You are on page 1of 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di
berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga
Oceania. Penyakit ini juga masih tergolong endemik di negara-negara yang
sedang berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis, seperti
Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. 1,2
Penyakit infeksi yang ditularkan melalui makanan dan minuman ini
disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia sangat ukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunya
gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Pada tahun 2010 kasus demam tifoid
berkisar 13,5 juta kasus di seluruh dunia berdasarkan dari berbagai studi data
dan sebesar 57,7% terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun dan 42,3% di atas
5 tahun.2 Setiap tahunnya pula 7 juta kasus terjadi di Asia Tenggara dan
hingga saat ini penyakit demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan di
negara-negara tropis seperti Indonesia.1
Insidensi demam tifoid di Indonesia antara 354-810 per 100.000
penduduk per tahun, dengan angka mortalitas 2-3,5%. Kasus ini tersebar
secara merata di seluruh propinsi di Indonesia dengan insidensi di daerah
pedesaan 358 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan
760 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 1,5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
tahun pada 91% kasus.1 Insidensi tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak dan terbanyak terjadi pada kelompok umur 5 tahun atau lebih.1,6
Demam tifoid dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang
wabah termasuk penyakit menular. Hasil Surveilans Departemen Kesehatan
1

RI melaporkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi demam tifoid dari


tahun 1990 yaitu 9,2 menjadi 15,4 per 10.000 penduduk pada tahun 1994, dan
di akhir tahun 2005 tercatat ada 25.270 kasus. Insidensi demam tifoid di tiap
daerah bervariasi sesuai dengan keadaan sanitasi lingkungan, di daerah rural
Jawa Barat ada 157 kasus dan urban 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidensi demam tifoid di daerah urban berhubungan dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan yang
kurang memenuhi syarat kesehatan antara lain sistem pembuangan sampah.5
Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan
urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air,
buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri
Salmonella typhi, seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan
siprofloksasin.1 Penularan demam tifoid terutama terjadi melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi tinja yang mengandung Salmonella sp.
Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara transplasental
dari ibu hamil yang berada dalam bakteremia pada bayinya. 3
Demam tifoid sekilas seperti penyakit ringan dengan gejala klinik tidak
khas. Gejala klinik demam tifoid yang timbul bervariasi dari asimtomatik
hingga disertai komplikasi. Gejala klinik demam tifoid pada minggu pertama
sakit yaitu berupa keluhan demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, serta perasaan tidak enak di perut, dan
dapat disertai batuk atau ditemukan adanya epistaksis. Manifestasi klinik
demam tifoid pada minggu kedua akan tampak semakin jelas.5
Oleh karena gejala klinik demam tifoid yang tidak khas, diperlukan
pemeriksaan laboratorium penunjang untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid. Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan bila ditemukan isolat
Salmonella typhi pada media kultur bahan pemeriksaan yang berasal dari
darah, aspirat sumsum tulang, feses, atau urin penderita. Kultur darah masih
digunakan sebagai standar baku emas karena prosedur pengambilan bahan
pemeriksaan darah relatif kurang invasif dibandingkan dengan aspirasi
sumsum tulang.5
2

Demam tifoid bila tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan


komplikasi seperti perdarahan intestinal, perforasi usus, trombositopenia,
koagulasi vaskular diseminata, hepatitis tifosa, miokarditis, pankreatitis
tifosa, hingga kematian.3,7 Tata laksana pada demam tifoid yang masih sering
digunakan adalah istirahat, perawatan, diet, terapi penunjang, serta pemberian
antibiotik.3,8
B. TUJUAN
Tujuan penulisan referat yang berjudul Demam Tifoid ini adalah
untuk

memberikan

informasi

ilmiah

mengenai

definisi,

etiologi,

epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, penatalaksanaan,


pencegahan, komplikasi, dan prognosis.
C. MANFAAT
1. Diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi kesehatan
dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang.
2. Diharapkan menjadi bahan pembelajaran yang baik mengenai Demam
Tifoid bagi mahasiswa kepaniteraan klinik RSUD. Prof. dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SALMONELLA TYPHI
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram
negatif,

mempunyai

flagela,

berkapsul,

tidak

membentuk

spora,

berkemampuan untuk invasi, bersifat anaerobik fakultatif, hidup dan


berkembang biak di dalam sel kariotik. Bakteri ini mudah tumbuh dalam
perbenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa atau sukrosa.
Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan
manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat hidup dalam air
beku untuk jangka waktu yang cukup lama. Salmonella typhi mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H),
antigen Vi, Outer Membrane Protein terutama porin (OMP), dan mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel dan dinamakan endotoksin.7
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh
bakteri. Struktur kimianya terdiri oligosakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100C selama 2-5 jam, alkohol dan asam yang encer.9
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae S.
typhi dan terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60C dan
pada pemberian alkohol atau asam.9
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang
melindungi bakteri dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan
rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60C, dengan pemberian
asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya carrier.9

4. Outer Membrane Protein (OMP)


Antigen OMP S. typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di
luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein
porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP,
terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran
hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya
resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein A dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan
jelas.9
B. DEMAM TIFOID
1. Definisi
Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh bakteri S. typhi ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih
dari satu minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran.10
Demam tifoid (termasuk paratifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella
paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya
lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S. typhi.3
2. Epidemiologi
Demam tifoid terjadi baik di negara tropis maupun negara subtropis,
terlebih pada negara berkembang. Besarnya angka kejadian demam tifoid
sulit ditentukan karena mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
luas. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003,
terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka
kematian mencapai 600.000 kasus. Di negara berkembang, kasus demam
tifoid dilaporkan 95% adalah rawat jalan. Di Indonesia terdapat 900.000
kasus dengan angka kematian sekitar 20.000 kasus. Menurut data Hasil
Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid
menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua umur.
5

Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Di kota Semarang pada
tahun 2009, mencapai 7.965 kasus. Demam tifoid lebih sering menyerang
anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan WHO 2003, insidensi demam tifoid
pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus
pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.11,18
Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan
rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Di daerah
endemik transmisi terjadi melalui air ataupun makanan yang tercemar.
Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang
paling sering di daerah nonendemik. Demam tifoid ditularkan melalui oralfekal (makanan, kotoran, muntahan, atau urin), maka pencegahan utama
dengan cara memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan kebersihan
perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan dan
penyediaan air bersih.12,13
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica,
terutama serotipe Salmonella typhi (S. typhi) yang memasuki tubuh
penderita melalui saluran pencernaan. Ada 2 sumber penularan penyakit
ini yaitu pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering adalah
dari carrier yaitu orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam feses dan urin selama lebih dari satu tahun.
Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung S. typhi di dalam
kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam
tifoid kelak akan menjadi carrier sementara, sedang 2% yang lain akan
menjadi carrier yang menahun.7
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia
sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi S. typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. S. typhi yang berada di luar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu,
atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Kuman ini mudah mati
pada klorisasi dan pasteurinisasi (63C).7
6

4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti
ingesti organisme yaitu: 1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch,
2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch,
nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstraintestinal sistem
retikuloendotelial, 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.3
Bakteri S. typhi masuk melalui mulut, biasanya bersama makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Pada saat melewati lambung dengan
suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Untuk diketahui, jumlah
kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 10 5
dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang
menurun seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis
reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah
besar.3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Setelah
berhasil melewati usus halus, bakteri masuk ke kelenjar getah bening, ke
pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu,
dan lain-lain). Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan
diekskresi dalam feses. Faktor host yang ikut berperan dalam resistensi
terhadap infeksi S. typhi adalah keasaman lambung, flora normal usus dan
daya tahan usus.14
Asam lambung (HCL) dalam lambung berperan sebagai penghambat
masuknya bakteri S. typhi dan bakteri usus lainnya. Jika S. typhi masuk
bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi
daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit yang masuk.
Daya hambat hidroklorida (HCL) ini akan menurun pada waktu terjadi
pengosongan lambung, sehingga S. typhi dapat masuk ke dalam usus
penderita. Di usus halus bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
7

menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan


yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch,
merupakan tempat internalisasi S. typhi. Seterusnya memasuki folikelfolikel limfe yang terdapat di dalam lapisan mukosa atau submukosa usus,
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. S. typhi
berkembang biak di lamina propia dan difagosit oleh sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe terutama makrofag. Bakteri dapat
hidup dan bereplikasi dengan cepat di dalam makrofag sehingga
menghasilkan lebih banyak S. typhi dan selanjutnya dibawa ke Peyers
patch di ileum distal dan kemudian kelenjar limfe mesenterika.3
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun
pejamu maka S. typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus
torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Setelah S. typhi memasuki
saluran limfe akhirnya mencapai aliran darah, dengan demikian terjadilah
bakterimia pada penderita (yang sifatnya asimtomatik). Dengan cara ini
bakteri dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai
oleh S. typhi adalah organ retikuloendotelial tubuh terutama hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal.
Di organ-organ RES ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan
disertai tanda-tanda dan gejala infeksi sistemik.3
Salmonella typhi melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam
dinding kandung empedu atau secara tidak langsung melalui kapilerkapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteri dapat mencapai empedu
yang larut di sana. Ekskresi empedu secara intermiten ke dalam lumen
usus menyebabkan sebagian bakteri dapat menginvasi ulang usus untuk
kedua kalinya dan lebih berat daripada invasi tahap pertama, sebagian lain
dikeluarkan melalui tinja. Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang

luas pada jaringan limfe usus halus sehingga gejala-gejala klinik menjadi
jelas.3
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin S. typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus
dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.3
Demam tifoid merupakan salah satu bakteremia yang disertai oleh
infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai macam organ
mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk
darah, terutama jaringan limfoid usus halus, kelenjar limfe abdomen, limpa
dan sumsum tulang.14 Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid
terjadi nekrosis superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri oleh
hiperplasia sel limfoid. Pada minggu ketiga timbul ulkus yang berbentuk
bulat atau lonjong tidak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar
dengan sumbu usus akibat mukosa yang nekrotik. Pada umumnya ulkus
tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus
dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa. Akibat terjadinya ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi
atau juga perforasi dari usus.13,14,15
Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi
merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada
penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam
tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat
akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya
perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi
yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan
dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi. Pada stadium akhir dari
9

demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap mengandung bakteri S.


typhi sehingga terjadi bakteriuria. 13,14,15
ingesti S. typhi dari
makanan dan
minuman
lambung dalam suasana
asam
bakteri mati

bakteri mencapai usus


halus
melekat pada
pada
sel-sel mukosa
usus
invasi dan menembus dinding
ileum dan jejunum (internalisasi
di Peyers patch)
masuk ke folikel-folikel limfe
mukosa/submukosa usus (lamina
propria)

ikut dalam aliran kel.


limfe mesenterika bahkan
sampai ke jaringan RES

difagositosis oleh
makrofag,
bakteri dapat hidup dan
bereplikasi di dalamnya
dibawa ke Peyers patch
ileum distal sampai ke kel.
limfe mesenterika
sirkulasi sistemik
(bakteremia I yang sifatnya
asimtomatik)
mencapai organ manapun
terutama organ RES (hati, limpa,
sumsum tulang, kandung
empedu, Peyers patch ileum
terminal)
meninggalkan makrofag dan
berkembang biak di ekstraselular
atau sinusoid

kembali masuk ke
sirkulasi sistemik
(bakterimia II)

hati dan kandung


empedu
(berkembangbiak)

10

ekskresi empedu ke
dalam lumen usus

tanda-tanda dan
gejala infeksi
sistemik
feses

invasi ulang usus


kedua kali dan lebih
berat
lesi yang luas pada
jaringan limfe usus

hiperplasia Peyers
patch dan nekrosis
superfisial
ulkus yang berbentuk
bulat dan lonjong
tidak teratur
ulkus dapat menembus
dinding otot usus dan
membran serosa
perdarahan hebat
perforasi usus

Gambar 1. Skema patogenesis demam tifoid

11

5. Manifestasi Klinis
a. Masa Inkubasi
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari,
dengan rata-rata antara 10-14 hari. Pada awal penyakit keluhan dan
gejala penyakit tidaklah khas, berupa anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
lidah kotor, gangguan saluran pencernaan.7
b. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu
pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti
demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39C hingga 40C, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan
nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin
cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung, dan diare atau
sembelit secara bergantian. Pada akhir minggu pertama, diare lebih
sering terjadi.7
Tanda khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan
ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh
penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika
penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam
dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakitpenyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari
ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang
dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm,
berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau
dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang
berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba
dan abdomen mengalami distensi.7
c. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian
12

meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua
suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi. Suhu badan
yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari. Terjadi
perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septikemia semakin berat
yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah
mengkilat, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare
yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.7
d. Minggu Ketiga
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsung-angsur turun dan
normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi
atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi,
akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda
khas berupa delirium atau stupor, inkontinensia alvi dan inkontinensia
urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen
sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan.7
e. Minggu Keempat
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun
pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau
tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi
ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang
13

lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang


pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi
dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.
Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.7
6. Pemeriksaan Penunjang
a) Hematologi
Pada darah lengkap kadar hemoglobin dapat normal atau menurun
bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. Trombositopenia
juga sangat mungkin bila terjadi penekanan sumsum tulang akibat
bakteremia kuman. Infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis
dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (shift to the left). Namun
untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia.
Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi
diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyers patch yang merupakan
makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh
polimorfonuklear (PMN) leukosit granul seperti netrofil stab ataupun
segmen (neutropenia).8
Makrofag jaringan merupakan limfosit sehingga tidak jarang
terjadi limfositosis relatif, karena makrofag meningkat sedangkan
leukosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi shift to
right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat
(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit
demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi
tumpangan. Pada keadaan demam tifoid yang sudah terjadi komplikasi
berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe
hipokromik mikrositik. Laju endap darah (LED) meningkat.8
b) Urinalisis
Leukosit dan eritrosit normal, bila meningkat kemungkinan
terjadi penyulit. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat
demam).8

14

c) Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran
peradangan sampai hepatitis akut.8
d) Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di dalam
darah) terhadap antigen kuman S. typhi (reagen). Uji ini masih sering
digunakan dan masih sering diminta terutama di negara dimana
penyakit ini menjadi endemis seperti di Indonesia karena hasilnya dapat
segera diketahui (rapid test). Hasil positif dinyatakan dengan adanya
reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi
penderita yang disebut aglutinin (febrile agglutinin). Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspense bakteri Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin/antibodi dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri),
antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen
Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella paratyphi A dan B). Antigen
O meningkat setelah akhir minggu atau muncul pada hari ke 6-8 dan
antibodi H muncul pada hari ke 10-12.8
Uji Widal untuk diagnosis demam tifoid/paratifoid dianggap
positif apabila didapatkan titer 1/160 atau terjadi peningkatan sebanyak
4x. Dari keempat aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.8
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti oleh aglutinin H. Pada penderita yang sudah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin
H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.8
15

Ada beberapa faktor yang dapat memberikan hasil positif palsu


yaitu: 1) riwayat vaksinasi tifoid sebelumnya, 2) reaksi silang dengan
spesies lain, misalnya malaria, Enterobacteriaceae sp, 3) reaksi
anamnestik infeksi tifoid pada masa lalu (infeksi berulang), 4) adanya
faktor

reumatoid

(RF),

5)

faktor

teknik

pemeriksaan

antara

laboratorium, akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang


digunakan untuk suspense antigen. Hasil negatif palsu dapat disebabkan
oleh karena antara 1) pengobatan dini dengan antibiotik, 2) gangguan
pembentukan

antibodi/immunocompromissed,

3)

pemberian

kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit.


Permintaan uji Widal pada penderita yang baru menderita demam
beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari
kontak sebelumnya.8
e) Pemeriksaan Elisa (IgM dan IgG anti Salmonella)
Pemeriksaan Elisa S. typhi/paratyphi lgG dan lgM merupakan uji
imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi demam tifoid/ paratifoid.
Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui.
Diagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan 1) bila lgM positif
menandakan infeksi akut dan 2) bila lgG positif menandakan pernah
kontak/pernah terinfeksi atau reinfeksi atau daerah endemik.8
f) Pemeriksaan TUBEXR test (IgM dan IgG anti Salmonella)
IgM anti salmonella atau yang dikenal dengan TUBEX R test
adalah pemeriksaan diagnostik in vitro semikuantitatif yang cepat
(rapid test) dan mudah untuk mendeteksi infeksi tifoid akut.
Pemeriksaan

ini

mendeteksi

antibodi

IgM

terhadap

antigen

lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri S. typhi


dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.8
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap lipopolisakarida bakteri
dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara
16

kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang


disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti O9 (reagen warna biru)
dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS S. typhi (reagen
warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik,
konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan
daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan
konsentrasi IgM S. typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.8
g) Mikrobiologi (Uji Kultur)
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk
pemeriksaan demam tifoid/paratifoid. Kultur kuman dapat diambil dari
darah, urin, atau feses. Sensitivitas pemeriksaan kultur darah penderita
demam tifoid pada minggu pertama 60-80% bila prosedur kultur
memenuhi syarat, yaitu volume bahan pemeriksaan darah minimal 5-15
ml untuk penderita dewasa dan anak 2-3 ml, penderita belum mendapat
terapi antibiotik.
Sensitivitas kultur Salmonella sp. dari bahan pemeriksaan aspirat
sumsum tulang lebih tinggi yaitu 80-95%, karena hasil pemeriksaan
kultur sumsum tulang tidak tergantung pada lama penderita sakit
maupun pemberian terapi antibiotik sebelum pemeriksaan kultur, tetapi
tindakan aspirasi sumsum tulang invasif dan penuh risiko. Hasil
pemeriksaan kultur Salmonella typhi, umumnya baru diperoleh setelah
3-5 hari inokulasi bahan pemeriksaan pada media kultur, sehingga
penegakan diagnosis demam tifoid sering terlambat dan hasil kultur
sering negatif palsu.3,11
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif palsu tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:8
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.

17

2) Volume darah yang kurang (< 5 cc darah). Bila volume darah yang
dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bed side langsung dimasukkan ke
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman. Darah
yang tidak segera dimasukan ke dalam medial gall darah akan
membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan.
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi
meningkat (minggu pertama).
Pada biakan feses yang perlu dicari adalah fecal monocyte sebagai
respon dari usus yang mengalami reaksi dengan bakteri Salmonella
yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya
bermanfaat bagi carrier tifoid.8
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui
karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara
2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari).
Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/carrier digunakan urin dan tinja.8 Oleh
karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya
diambil pada minggu pertama atau awal minggu kedua setelah
timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 8090% dan kuman hampir pasti didapatkan di seluruh organ dan jaringan
tubuh, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotik.
Pada minggu ketiga kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% dan
minggu keempat hanya 10-15%.7
h) Biologi Molekular
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak
dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang
kemudian diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan
18

uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula.
Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh
lainnya serta jaringan biopsi.8
i) Radiologi
Bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan
diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau belum:8
- Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat
mungkin terjadi infeksi sekunder berupa pneumonia
- Foto polos abdomen, bila diduga sudah terjadi komplikasi intestinal
seperti perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi udara
yang tidak merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah
hepar, tanda- tanda udara bebas dalam cavum abdomen.
7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin disertai gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka
seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Namun,
pemeriksaan kuman melalui metode ini memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mendapatkan hasil pasti S. typhi.
a. Anamnesis
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan
terhadap demam tifoid:
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa
ke pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam
hari dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat
dingin, sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun,
disertai kejang atau tidak.
- Gejala gastrointestinal, diare (sejak kapan, frekuensi, ampas ada atau
tidak, konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender),

19

konstipasi (sejak kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah,


anoreksia, malaise, perut kembung.
- Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar, atau hanya
sebatas mengigau saja waktu tidur.
- Riwayat penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah
pernah sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang
sangat mungkin menjadikan penderitanya sebagai carrier atau
pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala.
- Riwayat terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik
dan atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin
sudah mengalami perubahan.
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan
mengingat salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah
lingkungan yang padat dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
- Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau
minum sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah
dihinggapi lalat dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian
ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan
IgA yang berperan dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak
yang minum susu formula sejak kecil tentunya memiliki saluran
cerna yang kurang diproteksi dengan baik oleh imunoglobulin.
- Riwayat imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah
ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien
tetap terinfeksi tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk
oleh vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi
infeksi berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang
dipengaruhi banyak faktor.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan
pasien yang bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan
penyakitnya.

20

- Keadaan umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat
mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan
kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.
- Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda-tanda dehidrasi
yang mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu gejala yang dapat
terjadi pada infeksi demam tifoid. Tanda-tanda dehidrasi dapat
dinilai dari mata cowong dan bibir kering dengan rasa haus yang
meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan
tifoid tongue dengan pinggir yang hiperemis sampai tremor.
- Pemeriksaan thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan,
kecuali pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi
ekstraintestinal pada cavum pleura yang menyebabkan pleuritis,
namun sangat jaarang terjadi pada anak-anak.
- Pemeriksaan abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan
fisik pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh
kuman S. typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang
diselingi konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada saat
diare

maupun

saat

konstipasi.

Palpasi

organ

kemungkinan

didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri


tekan minimal.
- Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya
didapatkan rose spot atau roseola, yaitu ruam makulopapular
kemerahan dengan diameter 1-5 mm. Namun sangat jarang terjadi
pada anak-anak.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah.
Namun, pemeriksaan kuman melalui metode ini memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti S. typhi. Pada minggu kedua
sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih
besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan
feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang

21

berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil


positif didapat pada 90% kasus.3
Uji Widal banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai
uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan 45 menit) menunjukkan
nilai ramal positif 96% (artinya bila positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid), tetapi bila negatif tidak menyingkirkan. Banyak yang mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada
kenaikan titer 4x, maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedangkan aglutinin Vi dipakai pada deteksi pembawa kuman S.
typhi.3
8. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid
diantaranya influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronkitis atau
bronkopneumonia bila didapatkan tanda-tanda sesak, batuk dan demam.
Pada demam tifoid yang berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit
Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.3
9. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta
pemberian antibiotik. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah
sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit, serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan penyulit.3,16
a) Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/bed rest total
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga
22

perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta


higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.3,16
b) Diet dan Terapi Penunjang (Simtomatik dan Suportif)
Bertujuan untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid terutama sekali pada anakanak, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan yang
akan menjadi lama.3,16
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur
saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya
diberikan nasi, yang mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan
tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Hal ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian
makanan padat dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat
meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang
kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman S. typhi.
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus.3,16
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung
gejala yang muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus
pada anak-anak penting tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk
terjadinya flebitis cukup tinggi. Oleh karena itu pemberian infus
sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan intake per oral yang
kurang.3,16
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
23

cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya


sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan
via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
methamizole Na yaitu antrain atau novalgin.3,16
c) Antibiotik
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas
demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.
Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakteri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pilihan antibiotik yang
sering digunakan antara lain:3,16
a. Chloramphenicol
Kloramfenikol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk
infeksi demam tifoid terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan
untuk anak-anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis, untuk
pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan
selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Pada
kasus malnutrisi atau infeksi sekunder, pengobatan diperpanjang
sampai 21 hari. Pemberian intramuskuler tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
tingginya angka relaps dan carrier, serta toksik pada sumsum tulang.
b. Cotrimoxazole
Kotrimoksazol merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1 : 5. Dosis
trimetoprim 10 mg/kg/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara sirup dosis yang diberikan
untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti anemia
megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia. Pada beberapa
negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
c. Ampicillin dan Amoxicillin
24

Ampisilin dan amoksisilin, memiliki kemampuan yang lebih


rendah dibandingkan dengan kloramfenikol dan kotrimoksazol.
Namun untuk anak-anak golongan obat ini cenderung lebih aman
dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan
demam

biasanya

lebih

lama

dibandingkan

dengan

terapi

kloramfenikol.
d. Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone, cefotaxim, cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari kloramfenikol dan kotrimoksazol serta lebih sensitif
terhadap S. typhi. Seftriakson merupakan prototipnya dengan dosis
100 mg/kg/hari intravena dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan sefotaksim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan per
oral dapat diberikan sefiksim 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat S.
typhi setempat. Munculnya galur S. typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprim/ sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone.16
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.

25

Tabel 1. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi


menurut WHO 200316
Susceptibility

Optimal therapy
Antibiotic
Daily

Days

Alternative effective drugs


Antibiotic
Daily
Days

dose
Chloramphenicol

(mg/kg)
50-75

14-21

e.g. ofloxacin or

Amoxicillin

75-100

14

Multidrug

ciprofloxacin
Fluoroquinolone

5-7

TMP-SMX
Azithromycin

8-40
8-10

14
7

resistance
Quinolone

or cefixime
15-20
Azithromycin or 8-10

7-14
7

Cefixime
Cefixime

15-20
20

7-14
7-14

resistance

ceftriaxone

10-14

Fully sensitive

(mg/kg)
15

dose

Fluoroquinolone

15

75

5-7

Antibiotik golongan fluorokuinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, dan


pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluorokuinolon dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan
angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Fluorokuinolon
memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S.
Typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar
yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.16
Salah satu fluorokuinolon memiliki efektivitas yang baik adalah
levofloxacin. Levofloksasin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali
sehari dan siprofloksasin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari
masing-masing selama 7 hari. Pada saat ini levofloksasin lebih
bermanfaat dibandingkan siprofloksasin dalam hal waktu penurunan
demam 2-4 hari, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan siprofloksasin. Namun,
fluorokuinolon

tidak

diberikan

pada

anak-anak

karena

dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.16


Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis
lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier

26

terjadi pada kurang dari 4%. Kasus demam tifoid yang mengalami
relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien
dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang
berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2.16
Tabel 2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO 200316
Optimal therapy

Alternative effective drugs


Daily

Daily
Susceptibility
Fully sensitive

Antibiotic
Fluoroquinolone

dose

Days

(mg/kg)
15

10-14

e.g. ofloxacin
Multidrug

15

10-14

resistance
Ceftriaxone

resistance

cefotaxime

Chloramphenicol
Amoxicillin

Fluoroquinolone

Quinolone

Antibiotic

or

60

10-14

TMP-SMX
Ceftriaxone

or

dose

Days

(mg/kg)
100

14-21

100

14

8-40
60

14
10-14

cefotaxime

80

Fluoroquinolone

20

7-14

80

d) Terapi Penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,
koma

sampai

syok

dapat

diberikan

kortikosteroid

intravena

(dexamethasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan


1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. 3,16
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan
antibiotik spektrum luas untuk infeksi kuman S. typhi dengan
kombinasi kloramfenikol dan ampisilin iv serta untuk mengatasi kuman
yang fakultatif anaerob pada flora usus digunakan gentamisin atau
metronidazol. Walaupun jarang terjadi pada anak-anak namun
mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus. Demam
tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang diperlukan

27

tranfusi darah, sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera


dilakukan laparotomi.3,7
10. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang
baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini
menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.16
Preventif dan kontrol penularan, merupakan tindakan pencegahan
penularan dan peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid.
Mencakup kuman S. typhi, faktor pejamu, serta faktor lingkungan. Secara
garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan tranmisi tifoid:16
1) Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik,
carrier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu
mendatangi sasaran maupun pasif menunggu. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi tertentu terutama anak-anak yang tinggal di
lingkungan padat dengan sanitasi yang kurang.
2) Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi S. typhi akut
maupun carrier.
3) Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk
para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid.
Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960
efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 5188%. Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi A dan B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun
digunakan dengan cara pemberian sub kutan, namun daya kekebalannya
terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup
sering. Vaksin yang berisi kuman S. typhi hidup yang dilemahkan disebut
Ty21a (vivotif Berna) pemberiannya secara oral belum beredar di
Indonesia, parenteral ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merineux) yang

28

merupakan vaksin kapsul polisakarida. Vaksin-vaksin yang sudah ada


yaitu:16
1) Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif
selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3
tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
2) Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis
yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari
sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberikan efikasi perlindungan 67-82%.
3) Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah
vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi
perlindungan sebesar 89%.
11. Komplikasi
Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi
intestinal dan komplikasi ekstraintestinal.3,7,17
1) Komplikasi intestinal
Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan
perforasi usus. Perdarahan intestinal diawali dari Peyers patch yang
mengalami infeksi terutama pada ileum terminal dapat terbentuk
tukak/luka yang berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi gangguan koagulasi darah atau
gabungan keduanya. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan tranfusi darah.
29

Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita dapat


mengalami syok hipovolemik. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam
dengan faktor hemostasis yang masih dalam batas normal.3,7,17
Perforasi usus terjadi sekitar 1-3% penderita yang dirawat.
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada
minggu pertama. Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat
masuk ke dalam rongga perut dan menimbulkan gejala. Selain gejala
umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid
dengan perforasi usus akan mengeluh nyeri perut yang tidak
tertahankan (acute abdomen) terutama di daerah kuadran kanan bawah
lalu menyebar ke seluruh lapang perut, atau nyeri perut yang sudah
ada sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat
tekanan darah menurun secara tiba-tiba, dan disertai tanda-tanda ileus
(ileus paralitik). Bising usus melemah, pekak hepar juga menghilang
yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk
lebih menguatkan ke arah perforasi usus dapat dilakukan pemeriksaan
foto polos abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka gambaran
air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.3,7,17
2) Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi ekstraintestinal yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah manifestasi neuropsikiatrik yang sering terjadi
delirium dan atau sindrom otak organik yang lain. Hal ini sering juga
disebut sebagai tifoid toksik atau tifoid ensefalopati. Komplikasi
ekstraintestinal lainnya yaitu:7
- Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan
septik), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
- Komplikasi

darah:

anemia

hemolitik,

trombositopenia,

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan sindrom


uremia hemolitik.
- Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
- Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.
30

- Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.


- Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondylitis dan
artritis.
- Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
12. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya
komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis,

endokarditis,

dan

pneumonia

dapat

mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.3


Relaps atau kambuh dapat timbul beberapa kali. Individu yang
mengeluarkan S. typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Carrier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada
carrier kronis dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis
juga dapat terjadi, namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.3

BAB III
31

KESIMPULAN

1. Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di negara yang
sedang berkembang di Asia, termasuk Indonesia.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan tambahan dari laboratorium.
3. Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet lunak, dan antimikroba. Pada saat
ini, antibiotik dengan waktu penurunan demam cepat, pemberian praktis 1 kali
sehari selama 7 hari, dan efek samping minimal adalah levofloxacin.
4. Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian
terapi yang tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa
kuman (carrier), dan kemungkinan kematian.
5. Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari
makanan yang terkontaminasi, higiene perorangan, sanitasi yang baik, dan
pemberian vaksin sesuai kebutuhan.

DAFTAR PUSTAKA
32

1.

Pawitro, U. E, Noorvitry, M, Darmowandowo, W. 2002. Ilmu Penyakit Anak


Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.

2.

Buckle, G. C, Walker, C. L. F, Black, R. E. 2012. Typhoid fever and


paratyphoid fever: Systematic review to estimate global morbidity and
mortality for 2010. Journal of Global Health. Vol 2, No 1, p 1-9.

3.

Soedarmo, S. S. P, Garna, H, Hadinegoro, S. R. S, Satari H. I. 2008. Buku


Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
338-45.

4.

Parry, C. M. 2002. Typhoid fever. New England Journal Medicine. 347(22):


1770-82.

5.

Widodo, D. 2007. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV. Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1752-6.

6.

Hadinegoro, S. R. 1999. Masalah Multi Drug Resisten pada Demam Tifoid


Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 124: 5-8.

7.

Inawati. 2005. Lecture Demam Tifoid. Surabaya: Departemen Patologi


Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. p 1-7.

8.

Santoso, Henry. 2009. Kajian Rasional Penggunaan Antibiotik pada Kasus


Demam Tifoid yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr.
Kariadi Semarang Tahun 2008. Karya Tulis Ilmiah. p 1-29.

9.

Brooks, G. F, Butel, J. S. Morse, S. A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.


Jakarta: Salemba Medika, 364-70.

10. Lubis, B. 1990. Demam Tifoid Makna Pemeriksaan Laboratorium dan


Pencegahan. Jakarta: Salemba Medika, 366.
11. Rachman, A. F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal dibandingkan
dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid
pada Anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Artikel Ilmiah. p 1-25.
12. Soewondo, E. S. 2002. Demam Tifoid Deteksi Dini dan Tatalaksana. Makalah
Lengkap: Seminar Kewaspadaan terhadap Demam pada Penyakit Typhus
Abdominalis, DBD dan Malaria serta Penggunaan Tes Diagnostik

33

Laboratorium untuk Deteksi Dini. Surabaya: Tropical Diseases Centre


UNAIR.
13. Simanjuntak, C. H, Hoffman, S. L, Punjabi, N. H, dkk. 1997. Epidemiologi
Demam Tifoid di Suatu Daerah Pedesaan di Paseh Jawa Barat. Cermin
Dunia Kedokteran. Vol. 45, hal. 16-8.
14. Juwono, R. 1996. Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Dalam I Edisi Ke 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 435-42.
15. Raffatellu, M, Wilson, R. P, Winter, S. E, Bumler, A. J. 2008. Clinical
pathogenesis of typhoid fever. Review Article. J Infect Developing Countries.
2(4): 260-266.
16. Nelwan, R. H. H. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia
Kedokteran. Vol. 39, No. 4, hal. 247-50.
17. World Health Organization (WHO). 2003. Background document: The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Switzerland: WHO,
Department of Vaccines and Biologicals, 1-48.
18. Parry, C. M. 2005 Epidemiological and clinical aspects of human typhoid
fever. Cambridge University Press. p 1-10.

34

You might also like