Professional Documents
Culture Documents
Memberi Maaf
Sebuah Prespektif Religius
K ata al-'afw dalam Al-Quran diulang sebanyak tiga puluh empat kali. Pada
mulanya kata ini berarti berlebihan, seperti firman-Nya: “Mereka bertanya
kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah,
"al-'afw" (yang berlebih dari keperluan)” (QS Al-Baqarah [2]:219). Kemudian kata al-
'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus
luka atau bekas luka yang ada di dalam hati. Membandingkan ayat-ayat yang berbicara
tentang taubat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh
usaha manusia untuk bertaubat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa,
dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih
dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Alloh mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan
nafsumu sehingga bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa itu
haram) maka Alloh memaafkan kamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
“Alloh memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka, sebelum engkau
mengetahui orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui
pula para pembohong?” (QS Al-Taubah [9]: 43).
“Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang
memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Alloh” (QS Al-Syura[42]: 40).
363
... Berlapang Dada
Berlapang dada terhadap sesuatu yang menimpa baik akibat ujian dan sesuatu yang
buruk menimpa diri menjadi prinsip dalam membuka pintu maaf kepada orang lain.
Orang yang mampu berlapang dada dalam setiap kesulitan yang menderanya akan
selalu berusaha untuk ikhlas dan tidak lemah terhadap berbagai tekanan atau kesulitan.
Istilah al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Quran.
Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat
karena kelapangan dan keluasannya. Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan
dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang
kelapangan dada. Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat
diantaranya didahului oleh perintah memberi maaf. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Alloh
Maha Pengampun lagi Maha penyayang”. (QS Al-Thaghabun [64]: 14).
“Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin
diampuni oleh Alloh?” (QS Al-Nur [24]: 22).
“Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Alloh senang kepada orang-orang
yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)” (QS. Al-Ma-idah
[5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]: lO9).
364
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (namun) barang siapa
memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang menjahatinya) maka pahalanya
ditanggung Allah (karena mulianya). Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang berbuat dzalim (merugikan orang)” (QS. Asy-Syuura [ ]: 40).
Seseorang yang tidak mau menjalin tali persaudaraan dengan alasan apapun,
Alloh SWT akan memberikan akibatnya. Sebagaimana yang tercantum dalam al-
Quran surat Ali Imran ayat 112, “mereka diliputi kehinaan dimana saja berada,
kecuali jika berpegang pada tali Allah (agama) dan tali (hubungan) sesama
manusia...”. Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia yang tidak memegang
ajaran Alloh SWT, dan tidak mau menjalin silaturahmi dengan sesama akan
menghadapi kehinaan, akan menjumpai berbagai kekurangan dalam hidupnya dan
sulit bisa hidup damai.
Selain dari empat fase yang diungkapkan oleh Enright, tahapan selanjutnya
menyangkut perjalanan batin seseorang untuk memaafkan orang lain. Pertama,
dimulai dengan penolakan, dimana pada tahapan ini seseorang merasa marah dan
sakit hati. Tidak ada proses pemaafan yang terjadi yang hadir keinginan untuk
melupakan ataupun membalas serta memberikan pelajaran kepada orang-orang yang
telah melukainya. Kedua, tahap berfikir rasional dimana
seseorang menyadari bahwa kemarahan yang tersimpan
tidak membuatnya lebih baik justru akan semakin
tertekan (stress), tidak nyaman dan mengganggu
kesehatan fisik. Mulai menyadari adanya pilihan untuk
memperbaiki hubungan yang retak atau rusak. Ketiga,
tahap inisiatif dimana seseorang mulai berkeinginan untuk
melepas beban dan peristiwa yang terjadi meskipun masih
ada beban emosi yang tinggi. Tahapan ini menjadi
langkah penting menuju perdamaian dengan pihak-pihak
yang melukainya. Keempat, tahap penguatan yakni
seseorang menggunakan pemikiran logis dan religius
untuk mempertimbangkan memberikan maaf. Pada tahap
ini seseorang sudah mulai menyadari bahwa kemarahan
dan sakit hati (kebencian) membuat dirinya semakin tidak
365
produktif dan kehidupan mulai terganggu. Disisi lain adanya dorongan sebagai pemeluk
agama untuk ‘ikhlas’ membuka pintu maaf selebar-lebarnya terhadap orang yang telah
menganiayanya. Kelima, tahap eksekusi atau tindakan. Dimana tahapan ini seseorang
dengan sepenuh hati memberikan maaf kepada orang lain. Hal ini terjadi dalam bentuk
proses mental dan diungkapkan secara langsung kepada orang yang berkonflik dengan
dirinya. Tahap ini merupakan langkah terakhir dan paling sulit dilalui oleh seseorang dan
sekaligus sebagai tahap yang sangat melegakan.
Penelitian William dan William (1993) yang mengkaji dampak kebencian dan
dendam menyimpulkan bahwa dendam dan kemarahan membahayakan kesehatan
jantung dan sistem peredaran darah seseorang. Hasil riset dilakukan terhadap beberapa
pasien berpenyakit jantung menunjukkan tingkat kematian dan keparahan penyakit
berkurang secara signifikan saat mereka mulai mampu memaafkan orang lain .
366
Bahan Bacaan 15.2
Rekonsiliasi
367
personal masing-masing pihak yang berkonflik. Konsekuensinya perasaan in group dan
out group menguat. Perasaan ini membangun persepsi masing-masing pihak yang
diwarnai prasangka (streotipe) dalam menyikapi masalah. Anggota saling membela
kelompoknya, karena rasa yang kuat ‘senasib sepenanggungan’ yang dialami kelompok
hingga berkewajiban untuk membelanya. Ketidaksalingpercayaan juga muncul didalam
komunitas dan memperkuat diskriminasi serta prasangka (prejudice). Situasi krisis ini
akan diperparah dengan perubahan struktur sosial yang tidak seimbang (kesenjangan)
menyangkut perbedaan tingkat kesejahteraan, status sosial, dan pelayanan yang tidak
adil. Umumnya perbedaan tingkat kesejahteraan (kemiskinan) seringkali menjadi
justifikasi prasangka dan perilaku diskriminatif.
Dalam mengupayakan proses rekonsiliasi perlu melibatkan pemangku kepentingan
dan ditempuh melalui pendekatan yang komprehensif—sistematis melalui pemetaan
kebutuhan rekonsiliasi, kondisi sosial ekonomi, dan perencanaan strategis yang
dituangkan dalam bentuk program. Manajemen rekonsiliasi harus didahului oleh
penelusuran kebutuhan dan identifikasi akar penyebab konflik, analisis situasi dan
sumber daya yang mendorong perdamaian, serta melakukan diagnostik terhadap
konflik yang terjadi. Akar penyebab konflik harus diidentifikasi secara jelas. Konflik yang
terjadi mungkin berasal dari peristiwa yang terjadi sekian tahun bahkan puluhan tahun
yang lalu. Akar konflik yang terjadi dalam masyarakat perlu ditelusuri secara mendalam
untuk mengetahui latar belakang sejarah konflik, pemangku kepentingan yang terlibat,
dan nilai-nilai lokal yang dapat diangkat untuk menentukan bentuk rekonsiliasi yang
mungkin dilakukan dan dapat diterima semua pihak. Analisis konflik ini harus dilakukan
secara partisipatif sesuai kebutuhan dan akurat, karena tahap ini merupakan landasan
bagi penyusunan strategi dalam melakukan langkah-langkah rekonsiliasi untuk
mencapai tujuan, solusi dan keberhasilan yang diharapkan bersama.
Selanjutnya melakukan intervensi langsung melalui proses mediasi berbagai
kelompok terhadap konflik yang mengakar dalam komunitas. Keberhasilan intervensi ini
sangat tergantung dari ketajaman dalam menganalisis dan memetakan latar belakang
konflik, pemahaman terhadap struktur komunitas, serta identifikasi faktor-faktor
kultural yang mendorong atau menghambat proses perdamaian dari persepsi masing-
masing pihak terhadap masalah yang dihadapi. Disamping itu, luka masa lalu,
penderitaan, kesulitan, kekecewaan dan trauma akibat konflik perlu mendapat
perhatian dan pertimbangan untuk memaafkan oleh masing-masing pihak yang terlibat
sehingga secara emosional kebutuhan rekonsiliasi dapat dipahami dengan baik.
368
... Membangun Pemahaman Bersama
Rekonsiliasi merupakan kerja perdamaian yang melibatkan berbagai pihak dan sumber
daya untuk memperbaiki rusaknya hubungan akibat luka konflik yang cukup dalam dan
berkepanjangan. Pihak yang terlibat konflik dan masyarakat perlu memadamkan
kemarahan, dendam dan kebencian diganti dengan keikhlasan dan pemaafan yang
tulus. Namun, para pelaku baik langsung maupun tidak langsung dituntut kearifannya
untuk bersikap terbuka mengakui kesalahan dan meminta maaf setulus-tulusnya.
Demikian menurut Nelson Mandela dan Desmond Tutu ''Tanpa pengampunan, tidak ada
masa depan,''.
Di Indonesia pelaksanaan rekonsiliasi masih mengalami hambatan karena belum
tumbuhnya common mind-set (pemikiran bersama) tentang pentingnya penyelesaian
tanpa menimbulkan dampak baru yang dapat menggangu perdamaian. Jangankan
masyarakat biasa, sebagian besar elit politik maupun pemerintahan pun belum
menyadari dan masih ''membutakan'' diri terhadap urgensi rekonsiliasi untuk
menyelamatkan masyarakat secara struktural dan kultural dari perpecahan. Ancaman
disintegrasi di Aceh dan Papua dan perang saudara di Maluku, nyata telah menelan
ribuan nyawa orang-orang tidak berdosa. Konflik etnis di daerah itu telah bergulir
bertahun-tahun, namun sangat sulit menemukan cara yang disepakati untuk
menghentikannya secara permanen. Dalam beberapa kasus justru tindakan pemerintah
atau bahkan pihak ketiga menjadi faktor eskalasi yang memperbesar api konflik.
Kalangan elit boleh saja menyatakan perlunya rekonsiliasi. Namun harus dilandasi
kepentingan yang lebih luas dan langkah-langkah konkrit dalam membangun struktur
sosial yang damai dan berkeadilan. Membangun pemikiran bersama atas pentingnya
rekonsiliasi tidaklah terlalu sulit bila seluruh tokoh-tokoh dan pemimpin sendiri
bergandengan tangan memulainya. Pada saat yang sama, struktur dan perangkat
kemasyarakatan termasuk organisasi nonpemerintah bergerak bersama.
369
Manajemen rekonsiliasi ini sebaiknya menjadi program yang terpadu dengan
aspek pembangunan yang sedang berjalan dan bersifat permanen dalam agenda
pemerintah. Meskipun tidak selalu harus ditangani langsung oleh perangkat
pemerintah. Di beberapa wilayah yang masih berpotensi konflik tinggi dan
penyelesaiannya belum tuntas seperti di Ambon, Sambas atau Poso, perlu
dilembagakan suatu mekanisme rekonsiliasi. Inilah tugas pemerintah untuk
membangun kekuatan komunitas dalam mendukung stabilitas, perdamaian, keadilan
tanpa tindakan represif.
370
• Dekomunisasi (decommunization) di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet
pasca-Komunisme. Kecenderungan di negara ini tak berbeda jauh dengan yang
terjadi di Jerman. Tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak
memaafkan dan tidak melupakan.
Model yang tidak murni seperti keempat tipe tersebut—dengan penyelesaian akhir
yang berbeda diterapkan Korea Selatan dan Afrika Selatan, dan berhasil cukup baik
mewujudkan sebuah rekonsiliasi. Korea Selatan menerapkan sikap ''tidak memaafkan
tetapi melupakan'' dengan mengajukan dua mantan presiden Park Chung Hee dan Chun
Do Hwan ke pengadilan. Sementara di Afrika Selatan sukses menerapkan tipe
dejuntafikasi berkat panduan moral Desmond Tutu dan Nelson Mandela.
Begitu pula Argentina, Uruguay, dan Chili. Pemerintahan baru di ketiga negara itu
menyadari sulitnya menghadapi transisi demokratis karena menghadapi tekanan berat
militer yang tak ingin kejahatan masa lalunya dibongkar.
Selanjutnya, bagaimana dengan model ‘ishlah’ (berdamai) yang diupayakan
Moerdani-Try Sutrisno dkk atas kasus Tanjung Priok dan Lampung. Ketua Tim Perumus
RUU KKR Prof Dr Romli Atmasasmita SH menjelaskan bahwa seluruh proses rekonsiliasi
yang dilakukan di luar mekanisme KKR tidak mengikat secara hukum. KKR adalah
institusi negara satu-satunya yang berwenang mencari dan mengungkap kebenaran
atas pelanggaran berat HAM, serta melaksanakan rekonsiliasi. ''Apalagi diketahui, ishlah
itu tidak didasari adanya pengungkapan kebenaran. Walaupun secara implisit, para
pelaku telah mengakui perbuatannya di masa lalu,''.
Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa ahli waris korban tragedi Tanjung Priok
tak berhak secara mudah melakukan perdamaian dengan TNI. Pasalnya, dengan
mengacu pada filosofi hukum pidana, tragedi Priok tidak hanya merugikan ahli waris
korban, tapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Proses rekonsiliasi bisa saja
dilakukan dengan ishlah. Namun, proses ishlah tersebut harus dilakukan melalui proses
pengungkapan kebenaran yang mekanismenya dilakukan melalui komisi.
Proses rekonsiliasi, sulit berjalan tanpa pencarian kebenaran. Bila ini terjadi, KKR
dapat dipandang sebagai lembaga impunitas (melindungi pelaku kejahatan) baru. KKR
juga akan merekomendasikan berbagai kasus pelanggaran berat ke pengadilan HAM jika
ditemukan bukti hukum kuat. Namun, terhadap para pelaku yang menerima amnesti,
tidak dapat dituntut melalui pengadilan atas kejahatan yang dilakukannya, baik secara
pidana maupun perdata, dengan alasan pertanggungjawabannya diambil alih oleh
negara .
371
372