hebat
2. Gangguan penglihatan
3. Muntah-muntah
4. Nyeri uluhati atau abdomen bagian atas
5. Kenaikan progresif tekanan darah
Faktor Risiko
1. Kondisi-kondisi
yang
berpotensi
menyebabkan
penyakit
mikrovaskular (antara lain: diabetes melitus, hipertensi kronik,
gangguan pembuluh darah dan jaringan ikat)
2. Sindrom antibody antiphospholipid, dan nefropati. Faktor risiko
lainya dihubungkan dengan kehamilan itu sendiri, dan faktor
spesifik dari ibu atau ayah janin.
3. Riwayat preeklampsia ringan dan berat dalam kehamilan
sebelumnya.
-705Non Medikamentosa
Pengelolaan Kejang
1. Pemberian obat anti kejang.
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut penderita.
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk
mengurangi risiko aspirasi.
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan dan pemeriksaan
proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk menjaga pasien tidak
terjatuh dari tempat tidur saat kejang timbul
6. Beri O2 4 - 6 liter permenit.
Medikamentosa
1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis awal 4 g (10ml MgSO4
40%, larutkan dalam 10 ml akuades) secara perlahan selama 20
menit, jika pemberian secara intravena sulit, dapat diberikan
secara IM dengan dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri.
2.
3.
4.
5.
-7076. ABORTUS
No. ICPC-2
No. ICD-10
No. ICPC-2
No. ICD-10
Tingkat Kemampuan
Abortus komplit 4A
Abortus inkomplit 3B
Abortus insipiens 3B
Masalah Kesehatan
Abortus ialah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan,dan sebagai batasan digunakan
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat anak kurang dari 500
gram.
Jenis dan derajat abortus :
1. Abortus imminens adalah abortus tingkat permulaan, dimana terjadi
perdarahan pervaginam ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.
2. Abortus insipiens adalah abortus yang sedang mengancam dimana
serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi
hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.
3. Abortus inkomplit adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri masih ada yang tertinggal.
4. Abortus komplit adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan yang terdapat pada pasien abortus antara lain:
1. Abortus imminens
a. Riwayat terlambat haid dengan hasil B HCG (+) dengan usia
kehamilan dibawah 20 minggu
b. Perdarahan pervaginam yang tidak terlalu banyak, berwarna
kecoklatan dan bercampur lendir
c. Tidak disertai nyeri atau kram
2. Abortus insipiens
Perdarahan
Abortus
iminens
Sedikit
Nyeri
Perut
Sedang
Abortus
insipiens
Sedangbanyak
Abortus
inkomplit
Gejala
Khas
Tidak ada
epulsi
jaringan
konsepsi
Tidak ada
epulsi
jaringan
konsepsi
Uterus
Serviks
Sesuai
usia
gestasi
Tertutup
Sedanghebat
Sesuai
usia
kehamilan
Terbuka
Sedangbanyak
Sedanghebat
Sesuai
dengan
usia
kehamilan
Terbuka
Epulsi
sebagian
jaringan
konsepsi
Abosrtus
komplit
Sedikit
Tanpa/
sedikit
Lebih kecil
dari usia
gestasi
Terbuka/tertutup
Epulsi
seluruh
jaringan
konsepsi
Missed
abortion
Tidak ada
Tidak ada
lebih kecil
dari usia
kehamilan
Tertutup
Janin telah
mati tapi
tidak ada
epulsi
jaringan
konsepsi
-713Pencegahan
1. Pemeriksaan rutin antenatal
2. Makan makanan yang bergizi (sayuran, susu,ikan, daging,telur).
3. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah kewanitaan dengan
tujuan mencegah infeksi yang bisa mengganggu proses implantasi
janin.
4. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai efek vasoaktif sehingga
menghambat sirkulasi uteroplasenta.
5. Apabila terdapat anemia sedang berikan tablet Sulfas Ferosus 600
mg/hari selama 2 minggu,bila anemia berat maka berikan
transfusi darah.
Rencana Tindak Lanjut
1. Melakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional
2. Menganjurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran karena
kesuburan dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran.
Untuk mencegah kehamilan, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) umumnya dapat dipasang secara aman setelah aborsi
spontan atau diinduksi. Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca
keguguran antara lain adalah infeksi pelvik, abortus septik, atau
komplikasi serius lain dari abortus.
3. Follow up dilakukan setelah 2 minggu.
Kriteria Rujukan
Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit, perdarahan yang banyak, nyeri
perut, ada pembukaan serviks, demam, darah cairan berbau dan
kotor
Peralatan
1.
2.
3.
4.
Inspekulo
Laboratorium sederhana untuk pemeriksan tes kehamilan .
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.
USG
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan pada kehamilan
muda. Ed 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo.2009: p. 460-474.(Prawirohardjo, et al., 2010)
-715Faktor Risiko :
Multiparitas, Hidramnion, Kelainan letak ; sungsang atau melintang,
Kehamilan ganda, Cephalo Pelvic Disproportion, Infeksi, Perdarahan
antepartum
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Tercium bau khas ketuban
2. Apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian
yang sudah pecah, lihat dan perhatikan atau terdapat cairan
ketuban padaforniks posterior.
3. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan
ketuban di vagina. Pastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan
amnion dengan memperhatikan bau cairan ketuban yang khas.
4. Jika tidak ada cairan amnion, dapat dicoba dengan menggerakkan
sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau
mengejan
5. Tidak ada tanda inpartu
6. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai adanya tanda-tanda
infeksi pada ibu dengan mengukur suhu tubuh (suhu 380C).
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban) dengan kertas lakmus
(Nitrazin test) dari merah menjadi biru , sesuai dengan sifat air
ketuban yang alkalis
2. Pemeriksaan mikroskopis tampak gambaran pakis yang mengering
pada sekret serviko vaginal.
3. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan
dibiarkan mengering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
4. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/mm3.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Diagnosis Banding : Komplikasi yang timbul bergantung pada usia kehamilan
1. Infeksi maternal korioamnionitis dan neonatal
-7162.
3.
4.
5.
Persalinan prematur
Hipoksia karena kompresi tali pusat
Deformitas janin
Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagal persalinan
normal.
-717Kriteria rujukan
Ibu hamil dengan keadaan ketuban pecah dini merupakan kriteria
rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder.
Peralatan
1. Inspekulo
2. Kertas lakmus (Nitrazin test)
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin
Prognosis
Prognosis Ibu
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Prognosis Janin
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad Bonam
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 677-680. (Prawirohardjo, et al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
No. ICPC-2
`
Masalah Kesehatan
Persalinan lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18-24
jam sejak dimulai dari tanda-tanda persalinan.
Etiologi:
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam
4. Disporsi fetopelvik
5. Malpresentasi dan malposisi
6. Deformitas panggul karena trauma atau polio
7. Tumor daerah panggul
8. Infeksi virus di perut atau uterus
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita)
Hasil Anamnesis(Subjective)
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan Kala 1 atau Kala 2
dengan status: kelainan pembukaan serviks atau partus macet.
Faktor Risiko:
(Po, Pa, Paatau gabungan 3 P )
1. Power
-719c.
d.
e.
f.
g.
h.
1. Persalinan Lama
a. Nulipara:
Kemajuan pembukaan (dilatasi) serviks pada
fase aktif< 1,2 cm/jam
Kemajuan turunnya bagian terendah < 1 cm/jam
b. Multipara:
Kemajuan pembukaan (dilatasi) serviks pada
fase aktif<1,5 cm/jam
Kemajuan turunnya bagian terendah <2 cm/jam
2. Persalinan Macet
a. Nulipara :
Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam )
Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 jam
Tidak ada penurunan bagian terendah > 1 jam
Kegagalan penurunan bagian terendah (Tidak
penurunan pada fase deselerasi atau kala 2)
b. Multipara:
Fase deselerasi memanjang > 1 jam
Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 jam
Tidak ada penurunan bagian terendah > 1 jam
Kegagalan penurunan bagian terendah (Tidak
penurunan pada fase deselerasi atau kala 2)
ada
ada
-720Faktor Penyebab
1. His tidak efisien (in adekuat)
2. Faktor janin (malpresentasi, malposisi, janin besar)
3. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor)
Faktor Predisposisi
1. Paritas dan interval kelahiran
2. Ketuban pecah dini
Pemeriksaan penunjang :
1. Partograf
2. Doppler
3. Urin
4. Darah tepi lengkap
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Distosia pada kala I fase aktif:
Grafik pembukaan serviks pada partograf berada di antara garis
waspada dan garis bertindak, atau sudah memotong garis bertindak,
atau
Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
Tidak ada kemajuan penurunan bagian terendah janin pada
persalinan kala II. Dengan batasan waktu:
Maksimal 2 jam untuk nullipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU
Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila
pasien menggunakan analgesia epidural
Diagnosis Banding : Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Motivasi pasien dalam proses persalinan dan informasikan rencana
persalinan sesuai dengan perkembangan pasien.
Penatalaksanaa umum
Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki pelayanan seksio
sesarea
-721Penatalaksanaan khusus
1. Tentukan sebab terjadinya persalinan lama
a. Power: his tidak adekuat (his dengan frekuensi <3x/10 menit
dan durasi tiap kontraksinya < 40 detik).
b. Passenger: malpresentasi, malposisi, janin besar
c. Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor
jalan lahir
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab dan situasi. Prinsip
umum:
a. Lakukan augmentasi persalinan denga oksitosin dan atau
amniotomi bila terdapat gangguan power. Pastikan tidak ada
gangguan passenger atau passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep, vakum, atau seksio sesarea)
untuk gangguan passenger dan atau passage, serta untuk
gangguan power yang tidak dapat diatasi dengan augmentasi
persalinan.
c. Jika ditemukan obstruksi atau CPD, tatalaksana adalah seksio
cesarea.
3. Berikan antibiotik (kombinasi ampicilin 2 g IV tiap 6 jam dan
gentamisin 5mg/kgBB tiap 24 jam) jika ditemukan:
a. Tanda-tanda infeksi (demam, cairan pervaginam berbau)
b. Atau ketuban pecah lebih dari 18 jam
c. Usia kehamilan 37 minggu
4. Pantau tanda gawat janin
5. Catat hasil analisis dan seluruh tindakan dalam rekam medis lalu
jelaskan pada ibu dan keluarga hasil analisis serta rencana
tindakan.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan : Komplikasi:
Infeksi intrapartum, Ruptura uteri, Pembentukan fistula, Cedera otototot dasar panggul, Kaput suksedaneum, Molase kepala janin,
Kematian ibu dan anak.
Konseling dan Edukasi
Dibutuhkan dukungan dari suami pasien. Pendekatan yang dilakukan
kepada keluarga sehubungan dengan proses penyembuhan penyakit
pasien maupun pencegahan penularan atau relaps penyakit ini.
Nulipara
Multipara
Kelainan
pembukaan
serviks
- Kemajuan
pembukaan
(dilatasi) serviks
pada fase aktif
- Kemajuan
turunnya bagian
terendah
Partus macet
- Fase
deselerasi
memanjang
- Terhentinya
pembukaan
(dilatasi)
- Terhentinya
penurunan
bagian terendah
- Kegagalan
penurunan
bagian terendah
< 1,2
cm/jam
< 1 cm/jam
Tindakan
Terapi di Rumah
Sakit
- Dukungan dan
terapi
ekspektatif
- Seksio sesarea
bila CPD atau
obstruksi
R
U
> 3 jam
> 2 jam
> 1 jam
Tidak ada
penurunan
pada fase
deselerasi
atau kala 2
> 1 jam
> 2 jam
> 1 jam
Tidak ada
penurunan
pada fase
deselerasi atau
kala 2
J
U
K
- Infus oksitosin,
bila tak ada
kemajuan,
lakukan seksio
sesarea
- Seksio sesarea
bila CPD atau
obstruksi
Kriteria rujukan
Apabila tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan tingkat pertama
atau apabila level kompetensi SKDI dengan kriteria merujuk (<3B)
Prognosis
Prognosis untuk ad vitam adalah dubia ad bonam, namun ad
fungsionam dan sanationam adalah dubia ad malam.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
-724Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 6873% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua
minggu setelah bayi lahir.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan dan gejala utama
1. Perdarahan setelah melahirkan
2. Lemah
3. Limbung
4. Berkeringatdingin
5. Menggigil
6. Pucat
Faktor Risiko
Perdarahan post partum merupakan komplikasi dari 5-8% kasus
persalinan pervaginam dan 6% dari kasus SC.
1. Faktor risiko prenatal:
a. Perdarahan sebelum persalinan
b. Solusio plasenta
c. Plasenta previa
d. Kehamilan ganda
e. Preeklampsia
f. Khorioamnionitis
g. Hidramnion
h. IUFD
i. Anemia (Hb< 5,8)
j. Multiparitas
k. Mioma dalam kehamilan
l. Gangguan faktor pembekuan dan
m. Riwayat perdarahan sebelumnya serta obesitas
2. Faktor risiko saat persalinan pervaginam:
a. Kala tiga yang memanjang
b. Episiotomi
c. Distosia
d. Laserasi jaringan lunak
e. Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin
f. Persalinan dengan bantuan alat (forseps atau vakum)
g. Sisa plasenta, dan bayi besar (>4000 gram)
3. Faktor risiko perdarahan setelah SC :
a. Insisi uterus klasik
b. Amnionitis
-725c.
d.
e.
f.
Preeklampsia
Persalinan abnormal
Anestesia umum
Partus preterm dan postterm
1.
2.
4.
5.
Penyebab yang
harus dipikirkan
Atonia Uteri
Robekan Jalan
Lahir
Retensio Plasenta
Sisa Plasenta
Ruptura Uteri
-727No
6.
7.
Penyebab yang
harus dipikirkan
Inversio uteri
Gangguan
pembekuan darah
Frekuensi
Nadi
Perfusi
Akral
Volume
Perdarahan
(% dari
volume total
darah)
120
80x/mnt
Hangat
<10%
<600 ml (asumsi
berat badan 60 kg)
100
100x/mnt
Pucat
15%
900 ml
2000-3000 ml
<90
>120x/mnt
Dingin
30%
1800 ml
3500-5500 ml
<60-70
>140x/mnt
hingga tak
teraba
Basah
50%
3000 ml
6000-9000 ml
Penilaian Klinis
Tekanan
Darah
Sistolik
(mmHg)
Perkiraan
Kehilangan Darah
(ml) (volume darah
maternal
100ml/kgBB)
Jumlah Cairan
Infus
Kristaloid
Pengganti (2-3
x Jumlah
Kehilangan
Darah)
-729Penatalaksanaan Lanjutan :
1. Atonia uteri
a. Lakukan pemijatan uterus.
b. Pastikan plasenta lahir lengkap.
c. Berikan 20-40 unit Oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9%/ Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10
unit IM.
d. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutanNaCl
0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga
perdarahan berhenti.
e. Bila tidak tersedia Oksitosin atau bila perdarahan tidak
berhenti, berikan Ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat
diikuti pemberian 0,2 mg IM setelah 15 menit, danpemberian
0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan. Jangan
berikan lebih dari 5 dosis (1 mg).
f. Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit).
g. Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual
internal selama 5 menit.
h. Siapkan rujukanke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
sebagai antisipasi bila perdarahan tidak berhenti.
Perlu Diingat :
Jangan berikan lebih
mengandung oksitosin.
dari
liter
larutan
intravena
yang
-730-
-732Kriteria Rujukan
1. Pada kasus perdarahan pervaginam > 500 ml setelah persalinan
berpotensi mengakibatkan syok dan merupakan indikasi rujukan.
2. Penanganan
kegawatdaruratan
sebelum
merujuk
dan
mempertahankan ibu dalam keadaan stabil selama proses rujukan
merupakan hal penting diperhatikan.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutindan
golongan darah.
2. Inspekulo
3. USG
4. Sarung tangan steril
5. Hecting set
6. Benang catgut
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung dari jumlah
perdarahan dan kecepatan penatalaksanaan yang di lakukan.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 522-529. (Prawirohardjo, et al., 2010)
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
Masalah Kesehatan
Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang
terjadi pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85%
wanita yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur perineum
spontan, yang 60%- 70% di antaranya membutuhkan penjahitan
(Sleep dkk, 1984; McCandlish dkk,1998). Angka morbiditas meningkat
seiring dengan peningkatan derajat ruptur.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala Klinis
Perdarahan pervaginam
Etiologi dan Faktor Risiko
Ruptur perineum umumnya terjadi pada persalinan, dimana:
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
5. Partus pervaginam dengan tindakan
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum.
Tabel 14.13: Faktor resiko rupture perineum
Faktor risiko ruptur perineum
Known risk factors
Nulipara
Makrosomia
Persalinan dengan instrumen terutama
forsep
Malpresentasi
Malposisi seperti oksiput posterior
Distosia bahu
Riptur perineum sebelumnya
Lingkar kepala yang lebih besar
-735-
-7362. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan
lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam
tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar
panggul karena diregangkan terlalu lama.
Medikamentosa
1. Penatalaksanaan farmakologis
Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan
intravena sebelum perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum
yang berat).
2. Manajemen Ruptur Perineum:
a. Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan jalan lahir
Retractor Weislanders
Forceps gigi (fine & strong)
Needle holder (small and large)
Forceps Allis (4)
Forceps arteri (6)
Gunting Mitzembaum
Gunting pemotong jahitan
Spekulum Sims
Retraktor dinding samping dalam vagina
Forceps pemegang kasa
b. bahan-bahan yang diperlukan untuk perbaikan jalan lahir.
Tampon
Kapas besar
Povidon Iodine
Lidocain 1% (untuk ruptur perineumderajat I-II)
Benang catgut / Asam poliglikolik (Dexon, David&Geck Ltd, UK)
/ Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd, Edinburgh, UK)
Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko
perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk
masing-masing derajatnya, antara lain sebagai berikut :
Robekan perineum derajat 1
Robekan tingkat I mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidak
perlu dilakukan penjahitan.
Penjahitan robekan perineum derajat 2
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap Lignokain atau
obat-obatan sejenis
3.
4.
5.
6.
7.
8.
-738-
Lampu
Kassa steril
Sarung tangan steril
Hecting set
Benang jahit catgut
Laboratorium sederhana pemeriksaan darah rutin dan golongan
darah.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan
Ginekologi. Bina Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse,
D.J. Spong, C.Y. Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.
2009.(Cunningham, et al., 2009)
4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1 Jakarta: Yayasan
Bina Sarwono Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6 (Prawirohardjo, et
al., 2010).
-74211. MASTITIS
No. ICPC-2
: X21 Breast symptom/complaint female other
No. ICD-10
: N61 Inflammatory disorders of breast
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi biasanya pada
masa nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan.
Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu menyusui dan lebih kurang
10% kasus mastitis akan berkembang menjadi abses (nanah), dengan
gejala yang makin berat.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Nyeri dan bengkak pada daerah payudara, biasa pada salah satu
payudara
2. Adanya demam >380 C
3. Paling sering terjadi di minggu ke 3 - 4 postpartum
Gejala klinis
1. Demam disertai menggigil
2. Dapat disertai demam > 380C
3. Mialgia
4. Nyeri didaerah payudara
5. Sering terjadi di minggu ke3 dan ke4 postpartum, namun dapat
terjadi kapan saja selama menyusui
Faktor Risiko
1. Primipara
2. Stress
3. Tehnik menyusui yang tidak benar, sehingga proses pengosongan
payudara tidak terjadi dengan baik. (menyusui hanya pada satu
posisi)
4. Penghisapan bayi yang kurang kuat, dapat menyebabkan statis
dan obstruksi kelenjar payudara.
5. Pemakaian bra yang terlalu ketat
6. Bentuk mulut bayi yang abnormal (ex: cleft lip or palate), dapat
menimbulkan trauma pada puting susu.
7. Terdapat luka pada payudara.
8. Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui.
di
tegakkan
dengan
anamnesa
dan
-744Komplikasi:
1. Abses mammae
2. Sepsis
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan pengetahuan akan pentingnya ASI dan mendorong
ibu untuk tetap menyusui,
2. Menyusui dapat dimulai dengan payudara yang tidak sakit.
3. Pompa payudara dapat di lakukan pada payudara yang sakit jika
belum kosong setelah bayi menyusui.
4. Ibu dapat melakukan kompres dingin untuk mengurangi bengkak
dan nyeri.
5. Ibu harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk
menghindari infeksi yang tidak diinginkan.
Peralatan
1.
2.
3.
4.
Lampu
Kasa steril
Sarung tangan steril
Bisturi
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan sepsis.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 380, 652-653(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
Masalah Kesehatan
Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada beberapa kasus seorang
ibu merasa putingnya datar atau terlalu pendek akan menemui
kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa berdampak bayi tidak
bisa menerima ASI dengan baik dan cukup.
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul kembali bila di stimulasi,
namun pada kasus-kasus lainnya, retraksi ini menetap.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi
2. Puting susu tertarik
3. Bayi sulit untuk menyusui
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Adanya puting susu yang datar atau tenggelam dan bayi sulit
menyusui pada ibu.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
tidak memerlukan pemeriksaan penunjang.
ibu
menjadi
demam
dan
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010. 379
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen
Laktasi. Jakarta.
4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/manajemenlaktasi.html. 2014
Masalah Kesehatan
Nyeri pada puting merupakan masalah yang sering ditemukan pada
ibu menyusui dan menjadi salah satu penyebab ibu memilih untuk
berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan sekitar 80-90% ibu
menyusui mengalami nipple pain dan 26% di antaranya mengalami
lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple crack. Kerusakan
pada puting mungkin terjadi karena trauma pada puting akibat cara
menyusui yang salah.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri bertambah jika menyusui
bayi.
Penyebab
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang salah atau perawatan
yang tidak benar pada payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan
lecet.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik didapatkan :
1. Nyeri pada daerah putting susu
2. Lecet pada daerah putting susu
-749-
ibu
menjadi
demam
dan
Posisi menyusui
yang tidak benar
1. Leher bayi terputar
dan cenderung ke
depan
2. Badan bayi menjauh
dari ibu
3. Badan bayi tidak
menghadap ke badan
ibu
4. Hanya leher dan
kepala tersanggah
5. Tidak ada kontak
mata anatara ibu dan
bayi
6. C Hold tetap
dipertahankan
Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang mengakibatkan abses
payudara
Prognosis
-751-
O. PENYAKIT KELAMIN
1. FLUOR ALBUS / VAGINAL DISCHARGE NON GONORE
: X14 vaginal discharge
X71 gonore pada wanita
X72 urogenital candidiasis pada wanita
X73 trikomoniasis urogenital pada wanita
X92 klamidia genital pada wanita
No. ICD-10
: N98.9
Tingkat Kemampuan 4A
No. ICPC-2
Masalah Kesehatan
Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh dari vagina secara
fisiologis yang mengalami perubahan sesuai dengan siklus menstruasi
berupa cairan kental dan lengket pada seluruh siklus namun lebih
cair dan bening ketika terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila
duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada saat stres, kehamilan
atau aktivitas seksual. Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi
perubahan-perubahan pada warna, konsistensi, volume, dan baunya.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Biasanya terjadi pada daerah genitalia wanita yang berusia di atas 12
tahun, ditandai dengan adanya perubahan pada duh tubuh disertai
salah satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, disuria, nyeri panggul,
perdarahan antar menstruasi atau perdarahan paska-koitus.
-752Faktor Risiko
Terdapat riwayat koitus dengan pasangan yang dicurigai menularkan
penyakit menular seksual.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
Penyebab discharge terbagi menjadi masalah infeksi dan non infeksi.
Masalah non infeksi dapat karena benda asing, peradangan akibat
alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau prolaps uteri,
sedangkan masalah infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau
virus seperti berikut ini:
1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh Candida albicans, duh
tubuh tidak berbau, pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan eritema
satelit di luar vagina
2. Vaginosis bakterial (pertumbuhan bakteri anaerob, biasanya
Gardnerella vaginalis), memperlihatkan adanya duh putih atau
abu-abu yang melekat di sepanjang dinding vagina dan vulva,
berbau amis dengan pH >4,5.
3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia, dengan gejala inflamasi
serviks yang mudah berdarah dan disertai duh mukopurulen
4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik, kalau bergejala, tampak
duh kuning kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH >4,5.
5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang disebabkan oleh chlamydia,
ditandai dengan nyeri abdomen bawah, dengan atau tanpa
demam. Servisitis bisa ditandai dengan kekakuan adneksa dan
serviks pada nyeri angkat palpasi bimanual.
6. Liken planus
7. Gonore
8. Infeksi menular seksual lainnya
9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon atau kondom yang
terlupa diangkat)
Periksa klinis dengan seksama untuk menyingkirkan adanya kelainan
patologis yang lebih serius.
Pemeriksaan Penunjang
Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak terlalu berarti untuk
diperiksa, kecuali pada keadaan keraguan menegakkan diagnosis,
gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada saat kehamilan,
postpartum, postaborsi dan postinstrumentation.
-755Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk pasangan
2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman gonore
3. Adanya arah kegagalan pengobatan
Peralatan
1.
2.
3.
4.
Ginecology bed
Spekulum vagina
Lampu
Kertas lakmus
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam.
Faktor-faktor yang menentukan prognosis, antara lain:
1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala radang panggul
2. Prognosis lebih baik apabila mampu memelihara kebersihan diri
(hindari penggunaan antiseptik vagina yang malah membuat iritasi
dinding vagina)
Referensi
1. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical
Guidance 2012: Management of vaginal discharge in nongenitourinary medicine settings. England: Clinical Effectiveness
Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual and
Reproductive Healthcare, 2012)
2. World Health Organization. 2005.Sexually transmitted and other
reproductive tract infection. A guide to essential practice. WHO
Library Cataloguing in Publication Data.
(World Health
Organization, 2005)
-7562. SIFILIS
No. ICPC-2
-757Faktor Risiko:
1. Berganti-ganti pasangan seksual.
2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK).
3. Bayi dengan ibu menderita sifilis.
4. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom).
5. Sifilis kardiovaskular terjadi tiga kali lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita setelah 1530 tahun setelah infeksi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Stadium I (sifilis primer)
Diawali dengan papul lentikuler yang permukaannya segera erosi dan
menjadi ulkus berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak bergaung
dan berdasarkan eritem dan bersih, di atasnya hanya serum.Ulkus
khas indolen dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus durum.
Ulkus durum merupakan afek primer sifilis yang akan sembuh sendiri
dalam 3-10 minggu.
Tempat predileksi
1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus koronarius, wanita di
labia minor dan mayor.
2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus.
Seminggu setelah afek primer, terdapat pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) regional yang soliter, indolen, tidak lunak, besarnya
lentikular, tidak supuratif dan tidak terdapat periadenitis di ingunalis
medialis.
Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut dengan kompleks primer.
Bila sifilis tidak memiliki afek primer, disebut sebagai syphilis
dembiee.
Stadium II (sifilis sekunder)
S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I terjadi. Stadium ini
merupakan great imitator. Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB,
mata, hepar, tulang dan saraf.
Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat menular maupun
kering (kurang menular).
Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu lesi tidak gatal dan terdapat
limfadenitis generalisata.
S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya adalah:
-758S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik dan lebih cepat hilang
(beberapa hari beberapa minggu), sedangkan S II lanjut tampak
setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa minggu
beberapa bulan).
Bentuk lesi pada S II yaitu:
1. Roseola sifilitika: eritema makular, berbintik-bintik, atau
berbercak-bercak, warna tembaga dengan bentuk bulat atau
lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat menimbulkan kerontokan
rambut, bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Bila
S II lanjut pada rambut, kerontokan tampak setempat,
membentuk bercak-bercak yang disebut alopesia areolaris.
Lesi menghilang dalam beberapa hari/minggu, bila residif akan
berkelompok dan bertahan lebih lama. Bekas lesi akan menghilang
atau meninggalkan hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum).
2. Papul
Bentuk ini paling sering terlihat pada S II, kadang bersama-sama
dengan roseola. Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau
folikular, serta dapat berskuama (papulo-skuamosa) seperti
psoriasis (psoriasiformis) dan dapat meninggalkan bercak
leukoderma sifilitikum.
Pada S II dini, papul generalisata dan S II lanjut menjadi setempat
dan tersusun secara tertentu (susunan arsinar atau sirsinar yang
disebut dengan korona venerik, susunan polikistik dan
korimbiformis).
Tempat predileksi papul: sudut mulut, ketiak, di bawah mammae,
dan alat genital.
3. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma lata berupa papul
lentikular, permukaan datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif
dan eksudatif yang sangat menular akibat gesekan kulit.
Tempat predileksi kondiloma lata: lipat paha, skrotum, vulva,
perianal, di bawah mammae dan antar jari kaki.
4. Pustul
Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti demam intermiten.
Kelainan ini disebut sifilis variseliformis.
5. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip dengan impetigo atau
disebut juga sifilis impetiginosa. Kelainan dapat membentuk
berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang disebut dengan ektima
sifilitikum. Bila krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan bila
ulkus meluas ke perifer membentuk kulit kerang disebut sifilis
ostrasea.
-760Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan T. pallidum pada
sediaan serum dari lesi kulit. Pemeriksaan dilakukan tiga hari
berturut-turut jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah diambil
serum dari lesi, lesi dikompres dengan larutan garam fisiologis.
Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu:
1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain VDRL (Venereal Disease
Research
Laboratories),
TPHA
(Treponemal
pallidum
Haemoglutination Assay), dan tes imunofluoresens (Fluorescent
Treponemal Antibody Absorption Test FTA-Abs)
2. Histopatologi dan imunologi.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
Klasifikasi
1. Sifilis kongenital
a. Dini (prekoks): bentuk ini menular, berupa bula bergerombol,
simetris di tangan dan kaki atau di badan. Bentuk ini terjadi
sebelum 2 tahun dan disebut juga pemfigus sifilitika. Bentuk
lain adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi tampak seperti
orang tua, berat badan turun dan kulit keriput. Keluhan di
organ lainnya dapat terjadi.
b. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak menular, terjadi sesudah 2
tahun dengan bentuk guma di berbagai organ.
c. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas dan jaringan parut.
Pada lesi dini dapat:
Pada wajah: hidung membentuk saddle nose (depresi pada
jembatan hidung) dan bulldog jaw (maksila lebih kecil daripada
mandibula).
Pada gigi membentuk gigi Hutchinson (pada gigi insisi
permanen berupa sisi gigi konveks dan bagian menggigit
konkaf). Gigi molar pertama permulaannya berbintil-bintil
(mulberry molar).
Jaringan parut pada sudut mulut yang disebut regades.
Kelainan permanen lainnya di fundus okuli akibat
koroidoretinitis dan pada kuku akibat onikia.
Pada lesi lanjut:
-762Diagnosis Banding
Diagnosis banding bergantung pada stadium apa pasien tersebut
terdiagnosis.
1. Stadium 1: Herpes simpleks, Ulkus piogenik, Skabies, Balanitis,
Limfogranuloma venereum, Karsinoma sel skuamosa, Penyakit
Behcet, Ulkus mole
2. Stadium II: Erupsi alergi obat, Morbili, Pitiriasis rosea, Psoriasis,
Dermatitis seboroik, Kondiloma akuminata, Alopesia aerata
3. Stadium III: Tuberkulosis, Frambusia, Mikosis profunda
Komplikasi: Eritroderma
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat diobati dengan regimen
penisilin atau dapat menggunakan Ampisilin, Amoksisilin, atau
Seftriakson mungkin juga efektif.
2. Pengobatanprofilaksis harus diberikan pada pasangan pasien,
namun sebaiknya diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, tanpa
memandang serologi.
3. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui dan diobati
4. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain yang ditularkan secara
seksual (sexually transmitted diseases/STD), termasuk HIV, harus
dilakukan pada semua penderita.
Pada sifilis dengan kehamilan untuk wanita berisiko tinggi, uji
serologis rutin harus dilakukan sebelum trimester pertama dan awal
trimester ketiga serta pada persalinan.
Bila tanda-tanda klinis atau serologis memberi kesan infeksi aktif atau
diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan pasti disingkirkan, maka
indikasiuntuk pengobatan.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
Konseling dan Edukasi
1. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta
penatalaksanaan di tingkat rujukan.
2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual
selama penyakit belum tuntas diobati
-763Kriteria Rujukan
Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis kulit dan kelamin.
Peralatan :Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin.Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.Andrews Diseases of
the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011. Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
3. GONORE
No. ICPC-2
: X71 Gonorrhoea female, Y71 Gonorrhoea male
No. ICD-10
: A54.9 Gonococcal infection, unspecified
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae. Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS)
yang memiliki insidensi tinggi.Cara penularan gonore terutama
melalui genitor-genital, orogenital dan ano-genital, namun dapat pula
melalui alat mandi, termometer dan sebagainya (gonore genital dan
ekstragenital). Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah mukosa
vagina wanita sebelum pubertas.
-764-
Keluhan
Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi pada organ genital
yang terkena.
Pada pria, keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala
oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul dengan
polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uretra yang
disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan nyeri saat
ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual.
diawali
disuria,
kadang
terjadi
Asendens
funikulitis,
vasdeferentitis,
Pada wanita
Lokal
: parauretritis, bartolinitis.
Asendens
Disseminata : Arthritis,
miokarditis,
meningitis, dermatitis.
endokarditis,
perkarditis,
Senter
Lup
Sarung tangan
Alat pemeriksaan in spekulo
Kursi periksa genital
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram
Prognosis
Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa,
menimbulkan
gangguan
fungsi
terutama
namun
bila
dapat
terjadi
4. VAGINITIS
No. ICPC-2
: X84 Vaginitis
No. ICD-10
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang ditandai dengan
adanya pruritus, keputihan, dispareunia, dan disuria. Penyebab
vaginitis:
1. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella Vaginalis adalah bakteri
anaerob yang bertanggung jawab atas terjadinya infeksi vagina
yang non-spesifik, insidennya terjadi sekitar 23,6%).
2. Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,1-20%).
3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan penyebab tersering
peradangan pada vagina yang terjadi pada wanita hamil,
insidennya berkisar antara 15-42%).
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai.
Gejala klinis
1. Bau
2. Gatal (pruritus)
3. Keputihan
4. Dispareunia
-7685. Disuria
Faktor Risiko
1. Pemakai AKDR
2. Penggunaan handuk bersamaan
3. Imunosupresi
4. Diabetes melitus
5. Perubahan hormonal (misal : kehamilan)
6. Penggunaan terapi antibiotik spektrum luas
7. Obesitas.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya iritasi, eritema atau
edema pada vulva dan vagina. Mungkin serviks juga dapat tampak
eritematous.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan mikroskopik cairan atau sekret vagina.
2. Pemeriksaan pH cairan vagina.
3. Pemeriksaan uji whiff: Jika positif berarti mengeluarkan
mengeluarkan bau seperti anyir (amis) pada waktu ditambahkan
larutan KOH.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Vaginitis harus dicari penyebabnya, dengan menilai perbedaan tanda
dan gejala dari masing-masing penyebab, dapat pula dengan menilai
secara mikroskopik cairan vagina.
-769Tabel 15.1
Kriteria
diagnostik
pH Vagina
Vaginosis
Trikomoniasis
> 4,5
Vulvovaginitis
Kandida
>4,5 (usually)
Kuning-hijau,
berbuih,
lengket, tambah
banyak
Putih
seperti
keju,kadangkadang tambah
banyak.
cairan Vagina
Putih,
halus
Uji whiff
Tipis, homogen,
putih, abu-abu,
lengket,
sering
kali
bertambah
banyak
+
Tidak ada
Ada
Mungkin ada
Tidak ada
Tidak ada
Keputihan,
bau
busuk (mungkin
tambah
tidak
enak
setelah
senggama),
kemungkinan
gatal
Clue cell dengan
bakteri kokoid
yang melekat,
tidak ada leukosit
Keputihan
berbuih,
bau
busuk, pruritus
vulva, disuria
Gatal/panas,
keputihan
Trikomonas,
leukosit > 10
lapangan
pandangan luas
Kuncup jamur,
hifa, pseudohifa
(preparat basah
dengan KOH)
Bau
(KOH)
KU
amis
Pemeriksaan
mikroskopik
jernih,
Vaginosis
Bakterialis
> 4,5
Laktobasili,
sel-sel epitel
Diagnosis Banding
Vaginosis bakterialis, Vaginosis trikomonas, Vulvovaginitis kandida
Komplikasi: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Menjaga kebersihan diri terutama daerah vagina
2. Hindari pemakaian handuk secara bersamaan
3. Hindari pemakaian sabun untuk membersihkan daerah vagina
yang dapat menggeser jumlah flora normal dan dapat merubah
kondisi pH daerah kewanitaan tersebut.
4. Jaga berat badan ideal
5. Farmakologis:
a. Tatalaksana vaginosis bakterialis
Metronidazol 500 mg peroral 2 x sehari selama 7 hari
Metronidazol pervagina 2 x sehari selama 5 hari
Krim klindamisin 2% pervagina 1 x sehari selama 7 hari
b. Tatalaksana vaginosis trikomonas
-7715. VULVITIS
No. ICPC-2
: X84Vaginitis/Vulvitis
No. ICD-10
: N76.0 Acute Vaginitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Bagi setiap wanita selain masalah keputihan, adapun masalah sering
dihadapi adalah vaginitis dan vulvitis. Vulvitis adalah suatu
peradangan pada vulva (organ kelamin luar wanita),sedangkan
vulvovaginitis adalah peradangan pada vulva dan vagina. Gejala yang
paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari
vagina, dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak serta
baunya menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri.
Penyebab :
1. Alergi, khususnya sabun, kertas toilet berwarna, semprotan
vagina, deterjen, gelembung mandi, atau wewangian
2. Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau eksim
3. Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis jamur dan bakteri
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan kental dari
kemaluan yang berbau.
Gejala Klinis:
1. Rasa terbakar di daerah kemaluan
2. Gatal
3. Kemerahan dan iritasi
4. Keputihan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dari inspeksi daerah genital didapati kulit vulva yang menebal dan
kemerahan, dapat ditemukan juga lesi di sekitar vulva. Adanya cairan
kental dan berbau yang keluar dari vagina.
Pemeriksaan Penunjang : -
-773Penjelasan 1
simultan
CARI BANTUAN !
Hubungi 118 (ambulans)
atau RS terdekat
EPINEFRIN !
Segera injeksikan Epinefrin IM pada
mid-anterolateral paha.
Dosis 0,01 mg/kgBB (sediaan ampul
1mg/ml); maksimal pada dewasa 0,5
mg, maksimal pada anak 0,3 mg.
ELEVASI !
Telentangkan pasien dengan tungkai
bawah dielevasi. Posisi pemulihan bila
terjadi distres atau pasien muntah.
JANGAN BIARKAN PASIEN DUDUK
ATAU BERDIRI!
OBSERVASI !
Ulangi Epinefrin 5 15 menit
kemudian bila belum ada perbaikan
OKSIGEN !
Bila ada indikasi, beri
Oksigen 6 8 liter / menit
dengan sungkup muka atau
oro-pharyngeal airway
(OPA).
INTRAVENA !
Pasang infus (dengan jarum ukuran 14
16 gauge). Bila syok, berikan NaCl
0,9% 1 2 liter secara cepat (pada 5
10 menit pertama, dapat diberikan 5
10 ml/kgBB untuk dewasa dan 10
ml/kgBB untuk anak)
RJP !
Di setiap saat, apabila perlu, lakukan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan
kompresi jantung yang kontiniu
(Dewasa: 100 120 x/menit,
kedalaman 5 6 cm. Anak: 100
x/menit, kedalaman 4 5 cm).
MONITOR !
Nilai dan catat TANDA VITAL, STATUS MENTAL, dan OKSIGENASI setiap 5 15 menit sesuai kondisi
pasien.
Observasi 1 3 x 24 jam atau rujuk ke RS terdekat.
TERAPI TAMBAHAN
Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan
asma
o Methyl prednisolone 125 250 mg IV
o Dexamethasone 20 mg IV
o Hydrocortisone 100 500 mg IV pelan
Inhalasi short acting 2-agonist pada bronkospasme berat
Vasopressor IV
Antihistamin IV
Bila keadaan stabil, dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin
RINOSINUSITIS AKUT
Common cold
Terapi simtomatik
Analgetik
Irigasi nasal dengan salin
Dekongestan
Severitas
sedang
Gejala / tanda
infeksi bakterial
(-)
Severitas berat
Gejala / tanda
infeksi bakteri
(+)**
RSA bakterial
+ KS* topikal
+ antibiotik
+ KS topikal
Rujuk segera !
Edema / eritema periorbital
Perubahan posisi bola mata
Diplopia
Oftalmoplegia
Penurunan visus
Sefalgia frontal uni/bilateral
hebat
Pembengkakan area frontal
Tanda meningitis
Lanjutkan
terapi hingga 7
14 hari
10 hari
Perbaikan (+)
Perbaikan
(+)
Perbaikan
(-)
Perbaikan (-)
14 hari
Perbaikan
(+)
48 jam
Perbaikan
(-)
Rujuk ke
SpTHT
* KS = Kortikosteroid
** Tanda infeksi bakteri: sekret purulen, nyeri wajah berat, suhu > 38oC, peningkatan LED / CRP, double sickening
RINOSINUSITIS KRONIS
KS topikal
Irigasi nasal dengan salin
Perbaikan
(+)
Perbaikan
(-)
Lanjutkan
terapi
Rujuk ke
SpTHT
Gejala unilateral
Epistaksis
Crusting
Kakosmia
Rujuk segera !
Edema / eritema periorbital
Perubahan posisi bola mata
Diplopia
Oftalmoplegia
Penurunan visus
Sefalgia frontal uni/bilateral hebat
Pembengkakan area frontal
Tanda meningitis
Kelainan neurologis fokal
-776-
Penjelasan 4.
Rangkuman pilihan terapi medikamentosa untuk kasus rinosinusitis
Dosis
Dewasa
-
Anak
-
Oxymetazoline
0,05% nasal
spray
2 x 2 spray sehari,
di
tiap
rongga
hidung
2 x 2 spray sehari,
di
tiap
rongga
hidung
Dekongestan
sistemik (per
oral)
Pseudoefedrin
4 x 60 mg / hari
Usia 2 tahun:
4 mg/kgBB/hari,
dibagi 4 dosis per
hari
Usia < 2 tahun:
belum ada data
efikasi
dan
keamanan
Umumnya
pseudoefedrin
lepas
lambat
dikombinasikan
dengan zat aktif
lain
(antihistamin).
Analgetik
Paracetamol
1500 3000 mg /
hari, dibagi 3 4
dosis per hari
10
15
mg/kgBB/kali, 4
4 dosis per hari
Bila perlu
Mukolitik
BromhexinHCl
3 x 30 mg / hari
data
dan
Bila perlu
Guaiafenesin
4 x 100 400 mg
/ hari
data
dan
Bila perlu
Erdostein
2 3 x 300 mg /
hari
Belum
ada
efikasi
keamanan
Belum
ada
efikasi
keamanan
Belum
ada
efikasi
keamanan
data
dan
Bila perlu
Budesonide
1 4 spray/hari/
rongga hidung
Fluticasone
propionate
1 2 spray/hari/
rongga hidung
Golongan
Obat
Irigasi Nasal
Salin fisiologis
(NaCl 0,9%)
Dekongestan
topikal
Kortikosteroid
topikal
(intranasal)
Penggunaan
Sebagai ajuvan
2
spray/hari/rongga
hidung
Usia 12 tahun: 1
4
spray/hari/rongga
hidung
Usia
<
4
tahun: belum ada
data efikasi dan
keamanan
Usia
4
tahun:
1
2
spray/hari/rongga
-777Golongan
Antibiotik
Lini 1
Lini 2
Obat
Dosis
Dewasa
Triamcinolone
acetonide
1 2 spray/hari/
rongga hidung
Mometasone
furoate
2
spray/hari/rongga
hidung
Amoxicillin
3 x 500 mg / hari
TMP-SMX
2 x 160/800 mg /
hari
Eritromisin
4 x 500 mg / hari
Amoxicillin
Asam
Clavulanat
Ciprofloxacin
2 x 2000 mg /
hari
Levofloxacin
1 x 750 mg / hari
Azithromycin
1 x 500 mg / hari
(untuk
3
hari)
atau
2000 mg dosis
tunggal
2 x 500 mg / hari
Anak
hidung
Usia < 2 tahun:
belum ada data
efikasi
dan
keamanan
Usia 2 5 tahun: 1
spray/hari/rongga
hidung
Usia 6 tahun:
dosis dewasa
Usia < 2 tahun:
belum ada data
efikasi
dan
keamanan
Usia 2 12 tahun:
1
spray/hari/rongga
hidung
Usia 12 tahun:
dosis dewasa
25
50
mg/kgBB/hari,
3
dosis per hari
8
20
mg
TMP/kgBB/hari, 2
dosis per hari
50
100
mg/kgBB/hari,
4
dosis per hari
25
50
mg/kgBB/hari,
2
dosis per hari
Usia < 1 tahun:
belum ada data
efikasi
dan
keamanan
Usia 1 tahun:
10
20
mg/kgBB/hari, 2
dosis per hari
Belum
ada
data
efikasi
dan
keamanan
10 mg/kgBB/hari,
1 dosis per hari,
untuk 3 hari
Penggunaan
Selama 7 10
hari
Selama 7 10
hari
Selama 7 10
hari
Selama 7 10
hari
Selama 7 10
hari
Selama 7 10
hari
berat
Ketika
saya
jalan
mendaki/naik
tangga,
saya tidak sesak
Aktivitas
saya di
terbatas
sehari-hari
rumah tidak
Aktivitas sehar-hari
saya
di
rumah
sangat terbatas
Sakit perut
Sakit punggung
Tidak
terganggu
Sedikit
terganggu
(0)
(1)
T _____
= ______
Sangat terganggu
(2)
Untuk perempuan
d
Sakit kepala
Sakit dada
Pusing / pening
Pingsan
Jantung berdebar-debar
Sesak napas
Konstipasi, diare
lain
terkait
Gangguan tidur
Skor total
+ ______
Gangguan somatoform ditegakkan bila sedikitnya 3 poin dari komponen a hingga m tergolong
membuat pasien sangat terganggu dan tidak ditemukan penyebabnya secara medis.
Penjelasan 10
Somatoform
F45.0
-783Karakteristik Utama
Gangguan
Gangguan
somatisasi
F45.1
Gangguan
somatoform tak
terinci
F45.2
Gangguan
hipokondrik
F45.3
Disfungsi
otonomik
somatoform
F45.4
Gangguan nyeri
somatoform
menetap
F45.5
Gangguan
Masing-Masing
Gangguan
Karakteristik utama
Gejala fisik multipel, berulang, sering berubah-ubah
Sudah berlangsung 2 tahun
Pasien selalu tidak mau menerima nasihat dari
berbagai dokter yang menyatakan tidak ada kelainan
medis yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut
Terdapat hambatan dalam fungsi sosial dan keluarga
terkait sifat gejala dan dampaknya pada perilaku
pasien
Biasanya bermanifestasi sebelum usia 30 tahun dan
lebih sering pada wanita
Gejala fisik multipel, bervariasi, menetap
Namun tidak memenuhi kriteria yang khas dan
lengkap untuk gangguan somatisasi
Berlangsung 6 bulan, namun tidak selama
gangguan somatisasi
Keyakinan yang menetap bahwa pasien mengidap
sedikitnya satu penyakit serius sebagai penyebab
dari gejala-gejala fisik yang dialaminya
Termasuk dalam gangguan ini adalah:
preokupasi, bukan waham, menetap terhadap
adanya deformitas tubuh atau penampilan
(gangguan dismorfik tubuh)
ketakutan terhadap satu atau lebih penyakit
(nosofobia)
Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima
nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit yang
menandai gejala atau keluhan-keluhannya
Gejala-gejala
bangkitan
otonomik
(palpitasi,
berkeringat, tremor, muka panas) yang menetap dan
mengganggu
Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem
atau organ tertentu, namun tidak khas
Preokupasi dan distress terhadap kemungkinan
adanya gangguan yang serius dari sistem atau organ
tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil
pemeriksaan-pemeriksaan
berulang,
maupun
penjelasan dari para dokter
Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti
pada struktur / fungsi dari sistem atau organ yang
dimaksud
Nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya secara fisiologis
Nyeri berhubungan dengan konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat
dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya
gangguan
Dampak berupa meningkatnya perhatian dan
dukungan, baik personal maupun medis, untuk yang
bersangkutan
Keluhan-keluhan tidak melalui sistem saraf otonom
-784somatoform
lainnya
F45.6
Gangguan
somatoform YTT
-785BAB III
PENUTUP
Semoga dengan ditetapkan Panduan Praktik Klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat menjawab kebutuhan akan
standar pelayanan kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama, yang sesuai dengan permasalahan kesehatan saat ini di
Indonesia, dan menjadi acuan bagi dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan yang berkualitas. Harapan ke depan bahwa pelayanan
kesehatan
di Indonesia akan menjadi lebih baik sehingga kondisi
kesehatan masyarakat akan lebih meningkat.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
- 786 LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA
(Knows
How):
Pernah
melihat
atau
2012,
tingkat
kompetensi
kunci
b.
2.
3.
4.
5.
6.
- 791 BAB II
JENIS KETERAMPILAN DALAM PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS
A.
UNIVERSAL PRECAUTION
1.
jari
- 792 -
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Referensi
1. World Health Organization. WHO guidelines on Hand hygiene in health
care. First Global Patient Safety Challenge Clean Care is Safer Care.
2009.
2. Boyce JM, Pittet D. Guideline for hand hygiene in health-care settings,
recommendations of the healthcare infection control practices advisory
committee and the HICPAC/SHEA/APIC/IDSA hand hygiene task
force. MMWR 2002:51(16):19-31.
3. 3M Health Care. Recommendations from the CDC Guideline for Hand
Hygiene
in
Healthcare
Settings
[Internet].
Available
at:
http://www.cdc.gov/handhygiene/.
2.
Referensi
PROSES KONSULTASI
a. Membuka Sesi Konsultasi
1) Bangun sambung rasa dengan cara menyapa, bersalaman,
memperkenalkan diri dan mengkonfirmasi identitas dan
karakteristik pasien
2) Jelaskan tujuan sesi, meminta persetujuan pasien bila
diperlukan
3) Identifikasi masalah utama pasien atau hal yang ingin
dibicarakan pasien menggunakan pertanyaan pembuka yang
sesuai (misal:ada masalah apa? atau apa yang bisa saya
bantu? atau ada keluhan apa?)
4) Dengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakan
pasien tanpa memotong atau mengarahkan jawaban pasien.
5) Konfirmasi masalah yang ada dan menanyakan adakah
masalah lainnya (mis: jadi ada sakit kepala dan capek-capek,
ada lagi yang lain? atau apakah ada perubahan dengan
berat badan?, dan lain-lain)
b. Mengumpulkan Informasi
1) Dorong pasien menceritakan perjalanan penyakitnya
mulai awal sampai saat ini menggunakan kata-katanya
sendiri (menggali apa yang menyebabkan kedatangannya hari
ini)
2) Gunakan pertanyaan terbuka dan tertutup dengan tepat,
dimulai dengan pertanyaan terbuka dilanjutkan dengan
pertanyaan tertutup.
3) Dengarkan pasien dengan penuh perhatian, membiarkan
pasien menyelesaikan perkataannya tanpa diinterupsi,
memberikan waktu bagi pasien untuk berpikir sebelum
menjawab, atau meneruskan pembicaraan setelah jeda
sejenak.
4) Amati respon pasien secara verbal maupun non-verbal (mis:
mendorong pasien berbicara, memberikan kesempatan
kepada pasien untuk mengatur apa yang akan diutarakan,
melakukan refleksi isi, membuat interpretasi bahasa tubuh,
ucapan, ekspresi wajah)
5) Klarifikasi kembali pernyataan pasien bila kurang jelas atau
meminta penjelasan lebih lanjut (misalnya: bisa dijelaskan
apa yang dimaksud dengan kepala terasa melayang?)
6.
KONSELING
- 799 -
7.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
8.
5.
6.
7.
8.
- 801 Risiko dan manfaat dari tindakan medis atau tata laksana
yang diajukan termasuk rencana tindak lanjut dan antisipasi
kemungkinan terjadinya hal-hal di luar estimasi.
Alternatif pengobatan (harga pengobatan atau tindakan
tersebut, dibiayai oleh asuransi atau tidak, dll).
Risiko dan manfaat dari tindakan medis atau tata laksana
alternatif yang diajukan.
Risiko dan manfaat bila tidak menjalani atau menjalani
pengobatan atau tata laksana.
Penjelasan tersebut termasuk alasan mengapa akhirnya
diputuskan untuk tindakan medis tersebut termasuk
komplikasi yang mungkin timbul apabila tindakan tidak
dilakukan.
Memastikan bahwa pasien memahami penjelasan yang diberikan
dan menghargai keputusan yang dipilih pasien dan
pasangan/keluarganya.
Meminta tanda tangan pasien atau pasangan/keluarga sebagai
tanda persetujuan atau penolakan terhadap tindakan medis.
Mengucapkan terima kasih.
C.
GENERAL SURVEY
9.
PENILAIAN KESADARAN
- 802 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan penilaian kesadaran
Alat dan bahan: Teknik Pemeriksaan
Penilaian Kesadaran secara Kualitatif
A (Alert): pasien sadar
V (Verbal): penderita bereaksi terhadap rangsang bunyi
P (Pain): penderita bereaksi terhadap rangsang nyeri
U (Unresponsive): penderita tidak bereaksi
Penilaian Kesadaran secara Kuantitatif
Lakukan penilaian kesadaran pasien secara kuantitatif dengan
menggunakan skala koma glasgow (GCS) yang terdiri dari:
Eye (mata)
a. Nilai apakah pasien dapat membuka mata secara spontan.
b. Bila mata pasien tertutup, panggil namanya dan minta ia
membuka mata.
c. Bila pasien tidak merespon, rangsang dengan nyeri (dapat
dilakukan dengan menekan daerah sternum).
d. Nilai skornya.
Movement (gerakan)
a. Berikan pasien perintah untuk mengangkat tangan atau kakinya.
b. Bila pasien tidak berespon, gunakan rangsangan nyeri untuk
menilai respon gerakan pasien.
c. Nilai skornya.
Verbal
a. Minta pasien menyebutkan nama atau keberadaannya saat ini.
b. Bila pasien tidak merespon, saat pemeiksa memberiksan
rangsangan nyeri, nilai respon verbal pasien.
c. Nilai skornya.
Analisis Hasil Pemeriksaan
Penilaian tingkat kesadaran dengan skala koma Glasgow (GCS):
Eye (mata)
a. Membuka mata secara spontan tanpa rangsangan
b. Membuka mata setelah diperintahkan
:4
:3
c. Membuka mata setelah diberikan rangsangan nyeri : 2
d. Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri
:1
Movement (gerakan)
a. Dapat bergerak mengikuti perintah pemeriksa
:6
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Bila ada perbedaan antara kanan dan kiri, gunakan skor terbaik.
Verbal
a. Dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan
benar
b. Bingung, misalnya adanya disorientasi waktu
dan tempat
c. Hanya mampu menyebutkan kata, seperti aduh
d. Merespon dengan erangan
e. Tidak ada respon verbal saat diberi rangsangan
nyeri
:5
:4
:3
:2
:1
Referensi
1. Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China.
2. Duijnhoven & Belle 2009, Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination.
10.
b.
c.
d.
Spastic Hemiparesis
Postur ini berhubungan dengan lesi pada
traktus kortikospinal, seperti pada
stroke. Satu lengan tergantung kaku di
sisi tubuh dengan fleksi sendi siku,
pergelangan tangan dan interphalangs.
Tungkai lurus dengan plantar fleksi. Saat
berjalan pasien menyeret salah satu kaki
atau membuat gerakan kaku melingkar
saat berjalan maju (circumduction).
Gambar 2. Spastic hemiparesis
Berhubungan dengan parese spastis
bilateral dari tungkai, terlihat kaku. Saat
berjalan, paha cenderung menyilang
satu
sama
lain.
Langkah-langkah
singkat, pasien tampak berjalan seperti
menyeberang air.
e.
Cerebellar Ataxia
Berhubungan
dengan
penyakit
cerebellum atau traktus jaras yang
berhubungan. Postur goyah dan melebar
di bagian kaki. Saat berputar, pasien
mengalami kesulitan yang berlebihan.
Pasien tidak dapat berdiri seimbang baik
dengan mata terbuka maupun tertutup.
f.
Parkinsonian Gait
Berhubungan dengan defek ganglia basal
pada
penyakit
parkinson.
Postur
bungkuk, kepala dan leher ke depan,
pinggul dan lutut sedikit fleksi. Lengan
fleksi pada siku dan pergelangan tangan.
Pasien lambat dalam memulai langkah.
Langkah-langkah pendek dan menyeret.
Ayunan lengan berkurang dan kaku saat
berbalik.
Gambar 6. Parkinsonian Gait
Gait of Older Age
Merupakan proses penuaan. Kecepatan,
keseimbangan dan kelincahan menurun.
langkah pendek-pendek, tidak pasti,
bahkan menyeret. Tungkai mungkin
fleksi pada panggul dan lutut.
g.
2. Postur/Habitus:
a. Astenikus
Bentuk tubuh yang tinggi, kurus, dada rata atau
cekung, angulus costae, dan otot otot tak bertumbuh
dengan baik.
b. Atletikus
Bentuk tubuh olahragawan, kepala dan dagu yang terangkat
ke atas, dada penuh, perut rata, dan lengkung tulang
belakang dalam batas normal.
- 806 c. Piknikus
Bentuk tubuh yang cenderung bulat, dan penuh dengan
penimbunan jaringan lemak subkutan.
Piknikus
Astenikus
Referensi
1. Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China.
2. Duijnhoven & Belle 2009, Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination.
11.
a.
x 100%
5.
Catatan:
1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini
masih tidak normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai
penyebab perawakan tinggi.
2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah
pertumbuhan tapi lebih baik jika diukur menggunakan
perbandingan berat badan terhadap panjang/ tinggi atau IMT
terhadap umur.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukkan berisiko
gizi lebih. Jika makin mengarah ke garis Z-skor 2 risiko gizi
lebih makin meningkat.
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat
pendek memiliki gizi lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan
IMCI (Integrated Management of Childhood Illness in-service
training. WHO, Geneva, 1997).
Analisis Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan Tinggi Badan
Tinggi badan dipetakan pada kurva:
1) Laki-laki
- 811 -
- 812 -
2) Perempuan
Grafik 6. Panjang badan dan usia pada 0-6 bulan
- 813 -
- 814 Grafik 10. Tinggi badan dan usia pada 2-5 tahun
Referensi
World Health Organization.
Matondang cs, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis pada
Anak. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto, 2000; p32-34.
b.
Stature meter
Timbangan
Pita LILA
Meteran
Kalkulator
- 818 -
IMT
<18,5
18,5-22,9
23,0
23,0-24,9
25,0-29,9
> 30,0
- 819 Referensi
About BMI for adults 2013, dilihat
12 maret 2014,
<http://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/bmi/adult_bmi/ind
ex.html>
D.
TANDA VITAL
12.
- 820 10. Posisikan lengan pasien sedemikan rupa sehingga siku sedikit
fleksi.
11. Pompa manset hingga mengembang. Untuk menentukan
seberapa tinggi tekanan manset, pertama-tama perkirakan
tekanan sistolik dengan palpasi. Raba arteri radialis dengan
satu tangan, kembangkan manset secara cepat sampai dengan
pulsasi arteri radialis menghilang. Baca tekanan yang terbaca
pada manometer, lalu tambahkan 30 mmHg. Gunakan jumlah
ini sebagai target untuk mengembangkan manset sehingga
mengurangi ketidaknyamanan karena manset yang terlalu
kencang.
12. Kempiskan manset dan tunggu 15-30 detik.
13. Tempatkan membran stetoskop pada arteri brachialis.
14. Kembangkan manset secara cepat sampai dengan tekanan yang
telah ditentukan sebelumnya.
15. Kempiskan secara perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per
detik.
16. Dua bunyi pertama yang terdengar adalah tekanan sistolik
pasien.
17. Turunkan tekanan 10-20 mmHg.
18. Kemudian kempiskan manset secara cepat hingga nol.
19. Titik dimana bunyi terdengar menghilang merupakan tekanan
diastolik pasien.
20. Tunggu selama 2 menit, kemudian ulangi pemeriksaan untuk
mendapatkan nilai rata-rata.
- 821 -
mmHg
Gambar 10. Bunyi sistolik dan diastolik
Sistolik
Diastolik (mm Hg)
(mm Hg)
Normal
<120
<80
Prehipertensi 120-139
80-89
Hipertensi
Stage 1
140-159
90-99
Stage 2
160
100
Catatan: target tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi, DM atau penyakit ginjal
<130/80 mmHg
Apabila tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada kategori
yang berbeda, gunakan kategori yang tertinggi. Misalnya, tekanan
darah 170/92 mmHg berada pada kategori hipertensi stage II;
tekanan darah 135/100 mmHg berada pada kategori hipertensi
stage I.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 20
mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg setelah pasien
berdiri sampai dengan 3 menit.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination
and history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleods clinical examination.
Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.
13.
- 824 -
Referensi
PEMERIKSAAN PERNAPASAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan penilaian pernapasan dan kelainan yang dapat
ditemukan
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Pasien paling baik dalam posisi berdiri dengan pemeriksa
berada berhadapan dengan pasien. Bila tidak bisa, pasien dapat
duduk di meja periksa atau dalam posisi berbaring. Posisi
pemeriksa paling baik berada di ujung kaki pasien.
2. Nilai:
a. Tipe pernapasan
b. Frekuensi napas
c. Dalamnya pernapasan
d. Regularitas
e. Rasio antara inspirasi dan ekspirasi
f. Adanya batuk atau bunyi napas tambahan
g. Adanya dipsnoe
3. Nilai juga adanya postur tubuh tertentu dan penggunaan otot
bantu napas.
4. Nilai adanya sianosis sentral dan/atau perifer.
- 826 a. Takipnea
Pernapasan dangkal dan cepat, dapat disebabkan oleh
penyakit paru restriktif, pleuritis dan elevated diaphragm.
b. Hiperventilasi
Pernapasan yang cepat, dapat disebabkan oleh latihan,
kecemasan dan asidosis metabolik. Pada pasien koma,
pertimbangkan infark, hipoksia atau hipoglikemia yang
mempengaruhi otak tengah atau pons. Kussmaul adalah
pernapasan cepat dan dalam karena asidosis metabolik.
c. Bradipnea
Pernapasan lambat, mungkin secara tidak langsung terjadi
pada koma diabeteikum, drug induced, depresi pernapasan,
dan peningkatan tekanan intrakranial.
d. CheyneStokes Breathing
Pernapasan yang dalam kemudian berubah menjadi periode
apnea (tidak bernapas). Anak-anak dan orang tua mungkin
menunjukkan pola ini saat tidur. Penyebab lainnya meliputi
gagal jantung, uremia, drug-induced, depresi pernapasan,
dan kerusakan otak (biasanya pada kedua hemisfer atau
diencephalon).
e. Ataxic Breathing (Biots Breathing)
Pernapasan ini ditandai dengan ketidakteraturan napas
yang tidak terduga. Napas mungkin dangkal atau dalam dan
berhenti untuk periode yang singkat. Penyebabnya antara
lain depresi pernapasan dan kerusakan otak, biasanya pada
tingkat medula.
f. Sighing Respiration
Pernapasan diselingi dengan periode mendesah, pemeriksa
harus
waspada
dengan
kemungkinan
sindroma
hiperventilasi penyebab umum dispnea dan pusing.
Desahan yang jarang, normal terjadi.
g. Obstructive Breathing
Pada penyakit paru obstruktif, ekspirasi memanjang
disebabkan
oleh
menyempitnya
saluran
napas
meningkatkan hambatan aliran udara. Penyebabnya antara
lain asma, bronkhitis kronis dan COPD.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and
history
taking.
10th
ed.
Philadelphia:
Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
3. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleods clinical examination.
Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.
15.
PEMERIKSAAN SUHU
- 827 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Mampu melakukan pengukuran suhu
2. Mampu menentukan letak-letak untuk mengukur suhu pada
bayi dan anak
Alat dan Bahan
1. Termometer raksa atau termometer digital
2. Kapas alkohol
Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan suhu di aksilla
1. Pemeriksa menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan dan
prosedurnya.
2. Siapkan termometer (air raksa, digital, dll).
3. Cuci tangan terlebih dahulu.
4. Bersihkan termometer dengan kapas alcohol.
5. Pastikan ketiak tidak basah agar tidak terjadi kesalahan dalam
hasil pemeriksaan suhu.
6. Selipkan di ketiak dan tunggu selama 10 menit (pada
termometer digital sampai bunyi).
Pemeriksaan suhu oral
1.
2.
3.
4.
5.
Demam
normal.
41,1oC.
dibawah
- 829 -
Referensi
E.
SISTEM SARAF
16.
Melakukan
Melakukan
Melakukan
Melakukan
Melakukan
- 831 -
- 832 -
- 833 4. Gula
5. Garam
6. Jeruk
7. Pen light
8. Kartu Snellen
9. Ophtalmoskop
10. Kapas dipilin ujungnya
11. Garpu tala
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
3. Pastikan pasien tidak mengalami sistem penghidu (contoh pilek)
4. Memeriksa N.I: olfaktorius.
a. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menutup
salah satu lubang hidung. Pemeriksaan dilakukan dari
lubang hidung sebelah kanan.
b. Dekatkan beberapa benda di bawah lubang hidung yang
terbuka, seperti kopi, teh, dan sabun.
c. Tanyakan kepada pasien apakah ia menghidu sesuatu, bila
ya, tanyakan jenisnya. Pemeriksa juga dapat memberikan
pilihan jawaban bila pasien merasa menhidu sesuatu
namun tidak dapat mengenalinya secara spontan, seperti,
Apakah ini kopi, atau teh?
d. Kemudian lakukan prosedur yang sama pada lubang hidung
yang lain.
5. Melakukan pemeriksaan pupil (N. II):
a. Pasien diminta berbaring.
b. Inspeksi kedua pupil dan catat ukuran dan bentuknya.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. Tempatkan tangan diantara kedua mata.
e. Minta pasien untuk memfiksasi pandangan ke depan. Sinari
salah satu mata dari arah tepi (pasien tidak boleh melihat
kearah sinar dan sumber cahaya harus cukup terang)
f. Catat reaksi pupil baik langsung maupun tidak langsung.
g. Lakukan prosedur yang sama pada mata yang lain.
6. Prosedur pemeriksaan lapang pandang (N. II):
a. Untuk pemeriksaan ini, pemeriksa dan pasien duduk
berhadapan dengan lutut pemeriksa hampir bersentuhan
dengan lutut pasien. Tinggi mata pemeriksa sama dengan
pasien.
b. Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai
dengan mata kanan.
divergen
Paralisis N VI kiri
- 840 -
- 841 Palatum tidak dapat naik pada lesi bilateral dari nervus vagus.
Pada kelumpuhan unilateral, satu sisi palatum tidak dapat
terangkat dan bersama-sama uvula tertarik ke arah sisi yang
normal.
14. Penilaian otot sternomastoid dan trapezius
Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi menunjukkan
adanya gangguan saraf perifer. Saat m.trapezius mengalami
paralisis, bahu terkulai dan skapula terjatuh kebawah dan
lateral.
Pada pasien dengan posisi berbaring yang mengalami
kelemahan
otot
strenokleidomastoideus
bilateral
akan
mengalami kesulitan mengangkat kepalanya dari bantal.
15. Pemeriksaan lidah
Pada pasien dengan paralisis N XII, inspeksi saat di dalam
rongga mulut, dapat terlihat lidah terdorong ke sisi yang sakit
dan saat lidah dijulurkan, maka akan terdorong ke sisi yang
sehat. Interpretasi hasil perlu disebutkan apakah paralisis
terjadi sentral atau perifer.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
18.
- 845 Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination.
2009.
19.
Hofmann tromner
Babinski
Oppenheim
Chaddock
Gordon
Schaefer
Gonda
- 846 -
ujung
9. Refleks Gordon
Rangsangan diberikan dengan mencubit otot gastroknemius.
- 847 -
- 848 Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins,
China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology
Examination. 2009
3. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta. Balai penerbit FKUI. 2008. p46-47.
20.
PEMERIKSAAN SISTEM
PROPRIOSEPTIF)
SENSORIK
(EKSTEROSEPTIF
DAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: menilai fungsi sistem sensorik
Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tusuk gigi
Cotton bud
Dua buah tabung reaksi
Air panas
Air dingin
Garpu tala
Teknik Pemeriksaan
Disusun berdasar dermatom, mulai dari C3 untuk rangsang nyeri,
raba halus dan suhu
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
3. Penilaian sensasi nyeri:
a. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan saat
pemeriksa menekan ujung runcing tusuk gigi dan ujung
tumpul cotton bud pada area dimana pemeriksa yakin tidak
terdapat defisit sensorik.
b. Minta pasien menutup mata.
c. Kemudian lakukan prosedur ini di beberapa tempat dengan
menekankan ujung tajam tusuk gigi dan ujung tumpul
cotton bud secara bergantian dan acak. Tanyakan kepada
pasien setiap pemeriksa menekankan salah satu benda
diatas, apakah pasien merasakan tajam atau tumpul.
d. Apabila terdapat gangguan membedakan sensasi tajam dan
tumpul, gunakan istilah hipalgesia atau analgesia dan catat
bagian tubuh yang mengalami gangguan.
4. Penilaian sensasi suhu:
- 849 a. Pada pemeriksaan ini, siapkan dua buah tabung reaksi yang
berisi air dingin dan air panas.
b. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan suhu
yang diberikan pada area dimana pemeriksa yakin tidak
terdapat defisit sensorik.
c. Minta pasien menutup mata.
d. Sentuhkan rangsangan panas dan dingin di beberapa area
pada tubuh pasien, tanyakan apa yang pasien rasakan
setiap kali memberikan rangsangan.
e. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan
dalam membedakan rangsangan suhu.
5. Penilaian sesasi raba halus:
a. Untuk pemeriksaan ini, gunakan ujung cotton bud.
b. Minta pasien untuk menutup mata.
c. Selalu sentuh pasien dengan sentuhan ringan, jangan di
tekan.
d. Minta pasien mengatakan ya setiap kali pasien merasakan
kontak.
e. Minta pasien untuk menyebutkan bila pasien merasakan
sensasi yang berbeda saat disentuh.
f. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan
dalam membedakan rangsangan suhu.
6. Penilaian rasa posisi (propioseptif):
a. Minta pasien menutup mata.
b. Pegang jempol kaku pasien diantara jempol dan jari telunjuk
pemeriksa.
c. Pastikan bahwa pemeriksa tidak menyentuh jari pasien yang
lainnya.
d. Gerakkan jempol kaki pasien dan tanyakan bila pasien
merasakan gerakan tersebut dan menyebutkan arahnya.
e. Lakukan juga prosedur ini pada ekstremitas atas.
f. Lakukan pula pemeriksaan getar dan posisi dua tempat (two
point discrimination).
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Dengan menandai area yang mengalami defisit neurologis,
pemeriksa dapat mengetahui adanya kelainan mononeuropathy,
polineuropathy, lesi saraf tepi maupun lesi pada saraf sentral.
2. Penilaian sensasi nyeri dan suhu merupakan penilaian fungsi
sensoris spinothalamikus sehingga kelainan pada pemeriksaan
ini merupakan tanda adanya gangguan pada fungsi sensoris
spinothalamiskus.
3. Penilaian sensasi raba dan posisi (propioseptif) merupakan
penilaian fungsi sensoris kolumna dorsalis sehingga kelainan
pada pemeriksaan ini merupakan tanda adanya gangguan pada
fungsi sensoris kolumna dorsalis.
4. Kondisi yang melibatkan korda spinalis dapat menyebabkan
gangguan pada salah satu fungsi tersebut, misanya fungsi
M. iliopsoas
a. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi sendi
panggul fleksi maksimal.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan sendi panggul pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. quadricep
a. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.
b. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada pergelangan kaki
kanan pasien yang sedang dalam posisi lurus, angkat sedikit
kaki pasien.
c. Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah kaki kanan pasien
tepat melewati bawah lutut dan pegang lutut kaki kiri pasien.
d. Tangan kanan pemeriksa mencoba untuk menekuk sendi lutut
kanan pasien dan nilai kekuatan ototnya.
- 853 e. Lakukan prosedur yang sama untuk kaki sebelah kiri dan
bandingkan kekuatannya.
M. femoral adductor
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan
lutut. Rapatkan kedua lutut.
b. Pemeriksa mencoba memisahkan kedua lutut pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. hamstrings
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan
fleksi maksimal pada sendi lutut sehingga tumit pasien
menyentuh paha atas.
b. Pemeriksa mencoba mengekstensikan sendi lutut pasien dan
nilai kekuatannya, bandingkan kanan dan kiri.
M. tibialis anterior dan m. extensor digitorum
a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta
pasien untuk menarik telapak kakinya ke arah kranial sehingga
fleksi pada sendi pergelangan kaki (dorso fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien menjauhi tubuh
dan nilai kekuatannya, bandingkan kanan dan kiri.
M. gastrocnemius
a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta
pasien untuk meluruskan telapak kakinya seperti menginjak
rem (plantar fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien mendekati tubuh
dan nilai kekuatannya, bandingkan kanan dan kiri.
M. peroneal
a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi luar kaki pasien sejajar jari
kelingking.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. extensor hallucis longus
a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi dalam kaki pasien sejajar
jempol.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. flexor hallucis longus
a. Minta pasien untuk memfleksikan kedua jempol kakinya.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan kedua jempol pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Atrofi otot dapat ditemukan pada:
- Penyakit kronis dan malnutrisi
- Penyakit muskular
- Setelah terjadi kerusakan saraf perifer
Tick
Tics merupakan gerakan yang singkat, berulang, stereotip,
gerakan terkoordinasi yang terjadi pada interval yang tidak
teratur. Contohnya termasuk berulang mengedip, meringis,
dan mengangkat bahu bahu. Penyebab termasuk sindrom
dan obat-obatan seperti Tourette, fenotiazin dan amfetamin.
- 855 -
PEMERIKSAAN KOORDINASI
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai fungsi koordinasi.
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
2. Inspeksi cara berjalan (gait):
a. Minta pasien untuk berjalan melintasi ruangan beberapa
kali.
b. Amati cara berjalan pasien, pola kontak kaki dengan lantai,
ayunan tangan dan lebar langkah.
- 862 Disprosodi
Terganggu
Terganggu
Postero-superior
lobus temporal
Afasia Broca
Tidak lancar, lambat,
sedikit kata, terlihat
berusaha. Artikulasi
terganggu,
namun
kata-kata bermakna
24.
PSIKIATRI
25.
ANAMNESIS PSIKIATRI
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Memperoleh informasi mengenai kondisi dan riwayat psikiatrik
pasien melalui wawancara langsung dengan pasien maupun
dengan keluarga atau orang-orang yang mengenalnya.
2. Mengidentifikasi psikopatologis mulai dari penampilan umum,
emosi-afek, pikiran ideasi dan motorik-perilaku.
Alat dan Bahan: Proses Wawancara
1. Sapa dan tanyakan nama pasien
2. Perkenalkan diri, jelaskan tujuan sesi, meminta persetujuan
pasien bila diperlukan
3. Tanyakan identitas pasien lainnya berupa alamat, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, bahasa,
suku bangsa dan agama. Perlu ditanyakan pula apakah pasien
datang sendiri, dibawa oleh anggota keluarga atau dikonsulkan
oleh sejawat.
26.
pasien bangun
dan
dalam
b.
c.
d.
e.
- 872
b.
c.
d.
e.
Koma
Pasien tidak dapat dibangunkan dengan rangsangan nyeri.
Postur dan sikap motorik
Postur tubuh yang tegang, gelisah dan resah menandakan
gangguan cemas.
Pasien yang menangis atau berjalan mondar mandir
menunjukkan kegelisahan.
Sikap yang putus asa, postur yang merosot dan gerakan
melambat menunjukkan depresi.
Pasien yang menyanyi, menari dan menunjukkan gerakan
ekspansif menunjukkan episode manik.
Cara berpakaian, penampilan dan kebersihan diri
Perawatan dan kebersihan diri mungkin kurang atau buruk
pada pasien dengan depresi, skizofrenia dan demensia.
Kehati-hatian yang berlebihan dapat terlihat pada pasien
dengan gangguan obsesif-kompulsif.
Mengabaikan penampilan pada satu sisi mungkin
merupakan akibat adanya lesi di seberang korteks parietal,
biasanya sisi non-dominan.
Ekspresi wajah
Menilai adanya ekspresi kecemasan, depresi, apatis, marah
atau gembira.
Pada pasien parkinson biasanya didapatkan ekspresi yang
datar (imobilitas wajah).
Sikap, afek dan hubungan pasien dengan orang lain atau
sesuatu
Pada
pasien
paranoid
didapatkan
sikap
marah,
permusuhan, kecurigaan atau menghindar.
Pada sindrom manik didapatkan afek yang meningkat,
gembira dan euforia.
Afek tumpul dan cenderung tidak peduli terhadap orang
atau lingkungan sekitar didapatkan pada demensia.
buah
pikiran
ataupun
Mood:
Suasana hati meliputi kesedihan, melakolis, kepuasan, sukacita,
euforia, kegembiraan, kemarahan, kegelisahan, kekhawatiran dan
ketidakpedulian.
Episode Depresi
- 873 Minimal terdapat lima gejala dan termasuk salah satu dari dua
gejala teratas dibawah ini:
a. Mood depresi (mungkin suasana hati yang mudah marah pada
anak-anak dan remaja) hampir sepanjang hari dan hampir
setiap hari.
b. Berkurangnya minat dan kesenangan yang nyata pada hampir
seluruh aktivitas hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari.
c. Peningkatan atau penurunan berat badan yang berlebihan
(tanpa diet) atau peningkatan atau penurunan nafsu makan
hampir setiap hari
d. Sulit tidur atau tidur yang berlebihan hampir setiap hari.
e. Agitasi psikomotor atau retardasi terjadi hampir setiap hati.
f. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah hampir setiap hari.
h. Ketidakmampuan berpikir dan berkonsentrasi hampir setiap
hari
i. Pemikiran yang berulang-ulang tentang kematian atau bunuh
diri; atau adanya rencana atau upaya bunuh diri.
Gejala-gejala tersebut di atas menyebabkan penderitaan terhadap
pasien atau gangguan sosialisasi dan pekerjaan atau fungsi lainnya.
Pada kasus yang berat mungkin didapatkan delusi dan halusinasi.
Episode Campuran
Pada episode campuran, harus didapatkan kriteria baik episode
manik dan depresi minimal satu minggu.
Episode Manik
Suatu periode abnormal yang ditandai dengan mood meningkat
secara terus menerus atau mudah tersinggung yang berlangsung
minimal 1 minggu. Selama masa ini, pasien minimal memiliki 3 dari
7 gejala di bawah ini yang sangat menonjol.
a. Harga diri meningkat
b. Waktu tidur berkurang (merasa cukup beristirahat setelah 3
jam tidur)
c. Lebih banyak bicara dibanding biasanya atau selalu ingin bicara
d. Flight of idea (bicara meloncat-loncat dan tidak berhubungan)
atau racing thoughts (pikiran berkejaran).
e. Pikirannya mudah teralihkan.
f. Peningkatan aktivitas (baik sosial, pekerjaan, sekolah maupun
seksual) atau agitasi psikomotor.
g. Melakukan kegiatan menyenangkan dan berisiko (belanja
berlebihan, berbisnis yang jelas tidak menguntungkan)
Gangguan di atas cukup berat sehingga merugikan baik secara
sosial, dalam pekerjaan maupun hubungan. Pada keadaan yang
berat dapat terjadi halusinasi dan delusi.
- 875 4. Neologisme
Menciptakan kata-kata baru atau kata-kata yang
menyimpang dan memiliki makna baru dan aneh. Dapat
ditemukan pada skizofrenia, afasia dan gangguan psikotik
lainnya.
5. Inkoheren
Gangguan proses pikir dengan pembicaraan yang sebagian
besar tidak dapat dimengerti karena tidak logis, kurangnya
hubungan yang bermakna, adanya perubahan topik
mendadak, ataupun kesalahan penggunaan tata bahasa
atau kata. Flight of ideas yang berat dapat menyebabkan
inkoherensi. Biasanya ditemukan pada skizofrenia.
6. Blocking
Gangguan proses pikir yang ditandai dengan pembicaraan
yang tiba-tiba berhenti di tengah-tengah kalimat atau
sebelum suatu gagasan diselesaikan. Blocking dapat terjadi
pada skizofrenia, namun dapat terjadi pula pada orang
normal.
7. Konfabulasi
Ingatan palsu yang muncul saat meresposn pertanyaan,
untuk mengisi kekosongan memori. Biasanya ditemukan
pada pasien dengan amnesia.
8. Perseverasi
Pengulangan persisten kata-kata atau gagasan. Terjadi pada
skizofrenia, dan gangguan psikotik lainnya.
9. Ekolali
Pengulangan kata atau frase orang lain atau lawan bicara.
Dapat ditemukan pada episode manik dan skizofrenia
10. Clanging
Berbicara dan merangkai kata-kata yang tidak memiliki
hubungan satu sama lain dan diucapkan berdasarkan irama
atau rima verbal tertentu.
Biasanya ditemukan pada episode manik dan skizofrenia.
b. Isi pikir
Beberapa kelaianan isi pikir:
Kompulsi
Perilaku atau tindakan mental berulang dari seseorang yang
merasa terdorong untuk menghasilkan atau mencegah sesuatu
terjadi di kemudian hari, walaupun harapan efek tersebut tidak
realistik.
Obsesi
Gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak
diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh
atau menakutkan.
Fobia
d. Tilikan
(insight)
(judgement)
- 877 dan
kemampuan
menilai
realitas
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Membuat diagnosis multiaksial
Alat dan Bahan: Teknik Penggunaan
Diagnosis Multiaksial memiliki 5 aksis. Berikut ini merupakan
langkah-langkah membuat diagnosis multiaksial:
1.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
2.
3.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
4.
5.
Aksis V : GAF
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi yang
sering disebut sebagai Global assesment of functioning (GAF).
Pemeriksa memertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional
pasien selama periode waktu tertentu (misalnya saat
pemeriksaan, tingkat fungsional pasien tertinggi untuk
sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir). Fungsional
diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi
sosial, fungsi pekerjaan, fungsi psikologis.
Referensi
1. American Psychiatric Association 2000, Diagnostic criteria from
DSM-IV-TR. American Psychiatric Association. Washington DC.
2. Maslim, Rusdi 2001, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan
Ringkas PPDGJ-III. PT Nuh Jaya. Jakarta.
- 881 28.
5.
6.
7.
8.
9.
Referensi
1. Goldman HH. Review of general psychiatry. 5th ed. New York:
Lange, 2000.
2. Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (eds). New oxford
textbook of psychiatry.
3. Oxford: Oxford university press, 2012.
4. Kay J. Tasman A. Essential of psychiatry. West Sussex: John
Wiley&Sons ltd, 2006
5. Sorref S. Bipolar affective disorders [Internet]. [cited 2014 March
6].
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/286342overview#aw2aab6b2b6aa
G.
SISTEM INDERA
- 884 -
INDERA PENGLIHATAN
30.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
- 886 Tajam penglihatan pada balita tidak dapat dinilai karena balita
belum dapat mengidentifikasi gambar pada kartu Snellen.
Pemeriksa menutup salah satu mata dapat menjadi alternatif.
Anak dengan penglihatan yang normal pada kedua mata tidak
akan menolak bila salah satu matanya ditutup, sedangkan anak
dengan gangguan penglihatan akan menolak bila matanya yang
sehat ditutup.
c. Pemeriksaan Mata pada Anak
Interpretasi sama dengan interpretasi pemeriksaan visus pada
dewasa.
Referensi
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2009.
31.
Teknik Pemeriksaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
- 887 8. Bila pasien tidak dapat melihat huruf yang terbesar (dengan
visus 6/60) maka dilakukan dengan cara hitung jari/ finger
counting, yaitu menghitung jari pemeriksa pada jarak 1-6 m
dengan visus 1/60 sampai dengan 6/60.
9. Bila tidak dapat menghitung jari dari jarak 1 m, maka
dilakukan dengan cara hand movement, yaitu menentukan
arah gerakan tangan pemeriksa (atas-bawah, kanan-kiri) pada
jarak 60-100 cm. Visus 1/300 bila pasien bisa mengenali arah
pergerakan tangan.
10. Bila pasien tidak dapat melihat arah gerakan tangan,
dilakukan cara penyinaran dengan penlight pada mata pasien
(light perception). Pasien diminta menentukan arah datangnya
sinar (diperiksa dari 6 arah). Bila pasien dapat mengenali
adanya cahaya dan dapat mengetahui arah cahaya, tajam
penglihatan dideskripsikan sebagai 1/~ dengan proyeksi
cahaya baik (light perception with good light projection). Tetapi
bila pasien tidak dapat mengetahui arah cahaya deskripsi
menjadi light perception without light projection.
11. Pasien dinyatakan buta total (visus 0) bila tidak dapat
menentukan ada atau tidak ada sinar (no light perception).
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Visus pasien adalah baris huruf terkecil yang pasien dapat
sebutkan dari seluruh huruf/gambar pada kartu Snellen
dengan benar. Contoh: visus 6/18.
2. Bila pasien dapat melihat huruf pada baris tersebut namun ada
yang salah, dinyatakan dengan f (faltive). Contoh: pasien dapat
membaca baris 6/18 tetapi terdapat satu kesalahan maka visus
6/18 f1.
3. Bila pasien dapat menghitung jari pemeriksa yang berjarak 1 m
dari pasien dengan benar, maka visus pasien 1/60; dapat
menghitung jari pada jarak 2 m dengan benar, visusnya 3/60,
dan seterusnya hingga 6/60.
4. Bila pasien dapat menentukan arah gerakan tangan pemeriksa
dari jarak 1 m, maka visusnya 1/300.
5. Bila pasien dapat menentukan arah datangnya sinar (diperiksa
dari 6 arah), maka visusnya 1/~ proyeksi baik.
6. Bila pasien tidak dapat menentukan arah datangnya sinar,
maka visusnya 1/~ proyeksi buruk.
Referensi
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins,
2009.
32.
2.
3.
4.
5.
6.
Defek horizontal
Disebabkan oleh oklusi pada cabang
arteri retina sentral. Pada gambar
disamping terdapat oklusi cabang
superior arteri retina sentral.
Kebutaan unilateral
Disebabkan oleh lesi pada saraf optik
unilateral
yang
menyebabkan
kebutaan.
Hemianopsia Bitemporal
Disebabkan oleh lesi pada kiasma
optikum
sehingga
menyebabkan
32.
kehilangan
penglihatan
pada
sisi Gambar
Kelainan
lapang
temporal kedua lapang pandang.
pandang (1-6)
Hemianopsia Homonim Kiri
Disebabkan oleh lesi pada traktus
optikus di tempat yang sama pada
kedua mata. Hal ini menyebabkan
kehilangan penglihatan sisi yang sama
pada kedua mata.
Homonymous Left Superior
Quadrantic Defect
Disebabkan oleh lesi parsial pada
radiasio optikus yang menyebabkan
kehilangan
penglihatan
pada
seperempat bagian lapang pandang sisi
yang sama.
Hemianopsia himonim kiri juga dapat
disebabkan oleh terputusnya jaringan
pada radiasio optikus.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and
history
taking.
10th
ed.
Philadelphia:
Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. The examination of the eyes and vision: examination of the
peripheral visual field (donders confrontation method). [cited
2014 March 18]. Available from http://www.skillsinmedicinedemo.com/index.php?option=c
om_content&view=article&id=549:examination-of-the-peripheralvisual-field&catid=53:the-visual-field&Itemid=625.
33.
- 893 7. Amati kejernihan kornea dan nilai apabila ada kelaianan pada
kornea.
8. Periksa kedalaman kamera okuli anterior dengan memberikan
sinar secara mendatar dari arah temporal ke nasal menembus
mata sehingga perkiraan kasar kedalaman kamera okuli
anterior dapat dibuat dengan memperhatikan paparan sinar
apakah sampai di iris bagian nasal. Nilai juga apakah ada flare,
hifema maupun hipopion. Flare dapat dinilai dengan loop jika
merupakan derajat yang hebat
9. Periksa iris pasien. Nilai pola dan warnanya, apakah ada nodul
dan vaskularitas.
10. Periksa kejernihan lensa mata, apabila lensa mata terlihat
keruh, lakukan pemeriksaan shadow test. Dengan penlight,
cahaya diarahkan pada pupil dengan membentuk sudut 45o
terhadap iris. Nilai bayangan iris pada lensa.
Kelopak
Pupil
Sklera
Iris
Badan siliaris
Kornea
Iris
Lensa
Vitreus
N. Optikus
Sklera
Kursi periksa
Penutup mata
Mainan anak
Penlight
Teknik Pemeriksaan
1. Minta pasien untuk memfiksasi matanya pada satu titik. Untuk
pasien anak, gunakan objek berupa mainan yang berukuran
kecil atau penlight.
2. Tutup salah satu mata untuk 1-2 detik.
3. Dengan cepat buka penutup mata.
4. Perhatikan pergerakan mata yang yang sebelumnya ditutup.
Lihat adanya deviasi mata kembali ke posisi fiksasi objek.
5. Tutup mata yang lain dan ulangi prosedur pemeriksaan.
- 896 -
COVER
UNCOVER
pengukuran
tekanan
intraokular
dengan
- 899 lainnya. Kartu ini digunakan untuk menguji daya pisah warna mata
penderita yang diuji untuk menilai adanya buta warna.
Pada penyakit tertentu dapat terjadi gangguan penglihatan warna
seperti buta merah dan hijau pada atrofi saraf optik, neuropati
optik toksik, dengan pengecualian neuropati iskemia, glaukoma
dengan atrofi optik yang memberikan gangguan penglihatan biru
kuning.
Teknik Tindakan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Botol tetes mata atau tube salep mata harus sesuai suhu
ruangan karena tetes mata/salep mata yang dingin lebih tidak
nyaman.
3. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
- 900 4. Cuci tangan, lalu siapkan kapas pembersih muka yang dibasahi
dengan air matang hangat. Bersihkan mata dari dalam ke luar.
5. Minta pasien berbaring di meja periksa atau duduk di kursi
periksa.
6. Pemberian obat dalam posisi berbaring atau duduk dengan
kepala menengadah agar tetes mata /salep mata tepat ke arah
mata yang dituju. Jangan sampai mata terkena aplikator botol
tetes mata atau tutup salep mata.
7. Dengan satu tangan, tarik kelopak bawah mata secara lembut,
sehingga membentuk kantung. Arahkan ujung botol tetes
mata/tube salep mata ke kantung kelopak bawah mata kearah
forniks inferior dan teteskan/berikan salep sesuai aturan.
8. Hindari tip (ujung) botol tetes mata menyentuh bulu
mata/kelopak mata/bola mata. Posisi ujung botol tetes atau
salep mata pada saat menetesi mata anak ialah kurang lebih 2
cm diatas kantung kelopak bawah mata.
9. Beri jeda sekitar 3-5 menit antara satu obat tetes mata ke obat
tetes mata atau salep mata yang lain. Apabila kombinasi tetes
mata dan salep mata, maka yang diberikan terlebih dahulu
ialah yang tetes mata.
10. Ketika sudah selesai memberikan tetes mata/salep mata, segera
tutup botol tetes mata/salep mata. Minta pasien memejamkan
kembali mata secara perlahan (seperti tidur) selama 1-2 menit
11. Cuci tangan setelah memberi tetes mata/ salep mata.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009.
39.
Anastesi topikal
Pinset
Lup/ binocular 3-5 Dioptri
Penlight atau senter
Kasa
Teknik Tindakan
1. Siapkan alat dan bahan.
Penlight
Loop binocular 3-5 Dioptri
Tetes anestesi topical (misal tetracaine 0,5% atau 2%)
Cotton bud
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
- 904 -
- 906 -
B. hematoma
edem,
- 907 -
42.
Tes suara
Rinne
Weber
Swabach
- 910 -
- 912 43.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China,
2009. P 676-680.
44.
MANUVER VALSAVA
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Memperbaiki tekanan di telinga tengah.
2. Melakukan pemeriksaan valsava maneuver untuk melihat
patensi membran timpani dan tuba eustachius.
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
3. Pasien diminta duduk diatas meja periksa.
4. Pemeriksa meminta pasien untuk menutup rapat mulut dan
lubang hidung dengan menjepitnya.
5. Dalam posisi ini, minta pasien meniup seperti sedang meniup
balon.
6. Dengan menggunakan otoskop, pemeriksa menilai membran
timpani.
- 915 -
DAN
PENGAMBILAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret
2. Pengambilan benda asing di telinga
Alat dan Bahan
1. Lampu kepala
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Mencuci tangan.
3. Pasien diminta duduk diatas kursi periksa.
Pengambilan Serumen Menggunakan Kait Atau Kuret
a. Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan lampu kepala atau
otoskop untuk memperkirakan beratnya sumbatan dan
keadaan membrana timpani (bila memungkinkan).
b. Nilai tipe serumen (kering/ basah/ keras/ padat/ lunak/
lengket), dan tentukan teknik pengambilan yang akan dipakai.
c. Nilai perlu tidaknya penggunaan seruminolitik sebelum
pengambilan serumen.
d. Jelaskan kemungkinan komplikasi tindakan kepada pasien.
e. Persiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
f. Bila serumen terdapat pada telinga kanan, dengan tangan kiri
pemeriksa retraksikan daun telinga ke arah posterosuperior.
Dengan tangan kanan pemeriksa, masukkan kait atau kuret
melalui rongga yang ada hingga ujung kait atau kuret berada
lebih dalam (medial) dari serumen kemudian tarik serumen ke
arah luar (lateral). Kait digunakan untuk mengambil serumen
yang kering dan padat. Kuret digunakan untuk mengambil
serumen yang agak basah.
g. Prosedur ini dapat juga menggunakan otoskop, dengan cara
menempatkan otoskop pada telinga kemudian buka lensanya
dan masukkan kait atau kuret melalui lubang otoskop untuk
mengambil serumen.
h. Ekstrasi serumen juga dapat dilakukan dengan teknik irigasi
telinga seperti pada prosedur irigasi benda asing.
Pengambilan Benda Asing di Telinga
Nilai jenis benda asing untuk menentukan tipe prosedur yang akan
dilakukan. Serangga, benda organik, dan objek lain yang dapat
hancur menjadi potongan yang lebih kecil lebih baik diekstrasi
dengan suction dibanding dengan forceps. Serangga yang masih
hidup sebaiknya dimatikan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan.
Untuk mematikannya dapat digunakan minyak gliserin.
INDERA PENGECAPAN
46.
- 918 -
PENILAIAN PENGECAPAN
Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan pemeriksaan pengecapan
Alat dan bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gula pasir
Garam
Kopi
Cuka
Cotton bud
Air putih
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Pemeriksa mencuci tangan.
4. Minta pasien duduk di kursi periksa.
5. Pemeriksa meminta pasien untuk memberikan kode terhadap
masing-masing rasa, seperti 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa
asin, 3 untuk rasa pahit dan 4 untuk rasa asam.
6. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menjulurkan
lidahnya.
7. Pemeriksa menyentuhkan beberapa bahan makanan satu per
satu pada lidah pasien pada beberapa tempat dengan
menggunakan cotton bud. Pasien tidak boleh menarik lidahnya
ke dalam mulut, karena jika hal ini dilakukan maka bubuk
akan tersebar ke bagian lainnya seperti sisi lidah lainnya atau
ke bagian belakang atau depan lidah yang dipersarafi oleh saraf
lain.
8. Minta pasien mengenali jenis bahan makanan tersebut dengan
mengangkat tangan menggunakan kode yang telah disepakati
sebelumnya.
9. Pasien boleh meminum air putih pada jeda pemeriksaan
sebelum mencoba bahan makanan lainnya.
Analisis hasil pemeriksaan
Fungsi pengecapan dipersarafi oleh N VII pada 2/3 lidah bagian
depan dan oleh N IX pada 1/3 bagian belakang. Adanya gangguan
pada kemampuan mengenali rasa disebabkan oleh lesi pada saraf
tersebut atau pada taste bud yang berisi reseptor-reseptor untuk
fungsi pengecapan.
- 919 -
2.
INDERA PENCIUMAN
47.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
- 921 -
PEMERIKSAAN
MAKSILARIS
TRANSLUMINASI
SINUS
FRONTALIS
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan pemeriksaan transiluminasi sinus.
Alat dan Bahan: Nasal Illuminator
DAN
Teknik Pemeriksaan
- 923 -
49.
Sarung tangan
Kacamata (google)
Lampu kepala
Spekulum hidung
Forceps bayonet
Spatula lidah
Kassa dan kapas
Plester
Lidocain 2% atau pantocain.
Epihephrine 0.25 mg.
Vaselin atau salep antibiotik.
AgNO3 25-30%.
Kateter karet.
Alat penyedot (suction).
Tampon Bellocq: kassa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm, diikat 3 utas benang; 2 buah pada satu
sisi dan satu buah di sisi yang berlawanan.
Teknik Tindakan
- 925 -
6.
7.
8.
9.
Sarung tangan
Lampu kepala
Lidocain 1% dan phenylephrine 0.5%
Direct instruments: hemostat, forceps alligator, forceps bayonet
hooked probes
H.
SISTEM RESPIRASI
51.
PEMERIKSAAN LEHER
- 930 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan inspeksi, palpasi, auskultasi leher
2. Melakukan pemeriksaan tiroid
3. Melakukan pemeriksaan JVP dan A. carotis (lihat materi Sistem
Kardiovaskuler)
Alat dan Bahan: Stetoskop
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Inspeksi leher:
a. Pemeriksa berdiri di hadapan pasien.
b. Nilai kesimetrisan leher, adanya deciasi trakea, adanya
benjolan pada leher.
4. Palpasi leher:
a. Posisikan pasien dalam posisi duduk, pemeriksa berdiri
tepat di belakang pasien
b. Palpasi area:
Daerah submandibular kanan dan kiri (di bawah
mandibula)
Anterior dari m. Sternocleidomastoideus kanan dan kiri
Posterior dari m. Sternocleidomastoideus kanan dan kiri
Daerah supraclavicula kanan dan kiri
Darah aksila kanan dan kiri
Nilai adanya pembesaran kelenjar getah bening.
- 931 -
Referensi
- 932 -
PEMERIKSAAN DADA
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dada
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Lakukan inspeksi dada dan kenali kelainannya :
a. Pemeriksa menginspeksi dada pasien dari arah depan,
samping dan belakang.
b. Selalu nilai mulai dari kulit, subkutis, otot dan rangka. Pada
wanita, nilai juga payudara.
c. Nilai dari depan, samping dan belakang ekspansi dada saat
bernapas dan saat istirahat juga saat inspirasi maksimum.
d. Saat pemeriksaan nilai apakah ekspansi dada cukup dan
simetris.
e. Nilai juga adanya retraksi.
f. Pada pasien yang dicurigai ekspansi dadanya menurun,
dapat dilakukan pemeriksaan secara objektif dengan
mengukur lingkar dada saat pernapasan normal dan
inspirasi maksimal. Pada laki-laki, pita ukur berada diatas
puting, sedangkan pada wanita berada tepat diatas mamae.
4. Lakukan palpasi dada dan kenali kelainannya:
a. Untuk pemeriksaan palpasi dada, gunakan seluruh
permukaan telapak tangan. Tempatkan kedua tangan pada
kedua sisi dada dan periksa daerah-daerah dibawah ini saat
pernapasan biasa dan saat pernapasan dalam:
- Torakss anterior atas
- Turun kebawah ke daerah costo triangle
- Torakss lateral
- Dengan satu tangan pada sternum dan lainnya pada
tulang belakang
- Torakss posterior bawah
b. Nilai ekspansi dinding dada, kanan dan kiri serta
kesimetrisannya.
4
Gambar 57. Palpasi dada
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition.
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition.
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition.
- 937 (Pectus
Pigeon
Chest
Carinatum)
Pada kelainan ini, sternum
bergeser,
diameter
anteroposterior
melebar.
Kartilago kostae merapat
pada
sternum
dan
mengalami depresi.
Kyphoscoliosis:
Pada kelainan ini terdapat
abnormalitas kurva tulang
belakang
dan
rotasi
vertebrae yang mengubah
bentuk dada. Dapat terjadi
distorsi
paru
yang
menyebabkan
sulitnya
menilai hasil pemeriksaan
paru.
Sonor
Hipersonor
Timpani
Normal
Hati
Patologis
Pneumonia lobaris;
Efusi pleura;
Hemothorax;
Empiema,
Jaringan fibrosa;
Tumor
Paru normal
Bronkhitis kronis
Emfisema;
Pneumothorax
Lambung yang berisi Pneumothorax luas
udara
Penyakit
COPD;
Hiperinflasi paru
Obesitas;
Pneumothorax
Gangguan neuromuskular;
Stadium akhir serangan asma
Atelektasis
DEKOMPRESI JARUM
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan prosedur toraksosentesis jarum
tindakan penyelamatan pada tension pneumotorakss.
untuk
Kassa steril
Povidon iodine
Alkohol 70%
Klem jaringan
Kom
Spuit 3 cc
Luer-Lok 10 cc
Lidokain ampul
Jarum kareter
Duk steril
Sarung tangan steril
Plester
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien atau keluarga pasien jenis, prosedur
dan komplikasi tindakan yang akan dilakukan.
2. Persiapkan alat dan bahan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Identifikasi toraks pasien dan status respirasi.
5. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai
kebutuhan.
6. Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension
pneumotorakss.
7. Gunakan sarung tangan steril.
8. Lakukan prosedur asepsis dan antisepsis.
9. Berikan anestesi lokal jika pasien sadar atau keadaan
mengijinkan.
10. Persiapkan Luer-Lok dan hubungkan dengan jarum kateter.
11.
12.
13.
14.
15.
- 941 Insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung
tepat diatas iga kedalam sela iga dengan sudut 90o terhadap
permukaan kulit.
Tusuk sampai dengan lapisan pleura parietal.
Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara
ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension
pneumothoraks telah diatasi.
Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter.
Tinggalkan kateter plastik di tempatnya dan tutup dengan
plester atau kain kecil.
Siapkan chest tube, jika perlu.
Referensi
ATLS student course manual. 8th ed. Chicago: America College of
Surgeon. 2008. P126.
54.
kecepatan
aliran
dan
Kecepatan
(L/menit)
1
2
3
4
5
6
muka 6-10
aliran % oksigen
Sungkup
sederhana
Sungkup
muka 6
dengan reservoir O2 7
8
9
10-15
Sungkup
muka 4-8
venturi
10-12
21-24
25-28
29-32
33-36
37-40
41-44
35-60
60
70
80
90
95-100
24-35
40-50
Referensi
Karo-Karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S, dkk. Buku panduan
kursus bantuan hidup jantung lanjut ACLS Indonesia. Ed 2012.
PERKI.2012.
b. Terapi Inhalasi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan terapi inhalasi sesuai dengan indikasi
Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
Teknik Tindakan
Terapi Inhalasi Aerosol dengan Nebulizer
1. Siapkan peralatan yang dibutuhkan.
2. Pasang peralatan nebulizer. Pastikan alat dalam kondisi
yang baik.
3. Cuci tangan sebelum tindakan.
4.
5.
6.
7.
- 944 -
- 945 -
Referensi
1. Laube BL, et al. What the pulmonary specialist should know
about the new inhalation therapies. Eur Respir J 2011: 37(6);
1308-1331.
2. Global initiative for asthma. Instruction for inhaler and spacer
use [Internet]. 2014 [cited 2014 March 24]. Available from:
http://www.ginasthma.org/documents/11
3. North Carolina College of Emergency Physicians. standards
procedure
(skill)
airway-nebulizer
inhalation
therapy
[internet]. 2005 [cited 2014 March 24]. Available from:
http://www.ncems.org/pdf/NCCEPStandardsProcedures
2009.pdf
4. London health sciences centre. Inhalation therapy
bronchodilator administration via wet nebulization aerosol.
Chest. 1997 Dec;112(6):1501-5.
I.
SISTEM KARDIOVASKULAR
55.
- 949 -
Deskripsi
Sangat lemah, hanya terdengar setelah pendengar benarbenar memperhatikan; dapat terdengar tidak disemua posisi
Lemah, namun segera terdengar setelah menempatkan
stetoskop di dada
Cukup keras
Keras, dengan thrill yang teraba
Sangat keras, dengan thrill. Dapat terdengar dengan stetoskop
terletak sebagian di dada.
Sangat keras, dengan thrill. Dapat terdengar dengan stetoskop
tidak ditempelkan di dada.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Ed. China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
- 952 -
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2009; p 265
266.
57.
- 953 -
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th ed. China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009;
p 267-268
58.
PEMERIKSAAN TRENDELENBURG
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai ada tidaknya vena varikosa
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Minta pasien untuk berbaring.
2. Elevasi tungkai 90 untuk mengosongkan vena.
3. Oklusi vena savena magna pada paha bagian atas dengan
kompresi manual, menggunakan tekanan yang cukup untuk
menekan vena superficial namun tidak menekan vena dalam.
4. Minta pasien untuk berdiri dengan tetap mengoklusi vena.
5. Amati pengisian vena pada tungkai. Normalnya, vena superficial
terisi dari bawah dan memakan waktu sekitar 35 detik.
6. Setelah pasien berdiri selama 20 detik, lepaskan kompresi dan
lihat adanya tambahan pengisian vena.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Normalnya, pengisian vena superfisial memakan waktu sekitar
35 detik.
2. Pengisian vena yang cepat saat vena superfisial dioklusi
menandakan inkompetensi vena-vena komunikans,
3. Adanya pengisian vena mendadak setelah kompresi dilepas
menandakan inkompetensi katup-katup vena pada vena
saphena.
- 954 -
Pelaporan
1. Negatif-negatif: hasil normal.
2. Kedua langkah abnormal: positif-positif.
3. Respons negative-positif dan positif-negatif
ditemukan
juga
dapat
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi, PG. Bates Guide to Physical Examination
and History Taking, 8th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2007.
2. Anonymous. Undervisningsmateriell [internet]. 2008 July [cited
2014
March
23].
Available
from:
http://folk.uio.no/arnewes/undervisning/
59.
- 956 -
- 958 60.
ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Mengetahui aktifitas elektrik jantung
Alat dan Bahan
1. Mesin EKG yang dapat merekam 12 lead
2. 10 lead EKG (4 lead kaki, 6 lead dada): harus terhubung dengan
mesin
3. Elektroda EKG
4. Pisau cukur
5. Alcohol
6. Water based gel
7. Alat tulis
Teknik Pemeriksaan
1. Memperkenalkan diri, konfirmasi identitas pasien, jelaskan
prosedur dan mendapatkan izin secara verbal.
2. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman (duduk atau tidur)
dengan bagian atas badan, kaki dan badan terlihat.
3. Membersihkan lokasi yang akan dipasang elektroda dengan
mencukur rambut dan membersihkan kulit dengan alkohol
untuk mencegah hambatan hantaran gelembong elektrik.
4. Memberikan gel pada lokasi penempelan elektroda.
5. Masing-masing elektroda dipasang dengan menempelkan atau
penjepitan bantalan atau ujung elektroda pada kulit pasien.
Bantalan elektroda biasa diberi label dan berbeda dari segi
warna untuk mencegah kesalahan pemasangan.
6. Lokasi pemasangan elektroda ekstremitas secara umum:
- Tangan kanan: merah
- Tangan kiri: kuning
- Kaki kanan: hijau
- Kaki kiri: hitam
7. Lokasi pemasangan elektroda precordial
- V1 : ICS 4 tepat disebelah kanan sternum
- V2 : ICS 4 tepat di sebelah kiri sternum
- V3 : garis tengah antara V2 dan V4
- V4 : ICS 5 garis midklavikula sinistra
- V5 : garis aksilaris anterior sinistra, sejajar dengan V4
- V6 : garis midaksilaris, sejajar dengan V4
8. Setelah terpasang, nyalakan mesin EKG, mengoperasikan
sesuai prosedur tetap sesuai jenis mesin EKG (manual atau
otomatis).
9. Cek kalibrasi dan kecepatan kertas (1 mV harus digambarkan
dengan defleksi vertikal sekitar 10 mm dan kecepatan kertas 25
mm/detik atau setara dengan 5 kotak besar/detik).
10. Memastikan nama pasien, catat tanggal dan waktu pencatatan.
- 962 Left axis deviation (LAD), atau; gelombang P yang lebar pada
lead ekstrimitas atau gelombang P bifasik pada V1.
12. Gelombang R yang lebih besar disbanding gelombang S pada
V1menandakan namun tidak mendiagnosis RVH (right ventricle
hypertrophy); Gelombang R yang lebih tinggi pada lead
prekordial kanan; right axis deviation; inverse gelombang T pada
lead prekordial menandakan RVH.
- 963 -
- 964 -
J.
61.
Sarung tangan
Spatula
Kaca mulut
Kain kasa
Teknik Pemeriksaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Inspeksi abdomen
Auskultasi
Perkusi
Palpasi (dinding perut, kolon, hepar, lien, aorta, rigiditas dinding
perut, nyeri tekan, dan nyeri lepas tekan)
- 968 -
- 969 -
palpasi dalam
menilai setiap
massa: lokasi,
nyeri tekan.
- 971 -
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
63.
- 973 -
Referensi
- 974 -
Analisis
- 975 -
- 976 -
- 977 Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
66.
PEMASANGAN NGT
Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan
1. Dekompresi lambung atau drainase isi lambung
2. Akses makanan dan obat-obatan bagi pasien yang tidak dapat
makan peroral
3. Diagnostik
Alat dan bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Sarung tangan
Handuk untuk menutupi baju pasien
Kertas tisu
Basin emesis
NGT: dewasa ukuran 16 atau18 fr, anak ukuran 10 fr
Plester
Stetoskop
Disposable spuit 50 ml dengan catether tip
1 gelas air minum dengan sedotan
Lubricant gel,lebih baik bila mengandung anestesi lokal
Teknik Keterampilan
1. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan kepada pasien.
2. Siapkan alat dan bahan. Pilih ukuran tube yang sesuai untuk
pasien.
3. Periksa segel dan tanggal kadaluarsa alat yang akan digunakan.
4. Cuci tangan dan mengenakan sarung tangan.
5. Posisikan pasien pada berbaring dengan elevasi 30-45. Lapisi
pakaian pasien dengan handuk. Letakkan basin emesis pada
pangkuan pasien.
6. Periksa ada tidaknya sumbatan pada hidung. Periksa kedua
lubang hidung untuk menentukan lubang yang paling besar
dan terbuka.
7. Ukur panjang insersi tube dengan memegang tube di atas tubuh
pasien, ujung distal diletakkan 6 cm di bawah prosesus
sifoideus; ujung proksimal direntangkan ke hidung; lingkarkan
bagian tengah pada cuping telinga pasien. Tandai panjang
ukuran tersebut dengan plester.
8. Olesi tube dengan lubricant gel
9.
10.
11.
12.
13.
Referensi
Pfenninger JL, & Fowler GC 2011, Pfenninger and fowlers
procedures for primary care. 3th edn. Elsevier, Philadelphia, hh.
1392-1399.
67.
Sarung tangan
NGT
Disposable spuit 50ml
NaCl 0,9% 2-3 L atau air bersih sebagai irigan
Gelas ukur
Teknik Keterampilan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
- 979 9. Periksa tanda vital pasien, output urin dan tingkat kesadaran
setiap 15 menit.
10. Lepaskan NGT sesuai indikasi.
Referensi
Kowalak JP (ed) 2009, Lippincotts nursing procedures. 6th edn.
Lippinkotts Williams&Wilkins, Philadelphia.
68.
Tujuan
1. Mengetahui kelainan yang mungkin terjadi di bagian anus dan
rektum.
2. Mengetahui kelainan yang mungkin terjadi di prostat pada lakilaki.
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan
2. Lubricating gel
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien prosedur, tujuan pemeriksaan dan
ketidaknyamanan yang muncul akibat tindakan yang akan kita
lakukan
2. Minta pasien untuk melepaskan celana.
3. Minta pasien berbaring menghadap ke kiri, membelakangi
pemeriksa dengan tungkai ditekuk.
4. Lakukan inspeksi untuk melihat apakah terdapat benjolan,
luka, inflamasi, kemerahan, atau ekskoriasi di daerah sekitar
anus.
5. Gunakan sarung tangan, oleskan lubricating gel pada ujung jari
telunjung pemeriksa dan di sekitar anus pasien.
- 980 -
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
69.
Sarung tangan
Enema
Lubricant gel
Handuk
Kertas tisu
Prosedur
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien
2. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Gunakan sarung
tangan.
4. Minta pasien melepas pakaiannya dari pinggang ke bawah.
Posisikan pasien pada posisi Sims; minta pasien berbaring
miring kiri dan menekuk lutut kanan ke atas.
5. Buka tutup enema dan oleskan lubrikan di ujung enema.
6. Dengan satu tangan, pisahkan bokong untuk mengekspos
anus. Dengan tangan lain, pegang botol enema, dan secara
perlahan masukkan ujung enema ke dalam rektum. Pastikan
arah ujung enema mengarah ke umbilikus.
7. Masukkan isi enema secara perlahan.
8. Tarik ujung enema secara perlahan dan berikan kertas tisu
kepada pasien yangdigunakan untuk mengelap lubrikan dan
memberikan tekanan pada anus. Minta pasien untuk menahan
selama mungkin.
9. Tunggu 5-10 menit agar larutan enema bekerja.
10. Minta pasien ke toilet jika dibutuhkan; cek feses pasien setelah
pasien berhasil buang air besar.
Referensi
Keir L, Wise B, Krebs C, & Kelley-Arney C 2007, Medical assisting:
administrative and clinical competencies, 6th edn. Cengage
Learning, Stamford.
70.
Sarung tangan
Kantung kolostomi baru
Gunting
Handuk atau kertas tisu bersih
Prosedur
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.
2. Persiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan dan kenakan sarung
tangan.
4. Lepas kantung kolostomi yang lama secara perlahan untuk
mencegah iritasi kulit.
5. Buang kantung kolostomi yang lama ke tempat sampah limbah
medis.
6. Setelah semua perlatan dilepas, bersihkan daerah sekitar stoma
secara perlahan dengan handuk atau kertas tisu bersih. Buang
sampah medis ke tempatnya.
7. Amati kulit di sekitar stoma. Nilai adanya kemerahan, iritasi,
kulit yang terkelupas. Catat temuan pada rekam medis.
8. Cuci kulit di sekitar stoma dengan sabun. Bilas dan keringkan
secara perlahan.
9. Oleskan salep, lubrikan, atau krim pada kulit di sekitar stoma.
Oles secara tipis. Hindari penumpukan obat topikal di kulit.
10. Siapkan kantung kolostomi yang baru. Pastikan klem kolostomi
terpasang dengan baik.
11. Ketika memasang kantung baru, segel seluruh daerah untuk
mencegah kebocoran.
12. Amati warna, jumlah, konsistensi, dan frekuensi feses. Catat
temuan di rekam medis.
Referensi
Acello B 2005, Nursing assisting: essentials for long term care. 2nd
edn, Thomson, New York.
K.
71.
Menilai
Menilai
Menilai
Menilai
72.
Handschoon steril
Kasa dan antiseptik (povidone iodine)
Doek bolong
Pelicin jelly
Pinset steril
Klem
NaCl atau aqua steril
Spuit 10 CC
Urine bag
Teknik Tindakan
1. Lakukan informed consent kepada pasien karena tindakan ini
adalah tindakan invasif. Pasien perlu mengetahui bahwa
tindakan akan terasa nyeri dan terdapat risiko infeksi dan
komplikasi permanen.
2. Persiapkan alat dan bahan steril dalam bak steril (termasuk
mengeluarkan kateter dari bungkus pertamanya).
3. Lakukan tindakan aseptik antiseptik dengan:
- Mencuci tangan menggunakan antiseptik
- Menggunakan sarung tangan steril
- Melakukan desinfeksi meatus eksternus, seluruh penis,
skrotum dan perineum
- Melakukan pemasangan doek bolong
1. Keluarkan kateter dari bungkus keduanya.
- 989 -
L.
SISTEM REPRODUKSI
73.
- 990 11. Periksa kelenjar Skene untuk melihat adanya keputihan dan
nyeri. Dengan telapak tangan menghadap ke atas masukkan jari
telunjuk ke dalam vagina lalu dengan lembut mendorong ke
atas mengenai uretra dan menekan kelenjar pada kedua sisi
kemudian langsung ke uretra
12. Periksa kelenjar Bartholin untuk melihat apakah ada cairan dan
nyeri. Memasukkan jari telunjuk ke dalam vagina di sisi bawah
mulut vagina dan meraba dasar masing-masing labia majora.
Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, mempalpasi
setiap sisi untuk mencari apakah ada benjolan atau nyeri.
13. Minta ibu untuk mengejan ketika menahan labia dalam posisi
terbuka. Periksa apakah terdapat benjolan pada dinding
anterior atau posterior vagina
Pemeriksaan In spekulo
1. Pasang spekulum cocor bebek dan sesuaikan sehingga seluruh
leher rahim dapat terlihat.
2. Spekulum cocor bebek difiksasi pada posisi terbuka sehingga
pandangan di leher rahim dapat terjaga selama pemeriksaan.
3. Bersihkan lendir dan getah vagina apabila menghalangi
pandangan ke leher rahim.
4. Periksa leher rahim apakah ada kecurigaan kanker leher rahim,
atau terdapat servisitis, ektopion, tumor, ovula Naboti atau
luka.
5. Lepaskan spekulum dan letakkan ke dalam wadah berisi
larutan klorin 0.5%
Pemeriksaan bimanual:
1. Pemeriksa dalam posisi berdiri.
2. Tangan kiri diletakkan di atas abdomen. Kemudian masukkan
jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan pemeriksa yang
sudah diberi gel lubrikan ke dalam vagina.
3. Nilai dinding vagina. Apakah teraba masa, atau ada infiltrasi
masa?
4. Nilai porsio: konsistensi, ukuran, besar, ektopi, adanya masa,
adanya nyeri goyang porsio.
5. Nilai
korpus
uteri:
konsistensi,
ukuran,
posisi
(antefleksi/retrofleksi), adanya benjolan atau masa
6. Nilai adneksa: adanya nyeri tekan, masa/benjolan, tegang/kaku
(pada
penyakit
radang
panggul/PRP,
perdarahan
intraabdomen).
7. Nilai kavum Douglasi: menonjol atau tidak (adanya masa,
cairan).
8. Kemudian, keluarkan jari tangan pemeriksa secara perlahan.
9. Bersihkan kembali area vulva dengan kasa kering atau yang
diberi antiseptik.
10. Pemeriksaan colok dubur (rectal touch) dapat dilakukan pada
pasien anak atau wanita yang belum menikah.
- 992 5
6
7
Stetoskop
Tensimeter
Partogram
- 994 21. Periksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin. Lakukan
tindakan yang sesuai bila hal tersebut terjadi.
Jika lilitan tali pusat di leher bayi masih longgar, selipkan
tali pusat lewat kepala bayi
Jika lilitan terlalu ketat, klem tali pusat di dua titik lalu
gunting di antaranya.
22. Tunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi
luar secara spontan.
23. Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara
biparental. Anjurkan kepada ibu untuk meneran saat
kontraksi.
Dengan lembut gerakan kepala ke arah bawah dan distal
hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan
kemudian gerakan ke atas dan distal untuk melahirkan
bahu belakang.
24. Setelah kedua bahu lahir, geser tangan bawah ke arah
perineum ibu untuk menyanggah kepala, lengan dan siku
sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan
memegang tangan dan siku sebelah atas.
25. Setelah tubuh dan lengan bayi lahir, lanjutkan penelusuran
tangan yang berada di atas ke punggung ke arah bokong dan
tungkai dan kaki bayi (pegang kedua mata kaki, masukan
telunjuk diantara kedua kaki dan pegang masing-masing
mata kaki dengan ibu jari dan jari0jari lainnya).
26. Lakukan penilaian selintas (30 detik): apakah kehamilan
cukup bulan? apakah bayi menangis kuat dan atau bernafas
tanpa kesulitan? Apakah bayi bergerak aktif?
27. Bila tidak ada tanda asfiksia, lanjutkan manajemen bayi baru
lahir normal. Keringkan dan posisikan tubuh bayi di atas
perut ibu.
Keringkan bayi mulai dari bagian muka, kepala dan
bagian tubuh lainnya (kecuali bagian tangan tanpa
membersihkan verniks).
Ganti handuk yang basah dengan yang kering.
Pastikan bayi dalam posisi mantap di atas perut ibu.
28. Periksa kembali perut ibu untuk memastikan tidak ada bayi
lain dalam uterus (hamil tunggal).
29. Beritahu ibu bahwa penolong akan menyuntikkan oksitosin
untuk membantu uterus berkontraksi dengan baik.
30. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, berikan suntikan
oksitosin 10 unit IM di sepertiga paha atas bagian distal
lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).
31. Jepit tali pusat menggunakan klem, 2 menit setelah bayi
lahir, kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Melakukan urutan pada
tali pusat mulai dari klem ke arah ibu dan memasang klem
kedua 2 cm dari klem pertama (ke arah ibu).
32. Pegang tali pusat dengan satu tangan, melindungi bayi dari
gunting dan memotong tali pusat di antara dua klem tersebut.
- 995 Ikat tali pusat dengan benang DTT/steril pada satu sisi
kemudian lingkarkan kembali benang ke sisi berlawanan
dan lakukan ikatan kedua menggunakan simpul kunci
Lepaskan klem dan masukkan ke dalam larutan klorin
0.5%
33. Tempatkan bayi dalam posisi tengkurap di dada ibu, luruskan
bahu bayi agar menempel dengan baik di dinding dada-perut
ibu. Usahakan posisi bayi berada diantara payudara ibu
dengan posisi lebih rendah dari putting payudara ibu.
34. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan kering dan
pasang topi pada kepala bayi.
35. Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari
vulva.
36. Letakkan satu tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi atas
simfisis dan tegangkan tali pusat dan klem dengan tangan
yang lain.
37. Setelah uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat ke arah
bawah, sementara tangan yang lain menekan uterus dengan
hati-hati ke arah dorsokranial.
Jika uterus tidak segera berkontraksi, minta keluarga
untuk menstimulasi puting susu.
Episiotomi
- 997 -
- 1000 3. Payudara
Pasca
persalinan
aktifitas
prolaktin
meningkat
dan
mempengaruhi kelenjar mamae untuk menghasilkan air susu,
sementara oksitosin menyebabkan kontraksi mammae yang
membantu pengeluaran air susu. Beberapa kelainan pada
payudara yang dapat menghambat prosuksi ASI antara lain:
a. Puting terbenam
Puting yang terbenam setelah kelahiran dapat dicoba ditarik
dengan menggunakan nipple puller beberapa saat sebelum
bayi disusui.
b. Puting lecet
Puting lecet biasanya terjadi karena perlekatan ibu-bayi
saat menyusui tidak benar. Periksa apakah perlekatan ibubayi salah. Periksa juga kemungkinan infeksi Candida yang
ditandai dengan kulit merah, berkilat dan terasa sakit.
Pasien dapat terus menyusui apabila luka tidak begitu
sakit, bila sangat sakit ASI dapat diperah. Olesi puting
dengan ASI dan biarkan kering serta jangan mencuci
daerah puting dan areola dengan sabun.
c. Mastitis
Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi pada
masa nifas atau sampai dengan 3 minggu pasca-persalinan.
Disebabkan oleh sumbatan saluran susu dan pengeluaran
Asi yang kurang sempurna. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah:
- Kompres hangat
- Masase pada payudara untuk merangsang pengeluaran
oksitosin agar ASI dapat menetes keluar.
- Pemberian antibiotika.
- Istirahat dan pemberian obat penghilang nyeri bila perlu.
Referensi
76.
77.
KOMPRESI BIMANUAL
- 1002 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan kompresi bimanual
Alat dan Bahan
Sarung tangan steril
Teknik Pemeriksaan
Kompresi Bimanual Interna
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
- 1003 -
4.
5.
6.
7.
8.
Referensi
Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
79.
- 1007 -
- 1008 -
80.
Penis
1. Lakukan inspeksi pada penis, nilai kulit di sekitar penis apakah
terdapat ekskoriasi atau inflamasi.
2. Preputium
82.
KONSELING KONTRASEPSI
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan konseling pada klien yang ingin menggunakan
kontrasepsi
Konseling kontrasepsi pil
1. Memberi salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan kapan hari pertama haid terakhir
3. Menanyakan apakah klien menyusui kurang dari 6 minggu
pascapersalinan
4. Menanyakan
apakah
klien
pernah
mengalami
perdarahan/perdarahan bercak antara haid atau setelah
sanggama.
5. Menanyakan apakah klien pernah ikterus pada kulit atau mata.
6. Menanyakan apakah klien pernah nyeri kepala hebat atau
gangguan visual.
7. Menanyakan apakah klien pernah nyeri hebat pada betis, paha
atau dada, atau tungkai bengkak (edema).
8. Menanyakan apakah klien pernah tekanan darah di atas 160
mmHg (sistolik) atau 90 mmHg (diastolik).
9. Menanyakan apakah klien memiliki massa atau benjolan pada
payudara.
10. Menanyakan apakah klien sedang minum obat-obatan anti
kejang (epilepsi).
11. Memberikan informasi umum tentang kontrasepsi dan jenisjenisnya
12. Memberikan informasi tentang indikasi, kontraindikasi, efek
samping dan hal yang perlu diperhatikan tentang kontrasepsi
pil.
Konseling pra-penanganan spiral
1. Memberi salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan kapan hari pertama haid terakhir
- 1015 83.
PEMASANGAN KONTRASEPSI
a. Injeksi Kontrasepsi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan tindakan kontrasepsi injeksi
Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat dan bahan. Periksa tanggal kadaluarsa obat
suntik.
2. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi sesuai
kebutuhan.
4. Lakukan cuci tangan menggunakan sabun dan bilas dengan
air mengalir. Keringkan dengan handuk atau dianginkan.
5. Buka segel atau patahkan ampul obat.
6. Buka kemasan spuit disposable secara steril.
7. Gunakan sarung tangan.
8. Kencangkan jarum suntik pada spuitnya.
9. Masukkan obat kontrasepsi ke dalam spuit melalui penutup
karet atau lubang ampul dengan posisi dibalik.
10. Keluarkan udara yang ada di dalam spuit.
11. Lakukan desinfeksi lokasi penyuntikan dengan swab
alkohol.
12. Tentukan lokasi penyuntikan dengan menempatkan telapak
tangan pada trochanter mayor femur dan telunjuk pada
antero-superior spina iliaka pelvis.
13. Lebarkan jari tengah ke arah posterior sepanjang krista
iliaka.
14. Daerah V yang terbentuk antara jari telunjuk dan jari
tengah merupakan lokasi penyuntikan.
15. Lakukan penyuntikan secara intra muscular dengan arah
tusukan 90o terhadap permukaan kulit.
16. Lakukan aspirasi untuk memeriksa ketepatan lokasi
penyuntikan.
17. Bila tidak ada darah yang keluar, suntikan obat kontrasepsi
hingga habis dan angkat jarum.
18. Tekan bekas lokasi penyuntikan dengan swab namun
jangan digosok.
- 1016 19. Buang sisa alat ke dalam tempat yang sudah ditentukan.
20. Cuci tangan setelah tindakan.
21. Komunikasikan kapan pasien harus kembali untuk
mendapatkan suntikan berikutnya.
Spina iliaka anterior superior (SIAS)
Lokasi injeksi
Krista iliaka
Teknik Pemasangan
- 1017 -
Insersi IUD
1. Persiapkan alat dan bahan. Pastikan alat IUD tersegel
sempurna dan perhatikan tanggal kadaluarsa alat.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan. Informasikan bahwa pemeriksaan
yang akan dilakukan tidak menyebabkan nyeri namun
pasien mungkin akan merasa tidak nyaman.
3. Minta pasien melepaskan celana dan berbaring di meja
periksa dengan posisi litotomi.
4. Pemeriksa mencuci tangan dan menggunakan sarung
tangan.
5. Lakukan pemeriksaan bimanual untuk mengetahui posisi
uterus.
6. Lepas sarung tangan.
7. Buka pembungkus IUD sampai dengan setengahnya dan
lipat kebelakang.
8. Masukkan pendorong kedalam tabing inserter.
9. Letakkan kemasan IUD di atas permukaan yang datar, keras
dan bersih.
10. Dengan teknik steril, lipat IUD dan masukkan ke dalam
tabung inserter.
18. Keluarkan
uterus di kertas
pengukur.
19. Sesuaikan panjang uterus pada tabung insersi IUD dengan
menggeser leher biru pada tabung inserter. Panjang uterus
wanita antara 6-9 cm.
20. Keluarkan inserter dari kemasannya.
21. Masukkan tabung inserter secara hati-hati kedalam uterus
sampai leher biru menyentuh serviks atau sampai dirasakan
adanya tahanan.
22. Setelah pipa insersi mencapai fundus uteri, lepaskan IUD
dengan menggunakan inserter.
Retract
Stationary
KONSELING PRAKONSEPSI
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan Konseling Pra-Konsepsi
Konseling
1. Jaga pola makan sehat dan kebersihan makanan (food hygiene),
seperti menghindari makanan mentah atau setengah matang
2.
3.
4.
5.
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan general: pemeriksaan tanda vital dan status
generalis.
2. Riwayat keluarga: kelainan bawaan, kongenital, riwayat
penyakit degeneratif pada keluarga.
3. Pemeriksaan urin: protein, glukosa, leukosit.
4. Pemeriksaan darah: skrining anemia, talasemia, kelainan sel
sabit, toksoplasmosis, sifilis (bila terdapat faktor risiko).
5. Pemeriksaan imunitas: hepatitis, rubella, dan varicella
(vaksinasi bila perlu)
6. Skrining HIV (bila ada faktor risiko).
7. Pemeriksaan gigi: kesehatan gigi dan gusi.
Referensi
Buku Ajar Obstetri dan Ginekologi Bab 1: Asuhan antenatal
85.
PEMERIKSAAN ANC
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan pemeriksaan antenatal
Alat dan Bahan
1. Meja periksa ginekologi
2. Sarung tangan steril
3. Lubrikan gel
Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat dan bahan.
86.
- 1023 dan potong tali pusat dengan cepat, tidak diikat dan tidak
dibubuhi apapun, kemudian lakukan langkah awal
resusitasi.
Jika megap-megap atau tidak bernapas, lakukan pengisapan
terlebih dahulu dengan membuka lebar, usap mulut dan
isap lendir di mulut, klem dan potong tali pusat dengan
cepat, tidak diikat dan tidak dibubuhi apapun, kemudian
dilakukan langkah awal resusitasi.
4. Tindakan Resusitasi
a. Sambil memotong tali pusat, beritahu ibu dan keluarga
bahwa bayi mengalami masalah sehingga perlu dilakukan
tindakan resusitasi, minta ibu dan keluarga memahami
upaya ini dan minta mereka ikut membantu mengawasi ibu.
b. Langkah awal resusitasi : Jaga bayi tetap hangat, atur posisi
bayi, isap lendir, keringkan dan rangsang taktil, reposisi.
- Posisikan kepala bayi pada posisi menghidu yaitu kepala
sedikit ekstensi dengan mengganjal bahu (gunakan
handuk/ kain yang telah disiapkan dengan ketebalan
sekitar 3 cm dan dapat disesuaikan).
- Bersihkan jalan napas dengan mengisap lendir di mulut
sedalam <5 cm dan kemudian hidung (jangan melewati
cuping hidung).
- Keringkan bayi (dengan sedikit tekanan) dan gosok muka/
dada/ perut/ punggung bayi sebagai rangsangan taktil
untuk merangsang pernapasan. Ganti kain yang basah
dengan kain yang bersih dan kering. Selimuti bayi dengan
kain kering, Bagian wajah dan dada terbuka.
- Reposisikan kepala bayi dan nilai kembali usaha napas.
5. Evaluasi ulang langkah di atas
Nilai hasil awal, buat keputusan dan lakukan tindakan:
a. Jika bayi bernapas normal/ tidak megap-megap dan atau
menangis, lakukan asuhan pasca resusitasi
b. Jika bayi tidak bernapas spontan atau napas megap-megap,
lakukan ventilasi.
6. Asuhan pasca resusitasi
a. Pemantauan tanda bahaya
b. Perawatan tali pusat
c. Inisiasi menyusui dini
d. Pencegahan hipotermi
e. Pemberian vitamin K1
f. Pencegahan infeksi
g. Pemeriksaan fisik
h. Pencatatan dan pelaporan
7. Ventilasi
a. Pasang sungkup, perhatikan lekatan
- 1025 -
Referensi
- 1026 -
87.
PENGATURAN DIET
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan Tindakan:
1.
2.
3.
4.
Indeks
glikemik
100
91
88
83
72
64
61
58
57
50
49
46
38
34
10
- 1028 Referensi
Kolegium Gizi Klinik, 2014
88.
Sarung tangan
Sediaan insulin sesuai kebutuhan dan indikasi
Spuit 1ml 29G
Kapas alkohol
Teknik Keterampilan
1.
2.
3.
4.
Referensi
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011
89.
90.
Proses
1. Terlaksananya program konseling
2. Ada laporan kemajuan program diet
3. Ada tindak lanjut dari setiap laporan kemajuan
Keluaran
Gangguan metabolik terkendali,
laboratorium atau indikator klinis
berdasarkan
dengan
hasil
Dampak
Terhindar dari komplikasi
Manfaat
1. Mengurangi risiko sakit
2. Pencegahan biaya berobat
Teknik Konseling
Lakukan teknik konseling (lihat materi Komunikasi) diawali dengan
pendahuluan, memberikan atmosfer yang aman dan rasa hormat,
serta memberikan nasihat secara proporsional.
N.
91.
92.
HIV
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kasus HIV
Kemauan pasien
Ada potensi pencegahan penularan
Ada potensi upaya paliatif
Tersedianya waktu konsultasi
Rekam medik
Ada konselor
Ada media konseling
Ada biaya konseling
Stigma masyarakat
1. Melaksanakan
metode
konseling
baku HIV
2. Ada program konseling HIV
3. Pasien mengikuti program
4. Analisis kemajuan program
5. Edukasi psikologi pasien
1. Terlaksananya program konseling
2. Ada laporan kemajuan program
3. Ada tindak lanjut dari setiap laporan
kemajuan
4. Tercegahnya penurunan CD4 <200
cell/m3
5. Terjadinya kemajuan peran diri
1. Terhindar dari infeksi oportunistik
2. Mampu bersosialisasi
1. Tidak terjadi penularan HIV baru
2. Lebih percaya diri untuk berinteraksi
dengan masyarakat
3. Kualitas hidup meningkat
4. Usia harapan hidup meningkat
O.
SISTEM MUSKULOSKELETAL
93.
a.
b.
c.
d.
e.
- 1037 Ke kiri 80
94.
- 1041 -
- 1042 -
- 1043 -
- 1044 -
- 1046 -
- 1048 -
- 1049 -
Referensi
Tumit
kaki
kanan
kiri mengangkat
kontraksi
0%
kaki
kaki
kiri
kanan mengangkat
kontraksi
50%
Waktu, persentase siklus
Durasi siklus
siklus
selanjutnya
100%
- 1051 -
- 1052 4. Palpasi
Minta pasien untuk duduk di ujung meja pemeriksaan
dengan posisi lutut fleksi. Pada posisi ini lekukan tulang
lebih terlihat dan otot, ligamen dan tendon lebih relaksasi.
Beri perhatian pada tempat yang terdapat nyeri, karena
problem lutut sering mengalami nyeri.
Palpasi sendi tibiofemoral: taruh ibu jari di jaringan lunak
di kedua sisi tendon patela. Kenali lekukan sendi lutut.
Identifikasi batas-batas femur distal dan tibia proksimal
Nilai kompartemen sendi medial dan lateral dengan lutut
fleksi 90.
Menilai kompartemen patelofemoral. Temukan lokasi patela
dan cari tendon patela distal sampai menemukan
tuberositas tibia. Minta pasien untuk mengangkat kakinya.
Pastikan bahwa tendon patela intak.
Minta pasien untuk terlentang dan lutut diregangkan.
Tekan patela terhadap femur. Minta pasien untuk
mengencangkan otot quadrisep ketika patela digerakkan ke
distal di lekukan trochlear. Cek kehalusan gerak geser (the
patellofemoral grinding test).
Penilaian kantong suprapatela, bursa prepatela dan bursa
anserine: palpasi semua yang menebal atau pembengkakan
di kantong suprapatela dan sepanjang batas patella mulai
10 cm diatas batas superior dari patela dan rasakan
jaringan lunak diantara ibu jari dan jari-jari tangan.
Gerakkan tangan ke distal dengan langkah yang progresif,
coba untuk mengenali kantong suprapatela. Lanjutkan
palpasi sepanjang pinggir dari patela. Rasakan apakah ada
bengkak atau rasa panas di antara jaringan.
Nilai ketiga bursa apakah ada bengkak. Palpasi bursa
prepatela dan bursa anserine di posteromedial dari lutut
diantara ligamentum kolateral media dan tendon yang
menyisip di tibia medial dan di bagian tingginya. Pada
permukaan posterior, dengan lutut diekstensikan, nilai
aspek medial dari fossa poplitea, antara lain untuk
mendeteksi adanya Kista Baker (ganglion poplitea).
Otot gastroknemius, soleus, dan tendon Achilles: palpasi
otot gastroknemius dan soleus di permukaan posterior di
kaki bawah. Tendon achilles dapat di palpasi di sepertiga
betis bagian bawah dari penyisipannya sampai ke
kalkaneus.
Untuk tes integritas tendon Achilles, minta pasien untuk
berlutut di atas kursi. Tekan betis dengan kuat dan lihat
plantar fleksi di pergelangan kaki.
5. Tes palpasi untuk menilai efusi di sendi lutut
The Bulge sign: dengan lutut di luruskan, taruh tangan kiri
diatas lutut dan berikan tekanan di kantong suprapatelar,
pindahkan cairan sendi ke arah bawah. Gerakkan secara
- 1054 -
- 1055 -
- 1057 -
2. Pemeriksaan lutut
- Kelemahan quadrisep ditandai dengan tidak mampunya lutut
diekstensikan melawan tahanan.
- Bengkak di sekitar patela menandakan bursitis prepatelar.
Bengkak di sekitar tuberkulum tibial menandakan bursitis
infrapatelar atau bila lebih medial menandakan bursitis
anserine.
- Osteoartritis pada tulang rawan serta batas sendi terjadi jika
ada deformitas genu varum dan kekakuan selama kurang
dari 30 menit atau kurang. Krepitus mungkin ada.
- Robekan meniskus dengan nyeri setelah trauma sering terjadi
pada meniskus medial.
- Nyeri pada ligamentum kolateral medial setelah trauma,
kemungkinan adanya robekan ligamentum kolateral medial
dan sebaliknya.
5.
- 1062 97.
- 1064 5. Pilih arah yang pasti untuk memfiksasi putaran perban, jangan
putarkan perban di tempat yang sudah diperban
Referensi
Robroek, WCL, Beek, Van de G. Skills in Medicinie: Bandages and
Bandaging
Techniques.
Mediview:
Maastricht
University,
Netherlands, 2009, p 39-43, 76-77.
P.
98.
Rambut
Inspeksi dan palpasi rambut. Catat kuantitas, distribusi rambut
dan teksturnya.
Kuku
Inspeksi dan palpasi kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Lihat
warna, bentuk dan kelainan bentuk. Garis longitudinal seperti
pigmen mungkin dapat terlihat pada orang normal dengan kulit
yang lebih gelap
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Pucat yang terjadi oleh karena penurunan kemerahan akibat
anemia dan kekurangan aliran darah, yang biasa terjadi pada
orang yang sering pingsan atau insufisiensi arteri.
2. Penyebab sianosis sentral adalah penyakit paru lanjut, penyakit
jantung kongenital, dan hemoglobinopati.
3. Sianosis di gagal jantung kongestif sering perifer, merefleksikan
menurunnya aliran darah, tetapi di edema paru kemungkinan
sentral. Obstruksi vena mungkin menyebabkan sianosis perifer.
4. Jaundice menandakan penyakit hepar atau hemolisis dari sel
darah merah yang terlalu banyak.
5. Kulit kering pada hipotiroid, kulit berminyak pada jerawat.
6. Kehangatan kulit generalisata ada pada demam, kulit dingin
pada hipotiroid, kehangatan lokal akibat inflamasi atau selulitis.
7. Kulit keras pada hipotiroid, kulit seperti beludru pada
hipertiroid.
8. penurunan mobilitas pada edema dan skrofuloderma,
penurunan turgor akibat dehidrasi.
9. Banyak penyakit kulit punya distribusi yang tipikal. Jerawat
berada di wajah, dada bagian atas dan punggung. Psoriasis
sering pada lutut, siku dan punggung bawah dan infeksi
kandida pada area-area lipatan.
10. Vesikel yang unilateral dan bersifat dermatom khas pada herpes
zoster.
11. Kemerahan lokal di kulit menandakan akan terjadi nekrosis,
walaupun beberapa luka akibat tekanan dalam terjadi tanpa
didahului oleh kemerahan.
- 1066 12. Alopesia artinya rambut rontok, bisa difus, bercak atau total.
Rambut yang jarang pada hipotiroid, rambut yang lembut
seperti sutra pada hipertiroid.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China,
2009, p 168-170
99.
PEMERIKSAAN EFLORESENSI
JARINGAN PENUNJANG
KULIT
DAN
PEMERIKSAAN
- 1067 Kista: ruangan berdinding dan berisi cairan, sel maupun sisa
sel. Kista tidak terbentuk karena peradangan, namun dapat
terjadi radang.
Tumor: penonjolan di atas permukaan kulit yang merupakan
pertumbuhan sel atau jaringan tubuh.
b. Pewarnaan Gram
- 1068 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Alat dan bahan
1. Kaca objek
2. Mikroskop
3. Larutan Gentian violet
4. Larutan Safranin (water fuchsin)
5. Larutan Jodium
6. Alkohol 96 %
7. Aquades
Teknik Pemeriksaan
1. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di
kaca objek
2. Rekatkanlah sediaan dengan api, biarkan dingin lagi
3. Pulas dengan gentianviolet selama 30 detik
4. Cuci dengan aquades
5. Pulas dengan jodium selama 30 detik
6. Cuci dengan aquades
7. Buang warna dengan alkohol 96% sampai tidak ada warna violet
dilepaskan lagi oleh sediaan
8. Cuci benar-benar dengan aquades
9. Pulas dengan safranin/ water fuchsin selama 60 detik
10. Cuci dengan aquades
11. Biarkan kering dan periksalah
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Kesalahan biasa adalah overstaining atau overdecolorizing
2. Kuman gram-positif menjadi violet, sedangkan gram negatif
menjadi merah
Referensi
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat:
Jakarta. 2008. Hal 191-192.
c. Pulasan metilen biru
Tingkat Keterampilan: 4A
Alat dan Bahan
1. Kaca objek
2. Mikroskop
3. Larutan metilen biru
4. aquades
- 1069 -
Teknik Pemeriksaan
1. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di
kaca objek
2. Rekatkanlah sediaan yang sudah kering dengan api
3. Pulas dengan metilen biru selama -3 menit
4. Cuci dengan aquades, keringkan dan periksa
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Lamanya pulasan ditentukan oleh bahan yang diperiksa dan
oleh tebalnya sediaan.
2. Dalam pulasan ini bentuk sel-sel badan lrbih terjaga daripada
dengan pulasan Gram atau Ziehl-Nielsen.
3. Digunakan jika hanya menghendaki menyatakan adanya jasad
renik saja.
Referensi
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat:
Jakarta. 2008. Hal 193-194.
d. Pulasan Ziehl-Nielsen
Tingkat Keterampilan: 4A
Alat dan Bahan
1. Kaca objek
2. Mikroskop
3. Larutan karbol-fuchsin
4. Larutan metilen biru
5. Alkohol asam
6. Aquades
Teknik Pemeriksaan
1. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di
kaca objek
2. Rekatkanlah sediaan yang sudah kering dengan api
3. Taruhlah agak banyak karbol-fuchsin di atas kaca objek dan
panasilah kaca itu dengan hati-hati sampai nampak uap
(selama 5 menit ) jangan sampai mendidih, diamkan hingga
dingin
4. Cuci dengan aquades
5. Buanglah warna dengan alkohol asam sampai tidak ada warna
merah dilepaskan lagi oleh sediaan
6. Cuci dengan aquades
7. Pulas dengan metilen biru selama 1 menit-2 menit
8. Cuci dengan aquades
9. Biarkan kering dan periksalah
Klinik.
Dian
LAIN-LAIN
Waktu Penilaian
Skor apgar dinilai sebanyak 3 kali :
- sesaat setelah lahir
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Ed. Lippincott Williams&Wilkins. China. 2009.
101. PALPASI FONTANELLA
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: mampu menilai ubun-ubun pada bayi
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
2. Cuci tangan 7 langkah.
3. Posisikan bayi duduk di meja periksa atau meminta ibu bayi
memangku bayi.
4. Inspeksi fontanela anterior dan posterior, lihat apakah ada
pembesaran.
5. Palpasi daerah sutura dan fontanel. Palpasi sutura terasa
seperti bubungan dan fontanela terasa seperti cekungan yang
lembut. Pulsasi yang teraba di fontanela merefleksikan pulsasi
perifer.
6. Periksa fontanela secara hati-hati, karena kepenuhannya
merefleksikan tekanan intrakranial.
Analisis Hasil Pemeriksaan
Fontanel merupakan bagian lunak di antara tulang tengkorak bayi.
Pada perabaan, konsistensinya lunak. Fontanel anterior memiliki
diameter antara 4 6 cm dan biasanya menutup pada usia antara
7 19 bulan. Fontanel posterior memiliki diameter antara 1 2 cm
dan biasanya menutup pada usia 2 bulan.
Pembesaran fontanel posterior biasanya didapatkan pada hipotiroid
kongenital. Fontanel yang tegang dan menonjol didapatkan pada
bayi dengan peningkatan tekanan intrakranial, yang disebabkan
oleh infeksi susunan saraf pusat, penyakit neoplasma atau
hidrosefalus. Fontanel anterior yang cekung dapat merupakan
salah satu tanda dehidrasi.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009. p 765
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009. p 794-795.
103. PENILAIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: mampu menilai perkembangan yang normal pada anak
Alat dan Bahan: Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada ibu pasien pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya
2. Dekati anak secara perlahan, dengan menggunakan mainan
atau objek untuk mengalihkan perhatian
3. Lakukan seluruh pemeriksaan dengan anak berada di
pangkuan ibunya
4. Bicara dengan perlahan kepada anak atau ikuti suara anak
untuk mengalihkan perhatian
5. Tanya ibu pasien tentang perkembangan anak hingga saat ini
6. Setelah itu mulai lakukan pemeriksaan dengan Denver
Develepmental Screening Test (DDST)
- 1075 -
- 1076 -
- 1078 -
Referensi
Parums DV. Tropical and Imported Infectious Disease; Dengue Fever
in Essential Clinical Pathology. 1St ed . Blackwell science, Berlin
1996: 111-14.
- 1080 Masalah/Kebutuhan
Tentukan bayi adalah:
BBLR yang boleh dirawat oleh bidan, adalah BBLR dengan
berat 2000 gram, tanpa masalah / komplikasi
BBLR < 2000 gram atau > 2000 gram tetapi bermasalah
harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
Rencana Perawatan
Untuk semua bayi dengan berat 2000 2499 gram:
Jaga bayi tetap hangat:
Jaga bayi selalu kontak kulit dengan kulit dengan
ibunya (Perawatan Metode Kanguru kontinu (PMK))
Pertahankan posisi ibu dan bayi dengan selembar kain yang
hangat dan dilapisi dengan baju berkancing depan di atasnya.
Tutupi kepala bayi dengan kain atau topi.
Mandikan bayi setelah berusia 24 jam dan suhu tubuh stabil.
Mendorong ibu meneteki (atau memerah kolostrum dan
memberikan dengan cangkir atau sendok) sesegera mungkin
dan selanjutnya setiap 2-3 jam.
Periksa tanda vital (pernapasan, suhu, warna kulit) setiap 30-60
menit selama 6 jam
Ajari ibu dan keluarga menjaga bayi tetap hangat dengan selalu
melakukan kontak kulit dengan kulit
Jika suhu ketiak turun dibawah 36,50C; anjurkan ibu untuk
melakukan perawatan metode Kanguru kontinu.
Tutupi bayi-ibu dengan selimut atau kain yang lebih HANGAT
dan tempatkan keduanya di ruangan yang hangat.
Sarankan ibu dan keluarga selalu mencuci tangan dengan
sabun sebelum memegang BBLR.
Jika masalah bertambah:
Jika BBLR badan tetap dingin/panas, membiru, atau memiliki
gangguan pernapasan, stimulasi dan rujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap.
Jika bayi boleh minum tapi tidak dapat menghisap dengan baik,
perah dan beri ASI dengan menggunakan cangkir /sendok dan
segera rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
Pemantauan
- Pemantauan dilakukan dengan bantuan bidan untuk
mengunjungi bayi minimal dua kali dalam minggu pertama dan
selanjutnya sekali dalam setiap minggu sampai berat bayi 2500
gram dengan mempergunakan format Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM).
- BBLR dapat turun beratnya hingga 10 -15% dalam 10 hari
pertama kemudian sudah harus naik, paling kurang 20 gram
sehari atau 120 gram dalam 6 hari.
- 1082 -
Teknik Tindakan
1. Berikan ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan,
selanjutnya tambahkan MP-ASI mulai usia 6 bulan (180 hari)
sementara ASI diteruskan.
2. Lanjutkan ASI on demand sampai usia 2 tahun atau lebih.
3. Lakukan 'responsive feeding' dengan menerapkan prinsip
asuhan psikososial.
4. Terapkan perilaku hidup bersih dan higienis serta penanganan
makanan yang baik dan tepat.
5. Mulai pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan dengan jumlah
sedikit, bertahap dinaikkan sesuai usia bayi, sementara ASI
tetap sering diberikan.
6. Bertahap konsistensi dan variasi ditambah sesuai kebutuhan
dan kemampuan bayi.
7. Frekuensi pemberian MP-ASI semakin sering sejalan dengan
bertambahnya usia bayi.
8. Berikan variasi makanan yang kaya akan nutrien untuk
memastikan bahwa seluruh kebutuhan nutrien terpenuhi.
9. Gunakan MP-ASI yang diperkaya vitamin-mineral atau berikan
preparat vitamin-mineral bila perlu.
Pengenalan jenis, tekstur dan konsistensi makanan harus
secara bertahap, demikian pula dengan frekuensi dan jumlah
makanan yang diberikan. Berikut ini, beberapa hal penting yang
berkaitan dengan hal tersebut.
Tes makanan pertama kali: Bubur tepung beras yang
diperkaya zat besi merupakan makanan yang dianjurkan
sebagai makanan pertama yang diberikan kepada bayi. Dapat
ditambahkan ASI atau susu formula yang biasa diminumnya
setelah bubur dimasak.
Sebaiknya diberikan mulai 1-2 sendok teh saja dulu, sesudah
bayi minum sejumlah ASI atau formula, kecuali bila selalu
menolak maka diberikan sebelumnya. Selanjutnya jumlah
makanan ditambah bertahap sampai jumlah yang sesuai atau
yang dapat dihabiskan bayi.
10. Tambahkan asupan cairan saat anak sakit, termasuk lebih
sering menyusu, dan dorong anak untuk makan makanan
lunak dan yang disukainya. Setelah sembuh, beri makan lebih
sering dan dorong anak untuk makan lebih banyak.
Analisis Tindakan/Perhatian:
MP-ASI harus memenuhi syarat berikut ini:
1. Tepat waktu (Timely): MP-ASI mulai diberikan saat kebutuhan
energi dan nutrien melebihi yang didapat dari ASI
2. Adekuat (Adequate): MP-ASI harus mengandung cukup energi,
protein dan mikronutrien.
KENYANG:
Memalingkan
muka
atau
menutup mulut ketika melihat
sendok berisi makanan
Menutup
mulut
dengan
tangannya
Rewel atau menangis karena
terus diberi makan
Tertidur
Referensi
Kolegium Gizi Klinik. Definisi dan pemberian MP-ASI. 2014
107. TATALAKSANA GIZI BURUK
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: memberikan tata laksana yang baik dan benar pada anak
dengan gizi buruk tanpa komplikasi
Alat dan Bahan:
NGT
Susu formula (susu F)
Teknik Pemeriksaan
1. Setelah dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan jenis
gizi buruk pada pasien.
a. Gizi buruk yang disebabkan oleh kekurangan asupan protein
(kwashiorkor) dilakukan palpasi abdomen untuk melihat
pembesaran hati.
b. Gizi buruk yang disebabkan oleh kekurangan asupan
karbohidrat (marasmus) terlihat adanya wasting pada lengan
- 1084 atas.
2. Jelaskan kepada ibu pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
3. Cuci tangan 7 langkah
4. Lakukan tatalaksana gizi buruk sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 16. Tatalaksana gizi buruk
2.
3.
4.
5.
Referensi
Kliegman, Behrman, et al: Nelson Textbook of Pediatrics, 18th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.
108. PUNGSI VENA PADA ANAK
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: mampu melakukan pengambilan darah di pembuluh vena
anak
Alat dan Bahan
- Spuit disposible 3 cc
- Tabung plastik 1 ml untuk pemeriksaan Hb
- Torniquet (alat ikat pembendungan)
- Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menyimpan serum
- Kotak pendingin untuk membawa darah dan serum
- Antikoagulan EDTA
- Kapas alkohol 70%
- Air bebas ion dan larutan HNO3
Teknik Tindakan
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Lakukan cuci tangan 7 langkah
3. Sebaiknya anak tetap berada di pangkuan orang tuanya atau
minta anak untuk tidur di tempat tidur ditemani orang tuanya
4. Berikan mainan atau objek untuk mengalihkan perhatian
5. Tempatkan anak pada posisi terlentang
6. Minta operator berdiri di salah satu sisi tempat tidur,
menstabilkan lengan yang akan digunakan untuk pungsi vena
7. Minta asisten berdiri disisi tempat tidur yang lain, menunduk
melewati tubuh anak bagian atas untuk berfungsi sebagai
yang
akan
2.
3.
4.
5.
6.
Referensi
1. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung dasar BCLS Indonesia. Jakarta:
PP PERKI, 2012.
2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Penerbit Indeks, 2010; p 340-355
3. University of Utah. Basic life support [internet]. 2014 [cited 2014
march
24].
Available
from:
http://www.cc.utah.edu/~mda9899/index.htm
4. Nolan JP (ed). Resuscitation guideline 2010. London:
resuscitation council UK, 2010.
111. RESUSITASI JANTUNG PARU
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan resusitasi jantung paru sesuai kompetensi dokter di
layanan primer.
Alat dan Bahan
1. Alat pelindung diri.
2. Monitor EKG
3. Alat defibrilasi.
- 1093 4.
5.
6.
7.
Epinephrine ampul.
Amiodaron ampul.
Spuit.
Kanula intravena.
Teknik Tindakan
1. Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa
dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian
respons dilakukan dengan menepuk-nepuk dan menggoyangkan
penderita sambil memanggil penderita.
2. Jika penderita tidak merespons serta tidak bernapas atau
bernapas tidak normal, maka dianggap mengalami kejadian
henti jantung.
3. Aktivasi sistem layanan gawat darurat.
4. Periksa denyut nadi arteri karotis.
5. Lakukan kompresi dada (lihat bagian bantuan hidup dasar)
6. Setelah lakukan kompresi 30 kali, lakukan ventilasi dengan
membuka jalan napas (lihat bagian Bantuan Hidup Dasar).
7. Berikan bantuan napas (lihat bagian Bantuan Hidup Dasar).
8. Cek irama jantung dan ulangi siklus setiap 2 menit.
9. Ketika alat monitor EKG dan defibrillator datang, pasang
sadapan segera tanpa menghentikan RJP.
10. Hentikan RJP sejenak untuk melihat irama dimonitor.
Kasus VF/VT tanpa nadi
a. Lakukan kejut listrik unsynchronized dengan energi 360 J
untuk kejut listrik monofasik dan 200 J untuk kejut listrik
bifasik.
ini
dapat
Referensi
1. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung dasar BCLS Indonesia, edisi
2012. Jakarta: PP PERKI, 2012.
2. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung lanjut ACLS Indonesia. Edisi
2012. Jakarta: PP PERKI, 2012.
3. Travers AH, et al. 2010 American heart association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care science. Circulation 2010; 122: S676-S684.
4. Anonymous. Automatic external defibrillation [internet]. cited
2014
March
24.
Available
from:
http://www.lbfdtraining.com/Pages/emt/sectione/aed.html
guideline
2010.
London:
yang
akan
berbaring.
setelah itu
kulit untuk
- 1097 c. Stop cairan IV jika sudah tidak ada indikasi yang sesuai.
Pada luka bakar
a. Pemberian terapi cairan dilakukan dengan memberikan 2-4 ml
RL/RA per kg BB tiap %luka bakar.
- dosis diberikan 8 jam pertama
- dosis berikut 16 jam kemudian
b. Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada
dewasa
c. Jika respon membaik, turunkan laju infus secara bertahap
Analisis Pemeriksaan dan Pertimbangan Umum
1. TD<100 mmHg, CRT >2 detik, dan perabaan akral dingin;
frekuensi nadi >90 per menit; serta frekuensi napas >20 kali per
menit menandakan kebutuhan resusitasi.
2. Medikasi harus diberikan secara IV selama resusitasi.
3. Perubahan Natrium, dapat menyebabkan hiponatremia yang
serius. Na serum harus dimonitor, terutama pada pemberian
infus dalam volume besar.
4. Transfusi diberikan bila hematokrit dibawah 30.
5. Insulin infus diberikan bila kadar gula darah >200 mg%.
6. Histamine H2- blocker dan antasid sebaiknya diberikan untuk
menjaga pH lambung 7,0.
Referensi
National clinical guideline center. Intravenous fluid therapy clinical
guideline. London: NICE, 2012.
114. TATALAKSANA DEHIDRASI PADA ANAK
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Mampu melakukan tatalaksana dehidrasi berat dengan tepat.
Alat dan Bahan: Teknik Tindakan
1. Jelaskan kepada ibu pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Cuci tangan sebelum (dan setelah) melakukan tindakan (lihat
materi Universal Precautions).
3. Jika anak menderita dehidrasi berat:
a. Pastikan bahwa pemeriksa dapat cepat memasukkan jalur
intravena. Segera pasang jalur IV.
b. Jika anak masih bisa minum, berikan CRO sambil
mempersiapkan jalur intravena.
4.
5.
6.
7.
Referensi
1. Kliegman, Behrman, et al: Nelson Textbook of Pediatrics, 18th
Edition. Saunders Elsevier: Philadelphia, 2008
2. Department of child and adolescence health and development.
The treatment of diarrhea a manual for physician and other senior
health workers. Geneva: WHO, 2005.
- 1100 -
Konsentrasi Dosis
Onset
Maksimum Kerja
Kulit yang
intak
EMLA
Lidokain
cream
2.5%
Lidokain 5%
Patch
Ethyl
chloride
spray
Membran
mukosa
Xylocain
Gel
Pendingin
kulit
Lidokain 2%
Cair
Lidokain 5%
Salep
Lidokain
2.5%, 5%
Mata
Pantocain
sol.
20
g/ 602
200cm
120
untuk usia menit
7-12 tahun
dan
BB
>20 kg
420 cm2 (3
pcs)
Tetracaine
0.5%
<
1
menit
300
mg
(dewasa),
100
mg
(anak)
2-5
menit
1-2
menit
2
menit
50
mg 20
(dewasa)
detik
Durasi
Kategori
Kehamilan
180 menit
B
(patch
belum
diteliti
untuk
kehamilan)
Maks
jam
12 B
sementara -
15-45
menit
15-20
menit
15-20
menit
Analisis Tindakan/Perhatian
1. Spray ethyil chloride bisa berubah menjadi api ketika
disemprotkan jika kontak dengan api atau koagulasi
elektrik. Gunakan spray dengan memegangnya secara
vertikal, semprotkan di area yang akan dilakukan tindakan
sampai muncul lapisan-lapisan putih dan lakukan insisi
saat lapisan-lapisan putih tersebut masih terlihat.
2. Anestesi lokal dengan spray ethyil chloride digunakan
terbatas hanya pada intervensi minor yang dapat dilakukan
dengan cepat.
3. Pada anestesi infiltrasi jangan gunakan dosis melebihi dosis
maksimum.
4. Hindari injeksi intravena dan bersiap untuk rekasi alergi
atau keracunan.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Jahitan donati
1. Tetapkan titik pertama masuk 1 cm dari batas luka dan
menembus seluruh kutis
2. Jahit dalam 2 langkah dan keluar di batas luka yang
berlawanan, simetris dari jahitan pertama
3. Buat titik masuk kedua di sisi yang sama dari tempat keluar
benang yang terakhir, dekat dengan batas luka tetapi masuk
superfisial( 1 mm dalamnya) melalui kulit
- 1107 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri yang dialami
pasien.
Alat dan Bahan: Obat analgesik
Pemilihan Obat-obatan Analgetik dan Dosis
1. Pemilihan obat-obatan analgetik harus berdasarkan keluhan
utama pasien dan mengikuti 3 langkah pendekatan manajemen
nyeri berdasarkan WHO.
a. Nyeri Ringan: ASA, parasetamol, atau OAINS.
b. Nyeri Sedang: Opioid lemah, OAINS, atau parasetamol.
- Codeine
- Kombinasi codeine-parasetamol.
- Tramadol
c. Nyeri Berat: OAINS sampai dengan opioid kuat.
- Kerja panjang: Fentanil transdermal, metadon
- Kerja pendek: morfin, hydromophone, meperidine.
2. Nyeri ringan umumnya diberikan secara per oral, nyeri sedang
dan berat dapat dipertimbangkan pemberian intramuscular
atau intra vena.
3. Pasien yang mengeluhkan nyeri yang terus menerus sebaiknya
menerima analgesia rutin dibandingkan dengan bila diperlukan.
4. Pasien yang mengeluhkan nyeri hilang timbul sebaiknya
menerima obat-obatan analgesia hanya bila diperlukan.
5. Pasien yang menerima infus opioid parenteral berkelanjutan
sebaiknya diberikan opioid parenteral kerja singkat jika timbul
nyeri baru.
6. Berikan hanya 1 kombinasi opioid-OAINS pada satu waktu.
7. Opioid kerja singkat atau kombinasi opioid-OAINS diresepkan
sesuai kebutuhan dan harus diresepkan dengan interval dosis
tidak lebih dari tiap 4 jam.
8. Regimen pelindung lambung yang seusuai harus diberikan pada
semua pasien yang mendapatkan pengobatan analgesik opioid.
Referensi
1. American pain society quality of care committee. Quality
improvement guidelines for the treatment of acute pain and cancer
pain. JAMA,1995: 273 (23); p.1874-1880.
2. Acute pain management guideline panel. Acute pain
management: operative or medical procedures and trauma clinical
practice guideline. AHCPR publication No. 92-0032. Rockville
MD. Agency for health care policy and research, US department
of health and human services, public health service, 1992.
119. SIRKUMSISI
- 1108 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan prosedur sirkumsisi untuk pria
Alat dan Bahan
1. Spuit 3 cc
2. Lidokain ampul
3. Klem hemostat (3 buah): 1 buah hemostat lurus, 2 buah
hemostat bengkok
4. Gunting jaringan
5. Needle holder
6. Scalpel no.15
7. Benang catgut
8. Duk steril
9. Sarung tangan steril
10. Larutan iodium
11. Alkohol 70%
12. Kassa steril
13. Bengkok
14. Kom
Prosedur Tindakan
1. Persiapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa.
4. Bersihkan penis dengan air sabun. Pada pasien dewasa, cukur
rambut di sekitar penis.
5. Operator mencuci tangan.
6. Menggunakan APD, posisi operator di sebelah kiri pasien.
7. Melakukan aseptik dan antiseptik pada penis dan sekitarnya
secara sentrifugal dengan penis sebagai pusat.
8. Pasang doek berlubang steril.
9. Lakukan tindakan anestesi blok pada pangkal penis di bagian
dorsal yang memblok nervus dorsalis penis. Tusukkan jarum
pada pangkal penis di sebelah dorsal tegak lurus terhadap
batang penis, hingga terasa sensasi seperti menembus kertas.
Pada saat itu jarum telah menembus fascia Buck tempat nervus
dorsalis penis berada dibawahnya. Tanda lain jarum sudah
menembus fascia Buck adalah jika jarum ditarik ke atas, penis
terangkat dan bila obat disuntikkan tidak terjadi edema.
Kemudian miringkan jarum ke sisi batang penis.
10. Lakukan aspirasi, bila jarum tidak masuk ke pembuluh darah,
suntikkan zat anestesi sebanyak 1-2 cc, lalu pindahkan ke sisi
lainnya suntikkan kembali zat anestesi seperti sebelumnya.
11. Tambahkan anestesi infiltrasi pada daerah frenulum. Lakukan
pijatan pada daerah bekas suntikan agar obat tersebar.
Gagang scalpel
Scalpel no 11
Disinfektan
Spray ethyl chloride atau lidocain untuk injeksi perkutan
Drain
Gelas obyek untuk menampung pus yang akan di kultur
NaCl 0.9 %
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Tanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat anestesi lokal
3. Cuci tangan 7 langkah dan memakai sarung tangan steril
4. Disinfeksi tempat abses berada dan jaringan kulit di sekitarnya
dengan povidone iodine dengan putaran dari dalam ke luar
5. Tutupi area tempat abses dengan duk steril
6. Berikan anestesi lokal menggunakan spray ethyl chloride atau
infiltrasi area di dekat fluktuasi abses sedalam dermis
menggunakan jarum intrakutan
7. Setelah anestesi bekerja dan pasien tidak merasakan nyeri buat
insisi di atas abses. Jangan buat insisi di tempat selain abses
tersebut (operasi minor membuat luka yang kecil). Buka abses
lebar-lebar agar lubang tidak mudah tertutup
8. Ambil bagian dari abses untuk membuat kultur
9. Bersihkan abses dengan kasa steril atau cuci dengan NaCl.
Pasang drain atau ujung dari sarung tangan steril agar lubang
tidak tertutup selama abses masih memproduksi cairan.
10. Pasang perban yang dapat menyerap sisa pus.
11. Minta pasien untuk mengistirahatkan bagian tubuh yang telah
di operasi atau pakaikan sling bila luka bekas operasi berada di
ekstremitas atas
12. Minta pasien ganti perban setiap kotor atau minimal 2x sehari.
- 1111 13. Cek luka bekas operasi dan angkat drain setelah tidak keluar
pus atau kira-kira setelah 2 hari.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Abses adalah akumulasi pus yang terdapat di kavitas yang baru
terbuat dan dikelilingi oleh dinding abses
2. Abses dapat keluar dari kulit secara spontan, maka sebelum itu
terjadi sebaiknya dilakukan insisi atau drainase abses
3. Abses seperti abses perianal, abses mastitis, karbunkel,
panaritium ossale atau tendineum dan hidradenitis supuratif
harus dirujuk ke spesialis karena anestesi tidak cukup dengan
anestesi lokal saja
4. Saat sudah terbentuk abses lakukan insisi, pemberian
antibiotik hanya diberikan setelah keluar hasil kultur dan
resistensi karena hanya akan menghambat respon imun yang
menyebabkan abses bertambah besar
Referensi
Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview: Maastricht University,
Netherlands, 2009, p 31, 61
121. EKSISI TUMOR JINAK KULIT
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: mampu mengangkat tumor jinak di jaringan kulit
Alat dan Bahan
-
Pegangan scalpel
Scalpel no 11
Pinset anatomis
Pinset chirurgis
Needle holder
Gunting lancip-lancip bengkok
Gunting lancip-tumpul
Benang jahit
Duk steril
Klem mosquito
Klem kocher
Retraktor
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Tanyakan apakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat
anestesi lokal
- 1112 3. Tandai kulit yang akan dilakukan eksisi berbentuk elips dengan
panjang : lebar = 3 : 1, disesuaikan dengan garis kulit
4. Cuci tangan 7 langkah dan memakai sarung tangan steril
5. Disinfeksi tempat yang akan dilakukan eksisi dan jaringan kulit
di sekitarnya dengan povidone iodine dengan putaran dari
dalam ke luar
6. Tutupi area yang akan di eksisi dengan duk steril
7. Berikan anestesi lokal menggunakan teknik blok area atau
infiltrasi lokal disekitar batas eksisi
8. Setelah anestesi bekerja dan pasien tidak merasakan nyeri,
mulai lakukan tindakan
9. Taruh ibu jari dan jari telunjuk di sekitar kulit yang akan
dieksisi untuk meregangkan kulit
10. Pegang scalpel tegak lurus dari kulit, buat sayatan elips sejalan
dengan garis kulit tempat yang akan disayat.
11. Mulai lakukan pemotongan dengan scalpel dan tahan agar tetap
tegak lurus terhadap kulit, potong dengan gerakan memutar
sesuai garis yang sudah ditandai
12. Hindari jalur sayatan menyilang di ujung
13. Buatlah sayatan yang menembus hingga subkutan
14. Dengan pinset chirurgis, pegang kulit pada tepi tumor tanpa
menjepit keras jaringan dan lakukan eksisi, ambil bersama
jaringan subkutan
15. Tandai spesimen dengan benang jahit untuk keperluan ahli
patologis. Atasi perdarahan dengan tekanan, jahit, atau
elektrokoagulasi
16. Jahit batas luka dengan benang jahit non-reabsorbable
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Eksisi adalah mengangkat jaringan tumor dengan cara
dipotong.
2. Saat melakukan eksisi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan:
- Garis sayatan harus mengikuti garis kulit (berbeda-beda
sesuai tempat)
- Garis sayatan untuk tumor intrakutan harus berbentuk oval
- Garis sayatan untuk tumor subkutan berada di atas tumor
- Setiap tumor yang sudah di eksisi harus dikirim ke bagian
Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan.
3. Dokter di layanan primer sebaiknya tidak melakukan operasi
untuk: eksisi ganglion, eksisi lipoma yang besar, eksisi kista
servikal medial dan lateral, eksisi tumor payudara dan operasi
yang berhubungan dengan kaki dengan insufisien aliran darah.
Operasi tersebut harus dilakukan oleh spesialis untuk
mengurangi risiko komplikasi.
- 1113 Referensi
Stapert J, Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview:
Maastricht University, Netherlands, 2009, p 28-29, 55-56.
122. PERAWATAN LUKA
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: mampu membersihkan luka bersih maupun kotor dan
menjaganya dari infeksi
Alat dan Bahan
1. Material steril
- Gagang scalpel
- Scalpel no 15
- Pinset anatomis
- Pinset chirurgis
- Gunting lancip-lancip bengkok
- Gunting lancip-tumpul
- Drape steril
- 2 Klem mosquito
- Klem kocher
- Spuit 10 cc untuk irigasi
- Spuit 2 atau 5 cc untuk infiltrasi
- 2 retraktor
- NaCl 0.9%
2. Materal tidak steril
- Disinfektan
- Anestesi lokal
- Larutan untuk irigasi
- Material untuk perban dan plester
- Gunting untuk perban
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Tanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat anestesi lokal
3. Nyalakan lampu dan pusatkan di tempat luka
4. Bersihkan daerah di sekitar luka dengan sabun dan air (bukan
di tempat luka!) dan cukur rambut bila diperlukan
5. Cuci tangan 7 langkah dan memakai hand scoen steril
6. Disinfeksi luka dan area disekitarnya dengan povidone iodine
7. Tutup luka dengan drape steril
8. Lakukan anestesi infiltrasi di sekitar yang luka
- 1114 9. Setelah anestesi bekerja dan pasien tidak merasakan nyeri, cuci
luka dengan larutan NaCl
10. Inspeksi dasar luka dan bersihkan semua benda asing dengan
pinset
11. Debridement: eksisi jaringan yang mati dan batas luka yang
iregular. Untuk luka di bagian wajah lakukan dengan sangat
hati-hati. Eksisi batas luka dengan vaskularisasi yang tinggi
tidak terlalu diperlukan
12. Tutup luka, kecuali jika ada alasan untuk tidak menutupnya.
Paling tidak tutup dengan perban yang basah
13. Pasang perban yang dibasahi NaCl 0.9%menutupi luka dan
perban yang menekan luka jika diperlukan
14. Berikan profilaksis anti tetanus
15. Jelaskan kepada pasien komplikasi yang mungkin akan terjadi
dan minta pasien agar luka tetap bersih dengan mengganti
perban bila kotor atau minimal 2x/hari
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Saat pemeriksaan awal tentukan:
- Kondisi pasien secara umum
- Luasnya luka
- Derajat kontaminasinya
- Derajat kerusakan jaringannya
- Kerusakan struktur dalam (di bawah kulit)
2. Luka dengan tipe yang sama dengan kontaminasi atau lebih
lama dari 6 jam bisa ditangani dengan debridement, luka
dibiarkan terbuka. Penanganan luka primer yang tertunda
dapat dilakukan setalah 4-6 hari ( tolong periksa rujukan
kalimat aneh dan kontradiktif)
3. Luka dengan kerusakan jaringan yang sedikit dan kontaminasi
yang kecil dapat ditata laksana dengan penanganan luka primer
dan debridement
4. Luka dengan kerusakan jaringan yang banyak, adanya struktur
lebih dalam yang terkontaminasi atau area kosmetik yang
penting harus ditangani oleh spesialis
Setelah luka ditutup dengan perban, perban dapat diangkat setelah
4 hari. Perban dengan tekanan harus diangkat dalam 24 jam.
Referensi
Stapert J, Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview:
Maastricht University, Netherlands, 2009, p 26-27, 38-39
- 1115 -
Tingkat Keterampilan 4A
Tujuan: mampu mengangkat kuku yang tumbuh ke arah dalam
Alat dan Bahan
-
Pegangan scalpel
Scalpel no 10
Pinset anatomis
Pinset chirurgis
Needle holder
Gunting lancip-lancip bengkok (bila diperlukan)
Gunting lancip-tumpul (bila diperlukan)
Benang jahit (bila diperlukan)
Drape steril (bila diperlukan)
Klem mosquito
Klem kocher
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Pada tindakan ada 3 pilihan terapi, tergantung dengan
kesembuhan pada setiap tahap:
- Tahap 1
Rawat paronikia secara konservatif dengan soda baths.
Kurangi tekanan pada kuku dengan mengisi alur pada
lengkungan kuku dengan kasa kecil atau kapas.
Lakukan seperti ini dalam 3 bulan.
- Tahap 2
Ekstraksi kuku dan pada tahap berikutnya, eksisi bagian
yang ada pus untuk mengeluarkan pus atau,
Ekstraksi kuku parsial diikuti dab dengan phenol 80%
dalam air dan dicuci dengan alkohol 70%.
- Tahap 3
Ekstraksi kuku parsial diikuti dab dengan phenol 80%
dalam air dan dicuci dengan alkohol 70%.
3. Eksisi bagian yang ada pus untuk mengeluarkan pus.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Penyebab kuku yang tumbuh ke dalam sering karena perawatan
kuku yang tidak benar
- Ujung dari kuku dipotong terlalu pendek
- Tekanan lokal akibat sepatu yang sempit
- Hiperhidrosis juga menyebabkan kuku tumbuh ke arah
dalam
2. Ada 3 stadium:
dengan
bahan
2.
3.
4.
5.
Referensi
Hamzah M, Djuanda A, Aisah S, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi V. FKUI, Jakarta, 2007, hal 342-343
Referensi
- 1118 -
- 1119 b. obat tidak aman bagi pasien tersebut, misalnya karena efek
samping yang mengganggu
c. obat tidak cocok atau menyusahkan pasien tersebut,
misalnya jadwal minum obat yang sulit diikuti atau rasa obat
yang tidak enak.
Apabila gejala terus berlanjut, pemeriksa perlu menilai kembali
sudahkah semua langkah di atas dikerjakan dengan benar?
Apakah diagnosisnya sudah benar, pilihan obatnya sudah
benar, dan monitoring terapi yang diberikan sudah benar?
Referensi
Guide to good prescribing a practical manual [Internet]. 1994 [cited
2014
Mei
2].
Available
from:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jwhozip23e/1.html
127. PUNGSI VENA PADA DEWASA
Tingkat Pemeriksaan: 4A
Tujuan: mampu melakukan pengambilan darah di pembuluh vena
Alat dan Bahan
-
Spuit disposable 10 ml
Tabung plastik 1 ml untuk pemeriksaan Hb
Torniquet (alat ikat pembendungan)
Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menyimpan serum
Kotak pendingin untuk membawa darah dan serum
Antikoagulan EDTA
Kapas alkohol 70%
Air bebas ion dan larutan HNO3
Teknik Tindakan
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Cuci tangan 7 langkah
3. Bersihkan kulit diatas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dengan
cara berputar dari dalam keluar dan biarkan sampai kering.
4. Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas
luka/sikatrik.
5. Bila sisi yang akan diambil darah ada infus, ambil sisi
sebelahnya untuk diambil darah
6. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku.
7. Pasang ikatan pembendungan (Torniquet) pada lengan atas dan
pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan
berulang kali agar vena jelas terlihat.
8. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya.
9. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45
derajat dengan jarum menghadap keatas.
Spuit 3 cc
Spuit 5 cc
Kapas alkohol
Obat injeksi yang akan disuntikkan
Aquades
Sarung tangan
Teknik Tindakan
1. Pastikan identitas pasien. Anda tidak mau menyuntikkan
obat ke pasien yang salah dan jelaskan prosedur tindakan
yang akan dilakukan
2. Siapkan obat yang akan disuntikkan, masukkan ke dalam
syringe.
3. Tentukan tempat yang akan dilakukan injeksi
- Daerah lengan atas (deltoid)
2.
3.
4.
5.
Referensi
1. Torrance C. Intramuscular injection Part 1. Surgical Nurse.
1989b. p 2, 5, 6-10.
1989a. p 2, 6, 24-27.
b. Injeksi Intravena
- 1123 -
Teknik Pemeriksaan: 4A
Tujuan: mampu melakukan injeksi intravena dengan baik
Persiapan alat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Spuit 3 cc
Spuit 5 cc
Kapas alkohol
Obat injeksi yang akan disuntikkan
Aquades
Sarung tangan
Torniket
Teknik Tindakan
1. Pastikan identitas pasien. Anda tidak mau menyuntikkan
obat ke pasien yang salah dan jelaskan prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
2. Siapkan obat yang akan disuntikkan, masukkan ke dalam
syringe.
3. Tentukan lokasi injeksi. Carilah vena perifer yang tampak
atau yang cukup besar sehingga akan memudahkan Anda
untuk melakukan injeksi nantinya. Ada kalanya vena yang
ideal tidak ada, dan kemudian akan tergantung kepada
keahlian dan pengalaman Anda untuk berhasil melakukan
injeksi.
4. Cuci tangan 7 langkah dan pakai sarung tangan.
5. Pasang torniket di bagian proksimal dari lokasi injeksi.
6. Tentukan lokasi penyuntikan yang benar.
7. Bersihkan kulit di atasnya dengan kapas alkohol.
8. Suntikkan jarum dengan sudut sekitar 45 derajat atau
kurang ke dalam vena yang telah Anda tentukan. Jarum
mengarah ke arah proximal sehingga obat yang nanti
disuntikkan tidak akan menyebabkan turbulensi ataupun
pengkristalan di lokasi suntikan.
9. Lakukan aspirasi:
- Bila tidak ada darah, berarti perkiraan dokter salah.
Beberapa institusi mengajarkan untuk terus berusaha
melakukan probing dan mencari venanya, selama tidak
terjadi hematom. Beberapa lagi menganjurkan untuk
langsung dicabut dan prosedur diulangi lagi.
- Bila ada darah yang masuk, berwarna merah terang,
sedikit berbuih, dan memiliki tekanan, segera tarik jarum
dan langsung lakukan penekanan di bekas lokasi injeksi
tadi. Itu berarti Anda mengenai arteri. Walaupun ini
jarang terjadi, karena kecuali Anda menusuk dan
Teknik Tindakan
1. Pastikan identitas pasien. Anda tidak mau menyuntikkan
obat ke pasien yang salah dan jelaskan prosedur tindakan
yang akan dilakukan
2. Siapkan obat yang akan disuntikkan, masukkan ke dalam
syringe.
3. Tentukan tempat yang akan dilakukan injeksi
- Daerah lengan atas kiri dan kanan
- Daerah panggul kanan dan panggul kiri
- Daerah paha depan kiri dan kanan
- Daerah perut di sekitar umbilikus
4. Cuci tangan 7 langkah dan pakai sarung tangan
5. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman, dan juga
mudah serta ideal bagi Anda untuk melakukan injeksi yang
diinginkan.
6. Tentukan lokasi penyuntikan yang benar
7. Bersihkan kulit di atasnya dengan alkohol atau cairan
desinfektan lain.
8. Pegang syringe dengan tangan dominan Anda (gunakan ibu
jari dan jari telunjuk)
9. Gunakan tangan non dominan untuk mencubit kulit di
sekitar lokasi suntikan.
10. Masukkan jarum dengan sudut 90. Gunakan pengetahuan
anatomi Anda untuk memperkirakan kedalaman jarum.
11. Masukkan obat dengan perlahan (1 ml per 10 detik) sampai
dosis yang diinginkan tercapai.
12. Setelah usai, tarik jarum syringe. Tergantung jenis obat yang
dimasukkan, ada beberapa obat yang memerlukan
pemijatan ringan untuk membantu penyerapan, namun ada
pula yang tidak. Pahami secara menyeluruh obat yang Anda
suntikkan, atau silahkan baca rekomendasi dari pabrik
pembuat obat.
13. Pisahkan jarum dari syringe. Buang keduanya di tempat
sampah khusus sampah medis.
- 1126 14. Periksa lokasi suntikan sekali lagi untuk memastikan bahwa
tidak ada perdarahan, pembengkakan, atau reaksi-reaksi
lain yang terjadi.
15. Catat dalam rekam medis pasien jenis obat yang
dimasukkan, jumlahnya, dan waktu pemberian
Analisis Tindakan
1. Apabila dilakukan dengan jarum khusus injeksi subkutan,
penyuntikan dapat dilakukan dengan posisi 90.
2. Biasanya volume obat terbatas pada 1-2 ml sekali suntik.
3. Bila tidak ada jarum khusus injeksi subkutan. Injeksi
dilakukan dengan posisi 45.
Referensi
Peragallo-Dittko V. Rethinking subcutaneous injection technique.
American Journal of Nursing. 1997. 97, 5, 71-72.
Spuit 1cc
Obat injeksi (antibiotik, anti nyeri, dll)
Kapas alkohol
Aquades
Sarung tangan
Infus set
Kateter 21/23G
Kapas alkohol/ antiseptik
Plester
PENCEGAHAN
DAN
- 1134 P = (M x I x V) / C
Keterangan:
- M = Magnitude
Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar
masalah yang dapat diatasi makin tinggi prioritas jalan
keluar tersebut.
- I = Importancy
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan
penyelesaian masalah. Makin lama bebas masalah, makin
penting jalan keluar tersebut.
- V = Vulnerability
Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan
keluar untuk mengatasi masalah. Makin cepat teratasi,
makin sensitive jalan keluar tersebut.
- C = Cost
Adalah ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai
efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang
diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar
biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar
tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai
dengan angka 5 (biaya paling besar).
Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung
dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan C.
Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan
keluar terpilih.
7. Menyusun rencana intervensi
- Dari pemecahan masalah terbaik, dibuat rencana lengkap
untuk intervensi, yang terdiri atas:
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e. Instrumen yang dipakai ( observasi, kuesioner atau
pemeriksaan)
f. Batasan operasionil data yang diambil
- Tentukan cara membuat pengukuran pra intervensi
- Harus diingat bahwa dalam membuat proposal intervensi
harus selalu menerapkan metoda 5W dan 1H:
Why Mengapa perbaikan harus dilakukan?
What Apa rencana perbaikannya?
Where Dimana lokasi perbaikan akan dilakukan?
When Kapan (rentang waktu) dilakukannya perbaikan?
Who Siapa yang bertanggung jawab?
H (how)
daya
Langkah-langkah Pelaksanaan
1. Identifikasi faktor risiko dan skreening
Faktor risiko PTM ada yang dapat dimodifikasi dan tidak
dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti riwayat penyakit dalam keluarga,
kelahiran prematur, usia dan jenis kelamin.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain, kurang
aktivitas fisik, pola makan tidak sehat dan tidak seimbang,
gaya hidup tidak sehat (merokok, minum alkohol), berat
badan berlebih/obesitas, stres, hiperglikemia, dislipidemia.
Faktor risiko tersebut dapat diindentifikasi dengan atau tanpa
alat. Kegiatan skrining tanpa alat berupa anamnesa
mendalam tentang:
- Riwayat PTM di keluarga (dapat dibuat dalam bentuk
genogram)
- Pola makan sehari hari (dapat diperkirakan jumlah kalori
dan makanan tidak sehat)
- Pola aktivitas fisik
- Keadaan yang menimbulkan stress baik di kantor, rumah
tangga, lingkungan lain
Faktor risiko yang dapat dideteksi dengan alat yaitu status
antropometri sederhana yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) dari
berat badan dan tinggi badan serta lingkar perut. Demikian
juga dengan pemeriksaan tanda-tanda vital seperti tensi,
palpasi nadi, auskultasi jantung paru, test sensasi pada
tungkai dan nadi dorsalis pedis, mengingat hipertensi dan
DM adalah faktor risiko dan
penyebab cerebrovaskular
disease.
2. KIE dan Konseling
Kementerian Kesehatan membuat mnemonic yang dapat
digunakan dalam konseling gaya hidup yaitu CERDIK dan
Patuh yang merupakan singkatan dari :
C Cek kesehatan secara berkala
E Enyahkan asap rokok
R Rajin aktivitas fisik
D Diet sehat dengan kalori seimbang
I - Istirahat yang cukup
K Kelola stress
- 1138 Dan
Patuh pada Pengobatan
Cek kesehatan secara berkala
Mendorong pasien dan masyarakat untuk mau memeriksakan
diri dalam melakukan deteksi dini khususnya bagi yang berisiko
tinggi PTM baik dengan atau tanpa keluhan
Hindari asap rokok
Konseling berhenti merokok dapat dilakukan dengan langkah
5A yaitu :
A1. Ask (Tanyakan)
Tanyakan kepada pasien apakah ia merokok. Jika tidak,
berikan puji dan beri dukungan untuk terus tidak
merokok. Jika Ya, coba perdalam kebiasaannya
merokoknya meliputi kapan mulai merokok, kretek/filter,
jumlah batang per hari, dan perdalam belief (kepercayaan)
pasien tentang rokok.
A2. Advice (Menasehati)
Nasihatkan untuk berhenti merokok dengan memberikan
pandangan jernih, kuat dan personal. Pendekatan Health
Belief Model dapat dilakukan seperti:
- Mempengaruhi Perceived susceptibility dan severity:
Meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit apa
saja yang diakibatkan rokok serta akibat serius dari
merokok, contoh:
Pak merokok itu akibatnya bisa bermacam-macam, bisa
serangan jantung, stroke, kanker, impoten dan kondisi
berbahaya lainnya. Bahkan yang paling buruk adalah
mengancam jiwa. Saya harap Bapak dapat stop merokok
mulai sekarang ya pak.
- Mempengaruhi Perceived barrier:
Mengidentifikasi hambatan pasien untuk merokok dan
ambivalensi yang terjadi:
Bapak sepertinya kesulitan ya untuk berhenti merokok?
kenapa pak? (dengarkan alasan pasien dengan
empati)......Setiap
perubahan
kebiasaan
itu
perlu
perjuangan, termasuk kebiasaan untuk berhenti pak.
Buktinya saat puasa bapak bisa kan?
- Mempengaruhi Perceived benefit:
Memotivasi pasien dengan mengingatkan hal personal
bermakna dan bermanfaat jika berhenti merokok,
contoh:
Pak, anak bapak masih kecil-kecil, masih membutuhkan
bapak untuk mendidik mereka, ayo berhenti merokok pak
agar bapak bisa terus menemani dan mendidik mereka
dalam kondisi sehat.
Alat edukasi untuk mendukung tindakan:
dan
rasa
depresi,
serta
Diastolik
<80
81-90
91-99
100
Referensi
1. Donatelle. R. 2008. Acces to Health. Pearson Bejamin
Cummings. San Fransisco
2. Kementerian
Kesehatan
RI.
2013.
Pedoman
Teknis
Penyelenggaraan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di
Puskesmas.
3. Prochasca J, Norcros, Diclemente. 2007. Changing for Good : A
Revolutionary Six-Stage Program for Overcoming Bad Habits and
Moving Your Life Positively Forward. Collins, US.
- 1142 -
Pendahuluan
Sebagai pusat pengembangan program kesehatan, maka fasilitas
kesehatan di layanan primer perlu melakukan Diagnosis Komunitas
(Community Diagnosis), sehingga program kesehatan yang
dilakukan sesuai dengan masalah yang terutama dihadapi oleh
komunitas/masyarakat di area tersebut. Diagnosis komunitas
merupakan keterampilan (skill) yang harus dikuasai oleh dokter di
fasilitas kesehatan tingkat primer, dan/atau bila bekerja sebagai
pimpinan institusi/unit kesehatan yang bertanggung jawab atas
kesehatan suatu komunitas/masyarakat.
Di antara pendekatan kedokteran klinis dan kedokteran komunitas
dalam penegakan diagnosis masalah kesehatan, terdapat beberapa
persamaan dan perbedaan. Seorang klinisi akan memeriksa pasien
serta harus mampu menentukan kondisi patologis berdasarkan
gejala dan tanda yang ada agar dapat menegakkan diagnosis
penyakit dan memilih cara tepat untuk pengobatannya. Pada
kedokteran komunitas, keterampilan epidemiologi (mempelajari
tentang frekuensi dan distribusi penyakit serta faktor determinan
yang mempengaruhinya di kalangan manusia) sangat diperlukan
untuk dapat memeriksa seluruh masyarakat dan memilih indikator
yang sesuai untuk menjelaskan masalah kesehatan di komunitas;
kemudian menetapkan diagnosis komunitas serta menetapkan
intervensi yang paling efektif untuk dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Pengertian
Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan
adanya suatu masalah dengan cara pengumpulan data di
masyarakat lapangan. Menurut definisi WHO, diagnosis komunitas
adalah penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif mengenai
kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang
mempengaruhi kondisi kesehatannya.
Diagnosis komunitas ini mengidentifikasi masalah kemudian
mengarahkan suatu intervensi perbaikan sehingga menghasilkan
suatu rencana kerja yang konkrit. Keterampilan melakukan
diagnosis komunitas merupakan keterampilan yang harus dikuasai
oleh dokter untuk menerapkan pelayanan kedokteran secara
holistik dan komprehensif dengan pendekatan keluarga dan
okupasi terhadap pasien.
Tujuan
-
Analisis/Interpretasi
Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup
beberapa aspek di bawah ini:
Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota,
kecamatan, kelurahan)
Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran
Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi)
Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
Kelompok agama yang utama
Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan)
Sarana ekonomi (pasar, toko)
Sarana transportasi
Sarana komunikasi
Sarana penyediaan air
Sarana sanitasi
Perumahan (kondisi dan pola bangunan)
Sekolah dan sarana pendidikan lain
Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun)
- 1144
Pola penyakit:
o Penyebab utama dari gangguan kesehatan
o Jenis penyakit yang paling banyak
o Masalah kesehatan khusus
Perilaku sehat dan sakit
o Kemana mencari pertolongan ketika sakit
o Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit
o Apa peranan pengobatan tradisional dalam
kesehatan
pelayanan
- 1146 -
Tujuan
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam sehatsakit dan sejahtera
2. Pencarian penyebab masalah kesehatan yang dikaitkan dengan
aspek personal, aspek klinis, aspek individual, psikososial,
keluarga, serta lingkungan kehidupan pasien lainnya (faktor
risiko internal dan eksternal).
3. Penyelesaian masalah dapat dilakukan langsung secara efektif
dan efisien terhadap penyebab utamanya.
Alat dan Bahan
1. Berkas pasien
- Alasan Kedatangan
- Riwayat perjalanan penyakit
- Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat reproduksi
- Riwayat social dan perilaku
- Pemeriksaaan fisik (status generalis dan lokalis)
- Pemeriksaan penunjang (bila ada)
- Diagnosis holistik
- Tatalaksana medikamentosa, non medikamentosa, edukasi
- Rencana Follow up dan rujukan (bila perlu)
2. Berkas keluarga
- Profil anggota keluarga tinggal 1 rumah
- Genogram (minimal tiga generasi)
- Bentuk keluarga:
Keluarga inti/ ekstended/ majemuk/ orangtua tunggal/
pasangan lansia
- Tahapan kehidupan (satu keluarga bisa lebih dari satu
tahapan):
Fase keluarga pasangan baru menikah
Fase keluarga dengan anak bayi
Fase keluarga dengan anak balita
Fase keluarga dengan anak usia sekolah
Fase keluarga dengan anak usia remaja
Fase keluarga dengan anak meninggalkan rumah
Fase keluarga dengan orang tua usia pertengahan
Fase keluarga dengan usia lansia
- Fungsi keluarga:
Fungsi biologis
Fungsi psikologis
Fungsi social
Fungsi ekonomi
Fungsi adaptasi
Perilaku pencegahan dalam keluarga
Lingkungan rumah
Aspek
Alasan
kedatangan
pasien
Rincian
1.1. keluhan
utama
(reason of encounter)
/simptom/ sindrom
klinis
yang
ditampilkan
2.2. apa
yang
diharapkan
pasien
atau keluarganya
3.3. serta apa
yang
dikawatirkan pasien
atau keluarganya
Keterangan/Contoh
Keluhan (complaints) dari
fisik,
mental
neuropsikologikososial
2.
Diagnosis
klinis
biologikal,
psikomental
, intelektual,
nutrisi
sertakan
derajat
keparahan .
Bila diagnosis
klinis
belum dapat ditegakkan
cukup dengan diagnosis
kerja.
- 1148 No
3.
4.
Aspek
Perilaku
individu dan
gaya hidup
(life
style),
kebiasaan
yang
menunjang
terjadinya
penyakit,
beratnya
penyakit
(faktor risiko
internal)
Pemicu
psikososial
dan
lingkungan
dalam
kehidupan
seseorang
hingga
mengalami
penyakit
seperti yang
ditemukan
(faktor risiko
eksternal)
Rincian
- kebiasaan merokok
- kebiasaan
jajan,
kebiasaan makan
- kebiasaan
individu
mengisi waktu dengan
perihal yang negatif
Keterangan/Contoh
(dietaryhabits;tinggi lemak,
tinggi kalori, sedentary
lifestyle)
4.1. pemicu
primer - Bantuan
suami
adalah dinilai dari
terhadap penyakit istri
dukungan
keluarga
(bila yang sakit adalah
yang terdekat (family
istri)
support)
- Tidak
ada
bantuan/
perhatian/ perawatan/
suami & istri, anak
sesuai dengan hiraki
anak, menantu sesuai
dengan kedudukan, cucu
dan lainnya atau pelaku
rawat yang
4.2. pemicu dukungan
keluarga
lainnya
(dinilai
dari
tidak - Kurangnya kasih sayang
adanya/kurangnya)
(hubungan
yang
tak
sesuai
kedekatan
harmonis)
hubungan seseorang - Kurangnya
perhatian
dengan keluarganya)
perkembangan penyakit
Kurangnya pengobatan/
perawatan oleh keluarga
Tidak ada penyelesaian
masalah yang dilakukan
,
tidak ada waktu yang
disediakan keluarga
pekerjaan (penuh waktu,
kerja
keras
fisik,
psikologis)
pengaruh negatif dari:
kultur,
budaya,
pergaulan
kebiasaan
keluarga, kepercayaan,
pendidikan
(rendah,
- 1149 No
Aspek
Rincian
4.3. pemicu
sosial
(yang negatif) dapat
menimbulkan
masalah kesehatan ,
atau
kejadian
penyakit
Keterangan/Contoh
keterampilan terbatas)
- kebiasaan
buruk
berkaitan tidak berolah
raga,
- perilaku jajan keluarga
(tak
masak
sendiri),
menu keluarga yang tak
sesuai kebutuhan
- perilaku tidak menabung
(perilaku konsumtif)
- tidak
adanya
perencanaan
keluarga(tak
ada
pendidikan anak , tak
ada
pengarahan
pengembangan karier )
- perilaku
kebersihan
buruk
- perilaku
keluarga
pemanfaatan
waktu
luang buruk
- penggunaan
obat
addiktif,
penggunaan
napza, merokok
- pendapatan tak cukup,
tak menentu dengan
jumlah keluarga besar
- ketergantungan finansial
pada orang lain
- ratio
ketergantungan
(beban keluarga)
4.6. akses
pada
pelayanan kesehatan - tak mudahnya
untuk
yang mempengaruhi
mencapai tempat praktik
penyakit :
- tiada biaya berobat,
- tidak mempunyai sistem
pra
upaya/Asuransi
Kesehatan)
- pelayanan
provider
kesehatan yang tidak
informatif, tidak ramah,
tidak komprehensif
4.7. pemicu
dari
lingkungan fisik
- 1150 No
Aspek
Rincian
4.8. masalah
dengan
bangunan
tempat
tinggal
yang
berdampak
negatif
terhadap
kesehatan
pasien dan keluarga
5.
Fungsi
sosial
seseorang
Skala 1
Skala 2
Keterangan/Contoh
- polutan dalam rumah
(asap
dapur,
asap
rokok,debu)
- pada
tempat
kerja
(polusi
asap,
debu,
kimia) pada lingkungan
pemukiman
- ventilasi, tak ada/tak
memadai
- pencahayaan kurang/
tertutup
banguan
tinggi,
- sumber air tak sehat
(MCK),
- wc
umum,
sistem
pembuangan ,
- keamanan
gedung;
ergonomi
rumah,
tangga, licin (terutama
untuk lansia, balita),
- privasi
tak
ada,
kepadatan
hunian,
bising
4.9. lingkungan
- kepadatan perumahan
pemukiman
yang - sistem
pembuangan
berdampak
negatif
sampah, limbah
pada seseorang
- kebersihan,
kebisingan,
pemukiman kumuh ,
dll
Aktivitas
Menjalankan kemampuan
dalam
Fungsi Sosial Dalam menjalani
kehidupan
Kehidupan
untuk tidak tergantung
pada orang lain. (skala 15)
- Mampu
melakukan
pekerjaan
seperti - Perawatan diri, masih
sebelum sakit
mampu
beraktivitas
rutin seperti biasa di
dalam dan di luar
rumah (mandiri)
- Mampu
melakukan
pekerjaan
ringan - Mulai
mengurangi
sehari-hari di dalam
aktivitas rutin seharidan luar rumah
hari
- 1151 No
Aspek
Skala 3
Skala 4
Skala 5
Rincian
Keterangan/Contoh
- Mampu
melakukan
perawatan diri, tapi tak - Hanya
mampu
mampu
melakukan
melakukan
aktivitas
pekerjaan ringan
ringan, perawatan diri
masih bisa dilakukan
sepenuhnya,
- Dalam
keadaan
tertentu masih mampu - Tak
melakukan
merawat diri, namun
aktivitas
kerja,
sebagian
besar
tergantung
pada
pekerjaan hanya duduk
keluarga,
perawatan
dan berbaring
diri sebagian sudah
mulai tergantung orang
- Perawatan
diri
lain
dilakukan orang lain,
tak mampu berbuat - Tergantung 100% pada
apa-apa berbaring pasif
pelaku rawat
Referensi
1. McWhinney IR. A Textbook of Family Medicine. 2nd ed.
Oxford:Oxford University Press, 2009.
2. Gan Gl, Azwar A, Wonodirekso S. A Primer on Family Medicine
Practice. Singapore: Singapore International Foundation, 2004.
3. Boelen C, Haq C, et all. Improving Health Systems:The
Contribution of Family Medicine. A guidebook. WONCA, 2002.
4. Amstrong D. Outline of Sociology as Applied to Medicine. 5th ed.
London:Arnold Publisher, 2003.
5. Rubin RH, Voss C, et all. Medicine A Primary Care Approach.
Philadepphia:WB Saunders Company, 1996.
6. Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8th ed.
Philadephia:Elsevier Saunders, 2011.
7. Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan
Primer:Pendekatan Multi Aspek. Jakarta:Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, 2008.
136. DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA (OKUPASI)
Pendahuluan
Pajanan yang spesifik telah diketahui memiliki hubungan dengan
berbagai jenis penyakit. Hubungan tersebut dapat diidentifikasi
berdasarkan hubungan kausal antara pajanan dan penyakit yaitu
berdasarkan kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, waktu,
dan dosis. Banyak penelitian yang mengungkap bahwa frekuensi
kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada
masyarakat umum. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya
pajanan-pajanan khusus di kalangan pekerja ditambah dengan
- 1153 -
Langkah-langkah Pelaksanaan
1. Menentukan diagnosis klinis
2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam
pekerjaan
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan
penyakit (berdasarkan evidence based medicine)
4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup
5. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan
6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan
7. Menentukan Diagnosis Okupasi/ Diagnosis Penyakit Akibat
Kerja
Analisis/ Interpretasi
Tabel 21. Langkah mendiagnosis PAK
Langkah
1. Diagnosis Klinis
Dasar diagnosis
(anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, body map, brief survey)
2. Pajanan di tempat kerja
Fisik
Kimia
Biologi
Ergonomi (sesuai brief survey)
Psikososial
3 . Evidence Based (sebutkan secara teoritis)
Pajanan di tempat kerja yang menyebabkan diagnosis klinis di
langkah 1 (satu).
Dasar teorinya apa?
4. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis ??
Masa kerja
Jumlah jam terpajan per hari
Pemakaian APD
Konsentrasi/dosis pajanan
Lainnya .....................
Kesimpulan jumlah pajanan dan dasar perhitungannya
5. Apa ada faktor individu yang berpengaruh thd timbulnya
diagnosis klinis? Bila ada, sebutkan.
6. Apa terpajan bahaya potensial yang sama spt di langkah 3 di
luar tempat kerja? Bila ada, sebutkan
7 . Diagnosis Okupasi
Apa diagnosis klinis ini termasuk penyakit akibat kerja?
Bukan penyakit akibat kerja (diperberat oleh pekerjaan atau
bukan sama sekali PAK)
Butuh pemeriksaan lebih lanjut)?
- 1157 -
- 1158 -
Tujuan
Survailans bertujuan memonitor kondisi kesehatan dengan tujuan
untuk :
- Memantau dan memprediksi trend permasalahan kesehatan
masyarakat (morbiditas, mortalitas, penggunaan obat, efektivitas
obat, dan efek samping pengobatan, penggunaan vaksin, serta
data-data lingkungan
- Memiliki data sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan
program kesehatan masyarakat
- Mendeteksi perubahan cepat yang terjadi di masyarakat tentang
sebuah kondisi kesehatan termasuk distribusi kondisi tersebut
- Mengidentifikasi perubahan pada faktor agent dan host
- Mengidentifikasi praktek pelayanan kesehatan
Alat dan Bahan
Untuk memerlukan survailans dibutuhkan sumber data (sources of
data). WHO membuat daftar data yang dapat digunakan untuk
survailans yaitu :
1. Data mortalitas
2. Data morbiditas
3. Data epidemik
4. Data utilisasi laboratorium
5. Data investigasi kasus individual
6. Survei khusus (data rumah sakit, register penyakit dan survei
serologis)
7. Informasi tentang vektor dan reservoir hewan
8. Data lingkungan
Referensi
Modifikasi dari Basuki E, Daftar Tilik Konseling, Keterampilan Klinik
Dasar FKUI, dokumen tidak dipublikasi, 2009
138. PEMBINAAN KESEHATAN USIA LANJUT
Tingkat Keterampilan : 4A
Pendahuluan
Pembinaan kesehatan usia lanjut tidak dapat berdiri sendiri
mengingat pada Usia Lanjut mengalami multipatologi dan
penyebabnyapun
multifaktorial.
Pembinaan
kesehatan
ini
mencangkup langkah promotif berupa edukasi, langkah preventif
berupa pengkajian dengan tujuan menggali masalah kesehatan
yang
dialami
oleh
individu,
langkah
kuratif
berupa
penatalaksanaan yang bersifat multidisiplin serta langkah
rehabilitatif berupa konseling dan langkah lain sesuai masalah.
Dengan
bantuan
1
Makan
5
2
Aktivitas Toilet
5
3
Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan 5-10
sebaliknya, termasuk duduk di tempat tidur
4
Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir 0
rambut, menggosok gigi
5
Mandi
0
6
Berjalan di permukaan datar
10
7
Naik-turun anak tangga
5
8
Berpakaian
5
9
Mengontrol defekasi
5
10 Mengontrol berkemih
5
Total (maksimal 100)
Mandiri
10
10
15
5
5
15
10
10
10
10
Penilaian:
0-20
: Ketergantungan
21-61
: Ketergantungan berat/ sangat tergantung
62-90
: Ketergantungan sedang
91-99
: Ketergantungan ringan
100
: Mandiri
mobilitas
melengkapi
tes
untuk
Keterangan
Lanjut Usia menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal) yang
sering dipakai, diperbolehkan menggunakan alat bantu (
tongkat, tripod, dll). Pencatatan waktu dimulai bersamaan
dengan perintah jalan... dan diakhiri saat Lansia duduk
kembali dengan sempurna. Observasi yang dapat dilakukan
untuk lansia meliputi : stabilitas posisi, langkah (gait), lebar
langkah, dan ayunan.
Penilaian
Bila waktu yang diperlukan > 12 detik, maka Lansia memiliki
resiko tinggi untuk jatuh
Pertanyaan
Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan
anda?
Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan
minat atau kesenangan anda?
Apakah anda merasa kehidupan anda kosong?
Apakah anda sering merasa bosan?
Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap
saat?
Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi pada anda?
Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar
hidup anda?
Apakah anda sering merasa tidak berdaya?
Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada
keluar dan
mengerjakan sesuatu yang baru ?
Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah
dengan daya ingat anda dibanding kebanyakan orang?
Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini
menyenangkan?
Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan
anda saat ini?
Apakah anda merasa anda penuh semangat?
Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada
harapan?
Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya dari pada
anda?
Jumlah jawaban yang tercetak tebal
Jawaban
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya /Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Cara penghitungan:
1) Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1
2) Hitung jumlah jawaban yang tercetak tebal
Penilaian:
Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar
depresi
Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
Pertanyaan
Berapakah usia anda
Sekarang jam berapa?
Diberi
suatu
alamat,
dan
diperintahkan
menyebutkan ulang
Saat ini tahun berapa?
Sebutkan tempat anda berada saat ini
Sebutkan nama 2 orang yang diingat
Sebutkan tanggal kelahiran
Sebutkan (salah satu) tanggal dari peristiwa
nasional
Sebutkan nama tokoh terkenal nasional
Hitung mundur dari 20 hingga 1
Skor
untuk
penting
- 1165 2) Lansia
diperintahkan
untuk
menggambar
lingkaran jam dan menulis angkanya
3) Lansia diperintahkan untuk menggambar posisi
jarum sesuai dengan instruksi (umumnya
instruksi menggambar pukul 11.10)
Tabel 25. Clock Drawing Test
Item Tes
1
2
3
4
Nilai Nilai
maks
Menggambar lingkaran jam.
1
Menulis angka jam yang 1
benar.
1
Meletakkan
angka-angka 1
jam yang benar.
Menunjukkan arah jarum
jam yang benar
Skor total
4
Keterangan: lansia menggambar menggunakan
tangan yang dominan (left hand/right hand)
Penilaian
Skor = 4
Normal
Skor < 4
Gangguan fungsi kognitif
klinik
Lanjut
Lanjut
Lanjut
Lanjut
Usia
Usia
Usia
Usia
- 1169 Energi
Kebutuhan energi menurun dengan meningkatnya usia (3% per
dekade). Pada Lanjut Usia hal tersebut diperjelas disebabkan
adanya penurunan massa otot (BMR ) dan penurunan aktivitas
fisik. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
tahun 2004; laki-laki 2050 Kal dan perempuan 1600 Kal.
Untuk perhitungan yang lebih tepat dapat digunakan persamaan
Harris Benedict ataupun rumus yang dianjurkan WHO. Secara
praktis dapat digunakan perhitungan berdasarkan rule of thumb
Protein
Kandungan protein dianjurkan sesuai kecukupan antara 0,8-1
g/kgBB/hari (10-15%) dari kebutuhan energi total.
Karbohidrat
Dianjurkan asupan karbohidrat antara (50-60%) dari energi total
sehari, dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi daripada
karbohidrat sederhana.
Konsumsi serat dianjurkan 10-13 g per 1000 kalori (25g/hari ~ 5
porsi buah dan sayur). Buah dan sayur selain merupakan sumber
serat, juga merupakan sumber berbagai vitamin dan mineral.
Lemak
Kandungan lemak dianjurkan + 25% dari energi total per hari, dan
diutamakan berasal dari lemak tidak jenuh.
Cairan
Pada Lanjut Usia masukan cairan perlu diperhatikan karena
adanya perubahan mekanisme rasa haus, dan menurunnya cairan
tubuh total (dikarenakan penurunan massa bebas lemak).
Sedikitnya dianjurkan 1500 ml/hari, untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, namun jumlah cairan harus disesuaikan dengan ada
tidaknya penyakit yang memerlukan pembatasan air seperti gagal
jantung, gagal ginjal dan sirosis hati yang disertai edema maupun
asites.
Vitamin
Vitamin mempunyai peran penting dalam mencegah dan
memperlambat proses degeneratif pada Lanjut Usia. Apabila asupan
tidak adekuat perlu dipertimbangkan suplementasi; namun harus
dihindari pemberian megadosis.
A (RE)
600
D (mcg)
15
E (mg)
15
K (mcg)
65
500
15
15
55
Laki-laki
> 65 th
Perempuan
> 65 th
Thiamin
(mg)
Riboflavin
(mg)
Niacin
(mg)
B12
(mcg)
B6
(mg)
C
(mg)
2,4
As.
folat
(mcg)
400
1,0
1,3
16
1,7
90
1,0
1,1
14
2,4
400
1,5
75
Laki-laki
> 65 th
Perempuan
> 65 th
Ca
(mg)
800
P
(mg)
600
Fe
(mg)
13
Zn
(mg)
13,4
I
(mcg)
150
Se
(mcg)
30
800
600
12
9,8
150
30
Jarak
(Km)
I
II
III
IV
V
VI
1,6
1,6
1,6
1,6
1,6
1,6
Waktu
tempuh
(menit)
25 30
25
25
25
20
20
Keterangan :
Contoh pada bulan ke 2:
Jalan cepat 1,6 Km dengan waktu tempuh 25 menit, dilakukan 2 x
dengan selang waktu istirahat 15 menit . Istirahat dilakukan tidak
dalam keadaan duduk, tetapi secara aktif yaitu sambil berjalan
pelan atau menggerakkan lengan dan tungkai.
- 1173 Untuk usia > 60 tahun menggunakan latihan fisik dengan jalan
cepat selama 6 menit dengan menghitung jarak tempuh yang
dilakukan secara bertahap
Tabel 31. Tahapan latihan untuk usia > 60 tahun wanita
Jalan
6 menit
Wanita
Bulan 1
Bulan 2
Bulan 3
Bulan 4
Bulan 5
6064
Thn
450
m
500
m
550
m
600
m
650
m
65
69
Thn
400
m
450
m
500
m
550
m
600
m
70
74
Thn
350
m
400
m
450
m
500
m
550
m
75
79
Thn
300
m
350
m
400
m
450
m
500
m
80
84
Thn
250
m
300
m
350
m
400
m
450
m
85
89
Thn
200
m
250
m
300
m
350
m
400
m
90
94
Thn
150
m
200
m
250
m
300
m
350
m
6064
Thn
6569
Thn
7074
Thn
7579
Thn
8084
Thn
8589
Thn
9094
Thn
500
550
600
650
700
450
500
550
600
650
400
450
500
550
600
350
400
450
500
550
300
350
400
450
500
250
300
350
400
450
200
250
300
350
400
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
3. Pelaksanaan pemeriksaan
4. Mendokumentasikan dan menyimpulkan hasil asesmen.
Jenis Pemeriksaan Rehabilitasi Dasar
Di bawah ini adalah pemeriksaan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Umum yang dapat dilakukan dalam pengisian asesmen Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi dasar. Pemeriksaan dilakukan bila terdapat
indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan, dengan memastikan
tidak ada
pemeriksaan.
masalah
dalam
peresepan
1. Sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas dilakukan untuk memeriksa fungsi
modalitas sensorik yaitu rasa raba, rasa posisi, nyeri.
Untuk pemeriksaan sensibilitas pada asesmen KFR sederhana
ini, dilakukan dengan menggunakan Nottingham Sensory
Assesment.
Indikasi dilakukannya uji sensibilitas
Semua gangguan sistem saraf pusat maupun perifer
Kontraindikasi
Tidak ada
Efek samping/komplikasi tindakan
Tidak ada
Syarat pasien untuk pemeriksaan
Dilakukan pada pasien yang kooperatif
Pasien tidak memiliki gangguan fungsi luhur
Pasien tidak mengalami gangguan pemahaman bahasa
Prosedur pemeriksaan akan dibahas lebih lanjut
penjelasan 1 terlampir.
pada
otot
akan
dibahas
lebih
lanjut
pada
adanya
masalah
dibahas
lebih
lanjut
pada
SOSIAL
BAGI
INDIVIDU,
KELUARGA
DAN
Tingkat kemampuan: 4A
Pendahuluan
Seorang pasien yang mengalami masalah kesehatan yang berat
atau yang kronis, memerlukan suatu penatalaksanaan yang
memungkinkan pasien tersebut kembali di tengah lingkungan
sosialnya dan berfungsi sebagaimana/ sedekat mungkin seperti
sebelum sakit. Rehabilitasi bukan hanya dari sudut fisis, namun
perlu dari sudut mental dan sosial. Rehabilitasi sosial sangat
membutuhkan motivasi yang tinggi dari individu, dukungan dari
lingkungan sosial mulai dari pasangan, anggota keluarga dan
komunitas sosial (komunitas sosial di sekitar pasien, maupun
komunitas yang dapat terhubung dengan media masa atau media
sosial)
- 1182 Tujuan
a. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi individu yang
berusia 17 tahun ke atas untuk kembali pada keadaan
keseharian sebelum sakit dalam rangka menjamin kualitas
hidup individu
b. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi keluarga setelah
adanya individu dalam keluarga yang mengalami masalah
kesehatan
c. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi masyarakat
setelah pengalaman masalah kesehatan luar biasa
Alat dan bahan yang diperlukan:
1. Rekam medis berisi kondisi fisik, mental dan sosial pasien
2. Rekam medik keluarga berisi dinamika keluarga dan fungsifungsi dalam keluarga
3. Ruang konseling individual dengan penataan kursi seperti pada
gambar 165
4. Ruang konseling keluarga dengan penataan kursi seperti pada
gambar 166
5. Ruang penyuluhan masyarakat dengan audiovisual yang
memungkinkan dan sesuai
6. Kolaborasi antar petugas kesehatan yang saling mendukung
Teknik keterampilan
- 1183 -
Lesi
Timik,
limfoma,
goiter.
Cairan
Kista timus,
timoma, kista
perikardial,
limfoma
Lemak
Vaskular
Sel
B Tiroid,
germinal,
kardiak,
timolipoma,
koroner
bantalan
lemak
Medial
Nodus
Duplikasi
Lipoma,
Anomali
limfatikus, kista, nodus esofageal,
arkus, vena
duplikasi
nekrotik,
polip fv
azygous,
resesi
nodua
kista,
anomali
perikard,
vaskular
arkus
retroperitone
al
Posterior
Neurogenik Kista
Ekstramedula Aorta
,
tulang neuroenterik, r,
descenden
dan
schwanoma,
hematopoiesis
sumsum
meningokel
Lebih
dari Infeksi,
Limfangioma, liposarkoma
Hemangiom
satu
perdarahan mediastinitis
a
komparteme , ca.paru
n
6. CTR (Cardio-Thoracic Ratio)
Rumus:
a+b
c+d
Normalnya 50%.
CTR > 50% menandakan pembesaran jantung.
- 1189 8. Paru:
Abnormalitas paru dapat terlihat dalam bentuk:
a. Konsolidasi
- Akut: pneumonia, aspirasi, infark, edema.
- Kronik: limfoma, pneumonia, sarkoidosis.
- Batwing: edema, pneumonia bakrerialis, PCP, pneumonia
viral
b. Atelektasis
- Resorpsi: mukus, tumor, benda asing
- Relaksasi: efusi pleura, pneumothorax
c. Nodul-Massa
- Nodul < 3 cm: granuloma, ca.paru, metastasis, hamartoma
- Massa > 3 cm: ca.paru, granuloma, hamartoma
- Massa multipel: infeksi, metastasis, sarkoidosis, wegner.
9. Pleura
Volume cairan pleura mulai terlihat pada gambaran foto toraks
adalah 200-300 cc. Volume cairan pleura dapat menutupi
seluruh hemitorakss jika berjumlah 5 L.
143. UJI FUNGSI PARU
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: mampu menguji fungsi paru
kompetensi dokter di pelayanan primer
pada
pasien
sesuai
- 1190 10. Unit akan berbunyi dalam 2 detik dan hasil pengukuran akan
muncul di layar. Misal : 536 liter/menit
11. Ulangi langkah 4 - 9 untuk pengukuran kedua dan atau ketiga
12. Peak flow meter tidak akan mencatat hasil pengukuran bila
meniupnya pelan atau lebih dari 4 detik
13. Alat akan mengeluarkan bunyi beep 3x sebagai peringatan
14. Tekan tombol Save/Enter selama 2 detik, alat akan
mengeluarkan bunyi beep 3x, dan menyimpan secara otomatis
nilai hasil pengukuran
15. Hasil tes akan terdisplay dan indikator akan menunjukkan
warna jika selesai pengukuran.
16. Jika ingin melakukan tes 2 kali atau lebih, alat akan memilih
dan menyimpan hasil tes yang terbaik dari semua tes yang
dilakukan dalam waktu 3 menit.
Interpretasi Hasil Pengukuran
-
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan beberapa batang kayu tipis atau kawat alumunium
dengan panjang 18 cm dan diameter 2 mm. buat strip kapas,
dengan panjang 6 cm dan lebar 3 cm setipis mungkin.
2. Gulung kapas mengelilingi salah satu ujung batang kayu.
3.
4.
5.
6.
7.
Tabung
No.
Kadar
%
g/dL
1
2
3
4
5
0
25
50
75
100
0
3,6
7,2
10,8
14,4
Larutan
Standar
mL
0,5
1
1,5
2
Larutan
Sianida
mL
2
1,5
1
0,5
-
Serapan
0
0,098
0,196
0,294
0,392
- 1199 -
b. Metode Otomatik
Bahan pemeriksaan
Darah lengkap dengan antikoagulan K2EDTA atau K3EDTA, 3
mL dalam tabung EDTA
Alat dan Reagen
Alat: Hematology Automatic Blood Cell Counter (electronic
impedance)
Reagen: sesuai dengan alat yang digunakan
Cara pemeriksaan
1) Homogenkan darah dengan antikoagulan EDTA
2) Masukkan identitas pasien pada alat hematologi otomatis
dan siapkan untuk pemeriksaan hematologi
3) Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap darah pasien,
lakukan pemeriksaan kontrol internal menggunakan bahan
kontrol normal, low, high, dengan syarat minimum 2 level
(normal dan low).
4) Aspirasi darah EDTA dengan alat. Jumlah yang diaspirasi
tergantung tipe dan merk alat. Perhatikan kecukupan
sampel karena adanya dead space (jumlah sampel harus
ada supaya bisa diaspirasi alat)
5) Hasil akan tampil pada layar/monitor alat.
c. Pemeriksaan Hemoglobin Menggunakan Alat POCT dengan
Microcuvet
Bahan Pemeriksaan: Darah kapiler atau darah EDTA
Alat dan Reagen
Alat
1) Haemometer POCT
2) Lancet
- 1201 -
- 1202 Tabel 35. Nilai Rujukan Kadar Hemoglobin Sesuai Umur dan
Jenis Kelamin
Umur
1 3 hari (darah
kapiler)
0,5 2 tahun
2 6 tahun
6 12 tahun
12 18 tahun (pria)
12 18 tahun (wanita)
18 49 tahun (pria)
18 49 tahun (wanita)
Hemoglobin (g/dL)
14,5 22,5
10,5
11,5
11,5
13,0
12,0
13,5
12,0
13,5
13,5
15,5
16,0
16,0
17,5
16,0
Wanita
12 atau lebih
tidak hamil
>15 tahun
Wanita
11 atau lebih
hamil
Anemia berat
11-11,9
Anemia
sedang
8-10,9
10-10,9
7-9,9
Kurang dari 7
Kurang dari 8
e. Metode Sahli
Bahan Pemeriksaan
Darah vena atau darah kapiler
Alat dan Reagen
Alat : Hemoglobinometer (hemometer), Sahli terdiri dari :
1) Gelas berwarna sebagai warna standard
2) Tabung hemometer dengan pembagian skala putih 2 sampai
dengan 22. Skala merah untuk hematokrit.
3) Pengaduk dari gelas
4) Pipet Sahli yang merupakan kapiler dan mempunyai volume
20 L
5) Pipet pasteur.
6) Kertas tissue/kain kassa kering
Reagen:
1) larutan HCL 0,1 N
2) Aquades
- 1203 -
Cara Pemeriksaan
1. Tabung hemometer diisi dengan larutan HCL 0,1 N sampai
tanda 2
2. Hisaplah darah kapiler dengan pipet Sahli sampai tepat pada
tanda 20 L (tidak boleh dihisap dengan mulut).
3. Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada ujung luar
pipet dengan kertas tissue secara hati-hati jangan sampai
darah dari dalam pipet berkurang.
4. Masukkan darah sebanyak 20 L ini ke dalam tabung yang
berisi larutan HCL tadi tanpa menimbulkan gelembung
udara.
5. Bilas pipet sebelum diangkat dengan jalan menghisap dan
mengeluarkan HCL dari dalam pipet secara berulang 3 kali
6. Tunggu 5 menit untuk pembentukan asam hematin
7. Asam hematin yang terjadi diencerkan dengan aquades
setetes demi setetes sambil diaduk dengan pengaduk dari
gelas sampai didapat warna yang sama dengan warna
standard.
8. Miniskus dari larutan dibaca. Miniskus dalam hal ini adalah
permukaan terendah dari campuran larutan.
Catatan:
Tidak
direkomendasikan
lagi
karena
variasi
pengukuran/ketidaktelitian hasil pemeriksaan menggunakan
alat Hb Sahli ini sebesar 20%
B. PEMERIKSAAN HEMATOKRIT
a. Cara Mikro
Bahan Pemeriksaan
Darah EDTA dengan kadar 1 mg K2EDTA/K3EDTA untuk 1 mL
darah atau darah heparin dengan kadar heparin 15-20 IU/mL.
Alat dan Reagen
Alat : Pipet kapiler panjangnya 75 mm dan diameter dalam 1
mm.
Reagen: Cara Pemeriksaan
1) Isi pipet kapiler dengan darah yang langsung mengalir (darah
kapiler) atau darah anti koagulan.
2) Salah satu dari ujung pipet disumbat dengan dempul atau
dibakar. Hati-hati jangan sampai darah ikut terbakar.
64
59
50
43
40
44
37 47
42 52
>33
- 1206 g. Dengan pipet Pasteur teteskan 3-4 tetes larutan dengan cara
menyentuhkan ujung pipet pada pinggir kaca penutup. Biarkan
kamar hitung terisi secara perlahan-lahan dengan sendirinya.
h. Letakkan kamar hitung yang sudah terisi tersebut dalam cawan
petri yang didalamnya ada kertas saring basah dan biarkan
tertutup selama 10-30 menit supaya trombosit mengendap.
i. Periksa dalam mikroskop.
j. Pakailah lensa objektif 40x dan okuler 10x
k. Turunkan lensa kondensor dan meja mikroskop harus dalam
posisi horizontal.
l. Hitung semua trombosit yang terdapat pada area seluas 1 mm2
(Bidang A) yang terdapat ditengah-tengah kamar hitung
Improved Neubauer.
Perhitungan:
Pengenceran darah 100 kali
Volume yang dihitung : 1 mm2 x 0,1 mm = 0,1 mm3
Jumlah trombosit/L darah = 1 x 100 x N
0,1
= 1000 x N
N = jumlah trombosit yang dihitung pada 1 bidang (bidang tengah
kamar hitung)
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Jumlah trombosit : / L
- 1207 -
- 1208 Leukosit dihitung dalam 4 bidang besar sehingga volume sel yang
dihitung 0,4 mm3 (0,4 L)
Pengenceran yang dilakukan adalah 20 kali. Bila jumlah sel yang
dihitung N maka:
Faktor perhitungan _____20 ____ = 50
5 x 1 x 0,1
Jumlah leukosit per L darah = jumlah leukosit yang dihitung
dalam 4 bidang x 50
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Jumlah leukosit = ..../ L
E. PEMERIKSAAN
HITUNG
LEUKOSIT,
ERITROSIT SECARA OTOMATIK
TROMBOSIT,
DAN
Metode Pemeriksaan
Eritrosit dan sel darah lain dapat dihitung berdasarkan Metode
impedance atau Metode optik. Sejumlah besar sel dapat dihitung
dengan cepat menggunakan alat otomatik.
Cara pemeriksaan
a. Homogenkan darah dengan antikoagulan EDTA
b. Masukkan identitas pasien pada alat hematologi otomatis dan
siapkan untuk pemeriksaan jumlah leukosit, eritrosit, dan
trombosit
c. Aspirasi darah EDTA dengan alat. Jumlah yang diaspirasi
tergantung tipe dan merk alat. Perhatikan kecukupan sampel
karena adanya dead space (jumlah sampel harus ada supaya
bisa diaspirasi alat)
d. Hasil akan tampil pada layar monitor alat.
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Jumlah Leukosit
: .... / L
Jumlah Trombosit
: .... / L
Jumlah Eritrosit
: .... / L
153. PEMERIKSAAN HITUNG JENIS APUS DARAH TEPI
Tingkat Kemampuan: 4A
Alat dan reagen
Alat:
1. Sediaan apus darah yang akan diperiksa
2. Mikroskop binoculer
3. Minyak imersi
4. Kertas lensa/kain flanel
5. Differential cell counter yang dirancang untuk hitung jenis.
Reagen: -
- 1209 -
Teknik pemeriksaan
1. Fokuskan mikroskop pada pembesaran 10x (low power). Pindai
hapusan untuk memeriksa distribusi sel, clumping, dan sel
abnormal. Saat memindai apusan, perhatikan bentuk eritrosit
yang tidak biasa seperti rouleaux atau clumping.
2. Periksa tepi hapusan. Jika terdapat sejumlah besar leukosit
pada daerah ini, maka hitung jenis tidak akurat. Sebagian besar
sel yang berada pada tepi sediaan adalah leukosit besar seperti
monosit dan neutrofil. Apusan tidak dapat diperiksa jika
ditemukan kondisi seperti ini.
3. Jika apusan dapat digunakan, perkirakan jumlah leukosit
dengan menghitung jumlah leukosit pada tiap 5 atau 6 lapang
pandang besar (low power field). Hitung jumlah rata-rata sel.
Kalikan jumlah rata-rata sel dengan 1000 dan bagi 4. Jumlah
ini seharusnya berada dalam 20% dari jumlah aktual leukosit.
Jika tidak dalam rentang ini, penghitungan dan estimasi
leukosit harus diulang.
4.
5.
6.
7.
- 1210 3+ = peningkatan
jumlah
yang
signifikan;
hampir
keseluruhan sel abnormal >5/lapang pandang
4+ = seluruh sel abnormal; ditemukan pada kasus ekstrim
seperti abnormalitas eritrosit herediter
* jika tidak ada morfologi eritrosit yang signifikan, laporkan
morfologi sel darah merah sebagai normal.
b. Ukuran: anisositosis adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan variasi ukuran.
c. Bentuk: poikilositosis adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukkan perubahan bentuk. Jika istilah ini digunakan,
maka harus diperjelas dengan variasi bentuk yang ada,
seperti eliptosit 2+, sel target 1+, dsb.
d. Badan inklusi: apakah terdapat badan inklusi eritrosit atau
leukosit yang bermakna seperti basophilic stippling, badan
Howell-Jolly, badan Dohle, dsb.
e. Abnormalitas lain yang ditemukan seperti rouleaux, parasit
atau bakteri tertentu, dsb.
Pelaporan hasil pemeriksaan
Pada contoh pelaporan hitung jenis dibawah, yang dimasukkan
adalah nilai normal pada orang dewasa.
Tabel 38. Hitung jenis sel normal pada orang dewasa
Tipe Sel
Jumlah Leukosit
/ L
Segmen %
Batang %
Limfosit %
Monosit %
Eosinofil %
Basofil %
Dewasa
5000 10.000
53-79
0-10
3-9
3-9
0-4
0-1
Catatan
1. Hapusan yang dibuat dan diwarnai dengan baik sangat penting
terhadap keakuratan hitung jenis.
2. Sebelum melaporkan abnormalitas yang signifikan seperti blast,
malaria, atau temuan signifikan lainnya pada hitung jenis
pasien, minta petugas yang lebih berpengalaman untuk menilai
hapusan untuk konfirmasi.
3. Jika ditemukan sel yang rusak seperti smudge cel atau basket
cell, harus tetap dilaporkan.
4. Ketika jumlah leukosit sangat rendah ( < 1000 /uL), sulit untuk
melakukan hitung jenis dengan 100 sel. Dalam situasi seperti
ini, gunakan penjumlahan hingga 50 sel. Berikan catatan
bahwa sel yang dihitung hanya 50. Kalikan tiap persentasi x2.
5. Ketika jumlah leukosit sangat tinggi (>50.000/uL), hitung jenis
200 sel dapat dilakukan untuk meningkatkan keakuratan
- 1211 hitung jenis. Hasil ini kemudian dibagi dua dan tuliskan catatan
pada laporan bahwa digunakan penghitungan 200 sel.
Tabel 39. Kelainan pada hitung jenis
Sel
Neutrofil
Limfosit
Eosinofil
Monosit
Basofil
Trombosit
Tinggi
Penyebab tersering:
Infeksi
Nekrosis
Stressor
apapun/olahraga
berat
Obat-obatan
Kehamilan
CML
Merokok
Keganasan
Rendah
Kadar
signifikan:
<1.0x109/L
Penyebab tersering:
Infeksi virus
Autoimun/idiopatik
Pengobatan
Perhatian:
Orang yang terlihat sakit
Derajat
keparahan
neutropenia
Kecepatan
perubahan
Perhatian:
neutropenia
Orang yang terlihat sakit
Limfadenopati,
Derajat
keparahan
hepatosplenomegali
neutrofilia
Kecepatan
perubahan
neutrofilia
Adanya shift to the left
Penyebab:
Biasanya tidak bermakna
secara klinis
Infeksi akut (virus, bakteri)
Merokok
Hiposplenisme
Respon stress akut
Tiroiditis autoimun
CLL
Penyebab tersering:
Tidak ada penyebab yang
Alergi/atopi, asma/hayfever mengkhawatirkan.
Parasit
Penyebab lebih jarang:
Hodgkins
Myeloproliferative disorders
Sindrom Churg-Strauss
Biasanya tidak signifikan.
Secara
klinis
tidak
Perhatikan kadar >1.x109/L bermakna
lebih ketat
Berhubungan dengan:
Sulit
untuk
didemonstrasikan.
Myeloproliferative disorders
Penyebab jarang lainnya
Kadar signifikan:
Kadar signifikan:
9
>500x10 /L
<100x109/L
- 1212 Sel
Tinggi
Kemungkinan penyebab:
Kondisi
reaktif
seperti
infeksi, inflamasi
Kehamilan
Defisiensi besi
Paska splenektomi
Trombositemia esensial
Eritrosit
PRV
Thallasaemia
Rendah
Penyebab tersering:
Infeksi virus
ITP
Gangguan hepar
Obat-obatan
Hipersplenisme
Penyakit autoimun
Kehamilan
Perhatian:
Memar
Petechiae
Perdarahan signifikan
Anemia hipoproliferatif (def.
besi, vit B12, dan folat)
Aplasia
(idiopatik
atau
diinduksi obat).
Aplasia sel darah merah
yang diinduksi oleh infeksi
parvovirus B19
Referensi
1. Sacher RA. McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan
laboratorium. 11th ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC,
2002.
2. Turgeon ML. Clinical Hematology theories and procedures. 4th ed.
Phladelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
3. Frasser T, Tilyard M (eds). Complete blood count in primary care.
Dunedin: BPAC NZ better medicine, 2008.
154. PEMBUATAN SEDIAAN DARAH TEPI (TEBAL DAN APUS)
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menyediakan slide untuk diperiksa secara mikroskopik.
2. Sediaan darah apus dapat digunakan untuk pemeriksaan
morfologi sel darah.
3. Sediaan darah tebal dapat digunakan untuk pemeriksaan
parasit filaria.
4. Sediaan darah tebal dan apus dapat digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopik malaria. Walaupun pemeriksaan
mikroskopik malaria bukan merupakan kompetensi dokter
umum, namun dokter perlu mampu membuat sediaan yang
- 1213 baik agar dapat dikirim dan diperiksa dengan baik oleh tenaga
ahli secara mikroskopik.
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan sebagai alat perlindungan diri
2. Kapas alkohol
3. Kapas kering
4. Lanset sekali pakai
5. Kaca obyek
6. Metanol
7. Larutan Giemsa
8. Larutan buffer (dapat diganti dengan air suling atau destilled
water bila tidak tersedia)
9. Rak pengering
10. Kertas tisu atau kertas saring
Prosedur
a. Pembuatan sediaan darah tebal
1. Persiapkan ujung jari pasien yang akan ditusuk. Lakukan
desinfeksi dengan menggunakan kapas alkohol.
2. Tusuk ujung jari pasien dengan menggunakan lanset sekali
pakai.
3. Hapus tetesan darah yang pertama keluar dengan
menggunakan kapas kering.
4. Tempelkan kaca obyek pada tetesan darah berikutnya. Ambil
sebanyak 3 tetes darah.
5. Letakkan kaca obyek di atas meja kerja. Dengan
menggunakan ujung kaca obyek yang lain, sebarkan tetesan
darah hingga membentuk lingkaran berdiameter 1cm.
6. Beri label pada kaca obyek, tunggu hingga sediaan kering
untuk dapat diwarnai.
7. Pewarnaan sediaan darah tebal:
a. Letakkan kaca obyek yang telah diberi sediaan di atas rak
b. Siapkan larutan Giemsa 20% dengan mencampurkan 20ml
larutan Giemsa stok dengan 80ml larutan buffer atau air
suling
c. Teteskan larutan Giemsa kerja di atas sediaan darah
hingga seluruh darah tertutup zat warna. Biarkan selama
15 menit.
d. Buang sisa zat warna, kemudian cuci perlahan dengan air
mengalir. Hati-hati sebab sediaan darah dapat luruh akibat
aliran air yang kuat.
Gambar 174. Pembuatan sediaan darah tebal dan apus pada satu
kaca obyek
3. Label dapat ditulis dengan pensil pada bagian pangkal dari
sediaan apus.
Gambar 175. sediaan darah tebal dan apus pada kaca obyek
yang sama
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan.
Departemen
Kesehatan
RI.
Pedoman
anti A
anti-B
anti-AB
anti-Rh
Teknik Pemeriksaan
1. Tuliskan identitas pasien pada kertas pemeriksaan golongan
darah
2. Teteskan darah masing-masing 1 tetes pada tiap area pada
kertas pemeriksaan golongan darah. Teteskan 1 tetes serum
anti-A pada area anti-A, serum anti-B pada area anti-B, , serum
anti-AB pada area anti AB dan serum Rh pada area anti-Rh.
3. Campurkan tetesan serum dengan darah. Gunakan batang
pengaduk yang berbeda untuk mencampur darah di setiap
area.
4. Nilai hasil yang didapatkan.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Subjek bergolongan darah A jika aglutinasi terjadi
pemberian serum anti-A.
2. Subjek bergolongan darah B jika aglutinasi terjadi
pemberian serum anti-B.
3. Subjek bergolongan darah AB jika aglutinasi terjadi
pemberian serum anti-A dan serum anti-B.
4. Subjek bergolongan darah O jika tidak terjadi aglutinasi.
5. Subjek berhesus positif (Rh +) jika terjadi aglutinasi
pemberian serum anti-Rh. Subjek berhesus negatif jika
terjadi aglutinasi pada pemberian serum anti-Rh.
pada
pada
pada
pada
tidak
Referensi
Daniels R. Dalmars guide to laboratory and diagnostic tests. 3rd ed.
Independence: Cengage learning, 2014.
- 1221 -
Tingkat Kemampuan: 4A
a. Pemeriksaan Makroskopik
Alat dan bahan
Alat:
a. Pot Tinja
b. Lidi
Bahan: Tinja segar
Teknik pemeriksaan: Mengamati dan menilai bau dari tinja
Pelaporan Hasil
Warna
: (ditulis warna yang diamati)
Bau
: (ditulis seperti yang dibaui)
Konsistensi : (ditulis yang diamati )
Lendir
: (ditulis ada atau tidak ada)
Darah
: (ditulis ada atau tidak ada, tercampur atau hanya
ada pada bagian luar tinja saja, warna darah merah
atau hitam)
b. Pemeriksaan Mikroskopik
(Direct Wet Smear)
Tinja
Sediaan
Basah
Langsung
2.
3.
4.
5.
Reagen:
1. Larutan iodin (lugol) atau eosin 2% dalam aquades. Apabila
tidak ada, maka larutan garam fisiologis juga dapat digunakan.
Untuk identifikasi protozoa disarankan menggunakan iodin.
2. Larutan Sudan III
Teknik Pemeriksaan
1. Ambil sebuah kaca objek.
2. Tulis identitas pasien (nama dan nomor pasien, nama dokter,
tanggal dan waktu pengambilan).
3. Tetesi gelas objek di sebelah kiri dengan 1 tetes garam fisiologis
dan sebelah kanan dengan 1 tetes larutan eosin 2 % atau
larutan lugol.
4. Bila diperlukan pemeriksaan lemak, tetesi gelas objek lain
dengan 1 tetes larutan Sudan III.
5. Ambil 2mg atau seujung lidi sampel tinja, hindari bagian yang
kasar atau banyak mengandung serat.
6. Campurkan tinja di dalam larutan dengan mengaduknya rata
dengan menggunakan ujung lidi; singkirkan bagian-bagian yang
kasar.
7. Tutup sediaan dengan menggunakan kaca penutup secara hatihati; hindari adanya gelembung udara yang terperangkap di
bawah kaca penutup.
8. Apabila terdapat kelebihan cairan, bersihkan dengan
menggunakan kertas tisu atau kertas saring dengan hati-hati.
9. Sediaan apus yang baik adalah cukup tipis dan masih
memungkinkan membaca tulisan.
10. Lihat dibawah mikroskop mula-mula dengan lensa objektif 10 x,
kemudian lensa objektif 40 x.
11. Untuk pemeriksaan protozoa usus disarankan menggunakan
lensa obyektif 40x dan 100x.Perhatikan semua unsur dalam
tinja dan identifikasi.
12. Pada sediaan yang ditambah larutan lugol, perhatikan adanya
amilum atau zat pati.
13. Pada sediaan yang ditambah larutan Sudan III, perhatikan
adanya globul lemak.
14. Perlu diperhatikan:
a. Gunakan wadah tertutup dengan mulut lebar untuk
mengumpulkan tinja pasien.
b. Hindarkan
kontaminasi
saat
pengambilan
sampel,
pembuatan sediaan, hingga pemeriksaan.
Teteskan
setetes
Letakkan kaca obyek larutan iodin, eosin,
yang
yang bersih di atas meja atau
garam
fisiologis di atas
kerja.
kaca obyek.
Ambil
seujung
sampel tinja.
Tutup sediaan
kaca penutup
lidi
Contoh
yang
jumlah sampel
banyak.
bawah
- 1224 hati-hati.
Hindarkan dengan kertas tisu atau menggunakan lensa
gelembung
udara kertas saring dengan obyektif 10x atau
terperangkan di bawah hati-hati.
40x
untuk
telur
kaca penutup.
cacing, dan 40x dan
100x
untuk
protozoa.
Gambar 177. Pembuatan sediaan tinja basah langsung (direct wet smear)
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Laporan ada atau tidak ada:
1. Telur cacing
2. Amoeba
3. Larva cacing
4. Eritrosit dan Lekosit
5. Lemak
6. Sisa makanan
7. Dan lain-lain
Referensi
World Health Organization. Basic laboratory procedures in clinical
laboratories. 2nd ed. Geneva: Wolrd Health Organization, 2003.
c. Pemeriksaan Apusan Perianal (Perianal Swab)
Tujuan
1. Mendiagnosis enterobiasis (infeksi cacing kremi) dengan
menemukan telur, larva atau cacing Enterobius vermicularis.
2. Mendiagnosis taeniasis dengan menemukan telur atau proglotid
Taenia saginata.
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan sebagai alat perlindungan diri.
2. Spatel lidah atau aplikator kayu.
3. Selotip (scotch tape) yang transparan dan tidak berwarna.
4. Minyak imersi atau tuluol.
5. Mikroskop cahaya
Prosedur
1. Perlu diingat bahwa pengambilan sampel dilakukan pada pagi
hari saat pasien baru bangun pagi dan belum mandi, defekasi,
atau cebok.
2. Pasang selotip secara terbalik di ujung aplikator kayu atau
spatel lidah (Gambar 1), sehingga bagian yang lengket
menghadap ke luar (Gambar 2).
3.
4.
5.
6.
- 1226 -
Teknik Pemeriksaan
a. Amati makroskopis tinja dan catat.
b. Teteskan kontrol pada pad reagen bagian kontrol
c. Ambil tinja dengan lidi bersih (sejumlah yang diinstruksikan
pada insert kit) dan oleskan pada pad reagen
d. Amati perubahan warna yang timbul pada bagian kontrol dan
bagian sampel.
e. Catat hasil.
Pelaporan Hasil
Amati bagian kontrol pada pad, bila rapid test dalam kondisi baik,
maka pad yang ditetesi kontrol positif akan menampakkan
perubahan warna, dan pad yang ditetesi kontrol negatif tidak
berubah warna. Bila perubahan warna pad yang ditetesi kontrol
tidak sesuai yang seharusnya maka pemeriksaan harus diulang
dengan reagen berbeda.
Bila terjadi perubahan warna indikator, biasanya tidak berwarna
menjadi hijau kebiruan berarti hasil positif, terdapat darah dalam
tinja. Bila tidak ada perubahan warna berarti hasil negatif, tidak
terdapat darah dalam tinja.
Dapat memberikan hasil positif hanya apabila darah yang terdapat
dalam tinja melebihi 10 mL/hari.
160. PEMERIKSAAN URIN
Tingkat Kemampuan: 4A
a. Pemeriksaan makroskopis
Metode
Pemeriksaan fisik urin dilakukan dengan pengamatan
Bahan Pemeriksaan: Urin sewaktu (minimal 10 mL)
Alat
a. Pot urin bermulut lebar dan bertutup ulir
b. Tabung reaksi
c. Rak tabung
Teknik Pemeriksaan
a. Warna
Masukkan urin ke dalam tabung reaksi yang bersih sebanyak
bagian tabung.
Lihat dalam dengan penerangan cahaya yang cukup.
- 1227 b. Kejernihan
Masukkan urin kedalam tabung reaksi sebanyak
bagian .
Lihat dengan penerangan cahaya yang cukup.
Lihat kejernihannya, apakah ada kekeruhan.
c. Bau (laporkan bila ada kelainan)
Pelaporan Hasil
a. Warna: Tidak berwarna, kuning muda, kuning kemerahan,
merah, putih seperti susu, coklat seperti teh dan lain-lain.
b. Kejernihan: Jernih, agak keruh, sangat keruh.
c. Bau: .....
b. Pemeriksaan Kimiawi
Metode
Pemeriksaan kimia urin dengan carik celup
Bahan Pemeriksaan: Urin segar sewaktu diperiksa dalam
waktu kurang dari 1 jam
Alat dan Reagen
Alat:
Pot urin
Tabung reaksi
Reagen: Carik celup urin
Teknik Pemeriksaan
a. Periksa tanggal kadaluarsa pada botol carik celup dan fisik
dari strip urin.
b. Ambil strip urin sesuai kebutuhan, tutup kembali botol
dengan rapat
c. Ambil satu strip urin, kemudian bandingkan dengan standar
warna negatif pada botol untuk menilai kelayakan strip urin.
Bila warna sesuai, maka strip urin dapat digunakan
d. Celupkan strip urin ke dalam urin sampai semua parameter
terendam dan tidak lebih dari 1 detik.
e. Tiriskan strip urin pada kertas penyerap/ tissue dengan
posisi tegak lurus horizontal (sesuai gambar) untuk
menghilangkan kelebihan urin dan menghindari adanya sisa
urin karena dapat menyebabkan kesalahan penilaian
f. Baca strip urin dengan perbandingan warna standar
parameter pada botol dalam waktu sesuai petunjuk pada kit
insert
g. Catat dan laporkan hasil pemeriksaan
Pelaporan Hasil
- 1228 a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
pH
:
Berat jenis
:
Protein
Glukosa
Keton
Bilirubin
:
Darah samar/Hb
Nitrit
Urobilinogen
Lekosit esterase :
:
:
:
:
:
:
jenis
.........
- 1229 - Eritrosit
: ......... /LPB normal eritrosit ditemukan 02/LPB, lekosit 0-5/LPB
- Kristal
: ......... (+/_), jenis : ........
- Silinder
:.......... /LPB
- Lain lain :......... (sel ragi/bakteri/protozoa/sperma)
Normal ditemukan silinder hialin 0-2/LPK.
Referensi
1. Strasinger SK. Introduction of urinalysis. Urinalysis and
body fluids. 3 ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 1994.
p. 1-10.
2. Gandasoebrata R. Urinalisis. Penuntun laboratorium klinik.
10 ed. Jakarta: Dian Rakyat; 2001. p. 69 - 131.
3. Strasinger SK. Urinalysis and Body Fluid. Philadelphia: F A
Davis Company; 1994.
4. Strasinger SK. Microscopic examination of the urine:
quality assurance in urinalysis. Urinalysis and body fluids.
3 ed. Philadelphia: F.A Davis Company; 1994. p. 81-101.
5. McPherson R, Ben-Ezra J, Zhao S. Basic Examination of
Urine. In: McPherson R, Pincus M, editors. Henry's Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methode 21 ed.
New York: Saunders Company; 2007. p. 393-424.
PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI
161. PEMERIKSAAN BTA
Tingkat Kemampuan: 4A
Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl
Nielson.
Bahan Pemeriksaan
Dahak yang diambil pada saat sewaktu-pagi-sewaktu
a) Dahak pagi
:
dahak yang dikeluarkan oleh penderita
pada waktu bangun pagi
b) Dahak
:
dahak yang dikeluarkan oleh penderita
sewaktu
pada saat datang ke Puskesmas (hari
pertama dan hari kedua)
Untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya disarankan
mengambil dahak pagi atau dahak sewaktu sebanyak 3-5 mL setiap
wadah dahak.
- 1230 -
Alat:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Lidi
Kaca objek yang bersih, tidak berminyak dan tidak bergores.
Pinsil kaca
Lampu spiritus
Pinset
Rak pewarna
Rak pengering
Mikroskop
Reagen:
1) Kit pewarnaan Ziehl Nielson
2) Minyak imersi
3) Eter alkohol
Teknik Pemeriksaan
a. Teknik pembuatan sediaan hapusan dahak langsung:
1) Kaca objek diberi nomor kode pasien pada sisi kanan kaca
objek
2) Pilih bagian dahak yang kental atau warna kuning kehijauan
atau ada perkejuan atau ada nanah atau darah. Ambil sedikit
bagian tersebut dengan memakai lidi.
3) Ratakan (coiling) di atas kaca objek dengan ukuran 2 x 3 cm.
apusan dahak jangan terlampau tebal atau terlampau tipis.
Keringkan pada suhu kamar selama 15-30 menit.
4) Lidi bekas pakai dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
cairan desinfektan natrium hipoklorit 0,5% sebelum
dimusnahkan.
5) Kemudian rekatkan/fiksasi sediaan dengan cara melewatkan
di atas nyala api bunsen dengan cepat sebanyak 3 kali
selama 3 - 5 detik. Setelah itu sediaan langsung diwarnai
dengan pewarnaan Ziehl Nielson.
b. Teknik pewarnaan Ziehl Nielson.
1. Letakkan sediaan di atas rak pewarna. Kemudian tuang
larutan Karbol fuschin
1% sampai menutupi seluruh
sediaan.
2. Panasi sediaan secara hati-hati di atas api bunsen sampai
keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih. Biarkan menjadi
dingin selama 5 menit.
3. Bilas dengan air mengalir
4. Tuangkan asam alkohol 3 % sampai warna merah dari
Fuchsin hilang. Tunggu 2 menit
5. Bilas dengan air mengalir.
6. Tuangkan larutan Methylen Blue 0,3 % dan tunggu 10 20
detik
:
: 2+
: 3+
jumlah
dengan
Bahan Pemeriksaan
a. Sekret urethra (laki-laki)
b. Sekret vagina (wanita)
c. Sekret dari mata (bayi)
Spesimen diambil oleh tenaga medis, sediaan yang sampai ke
laboratorium sudah dihapus di kaca objek.
Alat dan Reagen
Alat:
1) Kapas lidi steril
2) Kaca objek yang kering dan bersih
3) Kapas
4) Spekulum
5) Lampu spiritus
6) Pencil kaca
7) Lampu sorot
8) Mikroskop
Reagen:
1) Larutan pewarnaan Gram
2) Minyak imersi
3) Eter Alkohol
Teknik Pemeriksaan
a. Teknik pewarnaan
1) Setelah spesimen dioleskan dikaca objek, biarkan beberapa
saat di udara agar menjadi kering. Setelah kering, fiksasi
dengan melewatkan di atas nyala api lampu spiritus/bunsen.
2) Tuangi dengan larutan Carbol Gentian Violet selama 2-3
menit.
3) Bilas dengan air kran atau air mengalir
4) Tuangi dengan larutan Lugol/Iodine selama 1-2 menit
5) Bilas dengan air kran atau air mengalir.
- 1233 6) Tuangi dengan alcohol 95% selama 20-40 detik, lalu bilas
kembali dengan air kran atau air mengalir
7) Tuangi dengan larutan Carbol Fuchsin selama 1-2 menit.
Bilas kembali dengan air kran atau air mengalir.
8) Keringkan
b. Cara pembacaan
1) Sediaan yang sudah diwarnai dan sudah kering diperiksa
dibawah mikroskop.
2) Teteskan satu tetes minyak imersi di atas sediaan dan
periksalah dengan lensa objektif 100 x.
Carilah kuman Neisseria gonorrhoeae yang oleh pengecatan
berwarna merah, berbentuk menyerupai biji kopi yang
berhadapan pada sisi yang tertekuk dan tersusun dua-dua
sehingga disebut diplococcus.
Kuman dapat terletak di dalam maupun di luar sel lekosit
(intraseluler dan ekstraseluler)
Interpretasi
Gram positif
: Bakteri berwarna ungu
Gram negatif
: Bakteri berwarna merah
Jumlah epitel, leukosit, atau unsur unsur lain
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Morfologi dan sifat Gram kuman (kokus, streptokokus, batang,
kokobasil)
Bila pada pemeriksaan ditemui adanya kuman Gonococcus maka
dilaporkan sebagai :
Diplococcus Gram (-)
Intra selluler
+/Ekstra selluler +/Bila pada pemeriksaan tidak ditemui adanya kuman Gonococcus,
maka dilaporkan:
1) Tidak ditemukan adanya kuman Diplococcus
2) Predominasi kuman (kuman terbanyak)
3) Jumlah masing-masing kuman dirinci sebagai berikut:
a) 0-1/lapang pandang imersi (jarang) atau
b) 2-5/lapang pandang imersi (sedikit) atau
c) 6-10/lapang pandang imersi (sedang) atau
d) >10/lapang pandang imersi (banyak)
4) Jumlah leukosit dan atau eritrosit per lapang pandang emersi
5) Jumlah epitel per lapang pandang emersi
6) Morfologi lain yang ditemukan seperti ragi (budding,
pseudohifa), jamur (hifa, konidia)
Teknik Pemeriksaan
a. Teteskan 1-2 tetes larutan KOH di atas gelas objek
b. Letakkan bahan yang akan diperiksa pada tetesan tersebut
dengan menggunakan pinset yang sebelumnya dibasahi dahulu
dengan larutan KOH, kemudian tutup dengan kaca penutup
c. Biarkan selama 15 menit/dihangatkan di atas nyala api selama
beberapa detik untuk mempercepat proses lisis.
d. Cara pembacaan : periksa dengan mikroskop, mula-mula
dengan pembesaran objektif 10 x, kemudian 40x. Carilah
adanya hifa/spora
Pelaporan hasil
Bila ditemukan hifa atau spora, laporkan hifa atau spora positif.
Referensi
1. Gandahusada. Srisasi, et al. 1992. Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. WHO. 2003. Manual of basic techniques for a health laboratory.
2 nd ed. Malta. p 225.
164. TES KEHAMILAN RAPID/ IMUNOKROMATOGRAFI (ICT)
Tingkat Kemampuan: 4A
Metoda Pemeriksaan: Rapid/Imunokromatografi (ICT)
Bahan Pemeriksaan: Urin segar, lebih baik urin pagi hari
Alat dan Reagen
a. Kaset /strip tes kehamilan
2-5 mL
Tuang dalam bentuk droplet
7.2 8.0
>20 juta/mL
>40 juta/ ejakulat
>50 % dalam 1 jam
2.0 atau a, b, c di tabel
selanjutnya
>14% jumlah normal (kriteria yang
ketat)
>30% jumlah normal (kriteria rutin)
<1.0 juta/mL
Tingkat
A
B
2.0
1.0
0
C
D
Kriteria WHO
Cepat, bergerak dalam garis lurus
Bergerak lebih lambat, sebagian bergerak
ke lateral
Bergerak lambat, pergerakan ke lateral
yang jelas.
Tidak bergerak maju
Tidak bergerak
Morfologi sperma
Kriteria Kruger
Dengan menghitung 200 sperma:
>=15% normal
: rentang normal, prognosis baik.
5-14% nomal
: rentang sub-optimal: prognosis sedang hingga
baik, namun dibawah persentase normal,
menurunkan
kemungkinan
keberhasilan
fertilisasi.
0-4% normal
: prognosis buruk, biasanya membutuhkan IVF
dengan injeksi sperma intrasitoplasma
Rekomendasi WHO
a. Normozoospermia: ejakulat dengan konsentrasi sperma >20x106
spermatozoa/mL, motilitas sperma yang progresif >50%, atau
setidaknya 25% sperma dengan pergerakan linear, dan 30%
morfologi normal.
b. Astenozoosphermia: <40% spermatozoa dengan pergerakan
progresif ditemukan pada sampel.
c. Teratozoospermia: <30 % spermatozoa dengan morfologi normal
pada sampel semen menurut kriteria WHO atau <15% menurut
strict criteria.
d. Oligozoospermia: konsentrasi sperma pada ejakulat <20x106
spermatozoa/mL
e. Oligostenozoospermia: ejakulat dengan konsentrasi dan
motilitas sperma yang menurun.
166. FERN TEST
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Pemeriksaan kristalisasi cairan amnion.
Alat dan Bahan
- Kaca objek
- Swab steril
- 1237 -
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Perkenalkan diri dan informasikan kepada pasien mengenai
prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Kenakan sarung tangan.
4. Posisikan pasien di posisi litotomi.
5. Gunakan speculum yang sesuai dengan ukuran lubang vagina
pasien untuk melihat serviks.
6. Apus serviks dengan menggunakan swab steril.
7. Siapkan apusan tipis pada kaca objek dengan menyebarkannya
secara merata.
8. Lihat hasil pemeriksaan di mikroskop. Jangan menggunakan
penutup kaca objek.
9. Periksa dengan menggunakan pembesaran 10x.
10. Observasi Kristal berbentuk pakis. Cuci tangan setelah selesai
melakukan pemeriksaan.
11. Catat hasil pemeriksaan.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Adanya Kristal ini mengindikasikan cairan adalah cairan
amnion.
- 1241 -
Bahan Pemeriksaan
a. Jenis
Serum, plasma EDTA
b. Cara Penyimpanan (Stabilitas)
1) Pada suhu 2025C stabil selama 6 jam
2) Pada suhu 28C stabil selama 3 hari
3) Pada suhu -10C : 1 bulan
Teknik Pemeriksaan
a. Siapkan reagen, standar, bahan kontrol (normal dan patologis),
dan sampel pada suhu ruang
b. Fotometer disiapkan pada panjang gelombang 546 nm.
Dikalibrasi menggunakan aquabidest.
c. Pipet reagen, standar, bahan kontrol (normal dan patologis),
dan sampel sesuai dengan tabel di bawah ini:
Tabel 42. Contoh pemeriksaan glukosa
Pipet kedalam kuvet
Blanko
Reagen (L)
1000
Standar (L)
Kontrol (L)
Sampel (L)
Homogenkan masing-masing campuran,
pada suhu 20-25 oC atau 5 menit pada
standar, kontrol dan sampel terhadap
absorban tidak boleh lebih dari 60 menit.
Standar
1000
10
Kontrol Sampel
1000
1000
10
10
inkubasi selama 10 menit
suhu 37oC. Ukur absorban
blanko reagen. Pembacaan
Usia dan
kelamin
Heksokinase, Premature
GOD - PAP
Neonatus
Puasa
1 hari
>1 hari
Anak anak
Dewasa
60 90 thn
>90 thn
2 jam post
prandial
jenis Konvensional
(mg/dL)
20 60
30 60
40 60
50 80
60 100
74 106
82 115
75 121
<120
Faktor
Konversi
0,0555
Satuan
Internasional
(mmol/L)
1,1 3,3
1,7 3,3
2.2 3,3
2,8 4,4
3,3 5,6
4,1 5,9
4,6 6,4
4,2 6,7
<6,66
Catatan :
Menurut Konsesus DM 2011 nilai rujukan glukosa darah :
Glukosa darah sewaktu < 200 mg/dL ( 11,1 mmol/L)
Glukosa darah puasa antara < 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Glukosa 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) < 200
mg/dL (11,1 mmol/L)
b. Point Of Care Testing (POCT) glukosa
Alat dan reagen
Alat: POCT glukosa
Reagen: Strip glukosa
Bahan Pemeriksaan: Darah kapiler
Teknik Pemeriksaan
Lihat pada manual/petunjuk dari alat glukometer yang digunakan
Pelaporan hasil
Kadar glukosa =..............mg/dL
Linearitas
Kadar glukosa darah yang dapat terdeteksi dengan alat POCT
adalah <500 mg/dL
Blanko
Standar Kontrol
Sampel
Reagen (L)
1000
1000
1000
1000
Standar (L)
20
Kontrol (L)
20
Sampel (L)
20
Homogenkan masing-masing campuran, inkubasi selama 10 menit pada
suhu
20-25 oC. Ukur absorban standar, kontrol dan sampel terhadap
blanko reagen. Pembacaan absorban tidak boleh lebih dari 30 menit.
Usia dan
jenis kelamin
Konvensio
nal
(g/dL)
Premature
3,6 6,0
Bayi baru lahir
4,6 7,0
1mgg
4,4 7,6
7 bln 1 thn
5,1 7,3
1 2 tahun
5,6 7,5
>3thn
6,0 8,0
Dewasa, sehat
6,4 8,3
Dewasa
sedang 6,0 7,8
dirawat
>60 thn
5,8 7,6
Faktor
Konvers
i
10
Satuan
Internasional
(g/L)
36 60
46 70
44 76
51 73
56 75
60 80
64 83
60 78
76
- 1246 -
Baju mayat
Pencatatan meliputi:
- Bahan, warna dasar, warna dan corak/motif dari tekstil
- Bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu,
monogram/inisial serta tambalan atau tisikan bila ada
- Bila terdapat pengotoran atau robekan juga perlu dicatat
dengan mengukur letaknya yang tepat menggunakan koordinat,
serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan yang ditemukan
- Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus
diperiksa dan dicatat isinya
Pemeriksaan lebam mayat
Dilakukan pencatatan:
- Letak/distribusi lebam mayat
- Warna lebam mayat
- Intensitas lebam mayat (masih hilang dalam penekanan, sedikit
menghilang atau sudah tidak hilang sama sekali)
Pemeriksaan kaku mayat
Catat:
- Distribusi kaku mayat
- Derajat kekakuan pada beberapa sendi (daerah dagu/tengkuk,
lengan atas, siku, pangkal paha, sendi lutut. Tentukan apakah
mudah atau sukar dilawan
- Apabila ditemukan spasme kadaverik harus dicatat memberi
petunjuk apa yang sedang dilakukan oleh korban saat terjadi
kematian
Pemeriksaan tanda-tanda asfiksia mekanik
1. Dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku
2. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat
3. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut
4. Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra
5. Timbul bintik-bintik perdarahan Tardieus spot
Pemeriksaan tanda-tanda asfiksia traumatik (tenggelam)
1. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran lumpur,
pasir dan benda lainnya, bila seluruh tubuh terbenam air
2. Busa halus pada hidung dan mulut, terkadang berdarah
3. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang terdapat
perdarahan atau perbendungan
4. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh terutama
pada ekstremitas akibat kontraksi otot erektor pili yang dapat
terjadi karena rangsang dinginnya air
Klinik.
Dian
PENJELASAN
- 1251 -
- 1252 -
Penilaian:
0 : Absen,tidak mengidentifikasi adanya gerakan
1 : Mengidentifikasi gerakan tetapi tidak mengetahui arah gerakan
salah
2 : Penderita dapat mengenal arah yang diberi contoh tetapi tidak
mengenal posisi baru
3 : Normal
9 : Tidak dapat dites
176. PEMERIKSAAN STEREOGNOSIS
Alat yang dibutuhkan:
1. Penutup mata
2. Koin mata uang
3. Pensil
4. Sisir
5. Gunting
6. Gelas
Pemeriksaan:
Suatu obyek diletakkan pada tangan penderita maksimal 30 detik.
Penderita diminta untuk mengidentifikasi nama, bentuk, bahan
material benda tersebut. Sisi tubuh yang sakit dites lebih dahulu.
Penilaian:
0 Absen
1 Beberapa gambaran obyek disebutkan
2 Langsung dapat meenyebutkan benda obyek
9 Tidak dapat dites
PENJELASAN 2: MANUAL MUSCLE TESTING
Prosedur Pemeriksaan:
a. Jelaskan tujuan pemeriksaan kepada pasien
b. Prinsip pada pemeriksaan kekuatan otot: Pemeriksa dan pasien harus
bekerja sama jika ingin mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat.
c. Lingkungan selama pelaksanakan tes harus tenang dan suhu ruangan
harus dibuat senyaman mungkin (tidak terlalu panas atau terlalu
dingin).
d. Periksa apakah terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi/
kontraktur, spastisitas atau nyeri yang dapat mengganggu hasil
asesmen
e.
f.
g.
h.
Hasil pemeriksaan:
Fleksibilitas lumbal dikatakan normal bila terjadi peningkatan jarak
minimal 5 cm pada saat membungkuk.
Super
Excellent
Baik
Rata-rata
Sedang
Buruk
Sangat buruk
Laki-Laki (CM)
>+27
+17 s/d +27
+6 s/d +16
0 s/d +5
-8 s/d -1
-19 s/d -9
<-20
Perempuan (CM)
>+30
+21 s/d +30
+11 s/d +20
+1 s/d +10
-7 s/d 0
-8 s/d -14
<-14
- 1255 -
Hasil pemeriksaan:
bila ujung jari meraih jarak lebih pendek dari posisi jari kaki, maka
skornya negatif, namun bila jari dapat meraih melebihi posisi jari
kaki, maka skornya positif. besar skor ditentukan oleh posisi ujung
jari pada skala pengukur.
179. PENGUKURAN LINGKUP GERAK SENDI DENGAN GONIOMETER
Prosedur:
Tentukan aksis sendi yang akan diukur, lalu pasang lengan
panjang goniometer pada bagian tubuh yang tidak bergerak dan
lengan pendek goniometer pada bagian tubuh yang bergerak.
Lakukan pengukuran sepanjang lingkup gerak sendi.
Catat hasil pengukuran, bandingkan kedua sisi dan nilai
normal lingkup gerak sendi.
Hasil pemeriksaan:
bandingkan hasil pemeriksaan lingkup gerak sendi sisi kanan dan
kiri menggunakan goniometer.
Pemeriksaan Goniometer (Courtesy of Dr. J.F. Lehmann)
Pemeriksaan
Gambar
Posisi Awal
Pengukuran
Fleksi bahu
Terlentang
Bidang sagital
Lengan berada Subtitusi yang
di kiri dengan
pelu
tangan
pada
dihindari:
posisi pronasi
- Punggung
melengkung
- Punggung
berputar
Goniometer:
- aksis
pada
sisi laterals
sendi
di
bawah
acromion
- Kaki
1
paralel
dengan mid
aksilaris
badan
Pemeriksaan
Hiperekstensi
bahu
Gambar
Pengukuran
- Kaki
2
paralel
dengan garis
tengah
humerus
Terlungkup
Bidang sagital
Lengan pada Subtitusi yang
sisi badan dan
perlu
tangan
pada
dihindari:
posisi pronasi
- mengangkat
bahu
dari
meja
pemeriksaan
- memutar
badan
Goniometer:
- Aksis pada
sisi
lateral
sendi
di
bawah
acromion
- Kaki
1
paralel
dengan mid
aksilaris
badan
- Kaki
2
paralel
dengan garis
tengah
humerus
Pemeriksaan
Abduksi bahu
Gambar
Pemeriksaan
Rotasi
Internal bahu
Pemeriksaan
Rotasi
Eksternal
bahu
Gambar
Gambar
Posisi Awal
Pengukuran
Terlentang
Bidang
transvesa
Lengan
diabduksi 90o Subtitusi
dan
siku
yang
pelu
diangkat dari
dihindari:
meja
- Punggung
melengkung
Siku
- Memutar
difleksikan
- 1259 Pemeriksaan
Fleksi siku
Gambar
Posisi Awal
Pengukuran
90o
dan
badan
tangan pada
- Mengubah
posisi pronasi
sudut pada
bahu atau
Lengan
siku
bawah tegak
lurus dengan Goniometer:
santai
- aksis
sepanjang
aksis
longitudinal
humerus
- Kaki
1
tegak lurus
dengan
lantai
- Kaki
2
paralel
dengan
midline
atau lengan
bawah
Terlungkup
Bidang
sagital
Lengan pada
sisi
badan Subtitusi
dan
tangan
yang
perlu
pada
posisi
dihindari:
pronasi
- mengangkat
bahu
dari
meja
pemeriksaa
n
- memutar
badan
Goniometer:
- Aksis pada
sisi lateral
sendi
di
bawah
acromion
- Kaki
1
- 1260 Pemeriksaan
Hiperekstensi
siku
Gambar
Posisi Awal
Pengukuran
paralel
dengan mid
aksilaris
badan
- Kaki
2
paralel
dengan
garis tengah
humerus
Terlentang
Bidang
frontal(bahu
Lengan pada
harus
rotasi
sisi badan
eksternal untuk
mendapat hasil
maksimum)
Subtitusi
yang
perlu
dihindari:
- Gerakan
badan
ke
lateral
- memutar
badan
Goniometer:
- Aksis
di
anterior
sendi
dan
sejajar
dengan
acromion
- Kaki
1
paralel
dengan
midline
badan
- Kaki
2
paralel
dengan
midline
humerus
- 1261 Pemeriksaan
Gambar
Pronasi lengan
bawah
Posisi Awal
Pengukuran
Terlentang
Bidang
transversa
Lengan di abduksi 90o dan Subtitusi
siku diangkat
yang
perlu
dari meja
dihindari:
- Memanjang
Siku
diflekkan bahu
sikan 90o dan
- memutar
tangan pada
badan
posisi pronasi
- mengubah
Lengan
sudut pada
bawah tegak
bahu atau
lurus dengan
siku
lantai
Goniometer:
- Aksis
sepanjang
aksis
longitudinal
humerus
- Kaki
1
tegak lurus
dengan
lantai
- Kaki
2
paralel
dengan
midline
atau lengan
bawah
- 1262 -
- 1263 -
- 1264 -
- 1265 -
Tanggal
Penilai
Prosedur Uji
Duduk ke berdiri
Berdiri ke duduk
Duduk tanpa support
Berpindah tempat
Berdiri tanpa support
Berdiri dengan mata tertutup
Berdiri dengan kedua kaki dirapatkan
Berdiri heel-to-toe (satu kaki di depan kaki lainnya)
Berdiri 1 kaki
Berputar 360 derajat
Berputar untuk melihat ke belakang
Mengambil objek dari lantai
Berganti-ganti kaki pada undakan
Meraih ke depan dengan tangan meregang penuh
Total Skor
Skor
penilaian PBSL:
tidak dapat mengerjakan
Kemampuan untuk menyelesaikan hanya sedikit
mampu menyelesaikan sebagian
hampir sempurna
- 1267 4
sempurna
Skor
Penilaian:
Penilaian berupa skala 0-4, dengan 0 menandakan paling rendah, 4
menandakan fungsi paling tinggi. Nilai total = 56.
Hasil penilaian:
41-56
=
Resiko
jatuh rendah
21-40
=
Resiko
jatuh sedang
00-20
=
Resiko
jatuh tinggi
- 1268 -
Instruksi Umum
Catatlah setiap tugas dan beri instruksi sesuai yang tertulis. Ketika
melakukan penilaian, catatlah respon terendah pada setiap pemeriksaan,
Pada hampir semua pemeriksaan, pasien diminta untuk bertahan dalam
posisi tertentu untuk beberapa waktu. nilai berkurang jika:
Waktu atau jarak yang diperlukan tidak terpenuhi
Pasien membutuhkan supervisi selama mengerjakan tes
Pasien menyentuh support lain atau menerima bantuan dari pemeriksa.
Instruksi
Duduk ke berdiri
Coba berdiri, usahakan tidak menggunakan tangan untuk support
(4) dapat berdiri tanpa menggunakan tangan dan menstabilkan diri
secara mandiri
(3) dapat berdiri sendiri menggunakan tangan
(2) dapat berdiri menggunakan tangan setelah mencoba beberapa kali
(1) membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri atau menstabilkan diri
(0) membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
Berdiri tanpa bantuan
instruksi: Coba berdiri selama dua menit tanpa berpegangan
(4) dapat berdiri dengan aman selama 2 menit
(3) dapat berdiri selama 2 menit dengan pengawasan
(2) dapat berdiri selama 30 detik tanpa bantuan dan pegangan
(1) butuh beberapa kali percobaan untuk dapat berdiri selama 30 detik
tanpa bantuan
(0) tidak dapat berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
Duduk tanpa bersandar tetapi kaki menapak pada tanah atau
dingklik
instruksi: Coba duduk dengan tangan dilipat di depan selama 2 menit
(4) dapat duduk dengan aman stabil selama 2 menit
(3) dapat duduk selama 2 menit dengan pengawasan
(2) dapat duduk selama 30 detik
(1) dapat duduk selama 10 detik
(0) tidak dapat duduk tanpa sandaran selama 10 detik
Berdiri ke duduk
instruksi: Coba duduk
(4) duduk dengan aman dengan menggunakan tangan secara minimal
(3) mengontrol duduk dengan menggunakan tangan
(2) menempelkan bagian belakang kaki ke kursi untuk mengontrol duduk
- 1269 (1) dapat duduk sendiri, tetapi gerakan duduknya tidak terkontrol
(0) butuh bantuan untuk duduk
Berpindah tempat
instruksi: Atur kursi untuk pivot transfer. minta pasien untuk berpindah
satu kali ke kursi dengan pegangan tangan dan satu kali ke kursi tanpa
pegangan tangan. bisa menggunakan 2 kursi atau 1 kursi dan 1 ranjang.
(4) Dapat berpindah dengan aman dengan penggunaan tangan secara
minimal
(3) dapat berpindah dengan aman dengan menggunakan tangan
(2) dapat berpindah dengan bantuan verbal atau supervise
(1) butuh bantuan 1 orang
(0) butuh 2 orang untuk membantu atau mengawasi agar aman
Berdiri dengan mata tertutup
instruksi: tolong tutup mata anda, dan berdiri tegak selama 10 detik
(4) dapat berdiri dengan aman selama 10 detik
(3) dapat berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
(2) dapat berdiri selama 3 detik
(1) tidak dapat menutup mata selama 3 detik tetapi dapat berdiri dengan
aman
(0) butuh bantuan agar tidak jatuh
Berdiri dengan kaki dirapatkan
instruksi: rapatkan kaki anda dan berdiri tanpa berpegangan
(4) dapat merapatkan kaki secara mandiri dan berdiri 1 menit dengan
aman
(3) dapat merapatkan kaki secara mandiri dan berdiri 1 menit dengan
pengawasan
(2) dapat merapatkan kaki secara mandiri tetapi tidak dapat bertahan
selama 30 detik
(1) butuh bantuan untuk mengambil posisi tetapi dapat berdiri selama 15
detik
(0) butuh bantuan untuk mengambil posisi tetapi tidak dapat berdiri
selama 15 detik
Meraih dengan tangan penuh ke depan saat berdiri
instruksi: Angkat lengan sampai 90 derajat, buka jari2 dan berusaha
meraih ke depan sejauh mungkin. (pemeriksa menaruh penggaris di
ujung jari ketika tangan berada dalam posisi 90 derajat). Jari tidak boleh
menyentuh penggaris saat meraih ke depan. Jarak yang diukur adalah
jarak jari ketika pasien berada di posisi sorong ke depan maksimal. Jika
Prosedur:
Pasien diminta untuk bangkit dari posisi duduk dari kursi dengan
tinggi standar, berjalan 3 meter pada permukaan rata, berputar
kemudian berjalan balik kembali ke posisi duduk, bergerak secepat
dan seaman mereka mampu.
Performa dinilai berdasarkan total waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas.
Nilai normal TUG bagi wanita usia lanjut (usia 65-85 tahun) yang
tinggal di komunitas adalah kurang dari 12 detik.
Mean TUG Scores
Usia
65-69
65-69
70-74
70-74
75-79
75-79
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Tanpa tongkat
Rata2 SD
9.931.40
10.152.91
10.451.85
10.372.23
10.481.59
10.982.68
Dengan tongkat
Rata2SD
11.571.31
14.194.67
12.231.88
14.275.22
11.825.22
15.295.08
- 1273 -
- 1274 Aktivitas
Skor
Mobilitas (Pada permukaan rata)
0 = Imobil atau < 45,72 meter
5 = Kursi roda independen, termasuk belok, >45, 72 0 / 5 / 10 / 15
meter
10 = Berjalan dibantu 1 orang, >45.72 meter
15 = Independen (namun dapat menggunakan
bantuan, seperti tongkat), >45,72 meter
Naik Tangga
0 / 5
/ 10
0 = Tidak mampu
5 = Perlu bantuan
10 = Independen
Total Skor (0-100): ___________
Interpretasi hasil Barthel Index:
100 : mandiri
60-95 : Ketergantungan ringan
45-55 : Ketergantungan sedang
25-40 : Ketergantungan berat
0-20 : Ketergantungan total
Catatan:
dalam menginterpretasi barthel index perlu untuk menghindari penilaian
kemampuan pasien berdasarkan pemeriksaan fisik saat itu. Barthel-Index
harus dinilai berdasarkan kemampuan pasien sesungguhnya.
PENJELASAN 7: UJI FUNGSI MENELAN
Self-Test Untuk Gangguan Menelan (Dysphagia Self-Test)
Di bawah ini adalah beberapa pertanyaan umum yang berkaitan dengan
menelan. Mohon dibaca setiap pertanyaan di bawah dan lingkari Ya
atau Tidakdisamping setiap pertanyaan. Jika sudah selesai menjawab
seluruh pertanyaan, ikuti petunjuk penilaian dibawah.
1. Apakah terkadang makanan melewati saluran yang salah?
Ya
Tidak
2. Apakah suara anda terkadang seperti berkumur atau basah ketika
anda makan?
Ya
Tidak
3. Apakah makan terkadang kurang dapat dinikmati seperti biasanya?
- 1275 Ya
Tidak
4. Apakah anda terkadang kesulitan membersihkan makanan dari mulut
dengan 1 kali menelan?
Ya
Tidak
5. Apakah anda terkadang merasa makanan tersangkut di tenggorokan?
Ya
Tidak
6. Apakah anda mengalami pneumonia atau penyakit pernafasan lain
berulang kali?
Ya
Tidak
7. Apakah pernah berat badan anda turun tanpa mencoba
menurunkannya?
Ya
Tidak
8. Apakah anda seringkali kesulitan menelan obat?
Ya
Tidak
9. Apakah anda seringkali tersedak atau batuk saat menelan makanan
padat
atau
cairan?
Ya
Tidak
10. Apakah anda seringkali kesulitan menelan makanan atau minuman
tertentu?
Ya
Tidak
Hitung jawaban Ya anda
_____
Tambahkan 2 poin jika anda menjawab Ya pada pertanyaan
1,2,dan
3
_____
Tambahkan 2 poin jika anda menjawab Ya pada pertanyaan
3,4,
dan 5
_____
Tambahkan
2
poin
jika
usia
anda
70-74
_____
Tambahkan
3
poin
jika
usia
anda
75-79
_____
Tambahkan
4
poin
jika
usia
anda
80-85
_____
Total
nilai
_____
*Apabila total nilai anda 7 atau lebih, sebaiknya anda berkonsultasi
dengan dokter. bawa hasil self-test ini ke dokter anda.
B) Intake cairan:
Dudukan pasien pada posisi tegak dan berikan minum air. Minta
pasien untuk mengatakan ah setelah tiap kali minum.
Tandai abnormal jika ada tanda- tanda berikut: batuk, perubahan
kualitas suara atau
ngeces(drooling). Jika abnormal, hentikan
intake air dan lanjutkan ke poin C.
Batuk
Perubahan
Ngeces/drooling Normal
saat/setelah suara setelah saat/setelah
menelan
menelan
menelan
Swallow 1
Swallow 2
Swallow 3
Swallow 4
Swallow 5
Swallow 6
Swallow 7
Swallow 8
Swallow 9
Swallow 10
Cup Drinking
2.
- 1278 -
B.
Menelan air:
Berikan pasien 10 x 1 sendok teh air untuk diminum. Ingatkan
pasien untuk mengucapkan ah setelah menelan tiap sendokan.
Jika normal, berikan cangkir kepada pasien untuk diminum
langsung.
Pasien harus selalu disuapi 1 sendok teh air
Pastikan sendok teh penuh berisi air.
Palpasi tenggorokan secara ringan pada beberapa kali menelan
pertama untuk memonitor gerakan laring.
Yang perlu diperhatikan adalah batuk, ngeces(drooling) atau
perubahan suara pasien karena wetness, hoarsness, dll. Jika anda
menemukan hal diatas, tandai pada kolom yang ada, dan hentikan
uji menelan air.
Jika anda melihat sesuatu yang terlihat seperti batuk yang
tertahan, tandai ini sebagai batuk.
C.
D.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK