You are on page 1of 35

REFRESHING

ANATOMI, FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS

Disusun Oleh:
Mustika Apriyanti
2012730142

Pembimbing:
dr. Satrio Prodjohoesodo, Sp. THT

KEPANITERAAN STASE THT


RSUD CIANJUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat


kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus
diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi
dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau
kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi

yang mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses.


Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua
bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding
lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat,
yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk rongarongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)
Sejak kehamilan

berusia empat hingga

delapan minggu ,

perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan


terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu
daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan,
mendukung

pembentukan

olfaktori.

Bagian

medial

dan

lateral

akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal


dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan
garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh
WE, 2002)
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim
mulai terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung
dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh
minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga

buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,


mulailah

terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi

meatus media.

Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya

prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis

yang membentuk suatu

daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan


empat belas minggu ditandai dengan pembentukan

sel etmoidalis

anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan
sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar

meatus

superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu ,
dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas
proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan
tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya
melalui tahapan

yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah

sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal.
(Walsh WE, 2002)

Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ;
struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas :
kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung
luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

pangkal hidung (bridge),


batang hidung (dorsum nasi),
puncak hidung (hip),
ala nasi,
kolumela,
lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi

untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka


tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) ,2) prosesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago
septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Anatomi hidung dalam


Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan
konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger
PA,1997)

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam


A. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid,
bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan
kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer,
krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ;
Dhingra PL, 2007)
B. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus horizontal os palatum. (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os


nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan

bagian

dari

os

etmoid,

konka

inferior,

lamina

perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. .


(Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ;
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
(Ballenger JJ,1994)
C. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka
media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus
superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi.
Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid

terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.


(Ballenger JJ,1994)
D. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini
terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior
sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus
medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.

Di

atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang


dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum
maksila,

dan

sel-sel

etmoid

anterior

biasanya

bermuara

di

infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya


bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
E. Meatus Inferior
Meatus inferior

adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,

mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira


antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger
JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
F. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan
dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh

lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh

os vomer, bagian

atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang
terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus
maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya,
yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap
ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ;

Dhingra PL, 2007 ;

Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang
berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian
prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus
tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang
berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan
sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).

Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan
koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu
rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena
sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke
celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung.

Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit
resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus
unsinatus dan konka media (Nizar NW, 2000).

Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Nizar NW, 2000)


Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.
oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya
adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen

sfenopalatina

bersama

n.sfenopalatina

dan

memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian


depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,

sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung)


terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris,
yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion

sfenopalatinum.

memberikan

persarafan

Ganglion

sensoris

juga

sfenopalatinum
memberikan

selain

persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima


serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis
dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari
n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada
sel-sel

reseptor

penghidu

pada

mukosa

olfaktorius

di

daerah

sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D & Wardani


RS,2007

Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,


maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi
respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya
mukosa

olfaktorius

(penciuman)

dan

reservoir

udara

untuk

menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna


untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik
dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia
yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada
tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulangtulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.

Ada

empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masingmasing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan
dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan
kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan
lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga
hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA,
1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu
bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah
konka media, pada atau di

dekat infundibulum, terdiri dari sinus

frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok


posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri

dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis


perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas
antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi
penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar
dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger
JJ,1994)
Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung
setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan
berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal
dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat
itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar
agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7
tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung
dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger
JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Gambar 2.3. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal


Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang

terbesar.

Merupakan

sinus

pertama

yang

terbentuk,

diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70


masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang
kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak

sebagai

cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka


inferior, yang terlihat

berupa celah kecil di sebelah medial orbita.

Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus


maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini
akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran
7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila.
rongga

Perluasan

tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang

sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mulamula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada
usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi

dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan


dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat
erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia
15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007) Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk
oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid,
prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis.
Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi
baru lahir 7-8 x 46 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 1920 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di
meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang
terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran
lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah
untuk keperluan tindakan

irigasi

sinus. (Ballenger JJ,1994 ;

Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)


Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akarakar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua
tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja.

Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke


mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga
sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi
letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum

adalah

bagian

dari

sinus

etmoid

anterior

dan

pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat


menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang
pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
Bentuk dan ukuran snus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,
kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal
dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.

Ukuran

rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm,
dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya
infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis
dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari
frontal mudah menjalar ke daerah ini.

sinus

Sinus frontal berdrainase

melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan


dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan
fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan,
berasal

dari

meatus

superior

dan

suprema

yang

membentuk

kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah


ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan
bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007) Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus
frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan


lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang
sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sinus sfenoid
Sinus sfenoid

terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai

pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.


Perkembangannya

berjalan

lambat,

sampai

pada

waktu

lahir

evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago


nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun
sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada
usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan
ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan
satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang
tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada
sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya

adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar


hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral

berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering


tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons. ( Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
Fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacammacam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan
bahwa

ronga-rongga

ini

adalah

organ

yang

penting

sebagai

resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru
memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki
rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh
Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya
singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori
dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier
pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk.

Jadi sampai

saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus


paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka. (Passali; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain adalah :
(1)Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap
teori

ini

ialah

yangdefinitif

ternyata

antara

sinus

tidak
dan

didapati
rongga

pertukaran
hidung.

udara
Volume

pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000


volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan

kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E.,


Soetjipto D. 2007)
(2)Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal
berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak
di

antara

hidung

dan

organ-organ

(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)


(3)Membantu
keseimbangan
kepala

yang
Sinus

dilindungi.
membantu

keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.


Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya
akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat
kepala,

sehingga

teori

ini

dianggap

tidak

bermakna.

(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)


(4)Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan
ostiumnya

tidak

memungkinkan

sinus

berfungsi

sebagai

resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi


suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(5)Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan
bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya

pada

waktu

bersin

atau

membuang

ingus.

(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)


(6)Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus
paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 2.4. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance


Mukosa hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas
permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar
15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh
mukosa

yang

.berkesinambungan

ketebalan. Rongga hidung

dengan

berbagai

sifat

dan

dilapisi oleh mukosa yang secara

histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius).

dan sebahagian besar mukosa pernafasan

(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan


atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius.
Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan
lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara
umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel
yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan

sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe
olfaktorius

dan

sebahagian

besar

tipe

respiratorius.

Mukosa

olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan


dibawahnya

terletak

respiratorius

terdiri

mukosa
atas

respiratoriu.

epitel,membran

Lapisan

basalis

dan

mukosa
lamina

propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).


Mukosa respiratori

terdapat pada sebagian besar rongga hidung

yang ervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung


serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu
bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai 50200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria
yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria
ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia.

Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat

(yang mempunyai mikrovili). (Watelet, 2002).


Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat
pada daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak
persis di belakang vestibulum. Epitel yang terletak di daerah
vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae.
Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel
pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan
ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka
epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur.
Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani udara
ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi.
Hilger, 1997 ; Watelet , 2002)

(Ballenger, 1994 ;

Gambar 2.5. Histologi Mukosa Hidung (Sumber Watelet)


Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat
mikrovili yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan
jumlah ini bertambah ke arah nasofaring. Mikrovili berupa benjolan
seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel yang
menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia dan
mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak
dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta
pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas
permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel
basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan
epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk
menggantikan sel-sel bersilia atau sel sel goblet yang telah mati.
(Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih
sering terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan
normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena
dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut

lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.


(Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada

sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa

hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak
berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan
tunika propia yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia
lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan
lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak
ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ;
Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan
beberapa macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga
kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini
memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf
parasimpatis. (Ballenger;1994)
Sel goblet (Kelenjar mukus)
Sel goblet atau kelenjar mukus
pemeriksaan

endoskopis

adalah sel tunggal yang pada

tampak

berbentuk

piala.

Sel

ini

menghasilkan komplek protein polisakarida yang membentuk lendir


dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi didaerah
konka inferior (11.000sel/mm2) dan terendah di septum nasi (5700
sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga
banyak

dijumpai

didaerah

nasofaring

(Ballenger;1994

Waguespack,1995; Levine,2002 )
Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu
bersilia) memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400
mikrovili tiap selnya yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200
silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil menyerupai rambut ,

menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam membersihkan


kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran
sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah
tiap selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m.
Denyut silia kira-kira 915 Hz pada manusia, dengan beragam variasi
pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral
tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik
yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam
pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel.
gambar

Pada

2.3 tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ;

Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)


Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan,
kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat
dengan kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus permenit.
Silia

dapat

bergerak

akibat

adanya

energi

berupa

adenosine

triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju


dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya
dapat mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di
depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia-silia yang di
belakangnya.

Gerakan

silia

ini

merupakan

gerakan

yang

berkesinambungan bukan gerakan sinkron. Gerak silia, berdasarkan


sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada tahun 1835,
dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara
aktif

dengan

manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus

paranasal.
Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan
penelitian pada hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada
sinus

yang

juga

memperlihatkan

perbaikan

mukosa

Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk

hidung

mempelajari

pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya ,

Messerklinger

memperkenalkan alat diagnostik,

endoskopik nasal.

Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama


dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami
inflamasi. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ;
Cohen NA, 2006) Fungsi

utama dari silia adalah membawa mukus

kembali ke arah faring. Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat


transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk
memindahkan

panas;

normalnya

mukus

menghangatkan

udara

inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan


udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, dengan jumlah uap demikian seringkali tidak memadai untuk
melembabkan udara yang sangat kering yang dapat berakibat
mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung.
Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf
pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat
berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit pada temperatur
tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum
nasi akan didorong

ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa

mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk


mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
(Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ;
Wilma T.2007; Ballenger JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang
dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan
konfigurasi 9+2. Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2
mikrotubulus sentral dan
mikrotubulus(outer

sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang

double

microtubulus).

Pada

outer

double

mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril B .


Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan
subfibril B tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan

tubulus sentral melalui radial spokes (Lang,1989; Waguespack, 1995;


McCaffrey,1997)

Gambar 2.6 Anatomi Molekuler Silia (Sumber Cohen)


Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama
lainnya. Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria.
ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan
dynein yang menghubungkan mikrotubulus dengan pasangannya dan
menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara pasangan yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang disebut
neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah
satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid
sehingga menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia

bergerak

kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi


(recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1: 3 .
Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan
tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak,
tetapi berurutan seperti efek domno ( metachronical waves) pada
satu area arahnya sama. (Ballenger;1994)

Gambar 2.7 Diagram gerak silia (Sumber Ballenger)


Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir
ini diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel
goblet pada mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau
sedikit asam, dan lebih kurang komposisinya adalah 2,5-3% musin,
garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga mengandung IgA. Terdapat
pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus, telinga dan
lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini,
bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya,
secara berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk
kemudian ditelan atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan perisiliar,

yang menyelimuti batang sillia, lebih tipis dan

kurang lengket ;

dan

lapisan kedua terletak di atasnya

adalah

lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis)


terdapat lendir yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila
sedang

tegak

sepenuhnya.

Lapisan

superfisial

gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan

ini

merupakan

yang menumpang

keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan


perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena
sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara
keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. (Ballenger

JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ;

Sakakura, 1997 ; Waguespack ,1995)

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan


protein sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat
berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia didalam
cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh elektrolit. Penyerapan
diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi digerakkan oleh
klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh
keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini
menentukan kekentalan palut lendir

(Ballenger,1994; Weir,1994;

Hilger 1997)
Lapisan

superfisial

yang

lebih

tebal

utamanya

mengandung

glikoprotein mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap


partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan
atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada
temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol yang
terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger,
1994; Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia
dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport
mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan
superfisial

yang

pekat

akan

masuk

kedalam

ruang

perisiliar.

Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung


silia

tidak

akan

mencapai

lapisan

superfisial

yang

dapat

mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama


sekali. Pada keadaan normal permukaan cairan perisiliar sedikit lebih
rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat mengganggu
transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke
meatus medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang
utama(Ballenger , 1994; Sakakura ;1994)

Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel
goblet dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem
mekanisme pertahanan penting

dalam sistem respiratori dikenal

sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997)

Transportasi mukosiliar

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa


hidung untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut
partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender ke arah
nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa hidung.
Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar

atau sistem

pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ; Waguespack


R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000)
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan,
yaitu gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk
menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama
dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah
nasofaring.

Aliran

cairan

pada

sinus

mengikuti

pola

tertentu.

Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang


kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus
alami.

Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur

dengan

menggunakan

suatu

partikel

yang

tidak

larut

dalam

permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim


(muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri . Enzim
tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan
ditambah

beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.

Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada


sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus.

Ujung silia

tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan


mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama
materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang
di bawahnya akan di alirkan kea rah posterior oleh aktivitas silia,
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi

mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk


kesehatan tuuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka
materi yang terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa
dan

menimbulkan

penyakit.

Kecepatan

dari

TMS

sangatlah

bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /


menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ;
2006)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media
maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia
cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke
dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus
seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan
gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan
pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15
hingga 20 mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997). Pada dinding
lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di
dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium
tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang
berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di
resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba
eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun
kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 )
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya
mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit
(Heilger PA , 1997)

Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar

Beragam cara yang digunakan untuk menilai TMS. Pemeriksaan dapat


dilakukan dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun
yang tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat

topikal, atau gas inhalasi ; sedangkan yang tidak larut adalah lamp
black,

colloid

sulfur,

600-um

allumunium

disc

atau

substansi

radioaktif seperti human serum albumin, Teflon, bismuth trioxide.


Waktu atau Kecepatan yang didapat pada pemeriksaan disebut
sebagai waktu / kecepatan TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997;
Scott Brown,1997 ; Sun SS. 2002 ; Waguespack R,1995)
Uji Sakarin (atau lebih dikenal dengan Waktu transport Sakarin atau
Waktu TMS) dapat digunakan sebagai pengganti partikel yang telah
digunakan secara luas pada beragam penelitian sebagai indikator
untuk menilai fungsi pembersihan pada rongga hidung manusia. Uji
sakarin ini juga telah digunakan pada beberapa penelitian untuk
menilai efektivitas pada pemakaian cuci hidung, mengetahui tingkat
kecepatan, radiasi, dan ragam bahan yang dapat menimbulkan
siliotoksik

pada mukosa hidung.

Banyak penelitian membuktikan

bahwa waktu sakarin ini adalah sebagai indikator langsung terhadap


fungsi mukosiliar hidung dan pada penelitian yang lain telah
dilaporkan bahwa waktu sakarin ini dapat digunakan sebagai dasar
penelitian

untuk

memperlihatkan

fisiologik

hidung

yang

multifaktorial. (Havas T, 1999 ; Jorissen M, 1998 ; Talbot AR, 1998


Waguespack R,1995)
Secara klinis pengukuran waktu TMS dengan sakarin pertama kali
diperkenalkan

oleh Anderson dan kawan-kawan pada tahun 1974

dan sampai sekarang

telah banyak digunakan pada

pemeriksaan

rutin, bahkan oleh banyak para ahli di berbagai kota di dunia oleh
karena biayanya relatif murah dan mudah dalam penggunaannya. Uji
sakarin juga cukup ideal untuk penggunaan di klinik. (Ballenger
JJ,1994; Jorissen M, 1998; Jorissen M , Boeck , 2000 ; Waguespack
R,1995)
Pemeriksaan pasien diawali dengan penderita dalam kondisi sadar
dan diharapkan untuk tidak menghirup, makan dan minum. Penderita
duduk dengan kepala posisi fleksi 10 derajat. Bubuk sakarin
diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior. Kemudian

subjek diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2 1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu pada saat sakarin
mulai diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis di
lakukan pencatatan dan ini disebut sebagai TMS atau waktu sakarin.
Rata-rata nilai normal adalah 12-15 menit (Jorissen M, 1998 ; Jorissen
M, Willems T, Boeck KD, 2000)

Rinoskopi anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan


dengan memakai spekulum hidung. Di belakang vestibulum dapat
dilihat bagian dalam hidung. Saluran udara harus bebasdan kurang
lebih sama pada kedua sisi. Pada kedua dinding lateral dapat dilihat
konka inferior. Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi
anterior ialah :
-Mukosa. Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda.
Pada radang berwarna merah, sedangkan pada alergi akan tampak
pucat atau kebiru-biruan (livid).

- Septum. Biasanya terletak di tengah dan lurus. Diperhatikan apakah


ada deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, abses dan lain-lain.
- Konka.

Diperhatikan

apakah

konka

besarnya

normal

(eutrofi,

hipertrofi, hipotrofi atau atrofi).


- Sekret.

Bila

ditemukan

sekret

pada

rongga

hidung,

harus

diperhatikan banyaknya, sifatnya (serous, mukoid, mukopurulen,


purulen atau bercampur darah) dan lokalisasinya (meatus inferior
medius, atau superior). Lokasi sekret ini penting artinya, sehubungan
dengan letak ostium sinus-sinus paranasal dan dengan demikian
dapat menunjukkan dari mana sekret tersebut berasal. Krusta yang
banyak ditemukan pada rhinitis atrofi.
-Massa. Massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah
polip dan tumor. Pada anak dapat ditemukan benda asing.

Rhinoskopi

posterior

belakang,

dengan

mengubah-ubah

adalah

pemeriksaan

menggunakan

posisi

kaca,

kita

kaca
dapat

ronnga

hidung

nasofaring.

dari

Dengan

melihat koana,

ujung

posterior septum, ujung posterior konka, sekret yang mengalir dari


hidung ke nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, dan ostium
tuba.

DAFTAR PUSTAKA
2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi ke -7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Scott Brown,1997 ; Sun SS. 2002
; Waguespack R,1995
Ballenger JJ,1994; Jorissen M, 1998; Jorissen M , Boeck , 2000 ;
Waguespack R,1995
Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ;
Ballenger JJ,1994
Havas T, 1999 ; Jorissen M, 1998 ; Talbot AR, 1998 Waguespack
R,1995
Heilger PA , 1997
Hilger, 1994; Weir,1995
Jorissen M, 1998 ; Jorissen M, Willems T, Boeck KD, 2000)
Lang,1989; Waguespack, 1995; McCaffrey,1997
Soetjipto D & Wardani RS,2007

You might also like