Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif
2.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum
pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang
akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu
maupun urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed
consent) kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi3.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter
anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,
foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin
dalam inform consent3.
airway,
jantung,
paru-paru,
dan
system
musculoskeletal.
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
Indikasi
Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Bedah mayor
Umur > 50 tahun
Umur > 60 tahun
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Test
Darah Lengkap
3
4
Konsentrasi glukosa
darah
Elektrokardiografi
Chest X-ray
Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Penyakit ginjal
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Penyakit respirasi
Skreen koagulasi
10
Penyakit kardiovaskuler
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.
2.1.1.4 Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.
Intake oral
< 6 bln
Clear fluid
Breast milk
Formula milk
6 bln 5 thn Clear fluid
Formula milk
Solid
>5 thn
Clear fluid
Solid
Adult,
Clear fuid
op. pagi
Solid
Adult,
op.
siang
Clear fluid
Solid
puasa yg diberikan
2
20 cc/kg
3
4
2
10 cc/kg
4
6
2
10 cc/kg
6
2
Puasa mulai jam
12 mlm
2
Puasa mulai jam 8
pagi
Berat Badan
10kg pertama
10kg berikutnya
Tiap kg di atas 20kg
Jumlah
4 mL/kg/jam
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
Dosis (Dewasa)
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Ranitidine
Antasid
10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan
Scope
Tubes
Airways
Tapes
Introducer
C
S
Connector
Suction
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian
juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dna lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila
dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3.
Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh
August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah
umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan,
peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal8.
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok
spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus
brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah
pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior,
radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3.
Tabel 2.8 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/Komplikasi
Indikasi
Keterangan
Transurethral prostatectomy (blok pada T10
diperlukan karena terdapat inervasi pada
buli buli kencing)
Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan
ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
Prosedur yang melibatkan pelvis dan
perianal
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis
aorta
Peningkatan tekana intrakranial.
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyuntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Komplikasi Tindakan
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada
anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent
dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan
spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga
sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium
anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang6.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan
estimated blood volume (EBV). Pasien
ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu
yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi
yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan
hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1.
2.
3.
Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume
darah normal telah dicapai.
4.
Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara
5.
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic
Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi
emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya
tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen
perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1)
beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature
pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Respirasi
Tekanan darah
Kesadaran
Kriteria
1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
1. Mampu nafas dalam dan batuk
2. Sesak atau pernafasan terbatas
3. Henti nafas
1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah
2. Berubah 20-50% dari pra bedah
3. Berubah > 50% dari pra bedah
1. Sadar baik dan orientasi baik
2. Sadar setelah dipanggil
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang
Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
Warna kulit
1. Kemerahan
2. Pucat agak suram
3. Sianosis
2
1
0
Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0
pada kriteria penilaian objektif.
2.5.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari
rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan
komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera
okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus
dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Intensif FKUI
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
5.
6.
7.
8.
Universitas
Sumatera
Utara
(USU).
2011.
Anestesi
Spinal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada 10 April 2013 pk.19.00
9.
10. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.