You are on page 1of 16

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi di Indonesia secara teratur dimulai sejak tahun 1956, bahkan vaksinasi
cacar telah dilakukan di pulau Jawa jauh sebelumnya. Kegiatan ini telah berhasil
membasmi penyakit cacar, dibuktikan dengan Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh
WHO pada tahun 1974, dan kemudian seluruh dunia dinyatakan bebas cacar pada
tahun 1978 (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2004).
Pada tahun 1977 WHO memulai pelaksanaan program imunisasi sebagai upaya global
secara resmi dan disebut suatu Expanded Program on Immunization (EPI) yang
dikenal di Indonesia sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka
pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B.
Di indonesia program imunisasi secara resmi dimulai di 55 puskesmas pada tahun
1977. Pada tahun 1990 secara nasional Indonesia mencapai status universal Child
Immunization (UCI) yaitu mencakup minimal 80% (DPT-3, Polio3 dan campak)
sebelum anak berusia satu tahun dan cakupan untuk DPT-1, Polio1 dan BCG minimal
90%. (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2006).
Sejak 3 tahun terakhir hasil cakupan Imunisasi Rutin Propinsi Lampung telah
mencapai diatas target Nasional > 80% dengan indikator cakupan imunisasi campak
dan angka Drop Out (DO) dibawah Nasional < 5%. Pada bulan April 2005
ditemukannya kasus VPL di desa Campang Way Handak kabupaten Tanggamus, maka
untuk meningkatkan hasil cakupan Imunisasi dan untuk memutuskan mata rantai
penularan Virus Polio Liar di Propinsi Lampung telah dilaksanakan Out Break Respon
(ORI) di 5 Kabupaten/Kota dengan mengikuti aliran sungai Way Handak sampai ke
Way Sekampung yaitu Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan,
Kabupaten Lampung Tengah, Kota Metro dan Kabupaten Lampung Barat serta
dilanjutkan dengan Pekan Imunisasi Nasional secara serentak di seluruh Indonesia
dan didukung peningkatan cakupan Imunisasi Rutin (Dinas Kesehatan Propinsi
Lampung, 2006).

Program imunisasi campak di indonesia dimulai tahun 1982, kemudian pada tahun
1991 berhasil dicapai status imunisasi dasar lengkap atau universal child imunization
(UCI) secara nasional, sejak tahun 2000 imunisasi campak kesempatan kedua (catch
up 0 secara bertahap yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian imunisasi campak
secara rutin kepada anak sekolah dasar (BIAS). Dan untuk mempercepat perlindungan
campak terhadap anak, sejak tahun 2005 hingga 2008 dilakukan crash program
terhadap anak usia 6-59 bulan dan anak usia sekolah dasar diseluruh provinsi dalam 5
tahap (Depkes RI, 2008).
1.2 Permasalahan
Menilai pelaksanaan program Imunisasi Wajib pada Bayi di Puskesmas Karang anyar
lampung selatan
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Dipahaminya program Imunisasi Wajib pada bayi mulai perencanaan sampai


evaluasi program, secara menyeluruh, sehingga dapat meningkatkan mutu dan
jangkauan pelayanan pada bayi serta tercapainya derajat kesehatan yang
optimal.

1.3.2 Tujuan Khusus

Diketahuinya masalah dari program Imunisasi Wajib pada bayi di Puskesmas


Karang anyar lampung selatan

Diketahuinya kemungkinan penyebab masalah dari program Imunisasi Wajib


pada bayi di Puskesmas Karang anyar Lampung selatan

Dirumuskannya alternatif pemecahan masalah bagi pelaksanaan program


Imunisasi Wajib pada bayi di Puskesmas Karang anyar lampung selatan.

1.4 KERANGKA KONSEP


Untuk mempermudah identifikasi faktor penyebab masalah kurangnya targetb untuk
desa UCI Terutama pada pemberian imunisasi Polio 3 diperlukan kerangka konsep
dengan menggunakan pendekatan sistem

Kerangka Konsep

Dana Yang Tersedia (input)

Kegiatan sweeping

Jumlah tenaga kesehatan (input)

Promosi kesehatan (input)

PSP ibu bayi tentang pentingnya imunisasi Polio 3 (lingk


Jumlah vaksin yang tersedia (input)

Cakupan pemberian imunisasi Polio 3

Pencatatan registrasi sasaran (proses)

Tingkat pendidikan
Jumlah bayi pergi ke posyandu, bidan dan puskesmas masyarakat
(lingkungan)
(lingkungan)

Lokasi posyandu/puskesmas/bidan dijangkau dari rumah penduduk (lingkungan)

Keterangan:
Masalah yang dihadapi adalah kurangnya cakupan pemberian imunisasi polio 3 pada
bayi 0-1 tahun dengan pendekatan system maka diupayakan untuk mengidentifikasi
faktor penyebab masalah tersebut. Komponen sistem yang dapat menjadi penyebab
masalah adalah masukan (input), proses, dan lingkungan. Dari komponen masukan
terdapat beberapa hal yang berpotensi menyebabkan masalah kurangnya cakupan
pemberian imunisasi Polio 3 pada bayi 0-1 tahun, antara lain adalah dana yang
tersedia, jumlah vaksin yang tersedia, jumlah tenaga kesehatan, dan promosi
kesehatan. Faktor dana menjadi penting dalam pembiayaan program secara
keseluruhan. Walaupun Polio 3 yang didapatkan secara gratis, pelaksanaan kegiatan
imunisasi tetap memerlukan dana antara lain untuk uang jasa kader serta untuk
akomodasi kader posyandu untuk melsanakan kegiatan posyandu.
Keterbatasan dana dan jumlah tenaga kesehatan yang kurang memadai dapat
mengakibatkan kurang gencarnya promosi kesehatan yang dilakukan serta tidak dapat
dilakukannya kegiatan sweeping / kunjungan rumah. Promosi kesehatan turut
berperan dalam upaya meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) ibu bayi
tentang pentingnya imunisasi. Pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik secara tidak
langsung akan membuat ibu bayi sadar dan ingat untuk segera membawa bayi ke
Posyandu / Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi dasar pada bayi dan sebaliknya
dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) yang kurang maka ibu bayi lalai atau
tidak menyadari pentingnya imunsasi polio dan hepatitis B bagi kesehatan bayi yang
optimal. PSP ibu bayi ini dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan masyarakat.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah atau tinggi akan relative lebih
mudah mencerna penyuluhan / anjuran yang diberikan.
Faktor proses yang dapat mempengaruhi angka cakupan imunisasi dasar pada bayi ini
adalah kegiatan sweeping/kunjungan rumah yang hanya dilakukan satu kali yaitu pada
akhir tahun, sehingga hal ini menyebabkan tidak lekas ditemukannya bayi yang tidak
belum lengkap iunisasi dasarnya atau ada imunisasi yang terlewat.

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi angka cakupan imunisasi polio 3 adalah
ktersediaan vaksin, pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) ibu bayi tentang
imunisasi. Jarak yang jauh dariposyandu, cuaca hujan, dan anak yang demam setelah
diimunisasi merupakan faktor yang menyebabkan terlambatnya atau tidak
terpenuhinya imunisasi dasar.

II. TINJAUAN PUSTAKA


DEFINISI
Imunisasi ialah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak
terjadi penyakit (Depkes RI, 1999)
Imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah
pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan
tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contohnya adalah
imunisasi polio atau campak. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah
antibodi, sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah
penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan.
Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut
menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah placenta selama masa
kandungan, misalnya antibodi terhadap campak (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005).
Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama.
Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan
istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat
merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.
TUJUAN IMUNISASI
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang,
dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau
bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti imunisasi cacar. Keadaan
yang terakhir ini lebih memungkinkan terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat
ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteri.
6

Memberikan kekebalan pada bayi, anak, ibu hamil, dan wanita usia subur.
Keuntungan upaya imunisasi ini ialah melakukan tindakan pencegahan, karena
mencegah jauh lebih baik dari mengobati (Depkes RI, 1999).
JENIS IMUNISASI
Sesuai dengan program pemerintah, anak-anak wajib mendapatkan imunisasi dasar
terhadap tujuh macam penyakit yaitu TBC, difteria, tetanus, batuk rejan (pertusis),
polio, campak (measles, morbili) dan hepatitis B. Sedangkan imunisasi terhadap
penyakit lain seperti gondongan (mumps), campak Jerman (rubella), tifus, radang
selaput otak (meningitis) Hib, hepatitis A, cacar air (chicken pox, varicella) dan rabies
tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan.
Berikut ini penjelasan mengenai beberapa vaksin yang sering diberikan pada anak:
1. Vaksin BCG
Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya
percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat menyerang
berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah
bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (yang terberat). Pemberian
imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12
bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan.
Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini
"berhasil," maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul
benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi
perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah
suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam.
2. Vaksin DPT (Difteria, Pertusis, Tetanus)
Kuman difteri sangat ganas dan mudah menular. Gejalanya adalah demam tinggi
dan tampak adanya selaput putih kotor pada tonsil (amandel) yang dengan cepat
meluas dan menutupi jalan napas. Selain itu racun yang dihasilkan kuman difteri
dapat menyerang otot jantung, ginjal, dan beberapa serabut saraf. Racun dari
kuman tetanus merusak sel saraf pusat tulang belakang, mengakibatkan kejang
dan kaku seluruh tubuh. Pertusis (batuk 100 hari) cukup parah bila menyerang
anak balita, bahkan penyakit ini dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia vaksin terhadap difteri, pertusis, dan tetanus terdapat dalam 3 jenis
7

kemasan, yaitu: kemasan tunggal khusus untuk tetanus, bentuk kombinasi DT, dan
kombinasi DPT. Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali, yaitu sejak bayi berumur 2
bulan dengan selang waktu penyuntikan minimal selama 4 minggu. Suntikan
pertama tidak memberikan perlindungan apa-apa, itu sebabnya suntikan ini harus
diberikan sebanyak 3 kali. Imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1 - 2
tahun atau kurang lebih 1 tahun setelah suntikan imunisasi dasar ke-3. Imunisasi
ulang berikutnya dilakukan pada usia 6 tahun atau kelas 1 SD. Pada saat kelas 6
SD diberikan lagi imunisasi ulang dengan vaksin DT (tanpa P). Reaksi yang
terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan dan nyeri di tempat suntikan
selama 1-2 hari. Imunisasi ini tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah
dan yang menderita kejang demam kompleks.
3. Vaksin Polio
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak mendadak
lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5 hari.
Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar, dan di Indonesia yang umum diberikan
adalah vaksin Sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya melalui
mulut.
Di beberapa negara dikenal pula Tetravaccine, yaitu kombinasi DPT dan polio.
Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari dan
selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu. Pemberian vaksin polio dapat dilakukan
bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulangan
diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT.
4. Vaksin Campak (Morbili, Measles)
Penyakit ini sangat mudah menular. Gejala yang khas adalah timbulnya bercakbercak merah di kulit setelah 3-5 hari anak menderita demam, batuk, atau pilek.
Bercak merah ini mula-mula timbul di pipi yang menjalar ke muka, tubuh, dan
anggota badan. Bercak merah ini akan menjadi coklat kehitaman dan menghilang
dalam waktu 7-10 hari.
Pada stadium demam, penyakit campak sangat mudah menular. Sedangkan pada
anak yang kurang gizi, penyakit ini dapat diikuti oleh komplikasi yang cukup
berat seperti radang otak (encephalitis), radang paru, atau radang saluran kencing.
Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif dari ibunya ketika dalam
8

kandungan dan kekebalan ini bertahan hingga usia bayi mencapai 6 bulan.
Imunisasi campak diberikan kepada anak usia 9 bulan. Biasanya tidak terdapat
reaksi akibat imunisasi. Namun adakalanya terjadi demam ringan atau sedikit
bercak merah pada pipi di bawah telinga, atau pembengkakan pada tempat
suntikan.
5. Vaksin Hepatitis B
Cara penularan hepatitis B dapat terjadi melalui mulut, transfusi darah, dan jarum
suntik. Pada bayi, hepatitis B dapat tertular dari ibu melalui plasenta semasa bayi
dalam kandungan atau pada saat kelahiran. Virus ini menyerang hati dan dapat
menjadi kronik/menahun yang mungkin berkembang menjadi cirrhosis
(pengerasan) hati dan kanker hati di kemudian hari. Imunisasi dasar hepatitis B
diberikan 3 kali dengan tenggang waktu 1 bulan antara suntikan pertama dan
kedua, dan tenggang waktu 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga. Imunisasi
ulang diberikan 5 tahun setelah pemberian imunisasi dasar.
JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Vaksin hidup attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan)
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus
atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan
cara pembiakaan berulang-ulang maupun dengan cara melakukan modifikasi virus
atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan
kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia :

Berasal dari virus hidup : vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio,
rotavirus, demam kuning (yellow fever)

Berasal dari bakteri : vaksin BCG dan demam tifoid oral.

2. Vaksin inactivated (bakteri, virus, atau komponennya, dibuat tidak aktif)

Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau fraksi
(komponen) dari kedua organisme tersebut. Vaksin fraksi dapat berbasis protein
atau berbasis polisakarida. Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan
bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Untuk
vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponenkomponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari
kuman pneumokokus). Vaksin ini tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated selalu
membutuhkan dosis ganda.
Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, lepra

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis


a-seluler, tifoid Vi, lyme disease

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum

Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan Haemophilus


influenza tipe b

Gabungan polisakarida ( Haemophilus influenzae tipe b dan pneumokokus )


(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005).

TATA CARA PEMBERIAN IMUNISASI


Sebelum melaksanakan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :
1. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi
2. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan

10

3. Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan diberikan dan
jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan
orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
4. Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan
5. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan
6. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik
7. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan;
periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan
8. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) bila
diperlukan.
9. Berikan vaksin dengan teknik yang benar
10. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut
Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa yang
harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang
lebih berat
Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis
Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang Pemberantasan Penyakit Menular
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pelaksanaannya
dapat bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas yang berpegang pada
prinsip-prinsip higienis, surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian
sebelum imunisasi harus dikerjakan (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005).
PENYIMPANAN
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya.
Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan
umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur
2 8 C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A)
11

menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi
guna mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa
vaksin (OPV dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku (Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2005).

JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI WAJIB

12

TUJUAN PROGRAM
1. Umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi akibat penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
2. Khusus
a. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100%
desa/kelurahan pada tahun 2010
b. Tercapainya Eliminasi Tetanus Neonatorum/ETN (insiden dibawah 1/1000
kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2005
c. Tercapainya pemutusan rantai penularan Poliomyelitis pada tahun 2004-2005
serta sertifikasi bebas polio pada tahun 2008
d. Tercapainya Reduksi Campak (Recam) pada tahun 2004 (Dinas Kesehatan
Propinsi Lampung, 2006).
SASARAN PROGRAM
1. Sasaran Berdasarkan Usia yang Diimunisasi
a. Imunisasi Rutin :

Bayi (dibawah satu tahun)

Wanita Usia Subur (WUS) ialah wanita berusia 15 39 tahun, termasuk


Ibu Hamil (Bumil) dan Calon Pengantin (Catin)

Anak usia Sekolah Dasar (SD)

b. Imunisasi Tambahan

Bayi dan anak


2. Sasaran Berdasarkan tingkat kekebalan yang ditimbulkan
a. Imunisasi Dasar

Bayi

b. Imunisasi Lanjutan

Anak usia sekolah dasar (SD)


13

Wanita Usia Subur (WUS) (Dinas Kesehatan Propinsi


Lampung, 2006).

KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI


1. Penyelenggaraan

Imunisasi

dilaksanakan

oleh

Pemerintah,

swasta

dan

masyarakat, dengan mempertahankan prinsip keterpaduan antar pihak terkait


2. Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi baik terhadap sasaran
masyarakat maupun sasaran wilayah
3. Mengupayakan kualitas pelayanan yang bermutu
4. Mengupayakan kesinambungan penyelenggaraan melalui perencanaan program
dan anggaran terpadu
5. Perhatian khusus diberikan untuk wilayah rawan sosial, rawan penyakit (KLB)
dan daerah-daerah sulit secara geografis (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung,
2006).
TARGET PROGRAM
1. Tercapainya UCI desa 90% dengan indikator campak
2. Tercapainya ETN 1/1000 kelahiran hidup dalam satu tahun
3. Tercapainya Recam (angka kesakitan) campak turun 90% dan angka kematian
turun sampai 95%
4. Tercapainya mutu pelayanan imunisasi (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung,
2006).
STRATEGI
Kegiatan lintas program sangat penting dalam peningkatan cakupan, seperti integrasi
dengan KIA, KB, Posyandu, dan UKS. Untuk mencapai UCI (universal Child
Immunization) berupa tercapainya cakupan imunisasi lengkap pada bayi minimal
80% secara merata sampai tingkat desa, perlu disusun strategi yang baik.
Keberhasilan program dalam mempertahankan cakupan tinggi di satu wilayah dan
meningkatkan cakupan yang masih rendah di wilayah yang lain adalah menjadi
14

bagian dari tanggung jawab Pemerintah Daerah setempat. Hal ini ditegaskan dalam
Surat Edaran Mendagri No.440/1300/PUOD, tanggal 10 April 1990. Selain ikut
memantau pencapaian UCI di wilayahnya, peran Pemda dalam penyediaan dana
sangat diperlukan.
1. Meningkatkan dan mempertahankan cakupan diatas 80% dan permintaan dengan
indikator desa UCI dan desa Non UCI
2. Upaya pencapaian ETN, Erapo dan Recam melalui pendekatan resiko
3. Meningkatkan mutu pelayanan
4. Peningkatan efisiensi
5. Pemberdayaan Kabupaten/Kota
6. Peningkatan kemitraan
Status UCI atau cakupan imunisasi diatas 80% ini harus diupayakan merata pada
tingkat administratif yang paling rendah untuk menghindari terdapatnya daerah
cakupan rendah yang merupakan daerah kantong resiko tinggi PD3I, yang nantinya
akan merupakan sumber penularan bagi wilayah di sekitarnya (Dinas Kesehatan
Propinsi Lampung, 2001).
KEGIATAN IMUNISASI
1. Menentukan sasaran imunisasi
a. Bayi (0 s/d 11 bulan)
Jumlah bayi = % angka kelahiran Propinsi x jumlah penduduk

Ibu hamil
Jumlah bumil = 1,1 x jumlah bayi
Anak SD
Diperoleh dari Kantor Departemen P dan K setempat, atau dari Kepala
Sekolah
Calon Pengantin Wanita
Untuk Caten Islam diperoleh data dari Kantor Urusan Agama setempat, untuk
non muslim dari Instansi yang melaksanakan pernikahan
Wanita Usia Subur (15 39 tahun)
Diperoleh dari Kantor Kecamatan setempat atau desa yang akan dilayani
imunisasi
2. Membuat jadwal pelayanan imunisasi
15

Jadwal imunisasi penting untuk mempersiapkan vaksin yang diperlukan


3. Merencanakan kebutuhan vaksin dan peralatan vaksinasi cold chain dan buku
pencatatan dan pelaporan. Waktu membawa vaksin ke lapangan (sekolah dsb)
harus menggunakan vaccine carrier atau termos
4. Menyimpan vaksin di Puskesmas sesuai dengan ketentuan sbb :
Semua vaksin disimpan di lemari es suhu 2 8 derajat celcius
Mini Freezer hanya digunakan untuk membuat cold pack
Vaksin Polio, Campak dan BCG ditempatkan dekat evaporator
d. Vaksin DPT, TT, dan Hepatitis di bagian yang jauh dari evaporator, dan ketiga
vaksin tidak boleh beku
5.

Memberikan pelayanan imunisasi

6.

Memberikan penyuluhan dan membina peran serta masyarakat


7. Melakukan pemantauan (monitoring) secara terus menerus dengan Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS)
8. Pencatatan dan pelaporan tentang hasil kegiatan, persediaan vaksin, dan lain-lain
yang berkaitan. (Depkes RI, 1999)

16

You might also like