Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di
berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga
Oceania. Penyakit ini juga masih tergolong endemik di negara-negara yang
sedang berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis, seperti
Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. 1,2
Penyakit infeksi yang ditularkan melalui makanan dan minuman ini
disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia sangat ukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunya
gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Pada tahun 2010 kasus demam tifoid
berkisar 13,5 juta kasus di seluruh dunia berdasarkan dari berbagai studi data
dan sebesar 57,7% terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun dan 42,3% di atas
5 tahun.2 Setiap tahunnya pula 7 juta kasus terjadi di Asia Tenggara dan
hingga saat ini penyakit demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan di
negara-negara tropis seperti Indonesia.1
Insidensi demam tifoid di Indonesia antara 354-810 per 100.000
penduduk per tahun, dengan angka mortalitas 2-3,5%. Kasus ini tersebar
secara merata di seluruh propinsi di Indonesia dengan insidensi di daerah
pedesaan 358 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan
760 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 1,5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
tahun pada 91% kasus.1 Insidensi tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak dan terbanyak terjadi pada kelompok umur 5 tahun atau lebih.1,6
Demam tifoid dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang
wabah termasuk penyakit menular. Hasil Surveilans Departemen Kesehatan
1
memberikan
informasi
ilmiah
mengenai
definisi,
etiologi,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SALMONELLA TYPHI
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram
negatif,
mempunyai
flagela,
berkapsul,
tidak
membentuk
spora,
Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Di kota Semarang pada
tahun 2009, mencapai 7.965 kasus. Demam tifoid lebih sering menyerang
anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan WHO 2003, insidensi demam tifoid
pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus
pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.11,18
Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan
rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Di daerah
endemik transmisi terjadi melalui air ataupun makanan yang tercemar.
Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang
paling sering di daerah nonendemik. Demam tifoid ditularkan melalui oralfekal (makanan, kotoran, muntahan, atau urin), maka pencegahan utama
dengan cara memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan kebersihan
perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan dan
penyediaan air bersih.12,13
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica,
terutama serotipe Salmonella typhi (S. typhi) yang memasuki tubuh
penderita melalui saluran pencernaan. Ada 2 sumber penularan penyakit
ini yaitu pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering adalah
dari carrier yaitu orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam feses dan urin selama lebih dari satu tahun.
Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung S. typhi di dalam
kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam
tifoid kelak akan menjadi carrier sementara, sedang 2% yang lain akan
menjadi carrier yang menahun.7
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia
sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi S. typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. S. typhi yang berada di luar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu,
atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Kuman ini mudah mati
pada klorisasi dan pasteurinisasi (63C).7
6
4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti
ingesti organisme yaitu: 1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch,
2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch,
nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstraintestinal sistem
retikuloendotelial, 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.3
Bakteri S. typhi masuk melalui mulut, biasanya bersama makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Pada saat melewati lambung dengan
suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Untuk diketahui, jumlah
kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 10 5
dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang
menurun seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis
reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah
besar.3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Setelah
berhasil melewati usus halus, bakteri masuk ke kelenjar getah bening, ke
pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu,
dan lain-lain). Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan
diekskresi dalam feses. Faktor host yang ikut berperan dalam resistensi
terhadap infeksi S. typhi adalah keasaman lambung, flora normal usus dan
daya tahan usus.14
Asam lambung (HCL) dalam lambung berperan sebagai penghambat
masuknya bakteri S. typhi dan bakteri usus lainnya. Jika S. typhi masuk
bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi
daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit yang masuk.
Daya hambat hidroklorida (HCL) ini akan menurun pada waktu terjadi
pengosongan lambung, sehingga S. typhi dapat masuk ke dalam usus
penderita. Di usus halus bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
7
luas pada jaringan limfe usus halus sehingga gejala-gejala klinik menjadi
jelas.3
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin S. typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus
dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.3
Demam tifoid merupakan salah satu bakteremia yang disertai oleh
infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai macam organ
mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk
darah, terutama jaringan limfoid usus halus, kelenjar limfe abdomen, limpa
dan sumsum tulang.14 Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid
terjadi nekrosis superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri oleh
hiperplasia sel limfoid. Pada minggu ketiga timbul ulkus yang berbentuk
bulat atau lonjong tidak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar
dengan sumbu usus akibat mukosa yang nekrotik. Pada umumnya ulkus
tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus
dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa. Akibat terjadinya ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi
atau juga perforasi dari usus.13,14,15
Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi
merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada
penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam
tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat
akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya
perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi
yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan
dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi. Pada stadium akhir dari
9
difagositosis oleh
makrofag,
bakteri dapat hidup dan
bereplikasi di dalamnya
dibawa ke Peyers patch
ileum distal sampai ke kel.
limfe mesenterika
sirkulasi sistemik
(bakteremia I yang sifatnya
asimtomatik)
mencapai organ manapun
terutama organ RES (hati, limpa,
sumsum tulang, kandung
empedu, Peyers patch ileum
terminal)
meninggalkan makrofag dan
berkembang biak di ekstraselular
atau sinusoid
kembali masuk ke
sirkulasi sistemik
(bakterimia II)
10
ekskresi empedu ke
dalam lumen usus
tanda-tanda dan
gejala infeksi
sistemik
feses
hiperplasia Peyers
patch dan nekrosis
superfisial
ulkus yang berbentuk
bulat dan lonjong
tidak teratur
ulkus dapat menembus
dinding otot usus dan
membran serosa
perdarahan hebat
perforasi usus
11
5. Manifestasi Klinis
a. Masa Inkubasi
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari,
dengan rata-rata antara 10-14 hari. Pada awal penyakit keluhan dan
gejala penyakit tidaklah khas, berupa anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
lidah kotor, gangguan saluran pencernaan.7
b. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu
pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti
demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39C hingga 40C, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan
nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin
cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung, dan diare atau
sembelit secara bergantian. Pada akhir minggu pertama, diare lebih
sering terjadi.7
Tanda khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan
ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh
penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika
penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam
dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakitpenyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari
ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang
dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm,
berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau
dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang
berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba
dan abdomen mengalami distensi.7
c. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian
12
meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua
suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi. Suhu badan
yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari. Terjadi
perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septikemia semakin berat
yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah
mengkilat, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare
yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.7
d. Minggu Ketiga
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsung-angsur turun dan
normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi
atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi,
akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda
khas berupa delirium atau stupor, inkontinensia alvi dan inkontinensia
urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen
sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan.7
e. Minggu Keempat
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun
pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau
tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi
ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang
13
14
c) Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran
peradangan sampai hepatitis akut.8
d) Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di dalam
darah) terhadap antigen kuman S. typhi (reagen). Uji ini masih sering
digunakan dan masih sering diminta terutama di negara dimana
penyakit ini menjadi endemis seperti di Indonesia karena hasilnya dapat
segera diketahui (rapid test). Hasil positif dinyatakan dengan adanya
reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi
penderita yang disebut aglutinin (febrile agglutinin). Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspense bakteri Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin/antibodi dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri),
antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen
Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella paratyphi A dan B). Antigen
O meningkat setelah akhir minggu atau muncul pada hari ke 6-8 dan
antibodi H muncul pada hari ke 10-12.8
Uji Widal untuk diagnosis demam tifoid/paratifoid dianggap
positif apabila didapatkan titer 1/160 atau terjadi peningkatan sebanyak
4x. Dari keempat aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.8
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti oleh aglutinin H. Pada penderita yang sudah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin
H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.8
15
reumatoid
(RF),
5)
faktor
teknik
pemeriksaan
antara
antibodi/immunocompromissed,
3)
pemberian
ini
mendeteksi
antibodi
IgM
terhadap
antigen
17
2) Volume darah yang kurang (< 5 cc darah). Bila volume darah yang
dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bed side langsung dimasukkan ke
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman. Darah
yang tidak segera dimasukan ke dalam medial gall darah akan
membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan.
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi
meningkat (minggu pertama).
Pada biakan feses yang perlu dicari adalah fecal monocyte sebagai
respon dari usus yang mengalami reaksi dengan bakteri Salmonella
yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya
bermanfaat bagi carrier tifoid.8
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui
karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara
2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari).
Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/carrier digunakan urin dan tinja.8 Oleh
karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya
diambil pada minggu pertama atau awal minggu kedua setelah
timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 8090% dan kuman hampir pasti didapatkan di seluruh organ dan jaringan
tubuh, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotik.
Pada minggu ketiga kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% dan
minggu keempat hanya 10-15%.7
h) Biologi Molekular
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak
dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang
kemudian diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan
18
uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula.
Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh
lainnya serta jaringan biopsi.8
i) Radiologi
Bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan
diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau belum:8
- Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat
mungkin terjadi infeksi sekunder berupa pneumonia
- Foto polos abdomen, bila diduga sudah terjadi komplikasi intestinal
seperti perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi udara
yang tidak merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah
hepar, tanda- tanda udara bebas dalam cavum abdomen.
7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin disertai gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka
seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Namun,
pemeriksaan kuman melalui metode ini memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mendapatkan hasil pasti S. typhi.
a. Anamnesis
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan
terhadap demam tifoid:
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa
ke pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam
hari dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat
dingin, sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun,
disertai kejang atau tidak.
- Gejala gastrointestinal, diare (sejak kapan, frekuensi, ampas ada atau
tidak, konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender),
19
20
- Keadaan umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat
mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan
kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.
- Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda-tanda dehidrasi
yang mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu gejala yang dapat
terjadi pada infeksi demam tifoid. Tanda-tanda dehidrasi dapat
dinilai dari mata cowong dan bibir kering dengan rasa haus yang
meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan
tifoid tongue dengan pinggir yang hiperemis sampai tremor.
- Pemeriksaan thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan,
kecuali pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi
ekstraintestinal pada cavum pleura yang menyebabkan pleuritis,
namun sangat jaarang terjadi pada anak-anak.
- Pemeriksaan abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan
fisik pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh
kuman S. typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang
diselingi konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada saat
diare
maupun
saat
konstipasi.
Palpasi
organ
kemungkinan
21
biasanya
lebih
lama
dibandingkan
dengan
terapi
kloramfenikol.
d. Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone, cefotaxim, cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari kloramfenikol dan kotrimoksazol serta lebih sensitif
terhadap S. typhi. Seftriakson merupakan prototipnya dengan dosis
100 mg/kg/hari intravena dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan sefotaksim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan per
oral dapat diberikan sefiksim 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat S.
typhi setempat. Munculnya galur S. typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprim/ sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone.16
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.
25
Optimal therapy
Antibiotic
Daily
Days
dose
Chloramphenicol
(mg/kg)
50-75
14-21
e.g. ofloxacin or
Amoxicillin
75-100
14
Multidrug
ciprofloxacin
Fluoroquinolone
5-7
TMP-SMX
Azithromycin
8-40
8-10
14
7
resistance
Quinolone
or cefixime
15-20
Azithromycin or 8-10
7-14
7
Cefixime
Cefixime
15-20
20
7-14
7-14
resistance
ceftriaxone
10-14
Fully sensitive
(mg/kg)
15
dose
Fluoroquinolone
15
75
5-7
tidak
diberikan
pada
anak-anak
karena
dapat
26
terjadi pada kurang dari 4%. Kasus demam tifoid yang mengalami
relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien
dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang
berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2.16
Tabel 2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO 200316
Optimal therapy
Daily
Susceptibility
Fully sensitive
Antibiotic
Fluoroquinolone
dose
Days
(mg/kg)
15
10-14
e.g. ofloxacin
Multidrug
15
10-14
resistance
Ceftriaxone
resistance
cefotaxime
Chloramphenicol
Amoxicillin
Fluoroquinolone
Quinolone
Antibiotic
or
60
10-14
TMP-SMX
Ceftriaxone
or
dose
Days
(mg/kg)
100
14-21
100
14
8-40
60
14
10-14
cefotaxime
80
Fluoroquinolone
20
7-14
80
d) Terapi Penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,
koma
sampai
syok
dapat
diberikan
kortikosteroid
intravena
27
28
darah:
anemia
hemolitik,
trombositopenia,
endokarditis,
dan
pneumonia
dapat
mengakibatkan
BAB III
31
KESIMPULAN
1. Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di negara yang
sedang berkembang di Asia, termasuk Indonesia.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan tambahan dari laboratorium.
3. Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet lunak, dan antimikroba. Pada saat
ini, antibiotik dengan waktu penurunan demam cepat, pemberian praktis 1 kali
sehari selama 7 hari, dan efek samping minimal adalah levofloxacin.
4. Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian
terapi yang tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa
kuman (carrier), dan kemungkinan kematian.
5. Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari
makanan yang terkontaminasi, higiene perorangan, sanitasi yang baik, dan
pemberian vaksin sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
32
1.
2.
3.
4.
5.
Widodo, D. 2007. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV. Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1752-6.
6.
7.
8.
9.
33
34