Professional Documents
Culture Documents
RDS atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit hialin membran, merupakan masalah
serius penyebab neonatal respiratory distress. RDS merupakan hasil dari defisiensi surfaktan,
yang menyebabkan peningkatan tegangan permukaan dari hubungan udara-cairan pada unit
pernafasan terminal yang mengakibatkan atelectasis, peningkatan yang tidak berhubunan
dengan ventilasi, dan potensial cidera paru karena respon inflamasi pada paru. RDS biasanya
menyebabkan respiratory distress pada bayi premature karena paru yang belum matang
berhubungan dengan ketidakmampuan paru untuk memprioduksi surfaktan. Insidens dari
RDS meningkat pada kurangnya usia gestasi, dan bayi yang lahir dibawah 30 minggu
merupakan faktor risiko terbesar dari RDS.
OVERVIEW
RDS biasanya terjadi karena paru yang belum matang, pencegahan terbaik adalah mencegah
terjadi kelahiran premature. Apabila hal tersebut tidak dapat dicegah maka RDS dapat
dicegah atau mengurangi tingkat keparahan dengan menggunakan terapi steroid antenatal,
pemberian surfaktan eksogen RDS pada awal neonatal, dan pemberian tekanan positif
(CPAP).
Meskipun sudah dilakukan penanganan pencegahan, RDS masih dapat mengakibatkan
komplikasi akut dan kronik. Setelah diagnosis dari RDS sudah ditegakkan maka
tatalaksananya merupakan kombinasi dari beberapa hal berikut:
surfaktan eksogen.
Penilaian keadaan umum untuk dapat meningkatkan neonatal metabolic dan
kardiorespiratori status, dan menurunkan faktor yang memperberat luaran.
INTERVENSI SPESIFIK
Intervensi spesifik yang dilakukan focus pada pencegahan atau menurunkan keparahan dari
RDS, meliputi:
Poractant alfa
Calfactant
Beractant
Keterbatasan data penelitian terhadap perbandingan antara preparat alami. Pada meta-analisis
didapatkan 5 uji-klinis yang membandingkan poractant alfa (porcine surfaktan) dengan
beractant (bovine surfaktan) pada tatalaksana bayi premature dengan RDS, tidak ada
perbedaan pada luaran primer dari bronchopulmonary dysplasia (31.5 vs 29.9%, RR 0.98,
95% CI 0.75-1.29). Terdapat penurunan angka mortalitas pada penggunaan poractant
dibandingkan dengan beractant (RR 0.51, 95%, CI 0.3-0.89). Pada analisis lebih lanjut,
penurunan angka mortalitas terjadi pada pasien yang menerima dosis tinggi (200mg/kg)
poractant dibandingkan dengan dosis beractant (100mg/kg), pada dosis yang sama tidak ada
perbedaan bermakna. Hasil lain yang didapat menunjukkan tidak diperlukan pengulangan
dosis pada pasien yang menerima poractant dosis tinggi. Pada penelitian ini tidak dapat
mengidentifikasi hubungan poractant dan calfactant. Sebagai catatan oleh penulis
mengatakan bahwa sistematik review ini harus diintepretasi dengan baik karena keterbatasan
metodologi termasuk sampel yang hetergen, dengan risiko bias yang tinggi karena tidak
menggunakan blinding.
Pada penelitian retrospektif lainnya pada 14.173 bayi premature dengan RDS menggunakan
data primier database, angka mortalitas pada bayi dengan pemberian poractant, beractant,
dan calfactant adalah 3.61, 4.58, dan 5.95 persen secara berurutan. Pada analisis multivariat
regresi logistik, calfactant berhubungan dengan peningkatan mortalitas likelihood dibanding
dengan poractant alfa (OR 1.50, 95%, CI 1.01-2.21), dan beractant berhubungan dengan tren
tidak signifikan dari peningkatan mortalitas dibanding dengan poractant (OR 1.3, 95%, CI
1.0-1.89).
Pada maret 2012, FDA memberikan persetujuan pada sufaktan sintesis yang pertama
(lucinactant) untuk pengobatan neonatus dengan RDS. Persetujuan didasarkan pada uji-klinis
yang membandingkan lucinactant dengan poractant dan beractant yang menunjukkan
lucinactant aman dan efektif untuk penanganan RDS pada neonatus. Lucinactant dipasarkan
secara komersial pada tahun 2012 dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengkonfirmasi efikasi dan keamanan surfaktan sintetis dibandingkan dengan preparat alami.
Penelitian pada hewan yang dilakukan pada preparat ini menunjukkan hasil yang baik.
Indikasi dan waktu pemberian
Konsensus tahun 2008 dan 2010 oleh American Academy of Pediatrics dan European
pasien diberikan pemberian surfaktan teknik noninfasif dengan menggunakan kateter kecil
pada bayi dengan pernafasan spontan dan FiO2 0.3, atau tatalaksana standar dengan intubasi
dan pemberian surfaktan atas indikasi. Beberapa hal yang dicatat:
Bayi yang mendapat surfaktan dengan metode noninfasif mendapat risiko lebih kecil
terhadap ventilator mekanik pada hari ke-2 dan ke-3, atau tidak diberikan ventilasi
baik dengan pCO2 > 65 mmHg atau FiO2 >0.6 (28 vs 46%). Pada grup noninvasif
membutuhkan lebih sedikit ventilator mekanik selama masa rawat (33 vs 73%) dan
(30 vs 45%).
Tidak ada perbedaan pada kejadian mortalitas (7 vs 5 kematian) atau peningkatan
Meskipun hasil yang didapat baik, kekurangan pada desain penelitian ini menimbulkan bias.
Pada penelitian ini tidak dilakukan blinding dan kriteria untuk intubasi/standard an noninvasif
tidak spesifik dan menurut penilaian dokter jaga yang tidak dilakukan blinding juga. Tidak
ada kontrol pada intervensi yang mempengaruhi hasil luaran seperti sedasi dan penggunaan
anestesi. Sebagai hasilnya, terjadi bias dalam penentuan yang dilakukan intubasi atau tidak
atau penggunaan sedasi atau analgetik.
Teknik ventilasi berbantu
Defisiensi surfaktan menimbulkan peningkatan tegangan permukaan dari hubungan
permukaan udara-cairan pada unit pernafasan terminal menyebabkan kegagalan ekspansi
paru (atelectasis). Pada perjalanan penyakit, atelectasis yang progresif menyebabkan
ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi dan peningkatan intra dan ektra pulmonary
tarikan yang berujung pada kegagalan pernafasan.
Pada pasien dengan RDS, intubasi dan ventilator mekanik dengan positive end-expiratory
pressure (PEEP) digunakan untuk memperbaiki atelectasis dan memfasilitasi pemberian
surfaktan eksogen secara berulang. Meskipun peningkatan suplementasi oksigen dan tekanan
udara digunakan untuk memperbaiki hipoksemia (oksigenasi arteri), tindakan ini dapat
mengakibatkan terjadinya BPD. Dapat terjadi juga kerusakan paru karena volutrauma dan
barotrauma berkaitan degnan ventilasi tekanan positif dan keracunan oksigen karena
konsentrasi oksigen yang tinggi. Komplikasi lainnya yang berkaitan dengan intubasi dan
Penggunaan intubasi dan ventilator mekanik tetap harus dilakukan pada kegagalan
pernafasan, yang ditandai dengan 1 dari 3 kondisi dibawah ini:
1. asidosis respiratorik (pH arterial <7.20, dan PaCO2>60 mmHg pada CPAP)
2. Hipoksemia (PaO2 arterial <50 mmHg dengan suplementasi O2 70% pada nasal
CPAP)
3. Severe apnoe
Continous positive airway pressure
Pada bayi premature yang berisiko atau sudah didiagnosis dengan RDS tanpa kegagalan
pernafasan, CPAP merupakan alternatif penanganan untuk mencegah atelectasis.
Beberapa penelitian menunjukkan keuntungan pada penggunaan lebih awal CPAP pada grup
risiko tinggi RDS (extremely low birth weight (ELBW) bbl<1000gram atau lahir < 28 minggu
usia kehamilan).
Di Amerika dilakukan penelitian multi senter (SUPPORT trial), pada total 1316
ELBW antara 24 27 (6/7) minggu usia gestasi dengan merandomisasi penggunaan
CPAP dan intubasi pada terapi surfaktan dalam 1 jam setelah lahir. Didapatkan
kombinasi antara kematian dan kejadian BPD sama antar grup. Bayi yang diberikan
penanganan awal CPAP lebih cenderung hidup dan bebas terhadap intubasi dan
ventilator mekanik pada 7 hari umur kehidupan, meskipun dibutuhkan penelitian yang
lebih besar lagi.
Pada penelitian lanjutan pada 94% bayi yang ada (n = 1234) tidak ada perbedaan antara
kematian atau luaran perkembangan neurologis pada usia 18 sampai 22 bulan antara CPAP
dan intubasi pada pemberian surfaktan (27.9 vs 29.9%, RR 0.93, 95%, CI 0.78-1.10). Tidak
ada perbedaan tingkat mortalitas lanjutan. Luaran gangguan perkembangan neurologi
didefinisikan sebagai skor tes kognitif yang kurang, cerebral palsy sedang atau berat,
gangguan pendengaran, atau gangguan penglihatan bilateral.
Pada penelitian multi senter di Australia (COIN trial), 610 bayi umur kehamilan 25
28 minggu yang menerima bantuan pernafasan secara randomisasi diberikan CPAP
atau intubasi dalam 5 menit kehidupan pertama. Tidak ada perbedaan antara grup
tersebut pada luaran kematian dan kebutuhan untuk terapi oksigen sampai umur
kehamilan 36 minggu.
Pada penelitian multisenter ketiga (VON trial) pada 648 bayi dengan usia gestasi 26
29 (6/7) minggu, tidak terdapat perbedaan dalam luaran kematian dan BPD pada
kedua grup. Namun terdapat 48% pasien yang mendapat CPAP tetapi tidak diintubasi
dan 54% tidak mendapat surfaktan. Sebagai catatan, penelitian dihentikan sebelum
selesai semua sampel selesai terekrut. Sangat dimungkinkan karena terdapat hasil
yang dinilai tidak berhubungan antara CPAP dan grup tanpa CPAP.