Professional Documents
Culture Documents
Dr. Priyanti,Sp.P(K);
Dr. Purwantyastuti,MSc,Ph.D;
Dr. Ratih Pahlesia;
Dr. Regina Loprang;
Regina Tambunan, SKM;
Dr. Retno Kusumadewi;
Dr. Reviono,SpP;
Rony Candra, M.Biomed;
Rudy E. Hutagalung, BSc
Saida N. Debataradja, SKM;
Dr. Servas Pareira, MPH;
Dr. Setiawan Jatilaksono;
Drg. Siti Nur Anisah, MPH;
Dr. Sity Kunarisasi, MARS;
Sophia T. Patty, SKM;
Dr. Sri Prihatini B, SpP;
Prof. Dr.Sudijanto Kamso,MPH,PhD;
Sulistiyo,SKM,MEpid;
Surjana,SKM;
Suwandi, SKM, M.Epid;
Prof. Dr.Tjandra Yoga Aditama,SpP(K);
Tiar Salman, ST, MM;
Totok Haryanto, SKM, M.Kes;
Dr. Triya Novita Dinihari;
Dr. Tutik Kusumastuti, Sp.P
Dr. Vanda Siagian;
Yusuf Said,SH;
TIM PENYUSUN
ii
DAFTAR ISI
Tim Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Singkatan
BAB I Pendahuluan
A.
Epidemiologi dan Permasalahan TB Dunia
B.
Patogenesis dan Penularan TB
C.
Upaya Pengendalian TB
i
iii
vii
ix
6
6
7
9
10
10
10
11
11
1
1
2
4
DAFTAR ISI
13
13
15
17
20
38
38
38
40
44
45
48
49
49
49
49
iii
BAB V
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
51
51
51
52
54
57
59
60
60
62
62
62
64
64
69
69
70
70
71
72
72
BAB IX
A.
B.
C.
82
82
87
90
DAFTAR ISI
76
76
76
77
80
81
91
91
95
BAB XI
A.
B.
C.
D.
BAB XII
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
DAFTAR ISI
104
104
106
108
111
114
114
114
115
115
116
116
116
118
119
120
138
141
141
142
144
146
vi
KATA PENGANTAR
Beberapa tahun terakhir, upaya Pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan
yang cukup pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya indikator penting
dalam Program Pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses
pelayanan kesehatan yang semakin baik, adanya pendanaan dan dukungan pemerintah
pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat, semakin
berkembangnya teknologi pengendalian TB, serta banyak kegiatan terobosan yang
diinisiasi baik dalam skala Global maupun Nasional.
Seiring dengan penemuan baru ilmu dan teknologi serta perkembangan program
pengendalian TB di lapangan, maka buku Pedoman Nasional Pengendalian TB ini
harus mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut, untuk itu pada cetakan ini,
dilakukan beberapa perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dilapangan,
seperti perubahan definisi, terminologi, sistematika dan kebijakan operasional.
Beberapa perubahan baru seperti yang dituangkan pada buku pedoman pengobatan
yang diterbitkan WHO juga diakomodir dengan tetap mempertimbangkan situasi spesifik
program TB di Indonesia, seperti perubahan pada teknis tatalaksana pasien TB, baik TB
pada dewasa maupun TB pada anak. Perubahan itu dilakukan untuk mengakomodasi
kewaspadaan terhadap terjadinya TB resistan obat, masalah koinfeksi TB-HIV, Upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan lain-lain. Demikian pula perluasan strategi
penemuan pasien TB yang bukan hanya bertumpu pada penemuan secara pasif tetapi
pada situasi yang menguntungkan program perlu juga dilakukan penemuan secara aktif.
Akhir kata dengan terbitnya buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
cetakan tahun 2014 ini, diharapkan dapat merangkum dan mengakomodir perubahan
dan perkembangan yang dibutuhkan di lapangan, terutama untuk pengguna baik dari
kalangan pegiat program maupun pelaksana program dilapangan.
Jakarta, November 2014
Direktur Jenderal PPdanPL,
Kementerian Kesehatan RI
KATA PENGANTAR
vii
viii
DAFTAR SINGKATAN
AIDS
= Acquired Immune Deficiency Syndrome
AKMS
= Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
APBN/D
= Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara/Daerah
AP
= Akhir Pengobatan
ARTI
= Annual Risk of TB Infection
ART
= Anti Retroviral Therapy
ARV
= Anti Retroviral Viral (obat)
Bapelkes
= Balai Pelatihan Kesehatan
BCG
= Bacillus Calmette et Guerin
BLK
= Balai Laboratorium Kesehatan
BLN
= Bantuan Luar Negeri
BTA
= Basil Tahan Asam
BP4
= Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BUMN
= Badan Usaha Milik Negara
CDR
= Case Detection Rate
Cm
= Capreomycin
CNR
= Case Notification Rate
Cs
= Cycloserine
Ditjen. PPdanPL
= Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit &
Penyehatan Lingkungan
Ditjen. Binfar dan Alkes = Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Ditjen. BUK
= Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
DIP
= Daftar Isian Proyek
DOTS
= Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPR (D)
= Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah)
DPM
= Prakter Dokter Mandiri
DST
= Drug Sensitivity Testing
E
= Etambutol
EQAS
= External Quality Assurance System
Eto
= Ethionamide
FDC
= Fixed Dose Combination
FEFO
= First Expired First Out
Gerdunas -TB
= Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis
GFK
= Gudang Farmasi Kabupaten/ Kota
H
= Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide)
HIV
= Human Immunodeficiency Virus
IAKMI
= Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
IBI
= Ikatan Bidan Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ix
IDAI
IDI
IUATLD
KBNP
KBPP
KDT
KG
KKNP
KKPP
Km
KPP
Lapas
Lfx
LP
LSM
LPLPO
MDG
MDR / XDR
Mfx
MOTT
OAT
Ofl
PAPDI
PCR
PDPI
PME
PMI
PMO
POA
POGI
POM
PPM
PPM
PPNI
PPTI
PRM
PS
PSDM
Pto
Puskesmas
DAFTAR SINGKATAN
Pustu
R
RSP
RTL
Rutan
S
SDM
SGOT
SGPT
SKRT
SPS
TB
TNA
UPK
WHO
Z
ZN
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Puskesmas Pembantu
Rifampisin
Rumah Sakit Paru
Rencana Tindak Lanjut
Rumah tahanan
Streptomisin
Sumber Daya Manusia
Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
Serum Pyruric Oxaloacetic Transaminase
Survei Kesehatan Rumah Tangga
Sewaktu-Pagi-Sewaktu
Tuberkulosis
Training Need Assessment
Unit Pelayanan Kesehatan
World Health Organization
Pirazinamid
Ziehl Neelsen
DAFTAR SINGKATAN
xi
xii
BAB I
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi dan Permasalahan TB Dunia.
TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak
negara sejak tahun 1995.
Dalam laporan WHO tahun 2013:
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%)
diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada
di wilayah Afrika.
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan
170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka
kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta
kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 kasus
termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang
dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.
Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara
global mencapai 6% (530.000 pasien TB anak/ tahun). Sedangkan kematian anak (dengan
status HIV negatif) yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun, atau sekitar 8%
dari total kematian yang disebabkan TB.
Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang
sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan
dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil
dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012),
angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya
3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar, sehingga
masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang buruk.
Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat
pendidikan yang, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat pada
kerentanan masyarakat terhadap TB.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
BAB I
PENDAHULUAN
3 3
c. Sakit TB
Faktor risiko
untuk menjadi
sakit TB adalah
tergantung dari :
C. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi
cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan
strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut
diperluas menjadi Strategi Stop TB, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus
TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB
(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk
dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB
secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan
disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan
TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata
kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak
determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.
BAB I
PENDAHULUAN
5 5
BAB II
II
BAB
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
A. Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB di Indonesia.
Upaya pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum
kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20 balai pengobatan
dan 15 sanatorium yang pada umumnya berada di pulau Jawa.
Setelah perang kemerdekaan, diagnosis ditegakkan TB berdasarkan foto toraks dan
pengobatan pasien dilakukan secara rawat inap. Pada era tersebut sebenarnya World
Health Organization (WHO) telah merekomendasikan upaya diagnosis melalui pemeriksaan
dahak langsung dan pengobatan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang baru
saja diketemukan yaitu: INH, PAS dan Streptomisin, serta metode pengobatan pasien
dengan pola rawat jalan. Era tahun 1960-1970 menandai diawalinya upaya pengendalian
TB secara modern dengan dibentuknya Subdit TB pada tahun 1967 dan disusunnya suatu
pedoman nasional pengendalian TB. Pada era awal tersebut penatalaksanaan dilakukan
melalui Puskesmas dengan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan untuk penatalaksanaan
kasus kasus sulit. Pada tahun 1977 mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6
bulan) dengan menggunakan paduan OAT yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol.
Beberapa kegiatan uji pendahuluan yang dilaksanakan menunjukkan hasil kesembuhan
yang cukup tinggi. Pada tahun 1994 Departemen Kesehatan RI melakukan uji coba
penerapan Strategi DOTS di satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan satu Kabupaten di
Provinsi Jambi.
Atas dasar keberhasilan uji coba yang ada, mulai tahun 1995 secara nasional Strategi
DOTS diterapkan bertahap melalui Puskesmas.
Perjalanan waktu membuktikan bahwa upaya pengendalian TB telah memberikan hasil
yang bermakna sampai dengan saat ini. Evaluasi yang dilakukan melalui Joint External TB
Monitoring Mission (JEMM) ( ) pada tanggal 11-22 Februari 2013, dilaporkan bahwa
Indonesia telah banyak mencapai kemajuan dalam upaya pengendalian TB di Indonesia
sebagai berikut:
Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB
menjadi setengahnya di tahun 2015 jika dibandingkan dengan data tahun 1990. Angka
prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 443 per 100.000 penduduk, pada tahun
2015 ditargetkan menjadi 222 per 100.000 penduduk. Pencapaian indikator MDGs untuk
TB di Indonesia saat ini sudah sesuai jalurnya dan diperkirakan semua indikator dapat
dicapai sebelum waktu yang ditentukan.
Selama periode 2011-2013, Program Nasional Pengendalian TB telah menunjukkan
keberhasilan dalam berbagai bidang, diantaranya dalam peningkatan jumlah temuan
kasus dan keberhasilan pengobatan di Puskesmas. Rendahnya angka kekebalan obat di
antara kasus TB baru berdasrkan hasil survei yang ada, menunjukkan kinerja program
pengendalian TB di Indonesia sudah berjalan dengan baik.
Masuknya standar pengobatan TB sebagai salah satu komponen akreditasi rumah
sakitmerupakan salah satu terobosan tpenting dari program Nasional TB untuk menjamin
seluruh pasien TB dapat mengakses pelayanan TB yang sesuai standar di seluruh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan menghindarkan pasien dari TB MDR maupun TB
XDR.
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
2. Ketenagaan
Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di
rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber
daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi. Tantangan baru yang
harus dihadapi oleh program TB adalah meningkatnya kebutuhan akan pelatihan untuk
pendekatan baru seperti TB resistan obat, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatihan dasar
tentang TB tetap dibutuhkan mengingat ekspansi program serta berbagai inovasi baru
untuk memperkuat pelaksanaan program,misalnya pengenalan alat diagnostikbaru,
8
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
3. OAT
4. Pembiayaan
Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi
kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan
mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan
lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB.
D. Visi dan Misi
Visi
Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
E. Tujuan dan target
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000
penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014
akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target
pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015
dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada
tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2%
per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar
20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 2014 ( )
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan
dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-
10
11
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
4.
5.
6.
7.
12
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
11
12
13
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
BAB III
BAB
III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
A. Penemuan Pasien Tuberkulosis
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan
mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratoris,
menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehinga dapat
dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan
gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang
kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Keikutsertaan pasien
merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB.
1. Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak
TB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif,
sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan; didukung dengan
promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan
mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1) kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien
dengan HIV, Diabetes mellitus dan malnutrisi.
2) kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya
penularan TB, seperti: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah
kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.
3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan tanda
yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical
Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen
terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di
faskes, mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu
layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
15
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
13
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
Pasien TB ekstra paru.
Pasien TB anak.
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
3. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.
Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality
Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan
jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan
resistan obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,
Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan
(laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.
14
16
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
1. Diagnosis TB paru:
Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang
dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung,
biakan dan tes cepat.
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan
penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan
oleh dokter yang telah terlatih TB.
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan
perbaikan klinis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga
dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu Pagi
Sewaktu):
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif.
Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh
yang terkena.
Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang
sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.
17
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
15
Gambar 1.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa
(tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)
(dimodifikasi dari :
Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)
16
18
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Keterangan :
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi
pasien dalam rekam medis.
Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap
dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan
hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk golongan Kuinolon.
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling)
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment
lanjutan oleh dokter untuk faktor2 yg bisa mengarah ke TB
Catatan :
1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat merugikan pasien
serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan
memberikan pengobatan didasarkan pada :
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada Meningitis TB, TB
milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb
c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan persetujuan tertulis
pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed consent).
2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan risiko penularan
C. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB
Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien
TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien
harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan
riwayat pengobatan
5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam
maupun antar kabupaten / kota, provinsi, nasional dan global.
Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB.
19
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
17
Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
20
18
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
21
cepat) atau metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi
BAB III pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien
ko-infeksiPASIEN
TB/HIV):
adalah pasien19TB
TATALAKSANA
TUBERKULOSIS
dengan:
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif,
pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV
positif.
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.
D. Pengobatan Pasien TB
Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
Diberikan dalam dosis yang tepat
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
22
20
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
24
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 2KDT
3 tablet 2KDT
4 tablet 2KDT
5 tablet 2KDT
26
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Tablet
Etambutol
@ 250 mgr
2 Bulan
4 Bulan
1
2
1
1
3
-
3
-
Intensif
Lanjutan
Jumlah
hari/
kali
menelan
obat
56
48
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama 28 hari
2 tab 4KDT
2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin inj.
( > do maks )
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E(400)
selama 20 minggu
2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
Tahap
Awal
(dosis
harian)
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Etambutol
Tablet @
250 mgr
Tablet @
400 mgr
Jumlah
Streptomi hari/kali
sin injeksi menelan
obat
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
0,75 gr
-
56
28
5 bulan
60
27
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
25
Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan. ( )
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan
pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
26
28
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
29
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
27
28
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
29
Pengobatan
lengkap
Gagal
Meninggal
Putus
berobat
(loss to
follow-up)
Tidak
dievaluasi
Definisi
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada
awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
30
kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
2) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
3) Tugas seorang PMO
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.
4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
e. Pengobatan TB pada keadaan khusus
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
34
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
31
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada
trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( )
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
4) Pasien TB dengan kelainan hati ( )
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
c) Hepatitis Kronis
32
35
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis
pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15
mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali
pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( )
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek
samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis.
Tingkat
1
2
3
4
5
Stadium 1-3
300 mg/hari
<50 kg: 450 mg/hari
50 kg: 600 mg/hari
<50 kg: 1,5 g/hari
50 kg: 2 g/hari
15 mg/kgBB/hari
Stadium 4-5
Diberikan 3x/minggu
Dosis 300 mg/setiap pemberian
<50 kg: 450 mg/hari
50 kg: 600 mg/hari
25-30 mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu
15-25 mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu
36
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
33
34
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tabel
berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.
Tabel 13. Efek samping ringan OAT
Efek Samping
Penyebab
H, R, Z
Penatalaksanaan
OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
sedikit makanan
Apabila keluhan semakin hebat disertai
muntah, waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.
Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti
radang non steroid
Nyeri Sendi
R dosis
intermiten
38
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
35
Penyebab
H, R, Z, S
Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
penatalaksanaan dibawah*
S dihentikan
S dihentikan
Semua OAT dihentikan
sampai ikterus menghilang.
Semua OAT dihentikan,
segera lakukan pemeriksaan
fungsi hati.
E dihentikan.
R dihentikan.
S dihentikan.
H, R, Z
Semua jenis
OAT
36
BAB III
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
37
BAB
BAB IV
IV
TATALAKSANA
TATALAKSANATB
TB PADA
PADA ANAK
ANAK (( 16
))
A. Epidemiologi
TB pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Cara Penularan TB pada anak adalah:
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang disekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
Toraks positif adalah 17%.
Beban kasus TB Anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang
child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak.
Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang
tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan
peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
Data TB Anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus
TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari
1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat
bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4
tahun dan 5-14 tahun, dengan data jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang
lebih tingi dari kelompok umur 0-4 tahun. Sesuai dengan epidemiologinya, seharusnya
jumlah kasus TB pada kelompok umur 0-4 tahun lebih tinggi dari kelompok umur 5-14
tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB
anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
B. Diagnosis TB pada anak
1. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada:
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB
yang hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB
dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam
pembahasan pada bagian selanjutnya tentang profilaksis TB pada anak.
b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau
38
41
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
nak
an,
iko
akit
an
oto
ng
ng
an
sus
2%
ari
gat
0-4
ng
nya
14
TB
ng
TB
TB
am
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
2. Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai
berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
e. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
ng
au
41
42
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
39
40
43
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
ng
ain
sis
psi
ari
tuk
TB,
dak
ral
an
gik
mbil
ut,
ah
ng
an
.
an
pat
eic
pa
asi
un
sis
alu
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian
dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem
skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli
yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas
kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
an
an
TB
ber
TB
ksi
dak
au
rita
tuk
ara
un
aka
gis.
nya
43
44
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
41
45
Anak 0 14 th
Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)
Suspek TB Anak
Sistem Skoring
Skor< 6
Skor = 6
Skor> 6
Didapat dari
parameter uji
tuberkulin (+)
atau kontak
dengan gejala
klinis lain
Infeksi laten TB
Didapat dari
parameter uji
tuberkulin (+)
dan kontak;
tanpa gejala
klinis lain
Bukan
TB
Pertimbangan
dokter (**)
TB ANAK
Evaluasi 2 bulan terapi
Perbaikan
Umur 5
th
Tidak ada
perbaikan
PP INH
HIV pos
Lanjutkan
terapi
Umur< 5 th
Evaluasi, rujuk
bila perlu
HIV neg
PP INH
Observasi
Keterangan :
(*)
Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**)
Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
46
43
3. Penegakan Diagnosis
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas
kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas
dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan
diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
b. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)
c. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi
INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.
d. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak BTA (+) atau uji tuberkulin dengan
ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai pasien TB Anak.
e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
f. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
faskes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
g. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
h. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
i. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
j. Untuk daerah dengan fasilitas kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan/atau
foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari total skor 13.
k. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien
dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan
rujukan tingkat lanjut (FKRTL):
a. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura, milier atau kavitas
b. Gibbus, koksitis
c. Tanda bahaya:
1) Kejang, kaku kuduk
2) Penurunan kesadaran
3) Kegawatan lain, misalnya sesak napas
D. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Pada Anak
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB pada anak sesuai dengan pembahasan pada bab III.
44
47
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
45
46
OAT Tahap
Awal
OAT Tahap
Lanjutan
2HRZ
4HR
2HRZE
4HR
7-10HR
2HRZ+E atau
S
10HR
Prednison
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
4 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
4 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
-
Lama
Pengobatan
6 bulan
9-12 bulan
12 bulan
49
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
2. Combination)
OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Untuk
mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
Combination)
OAT disediakan
dalam Kombinasi
bentuk
paket
KDT/
FDC.(KDT)
Satu keteraturan
paket(FDC=Fixed
dibuatminum
untukDose
satu
2. paduan
OAT
Kategori
Anak kemasan
dosis
tetap
OAT
Untuk mempermudah
pemberian
OAT sehingga
meningkatkan
obat,
pasien
untuk
satu
masa
pengobatan.
Paket
KDT
untuk
anak
berisi
obat
fase
intensif,
Combination)
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
yaitu
(R) masa
75mg,
INH (H)OAT
50 mg,
dan
pirazinamid
(Z) berisi
150 mg,
serta
obat
fase
Untuk
mempermudah
pemberian
sehingga
meningkatkan
keteraturan
minum
obat,
pasienrifampisin
untuk satu
pengobatan.
Paket
KDT
untuk anak
obat
fase
intensif,
lanjutan,
yaitu
R
75
mg
dan
H
50
mg
dalam
satu
paket.
Dosis
yang
dianjurkan
dapat
paduan
OAT disediakan
bentuk
paket
FDC. Satu
paket
dibuat
satu
yaitu rifampisin
(R) 75mg,dalam
INH (H)
50 mg,
danKDT/
pirazinamid
(Z) 150
mg,
sertauntuk
obat fase
dilihat
pada
tabel
pasien
untuk
satu
pengobatan.
fase intensif,
lanjutan,
yaitu
R berikut.
75masa
mg dan
H 50 mg Paket
dalamKDT
satu untuk
paket.anak
Dosisberisi
yangobat
dianjurkan
dapat
yaitu
75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
dilihatrifampisin
pada tabel(R)
berikut.
Tabel
18:yaitu
Dosis
pada
anak
lanjutan,
R kombinasi
75 mg danOAT
H 50TBmg
dalam
satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
Berat
badan
2
bulan
4 bulan
dilihat
pada
tabel
berikut.
Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak
(kg)
RHZ
(75/50/150)
(RH
(75/50)
Berat badan
2 bulan
4 bulan
5-7
1
tablet
1
tablet
Tabel 18: Dosis
kombinasi
OAT
TB
pada
anak
(kg)
RHZ (75/50/150)
(RH (75/50)
8-11
2
2
Berat
badan
bulan
4
bulan
5-7
1 tablet
tablet
1 tablet
tablet
12-16
3
tablet
3
tablet
(kg)
RHZ
(75/50/150)
(RH
(75/50)
8-11
2 tablet
2 tablet
17-22
4
tablet
4
tablet
5-7
1
1
12-16
3 tablet
3 tablet
23-30
5
5
8-11
2
2
17-22
4 tablet
tablet
4 tablet
tablet
Keterangan:
BB
>30
kg
diberikan
6
tablet
atau
menggunakan
KDT
dewasa.
12-16
3
tablet
3
23-30
5 tablet
5 tablet
tablet
17-22
4 tablet
4 tablet
Keterangan:
BB >30 kg diberikan 6 tablet
atau menggunakan KDT dewasa.
Keterangan:
R = Rifampisin; H = Isoniasid;
Z = Pirazinamid
23-30
5 tablet
5 tablet
Keterangan:
Bayi
di
bawah
5
kg
pemberian
OAT
secara
terpisah, tidak
dalam
bentuk kombinasi
kg diberikan
tablet atau
KDT
dewasa.
Keterangan:BB
R =>30
Rifampisin;
H = 6Isoniasid;
Z =menggunakan
Pirazinamid
dosis
tetap,
dan
sebaiknya
dirujuk
ke
RS
rujukan
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
Apabila
ada
BBH
maka
dosis/jumlah
tablet yang diberikan, menyesuaikan
Keterangan:
Rdan
=kenaikan
Rifampisin;
= Isoniasid;
= Pirazinamid
dosis tetap,
sebaiknya
dirujuk
ke
RS Z
rujukan
berat
badan
saat
itu
Bayi
di bawah
5 kg pemberian
secara terpisah,
tidak diberikan,
dalam bentuk
kombinasi
Apabila
ada kenaikan
BB makaOAT
dosis/jumlah
tablet yang
menyesuaikan
Untuk
anak dan
obesitas,
dosis
KDT ke
menggunakan
dosis
tetap,
sebaiknya
dirujuk
RS rujukan Berat Badan ideal (sesuai umur).
berat badan
saat
itu
berdasarkan
umur
dapat dilihat
di
lampiran
Tabel
Apabila
adaBadan
kenaikan
BB maka
dosis/jumlah
tablet
yang
diberikan,
menyesuaikan
Untuk Berat
anak
obesitas,
dosis
KDT
menggunakan
Berat
Badan
ideal (sesuai
umur).
OAT
KDT
harus
diberikan
secara
utuh
(tidak
boleh
dibelah,
dan tidak boleh digerus)
berat
badan
saat
itu
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
Obat
dapat
diberikan
dengan
cara
ditelan
atau
Untuk
anak
obesitas,
dosis
KDT
menggunakan
Berat Badan
ideal(chewable),
(sesuai
umur).
OAT KDT
harus
diberikan
secara
utuh
(tidak utuh,
boleh dikunyah/dikulum
dibelah,
dan tidak
boleh
digerus)
dimasukkan
air
dalam
sendok
(dispersable).
Tabel
Berat
Badan
berdasarkan
umur
dapat
dilihat
di
lampiran
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
Obat
diberikan
saat
perut
kosong,
atau boleh
palingdibelah,
cepat 1 dan
jam tidak
setelah
makan
OAT
KDT
harus
diberikan
secara
utuh (tidak
boleh
digerus)
dimasukkan
air pada
dalam
sendok
(dispersable).
Apabila
OAT
lepas
diberikan
dalam
bentuk
puyer,
maka
semua
obat
tidak
Obat
dapat
diberikan
dengan
cara
ditelan
utuh,
dikunyah/dikulum
(chewable),
atau
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan boleh
digerus
bersama
dan
dicampur
dalam
satu
puyer
dimasukkan
air
dalam
sendok
(dispersable).
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
Obat
diberikan
pada
perut kosong,
atau
paling cepat 1 jam setelah makan
digerus
bersama
dansaat
dicampur
dalam satu
puyer
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
3. Pengobatan
ulang TB
anakdalam satu puyer
digerus bersama
danpada
dicampur
Anak
yang
pernah
mendapat
pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
3. Pengobatan ulang TB pada anak
gejala
TB,
perlu
dievaluasi
apakah
anak tersebut
benar-benar
menderita
TB. Evaluasi
Anak yang pernah mendapat pengobatan
TB, apabila
datang kembali
dengan
keluhan
dapat
dilakukan
dengan
cara
pemeriksaan
dahak
atau
sistem
skoring.
Evaluasi
dengan
3. gejala
Pengobatan
ulang
TB padaapakah
anak anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi
TB, perlu
dievaluasi
sistem
skoring
harus
lebih
cermat
dan
dilakukan
di
fasilitas
rujukan.
Apabila
hasil
Anak
yang
pernah
mendapat
pengobatan
TB,
apabila
datang
kembali
dengan
keluhan
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan
pemeriksaan
dahak
menunjukkan
hasil
positif,
maka
anak
diklasifikasikan
sebagai
kasus
gejala
TB,
perlu
dievaluasi
apakah
anak
tersebut
benar-benar
menderita
TB.
Evaluasi
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
Kambuh.
Pada
pasien
TBcara
anak
yang
pernah
mendapat
pengobatan
TB,Evaluasi
tidak
dianjurkan
dapat dilakukan
dengan
pemeriksaan
dahak
atau
sistem
skoring.
dengan
pemeriksaan
dahak
menunjukkan
hasil
positif,
maka
anak
diklasifikasikan
sebagai
kasus
untuk
dilakukan
uji
tuberkulin
ulang.
sistem skoring
harus TB
lebih
cermat
dan dilakukan
di pengobatan
fasilitas rujukan.
Apabila
hasil
Kambuh.
Pada pasien
anak
yang pernah
mendapat
TB, tidak
dianjurkan
pemeriksaan
dahak
menunjukkan
untuk
dilakukan
uji tuberkulin
ulang.hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.
50
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
50
47
50
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
3. Pengobatan ulang TB pada anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.
BAB IV
Ketidakpatuhan
minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
48
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensifTATALAKSANA
atau >2 bulan
di fase
lanjutan
dan
TB PADA
ANAK
(16)
nsi
an.
on
sis
ng,
an
aik
bih
asil
asi
an
an,
un
pai
an
itif,
uai
sin
mg
an
an
an
an
selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai
dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
G. Efek Samping pengobatan TB pada anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg
tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan
diberikan pada:
1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif,
2. Pasien gizi buruk,
3. Anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman
Nasional Pengendalian TB.
H. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB
resistan obat.
I. Hasil pengobatan TB pada anak
Hasil pengobatan TB pada anak merujuk pada hasil pengobatan TB dewasa pada bab III
51
HIV
Balita
Balita
> 5 th
> 5 th
> 5 th
> 5 th
(+)/(-)
(+)/(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
Hasil pemeriksaan
Infeksi laten TB
Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-)
Infeksi laten TB
Sehat
Infeksi laten TB
Sehat
Tata laksana
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
Observasi
Observasi
Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
IV (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
SetiapBAB
bulan
49
) 6, maka
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan keTATALAKSANA
2, ke 3, keTB4,PADA
ke 5ANAK
atau(16ke
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.
Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB
milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak
Umur
HIV
Balita
Balita
> 5 th
> 5 th
> 5 th
> 5 th
(+)/(-)
(+)/(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
Hasil pemeriksaan
Infeksi laten TB
Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-)
Infeksi laten TB
Sehat
Infeksi laten TB
Sehat
Tata laksana
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
Observasi
Observasi
Pa
tah
me
Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
PP- INH selesai diberikan.
Ind
ber
pen
Be
13/
Pe
A.
52
B.
50
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
BAB V
V
BAB
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
RESISTAN OBAT (MTPTRO)
Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru TB MDR di Indonesia setiap
tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB pengobatan ulang
merupakan kasus TB MDR.
Indonesia telah memulai program MTPTRO sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara
bertahap ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh pasien TB MDR dapat mengakses
penatalaksanaan TB MDR yang terstandar dan cepat.
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
13/MENKES/PER/II/2013 program MTPTRO merupakan bagian integral dari Program
Pengendalian TB Nasional.
A. Defenisi TB Resistan Obat.
TB Resistan Obat adalah keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi
dibunuh dengan obat anti TB (OAT).
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:
1. Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
2. Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H)
dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol
(RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin
(RES).
3. Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau
tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.
4. Extensively Drug Resistance (XDR):
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan
salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
5. TB Resistan Rifampisin (TB RR).
Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT
lainnya.
B. Tujuan dan Kebijakan MTPTRO.
1. Tujuan.
Tujuan program MTPTRO adalah mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TB
MDR dan memutus rantai penularannya di masyarakat dengan cara menemukan dan
mengobati sampai sembuh semua pasien TB MDR.
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
53
51
2. Kebijakan.
a. Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana
Pengendalian TB yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring
diantara fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Penerapan MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi
DOTS, untuk saat ini upaya penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB
Resistan Rifampisin dan TB MDR.
c. Penguatan MTPTRO dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB XDR.
d. Pengembangan wilayah disesuaikan dengan rencana pengembangan MTPTRO yang
ada dalam Stranas TB dan Rencana Aksi Nasional (RAN) PMDT, dilakukan secara
bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat mempunyai akses terhadap
pelayanan TB resistan obat yang bermutu.
e. Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam diagnosis dan evaluasi
penatalaksanaan pasien TB resistan obat sehingga kemampuan dan mutu
laboratorium harus sesuai standar internasional dan selalu dipertahankan kualitasnya
untuk biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis.
f. Pemerintah menyediakan OAT lini kedua yang berkualitas dan logistik lainnya untuk
pasien TB resistan obat.
g. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
h. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi pasien TB MDR.
i. Pencatatan dan pelaporan MTPTRO menggunakan gabungan paper based dan
web based menggunakan eTB manager.
j. Pemantauan dan evaluasi MTPTRO dilakukan secara berkala menggunakan indikator
baku.
C. Pengorganisasian MTPTRO.
1. Organisasi Pelaksana
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) merupakan bagian dari
upaya Pengendalian TB Nasional. Organisasi pelaksana MTPTRO di tingkat Nasional,
Provinsi, Kabupaten/Kota dilaksanakan mengikuti kerangka kerja pengendalian TB
nasional yang sudah berjalan selama ini.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Terdapat 3 jenjang fasyankes pelaksana MTPTRO dengan fungsi dan tanggung jawab
masing-masing yang melekat pada sistem yang sudah berlaku pada Program TB
Nasional.
52
54
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
na
ng
egi
TB
utu
pu
ng
ara
ap
asi
utu
nya
tuk
dai
an
tor
ari
nal,
TB
ab
TB
54
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
53
Ga
MtbS
TB Res
RR), ob
54
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
GambarGambar
Alur Diagnosis
TB Resistan
Obat Obat
Alur Diagnosis
TB Resistan
Terduga
TB Resistan
Obat Obat
Terduga
TB Resistan
uhi
Tes Cepat
dengan
Tes Cepat
dengan
Gene Gene
XpertXpert
an
rta
n.
M.
tes
ng
dan
nal
aka
:
Mtb Resistan
Rifampisin
Mtb Resistan
Rifampisin
MtbSensitifRifampisin
MtbSensitifRifampisin
Negatif
Mtb Mtb
Negatif
Mtb tumbuh
Ujikepekaan
OAT Lini-1 dan
Ujikepekaan
lini-2
OAT Lini-1 dan
lini-2
TB MDR
(Jika ada
tambahan
resistensi
terhadap
INH),
lanjutkan
pengobatan
OAT
MDR
standar.
terhadap INH), lanjutkan pengobatan
OAT MDR standar.
OAT MDR
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
55
56
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
tu)
2
um
an
sai.
uat
an
tas
ng
na
ya.
TB
an
Mtb
us.
-2,
um
uji
asi
.
uji
an
an
an
an
an
an
TB
ngi
pat
an
E. Pengobatan TB MDR.
1. Prinsip Pengobatan TB MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB MDR mengacu kepada strategi
DOTS.
a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang
58
mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.
b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.
c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan
dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan dari
tim terapeutik.
d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan
mempertimbangkan kondisi klinis awal.
Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus
dieksklusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus
diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien
dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati,
epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.
Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan
beberapa pemeriksaan penunjang.
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:
a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis,
diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai
gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.
b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran.
c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan.
d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual)
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk memastikan
alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui
kerjasama jejaring eksternal.
Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi:
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah:
Faal ginjal: ureum, kreatinin
Faal hati: SGOT, SGPT.
Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida)
Asam Urat
Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks.
f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
g. Pemeriksaan
EKG
BAB V
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
57
59
c.
d.
e.
f.
g.
h.
59
2. Paduan OAT MDR di Indonesia
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang
pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.
a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km Lfx Eto Cs Z (E) / Lfx Eto Cs Z (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm Lfx Eto Cs Z - (E) / Lfx Eto Cs Z (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR
secara laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama
paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan
adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.
Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis
MTPTRO (Permenkes 13/2013).
3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.
58
BAB V
60
F.
59
ng
DR.
ah
dar
DR)
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.
60
Bulan pengobatan
6
8
10 12
14
16
18
20
22
Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan
Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
Berdasarkan indikasi
Tes kehamilan
Darah Lengkap
Berdasarkan indikasi
Berdasarkan indikasi
Audiometri
Kadar gula darah
Berdasarkan indikasi
Berdasarkan indikasi
Asam Urat
Test HIV
Berdasarkan indikasi
dengan atau tanpa faktor risiko
DR
ap
ma
an
an.
nis
ons
ak,
ma
an.
rak
an
60
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
5961
4. Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB
MDR yaitu 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di
bawah ini yaitu :
a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.
b. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi).
c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan kuinolon atau
obat injeksi lini kedua.
d. Terjadi efek samping obat yang berat.
5. Lost to Follow-up
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.
6. Tidak di Evaluasi
Pasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir pengobatan TB MDR termasuk
pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah lain dan hasil akhir pengobatan TB
MDR nya tidak diketahui.
G. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap
Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan
yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks,
dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB.
H. Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak
1. Diagnosis TB Resistan Obat pada Anak
TB resistan obat pada anak dan remaja umumnya terjadi sebagai akibat dari adanya
kontak dengan orang dewasa yang menderita TB resistan obat, sehingga sebagian besar
dari mereka menderita TB resistan primer. Tidak mudah untuk melakukan uji kepekaan
obat pada anak karena umumnya jumlah kuman yang sedikit (paucy-bacillary) dan
ketidakmampuan untuk mengeluarkan dahak sehingga perlu upaya khusus untuk
mendapatkan contoh uji seperti induksi sputum dan bilas lambung. Pilihan metode
diagnosis pada anak yang diduga TB resistan obatadalah menggunakan tes cepat. Pada
anak dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (kambuh, lost to follow up, gagal, tidak
ada perbaikan klinis) atau anak dengangejala klinis yang sangat mendukung TB serta
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR harus dilakukan tes cepat, pengobatan
yang diberikan adalah pengobatan standar TB RR/ MDR atau merujuk pada hasil uji
kepekaan dari sumber penularan (bila diketahui sumbernya).
Penggunaan OAT lini kedua bukan merupakan kontra indikasi dan pada umumnya
toleransi anak kepada obat lebih baik dibandingkan orang dewasa. Diagnosis TBMDR
pada anak tidak mudah dan perlu kecermatan. Alur diagnosis dihalaman berikut dapat
digunakan sebagai sarana bantu untuk skrining faktor risiko TBMDR pada anak yang
diduga atau sudah terdiagnosis sebagai pasien
62
60
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
Pen
TB
di
au
Gambar:
Kriteria terduga TB RR/ MDR Anak:
1. Memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya (> 1 bulan)
a. Kambuh: pernah diobati sampai selesai (lengkap/ sembuh) datang lagi dengan
keluhan dan gejala TB.
b. Putus berobat (lost to follow up)
c. Gagal: tidak menunjukkan respon klinis yang memadai setelah menjalani
pengobatan TB secara teratur lebih dari 2-3 bulan termasuk BTA/ Biakan tetap
positif, menetapnya gejala-gejala dan kegagalan untuk menaikkan berat
badan.
2. Memiliki kontak erat dengan pasien yang telah diketahui menderita TB RR/ TB
MDR.
3. Kontak erat dengan terduga TB resistan yang memiliki probablitas tinggi sebagai
pasien TB RR/ MDR yaitu: Pasien gagal K2, Pasien gagal K1 dan Pasien kambuh.
suk
TB
an
an
ks,
nya
sar
an
an
tuk
de
da
dak
rta
an
uji
nya
DR
pat
ng
Konfirmasi TB
RR/MDR
Konfirmasi TB saja
Terapi RR/MDR
Terapi OAT
Kategori Anak
Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa
pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis
disesuaikan dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua
tidak child-friendly.
Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip pengobatan
pada dewasa. Yang meliputi:
a. Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang masih sensitif; terdiri dari satu
darigolonganinjectable, satu golongan fluorokuinolon
ditambah dua golongan
bakteriostatik lini kedua.
b. Etambutol dan PZA sebaiknya diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat baru.
c. Gunakan high-end dosing bila memungkinkan.
d. Pemberian obat harus dalam pengawasan seorang PMO.
e. Obat diminum setiap hari, Durasi pengobatan harus 18-24 bulan.
f. Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa
dengan TB MDR.
62
63
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
61
BAB VI
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI
TB/HIV ( )
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV ( 15 )
1. LATAR BELAKANG
Koinfeksi TB sering terjadi pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Orang dengan HIV
mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan
orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB.
Di tahun 2012, sekitar 320,000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB (Global
Report 2013).
Sebagai upaya menghadapi perkembangan global menuju 3 zeroes (zero new infection,
zero deaths, zero stigma discrimination) Kementerian Kesehatan RI melalui Permenkes
No.21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS menyusun strategi penanggulangan
HIV/AIDS secara menyeluruh dan terpadu. Pasal 24 pada Permenkes tersebut
menyebutkan bahwa setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau
patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis
dan IMS ditawarkan untuk pemeriksaan HIV melalui KTS atau TIPK. Manajemen koinfeksi
TB-HIV tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan, baik dari manajemen penyakit
maupun operasional, oleh karena itu kegiatan kolaborasi TB-HIV perlu diperkuat di semua
tingkatan manajemen dan layanan kesehatan.
2. TUJUAN DAN KEBIJAKAN DALAM KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV
Tujuan:
Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat TB dan HIV di masyarakat.
Kebijakan dan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV:
Kegiatan:
Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:
Tabel Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia
A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS
A.1. Penguatan koordinasi bersama program TB
tingkatan
dan
HIV di semua
62
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
HIV
an
TB.
bal
on,
kes
an
but
tas
au
sis
ksi
akit
ua
an
C.3
C.4
C.5
Kebijakan:
1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian
TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
fasilitas pelayanan kesehatan.
2.
Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan
melibatkan lintas sektoral.
3.
Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan
HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.
4.
5.
6.
7.
Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai
jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.
8.
pengobatan
pencegahan
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
dengan
63
9.
KIE tentang TB-HIV merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses inisiasi tes
HIV pada pasien TB dan perawatan pasien TB-HIV.
10. Penemuan kasus TB secara intensif pada ODHA dilakukan dengan melakukan kaji
status TB secara rutin pada tiap kunjungan.
11. Diagnosis TB pada ODHA memanfaatkan tes cepat TB. Alat tes cepat TB yang saat ini
tersedia di Indonesia adalah Xpert MTB/Rif.
12. Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) hanya diberikan pada ODHA yang
tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi.
13. Pelayanan TB-HIV harus menjamin penerapan prinsip-prinsip pencegahan dan
pengendalian infeksi TB dan HIV.
14. Kegiatan monitoring dan evaluasi melibatkan kolaborasi kedua program dengan sistem
kesehatan secara umum, pengembangan jejaring rujukan diantara pelayanan
kesehatan dan institusi yang berbeda serta supervisi yang dilakukan bersama sama
oleh kedua program. Dalam pelaksanaannya harus diintegrasikan dengan sistem
monitoring dan evaluasi yang sudah ada serta harus menjamin kerahasiaan.
3. PENGORGANISASIAN
Keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV sangat tergantung pada kerjasama antar
komponen TB dan HIV dengan membangun kemitraan pada semua tingkatan. Pada tingkat
pengambil keputusan, kolaborasi TB-HIV lebih ditekankan pada komitmen dan koordinasi
tingkat sektoral (lintas bagian/UPF) sedangkan pada tingkat pelaksana layanan lebih
ditekankan pada penyediaan layanan yang menyeluruh dan terpadu. Untuk menjamin
pelayanan TB-HIV yang berkualitas secepat dan sedekat mungkin maka terdapat beberapa
model layanan TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu:
1. Model layanan terintegrasi
Pelayanan TB-HIV yang diharapkan adalah layanan TB dan HIV terintegrasi pada satu
fasyankes (one stop service) di lokasi dan waktu yang sama, yaitu pasien TB-HIV
mendapatkan akses layanan untuk TB dan HIV sekaligus dalam satu unit dalam satu
fasyankes.
2. Model layanan paralel:
a. Layanan TB-HIV dua unit dalam satu fasyankes.
b. Layanan TB-HIV berdiri sendiri-sendiri di fasyankes yang berbeda
Pemilihan model layanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Namun model
yang dianjurkan adalah model layanan terintegrasi untuk mencegah hilangnya kesempatan
penemuan dan pengobatan pasien TB-HIV.
4. DIAGNOSIS TB PADA ODHA
Gejala TB pada ODHA
Gejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan
adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%) dan gejala
64
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
tes
ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,
TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
kaji
ini
ng
an
em
an
ma
em
tar
kat
asi
bih
min
pa
atu
HIV
atu
del
an
an
ala
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
65
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/Akses Tes
Cepat TB
66
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
Ke
Tes
Keterangan :
(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur
diagnosis
(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
(3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan
tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up,
namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat
(4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB yang
menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera
mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.
(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:
- Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil tes
cepat
Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan terapi
TB
Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab
lain
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
67
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan Tes
Cepat TB
5. D
6. P
68
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
Keterangan :
(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur
diagnosa.
(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya
(3) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks mendukung TB :
diberikan terapi TB terlebih dahulu
(4) Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap
rifampisin
(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks tidak mendukung TB
dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan
diagnosis TB.
Tes
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
69
Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah
dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik . ()
Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut
sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV,
sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I),
rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.
Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau RS
rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.
Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu dalam
melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.
Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana
komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk
pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di
dalam unit PDP.
Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi atau
efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke
Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan
oleh unit HIV.
Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV
sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV
agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.
Pengobatan bersama TB-HIV akan dijelaskan lebih rinci dalam Buku Petunjuk Teknis
Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV.
70
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
9. P
ah
but
RV,
I),
RS
Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses
layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari
kelompok sebaya.
am
na
tuk
di
au
ke
an
RV
RV
nis
da
ukti
sis
gka
an
an
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
71
BAB VII
VII
BAB
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)
tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah
yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum
sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan
ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
72
74
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan.
Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan
TB Resistan Obat yang belum teridentifikasi.
Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis,
dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.
75
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
73
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.
Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam
antrian (prioritas).
3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan
sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat
melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu
digunakan
saat
memberikan
perawatan
kepada
pasien
atau
saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
74
76
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi
seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan
dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari).
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
77
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
75
BAB VIII
BAB
VIII
PUBLIC PRIVATE
MIX
DOTS PENGENDALIAN
DALAM
PUBLIC PRIVATE
MIX DOTS
DALAM
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan.
Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.
PPM (Public Private Mix) meliputi:
Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja,
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik
pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.
Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan
LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan
apotik swasta.
Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai
Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan
dilakukan di FKRTL.
A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.
B. Prinsip dan Strategi PPM.
1. Prinsip PPM
Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.
b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan
menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program
pengendalian TB di setiap tingkat.
76
78
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
3. Tingkat Kabupaten/Kota
1. Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan,
pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat
nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI),
organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.
2. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.
3. Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar
pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan
dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan
dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.
a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .
Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK
berkaitan dengan Pilar ini antara lain:
79
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
77
78
80
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
79
80
82
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
83
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
81
BAB IX
BAB
IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas
(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .
Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.
Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium
TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB,
keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.
A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.
Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan,
Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan
kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium
yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu
pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir
seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.
Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring
laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran,
tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.
Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium
mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.
1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.
a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes
Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan
kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah
FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan
dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan
teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti
pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di
wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan
laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan
kemudian merujuk ke FKTP-RM.
Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan
termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan
pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM
dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.
82
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
83
c. Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai
Laboratorium rujukan biakan provinsi
d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan
Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT
sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/
atau 2
2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan
pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai
laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah
laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan
Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.
4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.
e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya
sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang
pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:
1) Peran
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.
2) Tugas Pokok
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan
dan uji kepekaan TB
d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal
(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB
e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
85
Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok
sebagai berikut:
1) Peran
a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,
b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi
dan MOTT.
2) Tugas Pokok
a) Melaksanakan penelitian operasional TB
b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru
f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.
3) Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.
B. Manajemen Laboratorium TB.
1. Manajemen Logistik Laboratorium TB.
Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan
logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB
2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.
Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring
laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan
laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.
Tujuan PMI:
1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,
penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji,
pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.
2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan
cepat dan tepat.
3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.
Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap praanalisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
87
88
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
89
90
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
BAB X
X
BAB
PENGELOLAAN
LOGISTIK
PROGRAM
PENGELOLAAN
LOGISTIK
PROGRAM
PENGENDALIAN
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang
penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,
baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga
ketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.
Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan
untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang
digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
2. Jenis-jenis Logistik P2TB.
Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non
OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di
Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan
memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.
Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:
Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S).
Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino
Salicylic (PAS).
1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian
TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket
individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis
94
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
91
92
Dosis
Bentuk
1000 mg
1000 mg
250 mg
400 mg
400 mg
250 mg
2g
500 mg
400 mg
vial
vial
tablet
tablet
tablet
kapsul
sachet
tablet
tablet
95
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
93
Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah
seperti gambar dibawah ini:
Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.
Instalasi Farmasi Provinsi
(IFP)
Dinkes Provinsi
distribusi
permintaan
Dinkes Kab/kota
permintaan
Instalasi Farmasi
Kab/Kota(IFK)
distribusi
Fasyankes
Keterangan:
Klinik Swasta
Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui
Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.
Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun
Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:
94
97
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Instalasi Farmasi
Nasional
Dinkes Provinsi
Instalasi Farmasi
Provinsi (IFP)
Faskes Rujukan
Instalasi Farmasi
Faskes Rujukan
Faskes Satelit
Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT
Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.
B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan
dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik
P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini
dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.
98
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
95
99
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
100
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
97
98
101
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
102
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
99
100
103
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
DITJEN BINFAR
INSTALASI FARMASI
NASIONAL
PUSAT
DINAS KESEHATAN
PROVINSI
PROVINSI
KAB/KOTA
DINAS KESEHATAN
KAB/KOTA
INSTALASI FARMASI
PROVINSI (IFP)
INSTALASI FARMASI
KAB/KOTA (IFK)
FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN
104
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
101
102
105
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
106
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
103
BAB XI
BAB
XI
PENGEMBANGAN
SUMBER
DAYA
MANUSIA PROGRAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti
HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi
di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber
daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga
yang terampil.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis
(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain kompeten) yang diperlukan dalam pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin
ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang
terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen
yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.
Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.
Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.
A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.
Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan
kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.
Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik
dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.
1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Puskesmas
1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan
minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1
tenaga laboratorium.
104
105
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter
dan 1 perawat/petugas TB
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2
dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,
dan 1 tenaga laboratorium
5) RS swasta: menyesuaikan.
c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.
2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota
Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10
fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat
memiliki lebih dari seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.
3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.
Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20
kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah
lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari
seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,
d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1
orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)
106
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
105
Masyarakat
Laboratorium
Staf
Lab TB nasional
Laboratorium rujukan
Uji silang (Intermediate
TB Laboratory)
Analis
Petugas lab
108
109
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
110
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
112
113
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
AFEKTIF
PSIKOMOTOR
114
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
113
BAB XII
BAB
XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT
DAN ORGANISASI
KETERLIBATAN
MASYARAKAT
DAN
ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.
Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga
kasus TB yang hilang dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.
A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.
Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional
Organisasi berbasis komunitas
Organisasi berbasis agama
Organisasi pasien dan mantan pasien
Organisasi profesi
dan lain-lain.
B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:
1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan
pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena
dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,
meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).
2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program
pengendalian TB
114
114
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
115
115
Kegiatan
Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.
Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,
pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.
Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke
Fasyankes, dukungan transport.
keteraturan Pengawas Menelan Obat (PMO).
Dukungan/motivasi
berobat pasien TB.
Dukungan sosial ekonomi.
Advokasi.
Mengurangi stigma.
116
116
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi
kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
2. Memperluas (Expand).
a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang
sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi
khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja
seksual.
b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam
program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan
terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
3. Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan
TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi
dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan
yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi
kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
4. Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB
berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem
pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi
pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:
No
1
2
3
4
5
6
Kegiatan
Analisis situasi
Menciptakan lingkungan yang kondusif
Pedoman dan Juknis
Identifikasi tugas
Monitoring and evaluation
Peningkatan kapasitas
kemasyarakatan
Pusat
V
V
V
V
V
V
terhadap
Provinsi
V
V
V
V
V
program
Kab/Kota
V
V
V
V
V
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
117
117
BAB XIII
XIII
BAB
SISTIM INFORMASI
PROGRAM
SISTIM INFORMASI
PROGRAM
PENGENDALIAN
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
Sistim informasi program pengendalian TB merupakan bagian dari sistem informasi kesehatan.
Sistem informasi kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi,
indikator, prosedur, perangkat, teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang saling
berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung pembangunan Nasional.
Informasi kesehatan adalah data kesehatan yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk
yang mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dalam
mendukung pembangunan kesehatan.
Informasi kesehatan untuk program pengendalian TB adalah informasi dan pengetahuan yang
memandu dalam melakukan penentuan strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi program TB. Secara garis besar informasi strategis TB meliputi tiga elemen pokok
yaitu sistem surveilans, sistem monitoring dan evaluasi (monev) program, dan penelitian
operasional.
Gambar 15: Sistim Informasi Program Pengendalian TB.
Sistem Surveilans
TB
Surveilans
Monitoring
Program
(indikator)
Rutin
Surveilans
Non Rutin
(Survei: Periodik
dan Sentinel)
Pengelolaan Data
Penelitian TB
Penelitian
Operasional
Penelitian
ilmiah (dasar)
Penyajian
Data
Estimasi dan
Proyeksi
118
Pemecahan masalah,
Tindak lanjut,
Perencanaan
118
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A. Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit
secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis
didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),
dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).
1. Surveilans Rutin.
Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan
pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)
untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya
bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang
menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini
interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan
baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari
surveilans periodik atau surveilans sentinel.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
119
Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan
target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya
setiap 6 bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana
program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh
kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses,
maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator
dan hasil dari supervisi.
1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,
dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,
disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:
120
120
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
121
5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat
Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut
di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru
diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/
MDR yang ada.
122
122
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
123
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
123
2)
2)
2)
3)
3)
3)
4)
4)
4)
126
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
disebabkan:
Angka
Penjaringan
terduga
TB terlalu
longgar.iniBanyak
tidak
memenuhi
ini sekitar
5-15%.
Bila angka
terlalu orang
kecil yang
(<5%)
kemungkinan
kriteria
Penjaringan
terduga
TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
terduga
TB, atau
disebabkan:
kriteria
terduga
TB, atau
Ada
masalah
dalam
pemeriksaan
laboratorium
(negatif
palsu).
Penjaringan
terduga
TB terlalu longgar.
Banyak
orang
yang tidak memenuhi
kriteria
Ada masalah
dalam
pemeriksaan
laboratorium
(negatif
palsu).
terduga TB, atau
Bila
angka
ini terlalu
besar
(>15%) kemungkinan
:
Ada
masalah
dalam
pemeriksaan
laboratoriumdisebabkan
(negatif palsu).
angka ini terlalu
BilaPenjaringan
terlalubesar
ketat(>15%)
atau kemungkinan disebabkan :
Ada
Penjaringan
terlalu
ketat
atau kemungkinan
masalah
dalam
pemeriksaan
laboratoriumdisebabkan
(positif palsu)
Bila
angka
ini terlalu
besar
(>15%)
:
Ada masalahterlalu
dalamketat
pemeriksaan
laboratorium (positif palsu)
Penjaringan
atau
Proporsi
Pasiendalam
TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
diantara Semua Pasien
Ada masalah
pemeriksaan
laboratorium
(positif palsu)
Proporsi
Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien
TB
Paru Tercatat/diobati
TB Paruprosentase
Tercatat/diobati
Adalah
Tuberkulosis paru
terkonfirmasi
bakteriologis
Proporsi
Pasien TBpasien
Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis
diantara
Semuadiantara
Pasien
Adalah
prosentase
pasien
Tuberkulosis
paru
terkonfirmasi
bakteriologis
diantara
semua
pasien
Tuberkulosis
paru
tercatat
(bakteriologis
dan
klinis).
Indikator
ini
TB Paru Tercatat/diobati
semua
pasien
Tuberkulosis
paru
tercatat
(bakteriologis
dan
klinis).
Indikator
ini
menggambarkan
prioritas
penemuan
pasien
Tuberkulosis
yang
menular
diantara
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara
menggambarkan
prioritas
penemuan
pasien
Tuberkulosis
yang
menular
diantara
seluruh
semua pasien
pasien Tuberkulosis
Tuberkulosisyang
parudiobati.
tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini
seluruh
pasien
Tuberkulosis
yang
diobati.
menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara
Rumus:
seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
x 100%
Jumlah pasien
TBseluruh
Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis
Jumlah
pasien TB Paru
Rumus:
x 100%
Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi
Jumlah
pasien TB Paru
Jumlah pasien
TB seluruh
Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
Bakteriologis
x 100%
x 100%
Angka ini minimalJumlah
70%.
Bila
angka
ini jauh
lebih
Jumlah
seluruh
pasien
TBTB
Paru
seluruh
pasien
Parurendah, berarti diagnosis kurang
Angka ini minimal
70%.
Bilamenemukan
angka ini jauh
lebih
rendah,
berarti diagnosis kurang
memberikan
prioritas
untuk
pasien
yang
menular.
memberikan
prioritas
untuk
menemukan
pasien
yang
menular.
Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang
Proporsi
pasien
TB Anak
seluruh
pasien
memberikan
prioritas
untuk diantara
menemukan
pasien
yang TB
menular.
Proporsi
pasien
TB
Anak
diantara
seluruh
pasien
TB diobati diantara seluruh
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang
Adalah TB
prosentase
TB anakseluruh
(0-14 tahun)
pasien
yang diobati.
Proporsi
pasien
TBpasien
Anak diantara
pasien yang
TB diobati diantara seluruh
pasien
TB
yang
diobati.
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh
Rumus:
pasien TB yang diobati.
Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)
Rumus:
yangAnak
diobati
Jumlah pasien TB
(0 - 14 thn) yg diobati
x 100%
x 100%
Jumlah
seluruh
pasien
TB
yang
diobati
Jumlah
pasien
TB
Anak
(0
14
thn)
yg
diobati
Jumlah
seluruh
pasien
TB
yg
diobati
Rumus:
x 100%
Jumlah
seluruh
pasien
yg diobati
Jumlah
pasien
TB Anak
(0 - TB
14 thn)
yg diobati
x 100%
Angka ini dianalisis
dengan
memperhatikan
berbagai
Jumlah
seluruh
pasien TB yg
diobati aspek. Angka indikator ini
Angka ini dianalisis
memperhatikan
ini
diharapkan
berkisar dengan
8 12%
pada wilayahberbagai
dimana aspek.
seluruhAngka
kasusindikator
TB Anak
diharapkan
berkisar
8
12%
pada
wilayah
dimana
seluruh
kasus
TB
Anak
ternotifikasi.
Pada
kondisi
dimana
pencatatan
dan
pelaporan
berjalan
dengan
baik,
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini
ternotifikasi.
Pada kondisi
pencatatan
pelaporan
berjalan
dengan
baik,
angka
ini menggambarkan
overpada
atau wilayah
under dan
diagnosis,
serta
rendahnya
diharapkan
berkisar
8 dimana
12%
dimana
seluruh
kasus
TB angka
Anak
angka
ini
menggambarkan
over
atau
under
diagnosis,
serta
rendahnya
angka
penularan
TB
pada
anak.
Bila
angka
indikator
ini
kurang
atau
melebihi
kisaran
yang
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,
penularan
padaperlu
anak.diperiksa
Bilaover
angka
indikator
inidiagnosis,
kurang
melebihi
kisaranangka
yang
diharapkan,
maka
prosedur
diagnosis
TBatau
Anak
di rendahnya
fasyankes.
angka
ini TB
menggambarkan
atau
under
serta
diharapkan,
maka
perlu
diperiksa
prosedur
diagnosis
TB
Anak
di
fasyankes.
penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang
Angka
Penemuan
Kasus
(Case Detection
Rate = CDR)
diharapkan,
maka perlu
diperiksa
prosedur diagnosis
TB Anak di fasyankes.
Angka Penemuan
Detection
Rate
= CDR)
Adalah
prosentaseKasus
jumlah(Case
pasien
baru TB
Paru
BTA positif yang ditemukan
Adalah Penemuan
prosentase
jumlah
pasien
baruBTA
TB
Paru
BTA diperkirakan
positif yang ada
ditemukan
dibanding
jumlah pasien
baru
TBDetection
Paru
positif
yang
dalam
Angka
Kasus
(Case
Rate
= CDR)
dibanding
jumlah
pasien
baru
TB
Paru
BTA
positif
yang
diperkirakan
ada
dalam
126
Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan
126
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
126
BAB XIII
7)
7)
7)
8)
8)
8)
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
usaha yang
lebih
detail
dalam
upaya
Proporsi
tinggi
dari
pasien
TB pencegahan.
yangHal
mengetahui
status HIVnya
menyajikan
pasien TByang
untuk
kepentingan
surveilans.
ini juga menjadi
dasar untuk
bentuk
estimasi
yang
cukup
kuat
tentang
angka
sesungguhnya
prevalensi
HIV
diantara
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.
Proporsi
yang dites
HIV dan hasil
tesnya
Positif dasar untuk bentuk
pasien TBpasien
untuk TB
kepentingan
surveilans.
Hal ini
juga menjadi
Adalah
persentase
pasien
TB
yang
di
tes
HIV
dengan
hasil
tes positif . Indikator ini
usaha
yang
lebih detail
dalam
upaya
Proporsi
pasien
TB yang
dites
HIV pencegahan.
dan hasil tesnya Positif
menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
Proporsi
pasien besarnya
TB yang dites
HIV dan hasil
menggambarkan
permasalahan
HIV ditesnya
antaraPositif
pasien TB.
Rumus:
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
Jumlah pasien
TB yang
terdaftar yang
hasil
tes
menggambarkan
besarnya
permasalahan
HIV mempunyai
di antara pasien
TB.
Rumus:
HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)
x 100%
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV
Rumus:
HIV Jumlah
positifpasien
(sebelum
selama
pengobatan TB)
TB yang dan
terdaftar
yang mempunyai
(sebelum
dan
selama
pengobatan
TB)
x 100%
Jumlah
pasien
terdaftar
yang
mempunyai
tes
hasil
tes HIVTB
positif
(sebelum
dan selama
pengobatan
TB) xhasil
Jumlah
pasien
TByang
yang
terdaftar
yang
melakukan
tes
HIV
100%
Jumlah pasien
TB yangdan
terdaftar
yang melakukan
HIV positif
(sebelum
selama
pengobatan
TB)
(sebelum
dandan
selama
pengobatan
x 100%
tes
HIV
(sebelum
selama pengobatan
TB) TB) dapat saja menunjukkan
Proposi
yang
relatif
tinggi
dari
proporsi
rata-rata
nasional
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV
prevalensi HIV diantara
pasien
TB yang
sebenarnya
tinggi ada di daerah
(sebelum
dan proporsi
selama
pengobatan
TB)lebih
Proposi yang relatif
tinggi dari
rata-rata nasional
dapat saja menunjukkan
tertentu.
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Proposi
tertentu. yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
Angka
Konversi
(Conversion
prevalensi
HIV diantara
pasienRate)
TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Angka
konversi
adalah
prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
tertentu.
Angka Konversi (Conversion Rate)
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
masa
pengobatan
tahap awal. Rate)
Angka
Konversi
Bakteriologis
yang(Conversion
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Program
pengendalian
TB di
Indonesia masih
indikator
ini karena
Angka
konversi tahap
adalah
prosentase
pasienmenggunakan
baru TB Paru
Terkonfirmasi
masa pengobatan
awal.
berguna
untuk
mengetahui
secara
cepat
hasil
pengobatan
dan
untuk
mengetahui
Bakteriologis
yang mengalami
perubahanmasih
menjadi
BTA negatifindikator
setelah ini
menjalani
Program pengendalian
TB di Indonesia
menggunakan
karena
apakah
pengawasan
langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
masa
pengobatan
tahap
awal.
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Program
pengendalian
TB di Indonesia
masih
menggunakan
indikator ini karena
apakah pengawasan
langsung
menelan obat
dilakukan
dengan benar.
Rumus:
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Jumlah pasien langsung
baru TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yg
apakah
menelan
obat dilakukan
dengan benar.
Rumus:pengawasan
Jumlah
pasien
baru
TB
Paru
Terkonfirmasi
Baketeriologis
hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
x 100%
yang hasilbaru
pemeriksaan
BTATerkonfirmasi
akhir tahap awal negatif
Jumlah pasien
TB Paru
Bakteriologis
yg
x 100% yg
Jumlah
pasien
baru
TB
ParuTerkonfirmasi
Terkonfirmasi
Bakteriologis
Rumus: hasil
Jumlah
pasien
baru
TB
Paru
Baketeriologis
pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
yangdiobati
diobati
x 100%
Jumlah
Jumlah pasien
pasien baru
baru TB
TB Paru
Paru Terkonfirmasi
Terkonfirmasi Bakteriologis
Bakteriologis yg
yg
hasil pemeriksaan BTA
akhir
tahap
awal
negatif
diobati
x 100%
Di fasyankes,
indikator
ini dapat
dihitung
dari kartu pasien
TB.01, yaitu
Jumlah pasien
baru
TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yg dengan cara
mereview seluruh kartu pasien diobati
baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
yang
hasil pemeriksaan
negatif,
pengobatan
tahapyaitu
awal (2 bulan/
3
Di
fasyankes,
inidahak
dapatsebelumnya,
dihitungsetelah
dari kemudian
kartu
pasien
TB.01,
cara
mulai
berobat indikator
dalam 3-6
bulan
dihitung
berapadengan
diantaranya
bulan).
Di
tingkat
kabupaten,
propinsi
dan
pusat,
angka
ini
dengan
mudah
dapat
mereview
kartu dahak
pasiennegatif,
baru TB
Parupengobatan
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang
yang hasil seluruh
pemeriksaan
setelah
tahap
awal (2 bulan/
3
dihitung
dari laporan
TB.11.
Angka
minimal yang
harusdihitung
dicapai adalah
80%.
mulai
berobat
dalam
3-6
bulan
sebelumnya,
kemudian
berapa
diantaranya
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
yang
hasil
pemeriksaan
dahak
negatif,
setelah
pengobatan
tahap
awal80%.
(2 bulan/ 3
dihitung
dari
laporan TB.11.
Angka
minimal
yang
harus dicapai
adalah
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
128
128
128
128
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
an
ara
tuk
ini
kan
ah
asi
ani
ena
hui
ara
ng
nya
/3
pat
128
129
129
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
129
130
130
130
130
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Rumus:
Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan
Rumus:
Rumus:
x 100%
Jumlah
Anak
yang mendapatkan
PP INH6 bulan
Jumlah
yg
menyelesaikan
PP
INH
selama
Rumus:
Jumlah Anak
Anak
yg
menyelesaikan
PP
INH
selama
6
bulan
Jumlah anak yang menyelesaikan
x
x 100%
100%
Anak
yang
PP
PP
INH selama
6 bulanPP INH selama
JumlahJumlah
Anak yg
menyelesaikan
6 bulan
x 100%
Jumlah
Anak
yang mendapatkan
mendapatkan
PP INH
INH
x
100%
Angka ini menggambarkan
proporsi
anakPPyang
terlindungi dari kejadian sakit TB
Jumlah anak
yang
mendapatkan
INH PP
Jumlah
Anak
yang
mendapatkan
INH
dari
anak
yang
terpapar
dan
terinfeksi
TB
termasuk
anak dengan
HIV Positif.
Angka
Angka ini
ini menggambarkan
menggambarkan proporsi
proporsi anak
anak yang
yang terlindungi
terlindungi dari
dari kejadian
kejadian sakit
sakit TB
TB
Angka
indikator
ini
diharapkan
sebesar
100%.
Apabila
kurang
dari
angka
yang
dari
anak
yang
terpapar
dan
terinfeksi
TB
termasuk
anak
dengan
HIV
Positif.
Angka
ini
menggambarkan
proporsi
anak
yang
terlindungi
dari
kejadian
sakit
TB
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
diharapkan
makainiperlu
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PPkurang
INH. dari angka yang
Angka
indikator
sebesar
100%.
Apabila
dari
anak
yang terpapar
dan terinfeksi
termasuk
dengan
HIV Positif.
Angka
indikator
ini diharapkan
diharapkan
sebesar TB
100%.
Apabilaanak
kurang
dari angka
yang
diharapkan
maka
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PP
INH.
Angka
indikator
diharapkan
sebesar
100%.
Apabila
diharapkan
makainiperlu
perlu
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PPkurang
INH. dari angka yang
13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
Adalah persentase
pasien TBHIV
dengan status
HIV positif yang
menerima PPK.
13)
13) Proporsi
Proporsi pasien
pasien TB
TB dengan
dengan HIV positif
positif yang
yang menerima
menerima PPK
PPK
Indikator
ini
menggambarkan
komitmen
dan
kemampuan
pelaksanaan
program
TB
dengan
positif
13) Adalah
Proporsi
pasien TBpasien
dengan
positifstatus
yangHIV
menerima
PPK menerima
Adalah persentase
persentase
pasien
TBHIV
dengan
status
HIV
positif yang
yang
menerima PPK.
PPK.
TB-HIV dalam
pemberian PPKkomitmen
kepada pasien
TB yang terinfeksi
HIV. program
Indikator
ini
dan
Adalah
pasien TBkomitmen
dengan status
HIV positif pelaksanaan
yang
menerima
PPK.
Indikatorpersentase
ini menggambarkan
menggambarkan
dan kemampuan
kemampuan
pelaksanaan
program
TB-HIV
pemberian
kepada
TB
HIV.
Indikator
ini menggambarkan
dan kemampuan
pelaksanaan
TB-HIV dalam
dalam
pemberian PPK
PPKkomitmen
kepada pasien
pasien
TB yang
yang terinfeksi
terinfeksi
HIV. program
Rumus:
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Rumus:
Rumus:
selama
pengobatan
TB menerima PPK
x 100%
Jumlah
TB
dengan
HIV
yang
Rumus:
Jumlah pasien
pasien
TB
dengan
HIV positif
positif
yang
menerima PPK
Jumlah
pasien
TB dengan
HIV
positif
yang
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV
positif
pengobatan
TB
x
Jumlah pasien
TBselama
dengan
HIVpengobatan
positif yang
selama
pengobatan
TBTB menerima
x 100%
100%
menerima
PPK selama
x 100%PPK
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV
positif
TB positif
x 100%
Jumlah selama
pasien
TBpengobatan
dengan
HIV positif
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV
14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
Adalah persentase
pasien TBHIV
dengan status
HIV positif yang
menerima ART.
14)
Proporsi
pasien
14) Proporsi pasien TB
TB dengan
dengan HIV positif
positif yang
yang mendapat
mendapat ART
ART
Indikator ini menggambarkan
komitmen
dan kemampuan
layanan TB untuk
TB
dengan
positif
14) Adalah
Proporsi
pasien TBpasien
dengan
positifstatus
yangHIV
mendapat
ART menerima
Adalah persentase
persentase
pasien
TBHIV
dengan
status
HIV
positif yang
yang
menerima ART.
ART.
memastikan
pasien
TB
dengan
HIV
positif
dapat
mengakses
pengobatan
ARV.
Indikator
ini
komitmen
dan
kemampuan
layanan
TB
Adalah
pasien TB dengan
status
positif yang
menerima
ART.
Indikatorpersentase
ini menggambarkan
menggambarkan
komitmen
dan HIV
kemampuan
layanan
TB untuk
untuk
memastikan
TB
HIV
mengakses
Indikator
ini pasien
menggambarkan
dan kemampuan
layanan TBARV.
untuk
memastikan
pasien
TB dengan
dengan komitmen
HIV positif
positif dapat
dapat
mengakses pengobatan
pengobatan
ARV.
Rumus:
memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima
Rumus:
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
pengobatan
(baru memulai
atauyang
melanjutkan
menerimaARV
pengobatan
ARV
(baru memulai
TB
HIV
menerima
Rumus:Jumlah
Jumlah pasien
pasien
TB dengan
dengan
HIV positif
positif
x 100%
atau melanjutkan
pengobatan
ARV)yang menerima
x 100%
pengobatan
ARV)
pengobatan
ARV
(baru
memulai
atau
melanjutkan
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV HIV
positif
menerima
pengobatan
(baru
memulai
atauyang
melanjutkan
JumlahARV
pasien
TB dengan
positif
x
x 100%
100%
Jumlah pasien TB dengan
HIV positif
ARV)
pengobatan ARVpengobatan
(baru memulai
atau melanjutkan
pengobatan
ARV)
x
100%
Jumlah
TB
pengobatan
ARV)HIV
Jumlah pasien
pasien
TB dengan
dengan
HIV positif
positif
15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
Uji Silang untuk Pemeriksaan
Mikroskopis (Pemantapan Mutu Eksternal)
15)
15) Proporsi
Proporsi Laboratorium
Laboratorium yang
yang Mengikuti
Mengikuti PME
PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Adalah
persentase
laboratorium
yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh
untuk
Mikroskopis
15) Uji
Proporsi
yang Mengikuti
PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Uji Silang
SilangLaboratorium
untuk Pemeriksaan
Pemeriksaan
Mikroskopis
laboratorium
mikroskopis
TB yang
ada di seluruhPME
wilayah.Silang diantara seluruh
Adalah
persentase
laboratorium
yang
Uji
Silang
untuk Pemeriksaan
Adalah
persentase
laboratorium Mikroskopis
yang mengikuti
mengikuti PME Uji
Uji Silang diantara seluruh
Laboratorium
mikroskopis
TB
terdiri
dari
PRM,
PPM,
Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
laboratorium
mikroskopis
TB
ada
di
wilayah.
Adalah
persentase
laboratorium
yang
Uji Silang diantara seluruh
laboratorium
mikroskopis
TB yang
yang
adamengikuti
di seluruh
seluruhPME
wilayah.
BBKPM, BLK,mikroskopis
BBLK, dan Laboratorium
Klinik Swasta.
Laboratorium
TB
terdiri
dari
PPM,
Rumah
laboratorium
ada
di PRM,
seluruh
wilayah.
Laboratoriummikroskopis
mikroskopisTB
TByang
terdiri
dari
PRM,
PPM,
Rumah Sakit,
Sakit, BP4/
BP4/ BKPM/
BKPM/
BBKPM,
BLK,
BBLK,
dan
Laboratorium
Klinik
Swasta.
Laboratorium
mikroskopis
TB
terdiri
dari
PRM,
PPM,
Rumah
Sakit,
BP4/
BKPM/
BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.
Rumus:
Jumlah
labdan
mikroskopis
yang mengikuti
BBKPM, BLK,
BBLK,
Laboratorium
Klinik Swasta.
PME Ujiyang
Silang
Jumlah lab mikroskopis
mengikuti PME Uji
Silang
x 100%
Rumus:
Rumus:
x 100%
Jumlah seluruh
lablab
mikroskopis
TB
Jumlah
seluruh
mikroskopis
TB
Jumlah
Rumus:
Jumlah lab
lab mikroskopis
mikroskopis yang
yang mengikuti
mengikuti PME
PME Uji
Uji Silang
Silang
x
x 100%
100%
Jumlah
seluruh
lab
TB
Jumlah lab
mikroskopis
mengikuti PME
Jumlah
seluruhyang
lab mikroskopis
mikroskopis
TB Uji Silang
x
100%
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
131
Angka
minimal
Angka minimal yang
yang harus
harus dicapai
dicapai adalah
adalah 90%.
90%.
131
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
131
131
BAB XIII
131
kesalahan bila:
Interpretasi
berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat
Terdapatdari
PPTsuatu
atau laboratorium
NPT
kesalahan
bila:
Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding
periode
Terdapat sebelumnya
PPT atau NPT
atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua
fasyankes
Laboratorium
menunjukkan
tren peningkatan
di tersebut
kabupaten/kota
tersebut,
atau bila kesalahan
kesalahan kecil
kecildibanding
terjadi
periode
sebelumnya
atau
kesalahannya
lebih
tinggi
dari
rata-rata
semua
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
fasyankes
tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi
Bila
terdapatdi3 kabupaten/kota
NPR.
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
Bila terdapat
NPR.
Kinerja
setiap 3laboratorium
harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun
kecillebih
beberapa
kali dalam
jumlah yang
signifikan
kabupaten/kota
tersebut,
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
Memiliki
kesalahan
kecil beberapa
jumlah yangkualitas
signifikanpemeriksaan
hasil
interpretasi
setiap
triwulan kali
dandalam
meningkatkan
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
laboratorium.
hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan
17)laboratorium.
Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun
Jumlah Laboratorium
dengan
Frekuensiyang
Partisipasi
4 kali
per
dibandingkan
dengan jumlah
laboratorium
mengikuti
PME
UjiTahun
Silang.
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun
dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.
Rumus:
17)
18)
18)
x 100%
x 100%
Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan
Angka minimal
yang
harus dicapai
adalah 90%.
laboratorium
dalam
mengikuti
uji silang.
Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan
laboratorium
dalam
silang.
Proporsi
pasien
TBmengikuti
RR/MDRuji
yang
terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
133
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi
dalam 1 tahun
Jumlah pasien TB RR/MDR
yang terkonfirmasix dalam
100% 1
Jumlah perkiraan kasustahun
TB RR/MDR di wilayah
tersebut dalam 1 tahun
Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut
dalam 1 tahun
x 100%
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan
Jumlah pasien
TB RR/MDR
yang
uji
pemeriksa
uji kepekaan
OATdilakukan
lini kedua pemeriksaan
x 100%
kepekaan
OAT
liniditemukan
kedua
Jumlah kasus
TB RR/MDR
yang
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.
Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur
diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB
XDR/Pra XDR.
20)
Rumus:
134
Jumlahpasien
pasien TB
yang
diobati
Jumlah
TBRR/MDR
RR/MDR
yang
diobatix 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
x 100%
134
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
DR.
an
TB
TB
asi
kan
an
sus
aan
an
lur
TB
DR
134
34
Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
Jumlah
pasien
RR/MDR
TB.06 MDR
danTB
TB.01
MDR.yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.
Angka
minimal
yang harus
dicapai
adalah
100%. alat ukur keberhasilan upaya
Indikator
ini dihitung
setiap
triwulan
sebagai
Indikator
ini semua
dihitung
setiap
alat ukurdiobati
keberhasilan
memastikan
pasien
TBtriwulan
RR/MDRsebagai
yang ditemukan
sehingga upaya
rantai
memastikan
semua
pasien
TB
RR/MDR
yang
ditemukan
diobati
sehingga
rantai
penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas
penularan
bisa
diputus.
Pencapaian
targetmaupun
ini sangat
tergantung pada efektifitas
kegiatan KIE
yang
dilakukan
di fasyankes
masyarakat.
kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.
21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate
21) Angka
pengobatanTB
TBRR/MDR
RR/MDRadalah
atau Treatment
Rate
Adalah keberhasilan
Keberhasilan Pengobatan
angka yangSuccess
menunjukkan
Adalah
Keberhasilan
Pengobatan
RR/MDR
adalah angka
yang menunjukkan
persentase
pasien TB
RR/MDR TB
yang
menyelesaikan
pengobatan
(baik yang
persentase
pasien pengobatan
TB RR/MDRlengkap)
yang menyelesaikan
pengobatan
(baik yang
sembuh maupun
diantara pasien
TB RR/MDR
sembuh
maupun demikian
pengobatan
lengkap)
diantara pasien
TB RR/MDR
yang
diobati. Dengan
angka
ini merupakan
penjumlahan
dari angka
diobati.
Dengan
demikian
angka ini
merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan
dan angka
pengobatan
lengkap.
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Rumus:
Rumus:
Jumlah
pasien
TB RR/MDR
pengobatan
Jumlah
pasien
TB RR/MDRyang
yang menyelesaikan
menyelesaikan
Jumlah pasien
TB (sembuh+pengobatan
RR/MDR
yang menyelesaikan
pengobatan
(sembuh
+ pengobatan
lengkap)x 100%
x 100%
pengobatan
lengkap)
(sembuh
+
pengobatan
lengkap)
x
100%
Jumlah
pasien
TB
RR/MDR
yang
diobati
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis
3. Supervisi
Pengendalian
Tuberkulosis
Supervisi Program
TB bertujuan
meningkatkan
kinerja petugas, melalui suatu proses yang
Supervisi
bertujuan
meningkatkan
kinerja petugas,
suatu proses
yang
sistematis TB
untuk
meningkatkan
pengetahuan
petugas, melalui
meningkatkan
ketrampilan
sistematis
untuk
meningkatkan
pengetahuan
petugas,
meningkatkan
ketrampilan
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:
Hal-hal
yang dilakukan selama supervisi adalah:
Observasi
Observasi
Diskusi
Diskusi
Bantuan teknis
Bantuan
teknis mendiskusikan permasalahan yang ditemukan
Bersama-sama
Bersama-sama
mendiskusikan
permasalahan
yang ditemukan
Mencari pemecahan
permasalahan
bersama-sama,
dan
Mencari
pemecahan
permasalahan
bersama-sama,
dan
Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
Memberikan
perbaikan. laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
perbaikan.
Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk
Supervisi
merupakan
kegiatanstandar
monitoring
langsung
dantraining.
kegiatan
pembinaan
untuk
mempertahankan
kompetensi
melalui
on the job
Supervisi
juga dapat
mempertahankan
kompetensi
standar
melalui
on theuntuk
job training.
dapat
dimanfaatkan sebagai
evaluasi
pasca
pelatihan
bahan Supervisi
masukan juga
perbaikan
dimanfaatkan
evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan
pelatihan yang sebagai
akan datang.
pelatihan yang akan datang.
135
135
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
135
Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena
dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu
diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.
Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisi
dilakukan, supervisor haruslah
mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi
sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan
tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.
Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan
Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.
a. Perencanaan Supervisi
Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,
sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan
didalam perencanaan supervisi adalah:
1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk
laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali, dan
Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:
Pelatihan baru selesai dilaksanakan.
Pada tahap awal pelaksanaan program.
Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.
b. Persiapan supervisi
Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:
1) Penyusunan jadual kegiatan.
2) Pengumpulan informasi pendukung.
3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.
4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
5) Menyusun kerangka laporan.
c. Pelaksanaan supervisi.
Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:
1) Kepribadian supervisor:
Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.
136
136
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
137
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
139
140
140
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIV
BAB
XIV
PERENCANAAN
DAN
PENGANGGARAN
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun
rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang
akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana
adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat
berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari
perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini
saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan
koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.
Perencanaan yang baik adalah:
1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan
program
2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.
3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya
4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja
atau rencana operasional yang lebih rinci.
5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting
yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.
Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka
pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah
ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu
yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.
Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan.
2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target
indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana
aksi di daerah
3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi
untuk menghindari duplikasi anggaran
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
137
141
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
139
143
Pemerintah juga tetap bertanggung jawab dalam pembiayaan kebutuhan sarana UKP
tertentu misalnya OAT, reagensia dan lain, karena barang-barang tersebut langsung terkait
dengan upaya mempercepat diagnosis dan pengobatan TB. Selain itu tentunya terlalu
riskan dari sisi kualitas dan kuantitas untuk menyerahkan komponen pembiayaan tadi ke
masing-masing UKP. Komponen kegiatan kegiatan UKP lainnya baik di strata 1, strata 2
dan strata 3 akan dibiayai langsung oleh komponen pembiayaan UKP yang sejak tanggal 1
Januari 2014 merupakan tanggung jawab BPJS Kesehatan sebagai Badan pelaksana
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN).
Upaya keseluruhan pada butir-butir yang telah dibahas diatas adalah saling berhubungan
(saling berkaitan, saling berpengaruh, saling bergantung) satu sama lain, diselengarakan
dalam satu daerah (kabupaten/kota merupakan unit management dasar) dalam satu sistem
kesehatan daerah. Keseluruhan stakeholders dalam sistem kesehatan tersebut dapat dilihat
pada bagan di bawah ini.
Gambar 16: Upaya Kesehatan Perorangan/Rumah Sakit dan Berbagai Stakeholder dan L
ingkungan-Strateginya.
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
141
145
146
142
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang
bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor
dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
143
147
148
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS