You are on page 1of 7

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang
ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus
Meissneri dan pleksus mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh persen kelainan ini
terdapat pada rektum dan sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena
terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon distal pada
minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan untuk membentuk system
saraf

intestinal.

Kelainan

ini

bersifat

genetik

yang berkaitan

dengan

perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus,
sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Langer, 2005).
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886,
namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion. Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung
biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga penyakit Hirschsprung
dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid paling sering terkena,
sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17% kasus. Anak
kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
1

Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh


ibu aganglionosis dibandingkan oleh ayah (Kartono, 2010; Holscneider, 2005).
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa
pasien seperti terjadinya konstipasi, enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang
dapat menyebabkan kematian. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen
maupun barium enema, pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta
pemeriksaan patologi anatom. Manifestasi penyakit Hirschsprung terlihat pada
neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran meconium pertama
yang lebih dari 24 jam. Kemudian diikuti tanda-tanda obstruksi, muntah,
kembung, gangguan defekasi seperti konstipasi, diare dan akhirnya disertai
kebiasaan defekasi yang tidak teratur (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Langer,
2005).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut yang kembung, gambaran usus
pada dinding abdomen dan bila kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur,
feses akan keluar menyemprot dan gejala tersebut akan segera hilang. Pada
pemeriksaan enema barium didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini, yaitu :
adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi. Gambaran
mukosa yang tidak teratur menunjukkan adanya enterokolitis. Adanya gambaran
zone transisi akan menunjukkan ketinggian kolon yang aganglionik dengan
akurasi

90%.

Penyakit

Hirschsprung

terdapat

kenaikan

aktivitas

asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propia dan muskularis


2

mukosa. Pewarnaan untuk asetilkolineserase dengan tehnik Karnovsky dan Roots


akan dapat membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau pada lapisan
muskularis khususnya dalam segmen usus yang hipoganglionosis. Pemeriksaan
elektromanometri dilakukan dengan memasukkan balon kecil ke dalam rektum
dan kolon, dengan kedalaman yang berbeda-beda akan didapatkan kontraksi pada
segmen aganglionik yang tidak berhubungan dengan kontraksi pada segmen yang
ganglionik. Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan dengan memeriksa material
yang didapatkan dari biopi rektum yang dilakukan dengan cara biopsi hisap
maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan bila tidak
ditemukan sel ganglion Meissner dan sel ganglion Auerbach serta ditemukan
penebalan serabut saraf (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Holscneider, 2005).
Bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis enema barium ditemukan
tanda khas penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang pasienpun yang tidak
menderita penyakit Hirschsprung. Insiden penyakit Hirschsprung adalah satu
dalam 5.000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding
perempuan (Kartono, 2010; Langer, 2005).
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan
non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta
mencegah terjadinya sepsis (Rochadi, 2012; Kartono, 2010).
3

Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah


sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah
terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita penyakit Hirschsprung (Rochadi, 2012; Kartono, 2010).
Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan
Hirschsprung ini telah diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946)
berupa prosedur rektosigmoidektomi,

Duhamel (1956) berupa

prosedur

retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal ekstramukosa serta Rehbein


yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection. Sejumlah komplikasi
pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik komplikasi dini berupa
infeksi, dehisiensi luka, abses pelvik dan kebocoran anastomose, maupun
komplikasi lambat berupa obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis. Namun
secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah
definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir sama, namun masing-masing
prosedur memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan prosedur lainnya,
tergantung keahlian dan pengalaman operator yang mengerjakannya (Rochadi,
2012; Kartono, 2010).
Costa et al. (2006) menyatakan bahwa enterokolitis merupakan komplikasi
yang amat berbahaya dan

merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas

maupun morbiditas pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan


operasi definitif. Keadaan ini diakibatkan oleh karena stasis usus yang memicu
4

proliferasi bakteri didalam lumen usus diikuti invasi ke mukosa sehingga


terjadilah inflamasi lokal maupun sistemik (Kartono, 2010).

B. Rumusan Masalah
Angka kejadian enterokolitis dan konstipasi pada penderita Hirschsprung
di dapatkan cukup tinggi baik pada pra operasi maupun pasca operasi, hal ini
menimbulkan pertanyaan adakah keterkaitan antara kejadian enterokolitis pra
operasi dengan enterokolitis pasca operasi dan konstipasi pra operasi dan
konstipasi pasca operasi. Disamping itu perlu juga diketahui adanya faktor risiko
apa saja yang mempengaruhi kejadian enterokolitis dan konstipasi, berdasarkan
uraian dalam latar belakang masalah diatas dirumuskan suatu permasalahan :
Faktor prognostik apa saja yang berpengaruh terhadap munculnya komplikasi dini
enterokolitis dan konstipasi pada pasien penyakit Hirschsprung yang di operasi
dengan tehnik ERPT di Rumah Sakit Sardjito.

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan antara kejadian enterokolitis dan konstipasi pra
operasi terhadap enterokolitis dan konstipasi pasca operasi pada pasien penyakit
Hirschsprung yang dioperasi menggunakan prosedur Soave di bagian Bedah Anak
RSUP Dr. Sardjito Jogyakarta, disamping mengetahui faktor prognostik apa saja
yang mempengaruhi terjadinya enterokolitis dan konstipasi pada penderita
penyakit Hirschsprung.

D. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini diperoleh data base angka kejadian
enterokolitis dan konstipasi pada penderita penyakit Hirschsprung yang dioperasi
menggunakan prosedur Soave di bagian Bedah Anak RSUP Dr. Sardjito
Jogyakarta, sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan kajian dan penelitian
selanjutnya. Selain itu diharapkan perolehan data adanya faktor-faktor prognostik
yang mempengaruhi kejadian enterokolitis dan konstipasi pra operasi maupun
pasca operasi, yang nantinya dapat dijadikan pedoman acuan dalam pemulihan
pasca operasi pasca operasi di RS Dr. Sardjito Yogyakarta.

E. Keaslian Penelitian
Di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah
dilakukan penelitian berkaitan dengan tehnik Endorektal Pull-Through antara
lain:
1. Kertiyasa, pada tahun 1994 melakukan penelitian dengan judul : Evaluasi Hasil
Operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno di RS Sardjito
Yogyakarta.
2. Ismunanto, pada tahun 2002 melakukan penelitian dengan judul : Evaluasi
hasil operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno di RS Sardjito
Yogyakarta.
3. Surya Alam, pada tahun 2006 melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh
Kolostomi pada Hasil Operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi
Soewarno di RS Sardjito Yogyakarta.
6

4.

Masrun Fatanah, pada tahun 2007 melakukan penelitian dengan judul :

Evaluasi Outcome operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno


di RS Sardjito Yogyakarta.
5. Tri Atmaja di RS Dr Sardjito/ FK UGM Yogyakarta melakukan penelitian
dengan rancangan analitik before dan after yaitu melihat kejadian enterokolitis pra
operasi serta faktor-faktor prognostik yang berperan dan mengamati ada tidaknya
kejadian enterokolitis 3 bulan pasca operasi sebagai salah satu outcome
keberhasilan operasi.
6. Ali Setiawan tahun 2010 di RS Dr Sardjito/ FK UGM Yogyakarta melakukan
penelitian tentang evaluasi enterokolitis pre operasi dan pasca operasi pada
penyakit Hirschsprung yang diterapi dengan prosedur SOAVE.
7. Zadrak Anderias tahun 2011 melakukan penelitian tentang Faktor Prognostik
yang Mempengaruhi terjadinya Konstipasi pada Pasien Hirschsprung

Pasca

Operasi SOAVE di RSUP DR Sardjito.


Dari Penelitian-penelitian yang sudah ada tersebut belum pernah ditulis mengenai
factor-faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya enterokolitis dan
konstipasi pada pasien Megacolon (Hirschsprungs disease)

pasca operasi

endorectal pull-through Soave.

You might also like