Professional Documents
Culture Documents
I. DEFINISI
Lepra merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Afinitas pertama adalah saraf
perifer lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
II. ETIOLOGI
Lepra disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae memiliki bentuk basil ukuran 3-8
Um x 0,5 Um bersifat tahan asam dan alcohol serta gram positif Kuman ini sampai
sekarang belum dapat dikembangbiakkan dalam media artifisial. Mycobacterium leprae
tumbuh pada suhu dibawah suhu tubuh normal yaitu sekitar 30 oC. Hal ini menunjukkan
bahwa lokasi lesi lepra di area-area yang lebih dingin pada tubuh.(1) (4) (6)
III.
PATOGENESIS
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan Mycobacterium Leprae
pada kki mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari Berbagai macam
specimen, bentuk lesi maupun Negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan
spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum Mycobacterium Leprae yang
disuntikkan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan. Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya diikuti iradiasi
(900r), sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan granuloma
penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga,
kaki dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasi lagi, berarti memenuhi
postulat Koch meskipun belum sepenuhnya terpenuhi. Sebenarnya Mycobacterium
Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat
bahkan dapat terjadi yang sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan
derajat penyakit tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang menggugah
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut pula sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitasnya infeksinya.
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis lepra didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis dan
histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara gambaran klinislah yang paling
penting dan paling sederhana. Hasil pemeriksaan bakterioskopis memerlukan waktu
paling sedikit 15-30 menit, sedangkan pemeriksaan histopatologis memerlukan waktu
sekitar 10-14 hari. Jika memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.
Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. (1) (3)
Pada pemeriksaan kulit harus pula diperiksa/dipalpasi saraf tepi (nervus ulnaris,
radialis, aurikularis magnus, dan poplitea) periksa pula bagian mata apakah terdapat
lagophtalmus, pada tulang apakah terjadi kontraktur atau absorbs dan bagian rambut
(alis mata, kumis dan pada lesi sendiri). (2)
Klasifikasi
Ridley & Jopling
Madrid
WHO
Puskesmas
V. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
Ada makula hipopigmentasi
Ada daerah anestesi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam.
VI. PENATALAKSANAAN
Pengobatan kombinasi DDS dan rifampisin.
Tipe PB : DDS 100 mg/hari dan rifampisin 600 mg setiap bulan. Keduanya diberikan
selama 6-9 bulan. Pemeriksaan bakteriologi dilakukan setelah 6 bulan pengobatan.
Pengawasan dilakukan selama 2 tahun. iika tidak ada aktivasi secara klinis dan
bakteriologi tetap negatif dinyatakan release from control (bebas dari pengawasan).
Tipe MB: kombinasi DDS, rifampisin, dan Lampren. DDS 100 mg/hari; rifampisin 600
mg setiap bulan; dan Lampren 300 mg setiap bulan, diteruskan dengan 50 mg setiap
hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
Pengobatan dilakukan selama 2-3 tahun. Pemeriksaan bakteriologi setiap 3 bulan.
Sesudah 2-3 tahun bakteriologi tetap negatif, pemberian obat dihentikan (release from
treatment = RFT). Jika setelah pengawasan tidak ada aktivitas klinis dan pemeriksaan
bakteriologi selalu negatif, maka dinyatakan bebas dari pengawasan (RFC = release
from control). (2)
Klasifikasinya antara lain terdiri atas Eritema nodosum leprosum dan Reaksi
pembalikan
1. Reaksi reversal
Reaksi ini diakibatkan oleh sistem imunologis selular. Gejala konstitusi lebih ringan
dari ENL. Gejala pada kulit lesi-lesi lepra menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara
mendadak. Tidak timbul nodus dan terkadang ada jejak neuritis. ]ika timbul neuritis
berikan kortikosteroid, prednison 30-60 mg/hari. Obat-obat kusta yang lain diteruskan.
Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit. Analgetik dan antipiretik diberikan jika
perlu. (2) (4)
Reaksi
1. Eritema
leprosum (ENL)
reversal
nodosum
Reaksi ENL
Daftar Pustaka
1. A. Kosasih IMW, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Winulih Menaldi. Kusta. In: Adhi
Juandha MH, Siti Alsah, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: 2007;
2007. p. 73-88.
2. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. John Hunter JS, Mark Dahl. Clinical Dermatology. Denmark: Blackwell Publishing;
2003.
4. William D. James TGB, Dirk M. Elston. Andrews' Disease of the Skin: Clinical
Dermatology. Canada: Elsevier Inc.; 2006.
5. GAwkrodger DJ. Dermatology an Illustrated Colour Text: Churchil Livingstone;
2003.
6. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Tony Burns SB, Neil Cox, Christopher Griffiths, editor.
Rook's Text Book of Dermatology. 7 ed. Turin: Blackwell Publishing; 2004.
7. Dolphine J. Lee THRRLM. Leprosy at a Glance. In: Lowell A. Goldsmith SIK,
Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J.Leffel, Klaus Wolff, editor. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine: McGraw Hill; 2012. p. 3206-18.