You are on page 1of 31

PENERAPAN DAN ANALISA UNDANG –

UNDANG NOMOR: 23 TAHUN 2004


TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

1
Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga

 disahkan dan diundangkan pada tanggal 22 September 2004


 UU PKDRT ini merupakan wujud terciptanya keinginan Negara untuk
melindungi
hak asasi manusia dalam lingkup rumah tangga khususnya perempuan (psl.1
ayat 1)

Latar Belakang UU PKDRT ini dibentuk :


Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi

undang-undang ini menarik karena :


 hal yang dibicarakan (diatur) dalam undang-undang ini adalah mengenai
masalah yang dahulu dianggap tabu untuk diungkapkan atau bahkan
dipermasalahkan, yakni mengenai” kekerasan dalam rumah tangga”

 Bagi sebagian orang, masalah rumah tangga adalah masalah yang hanya patut
dibicarakan dalam lingkungan keluarga karena masih dianggap sebagai aib
bagi keluarga tersebut 2
 Cara pandang yang demikian sedikit banyak dipengaruhi oleh kultur
masyarakat, dimana dalam kultur masyarakat (pada umumnya suku-suku
di Indonesia yang menganut azas kekeluargaan patrilineal), kaum
perempuan atau isteri dianggap sebagai konco wingking sehingga yang
perlu diurusi hanya meliputi dapur, kasur, dan sumur, lebih dari itu
merupakan ranah kewenangan pria atau suami, dengan demikian seolah –
olah perempuan atau isteri dianggap berada dalam subordinasi kaum pria
atau suami
Pandangan negara dlm membentuk UUPKDRT ini didasarkan pada :
 Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
beserta perubahannya
- Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 :
"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi"
- Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 :
"Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan“

Titik Berat :
 Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2004 ini, lebih menitik beratkan untuk melindungi
kaum perempuan atau isteri, karena merupakan pihak yang lebih sering dirugikan
akibat perlakuan dari kaum pria atau suami

3
Permasalahan :

 upaya untuk mengungkap bentuk kekerasan ini tidaklah


mudah, karena pemahaman/kesadaran masyarakat tentang
kekerasan dalam rumah tangga belum seluruhnya dipahami
sebagai bentuk pelanggaran HAM

 kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah privat,


sehingga penerapannya masih mempertimbangkan bagaimana
kelanggengan rumah tangga ybs. terutama bagi masa depan
anak-anak yang dilahirkan.

 Permasalahan yang terdapat di dalam pasal-pasal UUPKDRT


itu sendiri

4
Pembahasan :

- Undang – undang PKDRT ini meskipun tidak secara eksplisit


disebutkan
namun mencakup dua hal yang diatur, yaitu :

A. Secara formil

B. Secara materiil

5
A. SECARA FORMIL :

a. MENGENAI KETENTUAN LAIN-LAIN :


 Pasal 54 UU. No.23 Tahun 2004 menyebutkan : penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini

 Hal ini membawa konsekuensi bahwa UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan diberlakukan juga dalam undang-undang PKDRT ini

 UU. No. 23 Tahun 2004 tidak mengatur secara detail apa dan bagaimana proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagaimana yang diatur oleh KUHAP

 UU. No. 23 Tahun 2004 tidak dikenal istilah penyelidik maupun penyidik , tetapi dalam
undang-undang ini semua istilah diatas digeneralisir menjadi istilah Kepolisiandalam KUHAP
antara penyelidik dan penyidik masing – masing mempunyai makna dan tugas yang berbeda

 Dalam UU. No.23 Tahun 2004 tidak mengatur lebih lanjut mengenai syarat sahnya penahanan,
penangkapan dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh tersangka atau terdakwa pada
waktu proses penyidikan dan penuntutan serta pada waktu proses pemeriksaan di
persidangan (bantuan hukum, praperadilan, permintaan ganti rugi dan
rehabilitasi)

6
• Jadi dapat dikatakan bahwa dalam UU. No. 23 Tahun 2004 hanya
secara umum menggolongkan tiap-tiap proses pemeriksaan dalam
tahapan-tahapan sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 tersebut,
yaitu tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, dan tahapan
pemeriksaan dipersidangan, tanpa merinci lebih detail tiap – tiap
tahapan itu
• seharusnya tahapan atau proses sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan pasal 54, yakni kata-kata “penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan” dihilangkan saja, dan diganti
dengan kalimat “Hukum Acara pidana yang berlaku diterapkan pula
dalam pelaksanaan Undang-undang ini, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini ”

7
b. MENGENAI PEMBERITAHUAN KEPADA KEPOLISIAN :
Pasal 26 Undang – undang No. 23 Tahun 2004 menyebutkan:
1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak Kepolisian baik ditempat korban berada
maupun di tempat kejadian perkara
3) Apabila membaca pasal 26 UU. No. 23 Tahun 2004 tersebut maka secara umum dapat
diartikan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga apapun bentuknya berhak
melaporkan tindak pidana tersebut kepada kepolisian
4) Sementara itu pasal lain dalam UU. No. 23 Tahun 2004 seperti pasal 51, pasal 52, dan
Pasal 53 memberikan makna lain dalam penyebutan tindak pidana yang terjadi, yaitu :
Pasal 51
“Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan”
Pasal 52
“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan
delik aduan”
Pasal 53
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan”

8
• Dari ketentuan pasal 51, pasal 52, dan pasal 53 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
Undang – undang ini telah memberikan batasan yang jelas mengenai tindak pidana apa
sajakah yang merupakan delik aduan
• Delik aduan adalah :
Peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan dari korban

 Dengan adanya limitasi seperti yang telah disebutkan diatas, apabila dihubungkan
dengan ketentuan pasal 26, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

- Pihak yang menjadi korban, keluarga, atau orang lain berhak memberitahukan apa
yang dialami korban kepada pihak kepolisian, bentuk penyampaian kepada
kepolisian tersebut, secara formil dalam undang – undang ini disebut sebagai
laporan;

- Khusus untuk tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 44


ayat (4), pasal 45 ayat (2), dan pasal 46, secara formil bentuk pemberitahuan
pihak korban, keluarga, atau orang lain yang mendapat kuasa dari korban
kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian disebut sebagai pengaduan ;

9
- Apabila mencermati kesimpulan diatas, maka seharusnya bunyi pasal 26 tidak hanya
mengenai laporan saja, tetapi juga mengenai pengaduan, karena dua hal ini mempunyai
pengertian dan konsekuensi yang berbeda.

10
c. MENGENAI PENANGKAPAN DAN PENAHANAN

• Masalah penangkapan dan penahanan sedikit diulas dalam Undang-undang


PKDRT ini, dan itupun hanya terbatas pada pelaku yang melanggar perintah
perlindungan yang diberikan kepada korban

• Pasal 35 menyebutkan :
- Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa
surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi
itu bertugas.
- Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali
dua
puluh empat) jam.
- Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2).

11
Pasal 35 ini dapat ditafsirkan sebagai berikut :

1. a. Pembentuk Undang-undang dalam pasal 35 ayat (1) telah secara luar biasa
memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk menangkap dan selanjutnya
melakukan penahanan terhadap pelaku yang telah melanggar perintah perlindungan
tanpa surat perintah meskipun Locus delicti diluar tempat polisi tersebut bertugas

b. Apabila membandingkanya dengan KUHAP, maka penangkapan yang tanpa disertai


dengan surat perintah dapat dilakukan apabila pelaku tertangkap tangan pada saat
melakukan tindak pidana.

c. Apakah pasal 35 tersebut dimaksudkan oleh pembentuk Undang – undang sebagai


bentuk “payung hukum” apabila pelaku tertangkap tangan melakukan pelanggaran
terhadap perintah perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat
(2) KUHAP atau hanya sekadar memberikan kewenangan yang lebih terhadap
kepolisian karena dapat menangkap pelaku diluar daerah tugasnya?.

2. Pasal 35 ayat (1) juga memuat kata diyakini, mungkin maksudnya adalah bahwa
kepolisian tanpa surat perintah dapat menangkap pelaku yang diyakini telah
melanggar perintah perlindungan. Ini juga merupakan hal baru yang luar biasa dalam
ranah hukum formil di negara kita, dimana hanya dengan keyakinan dari seseorang in
casu polisi dapat digunakan untuk menangkap seseorang

12
• pasal 36 menyatakan sebagai berikut:
- Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap
pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah
perlindungan.
- Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan
penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam.

• Dari bunyi pasal 36 ayat (1) diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pelaku
yang telah melanggar perintah perlindungan dapat ditangkap oleh polisi apabila
didahului dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Adanya bukti permulaan
yang cukup ini tentunya diperoleh dari hasil penyelidikan, dan didasarkan pada
alat bukti yang sah seperti disebutkan dalam pasal 184 KUHAP

13
• Formulasi pasal 36 ayat (1) ini, mirip dengan pasal 17 KUHAP, yang
mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup dalam melakukan
penangkapan terhadap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana.

• Pasal 36 ini lebih bersifat legalitas formal dari pada pasal 35 seperti disebutkan
diatas. Kita sepakat bahwa adanya UU No.23 tahun 2004 ditujukan guna
melindungi hak asasi korban.

14
B. SECARA MATERIIL :
• Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah :
“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga” (psl. 1 ayat 1)

- Lingkup Rumah Tangga adalah :


a. Suami. Isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubunngan keluarga denngan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yanng menetap dalam rumah tangga,
dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut
- Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan
(psl. 2)
15
 Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 1
UUPKDRT tsb adalah pada umumnya merupakan kekerasan yang berbasis
gender atau gender based violence (GBV)

 Kekerasan tersebut dapat terjadi karena adanya relasi yang tidak seimbang
yang diakibatkan oleh pembakuan peran gender dan persepsi gender yang
keliru

 Misalnya anggapan masyarakat bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih


tinggi dibandingkan kedudukan perempuan sehingga laki-laki merasa lebih
berkuasa atas perempuan

 Pandangan ini dikenal sebagai budaya patriakhi, budaya yang menempatkan


laki-laki sebagai warga kelas satu, dominan, superior dan lebih tinggi dari
perempuan.

16
Pasal 5 UU. No. 23 Tahun 2004 menyebutkan:
- Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara:
1. kekerasan fisik ;
2. kekerasan psikis ;
3. kekerasan seksual ; atau
4. penelantaran rumah tangga ;

1. KEKERASAN FISIK
 Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat (pasal 6).
 Penafsiran mengenai kekerasan fisik yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UU
PKDRT diantaranya dapat ditemukan dalam doktrin, yang menjelaskan sebagai
berikut:
 Rasa sakit hanya cukup bahwa orang lain merasa sakit tanpa ada perubahan dalam
bentuk badan (Moch Anwar, 1989 : 103). Rasa sakit, misalnya mencubit, mendupak,
memukul, menempeleng (R. Soesilo, 1976:210)
 Jatuh sakit artinya timbul gangguan atas fungsi dari alat-alat di dalam badan
manusia (Moch Anwar, 1989 :103).
17
• Luka berat adalah yang luka yang terkualifikasi dalam Pasal 90 KUHP yakni :
- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
- Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
- Kehilangan salah satu pancaindera;
- Mendapat cacat berat;
- Menderita sakit lumpuh;
- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih ;
- dan Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

• Kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit dipidana/dihukum dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) --------
psl. 44 (1).

• Kekerasan fisik yang mengakibatkan jatuh sakit, atau luka berat dipidana/dihukum dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) -------- psl. 44 (2)

• Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban dipidana/dihukum dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,- (empat puluh lima
juta rupiah) -------- psl. 44 (3).
18
• Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari, dipidana /dihukum dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
-------- psl. 44 (4).

Penerapan pasal 44 ayat (1) ini dalam praktek amat sulit, karena adanya
Pembatasan yang ditentukan dalam ayat (4) yakni apabila kekerasan itu
dilakukanoleh suami terhadap isteri atau sebaliknya dengan tambahan
klausul “ yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari”

19
Penerapan yang sulit dalam praktek dikarenakan hal – hal berikut:

- Dasar yang digunakan dalam menentukan adanya hal – hal yang dapat menyatakan
akibat dari kekerasan fisik yaitu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari
adalah visum et repertum yang dibuat oleh dokter (biasanya visum et repertum hanya
mengenai hasil pemeriksaan terhadap keadaan pasien secara umum).

- Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menentukan akibat yang ditimbulkan


oleh pelaku kekerasan fisik tadi sebagai sesuatu sebab yang mengakibatkan hal – hal
seperti disebutkan diatas? Padahal biasanya saksi korban karena ia sebagai ibu
rumah tangga merasa dalam keadaan bagaimanapun harus tetap menjalan
kewajibannya sehari – hari seperti mengasuh anak, memasak, mencuci atau pekerjaan
yang lain.
- Bagi penyidik yang konservatif, sering mengatakan bahwa untuk bukti dipengadilan
maka status suami isteri harus dibuktikan dengan surat-surat pendukung misalnya
akta nikah. Padahal untuk daerah – daerah tertentu masih banyak ditemukan
pernikahan yang dilakukan hanya dihadapan Kyai atau pernikahan siri atau
pernikahan melalui gereja/belum dicatat di Catatan Sipil
- Dalam masalah penjatuhan pidana, UU PKDRT memberikan suatu asas bahwa dalam
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga selain bertujuan untuk menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga juga untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera (pasal 4 UU PKDRT). Yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana cara Hakim dalam mewujudkan keseimbangan antara menindak pelaku
tindak pidana dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera?.

20
2. KEKERASAN PSIKIS.

- Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa


percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).

- Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis seperti tersebut di atas dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.
9.000.000,- (sembilan juta rupiah) -------- psl. 45 (1).

- Dalam hal perbuatan kekerasan psikis tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.
3.000.000,- (tiga juta rupiah) -------- psl. 45 (2).

- Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan ------- psl. 52

21
 Masalah muncul karena ternyata dalam UU PKDRT tidak ditemukan pengertian yuridis dari
“ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat“ , padahal pengertian ini paling penting
untuk menentukan dan membuktikan jenis perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

 Dengan tidak adanya pengertian dan batasan yang lengkap, maka kesulitan akan muncul
dalam pembuktiannya

Kesulitan yang muncul adalah kesulitan dalam membuktikan ada tidaknya :


 ketakutan
 hilangnya rasa percaya diri
 hilangnya kemampuan untuk bertindak
 rasa tidak berdaya dan/penderitaan psikis berat

Kenapa membuktikan ada tidaknya hal tersebut diatas merupakan kesulitan ?

22
 Karena apabila pembuktian hanya didasarkan pada
keterangan saksi, hal tersebut sulit untuk dilakukan dengan
mengingat kondisi psikis korban seperti diatas.

 Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan Visum


Psikiatrium yang dibuat oleh Psikiater, namun hal ini juga
menjadi kendala tersendiri, karena mungkin hanya daerah-
daerah tertentu (kota besar) yang memiliki ahli (Psikiater)
Untuk membuat Visum psikiatrium tsb.

23
3. KEKERASAN SEKSUAL
Yang dimaksud kekerasan seksual adalah :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
(pasal 8).

 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan Pemaksaan hubungan seksual


yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp. 36.000.000,- (tiga pulu enam juta rupiah) -------- psl. 46.

 Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang


dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan
---psl.53.

 Setiap orang yang melakukan Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah


seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu dipidana/dihukum penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,-
(tiga ratus juta rupiah) ---- pasal 47 24
 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan
pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir
atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya
janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana/dihukum dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) ------- psl. 48.

 Di dalam kekerasan seksual tersebut juga terdapat suatu kendala


apabila seorang terdakwa diajukan kepersidangan dengan dakwaan
melanggar pasal 48, yaitu bagi korban yang mengalami gangguan
daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat)
minggu, dimana hal tersebut haruslah dibuktikan dengan Visum
Dokter ahli seperti psikiater ataupun ahli jiwa

25
4. PENELANTARAN RUMAH TANGGA.

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,


padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut
(psl. 9.)

Setiap orang yang :


- Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1).
- Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2)
Dipidana/dihukum dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) ----psl. 49.

26
KESIMPULAN
1. seharusnya tahapan atau proses sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal
54, yakni kata-kata “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan” dihilangkan saja, dan diganti dengan kalimat “Hukum Acara pidana
yang berlaku diterapkan pula dalam pelaksanaan Undang-undang ini, kecuali
ditentukan lain dalam Undang- undang ini ”.

2. seharusnya bunyi pasal 26 tidak hanya mengenai laporan saja, tetapi juga
mengenai pengaduan.

3. Pemahaman masyarakat mengenai keberadaan UU PKDRT ini masih begitu minim,


sehingga perlu diadakan sosialisasi/penyuluhan-penyuluhan terhadap UUPKDRT
ini lebih luas dan mendalam

4. Penerapan pasal 44 ayat (1) ini dalam praktek amat sulit, karena adanya
pembatasan yang ditentukan dalam ayat (4) yakni apabila kekerasan itu dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya dengan tambahan klausul “ yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari” biasanya saksi korban karena ia
sebagai ibu rumah tangga merasa dalam keadaan bagaimanapun harus tetap
menjalan kewajibannya sehari – hari seperti mengasuh anak, memasak, mencuci
atau pekerjaan yang lain

27
5. Untuk korban kekerasan psikis, hendaknya tiap-tiap daerah mempunyai dokter
ahli jiwa atau psikiater, sehingga dalam penerapan tentang ketentuan pidana
kekerasan secara psikis (pasal 45) dan kekerasan seksual yang mengakibatkan
korban mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan (pasal 48) dapat didukung
dengan Visum yang dikeluarkan oleh dokter ahli jiwa/psikiater yang menerangkan
tentang gangguan kejiwaan atau gangguan daya pikir dari korban

------------ TQ ------------

28
Harian Kompas :
• Dari data yang dihimpun oleh Harian Kompas, hari Kamis tanggal 11 Desember
2008 menyebutkan dari tahun 2004 s/d 2008 jumlah kekerasan thdp perempuan di
Jawa Tengah sebanyak 7.804 kasus
• dan dari kasus sebanyak 7.804 tersebut yang merupakan kekerasan dalam rumah
tangga sebanyak 1.167 kasus dengan korban meninggal sebanyak 26 orang

Suara Merdeka, hari Kamis tanggal 11 Desember 2008 :


• menurut Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia
(LRC-KJHAM) menyebutkan jumlah kekerasan terhadap perempuan di Jawa
Tengah selama kurun waktu bulan Nopember 2007 – Oktober 2008 sebanyak 1.017
kasus
• yang merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 104 kasus

29
Perkara Di PN. Wonosobo
Tahun 2007 ada 2 Kasus, yaitu :
1. a. Perk. No.118/Pid.B/2007 a/n Teguh Nugroho
b. Melanggar psl. 44 (4) UU 23/2004
c. Tuntutan ----- 3 bulan
d. Putusan ----- 3 bulan
2. a. Perk. No.152/Pid.B/2007 a/n Kristianto
b. Melanggar psl. 44 (1) 23/2004
c. Tuntutan ----- 2 tahun
d. Putusan ----- 1 tahun dan 4 bulan

Tahun 2008 ada 2 Kasus, yaitu :


1. a. Perk. No.35/Pid.B/2008 a/n Haryanto
b. Melanggar psl. 44 (1) UU 23/2004
c. Tuntutan ----- 1 Tahun
d. Putusan ----- 7 bulan
2. a. Perk. No.114/Pid.B/2008 a/n Latif Abdulrohman
b. Melanggar psl. 44 (4) 23/2004
c. Tuntutan ----- 4 bulan
d. Putusan ----- 4 bulan

30
• Seorang Filsuf yang bernama Aurelius Agustinus (354-430) yang lahir di Tagaste
(wilayah Aljazair) menulis sajak tentang wanita yang digubah oleh Dale S.
Hadley sebagai berikut :
Woman was created from the rib of man
Not from his head to be above him
Nor from his feet to be walked upon

But from his side to be equal


Near his arm to be protected
And close to his heart to be loved

Wanita diciptakan dari rusuk pria


Bukan dari kepalanya untuk menjadi atasan
Bukan pula dari kaki untuk dijadikan alas

Melainkan dari sisinya


Untuk menjadi mitra sederajat
Dekat pada lengannya untuk dilindungi
Dan dekat dihatinya untuk dicintai

31

You might also like