You are on page 1of 7

Invasifahan dan Penanganan RDS pada Bayi Prematur.

RDS atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit hialin membran, merupakan masalah
serius penyebab neonatal respiratory distress. RDS merupakan hasil dari defisiensi surfaktan,
yang menyebabkan peningkatan tegangan permukaan dari hubungan udara-cairan pada unit
pernafasan terminal yang mengakibatkan atelectasis, peningkatan yang tidak berhubunan
dengan ventilasi, dan potensial cidera paru karena respon inflamasi pada paru. RDS biasanya
menyebabkan respiratory distress pada bayi premature karena paru yang belum matang
berhubungan dengan ketidakmampuan paru untuk memprioduksi surfaktan. Insidens dari
RDS meningkat pada kurangnya usia gestasi, dan bayi yang lahir dibawah 30 minggu
merupakan faktor risiko terbesar dari RDS.
OVERVIEW
RDS biasanya terjadi karena paru yang belum matang, pencegahan terbaik adalah mencegah
terjadi kelahiran premature. Apabila hal tersebut tidak dapat dicegah maka RDS dapat
dicegah atau mengurangi tingkat keparahan dengan menggunakan terapi steroid antenatal,
pemberian surfaktan eksogen RDS pada awal neonatal, dan pemberian tekanan positif
(CPAP).
Meskipun sudah dilakukan penanganan pencegahan, RDS masih dapat mengakibatkan
komplikasi akut dan kronik. Setelah diagnosis dari RDS sudah ditegakkan maka
tatalaksananya merupakan kombinasi dari beberapa hal berikut:

Intervensi spesifik termasuk oksigenisasi dan ventilasi adekuat, dan pemberian

surfaktan eksogen.
Penilaian keadaan umum untuk dapat meningkatkan neonatal metabolic dan
kardiorespiratori status, dan menurunkan faktor yang memperberat luaran.

INTERVENSI SPESIFIK
Intervensi spesifik yang dilakukan focus pada pencegahan atau menurunkan keparahan dari
RDS, meliputi:

Pemberian kortikosteroid antenatal


Pemberian surfaktan eksogen
Pemberian bantuan ventilasi

Terapi kortikosteroid antenatal (ACS)


Terapi kortikosteroid antenatal (ACS) diberikan pada wanita hamil yang mempunyai risiko
terjadi persalinan premature untuk mencegah atau menurunkan tingkat keparahan dari RDS.
ACS meningkatan perubahan maturasi pada paru-paru fetus dan peningkatan sintesis
biokimia dan pelepasan dari surfaktan, menyebabkan peningkatan fungsi paru-paru neonatus.
Sehingga semua wanita hamil yang berisiko mengalami persalinan premature atau dibawah
34 minggu harus mendapatkan terapi ACS. Efikasi dan penggunaan ACS pada bayi
premature dijelaskan lebih mendalam pada topik lain. (lihat, "Antenatal corticosteroid
therapy for reduction of neonatal morbidity and mortality from preterm delivery".)
Terapi surfaktan
Terapi penggantian surfaktan eksogen efektif menurunkan angka mortalitas dan morbiditas
RDS pada bayi premature. Beberapa uji klinis menunjukkan keuntungan dari pemberian
surfaktan pada bayi premature yang lahir sebelum 30 minggu gestasi yang memiliki risiko
tinggi terjadinya RDS. Pada beberapa uji klinis lainnya, terapi surfaktan dibandingkan
dengan pemberian placebo berhubungan dengan penurunan insidens, tingkat keparahan, dan
angka mortalitas dari RDS serta menurunkan komplikasi yang berhubungan dengan
emfisema interstisial paru dan komplikasi kebocoran paru lainnya, seperti pneumotoraks.
Apabila terapi surfaktan digunakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

Pemilihan dari preparat surfaktan


Indikasi
Waktu pemberian
Teknik pemberian

Tipe dari surfaktan


Preparat surfaktan terdiri dari alami dan sintetis. Meskipun kedua jenis tersebut efektif
digunakan, yang alami lebih superior dibandingkan yang sintetis ditunjukkan pada beberapa
uji klinis karena pada preparat sintetis tidak menggandung analog dari protein B dan C.
Sejalan dengan itu penggunaan preparat alami berhubungan dengan penurunan konsentrasi
oksigen, tekanan ventilasi, mortalitas, dan komplikasi RDS pada bayi prematur.
Preparat alami didapatkan baik dari pencucian jaringan paru hewan atau pemotongan jaringan
paru hewan, dan dilanjutkan dengan pemurnian menggunakan ekstraksi lipid yang
menghilangkan lapisan hidropilik termasuk dari lapisan surfaktan protein A dan D.
Pemurnian preparat lipid meninggalkan protein B dan C, lemak alami, dan permukaan aktif
fosfolipid (PL) seperti dipalmitoyphospatidyl-choline (DPCC). DPCC ini merupakan
komponen aktif permukaan primer yang menurunkan tegangan permukaan pada alveolus.

Tiga surfaktan alami yang ada di Amerika (tabel 1):

Poractant alfa
Calfactant
Beractant

Keterbatasan data penelitian terhadap perbandingan antara preparat alami. Pada meta-analisis
didapatkan 5 uji-klinis yang membandingkan poractant alfa (porcine surfaktan) dengan
beractant (bovine surfaktan) pada tatalaksana bayi premature dengan RDS, tidak ada
perbedaan pada luaran primer dari bronchopulmonary dysplasia (31.5 vs 29.9%, RR 0.98,
95% CI 0.75-1.29). Terdapat penurunan angka mortalitas pada penggunaan poractant
dibandingkan dengan beractant (RR 0.51, 95%, CI 0.3-0.89). Pada analisis lebih lanjut,
penurunan angka mortalitas terjadi pada pasien yang menerima dosis tinggi (200mg/kg)
poractant dibandingkan dengan dosis beractant (100mg/kg), pada dosis yang sama tidak ada
perbedaan bermakna. Hasil lain yang didapat menunjukkan tidak diperlukan pengulangan
dosis pada pasien yang menerima poractant dosis tinggi. Pada penelitian ini tidak dapat
mengidentifikasi hubungan poractant dan calfactant. Sebagai catatan oleh penulis
mengatakan bahwa sistematik review ini harus diintepretasi dengan baik karena keterbatasan
metodologi termasuk sampel yang hetergen, dengan risiko bias yang tinggi karena tidak
menggunakan blinding.
Pada penelitian retrospektif lainnya pada 14.173 bayi premature dengan RDS menggunakan
data primier database, angka mortalitas pada bayi dengan pemberian poractant, beractant,
dan calfactant adalah 3.61, 4.58, dan 5.95 persen secara berurutan. Pada analisis multivariat
regresi logistik, calfactant berhubungan dengan peningkatan mortalitas likelihood dibanding
dengan poractant alfa (OR 1.50, 95%, CI 1.01-2.21), dan beractant berhubungan dengan tren
tidak signifikan dari peningkatan mortalitas dibanding dengan poractant (OR 1.3, 95%, CI
1.0-1.89).
Pada maret 2012, FDA memberikan persetujuan pada sufaktan sintesis yang pertama
(lucinactant) untuk pengobatan neonatus dengan RDS. Persetujuan didasarkan pada uji-klinis
yang membandingkan lucinactant dengan poractant dan beractant yang menunjukkan
lucinactant aman dan efektif untuk penanganan RDS pada neonatus. Lucinactant dipasarkan
secara komersial pada tahun 2012 dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengkonfirmasi efikasi dan keamanan surfaktan sintetis dibandingkan dengan preparat alami.
Penelitian pada hewan yang dilakukan pada preparat ini menunjukkan hasil yang baik.
Indikasi dan waktu pemberian
Konsensus tahun 2008 dan 2010 oleh American Academy of Pediatrics dan European

guideline merekomendasikan pemberian surfaktan pada diagnosis RDS yang sudah


ditegakkan. Diagnosis RDS berdasarkan pemeriksaan fisik yang menunjukkan kegagalan
fungsi pernafasan yang progresif setelah bayi lahir, pada pemeriksaan rontgen dada
menunjukkan volume paru yang berkurang dan gambaran difus reticulgranular ground-glass
pada bronchogram.
Data yang ada menunjukkan awal penggunaan nasal CPAP berguna secara efektif untuk
mencegah dan mengobati RDS pada bayi yang sangat prematur dengan intubasi dan
pemberian surfaktan terapi. Penggunaan CPAP mencegah intubasi dan ventilasi tekanan
positif yang berhubungan dengan penintkatan risiko bronchopulmonary dysplasia (BPD).
Pada praktek sehari-hari, pemberian surfaktan pada bayi premature yang mengalami
kegagalan fungsi nafas seperti apnoe, atau kegagalan CPAP (definisi penggunaan fraksi
oksigen inspirasi (FiO2) 40% atau lebih untuk dapat menjaga saturasi oksigen diatas 90%
atau tetap apnoe). Dosis tambahan pada terapi surfaktan diberikan apabila pasien
membutuhkan FiO2>30%. Pemberian surfaktan tersebut dapat menurunkan angka mortalitas
dan morbiditas pada bayi dengan umur kehamilan kurang dari 30 minggu dengan RDS.
Pemberian surfaktan paling efektif jika diberikan pada 30 60 menit setelah bayi lahir diikuti
dengan pemasangan pulse oxymetri dan konfirmasi klinis penempatan pipa endotrakeal. Pada
sistematik review dari uji-klinis pada bayi premature yang membutuhkan ventilasi mekanis
menunjukkan bahwa pemberian surfaktan lebih awal (pemberian pada 2 jam pertama
kehidupan atau lebih cepat) dibandingkan dengan penundaan pemberian berhubungan dengan
perbaikan luaran klinis (penurunan mortalitas dan risiko komplikasi RDS seperti emfisema
intertisial, BPD, dan pneumothoraks). Bagaimanapun juga pemberian lebih awal surfaktan
lewat pipa endotrakeal harus diimbangi dengan penggunaan CPAP mencegah penggunaan
intubasi dan ventilasi tekanan positif serta morbiditas yang menyertai.
Teknik pemberian surfaktan
Hanya intubasi endotrakeal yang diterima secara luas sebagai metode pemberian surfaktan.
Pemberian surfaktan akan lebih sulit apabila terdapat obstruksi transien saluran pernafasan
atau ketidaksengajaan pemasangan pada bronkus kanan karena pipa endotrakeal terlalu
terdorong kedalam. Selama pemberian, saturasi oksigen harus dimonitor sehingga akan
terpantau apabila desaturasi terjadi. Komplikasi lain berhubungan dengan intubasi dan
ventilasi mekanis termasuk cedera paru karena volutrauma dan barotrauma karena ventilasi
tekanan positif, pulmonary air leak, dan cedera jalan nafas karena intubasi.
Teknik pemberian surfaktan yang noninfasif atau kurang infasif sedang dalam evaluasi. Pada
beberapa studi uji-klinis pada 220 bayi premature (antara 26 28 minggu usia kehamilan),

pasien diberikan pemberian surfaktan teknik noninfasif dengan menggunakan kateter kecil
pada bayi dengan pernafasan spontan dan FiO2 0.3, atau tatalaksana standar dengan intubasi
dan pemberian surfaktan atas indikasi. Beberapa hal yang dicatat:

Bayi yang mendapat surfaktan dengan metode noninfasif mendapat risiko lebih kecil
terhadap ventilator mekanik pada hari ke-2 dan ke-3, atau tidak diberikan ventilasi
baik dengan pCO2 > 65 mmHg atau FiO2 >0.6 (28 vs 46%). Pada grup noninvasif
membutuhkan lebih sedikit ventilator mekanik selama masa rawat (33 vs 73%) dan

median yang lebih sedikit pada penggunaan ventilator mekanik (0 vs 2 hari).


Metode noninvasif lebih sedikit menerima suplementasi O2 pada 28 hari kehidupan

(30 vs 45%).
Tidak ada perbedaan pada kejadian mortalitas (7 vs 5 kematian) atau peningkatan

komplikasi lanjut (21 vs 28%).


Pemberian lebih awal surfaktan pada grup nonivasif (55 vs 135 menit), dan terjadi
tren peningkatan (tidak signifikan) pemberian surfaktan pada grup noninvasif (74 vs
64%).

Meskipun hasil yang didapat baik, kekurangan pada desain penelitian ini menimbulkan bias.
Pada penelitian ini tidak dilakukan blinding dan kriteria untuk intubasi/standard an noninvasif
tidak spesifik dan menurut penilaian dokter jaga yang tidak dilakukan blinding juga. Tidak
ada kontrol pada intervensi yang mempengaruhi hasil luaran seperti sedasi dan penggunaan
anestesi. Sebagai hasilnya, terjadi bias dalam penentuan yang dilakukan intubasi atau tidak
atau penggunaan sedasi atau analgetik.
Teknik ventilasi berbantu
Defisiensi surfaktan menimbulkan peningkatan tegangan permukaan dari hubungan
permukaan udara-cairan pada unit pernafasan terminal menyebabkan kegagalan ekspansi
paru (atelectasis). Pada perjalanan penyakit, atelectasis yang progresif menyebabkan
ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi dan peningkatan intra dan ektra pulmonary
tarikan yang berujung pada kegagalan pernafasan.
Pada pasien dengan RDS, intubasi dan ventilator mekanik dengan positive end-expiratory
pressure (PEEP) digunakan untuk memperbaiki atelectasis dan memfasilitasi pemberian
surfaktan eksogen secara berulang. Meskipun peningkatan suplementasi oksigen dan tekanan
udara digunakan untuk memperbaiki hipoksemia (oksigenasi arteri), tindakan ini dapat
mengakibatkan terjadinya BPD. Dapat terjadi juga kerusakan paru karena volutrauma dan
barotrauma berkaitan degnan ventilasi tekanan positif dan keracunan oksigen karena
konsentrasi oksigen yang tinggi. Komplikasi lainnya yang berkaitan dengan intubasi dan

ventilator mekanik termasuk kebocoran paru dan cedera karena intubasi.


Karena peningkatan risiko BPD dengan ventilasi tekanan positif yang tidak regular,
penggunaan alat yang lebih tidak invasif sebagai ventilator sedang dievaluasi untuk dapat
menurunkan kejadian atelektasi dan cedera paru pada bayi premature yang berisiko atau
sudah didiagnosis dengan RDS, seperti:

nasal continuous positive airway pressure (CPAP)


nasal intermittent positive pressure ventilation (NIPPV)

Penggunaan intubasi dan ventilator mekanik tetap harus dilakukan pada kegagalan
pernafasan, yang ditandai dengan 1 dari 3 kondisi dibawah ini:
1. asidosis respiratorik (pH arterial <7.20, dan PaCO2>60 mmHg pada CPAP)
2. Hipoksemia (PaO2 arterial <50 mmHg dengan suplementasi O2 70% pada nasal
CPAP)
3. Severe apnoe
Continous positive airway pressure
Pada bayi premature yang berisiko atau sudah didiagnosis dengan RDS tanpa kegagalan
pernafasan, CPAP merupakan alternatif penanganan untuk mencegah atelectasis.
Beberapa penelitian menunjukkan keuntungan pada penggunaan lebih awal CPAP pada grup
risiko tinggi RDS (extremely low birth weight (ELBW) bbl<1000gram atau lahir < 28 minggu
usia kehamilan).

Di Amerika dilakukan penelitian multi senter (SUPPORT trial), pada total 1316
ELBW antara 24 27 (6/7) minggu usia gestasi dengan merandomisasi penggunaan
CPAP dan intubasi pada terapi surfaktan dalam 1 jam setelah lahir. Didapatkan
kombinasi antara kematian dan kejadian BPD sama antar grup. Bayi yang diberikan
penanganan awal CPAP lebih cenderung hidup dan bebas terhadap intubasi dan
ventilator mekanik pada 7 hari umur kehidupan, meskipun dibutuhkan penelitian yang
lebih besar lagi.

Pada penelitian lanjutan pada 94% bayi yang ada (n = 1234) tidak ada perbedaan antara
kematian atau luaran perkembangan neurologis pada usia 18 sampai 22 bulan antara CPAP
dan intubasi pada pemberian surfaktan (27.9 vs 29.9%, RR 0.93, 95%, CI 0.78-1.10). Tidak
ada perbedaan tingkat mortalitas lanjutan. Luaran gangguan perkembangan neurologi
didefinisikan sebagai skor tes kognitif yang kurang, cerebral palsy sedang atau berat,
gangguan pendengaran, atau gangguan penglihatan bilateral.

Pada penelitian multi senter di Australia (COIN trial), 610 bayi umur kehamilan 25
28 minggu yang menerima bantuan pernafasan secara randomisasi diberikan CPAP

atau intubasi dalam 5 menit kehidupan pertama. Tidak ada perbedaan antara grup
tersebut pada luaran kematian dan kebutuhan untuk terapi oksigen sampai umur

kehamilan 36 minggu.
Pada penelitian multisenter ketiga (VON trial) pada 648 bayi dengan usia gestasi 26
29 (6/7) minggu, tidak terdapat perbedaan dalam luaran kematian dan BPD pada
kedua grup. Namun terdapat 48% pasien yang mendapat CPAP tetapi tidak diintubasi
dan 54% tidak mendapat surfaktan. Sebagai catatan, penelitian dihentikan sebelum
selesai semua sampel selesai terekrut. Sangat dimungkinkan karena terdapat hasil
yang dinilai tidak berhubungan antara CPAP dan grup tanpa CPAP.

You might also like