You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Definisi

Demam thypoid ( enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang


biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih
dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Tifoid perforasi merupakan komplikasi serius dan
tetap menjadi masalah yang signifikan bedah di negara berkembang, di
mana hal ini terkait dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi,
karena kurangnya air minum yang bersih, sanitasi yang buruk dan
kurangnya fasilitas medis di daerah terpencil dan keterlambatan dalam
penanganan di rumah sakit. Makanan disiapkan di luar rumah, minum
air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan pasien demam tifoid
terakhir, perumahan yang buruk dengan fasilitas memadai untuk
kebersihan pribadi, penggunaan baru-baru antibiotik spektrum luas,
inhibitor pompa proton dan vagotomy adalah faktor risiko penting. Fitur
klinis termasuk demam tinggi, sakit perut, ileus dan perforasi usus.
Perforasi biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2 atau ke-3 demam
tetapi mungkin terjadi selama 1 minggu dan menyumbang 1-3% dari
pasien rawat inap penyakit demam tifoid. 1, 4, 7, 8
2. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah
bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O)
yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik. 1, 5
3. Patofisiologi

Masuknya kuman salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella


paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos dalam usus dan selanjutnya
berkembangbiak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel
M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembangbiak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembangbiak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimeia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutam hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan selsel fagosit dan kemudian berkembangbiak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bacteremia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman
masuk ke dalam kandung empedu, berkembangbiak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi. 5
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis

jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa


usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 4, 5
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. 4, 5

4. Gambaran klinis

Penegakkan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar


bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi.
Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk
membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis. 5
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.
Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai
dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian. 3, 5
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan
keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan
terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejalagejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relative
(peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
permenit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
serta tremor), hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. 5, 7
5. DIAGNOSIS

Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

gejala-gejala

dan

hasil

pemeriksaan fisik.Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah,

tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri
penyebabnya. 5
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan darah rutin


Pemeriksaan biakan kuman
Uji serologis, dan
Pemeriksaan kuman secara molekuler.
Jumlah dan hitung jenis leukosit serta laju endap darah tidak

mempunyai nilai sensitivitas ,Spesifisitas dan nilai ramal yang cukup


tinggi untuk dipakai membedakan penderita demam tifoid atau bukan,
tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relative menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid. Leukopenia, leukositosis relatif pada fase akut,
mungkin terdapat anemia dan trombositopenia, SGOT SGPT meningkat.
Metode biakan darah mempunyai spesifisitas tinggi (95%) akan
tetapi sensitivitasnya rendah ( 40%) terutama pada anak dan pada
pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Selain
itu, hasil juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit.
Biakan kuman ( darah , feses, urin, empedu ).Pemeriksaan
biakan perlu waktu lama ( 7 hari), harganya relative mahal dan tidak
semua laboratorium bias melakukannya.Kultur empedu (+) : darah pada
minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air
kemih minggu III. Diagnosa pasti dengan gal kultur. Titer aglutinin bisa
tetap positip setelah beberapa minggu, bulan bahkan tahun, walau
penderita sudah sehat.Pemeriksaan kuman secara molekuler dengan
melacak DNA dari specimen klinis menggunakan metode PCR masih
belum memberikan hasil yang sangat memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

Metode pemeriksaan serologis mempunyai nilai penting dalam


proses diagnostic demam tifoid, yang paling sering digunakan adalah tes
Widal Laboratorium : titer Widal 1/200 atau lebih atau 1/320 pada
pemeriksaan ulangan dan klinis. Interpretasi hasil uji Widal adalah
sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi

atau pernah menderita infeksi


c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

2, 5,

12

7. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam


tifoid, yaitu : Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang
(simptomatik dan suportif), dan pemberian medikamentosa. Istirahat
yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk
mencegah komplikasi. Sedangkan diet dan terapi penunjang
merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan
proses penyembuhan akan menjadi lama. Tata laksana medikamentosa
demam tifoid dapat berupa pemberian antibiotik, antipiretik, dan
steroid. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah kloramfenikol,
tiamfenikol, kotrimoksazol, sefalosporin generasi ketiga, ampisilin,
dan amoksisilin. 1, 5
Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati
demam tifoid. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80%
pada pemberian iv. Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir,
dan bila terjadi sirosis hepatis diperpanjang sampai dengan 6 jam.
Dosis yang diberikan secara per oral pada dewasa adalah 20-30(40)
mg/kg/hari. Pada anak berumur 6-12 tahun membutuhkan dosis 40-50
mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis 50-100
mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena membutuhkan 40-80
mg/kg/hari untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk anak berumur 7-12

tahun, dan 50-100 mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun. Bentuk
yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi
125 mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vial. Penyuntikan
intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman
obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Untuk
menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada pengobatan demam tifoid
dengan kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut: hari ke 1 : 1g,
hari ke 2 : 2 g, hari ke 3: 3 g, hari kemudian diteruskan 3 g sampai
dengan suhu badan normal. Beberapa efek samping yang mungkin
timbul pada pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret,
mulut kering, stomatitis, pruritus ani, penghambatan eritropoiesis,
Gray-Syndrom pada bayi baru lahir, anemia hemolitik, exanthema,
urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan terkadang Syndrom
Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan paracetamol
akan memperpanjang waktu paruh plasma dari kloramfenikol.
Interaksinya dengan obat sitostatika akan meningkatkan resiko suatu
kerusakan sumsum tulang. 1, 5
Tiamfenikol memiliki dosis dan keefektifan yang hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol untuk orang dewasa adalah
500 mg tiap 8 jam, dan untuk anak 30-50 mg/kg/hari yang dibagi
menjadi 4 kali pemberian sehari. Bentuk yang tersedia di masyarakat
berupa kapsul 500 mg. Beberapa efek samping yang mungkin timbul
pada pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi
sumsum tulang yang bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta
dapat menyebabkan Gray baby sindrom. Interaksi tiamfenikol dengan
rifampisin dan fenobarbiton akan mempercepat metabolisme
tiamfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid dapat
turun setelah 5-6 hari. 1, 5
Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik, yaitu
trimetroprim dan sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal
sebagai TMP/SMX, dan beredar di masyarakat dengan beberapa nama
merek dagang misalnya Bactrim. Obat ini mempunyai ketersediaan

biologik 100%. Waktu paruh plasmanya 11 jam. Dosis untuk


pemberian per oral pada orang dewasa dan anak adalah trimetroprim
320 mg/hari, sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak umur 6 tahun
trimetroprim 160 mg/hari, sufametoksazol 800 mg/hari. Pada
pemberian intravena paling baik diberikan secara infus singkat dalam
pemberian 8-12 jam. Beberapa efek samping yang mungkin timbul
adalah sakit, thromboplebitis, mual, muntah, sakit perut, mencret,
ulserasi esofagus, leukopenia, thrombopenia, anemia megaloblastik,
peninggian kreatinin serum, eksantema, urtikaria, gatal, demam, dan
reaksi hipersensitifitas akibat kandungan Natriumdisulfit dalam cairan
infus. Interaksi kotrimoksazol degan antasida menurunkan resorbsi
sulfonamid. Pada pemberiaan yang bersamaan dengan diuretika thiazid
akan meningkatkan insiden thrombopenia, terutama pada pasien usia
tua. 1, 5
Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Obat ini mempunyai ketersediaan biologik : 60%. Waktu paruh
plasmanya 1.5 jam (bayi baru lahir: 3,5 jam). Dosis untuk pemberian
per oral dalam lambung yang kosong dibagi dalam pemberian setiap 68 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang dewasa 2-8 g/hari,
sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada pemberiaan secara
intravena paling baik diberikan dengan infus singkat yang dibagi
dalam pemberiaan setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan
pada anak 100-200 mg/kg/hari. Bentuk yang tersedia di masyarakat
berupa kapsul 250 mg, 500 mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk
Inj.250 mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2 g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250
mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg. Beberapa efek samping yang
mungkin muncul adalah sakit, thrombophlebitis, mencret, mual,
muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium, iritasi
neuromuskular, halusinasi, neutropenia toksik, anemia hemolitik,
eksantema makula, dan beberapa manifestasi alergi. Interaksinya
dengan allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi alergi pada
kulit. Eliminasi ampisilin diperlambat pada pemberian yang bersamaan
dengan urikosuria (misal: probenezid), diuretik, dan obat dengan asam
lemah. 1, 5

Sefalosporin generasi ketiga (Sefuroksin, Moksalaktan,


Sefotaksim, dan Seftizoksim) yang hingga saat ini masih terbukti
efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson. Antibiotik ini sebaiknya
hanya digunakan untuk pengobatan infeksi berat atau yang tidak dapat
diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum
antibakterinya. Hal ini disebabkan karena selain harganya mahal juga
memiliki potensi antibakteri yang tinggi Dosis yang dianjurkan adalah
antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 1/2 jam
perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. 1, 5

8. Komplikasi
a. Komplikasi Intestinal
1) Perdarahan intestinal

Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum


terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan
kedua factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan
tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam
dengan factor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan
terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada
yang melaporkan sampai 80%. Bila tranfusi yang diberikan
tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka
tindakan bedah perlu dipertimbangkan. 1, 3, 4, 5
2) Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada
minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi

mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran


kananbawah yang kemudian menyebar keseluruh perut dan
disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada
50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan
dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi. 1, 3, 4, 5
Bila pada gambaran fotopolos abdomen (BNO/3 posisi)
ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma
kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa factor
yang dapat meningkatkan kejadian adalah umur (biasanya
berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan,
berat nyapenyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotic
diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman
S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat
fakultatif dan anaerobic pada flora usus. Umumnya diberikan
antibiotic spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan
ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/ metronidazole. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang
nasogastric tube. Tranfusi darah dapat diberikan bila terdapat
kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. 3, 4, 5
b. Komplikasi Ekstraintestinal
o Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
o Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia,
koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia
hemolitik.
o Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
o Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan
kolelitiasis
o Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan
perinefritis

10

Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan


artritis
o Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus,
meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom
katatonia. 3, 4, 5
9. Prognosis
Umumnya prognosis demam tifoid pada anak baik asal penderita cepat
mendapat pengobatan. Prognosa menjadi buruk bila terdapat gejala
klinis yang berat, seperti :
Hiperpireksia atau febris kontinua.
Kesadaran menurun.
Malnutrisi.
o

Terdapat kompliksi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis,


peritonitis, bronkopneumonie, dll. 3, 4, 5, 7

You might also like