You are on page 1of 10

Bahan Bacaan 15.

Memberi Maaf
Sebuah Prespektif Religius

K ata al-'afw dalam Al-Quran diulang sebanyak tiga puluh empat kali. Pada
mulanya kata ini berarti berlebihan, seperti firman-Nya: “Mereka bertanya
kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah,
"al-'afw" (yang berlebih dari keperluan)” (QS Al-Baqarah [2]:219). Kemudian kata al-
'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus
luka atau bekas luka yang ada di dalam hati. Membandingkan ayat-ayat yang berbicara
tentang taubat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh
usaha manusia untuk bertaubat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa,
dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih
dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:

“Alloh mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan
nafsumu sehingga bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa itu
haram) maka Alloh memaafkan kamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

“Alloh memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka, sebelum engkau
mengetahui orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui
pula para pembohong?” (QS Al-Taubah [9]: 43).

“Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang
memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Alloh” (QS Al-Syura[42]: 40).

... Anjuran Memaafkan


Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi
yang ada perintah untuk memberi maaf. “Hendaklah mereka memberi maaf dan
melapangkan dada Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Alloh?” (QS Al-Nur [24): 22).
Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan 155, juga Al Maidah
ayat 95 dan 101. Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar
meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf. Pesan yang
disampaikan dari ayat ini bahwa anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari
orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka
yang sulit memberi maaf pada hakikatnya tidak memperoleh pengampunan dan Alloh
SWT. Pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut dosa atau kesalahan kecil,
tetapi juga untuk dosa dan kesalahan besar.

363
... Berlapang Dada
Berlapang dada terhadap sesuatu yang menimpa baik akibat ujian dan sesuatu yang
buruk menimpa diri menjadi prinsip dalam membuka pintu maaf kepada orang lain.
Orang yang mampu berlapang dada dalam setiap kesulitan yang menderanya akan
selalu berusaha untuk ikhlas dan tidak lemah terhadap berbagai tekanan atau kesulitan.
Istilah al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Quran.
Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat
karena kelapangan dan keluasannya. Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan
dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang
kelapangan dada. Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat
diantaranya didahului oleh perintah memberi maaf. Perhatikan ayat-ayat berikut:

“Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Alloh
Maha Pengampun lagi Maha penyayang”. (QS Al-Thaghabun [64]: 14).

“Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin
diampuni oleh Alloh?” (QS Al-Nur [24]: 22).

“Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Alloh senang kepada orang-orang
yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)” (QS. Al-Ma-idah
[5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]: lO9).

Beberapa ulama seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan bahwa al-shafh lebih


tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf). Kata al-shafh lahirlah shafhat yang berarti
halaman. Ketika Anda melakukan 'afw (memberi maaf) diibaratkan kesalahan pada
sehelai kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya agar tidak kotor
dan terlihat lagi. Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit
banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan lembaran baru. Bahkan
kertas itu menjadi rusak atau kusut. Disinilah letak perbedaan antara al-shafh yang
mengandung arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut
seseorang untuk membuka lembaran baru, hingga sedikitpun hubungan tidak ternodai,
tidak kusut, dan tidak rusak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.
Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk membuka
lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Meskipun
kesalahan telah dihapus, terkadang masih ada ganjalan atau masalah yang tersisa.

... Memaafkan tidak Menunjukkan Kelemahan


Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin membuka lembaran baru
dengan membiarkan lembar yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu
sebabnya ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah
memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga
dirangkaikan dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua
pihak perhatikan firman Alloh SWT: “Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara
yang baik” (QS. Al-Hijri [5]: 85). “Berlapang dadalah terhadap mereka dengan
mengatakan salam/kedamaian”. (QS. Al-Zukhruf [43]: 84).

Memberi maaf tidaklah berarti menunjukan kelemahan hati seseorang, bahkan


sebaliknya, orang yang berani minta maaf berarti memiliki jiwa besar, mempunyai rasa
percaya diri yang handal, sekaligus merupakan keutamaan dan kelembutan hati yang
dicintai Alloh dan disukai para hamba-Nya. Alloh SWT berfirman;

364
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (namun) barang siapa
memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang menjahatinya) maka pahalanya
ditanggung Allah (karena mulianya). Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang berbuat dzalim (merugikan orang)” (QS. Asy-Syuura [ ]: 40).

Seseorang yang tidak mau menjalin tali persaudaraan dengan alasan apapun,
Alloh SWT akan memberikan akibatnya. Sebagaimana yang tercantum dalam al-
Quran surat Ali Imran ayat 112, “mereka diliputi kehinaan dimana saja berada,
kecuali jika berpegang pada tali Allah (agama) dan tali (hubungan) sesama
manusia...”. Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia yang tidak memegang
ajaran Alloh SWT, dan tidak mau menjalin silaturahmi dengan sesama akan
menghadapi kehinaan, akan menjumpai berbagai kekurangan dalam hidupnya dan
sulit bisa hidup damai.

... Membuka Pintu Maaf


Membuka pintu maaf bukan sesuatu yang mudah diucapkan. Memaafkan atas
kekeliruan orang lain yang telah menimpakan kesulitan, kepedihan, kekecewaan dan
beban hidup membutuhkan pengorbanan, keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa.
Secara psikologis proses membuka pintu maaf bagi orang lain melalui empat fase
penting, yaitu (1) fase pengungkapan (uncovering phase) yaitu seseorang merasa
sakit hati dan dendam. (2) Keputusan (decision phase) orang tersebut memikirkan
kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini seseorang belum dapat memberikan
maaf sepenuhnya. (3) Fase tindakan (work phase) yakni adanya tingkat pemikiran
baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai dan
menyakitinya. (4) Fase pedalaman (outcome/deepening phase), yakni internalisasi
kebermaknaan dan proses memaafkan. Pada fase ini orang mulai mendalami dan
menyadari bahwa dengan memaafkan dirinya luka dan kepedihan yang ada bisa
disembuhkan.

Selain dari empat fase yang diungkapkan oleh Enright, tahapan selanjutnya
menyangkut perjalanan batin seseorang untuk memaafkan orang lain. Pertama,
dimulai dengan penolakan, dimana pada tahapan ini seseorang merasa marah dan
sakit hati. Tidak ada proses pemaafan yang terjadi yang hadir keinginan untuk
melupakan ataupun membalas serta memberikan pelajaran kepada orang-orang yang
telah melukainya. Kedua, tahap berfikir rasional dimana
seseorang menyadari bahwa kemarahan yang tersimpan
tidak membuatnya lebih baik justru akan semakin
tertekan (stress), tidak nyaman dan mengganggu
kesehatan fisik. Mulai menyadari adanya pilihan untuk
memperbaiki hubungan yang retak atau rusak. Ketiga,
tahap inisiatif dimana seseorang mulai berkeinginan untuk
melepas beban dan peristiwa yang terjadi meskipun masih
ada beban emosi yang tinggi. Tahapan ini menjadi
langkah penting menuju perdamaian dengan pihak-pihak
yang melukainya. Keempat, tahap penguatan yakni
seseorang menggunakan pemikiran logis dan religius
untuk mempertimbangkan memberikan maaf. Pada tahap
ini seseorang sudah mulai menyadari bahwa kemarahan
dan sakit hati (kebencian) membuat dirinya semakin tidak

365
produktif dan kehidupan mulai terganggu. Disisi lain adanya dorongan sebagai pemeluk
agama untuk ‘ikhlas’ membuka pintu maaf selebar-lebarnya terhadap orang yang telah
menganiayanya. Kelima, tahap eksekusi atau tindakan. Dimana tahapan ini seseorang
dengan sepenuh hati memberikan maaf kepada orang lain. Hal ini terjadi dalam bentuk
proses mental dan diungkapkan secara langsung kepada orang yang berkonflik dengan
dirinya. Tahap ini merupakan langkah terakhir dan paling sulit dilalui oleh seseorang dan
sekaligus sebagai tahap yang sangat melegakan.

... Kajian Empirik tetang Pemaafan


Robert Enright dan Gaye Reed (dalam Anthony, 2003) melakukan penelitian tentang
pemaafan selama tiga belas tahun menyimpulkan bahwa manfaat pemaafan bagi
penyembuhan emosi manusia adalah sama pentingnya dengan penyelidikan untuk
mencari obat-obatan terhadap penyakit mematikan.

Frederic Luskin Ph.D dari Stanford University melakukan penelitian eksperimental


tentang pemaafan, disimpulkan adanya tiga komponen utama kesehatan emosional
pada mereka yang mampu memberikan maaf secara total. Hasil kajian ini
mengungkapkan bahwa tanda-tanda orang yang mudah memaafkan diantaranya; (a)
mereka tidak mudah tersinggung saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang
lain. (b) Mereka tidak mudah menyalahkan orang lain ketika hubungannya dengan orang
tersebut tidak berjalan seperi yang diharapkan. (c) Mereka memiliki penjelasan rasional
terhadap sikap orang lain yang telah membuat mereka tersinggung. Penelitian ini
kemudian dilanjutkan pada kelompok yang berbeda yaitu terhadap 55 mahasiswa
Stanford University diperoleh hasil bahwa mahasiswa yang dilatih meningkatkan ketiga
kemampuan itu jauh lebih tenang hidupnya atau stabil emosionalnya. Mereka tidak
mudah marah, tersinggung dan jarang mengalami konflik dengan orang lain.

Penelitian William dan William (1993) yang mengkaji dampak kebencian dan
dendam menyimpulkan bahwa dendam dan kemarahan membahayakan kesehatan
jantung dan sistem peredaran darah seseorang. Hasil riset dilakukan terhadap beberapa
pasien berpenyakit jantung menunjukkan tingkat kematian dan keparahan penyakit
berkurang secara signifikan saat mereka mulai mampu memaafkan orang lain .

366
Bahan Bacaan 15.2

Rekonsiliasi

M erujuk kajian yang dilakukan oleh International Forgiveness Institute (IFI)


sebenarnya ada perbedaan antara ketiga istilah ‘pemaafan’, ‘pengampunan’ dan
‘rekonsiliasi’. Disebutkan bahwa ‘pemaafan’ lebih bersifat personal. Pemaafan
adalah respon moral seseorang untuk melupakan ketidakadilan yang dialami (Anthony,
2003). Misalnya seorang anak mengalami kekerasan dari orang tuanya di waktu kecil.
Hal ini disebut memberikan pemaafan atau pengampunan. Sedangkan rekonsiliasi berarti
ada dua pihak yang terlibat dalam konflik atau perselisihan untuk saling memberikan
pemaafan. Seperti kasus konflik Poso dan Sambas diperlukan adanya rekonsiliasi yang
melibatkan kedua belah pihak yang bertikai. Pemaafan dari salah satu pihak saja akan
dilihat sebagai salah satu bentuk kelemahan yang juga dapat mendorong agresi dari
pihak lain. Pemaafan dari satu pihak saja tidak cukup tetapi perlu dilakukan rekonsiliasi.
Dalam tulisan ini kedua istilah ini tidak dibedakan secara tajam untuk menghindari
banyak istilah yang dapat membingungkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Robert
Enright dari Catherine Blount Foundation, bahwa kedua istilah itu mengandung esensi
filosofis yang sama, yakni menghapus hutang emosi, berdamai, dan melepaskan
pengalaman pahit, baik dalam diri maupun orang lain.

... Makna Rekonsiliasi


Rekonsiliasi sering diukur dengan prestasi atau keberhasilan seseorang atau komunitas
tertentu dalam melupakan kebencian masa lalu. Secara harfiah rekonsiliasi diartikan
perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan
menyelesaikan perbedaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:942). Rekonsiliasi yang
dimanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perbuatan ''memaafkan tanpa melupakan''
hal ini mengharuskan adanya standar yang sesuai batas "dosa" pelaku atau rezim lama
yang layak dimaafkan, dan atau tidak termaafkan. Bagi yang sulit dimaafkan, perlu
dikelompokkan lagi sesuai dengan kualitas kesalahannya.

... Manajemen Rekonsiliasi


Mengelola dampak konflik yang bersifat horizontal membutuhan energi dan sumber daya
yang cukup besar karena potensi yang ditimbulkannya sangat dalam dan luar biasa
mampu mengoyak stabilitas perdamaian. Konflik ini didominasi faktor-faktor seperti
kesukuan, agama atau keduanya sekaligus yang muncul sebagai pembentuk identitas

367
personal masing-masing pihak yang berkonflik. Konsekuensinya perasaan in group dan
out group menguat. Perasaan ini membangun persepsi masing-masing pihak yang
diwarnai prasangka (streotipe) dalam menyikapi masalah. Anggota saling membela
kelompoknya, karena rasa yang kuat ‘senasib sepenanggungan’ yang dialami kelompok
hingga berkewajiban untuk membelanya. Ketidaksalingpercayaan juga muncul didalam
komunitas dan memperkuat diskriminasi serta prasangka (prejudice). Situasi krisis ini
akan diperparah dengan perubahan struktur sosial yang tidak seimbang (kesenjangan)
menyangkut perbedaan tingkat kesejahteraan, status sosial, dan pelayanan yang tidak
adil. Umumnya perbedaan tingkat kesejahteraan (kemiskinan) seringkali menjadi
justifikasi prasangka dan perilaku diskriminatif.
Dalam mengupayakan proses rekonsiliasi perlu melibatkan pemangku kepentingan
dan ditempuh melalui pendekatan yang komprehensif—sistematis melalui pemetaan
kebutuhan rekonsiliasi, kondisi sosial ekonomi, dan perencanaan strategis yang
dituangkan dalam bentuk program. Manajemen rekonsiliasi harus didahului oleh
penelusuran kebutuhan dan identifikasi akar penyebab konflik, analisis situasi dan
sumber daya yang mendorong perdamaian, serta melakukan diagnostik terhadap
konflik yang terjadi. Akar penyebab konflik harus diidentifikasi secara jelas. Konflik yang
terjadi mungkin berasal dari peristiwa yang terjadi sekian tahun bahkan puluhan tahun
yang lalu. Akar konflik yang terjadi dalam masyarakat perlu ditelusuri secara mendalam
untuk mengetahui latar belakang sejarah konflik, pemangku kepentingan yang terlibat,
dan nilai-nilai lokal yang dapat diangkat untuk menentukan bentuk rekonsiliasi yang
mungkin dilakukan dan dapat diterima semua pihak. Analisis konflik ini harus dilakukan
secara partisipatif sesuai kebutuhan dan akurat, karena tahap ini merupakan landasan
bagi penyusunan strategi dalam melakukan langkah-langkah rekonsiliasi untuk
mencapai tujuan, solusi dan keberhasilan yang diharapkan bersama.
Selanjutnya melakukan intervensi langsung melalui proses mediasi berbagai
kelompok terhadap konflik yang mengakar dalam komunitas. Keberhasilan intervensi ini
sangat tergantung dari ketajaman dalam menganalisis dan memetakan latar belakang
konflik, pemahaman terhadap struktur komunitas, serta identifikasi faktor-faktor
kultural yang mendorong atau menghambat proses perdamaian dari persepsi masing-
masing pihak terhadap masalah yang dihadapi. Disamping itu, luka masa lalu,
penderitaan, kesulitan, kekecewaan dan trauma akibat konflik perlu mendapat
perhatian dan pertimbangan untuk memaafkan oleh masing-masing pihak yang terlibat
sehingga secara emosional kebutuhan rekonsiliasi dapat dipahami dengan baik.

... Dukungan Pihak Ketiga yang Netral


Intervensi pihak ketiga yang berfungsi untuk memfasilitasi komunikasi dalam kerangka
penyelesaian konflik. Pihak ketiga harus mampu mempertahankan citra sebagai pihak
yang netral dan nonpartisan. Netralitas sangat penting karena kedua belah pihak
sedang dalam kondisi tidak terkendali, marah dan saling curiga yang sangat tinggi.
Netralitas mediator dalam proses rekonsiliasi harus tetap dipertahankan, sekali saja
memihak muncul terhadap salah satu pihak, maka fungsi rekonsiliasi ini tidak akan
efektif. Peran mediator adalah sebagai pihak ketiga yang dipandang mampu
menurunkan eskalasi konflik dan mengajak para pihak bertemu dalam perundingan,
mendorong dengan tujuan utamanya menemukan solusi yang mengakomodasi
kepentingan kedua belah pihak. Mediator tidak diperkenankan untuk menyatakan siapa
yang salah dan siapa yang benar, karena sesungguhnya tugas mediator adalah ’tugas
untuk menghadapi masa depan’ dan bukan ’menjadi wasit’ terhadap kesalahan masing-
masing pihak dengan mengorek masa silam.

368
... Membangun Pemahaman Bersama
Rekonsiliasi merupakan kerja perdamaian yang melibatkan berbagai pihak dan sumber
daya untuk memperbaiki rusaknya hubungan akibat luka konflik yang cukup dalam dan
berkepanjangan. Pihak yang terlibat konflik dan masyarakat perlu memadamkan
kemarahan, dendam dan kebencian diganti dengan keikhlasan dan pemaafan yang
tulus. Namun, para pelaku baik langsung maupun tidak langsung dituntut kearifannya
untuk bersikap terbuka mengakui kesalahan dan meminta maaf setulus-tulusnya.
Demikian menurut Nelson Mandela dan Desmond Tutu ''Tanpa pengampunan, tidak ada
masa depan,''.
Di Indonesia pelaksanaan rekonsiliasi masih mengalami hambatan karena belum
tumbuhnya common mind-set (pemikiran bersama) tentang pentingnya penyelesaian
tanpa menimbulkan dampak baru yang dapat menggangu perdamaian. Jangankan
masyarakat biasa, sebagian besar elit politik maupun pemerintahan pun belum
menyadari dan masih ''membutakan'' diri terhadap urgensi rekonsiliasi untuk
menyelamatkan masyarakat secara struktural dan kultural dari perpecahan. Ancaman
disintegrasi di Aceh dan Papua dan perang saudara di Maluku, nyata telah menelan
ribuan nyawa orang-orang tidak berdosa. Konflik etnis di daerah itu telah bergulir
bertahun-tahun, namun sangat sulit menemukan cara yang disepakati untuk
menghentikannya secara permanen. Dalam beberapa kasus justru tindakan pemerintah
atau bahkan pihak ketiga menjadi faktor eskalasi yang memperbesar api konflik.
Kalangan elit boleh saja menyatakan perlunya rekonsiliasi. Namun harus dilandasi
kepentingan yang lebih luas dan langkah-langkah konkrit dalam membangun struktur
sosial yang damai dan berkeadilan. Membangun pemikiran bersama atas pentingnya
rekonsiliasi tidaklah terlalu sulit bila seluruh tokoh-tokoh dan pemimpin sendiri
bergandengan tangan memulainya. Pada saat yang sama, struktur dan perangkat
kemasyarakatan termasuk organisasi nonpemerintah bergerak bersama.

... Rekonsiliasi dan Penguatan Masyarakat


Diperlukan upaya penguatan masyarakat melalui pemberdayaan dalam menangani
konflik secara konstruktif. Pemberdayaan ini diawali dengan pemberian bekal berupa
keterampilan praktis dalam melakukan mediasi dan menjalin komunikasi dengan
pemangku kepentingan. Bagi anggota komunitas dibekali keterampilan dalam
menyelesaikan konflik berbasis komunitas. Selanjutnya juga harus dilakukan bimbingan
dan pendampingan untuk membantu penerapan keterampilan resolusi konflik.
Pelembagaan penting untuk dilakukan, karena rekonsiliasi merupakan sebuah
proses. Seperti dengan proses munculnya konflik yang acapkali berlangsung lama.
Rekonsiliasi juga merupakan proses yang kelangsungan tetap harus dijaga.
Pelembagaan rekonsiliasi berbasis komunitas dimaksudkan untuk membantu
hadirnya struktur masyarakat yang mempromosikan dan menangani resolusi konflik
secara efektif dalam konteks lokal. Pelembagaan ini juga berfungsi agar program ini
bergulir secara luas, yang akan membantu pengembangan kapasitas (capacity
building).
Pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan juga harus dilakukan. Fungsinya
selain sebagai memantau kemajuan program, juga mengidentifikasi riak-riak konflik
yang mungkin muncul dan mempunyai potensi untuk merusak langkah-langkah
rekonsiliasi yang dilakukan.

369
Manajemen rekonsiliasi ini sebaiknya menjadi program yang terpadu dengan
aspek pembangunan yang sedang berjalan dan bersifat permanen dalam agenda
pemerintah. Meskipun tidak selalu harus ditangani langsung oleh perangkat
pemerintah. Di beberapa wilayah yang masih berpotensi konflik tinggi dan
penyelesaiannya belum tuntas seperti di Ambon, Sambas atau Poso, perlu
dilembagakan suatu mekanisme rekonsiliasi. Inilah tugas pemerintah untuk
membangun kekuatan komunitas dalam mendukung stabilitas, perdamaian, keadilan
tanpa tindakan represif.

... Model Rekonsiliasi


Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik dari Universitas Indonesia,
berpendapat, rekonsiliasi didasarkan pada pemberian maaf bangsa
terhadap kejahatan berat masa lalu. Tetapi tidak cukup
pemerintah untuk tidak melupakan begitu saja karena
bertanggungjawab mencegah terulangnya kembali kejahatan yang
sama, penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM di masa
mendatang. Titik berat rekonsiliasi menurut Daniel Sparingga
sebatas memberikan desain penyelamatan masa depan
masyarakat. Target pertama rekonsiliasi bukan untuk pencarian
keadilan, melainkan bertujuan ''menyelamatkan masa depan yang
lebih adil dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa.''
Pendapat di atas bertumpu pada pemberian maaf, dengan kata lain amnesti bagi
pelaku kejahatan masa lalu. Sementara pemikiran Daniel menekankan aspek non-
prosekusi. Berdasarkan kedua kecenderungan tersebut dapat dipahami bahwa kata
kunci gagasan rekonsiliasi merupakan amnesti dan non-prosekusi.
Dalam kenyataannya tidak mudah memastikan pemberian maaf menjamin
pencapaian masa depan yang adil serta tidak terulangnya pelanggaran berat HAM di
kemudian hari. Masalahnya, batasan siapa saja yang harus terlibat rekonsiliasi, tujuan,
bagaimana pelaksanaannya berkaitan langsung dengan realitas sosial dan politik yang
melingkupi model pemerintahan transisi seperti yang terjadi di Aceh. Meski demikian,
sebagai panduan menelusur cakupan rekonsiliasi dapat dikemukakan sejumlah pola
sikap terhadap penelusuran sejarah kelam, yakni dengan ‘melupakan dan
memaafkan’; ‘tidak melupakan tetapi memaafkan’; ‘tidak memaafkan namun
melupakan’. Ketiga pola memperlihatkan tidak ada paduan sikap yang ''tidak
melupakan dan tidak memaafkan''. Setidaknya hal itu tercermin dalam empat tipe
transisi yang berlangsung di berbagai belahan dunia.

• Denazifikasi (denazification) di Jerman. Dalam rangka melikuidasi Nazisme,


Jerman pasca-Hitler tidak melaksanakan rekonsiliasi. Pemerintahan baru tidak
mau melupakan dan tak bersedia memaafkan Nazisme.
• Defasistisasi (defascistization) di Italia. Pemerintahan Italia pasca-Mussolini pun
tidak mewujudkan rekonsiliasi terhadap Fasisme. Pemerintahan baru tidak
memaafkan tetapi melupakan.
• Dejuntafikasi (dejunctafication) di beberapa negara Amerika Latin. Ketika
pemerintahan baru hendak melepaskan diri dari rezim diktator yang didukung
militer, rekonsiliasi dicapai setelah pemberian maaf melalui amnesti. Namun
banyak kalangan tidak pernah bersedia melupakan kejahatan militer masa lalu.

370
• Dekomunisasi (decommunization) di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet
pasca-Komunisme. Kecenderungan di negara ini tak berbeda jauh dengan yang
terjadi di Jerman. Tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak
memaafkan dan tidak melupakan.
Model yang tidak murni seperti keempat tipe tersebut—dengan penyelesaian akhir
yang berbeda diterapkan Korea Selatan dan Afrika Selatan, dan berhasil cukup baik
mewujudkan sebuah rekonsiliasi. Korea Selatan menerapkan sikap ''tidak memaafkan
tetapi melupakan'' dengan mengajukan dua mantan presiden Park Chung Hee dan Chun
Do Hwan ke pengadilan. Sementara di Afrika Selatan sukses menerapkan tipe
dejuntafikasi berkat panduan moral Desmond Tutu dan Nelson Mandela.
Begitu pula Argentina, Uruguay, dan Chili. Pemerintahan baru di ketiga negara itu
menyadari sulitnya menghadapi transisi demokratis karena menghadapi tekanan berat
militer yang tak ingin kejahatan masa lalunya dibongkar.
Selanjutnya, bagaimana dengan model ‘ishlah’ (berdamai) yang diupayakan
Moerdani-Try Sutrisno dkk atas kasus Tanjung Priok dan Lampung. Ketua Tim Perumus
RUU KKR Prof Dr Romli Atmasasmita SH menjelaskan bahwa seluruh proses rekonsiliasi
yang dilakukan di luar mekanisme KKR tidak mengikat secara hukum. KKR adalah
institusi negara satu-satunya yang berwenang mencari dan mengungkap kebenaran
atas pelanggaran berat HAM, serta melaksanakan rekonsiliasi. ''Apalagi diketahui, ishlah
itu tidak didasari adanya pengungkapan kebenaran. Walaupun secara implisit, para
pelaku telah mengakui perbuatannya di masa lalu,''.
Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa ahli waris korban tragedi Tanjung Priok
tak berhak secara mudah melakukan perdamaian dengan TNI. Pasalnya, dengan
mengacu pada filosofi hukum pidana, tragedi Priok tidak hanya merugikan ahli waris
korban, tapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Proses rekonsiliasi bisa saja
dilakukan dengan ishlah. Namun, proses ishlah tersebut harus dilakukan melalui proses
pengungkapan kebenaran yang mekanismenya dilakukan melalui komisi.
Proses rekonsiliasi, sulit berjalan tanpa pencarian kebenaran. Bila ini terjadi, KKR
dapat dipandang sebagai lembaga impunitas (melindungi pelaku kejahatan) baru. KKR
juga akan merekomendasikan berbagai kasus pelanggaran berat ke pengadilan HAM jika
ditemukan bukti hukum kuat. Namun, terhadap para pelaku yang menerima amnesti,
tidak dapat dituntut melalui pengadilan atas kejahatan yang dilakukannya, baik secara
pidana maupun perdata, dengan alasan pertanggungjawabannya diambil alih oleh
negara .

371
372

You might also like