You are on page 1of 11

1.

Pengertian Forum Ilmiah

Forum ilmiah merupakan suatu pertemuan yang biasanya dilakukan oleh mahasiswa ataupun pelaku - pelaku ilmiah
lainnya, yang berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi ilmiah, baik secara konseptual maupun prosedural. Dalam forum
ilmiah, presentasi ilmiah merupakan suatu kegiatan yang pasti dilakukan. Kegiatan itu berfungsi untuk menyebarkan informasi
ilmiah. Karena mahasiswa merupakan intelektual yang berkewajiban menyebarkan ilmu yang dimilikinya, kemahiran untuk
melakukan presentasi ilmiah merupakan suatu kebutuhan.
Agar presentasi ilmiah dapat berjalan dengan efektif, ada kiat - kiat yang perlu diterapkan, yaitu :
1.
2.
3.

Menarik perhatian dan minat pelaku ilmiah.


Menjaga agar presentasi tetap fokus pada masalah yang dibahas.
Menjaga etika ketika tampil di depan forum ilmiah.

1.1 Jenis-jenis Forum Ilmiah


Sebelum membahas lebih jauh mengenai forum ilmiah, berikut akan ditunjukkan beberapa jenis dari forum ilmiah.

Diskusi Panel

Diskusi Panel merupakan suatu diskusi yang terdiri atas seorang pemimpin, sejumlah peserta, dan beberapa pendengar.
Dalam jenis diskusi ini tempat duduk diatur sedemikian rupa sehingga pendengar dapat mengikuti jalannya diskusi dengan
seksama. Setelah berlangsung tanya jawab antara pemimpin dan peserta, peserta dan pendengar, pemimpin merangkum hasil
tanya - jawab atau pembicaraan, kemudian mengajak pendengar ikut mendiskusikan masalah tersebut sekitar separuh dari waktu
yang tersedia.

Seminar

Pertemuan berkala yang biasanya diselenggarakan oleh sekelompok mahasiswa dalam rangka melaporkan hasil
penelitiannya, dan umumnya di bawah bimbingan seorang dosen atau ahli. Tujuan diskusi jenis ini tidak untuk memutuskan
sesuatu. Seminar dapat bersifat tertutup atau terbuka. Yang terakhir dapat dihadiri oleh umum, tetapi mereka tidak ikut berdiskusi,
melainkan hanya bertindak sebagai peninjau.
Untuk menyelenggarakan seminar harus dibentuk sebuah panitia. Pembicara yang ditentukan sebelumnya, umumnya
menguraikan gagasan atau topiknya dalam bentuk kertas kerja.

Simposium

Pertemuan ilmiah untuk mengetengahkan atau membandingkan berbagai pendapat atau sikap mengenai suatu masalah yang
diajukan oleh sebuah panitia. Uraian pendapat dalam simposium ini diajukan lewat kertas kerja yang dinamakan prasaran. Dan
beberapa prasaran yang disampaikan dalam simposioum harus berhubungan.

Konferensi

Pertemuan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi atau badan resmi sehubungan dengan masalah tertentu. Jika
konferensi hanya bertujuan menyampaikan hasil keputusan suatu organisasi atau badan pemerintah mengenai suatu masalah
maka hal tersebut dinamakan dengar pendapat atau jumpa pers.

Lokakarya (Academic Workshop)

Suatu acara di mana beberapa orang berkumpul untuk memecahkan masalah tertentu dan mencari solusinya. Sebuah
lokakarya adalah pertemuan ilmiah yang kecil.

Whole Group

Bentuk diskusi kelompok besar (pleno, klasikal, paripurna dan sebagainya).

Buz Group

Diskusi kelompok kecil yang terdiri dari (4-5) orang.

Syndicate Group

Bentuk diskusi dengan cara membagi kelas menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari (3-6) orang yang masing masing melakukan tugas - tugas yang berbeda.

Brain Storming

Diskusi iuran pendapat, yakni kelompok menyumbangkan ide baru tanpa dinilai, dikritik, dianalisis yang dilaksanakan
dengan cepat (waktu pendek).

Informal Debate

Diskusi dengan cara membagi kelas menjadi 2 kelompok yang pro dan kontra yang dalam diskusi ini diikuti dengan
tangkisan dengan tata tertib yang longgar agar diperoleh kajian yang dimensi dan kedalamannya tinggi. Selanjutnya
bila penyelesaian masalah tersebut dilakukan secara sistematis disebut diskusi informal. Adapun langkah dalam diskusi informal
adalah :
1.
2.
3.
4.

Menyampaikan problema.
Pengumpulan data.
Alternatif penyelesaian.
Memlilih cara penyelesaian yang terbaik.

Fish Bowl

Diskuasi dengan beberapa orang peserta dipimpin oleh seorang ketua mengadakan diskusi untuk mengambil keputusan.
Diskusi model ini biasanya diatur dengan tempat duduk melingkar dengan 2 atau 3 kursi kosong menghadap peserta diskusi.
Kelompok pendengar duduk mengelilingi kelompok diskusi sehingga seolah - olah peserta melihat ikan dalam mangkok.

Santiaji

Pertemuan yang diselenggarakan untuk memberikan pengarahan singkat menjelang pelaksanaan suatu kegiatan.

Muktamar

Pertemuan para wakil organisasi mengambil keputusan mengenai suatu masalah yang dihadapi bersama.

Diskusi Kelompok

Diskusi dengan anggota kelompok dalam suatu organisasi.

Bedah Buku

Kumpulan pakar - pakar ilmuwan untuk membicarakan hal - hal yang menyangkut ilmu pengetahuan tertentu yang ada pada
sebuah buku yangg dianggap sumber.
2.

Pengertian Etika

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah etika pun berasal dari bahasa Yunani kuno.
Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan,
adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir
inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 S.M.) sudah

dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi dari pada asal - usul kata ini, maka etika berarti: ilmu
tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja belum cukup untuk mengerti dengan istilah etika.
Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa dalam bahasa Indonesia pun kata ethos cukup banyak
dipakai, misalnya dalam kombinasi ethos kerja, ethos profesi, dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam
bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaiknya dipertahankan ejaan aslinya ethos), tapi tidak langsung
melainkan melalui bahasa Inggris, di mana kata itu termasuk kosa kata yang baku.
Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata etika ada perbedaan
yang mencolok, jika kita membandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus yang baru. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarmita, sejak 1953) etika dijelaskan sebagai: ilmu pengetahuan tentang asas asas akhlak (moral). Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan
kita membaca dalam koran Dalam dunia bisnis etika merosot terus, maka kata etika di sini hanya bisa berarti etika sebagai
ilmu. Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat seperti itu ternyata bukan etika sebagai ilmu. Kita bisa menyimpulkan bahwa
kamus lama dalam penjelasannya tidak lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (departemen
Pendidikan dan kebudayaan, 1988), disitu etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3)
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Kamus baru ini memang lebih lengkap. Dengan
penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti Dalam dunia bisnis etika merosot terus, karena disini etika ternyata dipakai
dalam arti yang ketiga.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini. Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika
berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga, etika mempunyai arti lagi: ilmu
tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan - kemungkinan etis yang begitu saja diterima
dalam suatu masyarakat. Seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika
disini sama artinya dengan filsafat moral.
2.1 Etika Alamiah
Menunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya telah dikenal secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling
berhadapan. Telah terbukti bahwa agar seseorang dapat melakukan sutau pekerjaan yang berikutnya (katakanlah tahap kedua:
penulis) dengan baik, maka seseorang itu harus terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan yang mendahuluinya (katakanlah
pekerjaan tahap pertama: penulis). Jika seseorang melakukan evaluasi tidak berdasarkan pengetahuan yang kokoh tentang faktafakta yang ada, maka ia akan melakukannya dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus megetahui seluruh fakta yang
relevan sebelum ia melakukan penilaian moral (yang berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini tampak jelas bahwa
membangun serta menunjukkan fakta - fakta dan membuat penilaian moral terhadap fakta-fakta itu merupakan dua pekerjaan
yang berbeda sama sekali (Edwards, 1972:69).
Para filosof utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert Spencer dan bahkan juga John Dewey dalam hal
ini memandang bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai etis atau tidak etis berdasarkan seberapa besar tindakan itu mendatangkan
suatu kemanfaatan alamiah seperti kesenangan, kepuasan, dan kebaikan masyarakat. Media massa Amerika Serikat misalnya,
memandang bahwa salah asuh terhadap anak sebagai akibat dari anak - anak dibesarkan di dalam keluarga yang kedua atau salah
satu orang tuanya pecandu alkohol adalah tidak etis. Terence Oliver namun demikian, memandang bahwa tidak perlu (baca: tidak
etis) jika kemudian wartawan menghabiskan berbulan - bulan untuk mempublikasikannya, karena yang menjadi persoalan
prioritas adalah seberapa besar kekuatan kita untuk mengentaskannya. Beda pendapat antara para wartawan dengan Oliver
semata - mata merupakan implikasi dari cara pandang etika naturalistik masing - masing.
Paparan di dalam journal tersebut mengingatkan kita tentang perdebatan etika berkenaan dengan peliputan kasus kecelakaan
Diana Spencer (Putri Inggeris) oleh wartawan foto yang mengejar dan merekam kejadian itu. Perdebatan terfokus pada isu
menolong orang yang kecelakaan dahulu atau merekamnya untuk keperluan tugas jurnalistiknya?
2.2 Etika Objektif

Pengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah subjektif itu samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika objektif,
namun demikian kita gunakan dengan maksud untuk menunjuk setiap kalimat etika yang dikemukakan secara bebas tidak
dimuati suatu kepentingan apapun dari orang yang mengemukakannya (Edwards, 1972:70). Objektifisme - subjektifisme. Kedua
istilah tersebut telah diperguanakan secara samar-samar, membingunkan dan dalam pengertian yang jauh berbeda dari apa yang
kita pikirkan. Kita mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu teori yang disebut subjektifis jika dan hanya
jika, beberapa pernyataan etik menyatakan atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu kondisi tertentu hendak bersikap
khusus yang tertentu terhadap sesuatu itu. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai objektifis jika tidak mengikutsertakan hal ini
(Brandt, 1959:153).
Rentang antara subjektifisme dan ojektifisme, misalnya dapat kita lihat melalui contoh berikut ini: Katakanlah kita secara
sukarela menolong mengantar nenek kita dengan mengendarai mobil ke rumah yang berada di pojok lain kota yang sama dengan
tempat kita tinggal. Di tengah jalan kita mengendarai mobil dengan sangat baik, namun tiba-tiba seorang yang mengendarai
mobil lain dalam keadaan mabuk menabrak mobil yang kita kendarai. Hasilnya, nenek kita terjepit dan kakinya patah serta harus
dioperasi di rumah sakit. Patutkah jika kita mengatakan bahwa itu semua karena salah kita, atau orang lain mengatakan
demikian? (Hospers, 1982:142).
Siapapun yang menyatakan bahwa kita yang bersalah berarti menyatakan sesuatu secara subjektif; sebaliknya pernyataan
yang paling patut tetapi objektif adalah jika berbunyi: kecelakaan itu terjadi sebagai akibat dari pengemudi mabuk yang
menabrak mobil kita. Sekiranya kita hendak menunjukkan rasa dan kebesaran jiwa kita sehingga kita menyatakan bahwa itu
semua salah kita, maka kita telah menunjukkan sikap yang patut menurut budaya kita (Indonesia) tetapi bersifat subjektif.
2.3 Etika Universal
Dua gejala umum kita kenali di dalam masyarakat yaitu pertama, bentuk-bentuk pranata sosiokultural tertentu terdapat di
dalam setiap masyarakat manusia seperti : keluarga berkewajiban mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Kedua, adanya
kesamaan prinsip-prinsip dasar dari sistem nilai kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ( Brandt, 1959:286). Profesor
Kluckhohn, misalnya mengemukakan bahwa: Setiap budaya memiliki konsep tentang pembunuhan, membedakannya dari
hukuman mati, pembunuhan di dalam peperangan, dan berbeda dari jenis pembunuhan lainnya. Pandangan tentang perzinaan dan
pengaturan hubungan seksual lainnya, dan larangan dusta di dalam situasi yang tertentu, tentang gantirugi dan imbal balik, dan
hak dan kewajiban antara anak dan orangtua, kesemua konsep - konsep moral tersebut bersifat universal.
Brandt dengan pernyataan dan kutipannya Dari Kluckhohn tersebut hendak mengemukakan bahwa konsep - konsep moral
yang bersifat universal itu menunjukkan adanya etika yang juga bersifat universal. Hal ini dimungkinkan oleh karena manusia
merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang cenderung bertatakrama (Solatun, 2004:52).
Richard B. Brandt secara lebih rinci memaparkan tentang gejala universal tersebut bahwa:
1.

Semua manusia, setidaknya ketika mereka tidak dihadapkan pada tekanan - tekanan yang tidak biasa (luar biasa),
adalah dalam kesepakatan mengenai prinsip - prinsip dasar etika. Pengertiannya adalah bahwa, persoalan - persoalan
etika dapat diatur secara rasional; dalam hal ini ketidaksepakatan mengenai etika tidak bersumber dari ketidaksepakatan
mengenai prinsip - prisip dasar etika itu sendiri, kita harus beranjak dari kesalahpahaman tentang fakta - fakta non etika. Dengan demikian, jika kita dapat sampai pada kesepakatan mengenai fakta - faktanon etika melalui pemabahasan
dengan metoda ilmiah, maka kita aka memeproleh kesepakatan bulat tentang etika.

2.

Premis antropologis yang mengemukakan bahwa ada banyak variasi (ragam - macam) keyakinan tentang tingkah laku
yang benar dan salah, dalam masyarkat yang berbeda, telah difahamkan bahwa tingkah laku benar atau salah tidak akan
menjadi pengetahuan intuitif.

3.

Banyak anggapan sebagai premis yang dirumuskan dari antropologi bahwa, lebih banyak perbedaan pendapat
mengenai etika jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat mengenai fakta - fakta non - etika. Berdasarkan
pandangan ini, dikemukakan sebgai dasar pikiran bahwa pandangan-pandangan mengenai etika pada hakikatnya lebih
menyangkut persoalan - persoalan tingkah laku emosional.

4.

Orang - orang, paling tidak ketika mereka dalam keadaan serius, mengemukakan pertanyaan - pertanyaan mengenai
etika dengan suatu cara yang umum (seragam) dan menyampaikan hanya satu macam alasan (atau pandang baku) di
dalam mempertahankan pranata atau standard etika. Mereka kemudian menganggap bahwa cara mengemukkan
pertanyaan pertanyaan mengenai etika ini adalah satu - satunya yang dapat diterima dan benar, atau sesekali
dikemukakan bahwa dengan demikian, istilah - istilah etika harus dipandang sebagai suatu yang dapat didefinisikan
secara tepat dengan suatu cara, dengan mana jenis standar mengenai alasan yang disampaikan benar - benar merupakan
suatu alasan yang konklusif bagi pernyataan mengenai etika yang dikemukakan.

5.

Terkadang diyakini bahwa ilmu sosial dapat memberitahu kita bahwasanya kegunaan sisitem moral, nurani dan
pembahasan mengenai etika semata - mata sebagai sebuah cara informal kontrol sosial atau untuk menyediakan aturan
guna menengahi konflik - konflik kepentingan. Dengan demikian diperoleh tafsiran bahwa norma etika itu benar jika
dan hanya jika kesemuannya itu sesuai atau cocok untuk keperluan mencapai tujuan tersebut (Brandt, 1959:86-87).

Terciptanya perdamaian, kesenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang bersifat universal.
Oleh karenanya pada setiap komunitas manusia juga dengan sendirinya terdapat standar tentang baik - buruk, patut tidak patut
yang berlaku universal yang dapat menjadi kerangka standard etika universal.
2.4 Etika Sosiokultural
Setiap komunikasi insani, hampir dapat dipastikan merupakan komunikasi antar budaya. Hal ini dikarenakan setiap ada dua
orang manusia atau lebih selalu memiliki perbedaan budayanya masing - masing meski hanya dalam derajat yang sangat kecil
(Deddy Mulayan & Jalaluddin Rakhmatc editor-,1996:vi).
Pendekatan nilai dalam komunikasi beranggapan bahwa pola - pola komunikasi akan berbeda antara satu penganut nilai
budaya dengan lainnya, sebagaimana anggota masing-masing entitas budaya juga berorientasi nilai - nilai dasar kultural yang
berbeda. Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna yang direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks
kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari entitas budaya mana pengkonstruksi berasal (Gudykunst,
1983:54). Muatan etika yang melekat di dalam konstruksi tersebut oleh karenanya juga akan sangat bergantung pada sistem
budaya pengkonstruksinya. Standar kepatutan di dalam setiap transaksi komunikatif, oleh karenanya akan beragam menurut
ragam budaya yang melatarbelakangi komunikator yang terlibat, termasuk pengkonstruksi realitas sosial politik melalui wacana
tertulis di dalam opini media massa cetak.
2.5 Etika Ilmiah atau Etika Kritis
Kritikisme etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian yang sangat penting di dalam kajian kritis terhadap setiap
fenomena komunikatif. Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada segi - segi moral dari segala sesuatu yang terjadi dan
terdapat di dalam teks dan dampak yang mungkin timbul dari teks itu. (Dalam hal ini: penulis) telah terjadi perdebatan seru
tentang bagaimana etika memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan oleh etika di dalam kehidupan dunia seni
dan media (Berger, 1998:195).
Standar validitas (keabsahan) etika dari suatu pernyataan kritis tentang produksi teks dan dampak yang ditimbulkan dari
padanya didasarkan pada prinsip - prinsip metodologi keilmuan. Rumusan metodologis hasil dari proses ini oleh karenanya juga
disebut sebagai rumusan etika kritis atau etika ilmiah yang termasuk kedalam wilayah pembahasan metaetika atau metaethics
(Solatun, 2004:62).
Pengujian (dapat dibaca: penilaian) dengan mempergunakan kerangka metodologis ini lebih ditujukan pada kerangka
penilaiannya dan bukan pada objek yang dinilainya. Langkah seperti ini menjadi penting sehubungan dengan kita memerlukan
penjelasan tentang derajat kepatutan kerangka pemikiran dibalik produksi pernyataan tekstual. Dua segi yang paling penting
untuk diuji dengan menggunakan kerangka metodologis seperti ini adalah konsistensi dan generalitas dari struktur (kerangka)
pikir yang melatarbelakangi diproduksinya suatu pernyataan tekstual dan juga yang non-tekstual- (Solatun, 2004:63) .
3.

Pengertian Estetika

Estetika adalah salah satu cabang filsafat 1. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia
bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi
yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Secara etimologi Estetika berasal dari bahasa Yunani, , dibaca aisthetike. Kali pertama digunakan oleh filsuf
Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:
1.
2.
3.
3.1

Studi mengenai fenomena estetis.


Studi mengenai fenomena persepsi.
Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis.
Penilaian keindahan

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir
dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya, pada masa romantisme di Perancis,
keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan
warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai
penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian
keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu
karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika
dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang
terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara
Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan - aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. Keindahan seharusnya memenuhi
banyak aspek. Aspek jasmani dan aspak rohani.
Pengendalian aspek - aspek estetika komoditas, termasuk di dalamnya komoditas informasi berbasis media massa cetak,
telah menjadi bagian inti dari kreatifitas seni populer, terutama seni komoditas yang merupakan bagian penting dari industri yang
dikelola dan dikendalikan oleh para kapitalis. Misinya (pengendalian segi - segi estetika tersebut ) adalah untuk menjual (barang barang) kebutuhan, misi jangka panjangnya adalah untuk mempertahankan sistem kelas.
Wolfgang Fritz Haug, seorang Marxis Jerman telah mengembangkan sebuah konsep yang relevan dengan diskusi masalah
ini. Haug mengemukakan bahwa mereka yang megendalikan industri di dalam masyarakat kapitalis, telah mempelajari untuk
melarutkan seksualitas ke dalam (segala: penulis) komoditas dan kemudian (dengan cara itu) memperoleh (peluang) pegendalian
yang lebih besar dan lebih besar lagi terhadap segi - segi kehidupan manusia yang merupakan kepentingan utama untuk mengatur
kelas (sosial, mencakup agar ) orang - orang membeli barang - barang dan jasa (Berger, 1998:51).
Estetisme yang merupakan cara berpikir filosofis Immanuel Kant untuk menghindarkan pemikiran dan tindakan politik dari
orientasi material dan duniawi, telah bergeser dan digeser untuk tujuan - tujuan yang sebaliknya (Williams, terjemahan
Muhammad Hardani, 2003:302) . Goldmann, meski memandang pemikiran Kant sebagai sebatas pandangan atas penampilan luar
masyarakat manusia, menilai bahwa ada hal positif dari dalam pandangan estetisme Kant yang menganjurkan agar
memperlakukan manusia sebagai tujuan dan bukan sebagai alat atau faktor produksi.

1 Anonymous, Ensiklopedia Bebas Wikipedia, Estetika, diakses pada tanggal 18


November 2012.

Pandangan Kant dan dukungan dari Gldmann tersebut di muka menunjukkan bahwa konstruksi realitas sosial, termasuk
realitas sosial politik, terlebih untuk konsumsi pasar media massa berupa informasi tekstual, hendaknya mempertimbangkan segi
- segi estetika meski tidak berarti harus menjadikannya bagian dari estetisme. Segi-segi estetika bahasa - sebagai kemasan pesan
tekstual sekurang - kurangnya mencakup: estetika denotatif dan estetika konotatif (Yasraf Amir Piliang, 2003:223).
Denotasi dan konotasi merupakan dua proses terpenting dari penggunaan bahasa verbal (tertulis dan lisan). Denotasi,
penampakan, atau penunjukan merupakan tindakan penggunaan bahasa yang mencerminkan kebiasaan seluruh manusia didalam
upayanya menciptakan dan menemukan tanda - tanda yang menjadikannya mewakili sesuatu yang lain. Tanda di dalam
kehidupan berbahasa dikemukakan dalam bentuk ikon, indeks dan simbol - simbol.
Proses menciptakan dan menafsirkan simbol-simbol yang lazim disebut dengan signifikasi, merupakan hal yang jauh lebih
luas dari pada sekedar bahasa. Sarjana seperti Ferdinand de Saussure menekankan bahwa, kajian makna linguistik hanya
merupakan bagian dari kajian yang lebih umum terhadap penggunaan sistem simbol ini, dan kajian umum ini disebut dengan
semiotika. Para ahli semiotika meneliti jenis - jenis atau bentuk - bentuk relasi antara tanda dan objek yang diwakilinya; yang
dalam istilah Saussure antara signifier (penanda) dengan signified (yang ditandai) (Saeed, 1997:5).
Penanda bahasa bersifat struktural dan mengacu pada sifat - sifat keinderaan dalam bentuk - bentuk denotasi dan
penampakan objek. Aspek konotatif dari bentuk denotatif tersebut berupa konsep objek bersifat kultural fungsional dan melekat
di dalamnya sebagai suatu yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman, dan nilai - nilai objek itu (Yasraf Amir Pliang,
2003:223). Di dalam pandangan strukturalis, kata dianggap memperoleh signifikansinya dari sebuah kombinasi antara
denotasinya (rujukannya) dan pengertian (di dalamnya). Contoh paling sederhana adalah ketika seseorang berkata: Saya melihat
ibu saya beberapa saat lalu, maka pendengar akan memperoleh pengertian bahwa si pembicara melihat seorang perempuan. Ibu
dalam kalimat si pembicara merupakan salah satu jenis denotasi yang objektif. Adapun konotasi yang dibangun dengan kata ibu
saya adalah seorang perempuan yang melahirkan si pembicara dari kandungannya (Saeed, 1997:292). Penanda denotatif tersebut
akan memiliki konotasi yang berbeda jika diucapkan dalam konteks yang berbeda, misalnya kata ibu tidak lagi digabung
dengan kata saya tetapi digabung dengan kata pertiwi, atau kata guru. Makna konotatif yang dituju oleh dua kalimat
terakhir adalah tanah tumpah darah (homeland) dan seorang perempuan yang bekerja sebagai pengajar si pembicara di sebuah
lembaga pendidikan atau sekolah.
Persoalan penting yang mengemuka dari dalam suatu proses denotasi adalah bahwa denotasi merupakan proses penggunaan
bahasa sebagai pengkemas makna. Keefektifan maksud dan tujuan pengkemasan sangat bergantung pada seberapa efektif kita
menampilkan segi - segi estetik ke dalam kemasan itu. Yasraf misalnya mengemukakan bahwa, dalam upaya pemuatan makna
tertentu pada objek seni, setidak - tidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu 1) kode, yaitu cara tertentu memilih,
menyusun dan mengkombinasikan tanda - tanda (apakah menurut relasi penanda atau petanda, penanda atau penanda, atau
penanda par - excellence), 2) makna yang diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif, atau ironis), dan 3) ekspresi atau idiom,
yakni cara elemen - elemen bentuk dan tanda dikombinasikan sehingga menghasilkan totalitas bentuk, baik yang berupa elemen
linguistik maupun non - linguistik (Yasraf Amir Piliang, 2003:224).
Yasraf menggambarkan proses pemuatan estetika kedalam kode dan makna bahasa secara skematik sebagai berikut: Model
proses estetik - semiotik Yasraf tersebut di atas dapat dijadikan sebagai peta abrogasi dan apropriasi dalam konteks dekolonisasi
konstruktif. Abrograsi dan apropriasi merujuk pada pengertian: penolakan terhadap kategori - kategori kebudayaan imperial,
estetiknya, standar normatifnya yang dibuat - buat atau standar penggunaan kebenarannya dan asumsinya tentang makna
tradisional dan fixed yang terdapat dalam kata. Apropriasi merupakan proses penyerapan dan pembentukan ulang bahasa agar
dapat menanggung beban pengalaman kultural seseorang (Ashcroft, Griffiths, &Tiffin, terjemahan Fati Soewandi dan Agus
Mokamat, 2003:42).
Peta yang sama, dengan demikian juga dapat dipergunakan oleh pihak - pihak yang berkepentingan sebaliknya untuk
mengkonstruksi realitas dengan motif - motif denaturalistik - kolonialistik. Kesadaran estetik di dalam mempergunakan bahasa
untuk keperluan mengkonstruksi realitas menjadi sangat penting dan menentukan bentuk relasi sosiotekstual yang
menggambarkan siapa mendustai siapa, siapa menguasai siapa, atau siapa dijajah oleh siapa.
Konsep kolonisasi versus dekolonisasi dalam pada ini memperoleh relevansinya dalam konteks perang teks antara
masyarakat teks modernis dengan masyarakat teks lainnya yang menganggap bahwa modernisme terlahir dengan cacat dan ekses

bawaannya yang telah mengakibatkan sakit sosiokultural dunia yang hiperakut (hyperacute) . Yudhi Haryono dengan mengutip
pandangan Nasir Hamid Abu Zaid melukiskan bahwa masyarakat teks, lahir, hidup, berjuang dan mati untuk teks. Masyarakat
teks ini mendesain dirinya dalam dua tipe. Pertama, sebagai paradigma pemikiran dan penghayatan. Kedua, sebagai metode
analisa - kritik-solusi kehidupan. Keduanya adalah epistem yang dihadirkan sebagai langkah - langkah terorganisir demi
penyelamatan dari modernitas (M. Yudhie Haryono, 1005:27).
Intertekstualitas dalam arti sebenarnya maupun dalam arti yang lebih spesifik dalam hal ini memperoleh pembenaran
teoretiknya. Pembenaran yang sama juga diperoleh untuk Teori Habitus and Field Pierre Bourdieu, dan konsepsi AgencyStructure dari dalam Teori Strukturasi Anthony Giddens.
4.

Etika dan Estetika dalam Forum Ilmiah

Dalam suatu forum Ilmiah, sangat dibutuhkan sebuah komunikasi untuk menunjang kelangsungan di dalam forum ilmiah
tersebut.
Etika dan etiket berkomunikasi dalam forum ilmiah 2:
1. Jujur tidak berbohong
2. Bersikap dewasa tidak kekanak-kanakan
3. Lapang dada dalam berkomunikasi
4. Menggunakan panggilan atau sebutan orang yang baik
5. Menggunakan pesan bahasayang efektif dan efisien
6. Tidak mudah emosi atau emosional
7. Berinisiatif sebagai pembuka dialog
8. Berbahasa yang baik, ramah dan sopan
9. Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan
10. Bertingkah laku yang baik.
Etika berkaitan dengan keyakinan dan prinsip mengenai mana yang benar dan mana yang salah, serta mana yang patut dan
mana yang tidak patut. Satu nilai yang harus dipegang dalam menjaga etika ketika berforum ilmiah adalah menjaga sikap agar
tidak merugikan orang lain. Kerugian mencakup hak atau kesempatan, kehilangan muka, dan tersinggung perasaannya. Hak
dalam forum ilmiah meliputi hak bicara, hak membela dan mempertahankan pendapatnya, serta hak untuk mendapatkan
pengakuan. Kehilangan muka dapat terjadi apabila aib atau kekurangan diungkapkan secara vulgar. Sementara itu, apabila
seseorang telah melakukan sesuatu yang sangat berharga, ia mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan. Etika dalam forum
ilmiah harus dijaga agar tujuan forum tercapai dengan baik. Hal yang perlu diperhatikan oleh penyaji dalam etika adalah
kejujuran. Dalam dunia ilmiah, kejujuran merupakan butir etis terpenting.
Setiap orang wajib bersikap sangat terbuka dalam segala hal menyangkut informasi yang disajikan. Jika menyajikan data,
penyaji harus secara jujur menyebutkan apakah data itu hasil penelitiannya ataukah diambil dari sumber lain. Jika diambil dari
sumber lain, harus disebutkan secara lengkap sesuai dengan kelaziman dunia ilmiah.
Adapun etika yang harus dijaga oleh peserta antara lain adalah sebagai berikut:
1.

Setiap peserta harus jujur pada diri sendiri.

Artinya, dia akan bertanya jika memang tidak tahu, akan mencari klasifikasi apabila masih bingung atau belum yakin, akan
mengecek apakah pemahamannya sudah benar ataukah belum, dan sebagainya.
2.

Setiap peserta wajib menghargai pendapat atau gagasan orang lain.

Dalam hal ini mensyaratkan bahwa dia wajib menyimak apabila ada orang yang berbicara atau bertanya. Misalnya, ketika
orang lain telah mengusulkan gagasan, dia tidak akan berbicara seolah - olah dialah pengusul pertama gagasan tersebut.
Ketika pertanyaan telah diajukan oleh peserta lain, dia tidak akan mengulangi pertanyaan tersebut. Ketika peserta lain telah
menyatakan sesuatu dan dia menyetujuinya, dia dapat mengungkapkan dukungannya.

Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-II. Diakses pada tanggal 18 November 2012.

Terkait dengan perilaku bertanya untuk memperoleh klarifikasi atau informasi, satu kewajiban penanya adalah menyimak
jawaban dari penyaji. Akan lebih bagus jika penanya menunjukkan apresiasi positif terhadap jawaban yang telah diberikan.
Apabila dengan terpaksa penanya meninggalkan ruangan sebelum jawaban diberikan, dia wajib meminta maaf dan meminta izin
untuk meninggalkan ruangan.
Jalannya forum ilmiah banyak ditentukan oleh moderator sebagai pemandu. Etika yang harus dijaganya adalah bahwa dia
harus adil. Artinya, semua peserta sedapat - dapatnya memperoleh kesempatan yang relatif sama dalam berpartisipasi aktif
selama forum berlangsung. Keseimbangan tempat duduk peserta dan kesetaraan gender harus benar - benar dijaga. Demikian
juga keseimbangan dalam hal waktu atau jumlah pertanyaan yang boleh diajukan oleh peserta. Tidak kalah pentingnya, pemilihan
kata dan kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam forum ilmiah ini juga perlu dipertimbangan. Karena kata - kata
yang kasar dan tidak formal bisa jadi menyinggung perasaan peserta forum.
Selain adil, seorang moderator juga harus menaati jadwal atau waktu yang telah ditentukan. Pertama, moderator seyogyanya
tidak terlalu banyak mengambil waktu untuk berkomentar yang tidak fungsional. Kedua, moderator harus mengatur waktu yang
digunakan oleh semua pihak, baik penyaji maupun peserta. Oleh sebab itu, moderator harus punya keberanian untuk
menginterupsi dengan santun pembicaraan seseorang agar tepat waktu.
Semua hal yang terungkap selama forum, baik inti uraian penyaji, pertanyaan, maupun jawaban perlu dicatat secara rapi
oleh notulis. Hasil catatan yang telah ditata ringkas sebaiknya dicetak dan dibagikan minimal kepada semua orang yang terlibat
dalam forum tersebut. Hal ini memberi kesempatan bagi pemilik gagasan atau konsep untuk meluruskannya jika ada hal - hal
yang kurang tepat.
Teknisi wajib memastikan bahwa peralatan teknologi yang digunakan bekerja dengan baik. Dia harus melakukan cek
terakhir sebelum forum dimulai dan secara teratur mengontrol jalannya peralatan teknologi yang digunakan. Apabila terjadi
sesuatu pada teknologi, dia harus secara cepat bertindak menyelamatkan jalannya kegiatan.
5.

Pentingnya Etika

Pada dekade 1980-an, banyak bukti menunjukkan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap menurunnya perilaku etis,
khususnya pada kalangan para pejabat yang memiliki tanggung jawab publik ataupun pribadi 3. What Ever Happened to
Ethics? tanya liputan utama majalah Time (25 mei 1987), A Nation of Liars? desak U.S. News and World Report (23 Februari
1987). Sebuah pengumpulan pendapat pada Februari 1987 oleh U.S News dan CNN memperlihatkan bahwa lebih dari setengah
peserta survey yakni bahwa orang-orang sekarang lebih kurang jujur dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Time melaporkan:
Lebih dari 100 anggota pemerintahan Reagan pernah mendapatkan tuduhan atas pelanggaran etika atau hukum yang
dihancurkan terhadap mereka. Jumlah itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Menurut Time, Banyak bagian etis nasional yang
telah sangat merosot karena dari Gedung Putih hingga gereja-gereja, sekolah-sekolah, industri, pusat - pusat kesehatan, lembaga
hukum, dan pasar saham. Time menyimpulkan: Etika, yang sering disepelekan sebagai sebuah kata yang terlalu manis, kini
berada dipusat perdebatan nasional baru.
Sebuah masyarakat tanpa etika adalah masyarakat yang menjelang kehancuran, ucap filosof S.Jack Odell. Menurut Odell,
konsep dan teori dasar etika memberikan kerangka yang dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau moral setiap orang.
Odel yakin bahwa prinsip - prinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah komunitas sosial. Tanpa prinsip prinsip etika mustahil manusia bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan, kecemasan, keputusasaan, kekecewaan, pengertian, dan
ketidakpastian.
Suatu sistim etika kemasyarakatan atau pribadi bukanlah obat yang mujarab dan berlaku bagi seluruh persoalan individu
maupun kolektif. Apa yang dapat disumbangkan oleh teori etika dan refleksi sistemik tentang etika? Satu jawaban diajukan oleh
filosof Carl Wellman: Sebuah sistem etika tidak menyelesaikan seluruh persoalan praktis, tetapi kita tidak bisa memilih dan
bertindak secara rasional tanpa sistem etika yang jelas atau samar - samar. Sebuah teori etika tidak mengatakan pada seseorang
apa yang harus dilakukannya pada situasi tertentu, tetapi ia juga tidak diam sama sekali; teori etika mengatakan kepadanya apa
yang harus di pertimbangkan untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. Fungsi praktis dari sebuah sistem etika terutama
adalah untuk mengalahkan perhatian kita pada pertimbangan yang relevan, alasan - alasan yang menentukan kebenaran atau
kekeliruan suatu tindakan.

3 Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),


hlm. 6-7.

6.

Estetika Berbahasa Indonesia dalam Forum Ilmiah

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir
dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis,
keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sesuatu dalam keadaan apa adanya.
Dalam suatu forum ilmiah, kegiatan yang sangat ditonjolkan adalah kemampuan berkomunikasi. Keberhasilan suatu forum
ilmiah adalah, jika pelaku ilmiah dapat berkomunikasi secara baik dan benar, sehingga informasi ilmiah juga dapat tersampaikan
secara optimal pula. Kemampuan berkomunikasi yang baik bisa menjadi keindahan tersendiri dalam jalannya suatu forum ilmiah.
Berikut adalah contoh teknik komunikasi yang baik dalam kehidupan sehari-hari 4 :

Menggunakan kata dan kalimat yang baik menyesuaikan dengan lingkungan.


Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara.
Menatap mata lawan bicara dengan lembut.
Memberikan ekspresi wajah yang ramah dan murah senyum.
Menggunakan gerakan tubuh / gesture yang sopan dan wajar.
Bertingkah laku yang baik dan ramah terhadap lawan bicara.
Memakai pakaian yang rapi, menutup aurat dan sesuai situasi kondisi.
Tidak mudah terpancing emosi lawan bicara.
Menerima segala perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi.
Mampu menempatkan diri dan menyesuaikan gaya komunikasi sesuai dengan karakteristik lawan bicara.
Menggunakan volume, nada, intonasi suara serta kecepatan bicara yang baik.
Menggunakan komunikasi non - verbal yang baik sesuai budaya yang berlaku seperti berjabat tangan, merunduk,
hormat atau semacamnya.

Dalam konteks bahasa Indonesia, contoh nilai keindahan dapat dicontohkan dengan karya puisi. Puisi menggunakan kata - kata
yang indah, pembawaannya lembut dan berirama. Begitu halnya dalam berforum ilmiah, akan terlihat lebih
indah jika pelaku dalam forum tersebut, baik moderator, audience maupun penyaji menyajikan karya ilmiahnya dengan
komunikasi yang baik. Diantaranya adalah, pemilihan kata - kata yang formal dan santun, penyusunan kalimat yang baik dan
teratur, juga penyajian kata - kata yang lembut namun tetap tegas dan jelas. Penambahan senyuman dalam suatu forum ilmiah
seperti halnya suatu aksen yang dapat memperindah jalannya diskusi dalam forum ilmiah tersebut.
7.

Manfaat Etika dan Estetika Berbahasa Indonesia dalam Forum Ilmiah

Adapun manfaat yang kita dapatkan dalam beretika dan berestetika berbahasa Indonesia dalam forum ilmiah adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Mendukung keberhasilan dari suatu forum ilmiah


Tidak menyinggung perasaan pihak lain
Mendapatkan perhatian para partisipan
Mendapatkan respon positif dari partisipan
Membuat suasana forum ilmiah menjadi lebih hidup

Forum ilmiah merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh mahasiswa yang berfungsi sebagai sarana
penyebaran informasi. Biasanya, dilakukan presentasi dan diikuti dengan diskusi ilmiah. Agar forum ilmiah dapat
berjalan dengan efektif, maka mahasiswa memerlukan suatu pengetahuan mengenai etika dan estetika berforum ilmiah,
khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang merupakan suatu media komunikasi utama.
Etika merupakan suatu aturan, yaitu aturan penggunaan bahasa Indonesia dalam forum ilmiah ini. Seperti halnya
sebuah kehidupan, aturan ini diperlukan untuk membatasi kesalahan khusunya dalam pemilihan kata dan kalimat yang
digunakan dalam berforum ilmiah. Mengetahui estetika berbahasa Indonesia dalam forum Ilmiah ini juga sangat

Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-II. Diakses pada tanggal 18 November 2012.

diperlukan, guna menyempurnakan diskusi dalam suatu forum ilmiah. Oleh karena itu, makalah ini disusun dengan
harapan dapat digunakan sebagai pedoman mahasiswa dalam melakukan forum ilmiah.

You might also like