You are on page 1of 10

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta, leprosy, Hansens
disease, dan Hanseniasis.. Penyakit kusta adalah infeksi granulomatosa kronik pada manusia
yang menyerang jaringan superfisial, terutama saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas dan jaringan lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya.
B. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.Amauer Hansen
pada tahun 1873 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media
artifisial. M.Leprae berbentuk kuman dengan ukuran 1-8m x 0,3m, tahan asam dan alkohol
serta positif-Gram, bersifat obligat intraselluler. Kuman kusta tumbuh lambat, untuk membelah
diri membutuhkan waktu 12-13 hari dan mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke
20-40. Tumbuh pada tempratur 27-30C.
C. EPIDEMIOLOGI
Sebagian besar kasus lepra terjadi pada wilayah dengan iklim tropis. Berdasarkan data
yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang
teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak
dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663.. Hanya manusia satusatunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat
hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar
thymus.
Faktor-faktor yang berperan terhadap penyakit ini adalah pathogenesis kuman penyebab,
cara penularan, keadaan social ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, gangguan imunitas, iklim, adanya reservoir-reservoir kuman di luar manusia.

D. PATOGENESIS
Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada satu sisi akan
terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas Th2 yang menghasilkan imunitas humoral.
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan tipe
respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN-, IL-2,
lymphotoxin- pada lesi dan selanjutnya akan menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang
mempengaruhi sitokin terutama TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel
CD4+ ( T helper cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic
T cell) dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan protein
antimikroba yaitu granulysin.
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang rendah dengan
tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous mempunyai karakteristik
pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL10. IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan
produksi dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai foamy
makrofag.
Spektrum imunologi kusta tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap berada pada kedua kutub
masing-masing, namun pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) spektrum imunologi kusta
bersifat dinamik (unstable) yang bergerak diantara ke dua kutub.

E. GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.

F. KLASIFIKASI
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling :
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan
dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer
yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan
tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak
seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang
dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat
mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke
seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar
limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.
Tabel 1. Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling1,2

Sifat

Lepromatous

Borderline

Leprosy (LL)

Lepromatous (BL)

Mid Borderline (BB)

Lesi
Bentuk

Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anastesia
BTA
Lesi Kulit
Sekret Hidung

Makula, Infiltrat

Makula, Plakat, Papul Plakat, Dome Shaped

Difus, Papul, Nodul


Tidak terhitung,

(Kubah), Punched Out


Sukar dihitung, masih Dapat dihitung, kulit

praktis tidak ada kulit ada kulit sehat

sehat jelas ada

sehat
Simetris
Halus Berkilat
Tidak Jelas
Biasanya Tak Jelas

Asimetris
Agak Kasar/berkilat
Agak Jelas
Lebih Jelas

Hampir Simetris
Halus Berkilat
Agak Jelas
Tak Jelas

Banyak (ada globus) Banyak


Banyak (ada globus) Biasanya Negatif

Agak Banyak
Negatif

Tes Lepromin
Negatif
G. DIAGNOSIS

Negatif

Biasanya Negatif

Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan


bakterioskopik, dan histopatologis serta tes lepromin. Pemeriksaan klinis harus dilakukan
terhadap seluruh tubuh. Hal ini disebabkan sering terdapat lesi di suatu tempat berbeda dengan
lesi yang ditemukan di tempat yang lain.2
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala
yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada
penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan
didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa
nyeri.
2.Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.1
H. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain
dermatofitosis, tinea versikolor, pitiarisis alba, pitiarisis rosea, dermatitis seboroik, psoriasis,
neurofibromatosis, scleroderma, xantomatosis, leukemia kutis, tuberculosis kutis verukosa,
dan birth mark.
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari paraaminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali
normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit
beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan
bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen

pengobatan

kusta

disesuaikan

dengan

yang

direkomendasikan

oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:


1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Jenis-jenis obat kusta :

obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide, prothionamide

obat sekunder: INH, streptomycine

Dosis menurut rekomendasi WHO


a. Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)
1. Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari
2. Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan
Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam
2 tahun
b. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
1. Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan
2. Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari

3. Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian dilajutkan dengan 1 x 50


mg/hari
Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi 5 tahun
J.

KECACATATAN
Mycobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung

dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi :
sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh
kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra. Kerusakan
saraf pada penderita kusta meliputi :
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi

luka.

Sedangkan

pada

kornea

mata

akan

mengakibatkan

kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran,


benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya
buta.
2) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama
otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan
kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada mata, kelopak
mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus)
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan

akhirnya dapat pecah-pecah. Pada umumnya apabila terdapat kerusakan


fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan tepat maka akan terjadi cacat
ke tingkat yang lebih berat. Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai
ada cacat yang timbul atau bertambah berat.
Tingkat Cacat pada Penderita Kusta(5)
Tingkat

Mata

Tangan/Kaki

Tidak ada pada mata akibat kusta,

Tidak ada anestesi, tidak ada cacat

penglihatan masih normal

yang terlihat akibat kusta

Ada kelainan mata akibat kusta,

Ada anestesi tetapi tidak ada cacat

penglihatan kurang terang (masih

atau terlihat yang kelihatan

kecacata
n
0

dapat menghitung jari pada jarak 6


meter)
2

Penglihatan sangat kurang terang Ada cacat atau kerusakan yang


(tidak dapat menghitung jari pada

terlihat

jarak 6 meter)

K. PROGNOSIS
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen
dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga
ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi.1

DAFTAR PUSTAKA

1.

Amiruddin MD. In: Wijaya A, editor. Penyakit kusta sebuah pendekatan klinis: Brilian

internasional; 2012. p. 1-3, 129-45, 47-55.


2.

Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5th

ed ed: Mcgraw-hill; 2009. p. 665-71.


3.

France RW, Watt HP. Penyakit kusta untuk petugas kesehatan. Jakarta: PT Gramedia;

1989. p. 3-13.
4.

Srinivasan H, Desikan KV. Cauliflower growths in neuropathic plantar ulcers in leprosy

patients. The journal of bone and joint surgery. 1971;53A:123-32.


5.

Brandsma J, Brakel W. WHO disability grading operational definitions. Indian journal of

dermatology, venereology and leprology 2003;74:366-73.

You might also like