You are on page 1of 42

ANESTESI UMUM DENGAN TUBE

ENDOTRACHEAL PADA KASUS SINUSITIS


Laporan Kasus Ini Dibuat Untuk Melengkapi Persyaratan Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF Anestesi RSU. Dr. Pirngadi Medan

Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tika Robintang Napitupulu


Nurul Rahmah
Zulfindra Arifin
Ameliah Rizki Hsb
Andre Hazazi
Fathma Aisyah Rahman
Rahmayanti Yulia Ginting

210210236
111001221
7111080123
7111080255
111001023
7111080283
111001239

Pembimbing:
dr. Emmy Lidya Anas, Sp. An, M. Kes

SMF ANESTESI
RSUD. Dr. PIRNGADI MEDAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini guna
memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Anestesi Rumah Sakit
Umum Dr. Pirngadi Medan dengan judul Anestesi Umum Dengan Tube
Endotracheal Pada Kasus Sinusitis.
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada dr. Emmy Lidya Anas, Sp. An, M. Kes atas bimbingan dan
arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Anestesi Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.
Penulis sadar laporan kasus ini pasti tidak luput dari kesalahankesalahan, baik berupa salah ketik maupun kesalahan pada bahasa maupun
tataletaknya. Pada kesempatan ini penulis memohon maaf kepada para pembaca.
Kritik dan saran diterima agar penulis dapat memperbaikinya lagi agar lebih
sempurna.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dalam
menambah

ilmu

pengetahuan

serta

dapat

menjadi

arahan

dalam

mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktek di masyarakat


Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,

Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................2
2.1 Definisi Anestesi..............................................................................2
2.2 Anestesi Umum................................................................................2
2.3 Premedikasi......................................................................................4
2.4 Induksi Anestesi...............................................................................7
2.5 Intubasi Endotrakeal........................................................................9
2.6 Obat-Obat Anestesi Umum............................................................13
2.7 Pemulihan Pasca Anestesi..............................................................19
2.8 Sinusitis..........................................................................................21
BAB III KESIMPULAN................................................................................30
BAB IV LAPORAN ANESTESI...................................................................33

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................32

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul

Halaman

Gambar 2.1 : Intubasi Endotrakeal................................................................9


Gambar 2.2 : Endotracheal Tube.................................................................10
Gambar 2.3 : Laringoskop...........................................................................11
Gambar 2.4 : Grade Mallampati..................................................................12
Gambar 2.5 : Anatomi Sinus........................................................................21
Gambar 2.6 : Sinusitis..................................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik (hilang
kesadaran), Analgetik (hilang perasaan sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).1
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.1
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.2
Sinusitis didefiniskan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal dapat
berupa sinusitis maksilla, sinusitis etmoid, sinusitis frontalis, sinusitis spenoidalis.
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering
di Indonesia.2
Umumnya sinusitis disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan

aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu


tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu :1
a. Hipnotik, hilang kesadaran
b. Analgetik, hilang perasaan sakit
c. Relaksan, relaksasi otot-otot
2.2

Anestesi Umum
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana

hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh


akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular1.
Indikasi anestesi umum :1

Pada bayi dan anak-anak


Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh

ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal


Operasi besar
Pasien dengan gangguan mental
Pembedahan yang lama
Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :2

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan
yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan
kategori menggunakan sungkup muka, Endotrakeal tube nafas spontan,
Endotrakeal tube nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan preanestesi. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:2
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa

perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di


atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :2
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap

saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.


ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk

ditransplantasi.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.

2.3

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan

premedikasi:2

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi rasa sakit
Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
Menurunkan basal metabolisme tubuh
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan

keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam


sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum anestesi.

Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi


jika anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat
yang banyak digunakan:
Analgetik opium

: - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler


- Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler

Sedatif

: - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler


- Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau,

Dewasa

1,5 mg/kgbb intramuskuler


- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral

Anak

- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb


Vagolitik antisialagog ue: - Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau
intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg
Antasida

: - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan


2 jam sebelum operasi
- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Sebelum induksi anastesi


Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab
untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum
sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui
hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung
mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa
mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman.
Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.

Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan aliran
infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.
2.4

Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi

tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.


Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obatobatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS:2

S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.

T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar

untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas


T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri.
Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis
tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien

dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Induksi Intamuskular
Sampai

sekarang

hanya

ketamin

yang

dapat

diberikan

secara

intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga
obat anestesi dapat masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak
dapat masuk dan anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan
dangkal. Jika hal ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga
digunakan untuk anak-anak yang takut pada jarum.

2.5

Intubasi Endotrakeal
Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa

pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.2

Gambar 2.1: Intubasi Endotrakeal


Indikasi intubasi endotrakeal :2
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.

9.
10.

Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Operasi-operasi pada kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan
Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernapasan yang tenang dan
tak ada ketegangan
Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
Untuk mencegah kontaminasi trakea
Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord2

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :1

Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang

cukup
Posisi kepala dan leher yang tepat
Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :2


a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir
bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.

Gambar 2.2: Endotracheal Tube


Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + umur (thn)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)

b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop :

Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)


Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.3: Laringoskop

Penilaian Mallampati
Dalam

anestesi,

skor

Mallampati

digunakan

untuk

memprediksi

kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:3

Grade I
Grade II

tidak terlihat
Grade III
: Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV
: Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

: Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas


:Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring

Gambar 2.4: Grade Mallampati


Kesulitan dalam teknik intubasi:1

Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap


Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
Kesulitan membuka mulut
Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
Abnormalitas pada daerah servikal
Kontraktur jaringan leher

Komplikasi pada intubasi endotrakeal :2

Memar & oedem laring


Strech injury
Non specific granuloma larynx
Stenosis trakea
Trauma gigi geligi
Laserasi bibir, gusi dan laring
Aspirasi, spasme bronkus

2.6 Obat-Obat Anestesi Umum


Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah:2
I. Gas Anestesi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik

ialah

N2O,

Halotan,

Enfluran,

Isofluran,

Desfluran,

dan

Sevofluran.Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih


menjadi misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:
1. N2O
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N 2O.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi
dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol
% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
klinis pasien.
3. Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan

vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah


singkat atau bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan
batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi
17 kali lebih poten dibanding N2O.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.
II.

Obat-obat Anestesi Intravena


Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang

diberikan dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena2.


A. Hipnosis2
1. Golongan barbiturat (pentotal)
Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan
induksinya cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam
waktu singkat kerjanya habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat
ini menyebabkan kehilangan kesadaran dengan jalan memblok kontrol
brainstem.
Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian
sebagai induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang
waktu pemberian 15-20 detik (untuk orang dewasa).
2. Benzodiazepin
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat
toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman
yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin
telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi

dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi.


Efek farmakologi benzodiazepine

merupakan

akibat

aksi

gamma-

aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.


Benzodiazepine
meningkatkan

tidak
kepekaan

mengaktifkan
reseptor

reseptor

GABA terhadap

GABA melainkan
neurotransmitter

penghambat. Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam :


induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.
3. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan
pada wanita hamil tidak dianjurkan.
4. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan
kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek
membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor Nmetil-D-aspartat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik,
tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi
otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Dosis
ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM. Anestesi dengan
ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama,
kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif.
Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil,
salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus
otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan
sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.

B.

Analgetik2
1. Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun
tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks
serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg
intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
2. Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid
sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor
. Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk
mencapai puncak analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah
dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovaskular.
3. Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang
lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis
untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)2


Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot
tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi
otot lurik.Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2
mg/kgBB IV.
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinikkolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Dosis (mg/kgBB)

Durasi (menit)

Long Acting
1.
D-tubokurarin
2.
Pankuronium
3.
Metakurin
4.
Pipekuronium
5.
Doksakurium
6.
Alkurium

0,4-0,6
0,08-0,12
0,2-0,4
0,05-0,12
0,02-0,08
0,15-0,3

30-60
30-60
40-60
40-60
45-60
40-60

Intermediate Acting
1.
Gallamin
2.
Atrakurium
3.
Vekuronium
4.
Rokuronium
5.
Cistacuronium

4-6
0,5-0,6
0,1-0,2
0,6-1,2
0,15-0,2

30-60
20-45
25-45
30-60
30-45

Short Acting
1.
Mivakurium
2.
Ropacuronium
2.7

0,2-0,25
1,5-2

10-15
15-30

Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi baik

dari anestesi umum atau analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau, unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post
Anestesia Care Unit).
Sebagai ahli anastesi, anda bertanggung jawab terhadap perawatan pasien
pada saat pemulihan. Lakukan observasi dengan mengukur nadi, tekanan darah
dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal
dan perdarahan yang berlanjut.
Pada jam pertama setelah anestesi , merupakan saat yang paling berbahaya
bagi pasien. Reflek perlindungan jalan napas masih tertekan, walaupun pasien
tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi
pernapasan. Nyeri pada luka khususnya pada thoraks dan abdomen bagian atas,
akan menghambat pasien untuk mengambil napas dalam atau batuk. Ini dapat
menyebabkan berkembangnya infeksi di dada atau kolaps dasar paru dengan
hipoksia lebih lanjut. Pasien yg masih belum sadar betul, sebaiknya dibaringkan
dalam posisi miring, tetapi pasien dengan insisi abdomen, bila sudah benar-benar
sadar, biasanya pernafasannya lebih enak dalam keadaan duduk atau bersandar.
Oksigen harus selalu diberikan secara rutin pada pasien yang sakit dan pasien yg
menjalani operasi yang lama. Cara yang paling ekonomis untuk memberikan
oksigen selama masa pemulihan adalah melalui kateter nasofaring lunak 0,5-1
L/menit, yang akan menghasilkan udara inspirasi dengan konsistensi oksigen 3040%. Jika dibutuhkan analgetik kuat, misalnya opium, berikan dosis pertama
secara intravena, sehingga anda dapat menghitung dosis yg diperlukan untuk
melawan rasa sakit dan juga bisa mengobservasi bila terjadi depresi
pernapasan.Bila dibutuhkan, dosis intravena tersebut kemudian dapat diberikan
secara intramuskular.
Tempat pemulihan

Tempat yang terbaik untuk masa pemulihan adalah kamar operasi itu
sendiri, dimana semua peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi
tersedia. Akan tetapi biasanya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, sehingga
kamar operasi dapat dibersihkan dan digunakan untuk operasi berikutnya. Ruang
pemulihan harus bersih, dekat dengan kamar operasi sehingga anda bisa cepat
melihat pasien bila terjadi sesuatu. Alat penghisap harus selalu tersedia, juga
oksigen dan peralatan resusitasi. Pasien yang tidak sadar jangan dikirim ke
bangsal.
Sebelum pasien meninggalkan ruang pemulihan, kita harus melakukan
penilaian pemulihan pasca anestesi. Salah satunya berdasarkan Aldrete Score.
Nilai
Kesadaran

2
Sadar, orientasi

Dapat

0
Tidak dapat

Warna

baik
Merah muda

dibangunkan
Pucat kehitaman,

dibangunkan
Sianosis, dengan

(pink), tanpa O2,

perlu O2, SaO2

O2 SaO2 tetap

SaO2 92%
4 ekstremitas

>90%
2 ekstremitas

<90%
Tidak ada

bergerak

bergerak

ekstremitas

Dapat bernapas

Napas dangkal

bergerak
Apnue atau

dalam

Sesak napas

obstruksi

Batuk
Tekanan darah

Berubah 20-30 %

Berubah >50%

Aktivitas

Respirasi

Kardiovaskular

berubah <20%
Kriteria pindah dari unit perawatan pasca anestesi jika nilai 9 atau 10.

2.8.

Sinusitis

Gambar 2.5: Anatomi Sinus


Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Ada 2
golongan besar sinus paranasalis, yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu
sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Serta golongan
posterior sinus paranasalis, yaitu sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus memiliki muara atau ostium ke
dalam rongga hidung.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Sebagai pengatur kondisi udara (Air Conditioning)


Sebagai penahan suhu (Thermal Insulators)
Membantu keseimbangan kepala
Membantu resonansi suara
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Membantu produksi mukus

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.
Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.10

Gambar 2.6: Sinusitis


Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan
kualitas mukosa. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan memberikan
bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan
menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan

berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Virus yang menginfeksi


tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan
mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi
lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya
bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh
terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Adanya bakteri dan lapisan mukosilia
yang abnormal meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi
dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di
dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk
berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan
mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat
disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga
drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen.
Klasifikasi
Menurut Adams berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas :
1)

2)

3)

Sinusitis Akut, yaitu sinusitis yang berlangsungbeberapa hari sampai


minggu.
Sinusitis SubAkut, yaitu sinusitis yang berlangsung antara minggu
sampai bulan.
Sinusitis Kronis, yaitu sinusitis yang berlangsung beberapa bulan
sampai tahun. 10

Berdasarkan gejala sinusitis juga dibedakan menjadi :


1)
2)

Sinusitis Akut : memiliki tanda-tanda peradangan akut.


Sinusitis SubAkut : sinusitis yang memiliki tanda-tanda peradangan
akut yang telah mereda. Perubahan histologik mukosa sinus paranasal

3)

masih reversible.
Sinusitis Kronis : perubahan histologik mukosa sinus paranasal sudah
irreversible. Misalnya berubah menjadi jaringan granulasi dan
polipoid. 10

Gejala klinis
Manifestasi klinis sinusitis dapat dinilai melalui gejala subjektif dan gejala
objektif. Gejala subjektif sinusitis akut dapat bersifat sistemik dan lokal. Gejala
sistemik berupa demam dan rasa lesu. Gejala lokal dapat kita temukan pada
daerah hidung, sinus paranasal, dan tempat lainnya sebagai nyeri alih (reffered
pain).
Sinusitis Akut
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas
(terutama pada anak kecil, berupa batuk dan pilek yang lama, lebih dari 7 hari.

Gejala Sinusitis Maksilaris


Subjektif dibagi menjadi gejala sistemik, yaitu demam dan lesu, serta

gejala gejala lokal, yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip, halitosis, sakit kepala yang lebih berat
pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang disertai nyeri alih
ke tempat lain.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya
sesuaidengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah
kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri
pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif
non produktif seringkali ada.

Sinusitis Etmoidalis
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung.

Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus

etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri
berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang
tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan
gejala infeksi sinus lainnya.
Diagnosis
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.

Gejala subyektif :
Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu :

hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring
(postnasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari mulai
pukul 10 atau 11 pagi berakir pukul 3 atau 4 sore, nyeri di daerah sinus yang
terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.3
1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh,
dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau
turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk.

2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi timbul pembengkakan peri orbital, terutama di sudut mata bagian
medial. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan
kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau di belakangnya, terutama
bila mata digerakkan. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal
hidung.
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang
hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi

Gejala Obyektif :
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata

bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis
ethmoid jarang timbul pembengkakan kecuali jika terdapat komplikasi.

Pada Rhinoskopi Anterior


Tampak mukosa konka hiperemis dan edema, pada sinusitis maksila,

sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak nanah di meatus medius,
sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan dansinusitis sphenoid nanah
tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,
tumor maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus melakukan
penatalaksanaan yang sesuai.

Pada Rinoskopi Posterior


Tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada posisional test yakni

pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit, dan provokasi test,
yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien

kemudian pasien disuruh menelan ludaH dan menutup mulut dengan rapat. Jika
positif sinusitis maksilaris, maka akan keluar pus dari hidung.

Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat untuk

memeriksa sinus maksilla dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologi
tidak ada. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah
infraorbita, mungkin berarti antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam
antrum. 5,10

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk

mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan berbagai


posisi yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Dengan
pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran
anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasalis
dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih
dini.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis adalah ;
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga draenase
dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.5

SINUSITIS AKUT
Tujuan dari terapi sinusitis akut adalah memperbaiki fungsi mukosilia dan
mengontrol infeksi.

a.

Terapi sinusitis karena infeksi virus tidak memerlukan antibiotika. Terapi


standart nonantibiotika diantaranya topical steroid, dan atau oral

b.

decongestan, mucolytics, dan intranasal saline spray.


Sedangkan untuk terapi sinusitis akut bacterial diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I selama 14 hari yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal,
mukolitik

untuk

memperlancar

drainase

dan

analgetik

untuk

menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau


kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik
diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka
diberikan terapi antibiotik lini II selama 14 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan
terapi tambahan.5
Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.9,3
1. Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat 5 tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang


orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik. Secara patognomonik, thrombosis sinus kavernosus
terdiri dari ;
- Oftalmoplegia
- Kemosis konjuctiva
- Gangguan penglihatan yang berat
- Kelemahan pasien
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf cranial II, III, IV, VI, serta
berdekatan juga dengan otak.
2. Mukosel
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya.Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral.Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
3. Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis Akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat
dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat
sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat,
sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang
terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial. Abses subdural

adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan


otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan
penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal

BAB III
KESIMPULAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos,"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Anestesi

umum

endotrakeal

merupakan

teknik

anestesi

dengan

mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anesthesia intravena maupun


obat anestesi inhalasi dan memasukkan pipa pernafasan yang terbuat dari portex ke
dalam trakea guna membantu pernafasan pada penderita atau waktu memberikan
anestesi secara inhalasi.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis. Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi
menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.

2.

Latief S, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, cetakan kelima.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

3.

Universitas Indonesia ; Hal : 29-90.


Dobson BM. Dharma A. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. World Health

4.
5.

Organization. EGC. Hal 47- 110


Gwinnutt CL.2012. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3. EGC.
Torpy JM, Lynm C. 2011. General Anesthesia. Vol 305. No 10. JAMA (The
Journal of the American Medical Association). (diakses tanggal 28-02-2016,

6.

http: jama.jamanetwork.com)
Christoper D. 2015. General Anesthesia. Departement of Anesthesiology.
Standford University school of Medicine. (diakses 28-02-2016, http:

7.

emedicine.medscape.com)
Boies L. R, Adams G L, dkk. Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam.

8.

EGC.
Broek PVD. Debruyne F, FeenstramMares HAM. Buku Saku Ilmu

9.

Kesehatan Tenggorokan idung dan Telingga. 2009. Jakarta: EGC


Soepardi EA.dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. 2007. Jakarta. Fakultas Kedokteran

10.

Universitas Indonesia
Tjokronegoro A, Utama H. Penatalaksanaan Penyakit Dan Kelainan Telinga
Hidung Tenggorokan. 2003. Jakarta: FKUI

BAB IV
LAPORAN ANESTESI

ANAMNESA PRIBADI
Nama

: Edikson Ginting

Umur

: 53 tahun

Jeniskelamin : Laki laki


Agama

: Protestan

Suku

: Batak

BB

: 68 kg

No RM

: 98 74 - 04

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan utama

: Nyeri di wajah

Telaah

:
Hal ini dialami os 1 bulan ini, dan memberat 3 hari ini. Awalnya os

mengeluhkan wajahnya sering terasa nyeri. Sakit terutama dirasakan pada daerah
wajah di dekat hidung. Sakit dirasakan seperti tertusuk- tusuk dan wajah terasa
penuh. Selain itu, hidung terasa tersumbat dan sering keluar cairan seperti ingus
berwarna putih, kental dan berbau. Kadang terasa cairan mengalir ke tenggorokan.
Os juga mengeluhkan sering mencium bau busuk dari hidungnya. Hidung sering
tersumbat dan bersin-bersin terutama jika terkena cuaca dingin dan sering pada
pagi hari. Kadang-kadang keluhan disertai badan terasa lemas, batuk, dan pilek
terus menerus dan sering kambuh, demam tidak ada.
Sebelumnya Os sering berobat ke dokter untuk mengobati penyakitnya
dan diberikan obat minum, namun menurut os, tidak ada perubahan yang berarti
dari penyakitnya.
RPT

:-

RPO

: Tidak jelas

KEAADAAN PRA BEDAH


Status Present
Sensorium

: Compos mentis

KU/KP/KG

: Sedang /sedang/ sedang

Tekanan darah

: 110/80 mmHg

Frekuensi nadi

: 84 x/i

Frekuensi nafas

: 20 x/i

Temperatur

: 36.7oC

Anemis

: (-)

Ikterik

: (-)

Sianosis

: (-)

Dipsnoe

: (-)

Oedem

: (-)

Status Lokalisata
a. Kepala
Mata

: RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior anemis(-/-),


ikterik (-/-)

Hidung

: Secret (+)

Telinga

: Dalam batas normal

Mulut

: Dalam batas normal

b. Leher
: Pembesaran KGB (-)
c. Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikuler
ST = (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi
: Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
e. Ekstremitas superior
: Tidak terdapat kelainan
f. Ekstremitas inferior
: Tidak terdapat kelainan
g. Genitalia eksterna
: Tidak terdapat kelainan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (tanggal 10 februari 2016)
Hb
Hct
Leukosit

14,7 g/dL
45,5 %
6020 u/L

Trombosit
KGD ad random
Natrium
Kalium
Klorida
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin

241.000 u/L
84 mg/dL
137 mmol/L
5,0 mmol/L
116 mmol/L
26 U/L
20 U/L
19 mg/dL
0,99 mg/dL

Rontgen ( Tanggal 10 februari 2016) : Tidak tampak kelainan radiologis pada cor
dan pulmo
Sinus Paranasal

: Tampak sinusitis maxillaris bilateral


Tampak sinusitis frontal bilateral

EKG ( Tanggal 10 februari 2016)

: Sinus ritme 75x/i, Toleransi operasi Low

Risk
CT SCAN

: Tidak dilakukan pemeriksaan

USG

: Tidak dilakukan pemeriksaan

KEADAAN PRA BEDAH (FOLLOW UP ANESTESI)


B1 (Breath)
Airway

: Clear

Frekuensi pernafasan : 20 x/i


Suara pernafasan

: Vesikuler

Suara tambahan

: (-)

Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/+


B2 (Blood)
Akral

: Hangat/merah/kering

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 84 x/i

T/V

: Cukup

Temperatur

: 36.7oC

Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik

:-/-/-

B3 (Brain)
Sensorium

:Compos mentis

RC

: +/+

Pupil

: Isokor

Reflek fisiologis

:+

Reflek patologis

:-

Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ B4 (Bladder)


Urine

:+

Volume

: Cukup

Warna

: Kuning

Kateter

:-

B5 (Bowel)
Abdomen

: Soepel

Peristaltic

: (+) Normal

Mual/Muntah

: +/+

BAB/Flatus

: +/+

NGT

:-

B6 (Bone)
Fraktur

:-

Luka bakar

:-

Oedem

:-

Diagnosis

: Sinusitis + Konka Hipertropi

Status fisik

: ASA I

Rencana tindakan

: Antrostomi + Turbinectomi

Rencana anestesi

: GA-ETT

Anestesi
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00 wib
Pemasangan infus pada dorsum manus sinistra dengan cairan RL
Persiapan alat

Stetoskop
Tensimeter
Meja operasi dan perangkat operasi
Laryngoscopy
ETT no 7,5
Suction
Ventilator
Ambu bag
Infus set
Abocath no 18 G
Threeway
Spuit 3cc
Spuit 5cc
Spuit 10cc

Obat obat yang dipakai


-

Premedikasi :
o Midazolam 5 mg
o Fentanyl 150 mcg
Medikasi :

o Propofol 100 mg
o Atracurium 35 mg
- Sebelum operasi selesai :
o Ketorolac 30 mg
o Metoclopramide 10 mg
Urutan pelaksanaan anastesi

Cairan pre operasi :RL 500 ml


Prosedur anastesi :
Pasien dibaringkan di meja operasi dalam posisi supine
Infuse RL terpasang di lengan kiri
Pemasangan tensi meter di lengan kanan
Pemasangan oksimetri di ibu jari kanan pasien
Pemasangan elektrodapengukuran frekuensi nadi dan frekuensi nafas

Teknik anastesi : Preoksigenasi O2 5-10 menit Inj.Midazolam 5


mgInj.fentanyl 150 mcginduksi Propofol 100 mgSleep non apnoe
Inj. Atracurium 35 mgSleep apnoe Insersi ETT no 7,5 cuff(+) SP
kanan=kiri Fiksasi.
DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infuse.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan napas setiap 15 menit.
Jam

TD

Nadi

RR

SaO2

12.30
12.45

(mmHg)
130/80
130/80

(x/menit)
70
72

(x/menit)
20
20

(%)
99%
99%

3. Monitoring perdarahan
Perdarahan
Kassa`basah

: 0 x 10 cc = 0 cc

Kassa basah: 4x 5cc = 20 cc


Suction
: 100 cc
Handuk
:Total
:120 cc
Infuse RL o/t regio dorsum manus sinistra
Pre operasi
: RL 500 ml
Durante operasi
: RL 1000 ml
Urine output
Durante operasi
: 0 cc
EBV : 70 x 68 = 4760 cc
EBL 10% = 476 cc, 20% = 956 cc, 30% =1428 cc

KETERANGAN TAMBAHAN
-

Diagnosis pasca bedah : Post Sinusitis + Konka hipertropi


Lama anastesi :12.20 13.00 wib
Lama operasi :12.30 12.50 wib

Instruksi Pasca Bedah :

Bed rest, head up 300


O2 2 L/i via nasal kanul
Injeksi Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Injeksi Metoclopramid 10 mg/8 jam
Antibiotik dan terapi lain sesuai TS
Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam di RR
Cek Hb post operasi, bila Hb < 7 lapor ke dokter jaga
TD sistol <90 mmHg atau >160 mmHg, diastole <60 mmHg atau >110
mmHg, HR <60x/i atau HR>120 x/i, RR<10 x/i atau >32x/i, T < 35 oC,

atau > 38 oC, lapor dokter jaga


Pantau urin output, bila <0,5 cc/kgBB/jam, lapor dokter jaga.

You might also like