You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif
2.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum
pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang
akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu
maupun urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed
consent) kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi3.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter
anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,
foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin
dalam inform consent3.

2.1.1.1 History Taking


History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin
rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang
belum terdiagnosis.
2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan

airway,

jantung,

paru-paru,

dan

system

musculoskeletal.

Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga


bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula


IV. Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.1. Kriteria Mallampati


Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4.
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA
Kelas I

Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II

Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi


aktivitas sehari-hari.
Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi.
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor

Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI

Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.

2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
Pemeriksaan rutin
Urinalisis
FBC
Ureum, Creatinin, Elektrolit
ECG
Foto Torak
Tes fungsi hati (Liver Function
Test)

Indikasi
Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Bedah mayor
Umur > 50 tahun
Umur > 60 tahun
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:


No
1

Test
Darah Lengkap

Ureum, creatinin dan


konsentrasi elektrolit

3
4

Konsentrasi glukosa
darah
Elektrokardiografi

Chest X-ray

Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Penyakit ginjal
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Penyakit respirasi

Arterial blood gases

Test fungsi paru

Skreen koagulasi

Test fungsi hati

10

Tes fungsi thyroid

Penyakit kardiovaskuler
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.
2.1.1.4 Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.

2.1.2 Masukan Oral


Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist,
2011)5
Usia pasien

Intake oral

< 6 bln

Clear fluid
Breast milk
Formula milk
6 bln 5 thn Clear fluid
Formula milk
Solid
>5 thn
Clear fluid
Solid
Adult,
Clear fuid
op. pagi
Solid
Adult,
op.
siang

Clear fluid
Solid

Lama puasa (jam)

puasa yg diberikan

2
20 cc/kg
3
4
2
10 cc/kg
4
6
2
10 cc/kg
6
2
Puasa mulai jam
12 mlm
2
Puasa mulai jam 8
pagi

2.1.3 Terapi Cairan


Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)6

Berat Badan
10kg pertama
10kg berikutnya
Tiap kg di atas 20kg

Jumlah
4 mL/kg/jam
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi


No.
Jenis Obat
1
Sedatif:
Diazepam
Difenhidramin
Promethazin
Midazolam
2
Analgetik Opiat
Petidin
Morfin
Fentanil
Analgetik non opiat
3
Antikholinergik:
Sulfas atropine
4
Antiemetik:
Ondansetron

Dosis (Dewasa)
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa

Metoklopramid
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Ranitidine
Antasid

10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,


diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan
5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi
yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien7.
2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
Alat-alat resusitasi (STATICS)
Obat-obat anestesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat dan lain-lainnya.


f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
Pulse Oxymeter dan Capnograf.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 2.7 Komponen STATICS
S

Scope

Tubes

Airways

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.

Tapes

Introducer

C
S

Connector
Suction

Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi


Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam hal ini adalah:
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien
dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan teknik
anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah
ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.
Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum
alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat pasien
memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai
adanya penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia
gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan
neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah
ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
spinal, atau anestesi umum ndotrakeal.

3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian
juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dna lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila
dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3.
Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh
August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah
umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan,
peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan

menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal8.
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok
spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus
brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah
pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior,
radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3.
Tabel 2.8 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/Komplikasi

Indikasi

Indikasi Kontra Absolut

Indikasi Kontra Relatif

Keterangan
Transurethral prostatectomy (blok pada T10
diperlukan karena terdapat inervasi pada
buli buli kencing)
Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan
ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
Prosedur yang melibatkan pelvis dan
perianal
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis
aorta
Peningkatan tekana intrakranial.
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyuntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung

Komplikasi Tindakan

Komplikasi Pasca Tindakan

Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis

Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada
anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent
dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan
spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga
sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium
anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2.2 Posisi anestesi spinal


2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya
L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma
medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G

atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau


29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum
suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk


meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,0031,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi 3. Ada
beberapa hal yang dapat mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi
spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien selama dan sesaat setelah
injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi injeksi,
maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada posisi supine head
down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik
menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi
lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan
cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi6.
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine
hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan
lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan
lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena
seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda equine
sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada
anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu
penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif6.
2.3 Durante Operasi dan Monitoring
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang6.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan
estimated blood volume (EBV). Pasien

dengan hematokrit normal biasanya

ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu
yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi
yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan
hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1.

Estimate Blood Volume


Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada
sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan
wanita 65 cc/kgBB.

2.
3.

Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume
darah normal telah dicapai.

4.

Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara

5.

RBCVlost = RBCVpreop RBCV30%.


Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.
Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi

apakah ringan, sedang atau berat6.


Tabel 2.9 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma
Derajat Trauma
Ringan (herniorrhaphy)
Sedang (cholecystectomy)
Berat (bowel resection)

Kebutuhan cairan tambahan


0-2 ml/kg
2-4 ml/kg
4-8 ml/kg

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic
Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi
emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya
tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen
perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1)
beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature
pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time


- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
2.4 Manajemen Anestesi Post Operasi
2.4.1 Recovery dari Regional Anastesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery
dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi
sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih
minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah,
nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler
harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah
Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke
Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 2.10 Aldrete Skor9
Obyek
Aktivitas

Respirasi

Tekanan darah

Kesadaran

Kriteria
1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
1. Mampu nafas dalam dan batuk
2. Sesak atau pernafasan terbatas
3. Henti nafas
1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah
2. Berubah 20-50% dari pra bedah
3. Berubah > 50% dari pra bedah
1. Sadar baik dan orientasi baik
2. Sadar setelah dipanggil
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang

Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

Warna kulit

1. Kemerahan
2. Pucat agak suram
3. Sianosis

2
1
0

Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0
pada kriteria penilaian objektif.
2.5.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari
rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan
komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera
okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus
dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based


Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13
Number 10. 2011:1-32

2.

Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534

3.

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi

4.

Intensif FKUI
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott

5.

Williams & Wilkins.


American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:
An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee

6.

on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins.


Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology.

7.

4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.


Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Millers
Anesthesia 7th ed. US : Elsevier

8.

Universitas

Sumatera

Utara

(USU).

2011.

Anestesi

Spinal.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada 10 April 2013 pk.19.00
9.

Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg


1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J
Clin Anesth 1995;7:89.

10. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.

You might also like