You are on page 1of 26

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri bukan hanya
merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan seuatu pengalaman. Menutut the
international association for the study of pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan
jaringan tersebut. 1
Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek
fisik dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan
perilaku, gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri
mempengaruhi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. 1
Nyeri dapat dirasakan atau terjadi secara akut dapat pula dirasakan secara kronik oleh
penderita. Nyeri akut akan disertai hiperaktivitas saraf otonom dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya
nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita.
Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu
dapat berkembang menjadi nyeri kronik. 2
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan
hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga
menyangkut kelainan transmitter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf.
Dilain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortalitas, dan mutu kehidupan.
Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit
atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan
mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu
pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi
reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam
dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).1,2

REFARAT ANALGETIK

Page 1

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. NYERI
A. Definisi
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP,
1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. 1,3
B. Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai
oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla
spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,
maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.1,3,4
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius
ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan
menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi . 1,2,3
Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan
kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang
nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor
menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers). 3,4
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi
nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor
spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan
berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi. 3,4

REFARAT ANALGETIK

Page 2

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent). 3,4,5
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
ke dalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf di dalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri. 3,4
C. Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang
nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri). 4,5
1. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer. 4,5
2. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut
mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan
sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan
REFARAT ANALGETIK

Page 3

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih
difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnyaimpuls
disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi
nyeri. 4,5
3. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi di susunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgetik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgetik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgetik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang. 4,5
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik. 4,5

REFARAT ANALGETIK

Page 4

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Gambar 1. Perjalanan Nyeri 2

D. Klasifikasi Nyeri
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera
fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan
kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat
sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi
(akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker). 4,5
1. Berdasarkan waktu
Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah
nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera
setelah pembedahan sampai tujuh hari2. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai
malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting
REFARAT ANALGETIK

Page 5

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik
kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis
yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada
spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit. 3,4,5
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat
nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia.
Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada
atau tidaknya nyeri. 3,4,5
Tabel.1 Perbedaan nyeri akut dan kronis. 3

2. Berdasarkan Patofisiologi
Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif
adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang
menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgetik opioid atau non opioid. 3,4,5
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada
saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgetik opioid. 3,4,5

REFARAT ANALGETIK

Page 6

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI

Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari
tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri
viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering
bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi,
dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. 3,4,5
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot
lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada
peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering
digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena. 3,4,5
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada
organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan. 3,4,5
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang
dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari
struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls
nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical,
ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem
simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim
otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat
sensitif pada nyeri. 3,4,5
Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi
dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot
skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau
iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang
menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding
parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi
pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri
REFARAT ANALGETIK

Page 7

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada
daerah yang rusak. 3,4,5
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari
viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri
berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus
dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri
berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen,
rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah. 3,4,5
E.Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk
menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. 3,4,5
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada
pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat. 3,4,5
Gambar 2. Wong Baker Faces Pain Rating Scale 3

REFARAT ANALGETIK

Page 8

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
2. Verbal Rating Scale (VRS) 3
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ;
tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar 3. Verbal Rating Scale.

3. Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 5 atau 0
10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri
yang hebat. 3,4,5
Gambar 4. Numerical Rating Scale3

4.Visual Analogue Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan
skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan
lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS
telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya
dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik
kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
REFARAT ANALGETIK

Page 9

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah
dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesic penyelamat (rescue analgetic). 3,4,5
Gambar 5. Visual Analogue Scale. 3

2.2 ANALGETIK
Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya
rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang
memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya
mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik
dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid). 6,7
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya
dengan kemungkinan efek samping paling kecil. 3
Tujuan penatalaksanaan nyeri antara lain: 3

Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri


Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang

persisten
Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari.

REFARAT ANALGETIK

Page 10

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Terdapat dua metode umum terapi nyeri : non farmakologik dan farmakologik. 3
Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu
penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang
dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal,
nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan
rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral
Stimulation). 6,7
Farmakologis
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Obat analgetik
bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS bekerja
diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid
bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi. 6,7
1. Analgetik non opioid ( non steroid antiinflamasi)
Obat antiinflamasi nonsteroid secara umum memiliki efek sebagai analgetik (anti
nyeri), antipiretik (penurun demam), dan pada dosis tinggi dapat sebagai antiinflamasi
(meredakan peradangan). Obat AINS menurut mekanisme penghambatannya dapat dibedakan
menjadi AINS non-selektif dan AINS selektif COX-2. Beberapa obat yang tergolong AINS
non-selektif adalah aspirin, naproksen, ibuprofen, diklofenak, dan indometasin. Sedangkan
obatobat yang tergolong AINS selektif COX-2 adalah valdecoxib, celecoxib, dan etoricoxib.
Berdasarkan penggolongan kimianya, AINS non-selektif dapat dibedakan menjadi golongan
salisilat, fenamat, asam pianokarboksilat, asam asetat, asam propionat, dan asam pirozolin
karboksilat. Penggolongan selengkapnya sebagai berikut: 6,7

Skema 1. Pembagian Obat AINS6,7


AINS
REFARAT ANALGETIK

Page 11

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI

Mekanisme Kerja
AINS dapat mengurangi rasa nyeri dan inflamasi melalui penghambatan jalur
siklooksigenase (COX). Jalur siklooksigenase ini dibedakan menjadi siklookigenase-1 (COX1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Ketika ada stimulus, membran fosfolipid akan
menghasilkan fosfolipase-A2 yang kemudian menstimulasi asam arakidonat untuk
menghasilkan

siklooksigenase

dan

membantu

endoperoksida

untuk

menghasilkan

prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. COX-1 bersifat konstitutif, yaitu keberadaannya


selalu tetap dan tidak dipengaruhi stimulus. COX-1 ini berperan normal dalam tubuh untuk
menghasilkan prostaglandin yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain prostaglandin, COX-1 juga
mengkatalisis pembentukan tromboksan A2 yang dapat meningkatkan agregasi platelet dan
menimbulkan vasokonstriksi. Sedangkan, COX-2 bersifat indusibel, yaitu keberadaannya
dipengaruhi oleh adanya stimulus. Selain menghasilkan prostaglandin, COX-2 juga
mengkatalisis pembentukan prostasiklin yang dapat menurunkan agregasi platelet. Oleh
karena itu, obat-obat AINS bekerja dengan menghambat jalur siklooksigenase agar tidak
dihasilkan prostaglandin yang merupakan mediator nyeri. 6,7
Prostaglandin juga dapat menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
vaskular yang kemudian menyebabkan terjadinya inflamasi. Karena AINS menghambat
siklooksigenase maka prostaglandin pun tidak dapat menyebabkan inflamasi. 6,7

REFARAT ANALGETIK

Page 12

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Prostaglandin juga dapat bersifat pirogenik saat berada di otak. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan suhu tubuh melalui stimulasi ke termoregulator yang ada di
hipotalamus. Sehingga, beberapa obat AINS juga dapat berperan sebagai antipiretik, seperti
aspirin dan ibuprofen. 6,7

Efek Samping
AINS dapat menimbulkan efek samping apabila digunakan dalam jangka waktu
panjang dan dalam dosis tinggi. Selain itu, efek samping juga risikonya tinggi pada pasien
usia lanjut. Seperti pada gambar yang ditunjukkan di samping, keselektifan masing-masing
obat terhadap COX-1 atau COX-2 berbeda-beda. Bila obat lebih selektif dalam menghambat
COX-1 maka dapat menyebabkan timbulnya efek samping di saluran pencernaan, termasuk
perdarahan dan ulserasi. Hal ini dapat terjadi karena prostaglandin yang dikatalisis oleh
COX-1 dalam keadaan normal juga berperan melindungi mukosa lambung dengan cara
menstimulasi sekresi mukus dan bikarbonat serta menyebabkan vasodilatasi. Karena
menghambat prostaglandin, maka efek proteksi atau perlindungan terhadap lambung menjadi
berkurang. Sebagian besar obat yang termasuk AINS non-selektif bekerja menghambat COX1. 6,7,8

REFARAT ANALGETIK

Page 13

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Berbeda dengan AINS non-selektif, AINS selektif COX-2 memiliki efek samping
yang lebih rendah di saluran pencernaan karena keselektifannya dalam menghambat COX-2.
Namun, AINS selektif COX-2 ini dapat menyebabkan infark miokard dan stroke karena
terjadi penghambatan COX-2 saja. Seperti kita tahu, COX-2 selain mengkatalisis
pembentukan prostaglandin, juga mengkatilisis pembentukan prostasiklin yang berperan
dalam menghambat agregasi platelet. Karena hanya COX-2 saja yang dihambat, sedangkan
COX-1 tidak, maka tromboksan A2 yang meningkatkan agregasi platelet tetap dihasilkan
sementara prostasiklin tidak dihasilkan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya infark
miokard atau stroke. Oleh karena itu, AINS selektif COX-2 tidak boleh digunakan pada
pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular. 6,7,8
Efek samping lain yang dapat ditimbulkan AINS adalah nefrotoksisitas. Prostaglandin
juga berperan dalam pengendalian aliran darah ginjal dan ekskresi garam dan air.
Penghambatan sintesis prostaglandin dapat menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran
darah ke ginjal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal. AINS juga
dapat menyebabkan bronkospasme, terutama pada pasien asma. Hal ini dapat terjadi karena
asam arakidonat selain berperan di jalur siklooksigenase juga berperan di jalur lipoksigenase.
Ketika jalur siklooksigenase dihambat, maka asam arakidonat hanya terkonsentrasi pada jalur
lipoksigenase. Melalui jalur lipoksigenase ini dihasilkan leukotrien yang dapat menginduksi
terjadinya bronkospasme. 6,7,8
Tabel 2. Obat-obat AINS 7
Golongan
Analgetik

Efficacy

Safety

Suitability

Cost

++
ES: kerusakan hati
(dosis tinggi,
penggunaan jangka
panjang),
hipersensitivitas

Acetaminophen

+
FD: menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan
sampai sedang. Menurunkan
suhu tubuh secara sentral.
Antiinflamasi sangat lemah
FK: diabsorbsi cepat dan
sempurna melalui GIT,
konsentrasi tertinggi plasma
dalam jam, T1/2 1-3 jam.
Didistribusi ke seluruh
cairan tubuh. Metabolisme
oleh enzim mikrosom hati,
ekskresi melalui urine

+
KI: gangguan fungsi
hati berat,
hipersensitivitas
terhadap
parasetamol
SP: penyakit ginjal,
alkoholik
meningkatkan
resiko kerusakan
hati

++++
Kapl 500
mgx1000 (Rp.
49.500)
Sir 120 mg/5
mlx60 ml (Rp.
2.159)

+++
FD: Mengurangi nyeri dan
peradangan pada penyakit
inflamasi sendi.

+
ES: Gangguan GI
(Peptik ulcer),
pusing, tinitus, nyeri

+
KI: ulkus peptikum,
riwayat serangan
asthma, rinitis,

++
Piroxicam
Hexpharm Tab 10
mgx10x10 (Rp.

Derivat
Oksikam

REFARAT ANALGETIK

Page 14

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI

COX-2 Inhibitor

Derivat Asam
Asetat

Derivat
Pirazolon

FK: absorbsi cepat di


lambung, 99% terikat protein
plasma. Mengalami siklus
enterohepatik. T1/2 >45 jam
shingga dapat diberikan
1x/hari. Kadar plasma=kadar
cairan sinovial

kepala, eritem pada


kulit.

angioedema,
urtikaria, aspirin,
polip nasi
SP: riwayat ulkus
gaster, ggn jantung,
hipertensi,
kerusakan ginjal
atau hati, retensi
cairan

11.550)
MeloxicamOGB
Dexa Tab 7,5
mgx5x10 (Rp.
1.450/tab)

++++
FD: bekerja selektif
menghambat enzim COX-2,
tidak menghambat
pembentukan prostaglandin.
Spesifik untuk nyeri sendi
FK: absorbsi di GIT cukup
baik, 92-99% terikat protein
plasma. T1/2 2-4 jam.
Metabolisme di hati,
ekskresi melalui urine dan
empedu.

++
ES: nyeri abdomen,
diare, dispepsia,
kembung, mual, nyeri
punggung, edema
perifer, luka krn
kecelakaan, pusing,
sakit kepala,
insomnia, faringitis,
rinitis, sinusitis, ruam
kulit, memperburuk
HT, angina pektoris,
ulserasi dan
perdarahan GI

++
KI: Reaksi alergi
terhadap
sulfonamid, aspirin,
AINS lain, asthma,
urtikaria
SP: Retensi cairan,
HT, CHF, asthma
sensitif aspirin,
disfungsi hati,
kerusakan fungsi
ginjal, sedang tx
diuretik, ACEI, usia
lanjut, hamil,
menyusui

++
Celebrex
(Celecoxib) Kaps
100 mgx10x3
(Rp. 151.685)
200 mgx10x3
(Rp. 261.990)

+++
FD: efek analgetik,
antipiretik, antiinflamasi
kira2 sebanding dg aspirin.
Analgetik perifer dan sentral
FK: absorbsi di GIT cukup
baik, 92-99% terikat protein
plasma. T1/2 2-4 jam.
Metabolisme di hati,
ekskresi melalui urine dan
empedu.

+
ES: nyeri abdomen,
diare, perdarahan
lambung,
pankreatitis, sakit
kepala hebat, pusing,
depresi, rasa bingung,
halusinasi, psikosis,
agranulositosis,
anemia aplastik,
trombositopenia,
hiperkalemia,
urtikaria, gatal,
asthma

+
KI: Ulkus peptikum,
ggn fungsi hati,
ginjal, dan jantung
berat, hipertensi,
pankreatitis,
hipersensitif,
asthma, hamil
SP: anak, gangguan
lambung, gangguan
psikiatri

++
Dialon
(Indometasin)
Kaps 100
mgx10x10 (Rp.
133.000)

+++
FD: Efek antiinflamasi sama
kuat dg salisilat, efek
analgetik dan antipiretik
lebih lemah dari salisilat.
Efek urikosurik ringan
melalui hambatan absorbsi
as urat di tubuli.
FK: absorbsi cepat dan
sempurna melalui GIT, 98%
terikat protein plasma, T1/2
50-65 jam, metabolisme di

+
ES: Iritasi lambung
(ulkus peptikum akut
dan kronik, korosif
lambung, perdarahan
lambung), vertigo,
insomnia, euforia,
hematuria,
penglihatan kabur

+
KI: edema,
decompesatio
cordis, ulkus
peptikum, ggn hati
dan ginjal
SP: usia lanjut,
hamil, dan laktasi

++
Akrofen
(Phenylbutazone)
Kapl 200
mgx1000 (Rp.
135.000/ kaleng)
Kaps 200
mgx10x10 (Rp.
27.000)

REFARAT ANALGETIK

Page 15

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
hepar, ekskresi melalui ginjal

Cox-2 Inhibitor

Celecoxib

Valdecoxib

Parecoxib

Efficacy

Safety

Suitability

Cost

++
FD: bekerja selektif
menghambat enzim COX-2,
tidak menghambat
pembentukan prostaglandin.
Spesifik untuk nyeri sendi
FK: absorbsi di GIT cukup
baik, 92-99% terikat protein
plasma. T1/2 2-4 jam.
Metabolisme di hati, ekskresi
melalui urine dan empedu.

++
ES: nyeri abdomen,
diare, dispepsia,
kembung, mual, nyeri
punggung, edema
perifer, luka krn
kecelakaan, pusing,
sakit kepala, insomnia,
faringitis, rinitis,
sinusitis, ruam kulit,
memperburuk HT,
angina pektoris,
ulserasi dan
perdarahan GI

+++
KI: Reaksi alergi
terhadap sulfonamid,
aspirin, AINS lain,
asthma, urtikaria
SP: Retensi cairan,
HT, CHF, asthma
sensitif aspirin,
disfungsi hati,
kerusakan fungsi
ginjal, sedang tx
diuretik, ACEI, usia
lanjut, hamil,
menyusui

++++
Celebrex
(Celecoxib)
Kaps 100
mgx10x3
(Rp.
151.685) 200
mgx10x3
(Rp.
261.990)

+++
FD: bekerja selektif
menghambat enzim COX-2,
tidak menghambat
pembentukan prostaglandin.
Spesifik untuk nyeri sendi
FK: absorbsi di GIT cukup
baik, 92-99% terikat protein
plasma. T1/2 2-4 jam.
Metabolisme di hati, ekskresi
melalui urine dan empedu.

++
ES: mulut kering, HT,
edema perifer, ggn GI,
insomnia, somnolen,
anemia, batuk,
faringitis, sinusitis,
pruritus, ruam, ISK

+++
KI: Reaksi alergi
terhadap sulfonamid,
riwayat
bronkospasme,
rinitis akut, polip
nasal, alergi aspirin,
AINS lain, COX-2
inhibitor, asthma,
urtikaria, CHF, ggn
hati berat, hamil
trimester III, laktasi
SP: bedah pintas
koroner, Retensi
cairan, HT, CHF,
dehidrasi disfungsi
hati dan ginjal,
kerusakan fungsi
ginjal, dapat
mengganggu
kemampuan
mengemudi

++++
Bextra
(Valdecoxib)
Tab salut
selaput 10
mgx5 20
mgx5 40
mgx2

++++
FD: bekerja selektif
menghambat enzim COX-2,
tidak menghambat
pembentukan prostaglandin.
Spesifik untuk nyeri sendi
FK: absorbsi di GIT cukup

+++
ES: sindrom steven
johnson dan sindrom
lyells, jarang
menyebabkan
hepatitis, colitis

+++
KI: gangguan hepar
dan ginjal berat,
hipersensitif, hamil,
laktasi
SP: defisiensi asam
folat, malnutrisi, usia

++++
Dynastat
(Parecoxib
Na) Vial 20
mgx1 40
mgx1 (Rp.

REFARAT ANALGETIK

Page 16

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
baik, 92-99% terikat protein
plasma. T1/2 2-4 jam.
Metabolisme di hati, ekskresi
melalui urine dan empedu.

pseudomembran

tua, penurunan
fungsi ginjal

74.730)

2. Analgetik opioid
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam
anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. 6,7,8
Klasifikasi Opioid
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2)
senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. 6,7,8
Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin).
Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan
bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan
dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.
Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain),
semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil,
alfentanil, sufentanil dan remifentanil). 6,7,8
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat
digolongkan menjadi ; 6,7,8
1. Agonis opioid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,
terutama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum,
petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
6,7,8

2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan
pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson. 6,7,8
3. Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis
pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh
pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin. 6,7,8
Mekanisme Kerja
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi
lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus
REFARAT ANALGETIK

Page 17

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan
dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin,
beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. 6,7,8
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat
diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain: 6,7,8

Reseptor (mu) :
o -1, analgesia supraspinal, sedasi.
o -2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
Reseptor k (kappa) :
o k-1, analgesia spinal.
o k-2 tak diketahui.
o k-3 analgesia supraspinal.
Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi

dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. 6,7,8
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu
efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas,
afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan. 6,7,8
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain : 4
A. Efek sentral :
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek
b.
c.
d.
e.

analgesi).
Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan

sebaliknya (efek disforia).


f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat
pusat emetik (efek antiemetik).
h. Menyebabkan miosis (efek miotik).
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.
B. Efek perifer : 4
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
REFARAT ANALGETIK

Page 18

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
c.
d.
e.
f.

Kontraksi sfingter saluran empedu.


Menaikkan tonus otot kandung kencing.
Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan
memicu bronkospasmus pada pasien asma.

Tabel 3. Klasifikasi obat golongan opiod 7


Strukur Dasar

Agonis Kuat

Agonis

lemah Campuran

sampai sedang

agonis

Antagonis

antagonis
Fenantren

Fenilheptilamin
Fenilpiperidin
Morfinan
Benzomorfan

Morfin

Kodein

Nalbufin

Nalorfin

Hidromorfon

Oksikodon

Buprenorfin

Nalokson

Oksimorfon

Hidrokodon

Metadon
Meperidin

Propoksifen
Difenoksilat

Fentanil
Levorfanol

Naltrekson

Butorfanol
Pentasozin

Obat Golongan Opioid Yang Umum Digunakan


Golongan Agonis Kuat :
1. Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah
dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. 5,6,8
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting). 5,6,8
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif, yakni tidak
begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan
dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin
dosis terapi. 5,6,8
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan
ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh
korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat. 5,6,8
Farmakodinamik
REFARAT ANALGETIK

Page 19

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot
polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH). 5,6,8
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.
Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah
pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan
mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. 5,6,8
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgetik non-opioid. Lebih
hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri
yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4)
Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis
dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri
pasca bedah. 5,6,8
Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi
pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi
kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi. 5,6,8
Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan
diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi
nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan
dapat diulang sesuai yamg diperlukan. 5,6,8
2. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara
kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat. 5,6,8
Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu).
Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih
rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan
REFARAT ANALGETIK

Page 20

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri
neuropatik. 5,6,8
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut : 5,6,8
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari
10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi.
Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2
jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin
dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia
meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian
mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.
Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat Ndemitilasi. 6,8
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan
tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi
dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran. 6,8
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan
klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat
preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin. 6,8
Dosis dan sediaan

REFARAT ANALGETIK

Page 21

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong
dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB. 6,8
Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,
palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. 6,8
3. Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih
mudah menembus sawar jaringan. 6,8
Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgetik,
fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama
aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan
dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf
tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang
tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.
Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia. 6,8
Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urin. 6,8
Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB
analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia
pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk
induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi
dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. 6,8
Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah
dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 6,8
Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh
esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak
seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.6,8
REFARAT ANALGETIK

Page 22

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI

Golongan Agonis-Antagonis
1. Kodein
Kodein mempunyai analgesic yang kurang poten disbanding morphin, tetapi
mempunyai kemanjuran peroral yang lebih tinggi. Obat ini mempunyai potensi
penyalahgunaan yang lebih rendah daripada morfin. Kodein sering digunakan dalam
kombinasi aspirin atau asetaminofen. 6,8
2. Propoksifen
Efek analgesic : untuk menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.
Efek samping : Pada dosis toksik, akan menimbulkan depresi pernafasan, konvulsi,
halusinasi, dan bingung. Propoksifen dapat menimbulkan mual, anoreksia, dan konstipasi. 6,8
Golongan campuran Agonis-Antagonis
1. Alkaloid semisintetik :
Nalbufin
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon
dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang paling sering
adalah sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol, nalbufin
tidak menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh
karena itu nalbufin merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan
gangguan jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung. 6,8
2. Opioid sintetik :
a. Derivat benzomorfan :
Pentazosin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang lemah pada reseptor
k dan d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute
oral maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses oksidasi
menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan terutama melalui urin dan kemudian
empedu. Dengan dosis 10-30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu
mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi yang
kemudian diikuti dengan diaphoresis dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan
katekolamin pada tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai efek
analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti
morfin, pentazosin tidak memiliki efek miosis pada pupil mata. 6,8
b. Derivat morfinian :
Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek
agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika
REFARAT ANALGETIK

Page 23

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah sebagai antagonis
pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan
efek anti menggigil. Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan
depresi pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi
metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil
pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek
pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga
akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien. 6,8
Menghambat sistem serotonin
Tramadol
Mekanisme kerja: tramadol adalah analgetik yang bekerja sentral, agonis terhadap
reseptor serta mempunyai afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. Melalui reseptor
tramadol meningkatkan efek inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake
norepinefrin dan serotonin. Efek tramadol hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%.
Tramadol dibuat sebagai rasemik yaitu campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang
satu berfungsi menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja
menghambat reuptake serotonin. 6,8
Metabolisme: tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi Odismetiltramadol dan di sekresikan oleh ginjal dalam bentuk metabolic aktif sehingga pada
seseorang yang mengalami gangguan hati dan ginjal harus dikurangi dosisnya. 6,8
Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk penanganan nyeri sedang
hingga berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti menggigil
postoperative. Salah satu efeksampingnya yang sering terjadi adalah mual dan muntah. 6,8

BAB IV
KESIMPULAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya
rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang
REFARAT ANALGETIK

Page 24

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya
mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik
dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).
Obat analgeti bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat
AINS bekerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas
enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik
opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi.
Biasanya digunakan analgetik opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi
non steroid ( AINS, non steroidal anti inflammatory drugs ) untuk nyeri sedang atau ringan.
Metode menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis ( oral, rectal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuscular, intravena, atau per infus ).

DAFTAR PUSTAKA

1. Nicholls, AJ dan Wilson, IH, Menejemen nyeri akut, in kedokteran perioperatif, in


Kedoketeran Perioperatif, Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2011, bab 14, 5769.
2. Mangku,G. Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian / SMF Anestesiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2009.
REFARAT ANALGETIK

Page 25

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI
3. Price, A. Sylvia dan Wilson, M. Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Vol II,edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. Hal: 10631089.
4. Morgan,G.E, Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nded. Stanford: Appleton
and Lange. 2010. 274-316.
5. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. 2010. hal : 74-83, 161
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Badan penerbit FK
UI. 2012. hal: 210-242.
7. Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2005. Obat-Obat Penting. Jakarta : PT Gramedia
8. Katzung. G. Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik EdisiVIII Bagian ke II.
Jakarta : Salemba Medika.

REFARAT ANALGETIK

Page 26

You might also like