Professional Documents
Culture Documents
No
Masalah aktif
No
-
1
2
3
4
Tanggal
18-06-2015
DM tipe II
Nefropati diabetikum
Vertigo
Hipertensi
Masalah inaktif
-
Tanggal
-
BAB I
CATATAN MEDIS
I.
ANAMNESA
Anamnesis dilakukan di bangsal dahlia II 17 juni 2016 pukul 12. 30 WIB secara
autoanamnesis.
A. IDENTITAS PENDERITA
a
Nama
: Ny. Sutiyem
Usia
: 48 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Kota Semarang
Pekerjaan
: Tidak bekerja
No. RM
:50-68-57
Tgl Masuk RS
:16 06-2016
Tgl Periksa
:17 06 -2016
Tgl Keluar RS
:30 - 05 -2016
Ruang
: Dahlia 2. 15
Dalam 1
hari pasien muntah > 10x sehingga badan lemas dan tidak nafsu makan.
Ketika hendak makan, pasien selalu merasa mual kemudian diikuti muntah.
Muntah dirasa membaik apabila tiduran . selain muntah pasien juga
mengeluhkan mual dan sakit diuluhati. Pasien selalu mengalami mual terlebih
dahulu kemudian diikuti muntah.
Selain itu, pasien mengeluhkan BAB cair >5x sejak 2 bulan SMRS.
BAB cair ini muncul bersamaan dengan muntah. BAB cair warna kecoklatan
2
kadang disertai ampas kadang hanya lendir dan air saja dan tidak disertai bau
busuk. BAB darah segar disangkal, BAB kehitaman disangkal.
1 bulan SMRS pasien mengeluhkan sering berdebar- debar saat
sedang aktifitas maupun istirahat, nyeridada (-) sesak nafas (-) , kesemutan
dan tangan kaki terasa kebas dirasa sejak 1 tahun SMRS
3 hari SMRS, pasien demam nglemeng. Demam yang dirasa terus
menerus makin lama makin demam. Demam hingga menggigil disangkal.
Jadi, sejak 2 bulan SMRS pasien mengeluh Muntah > 10x /hari serta
BAB cair > 5x/ hari disertai mual, perut sebah dan terasa penuh dirawat inap 1
minggu di RS, kemudian dirumah sekitar 5 hari keluhan muntah (-) BAB cair
(-) namun tidak mau makan. Kemudian keluhan kambuh, BAB cair > 5x dan
muntah > 10x dan dibawa ke RS kembali. Kejadian ini telah berulang 4x
selama 2 bulan. Saat ini pasien datang ke RS Tugurejo dengan keluhan yang
serupa.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi
: tidak terkontrol
: Disangkal
f. Riwayat Asma
: Disangkal
: Disangkal
b. Riwayat Hipertensi
: tidak diketahui
: tidak diketahui
d. Riwayat Asma
: tidak diketahui
F. Riwayat Pribadi
a. Konsumsi asam dan pedas
: disangkal
3
b. Konsumsi alkohol
: Disangkal
c. Riwayat Merokok
: disangkal
Pusing berputar
Pusing (+),cekot cekot (-)
Penglihatan kabur (+), pandangan ganda (-)berkunang-kunang (-)
mimisan (-), tersumbat (-)
pendengaran berkurang (-), gembrebeg (-), keluar cairan (-),
darah (-).
sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah- pecah (-), gusi
berdarah (-), mulut kering (-).
Pembesaran kelenjar limfe (-)
Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
Sesak nafas (-), batuk (+)
Sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar
(-), keringat dingin (-)
mual (-), muntah (-),BAB hitam (-) BAB cair (-), nafsu makan
menurun (-) perut sebah (-) nyeri ulu hati (-)
Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-), badan lemes (-) luka
yang tidak sembuh (-),
Kencing warna seperti teh (-), sering kencing (+), nyeri saat
kencing (-),kencing nanah(-),sulit memulai kencing (-), anyanganyangan (-).
Luka (-), kesemutan (+), kebas (+) kaku digerakan (-), bengkak
(-), sakit sendi (-) akral dingin (-)
Luka (-), kesemutan (+),kebas (+) kaku digerakan (-), bengkak
(-) sakit sendi (-) akral dingin (-)
Kejang (-), gelisah (-) mengigau (-), emosi tidak stabil (-)
Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-) tampak kering (-)
4.
Tensi
: 158/99 mmHg
Nadi
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 37.3 C (peraxiller)
5.
Skala nyeri
6.
Status Internus
1. Kepala
2. Mata
direct (+/+), reflek pupil indirect (+/+), edem palpebral (-/-), pupil isokor
(2,5 mm/ 2,5 mm)
3. Telinga
(-/-)
4. Hidung
5. Mulut
6. Leher
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas jantung
-
Pinggang jantung
Pulmo
Dextra
Sinistra
Pulmo Depan
Inspeksi
Bentuk dada
Hemitohorax
Warna
Palpasi
Nyeri tekan
Stem fremitus
Perkusi
Normal
Simetris, statis, dinamis
Sama seperti kulit sekitar
Normal
Simetris, statis, dinamis
Sama seperti kulit sekitar
(-)
Normal ka=ki
Sonor seluruh lapang paru
(-)
Normal ka=ki
Sonor seluruh lapang paru
Vesikuler
Vesikuler
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Normal
Simetris, statis, dinamis
Sama seperti kulit sekitar
Normal
Simetris, statis, dinamis
Sama seperti kulit sekitar
(-)
Normal ka=ki
Sonor seluruh lapang paru
(-)
Normal ka=ki
Sonor seluruh lapang paru
Vesikuler
Vesikuler
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
- Wheezing
- Ronki kasar
- RBH
Pulmo Belakang
Inspeksi
Bentuk dada
Hemitohorax
Warna
Palpasi
Nyeri tekan
Stem fremitus
Perkusi
Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
- Wheezing
- Ronki kasar
- RBH
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
8. Ekstremitas
Keterangan
Akral dingin
Edema
Capilary refill
Reflek fisiologis
Motorik
Sensorik eksteroseptik
Superior
Inferior
(-/-)
(-/-)
>2
+/+
555/555
Raba dan nyeri
menurun
(-/-)
(-/-)
>2
+/+
555/555
Raba dan nyeri
menurun
Hasil
H 32,04
4.34
11,9
L 32.10
L 74.00
27.40
H 37.10
399
12.10
L 0.02
0.06
H 27.33
2.01
H 2.32
L 0.10
0.20
H 85.30
L 7.20
7.20
Satuan
10^3/ul
10^3/ul
g/dl
%
Fl
Pg
g/dl
10^3/ul
%
10^3/ul
10^3/ul
10^3/ul
10^3/ul
10^3/ul
%
%
%
%
%
Nilai Normal
3,8 10,6
4,4 5,9
13,2 17,3
40 52
80 100
26 34
32 36
150 440
11,5 14,5
0,045 0,44
0 0,02
1,8 8
0,9 5,2
0,16 1
24
01
50 70
25 40
28
H313
4.23
L131.8
97.1
H 2.02
9.1
H 58,8
H 44
30
mg/dL
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
mg/dL
mg/dl
U/L
U/L
<125
3.5-5.0
135-145
95-105
0,6-0.90
8.1 10.4
10,0 -50,0
0-35
0-35
Skor
Daldiono
Muntah/haus : 1
TD
sistolik
Vox cholerica : 0
60-90 Turgor kulit menurun :
mmhg : 0
1
TD sistolik < 60mmHg : washer woman hand :
0
Nadi > 120x/menit : 0
Apatis : 0
Somnolen/koma/stupor :
0
Extremitas dingin : 0
Sianosis :0
Usia 50-60 th :-1
0
RR> 30x/menit:0
Facies cholerica :0
Usia > 60 th :0
Skor : 1
B. EKG
10
Irama
: Sinus,
2.
Frekuensi
: 108x/menit
3.
Regularitas
4.
Axis
5.
Zona transisi : V4
6.
Gel P
7.
Interval PR
8.
9.
Gel Q
11. ST segmen
: isoelektrik
12. Gel T
Kesan EKG : Irama sinus takikardi ,regular, dengan deviasi cor ke kiri disertai
hipertrofi atrium kiri.
IV. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
1.
13.
14.
15.
16.
Tampak lemas
T : 37.9 C peraxiler
LP : 83 cm
Nyeri tekan region
epigastrium
17. Turgor > 2 detik
18. Auskultasi jantung,
frekuensi
>
100x/menit
19. Sensorik
eksteroseptif
menurun extremitas
superior dan inferior
Pemeriksaan
penunjang
20. GDS : 220mg/dl
21. AL : H 15.43 10^3/ul
22. Eosinofil L 0.1 %
23. Neutrofil H 85.40 %
24. Limfosit L 9,10%
25. SGOT H 44 U/L
26. EKG sinus takikardi,
deviasi ke kiri (LAD),
hipertrofi atrium kiri
V. DAFTAR MASALAH
1. Gastroenteritis
kronik
dengan
dehidrasi
ringan-sedang
1,2,34,5,6,7,8,10,13,14,16,17,21,22, 23, 24
2. Diabetes Melitus tipe II 12,15,20
3. Neuropati diabetika 11,12,19,20
4. Hipertrofi atrium kiri 9,18,25,26
VI. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Problem : Gastroenteritis kronik dengan dehidrasi ringan sedang
12
Etiologi :
-
Faktor resiko :
-
Usia lansia
Jenis kelamin
Komplikasi :
-
Esofagitis
Inisial Pan :
Diagnosis
Terapi
makan
13
Monitoring
Edukasi
Tirah baring
Dimulai dari makanan yang halus dan porsi kecil tetapi sering
Etiologi :
-
Resistensi insulin
Faktor resiko :
-
Komplikasi :
-
Gastropharesis diabetika
Inisial Plan :
Diagnosis
Terapi
14
Monitoring
Edukasi
-
Etiologi :
-
Faktor resiko :
-
Komplikasi :
-
Ulkus DM
Inisial Plan :
Diagnosis
Terapi
Monitoring
Edukasi
15
Komplikasi :
-
Kardiomiopati dilatasi
Inisial Plan :
Diagnosis
Terapi
o Infus RL 30 tpm
Monitoring
Edukasi
Tirah Baring
27Mei 2016
Mual (+) muntah > 10x/hari, makan (-) hanya makan biscuit 3 biji,
punggung panas (+) BABcair 4x/hari
KU
: tampak lemas
16
Kesadaran : CM
TD
: 145/ 90 mmHg
HR
: 78 x/menit
RR
: 22 x/menit
T
: 36,5 oC
GDS
: 189 mg/dl
Cor :
- Auskultasi : BJ1> II regular, HR< 100x/menit
Abdomen :
- Inspeksi tampak datar
- Auskultasi Bising usus 14x/menit
- Palpasi nyeri tekan epigastrium (+)turgor < 2
- Perkusi timpani
Extremitas : kesemutan (+/+) akral dingin (-)
A
Gatroenteritis kronik
DM tipe II
Neuropati diabetika
RAH
P
Terapi lanjut
Tanggal
S
O
28 Mei 2016
Mual (+) muntah > 5x/hari, makan (-)ketika mau makan selalu mual
dan muntah, punggung panas (+) BABcair 2x/hari, tidak bisa tidur
KU
: tampak lemas
Kesadaran : CM
TD
: 158/ 88 mmHg
HR
: 89 x/menit
RR
: 19 x/menit
17
T
: 36,5 oC
GDS
: 76 mg/dl
Hasil Lab :
HbA1c 5.5 %
Kolesterol total 187 mg/dl
Trigliserid 102 mg/dl
LDL 28 mg/dl
HDL 31 mg/dl
Asam Urat 8.9 mg/dl
Abdomen :
- Inspeksi tampak datar
- Auskultasi Bising usus 8x/menit
- Palpasi nyeri tekan epigastrium (+)turogor < 2
- Perkusi timpani
Extremitas : kesemutan (+/+) akral dingin (-)
A
Gatroenteritis kronik
DM tipe II
Neuropati diabetika
RAH
Hiperurisemia
-
Terapi tetap
Air gula 2cth dalam 100 cc, cek GDS 2 jam po
Allopurinol 100 mg tab /12 jam
\
29 Mei 2016
Tangga
l
S
O
Mual (+) muntah 3 x/hari, makan (+)punggung panas (+) BABcair (-)
KU
: tampak lemas
Kesadaran : CM
TD
: 148/ 880 mmHg
HR
: 90 x/menit
RR
: 19 x/menit
18
T
GDS
P
Tangg
al
S
: 36,5 oC
: 114 mg/dl
Abdomen :
- Inspeksi tampak datar
- Auskultasi Bising usus 8x/menit
- Palpasi nyeri tekan epigastrium (+) turgor < 2
- Perkusi timpani
Extremitas : kesemutan (+/+) akral dingin (-)
Gatroenteritis kronik
DM tipe II
Neuropati diabetika
RAH
Hiperurisemia
- Terapi tetap
- Konltasi rehabilitasi medis
30 Mei 2016
Mual berkurang, muntah 2 x/hari, makan (+)dengan bubur, punggung panas (berkurang)
BABcair (-)
KU
: tampak lemas
Kesadaran : CM
TD
: 160/80/ mmHg
HR
: 90 x/menit
RR
: 19 x/menit
T
: 36,5 oC
GDS
: 133 mg/dl
Abdomen :
- Inspeksi tampak datar
- Auskultasi Bising usus 6x/menit
- Palpasi nyeri tekan epigastrium (+) turogor < 2
- Perkusi timpani
Extremitas : kesemutan (+/+) akral dingin (-)
Gatroenteritis kronik
DM tipe II
Neuropati diabetika
RAH
- Rehab medis, mialgiia parasklapuler, dipanasin
- Boleh Pulang :
- Alopurinol 100 mg /12 jam po
- Paracetamol 500 mg/8 jam
- Gliquidone 30 mg/ 24 jam
- Ulsafat syr 1 cth / 8jam
- Mecobalamin 100 mg /24 jam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
19
A. GASTROPARESIS DIABETIKA
1. Definisi
Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis
diabetika. Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati
diabetik. Bell et al mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan
neuropati traktus gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes. Talley
et al menggunakan istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom klinis dari
gangguan saluran cerna bagian atas akibat gangguan motilitas pada pasien
diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan pengosogan lambung.
American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan
bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala yang
sesuai, keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi obstruktif
pada lambung maupun usus halus. Dengan demikian, gastroparesis diabetik dapat
didefinisikan sebagai gastroparesis yang terjadi pada pasien dengan diabetes
melitus dengan kriteria gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan AGA.
Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian
atas seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan
gangguan fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang
multifaktorial. Keluhan rasa penuh dan kembung sering sebagai prediksi adanya
keterlambatan pengosongan gaster, tetapi banyak pasien dengan gastroparesis
yang relative asimtomatik. Gastroparesis asimtomatik sering timbul pada pasien
dengan diabetes melitus.
2. Epidemiologi
Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab
kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedang
penyakit tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%).
Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada penderita
diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan beberapa
20
factor antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM atau NIDDM,
diabetes yang lama dan berat, dengan atau tanpa gejala gastroparesis), kriteria
yang digunakan untuk diagnosa gastroparesis (berdasarkan gejala-gejala saja,
berdasarkan adanya kelainan motorik ataupun elektrik lambung, atau
berdasarkan keterlambatan pengosongan lambung), dan metode yang digunakan
untuk menilai, mengosongkan lambung (pemeriksaan barium, radiopaque
marker, USG, ataupun scintography).
Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita
diabetes mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan bahwa
prevalensi keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan sama pada
penderita IDDM maupun NIDDM.
Hasil penelitian terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya
keterlambatan waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62%
penderita, keterlambatan waktu pengosongan lambung liquid pada 25%
penderita, dan tidak ada yang mengalami keterlambatan pengosongan lambung
solid digistibel. Pada IDDM, uji scintigraphy terhadap 70 penderita
menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan liquid dan 58,6%
mengalami keterlambatan pengosongan solid. Pada NIDDM yang baru
terdiagnosa, ditemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung semisolid
pada 36,6% dari 30 penderita.
3. Patofisiologi Gastroparesis Diabetika
Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum diketahui.
Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik dari fundus,
antrum, serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan duodenum. Proses ini
merupakan interaksi yang kompleks dari otot polos, sistem saraf otonom, sel
enterik, dan sel-sel pacemaker khusus yang disebut dengan sel intersetisial
Cajal ( ICC). Neurotransmiter dan neuroendokrin juga berperan dalam
motilitas lambung. Nitrit okside ( NO) merupakan senyawa yang penting
21
berperan dalam tonus otot sfingter osefagus bagian bawah dan pilorus,
mengtur reflek fundus, serta mengatur reflek peristaltik pada usus. Disfungsi
neuron NO pada pleksus mienterikum akan menyebabkan terjadinya penyakit
gastrointestinal, termasuk gastroparesis. CRH ( Corticotropin Releasing
Hormon)
terbukti
dapat
menurunkan
motilitas
lambung.
Aktivitas
mioelektrikal pertama kali dicetuskan oleh ICC yang terdapat pada dinding
otot antrum serta corpus
hipoglikemia.
Kelailan
kadar
elektrolit
hipokalsemia,
Gejala Klinis
Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan
pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan
melalui pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk, tetapi
tidak spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap tanda-tanda
malnutrisi dan penurunan berat badan.
c.
Pemeriksaan Penunjang
Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang menunjukkan
24
elektrivitas fisiologis dari lambung pada 3 siklus per menit. Pada beberapa
pasien, dapat timbul disaritmia, takigastria (3.6 sampai 9.9 siklus per menit)
dan bradygastria (1 sampai 2.4 siklus per menit). Meskipun keluhan
dyspepsia berkorelasi lebih baik dengan elektrogastrografi dibandingkan
dengan skintigrafi, tetapi elektrogastrografi tidak dapat mengukur aktivitas
kontraktilitas lambung (Smith S., et al, 2003).
jenis
penelitian
pengosongan
lambung
meliputi scintigraphy dengan gambar yang diambil pada jam pertama, kedua
dan keempat; tes napas, dan pemeriksaan ultrasonografi. Pengosongan
lambung dari makanan fase padat oleh scintigraphy diperkirakan merupakan
teknik terbaik yang diterima untuk mendiagnosis perlambatan pengosongan
lambung karena scintigraphy dapat mengukur jumlah pengosongan makanan
berkalori fisiologis yang dapat menilai fungsi motorik lambung. Teknik
melibatkan pencampuran penanda radioisotop pada makanan standar dan
mengikuti jejaknya di dalam lambung menggunakan kamera gamma. Untuk
sebuah pemeriksaan yang dikatakan standar baku emas, perlu diperhatikan
25
octanoat
yang
dilabeli
radioisotop
karbon,
lambung,
dan
hasilnya
berkaitan
erat
dengan
hasil scintigraphy. Namun, tes ini mengasumsikan tidak ada kelainan pada
usus besar, pankreas, hati, dan fungsi paru. Penelitian menggunakan tes
pernapasan pada pasien diabetes terbatas dan validasi tambahan pada pasien
dengan gastroparesis dibutuhkan sebelum penggunaan secara luas dapat
disosialisasikan.
Pengukuran ultrasonografi dari perubahan pada regio antral lambung
setelah konsumsi makanan cair sangat berhubungan dengan tingkat
pengosongan lambung. Pencitraan ultrasound dari pengosongan makanan
cair di lambung hanya untuk penelitian dan tidak digunakan di klinik.
5. Diagnosis banding
Pada kebanyakan kasus, diagnosa gastroparesis dibuat berdasarkan
adanya mual dan muntah yang berlarut-larut pada penderita diabetes
yang lanjut, namun perlu diingat bahwa mual dan muntah sering dialami
penderita diabetes dan bukan seluruhnya disebabkan oleh gastroparesis.
26
Mual dan muntah lazim terjadi pada ketoasidosis akut yang umumnya
akan mereda setelah koreksi kelainan metabolic tersebut.
Sebelum menyimpulkan adanya suatu gangguan motilitas harus
disingkirkan kemungkinan obstruksi mekanis, peradangan maupun ulkus
dengan endoskopi ataupun foto serial saluran cerna atas. Meskipun agak
jarang, obstruksi saluran cerna
bagian
tengah
dan
bawah
dapat
pneumonia
aspirasi,
penderita
gastroparesis
yang
28
menentukan kebutuhan
symptom
dengan pengosongan
prokinetiknya
simptomatiknya
akan
menghilang
meskipun
perbaikan
dan
31
Domperidone
pada
lambung
dan
duodenum,
sedangkan
efek
dan
gangguan
endokrin
yang
berkaitan
dengan
hiperproklaktinemia.
iii. Cisapride
Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak
memiliki
sifat antidopaminergik,
akan
tetapi
meningkatkan
gastroparesis diabetika
cisapride
samping
cisapride
jauh
lebih
sedikit
dibanding
biasanya
bersifat
pengurangan dosis.
iv. Erythromycin
Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki
efek menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja
sebagai agonis motilin dengan cara berkaitan
dengan
reseptor
motilin pada antrum dan duodenum bagaian atas, dan aktivitas ini
tidak
berkaitan
menunjukkan
dengan
efek
antimikrobialnya.
Studi
inviro
erythromycin
dapat
meningkatkan
kontraksi
antrum,
pada
penderita
e. Penanganan operatif
Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan
pyloroplasty terhadap gastroparesis diabetika umumnya mengecewakan
sehingga hampir tidak digunakan, kalaupun digunakan hanya pada kasus
yang sangat berat yang tidak respons terhadap terapi medis lainnya.
mampu mengkompensasi
36
Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, riwayat keluarga
dengan diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir
lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional dan riwayat berat badan
lahir rendah < 2,5 kg.
Faktor risiko yang dapat diperbaiki seperti berat badan lebih (indeks massa
tubuh > 23kg/m2, kurang aktivitas fisik, hipertensi(>140/90 mmHg), dislipidemia
(HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl) dan diet tinggi gula rendah serat.
3. Patofisiologi
a. Resistensi terhadap insulin
Pada DM tipe II sering terjadi resitensi insulin yaitu keadaan penurunan
kemampuan hormon insulin untuk bekerja efektif pada jaringan target terutama otot
dan hati. Untuk mencapai kadar glukosa darah normal dibutuhkan kadar insulin
plasma yang lebih tinggi. Sedangkan pada penderita DM tipe II terjadi penurunan
kemampuan insulin 30-60% dari orang normal.23 Resistensi insulin menyebabkan
terjadinya gangguan pengeluaran insulin oleh jaringan yang sensitif dan peningkatan
pengeluaran glukosa hati yang ditandai dengan peningkatan gula darah puasa atau
FPG (Fasting Plasma Glucose). Kedua fenomena ini menyebabkan keadaan
hiperglikemia. Pada otot juga terjadi gangguan dalam pembentukan glikogen. 24
Efek sekunder dari hiperinsulinemia yaitu terjadi penurunan reseptor insulin
dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot. Efek post reseptor mempunyai peranan
dalam resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Reseptor Substart)
berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik ini berkombinasi menyebabkan
resistensi insulin.24
Resistensi insulin terjadi akibat defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol)
yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose
Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Akibatnya insulin tidak
dapat diangkut ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel
sehingga glukosa dalam darah meningkat dan menyebabkan hiperglikemi.23
Selain itu obesitas juga dapat mengakibatkan resistensi insulin dengan jalan
37
meningkatkan asam lemak bebas yang menganggu penggunaan glukosa pada jaringan
otot, merangsang produksi dan gangguan fungsi sel pankreas.24
b. Defek sekresi insulin
Gambaran pada penderita DM tipe II yaitu terjadinya ketidakmampuan sel
pankreas meningkatkan sekresi insulin dalam 10 menit setalah pemberian OHO
disertai lambatnya pelepasan insulin pada fase aktif. Keadaan ini dikompensasi
dengan fase lambat pada pelepasan insulin. Tetapi kadar insulin ini tetap tidak mampu
untuk mengatasi hiperglikemi yang terjadi yang mengakibatkan hiperglikemia setiap
hari. Lambatnya sekresi insulin fase akut ini menyebabkan terganggunya sekresi
glukosa endogen setelah makan serta meningkatnya glukoneogenensis melalui
stimulasi glukagon. Selain itu juga terjadi gangguan sekresi basal insulin. Sekresi
basal insulin digunakan untuk regulasi kadar glukosa darah puasa dan untuk menekan
produksi glukosa dalam hati. Pada penderita DM tipe II terjadi gangguan sifat sekresi
insulin pola berdenyut. Normalnya basal insulin disekresikan dengan kontinyu
dengan kecepatan 0.5 U jam dengan pola berdenyut 12-15 menit secara pulsasi dan
120 menit secara osilasi. 24
c. Produksi glukosa hati
Salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin adalah hepar. Insulin dan
glukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan produksi glukosa
hati. Pada penderita DM tipe II terjadi peningkatan produksi gula hati pada
peningkatan kadar gula darah puasa. Pada DM tipe II terjadi peningkatan insulin
portal, hal ini menunjukan terjadinya resistensi insulin pada sel hati. Keadaan ini
diakibatkan oleh produksi glukosa hati yang berkaitan dengan peningkatan
glukoneogenesis akibat peningkatan asam lemak bebas dan hormon glukagon.24
38
39
lipid yang memicu adanya dislipidemia pada penderita DM tipe II yang memicu
penyakit kardiovaskuler.25
Pada penderita DM Tipe II sering tidak meyadari gejala diabetes, untuk
penegakan diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan tes
toleransi glukosa. Pada keadaan hiperglikemia yang berat penderita DM Tipe II
mengalami polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Penderita DM Tipe II jarang
mengalami ketoasidosis karena tidak terjadi defisiensi insulin secara mutlak.25
5.
Diagnosis
a. Anamnesis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan adanya 3 gejala klasik DM tipe II:
a) Poliuria (sering buang air kecil)
b) Polidipsia (mudah haus)
c) Polifagia (muda lapar)
d) Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
Pada anamnesis penderita DM tipe II sering ditemukan adanya perubahan
pola makan, status nutrisi, penurunan berat badan, gangguan tumbuh kembang pada
anak atau pun dewasa, adanya riwayat infeksi kulit, gigi, traktus urogenitalis yang
tidak cepat sembuh. Selain itu pada anamnesis juga perlu ditanyakan mengenai
pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap termasuk terapi gizi
medis, penyuluhan tentang perawatan DM secara mandiri, pengobatan yang telah
dijalani termasuk obat yang digunakan serta program latihan jasmani. Pada
pemeriksaan hasil laboratorium terdahulu perlu ditanyakan riwayat pemeriksaan
HbA1c dan hasil pemeriksaan kusus yang berkaitan dengan diagnosis DM tipe II.26
Adanya
riwayat
komplikasi
akut
seperti
ketoasidosis
diabetikum,
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita DM tipe II sering tidak ditemukan gambaran
khas. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pengukuran tinggi badan dan berat
badan, pengukuran tekanan darah termasuk tekanan darah posisi berdiri dan tidur
untuk mengetahui kemungkinan hipotensi ortostatis. Pemeriksaan palpasi nadi,
pemeriksaan kulit apakah ditemukan acantosis nigricans dan bekas penyuntikan
insulin, apakah ditemukan kelainan neuropati dan kelainan kulit akibat komplikasi
mikrovaskuler DM tipe II. Dan perlu dilakukan pemeriksaan neurologis. 26
c. Pemeriksaan Penunjang
Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan glukosa
darah dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk membedakan DM
tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-peptide.27
Pemeriksaan glukosa darah
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II
dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria,
polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa
memandang terakhir kali makan. Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu
sudah dapat menegakan diagnosis DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl (plasma vena) maka penderita tersebut sudah dapat
disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tes
toleransi glukosa. 28
b) Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 812 jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila
ada obat yang harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi
pemeriksan gula darah puasa sebagai berikut : kadar glukosa plasma puasa <
110 mg/dl dinyatakan normal, 126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan
antara 110-126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
41
8. Penegakan Diagnosis
Untuk penegakan diagnosis dan klasifikasi terdapat dua indeks tambahan, yang dapat
dibagi atas 2 bagian :
1. Indeks penentu derajat kerusakan sel beta
Pemeriksaan untuk menentukan derajat kerusakan sel digunakan
pemeriksaan insulin, pro insulin dan sekresi peptide penghubung (C-peptide).
Nilai HbA1c dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga
bermanfaat untuk menentukan kerusakan sel pankreas.31
2. Indeks proses diabetogenik
Penentuan tipe dan subtype HLA, tipe dan titer antibodi dalam sirkuasi yang
ditujukan untuk pulau pulau langerhans, anti GAD (glutamic Acid
Decarboxilase), cell mediated immunity pada sel endokrin terhadap pankreas
dapat digunakan untuk penilaian proses diabetogenik.31
Diagnosis DM Tipe II berdasarkan American Diabetes Assosiasion yaitu
a) Gula darah puasa 126mg/dL (7.0mmol/L) atau lebih tinggi atau
b) Gula darah 2 jam setelah makan 200 mg/dL (11.1mmol/L) atau lebih tinggi
75 gr pada tes oral glukosa toleransi (TTGO).
c) Gula darah sewaktu 200 mg/dL (11.1 mmol/L) atau lebih tinggi terutama
pada pasien dengan gejala hiperglikemik atau krisis hiperglikemia.
d) Pada pemeriksaan HbA1c 6.5% pada pemeriksaan pertama kali. 25
Kriteria diagnosis DM tipe II menurut PERKENI 2011
a) Gejala klasik + gula darah sewaktu 200mg/dl (11,1 mmol/L). Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.10
43
b) Gejala klasik + gula darah puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/L). Gula darah puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. 10
c) Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/L). TTGO
dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa setara 75 gram
anhidrus yang dilarutkan dalam air. 10
Baik
80-100
80-144
< 6.5
< 200
<100
>45
Sedang
100-125
145 -179
6.5 -8
200 239
100 -129
Buruk
126
180
>8
240
130
44
Trigliserida
IMT (kg/m2)
Tekanan darah(mm/hg)
<150
18.5-23
<130/80
150- 199
23- 25
130 140/ 80-90
200
>25
>140/90
45
47
dapat
Efek samping
BB
naik
Penurunan A1c
1.5 -2%
Metformin
insulin
Menekan
hipoglikemia
Diare,
1.5 2%
produksi
gula hati
dyspepsia,
Penghambat glukosidase
Menghambat absorbsi
asidosis laktat,
Flatulens,
0.5 -1%
Tiazolindion
glukosa
Meningkatkan
tinja lunak
Edema
1.3%
I nsulin
sensitifitas insulin
Menekan
produksi
Hipoglikemia
Potensial
glikogen,
BB naik
normal
dan
stimulasi
sampai
pemanfaatan
glukosa
b. Insulin
Insulin digunakan pada pasien yang tidak dapat dikendalikan dengan
kombinasi sulfonylurea dan metformin.10 Untuk memenuhi kebutuhan insulin
basal digunakan insulin kerja menengah (Intermediete Acting Insulin) atau
48
Maryani,
Sri.
2003.
Gastroparesis
Diabetika.
50