Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Risha Meilinda M., S.Ked
Gunnasundary Thirumalai, S.Ked
Sri Aryasatyani Binti Boonie, S.Ked
Pembimbing:
dr. Yoan Levia Magdi, Sp. THT KL, FICS
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
04054821517065
04084821518144
04084821518143
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 25 April 30 Mei 2016.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan diskusi kasus
dengan judul Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Antrokoanal untuk memenuhi
tugas diskusi kasus yang merupakan bagian dari 3ember pembelajaran dan penilaian
kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas
Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yoan Levia Magdi, Sp. THT KL, FICS, selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan 3ember. Semoga makalah ini dapat 3ember manfaat dan pelajaran bagi
kita semua.
Palembang, 10 Mei 2016
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
PENDAHULUAN..................................................................................................1
ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI SINUS PARANASAL..............2
DEFINISI................................................................................................................8
EPIDEMIOLOGI..................................................................................................9
ETIOLOGI.............................................................................................................10
PATOGENESIS......................................................................................................11
KLASIFIKASI.......................................................................................................12
GEJALA KLINIS..................................................................................................14
DIAGNOSIS...........................................................................................................16
DIAGNOSIS BANDING.......................................................................................21
PENATALAKSANAAN........................................................................................21
KOMPLIKASI.......................................................................................................28
PROGNOSIS..........................................................................................................29
LAPORAN KASUS...............................................................................................30
DISKUSI.................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................33
iv
PENDAHULUAN
Rinosinusitis merupakan proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung
dan sinus paranasal dengan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri pada wajah, dan
pilek kental (purulen).1,2,3 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan dimana
sinusitis disertai dan dipicu oleh rinitis sehingga keduanya sering disebut
rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik. 2
Penyebab utamanya infeksi virus dan selanjutnya dapat diikuti oleh bakteri.1
Penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) sekitar 17,4% pernah mengidap
sinusitis dalam jangka waktu 12 bulan berdasarkan data dari National Health
Interview Survey 1995.2 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka
prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS sekitar 30 juta. 2 Pada
tahun 2003, diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada sekitar 5 %
dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada
kelompok wanita).2 Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL
FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis
kronik.2 Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik
sehari hari dan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia.1,2 Rinosinusitis kronik memberikan dampak pada aspek kualitas hidup
(Quality of Life) dan aspek sosioekonomi.2
Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan rinosinusitis kronik,
besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi kelompok penduduk
dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada, maka perlu
dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik dengan polip nasi. Tujuan laporan
kasus ini dibuat adalah untuk menguraikan tentang diagnosis, patofisiologi, dan
penatalaksanaan kasus rinosinusitis kronik dengan polip nasi khususnya pada
orang dewasa dengan berdasarkan pada makalah EP3OS 2007 (sekarang EP3OS
2012).
gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis. 1
Sinus maksilaris diperdarahi oleh cabang cabang arteri maksilaris
internus, termasuk arteri sfenopalatina, palatinus mayor, alveolaris, dan
infraorbitalis. Sinus ini dipersarafi oleh cabang cabang divisi kedua nervus
trigeminus, nervus infraorbitalis, dan nervus palatinus mayor.8
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel sel resesus frontal atau dari sel sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8 10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. 1
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. 1
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal baisanya bersekat sekat dan tepi sinus berlekuk
lekuk. Tidak adanya gambaran septum septum atau lekuk lekuk dinding sinus
pada foto Roentgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. 1
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal
yang berhubungan dengan infuundibulum etmoid.
oleh arteri supraorbita dan supratroklear dari arteri oftalmika dan diinervasi oleh
nervus supraorbita dan supratroklear dari divisi pertama nervus trigeminus.8
Sinus Etmoid
Sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir akhir ini dianggap paling
penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus sinus lainnya. Pada
orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4 5 cm, tinggi 2,4 cm dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. 1
Sinus etmoid berongga rongga, terdiri dari sel sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid yang terletak
di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel sel ini jumlahnya
bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel sel sinus etmoid anterior biasanya kecil kecil
dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior
konka media dengan dinding lateral (lamina basalis). 1
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior, ada bagian yang sempit, disebut
resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resessus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. 1
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. 1
Sinus etmoid diperdarahi oleh arteri etmoid anterior dan posterior yang
berasal dari artei oftalmika (sistem karotis interna), dan arteri sfenopalatina dari
cabang cabang akhir arteri maksilaris interna (sistem karotis eksterna).8
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan
nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga
sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. 1
Batas batasnya ialah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebaagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. 1
Sinus sfenoid diperdarahi oleh arteri sfenopalatina, kecuali untuk planum
sfenoidale yang diperdarahi oleh arteri etmoidalis posterior. Inervasi sinus sfenoid
berasal dari cabang cabang dari divisi pertama dan kedua nervus trigeminus.8
Kompleks Ostio Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus medius,
terdapat muara muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang berada di belakang prosesus
unsinatus, resessus frontalis, bula etmoid, dan sel sel etmoid anterior dengan
ostiumnya, dan ostium sinus maksila. 1
Sistem Mukosiliar
Di dalam sinus hidung, terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya.
Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju
ostium alamiahnya mengikuti jalur jalur yang sudah tertentu polanya. 1
Pada dinding lateral hidung, terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eutachius. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis,
dialirkan ke nasofaring di posterosuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada
sinusitis didapati sekret pasca nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada
sekret di rongga hidung. 1
Gambar 2.2 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur
yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius10
sampai
ditemukan
saat pemeriksaan
klinis. Polip
menjadi
simptomatik juga dapat tidak terdiagnosa karena terlewat saat rinoskopi anterior
dan atau pasien tidak langsung ke dokter. Kebanyakan pasien dengan rinosinusitis
kronik dengan polip tidak berobat ke dokter. Pasien yang langsung berobat ke
dokter biasanya mempunyai polip nasal yang lebih ekstensif dengan penurunan
aliran udara inspirasi dan penciuman terganggu dengan hebat.11
Polip nasal jarang pada usia < 20 tahun dan lebih sering ditemukan pada
pria dibandingkan wanita. Rinosinusitis kronik dengan polip sering dihubungkan
dengan riwayat asma pada beberpa penelitian. Terdapat hubungan lurus antara rata
rata usia onset rinitis, asma, intoleransi NSAID, dan polip nasal.
11
Polip
antrokoana biasanya unilateral, biasanya banyak terjadi pada dewasa muda dan
anak anak.9
ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam macam rinitis, terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks ostio meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan di luar
negeri adalah penyakit fibrosis kistik.1
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. 1
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering, sera kebiasaan merokok. Keadaan ini lama lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. 1
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik sangat berbeda. Pada
rinosinusitis akut, penyebab utama adalah infeksi virus dan bakteri patogen
Namun, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan
belum sepenuhnya diketahui.2
10
Allergy
Smoking
Septal deviation
Concha bullosa
Aspirin sensitivity
Irritants/pollution
Ciliary dysfunction
Viruses
Haller cells
Cystic fibrosis
Bacteria
Frontal cells
Autoimmune disease
Fungi
Scarring
Granulomatous disorders
Stress
Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
Etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti. Dulu diduga
predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi. 5
PATOGENESIS
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung
11
12
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan atau ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung
banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah merahan dan
polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning kuningan karena
banyak mengandung jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari
kompleks ostio meeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Ada polip yang
tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring disebut polip koana. Polip
koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut dengan olip antro
koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid. 5
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel
selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag.
Mukosa mengandung sel sel goblet. Pembuluh darh, saraf, dan kelenjar sangat
sedikit. Polip yang sudah lama dapat engalami metaplaia epitel karena sering
terkena aliran udara menjadi epitel transisional, kubik, atau gepeng berlapis tanpa
keratinisasi.5
KLASIFIKASI
Klasifikasi Berdasarkan Durasi Gejala
Subklasifikasi dengan diferensiasi paling sederhana adalah berdasarkan
durasi gejala. Rinosinusitis akut didefinisikan oleh 3 guideline (RI (Rhinosinusitis
Initiative); JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters); CPG:AS (Clinical
Practice Guideline: Adult Sinusitis) berupa durasi gejala 4 minggu. Guideline
EP3OS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps) dan
BSACI (British Society for Allergy and Clinical Immunology) mendefinisikan
rinosinusitis akut < 12 minggu, dengan resolusi gejala komplit. CPG:AS
memasukkan kategori rinosinusitis subakut sebagai durasi gejala antara 4 12
minggu, sedangkan definisi JTFPP berlangsung 4 8 minggu. Rinosinusitis akut
rekuren menurut guideline CPG:AS 4 episode rinosinusitis akut dalam satu
tahun tanpa gejala persisten diantara episode. Menurut JTFPP, rinosinusitis
13
rekuren merupakan 3 episode per tahun. Empat dari 5 guideline (EP3OS, RI,
CPG:AS, dan BSACI) mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai gejala yang
menetap 12 minggu, sedangkan JTFPP selama 8 minggu.6
Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Gejala
Semua guideline mengenalkan penilaian keparahan gejala peting untuk
mendefinisikan tingkat penyakit dan menghubungkannya dengan pilihan terapi.
Untuk tujuan klinik, EP3OS dan BSACI mengkategorika
keparah penyakit
14
hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak. 1
Keluhan sinusitis kronik tidak kahs sehingga sulit didiagnosis. Kadang
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala gejala seperti sakit kepala kronik, post nasal
drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik
muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sinobronkitis),
bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1
Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) yang disponsori oleh
American Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS),
rinosinusitis kronik berlangsung > 12 minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan
kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada
pemeriksaan fisik. Tabel 2.2 menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang
berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor
mayor atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka
kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau hanya
dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi diferensial diagnosa.2
Tabel 2.2 Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik
Major factors
Minor factors
Headache
Fever
(all nonacute)
Halitosis
Fatigue
Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/
fullness
15
16
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang
meliputi
transiluminasi,
2)
3)
4)
Obstruksi nasal
17
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya
2)
Abnormalitas penciuman
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan
untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna
bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita,
namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan
SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure).2
Pemeriksaan Fisik2
18
Radiologi,
merupakan
pemeriksaan
tambahan
yang
umum
dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi
sinus,
serta
untuk
evaluasi
rinosinusitis
lanjut
bila
pengobatan
2.
Tes alergi
3.
6.
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi yaitu hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
19
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunfer mungkin didapati post
nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernapas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan penurunan kulaitas
hidup. 5
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah berupa batuk kronik
dan mengi terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu, harus
ditanyakan riwayat rinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat
lainnya serta alergi makanan. 5
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior, terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan. 5
Pemeriksaan Penunjang
Nasoendoskopi
Endoskopi (teleskop) sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Polip stadium 1 dan 2 kadang kadang tidal terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila. 5
Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell, dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apalah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan
pada kompleks ostio meatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang
20
gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan
pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 5
DIAGNOSA BANDING
Rinitis alergi
Rinitis vasomotor
PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah
membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus sinus pulih
secara alami. 1
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta laktaase, maka dapat diberikan amoksisilin klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10
14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik, diberikan
antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob. 1
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgesik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi kenta.
Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. Irigasi
sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan
yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita
kelainan alergi yang berat.1
Tindakan operasi berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sninus terdahulu
21
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal. Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah
terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis, serta sinusitis jamur. 1
Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas antara lain:2
a.
b.
c.
Florokuinolon : ciprofloksasin
d.
e.
Klindamisin
f.
Metronidazole
Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. 2
b.
Antihistamin
c.
d.
Mukolitik
e.
Antagonis leukotrien
f.
Imunoterapi
g.
22
23
24
25
26
memberikan
respon
yang
27
lebih
baik
terhadap
pengobatan
untuk
terapi
bedah.
Dapat
dilakukan
ekstraksi
polip
28
kejangkejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara
intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi. 1
Kelainan Tulang (Osteomielitis)
Paling sering timbul akibat sinusitis frontalis dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksilaris dapat timbul fistula oroantral atau
fistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata
juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana
terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.1
Kelainan Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan.1
Mukokel
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di
sinus frontalis meskipun dapat juga terjadi di sinus maksilaris, etmoidalis atau
sfenoidalis. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang
kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ
disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan
pembengkakan di atas sinus yang terkena.
PROGNOSIS
Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
29
LAPORAN KASUS
Seorang perempuan berusia 28 tahun datang berobat pada tanggal 10 Mei
2016 ke Klinik THT-KL RSMH dengan keluhan hidung kanan tersumbat sejak 6
bulan yang lalu. Hidung kanan tersumbat secara terus menerus, batuk (+), pilek
(+), nyeri tekan pada pipi (+), ingus bau (+), berwarna seperti nanah, cairan masuk
ke tenggorokan saat tidur (+), penciuman terganggu (+), bersin bersin di pagi
hari (-), sakit menelan (-), demam (-), gangguan pada telinga (-), nyeri pada dahi
dan sekitar bola mata (-). Os juga mengaku sering bernafas lewat mulut. Os
meminum obat batuk pilek, keluhan tidak berkurang.
Hasil pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pada pemeriksaan
fungsi hidung, didapatkan tes aliran udara dan tes penciuman pada hidung kanan
berkurang. Pemeriksaan fisik hidung pada rinoskopi anterior didapatkan cavum
nasi kanan lapang, sekret pus (+), konka inferior eutrofi merah muda, meatus
medius sempit, tampak massa berwarna putih bening mengarah ke kavum nasi
posterior, deviasi septum (-); pada cavum nasi kiri lapang, sekret (-), konka
inferior eutrofi merah muda, meatus medius lapang, deviasi septum (-). Pada
pemeriksaan rinoskopi posterior, didapatkan post nasal drip dan koana dekstra
sempit. Pemeriksaan sinus paranasal, ditemukan adanya nyeri tekan/ketok pada
infraorbitalis dekstra. Pemeriksaan fisik tenggorokan didapatkan tonsil T2/T2
tenang dan granuler pada dinding faring belakang. Pemeriksaan telinga dalam
batas normal.
Diagnosa pasien Rinosinusitis kronik dengan polip nasi antrokoanal.
Penatalaksanaan yang diberikan:
Amoksisilin klavulanat tablet 3 x 500 mg
Natrium diklofenak tablet 2 x 50 mg
Fluticason furoate spray 1 x 2 puff
Lansoprazole tablet 1 x 30 mg
Pseudoefedrin HCl tablet 30 mg 2 x 1
Gliseril guaiakolat sirup 3 x 1 C
Rencana pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, eritrosit, leukosit, dan trombosit),
kimia darah (ureum, kreatinin, albumin, gula darah sewaktu, natrium, kalium);
30
swab sekret hidung untuk kultur da resistensi antimikroba; foto sinus paranasal
posisi AP/laterla/Water; foto thoraks PA, CT Scan sinus paranasal dengan kontras
potongan aksial dan koronal; dan biopsi massa antrokoana.
Rencana tindakan akan dirujuk ke dokter Spesialis THT KL, akan
dilakukan FESS + Polipektomi.
DISKUSI
Dilaporkan satu kasus rinosinusitis kronik dengan polip antrokoanal pada
perempuan berusia 28 tahun. Secara epidemiologi, rinosinusitis banyak ditemukan
pada praktik sehari hari dan mempengaruhi kualitas hidup dan aspek
sosioekonomi. Rinosinusitis kronik lebih banyak terjadi pada perempuan. Keluhan
utama os adalah hidung kanan tersumbat sejak 6 bulan yang lalu. Hidung kanan
tersumbat secara terus menerus, batuk (+), pilek (+), nyeri tekan pada pipi (+),
ingus bau (+), berwarna seperti nanah, cairan masuk ke tenggorokan saat tidur (+),
penciuman terganggu (+). Os juga mengaku sering bernafas lewat mulut. Semua
gejala tersebut mengarah kepada klinis rinosinusitis kronik. Rinosinusitis kronik
karena sudah terjadi > 12 minggu.
Hasil pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pada pemeriksaan
fungsi hidung, didapatkan tes aliran udara dan tes penciuman pada hidung kanan
berkurang disebut dengan hiposmia dapat diseebabkan karena obstruksi mukosa
fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.
Pemeriksaan fisik hidung pada rinoskopi anterior didapatkan cavum nasi kanan
lapang, sekret pus (+), konka inferior eutrofi merah muda, meatus medius sempit,
tampak massa berwarna putih bening mengarah ke kavum nasi posterior dan pada
pemeriksaan rinoskopi posterior, didapatkan post nasal drip dan koana dekstra
sempit menandakan bahwa terdapat polip antrokoana dengan stadium 3.
Pemeriksaan sinus paranasal, ditemukan adanya nyeri tekan/ketok pada
infraorbitalis dekstra memperkuat diagnosis rinosinusitis. Pemeriksaan fisik
tenggorokan didapatkan tonsil T2/T2 tenang dan granuler pada dinding faring
belakang disebabkan oleh perubahan mukosa dinding posterior faring akibat
faringitis kronik hiperplastik.
31
bekerja
pada
reseptor
adrenergik,
untuk
mengurangi
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E., Soetjipto D. Sinusitis dan Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi E. A.
dkk, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 2012; hal. 122 -26; 127-30.
2. Selvianti., Kristyono I. Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis
Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3. Koentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Bagian / SMF llmu
Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU Dr. Soetomo
Surabaya. 2004.
4. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Buku Saku, 2007;
www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
5. Mangunkusumo E., Wardani RS. Polip Nasi. Dalam: Soepardi E. A. dkk, eds. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 2012; hal. 101-03.
6. Meltzer EO., Hamilos DL. Review: Rhinosinusitis Diagnosis and
Management for the Clinician: A Synopsis of Recent Consensus
Guidelines. Mayo Clin Proc. 2011;86(5):427-443.
7. Blanco Al., Perez CA. Carcinoma of paranasal sinuses. Disadur dari
http://www.aboutcancer.com/paranasal_sinus_cancer.htm. Diakses
tanggal 08 Mei 2016.
8. Singh
A.
Paranasal
Sinus
Anatomy.
Disadur
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview#a3.
Diakses tanggal 08 Mei 2016.
9. Fernandez MM., Alobid I., Martinez Anton MA., Mullol J. The antrochoanal polyp.
Rhinology. Rhinology, 2004: 43; 178-182.
10. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis: diagnosis and management. American Family
Physician, 2001; 63:69-74.
11. Fokkens WJ., Lund VJ., Mullol J., Bachert C., dkk. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology, 2012; supplement 23 : 1-298.
33