Professional Documents
Culture Documents
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Nama : An. YA
ANAMNESIS
NO RM : 368257
Umur : 15 tahun
Ruang : Melati
Nama Lengkap
: An. Y A
Jenis Kelamin
: Perempuan
: Karanganyar, 01/01/2001
Umur
: 15 tahun
Nama Ayah
: Tn. S
Umur
: 30 tahun
Pekerjaan Ayah
: Petani
Nama Ibu
: Ny. M
Umur
: 30 tahun
Pekerjaan Ibu
Pendidikan Ibu
: SMP
Alamat
: Malanggaten, Kebakkramat
Tanggal Masuk RS
: 24 April 2016
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM : 368257
: Gatal-gatal
KELUHAN TAMBAHAN
:-
:: disangkal
3. Pohon keluarga
: laki laki
: perempuan
: pasien
: meninggal
RIWAYAT PRIBADI
1. Riwayat kehamilan dan persalinan
2
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM : 368257
ASI semaunya
3 6 bulan
ASI semaunya
6 9 bulan
ASI semaunya ditambah bubur susu 3 sendok makan 2-3 kali sehari
9 12 bulan
1 2 tahun
Kesan : Pasien tidak mendapat ASI eksklusif, kualitas makanan cukup, kuantitas
makan cukup.
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM : 368257
Motorik Kasar
Motorik Halus
Bahasa
Personal-sosial
Tengkurap, angkat
kepala
Menggerakan kepala
kekiri dan kekanan
Menoleh ke
sumber suara
Tersenyum
(3,5 bulan)
(3 bulan)
(5 bulan)
Duduk sendiri
Memegang benda
Mengucapkan
kata
(9 bulan)
(5 bulan)
(8,5 bulan)
(7 bulan)
Berjalan
berpegangan
Menaruh benda di
mulut
(10 bulan)
(5 bulan)
Sebut nama
sendiri (24
bulan)
Berjalan sendiri
tanpa bantuan (15
bulan)
Belajar makan
sendiri (2 tahun)
(1 bulan)
Bisa
membaca (6
tahun)
(30 bulan)
Belajar mewarnai (4
tahun)
Belajar menulis (5
tahun)
Masuk kelas 1 SD (6
tahun)
B. Ulangan
Hepatitis B : 4x
di
BCG
Skar: -
: 1x
: puskesmas
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
DPT
: 4x
di
NO RM : 368257
: puskesmas dan
Pada umur : 6 th
sekolah
Polio
:4x
di
: puskesmas
Pada umur : -
Campak
: 2x
di
: puskesmas dan
Pada umur :7 th
sekolah
Kesan : Vaksinasi dasar lengkap menurut PPI dan sudah mendapatkan ulangan
Kardiovaskuler
Respiratori
Gastrointestinal
Urogenital
Muskuloskeletal
Integumentum
Otonomik
: demam (-)
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
PEMERIKSAAN
Nama : An. Y A
JASMANI
PEMERIKSAAN OLEH
NO RM : 368257
Umur : 15 tahun
Ruang : Melati
Tanggal 25 April 2016
13.00
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 88 x /menit
RR
: 22 x /menit
Suhu
: 36,4 C
Status Gizi
BB/TB : 3900 gram/ 145 cm
Kesimpulan : Gizi Baik
PEMERIKSAAN KHUSUS
Kulit
Kepala
Leher
Mata
Jam
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Hidung
Mulut
Kesan
Thorax
NO RM : 368257
Paru
Pemeriksaan
Kanan
Kiri
Simetris
Simetris
Palpasi
Perkusi
Sonor (+)
Sonor (+)
Inspeksi
Simetris
Simetris
Palpasi
Perkusi
massa (-)
Sonor (+)
massa (-)
Sonor (+)
Inspeksi
Depan
Auskultasi
Belakang
Auskultasi
Cor
Hasil pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Perkusi
NO RM : 368257
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
: peristaltik (+)
Perkusi
: timpani (+)
Palpasi
Hepar
Lien
Anogenital
Kesan : Cor dalam batas normal, Paru dalam batas normal, Abdomen dalam batas
normal
Ekstremitas
: akral hangat (+), deformitas (-), kaku sendi (-), sianosis (-), edema (-)
Tungkai
Kanan
Lengan
Kiri
Kanan
Kiri
Gerakan
: bebas
bebas
bebas
bebas
Tonus
: normal
normal
normal
normal
Trofi
: entrofi
eutrofi
eutrofi
eutrofi
Klonus Tungkai
: (-)
(-)
(-)
(-)
Reflek fisiologis
: triceps (+) normal, reflek patella (+) normal, reflek achiles (+) normal
Refleks patologis
: babinski (-), chaddock (-), oppenheim (-), gordon (-), rosolimo (-)
Meningeal Sign
: kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-), brudzinski III (-)
brudzinski IV (-)
Sensibilitas
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
b.
c.
d.
e.
NO RM : 368257
RPD (-)
ASI (-)
Riwayat ANC baik, persalinan spontan dan PNC baik, bayi minum tidak ASI eksklusif.
Keadaan sosial ekonomi dan kondisi lingkungan rumah cukup baik
: 36,1 C
DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis Kontak Iritan
Urtikaria, selain karena obat
RENCANA PENGELOLAAN
Rencana Tindakan
Resusitasi neonatus
Obsevasi keadaan umum dan vital sign
Rencana Terapi
Infus KN3A 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
9
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Inj. Metilprednisolon 10 mg/ 8 jam
NO RM : 368257
Zinc tab 1 x 1
Citirizin tab 1 x 1
Vitamin C tab 3 x 1
Rencana Edukasi
Menjelaskan kepada orangutan pasien mengenai kondisi pasien
Menjelaskan tentang kemungkinan terburuk dari kondisi pasien
Menjelaskan kepada orang tua kemungkinan adanya alergi obat pada pasien
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: ad bonam
: ad bonam
Tgl
S
O
datang Umur : 0 hari, BB : 1400
25/4 Pasien
/16
dengan
keluhan
gatal-gatal
di
gram
Drug
Erruption
N: 88x/m, RR : 22x/m, S :
jam
pipi
36,4C
Zinc tab 1 x 1
Pasien merasakan
Citirizin tab 1 x 1
sejak
Status generalisata
bengkak.
1
minggu
pasien
mengkonsumsi
amoxcillin.
Thorax : SDV(+/+) Rh
(-/-) Wz (-/-)
Cor: BJ I II rg, bising (-)
Abd : distensi (-), nyeri
tekan (-)
Extremitas : akral hangat
10
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM : 368257
26/4
/16
gatal-gatal sudah kg
Erruption
berkurang,
N: 88x/m, RR : 20x/m,
jam
S : 36,8C
Zinc tab 1 x 1
Citirizin tab 1 x 1
Status generalisata
Vitamin C tab 3x 1
27/4
/16
malam
pasien
mengeluhkan
kadang gatal.
jam
Zinc tab 1 x 1
Citirizin tab 1 x 1
Vitamin C tab 3x1
Status generalisata
Kulit : Ikterik (-), papula
(+)
Kepala: SI(-/-), CA (-/-)
Leher : PKGB (-/-)
Thorax : SDV(+/+) Rh
(-/-) Wz (-/-)
Abd : distensi (-), nyeri
tekan (-)
11
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Extremitas : akral hangat
12
NO RM : 368257
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
DISKUSI
Drug Eruption
A. Definisi
Drug Eruption atau Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi
alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat
yang biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat kumur, obat
mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara topikal dapat pula
menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh kulit.
(Hamzah, 2008)
B. Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit dan studi epidemiologi, uji klinis
terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari
total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping
pemakaian obat-obatan.
(Lee, 2006)
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda
pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun. Di Amerika Serikat,
lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena reaksi simpang obat (RSO) atau adverse
drug reactions yang serius. 3-6% pasien rawat jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap
mengalami reaksi simpang obat yang serius. Faktor yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko reaksi hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus
Erythematosus), atau pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak
tersensitisasi oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi
reaksi alergi serius.
(Riedle, 2013)
C. Etiologi
a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon terhadap
obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada
13
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi
fungsi fisiologis.
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan tipe
B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada
dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada tiap individu.
Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B merupakan
reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis,
dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada
individu yang rentan. Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi
(hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi
obat alergik.
(Budi, 2013)
Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan
dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek withdrawal (tipe E) dan
kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan
berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin,
nefropati analgetik serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh
kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan
dengan waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E).
Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau
kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan
teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera
setelah penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Reaksi tipe F
lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan oleh interaksi
obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada
pemakaian penginduksi enzim spesifik.
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari
respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan bagian dari
RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
14
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah
kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses
alergi.
6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu
faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat),
serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya,
penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum,
streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang
potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan dengan
berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau
tidak imunogenik.
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk
tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk
tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi produksi imunoglobulin
spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons
imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang
diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor
penting, demikian juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin.
(Budi, 2013)
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan
dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi. Frekuensi pemberian
obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu
reaksi alergi, interval pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang
terjadi.
(Riedl, 2013)
3. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan, namun
umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan
15
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
dewasa, walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anakanak. Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi
lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem
imun.
(Deswartee, 2010)
4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat.
Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu
dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6
% mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba; sedangkan individu
dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.
(Riedl, 2013)
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu
tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara
berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat
baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10
kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non--laktam. Reaksinya
tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.
(Budi, 2013)
6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem
imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya ROA. 5
Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami
defisiensi limfosit T supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE
(Shear, 2008)
Contoh lain adalah ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin yang
lebih sering terjadi selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien
dengan leukemia limfatik.
(Budi, 2013)
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap
obat.
(Budi, 2013)
16
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik
(alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan
mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).
Mekanisme imunologik
EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah mempunyai
hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya berfungsi sebagai
hapten yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya reaksi hipersensitivitas
karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia
sifatnya reakif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat
alergik dilakukan klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu :
1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.
2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas
3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik
a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption
b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)
c) Nekrolisis epidermal toksik
4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.
(Riedl, 2013)
Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai
72 jam sesudah pemberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria.
Kadang-kadang berupa rash morbiliformis atau edema laring. Reaksi yang lambat
(late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini
ditimbulkan oleh antibody IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthema
dihubungkan dengan antibody IgM.
Aspek imnunopatogenesisnya adalah:
17
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis, dan reaksi fase II
adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan pembentukan senyawa inaktif yang
mudah diekskresi.1,6 Reaksi oksidasi membutuhkan
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya
(hapten) dengan karier makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalen
yang penting untuk inisiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas.
Ligan yang univalen (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat
menghambat respon imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada
reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan
angka kejadian ROA.
Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim untuk
memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450 multiple
berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim yang potensial
yang dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif. Kulit juga merupakan
organ imunologis yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritik pada
pathogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik mungkin dapat menerangkan
mengapa kulit merupakan organ yang paling sering mengalami ROA.
2. Pengenalan Obat Oleh Sel T
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui
molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen eksogen misalnya
protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui
perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan
oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari
antigen endogen dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T
tidak hanya mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau
sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang
dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.
Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat
oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal
tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide
pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh
beberapa faktor termasuk sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul
adhesi antara sel T dan APC. Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC
telah dikemukakan sebagai berikut :
a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)
20
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
21
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
terbentuk
terhadapnya
sehingga
menghancurkan
trombosit
kina,
dan
sulfonamid
dapat
mengikat
sel darah
merah,
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen.1 Komplemen yang teraktivasi kemudian melepaskan berbagai
mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan seperti
macrophage chermotatic factor.
1,5
obat,
yang
mengaktifkan
kaskade
komplemen,
menyebabkan
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
makulopapular
atau
morbiliformis
atau
disebut
juga
erupsi
eksantematosa merupakan erupsi yang timbul generalisata dan simetris, dan dapat
terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di
wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya
24
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
mucul dalam 1 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul
setelah obat dihentikan. Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula
diikuti demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang
biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan.
Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi.
Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis
eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.
25
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
sulfonamid,
antikonvulsan,
allopurinol,
tetrasiklin,
eritromisis,
26
ILMU
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
NO RM :
368257
Gambar 2. Urtikaria
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.
Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan jaringan
subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya berkembang pada lokasi
tertentu saja. Edema biasanya simetris. Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak
mata, gentalia eksterna, dan punggung tangan dan kaki. Edema pada glottis, laring
dan lidah merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan
pertama dapat menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah
penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.
27
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Gambar 3. Angiooedema
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd
edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
eritema
dan
rasa
panas
setempat.1
Lesi
kemudian
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Obat
yang
sering
menyebabkan
FDE
ialah
sulfonamide,
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.
29
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)
DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang
biasanya disertai skuama.
Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2005.
30
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
31
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
32
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
34
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Multiforme
atau
disebut
juga
Herpes
iris,
lendir
dengan
gambaran
bermacam-macam
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
36
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
37
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
dosis
setara.
Kelebihan
metilprednisolon
adalah
efek
39
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut
belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi
darah (whole blood) adalah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfuse
leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung
banyak sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan. Indikasi
pemberian transfuse pada SSJ dan NET adalah :
1.
2.
3.
40
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
kesadaran(spoor-komatosa),
selanjutnya
lesi
kulit
E. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu
memastikan penyebab erupsi obat alergik :
a. Pemeriksaan in vivo :
1. uji tempel (patch test)
2. uji tusuk (prick/scratch test)
3. uji provokasi (exposure test)
Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis.
b. Perneriksaan in vitro :
1. Yang diperantarai antibodi :
a) Hemaglutinasi pasif
b) Radio immunoassay
c) Degranulasi basofil
41
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
42
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sisteik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet
prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis
medikamentosa,
purpura,
eritema
nodusum,
43
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi
salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
H. Komplikasi
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin dari FDE. Potensi
untuk infeksi ada dalam kasus lesi multipel erosi. Erupsi generaliata telah
dilaporkan setelah pengujian provokasi topikal dan oral.
I. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll
dan sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada
luas kulit yang terkena.
J. Pencegahan
Pencegahan reaksi alergi obat
Hindari polifarmasi
Tepat indikasi,tepat dosis,tepat penderita
Anamnesis riwayat alergi obat sebelumnya
Desensitisasi
Upaya mengubah kondisi penderita yang sebelumnya sangat peka menjadi
toleran terhadap obat
Dimulai dengan pemberian dosis rendah dan dinaikkan bertahap
44
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Pembahasan
An. YA jenis kelamin perempuan lahir pada usia kehamilan 37+6 minggu
dengan persalinan spontan normal pada tanggal 1 Januari 2001 dan dirawat di
bangsal melati RSUD Karanganyar dengan keluhan gatal-gatal di seluruh tubuh,
disertai pipi bengkak. Dari autoanamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan An.
Y A mengalami gatal-gatal di seluruh tubuh setelah mengkonsumsi amoxicillin
sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan gatal-gatal ini berupa papulla dan ekskoriasi
bekas garukan yang disebut drug eruption. Drug eruption atau Erupsi obat alergik
atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Penyebab terbanyak terjadinya drug eruption adalah golongan antibiotika
(52,6%). Mekanisme drug eruption dapat terjadi secara imunologik dan non
imunologik. Mekanisme imunologis merupakan suatu mekanisme yang mendasari
terjadinya reaksi obat, sedangkan mekanisme non imunologik terjadi akibat dari
dosis yang berlebihan, toksisitas kumulatif, efek samping, gangguan ekologi
interaksi obat dan reaksi idiosinkrasi serta intokrasi obat. Beberapa hal yang
berpengaruh terjadinya respon imun bergantung terhadap faktor obat dan faktor
penderita. Faktor obat antara lain, struktur kimia dan reaktivitas, reaksi selang,
cara pemberian obat dan dosis, lamanya , jumlah rentetan terapi. Faktor penderita
antara lain, faktor genetik, riwayat alergi obat sebelumnya, penyakit yang
mendasari, sistem imun dan reagulasi respon imun terhadap obat.
45
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
Pada kasus di atas, pada pasien terjadi drug eruption. Kemungkinan drug
eruption yang terjadi dikarenakan karena faktor sistem imun dan regulasi respon
imun penderita terhadap obat..
Komplikasi langsung yang dapat terjadi Hiperpigmentasi adalah komplikasi
yang paling mungkin dari FDE. Potensi untuk infeksi ada dalam kasus lesi
multipel erosi. Erupsi generaliata telah dilaporkan setelah pengujian provokasi
topikal dan oral.
DAFTAR PUSTAKA
ILMU
NO RM :
KESEHATAN
ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
368257
DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. 2010. Dalam : Patterson R, et al. Alergic
Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher. p 317 352.
Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG, Rengganis
I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 129.
Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.
(cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor.
Dermatology Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19.
James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrews Disease of The
Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p 11538.
Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p 454-69.
47