Professional Documents
Culture Documents
1
Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Bagi sebagian orang, masalah rumah tangga adalah masalah yang hanya patut
dibicarakan dalam lingkungan keluarga karena masih dianggap sebagai aib
bagi keluarga tersebut 2
Cara pandang yang demikian sedikit banyak dipengaruhi oleh kultur
masyarakat, dimana dalam kultur masyarakat (pada umumnya suku-suku
di Indonesia yang menganut azas kekeluargaan patrilineal), kaum
perempuan atau isteri dianggap sebagai konco wingking sehingga yang
perlu diurusi hanya meliputi dapur, kasur, dan sumur, lebih dari itu
merupakan ranah kewenangan pria atau suami, dengan demikian seolah –
olah perempuan atau isteri dianggap berada dalam subordinasi kaum pria
atau suami
Pandangan negara dlm membentuk UUPKDRT ini didasarkan pada :
Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
beserta perubahannya
- Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 :
"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi"
- Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 :
"Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan“
Titik Berat :
Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2004 ini, lebih menitik beratkan untuk melindungi
kaum perempuan atau isteri, karena merupakan pihak yang lebih sering dirugikan
akibat perlakuan dari kaum pria atau suami
3
Permasalahan :
4
Pembahasan :
A. Secara formil
B. Secara materiil
5
A. SECARA FORMIL :
Hal ini membawa konsekuensi bahwa UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan diberlakukan juga dalam undang-undang PKDRT ini
UU. No. 23 Tahun 2004 tidak mengatur secara detail apa dan bagaimana proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagaimana yang diatur oleh KUHAP
UU. No. 23 Tahun 2004 tidak dikenal istilah penyelidik maupun penyidik , tetapi dalam
undang-undang ini semua istilah diatas digeneralisir menjadi istilah Kepolisiandalam KUHAP
antara penyelidik dan penyidik masing – masing mempunyai makna dan tugas yang berbeda
Dalam UU. No.23 Tahun 2004 tidak mengatur lebih lanjut mengenai syarat sahnya penahanan,
penangkapan dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh tersangka atau terdakwa pada
waktu proses penyidikan dan penuntutan serta pada waktu proses pemeriksaan di
persidangan (bantuan hukum, praperadilan, permintaan ganti rugi dan
rehabilitasi)
6
• Jadi dapat dikatakan bahwa dalam UU. No. 23 Tahun 2004 hanya
secara umum menggolongkan tiap-tiap proses pemeriksaan dalam
tahapan-tahapan sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 tersebut,
yaitu tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, dan tahapan
pemeriksaan dipersidangan, tanpa merinci lebih detail tiap – tiap
tahapan itu
• seharusnya tahapan atau proses sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan pasal 54, yakni kata-kata “penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan” dihilangkan saja, dan diganti
dengan kalimat “Hukum Acara pidana yang berlaku diterapkan pula
dalam pelaksanaan Undang-undang ini, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini ”
7
b. MENGENAI PEMBERITAHUAN KEPADA KEPOLISIAN :
Pasal 26 Undang – undang No. 23 Tahun 2004 menyebutkan:
1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak Kepolisian baik ditempat korban berada
maupun di tempat kejadian perkara
3) Apabila membaca pasal 26 UU. No. 23 Tahun 2004 tersebut maka secara umum dapat
diartikan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga apapun bentuknya berhak
melaporkan tindak pidana tersebut kepada kepolisian
4) Sementara itu pasal lain dalam UU. No. 23 Tahun 2004 seperti pasal 51, pasal 52, dan
Pasal 53 memberikan makna lain dalam penyebutan tindak pidana yang terjadi, yaitu :
Pasal 51
“Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan”
Pasal 52
“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan
delik aduan”
Pasal 53
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan”
8
• Dari ketentuan pasal 51, pasal 52, dan pasal 53 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
Undang – undang ini telah memberikan batasan yang jelas mengenai tindak pidana apa
sajakah yang merupakan delik aduan
• Delik aduan adalah :
Peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan dari korban
Dengan adanya limitasi seperti yang telah disebutkan diatas, apabila dihubungkan
dengan ketentuan pasal 26, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Pihak yang menjadi korban, keluarga, atau orang lain berhak memberitahukan apa
yang dialami korban kepada pihak kepolisian, bentuk penyampaian kepada
kepolisian tersebut, secara formil dalam undang – undang ini disebut sebagai
laporan;
9
- Apabila mencermati kesimpulan diatas, maka seharusnya bunyi pasal 26 tidak hanya
mengenai laporan saja, tetapi juga mengenai pengaduan, karena dua hal ini mempunyai
pengertian dan konsekuensi yang berbeda.
10
c. MENGENAI PENANGKAPAN DAN PENAHANAN
• Pasal 35 menyebutkan :
- Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa
surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi
itu bertugas.
- Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali
dua
puluh empat) jam.
- Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
11
Pasal 35 ini dapat ditafsirkan sebagai berikut :
1. a. Pembentuk Undang-undang dalam pasal 35 ayat (1) telah secara luar biasa
memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk menangkap dan selanjutnya
melakukan penahanan terhadap pelaku yang telah melanggar perintah perlindungan
tanpa surat perintah meskipun Locus delicti diluar tempat polisi tersebut bertugas
2. Pasal 35 ayat (1) juga memuat kata diyakini, mungkin maksudnya adalah bahwa
kepolisian tanpa surat perintah dapat menangkap pelaku yang diyakini telah
melanggar perintah perlindungan. Ini juga merupakan hal baru yang luar biasa dalam
ranah hukum formil di negara kita, dimana hanya dengan keyakinan dari seseorang in
casu polisi dapat digunakan untuk menangkap seseorang
12
• pasal 36 menyatakan sebagai berikut:
- Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap
pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah
perlindungan.
- Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan
penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam.
• Dari bunyi pasal 36 ayat (1) diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pelaku
yang telah melanggar perintah perlindungan dapat ditangkap oleh polisi apabila
didahului dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Adanya bukti permulaan
yang cukup ini tentunya diperoleh dari hasil penyelidikan, dan didasarkan pada
alat bukti yang sah seperti disebutkan dalam pasal 184 KUHAP
13
• Formulasi pasal 36 ayat (1) ini, mirip dengan pasal 17 KUHAP, yang
mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup dalam melakukan
penangkapan terhadap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana.
• Pasal 36 ini lebih bersifat legalitas formal dari pada pasal 35 seperti disebutkan
diatas. Kita sepakat bahwa adanya UU No.23 tahun 2004 ditujukan guna
melindungi hak asasi korban.
14
B. SECARA MATERIIL :
• Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah :
“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga” (psl. 1 ayat 1)
Kekerasan tersebut dapat terjadi karena adanya relasi yang tidak seimbang
yang diakibatkan oleh pembakuan peran gender dan persepsi gender yang
keliru
16
Pasal 5 UU. No. 23 Tahun 2004 menyebutkan:
- Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara:
1. kekerasan fisik ;
2. kekerasan psikis ;
3. kekerasan seksual ; atau
4. penelantaran rumah tangga ;
1. KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat (pasal 6).
Penafsiran mengenai kekerasan fisik yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UU
PKDRT diantaranya dapat ditemukan dalam doktrin, yang menjelaskan sebagai
berikut:
Rasa sakit hanya cukup bahwa orang lain merasa sakit tanpa ada perubahan dalam
bentuk badan (Moch Anwar, 1989 : 103). Rasa sakit, misalnya mencubit, mendupak,
memukul, menempeleng (R. Soesilo, 1976:210)
Jatuh sakit artinya timbul gangguan atas fungsi dari alat-alat di dalam badan
manusia (Moch Anwar, 1989 :103).
17
• Luka berat adalah yang luka yang terkualifikasi dalam Pasal 90 KUHP yakni :
- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
- Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
- Kehilangan salah satu pancaindera;
- Mendapat cacat berat;
- Menderita sakit lumpuh;
- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih ;
- dan Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
• Kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit dipidana/dihukum dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) --------
psl. 44 (1).
• Kekerasan fisik yang mengakibatkan jatuh sakit, atau luka berat dipidana/dihukum dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) -------- psl. 44 (2)
• Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban dipidana/dihukum dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,- (empat puluh lima
juta rupiah) -------- psl. 44 (3).
18
• Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari, dipidana /dihukum dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
-------- psl. 44 (4).
Penerapan pasal 44 ayat (1) ini dalam praktek amat sulit, karena adanya
Pembatasan yang ditentukan dalam ayat (4) yakni apabila kekerasan itu
dilakukanoleh suami terhadap isteri atau sebaliknya dengan tambahan
klausul “ yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari”
19
Penerapan yang sulit dalam praktek dikarenakan hal – hal berikut:
- Dasar yang digunakan dalam menentukan adanya hal – hal yang dapat menyatakan
akibat dari kekerasan fisik yaitu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari
adalah visum et repertum yang dibuat oleh dokter (biasanya visum et repertum hanya
mengenai hasil pemeriksaan terhadap keadaan pasien secara umum).
20
2. KEKERASAN PSIKIS.
- Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis seperti tersebut di atas dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.
9.000.000,- (sembilan juta rupiah) -------- psl. 45 (1).
- Dalam hal perbuatan kekerasan psikis tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.
3.000.000,- (tiga juta rupiah) -------- psl. 45 (2).
- Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan ------- psl. 52
21
Masalah muncul karena ternyata dalam UU PKDRT tidak ditemukan pengertian yuridis dari
“ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat“ , padahal pengertian ini paling penting
untuk menentukan dan membuktikan jenis perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Dengan tidak adanya pengertian dan batasan yang lengkap, maka kesulitan akan muncul
dalam pembuktiannya
22
Karena apabila pembuktian hanya didasarkan pada
keterangan saksi, hal tersebut sulit untuk dilakukan dengan
mengingat kondisi psikis korban seperti diatas.
23
3. KEKERASAN SEKSUAL
Yang dimaksud kekerasan seksual adalah :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
(pasal 8).
25
4. PENELANTARAN RUMAH TANGGA.
26
KESIMPULAN
1. seharusnya tahapan atau proses sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal
54, yakni kata-kata “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan” dihilangkan saja, dan diganti dengan kalimat “Hukum Acara pidana
yang berlaku diterapkan pula dalam pelaksanaan Undang-undang ini, kecuali
ditentukan lain dalam Undang- undang ini ”.
2. seharusnya bunyi pasal 26 tidak hanya mengenai laporan saja, tetapi juga
mengenai pengaduan.
4. Penerapan pasal 44 ayat (1) ini dalam praktek amat sulit, karena adanya
pembatasan yang ditentukan dalam ayat (4) yakni apabila kekerasan itu dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya dengan tambahan klausul “ yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari” biasanya saksi korban karena ia
sebagai ibu rumah tangga merasa dalam keadaan bagaimanapun harus tetap
menjalan kewajibannya sehari – hari seperti mengasuh anak, memasak, mencuci
atau pekerjaan yang lain
27
5. Untuk korban kekerasan psikis, hendaknya tiap-tiap daerah mempunyai dokter
ahli jiwa atau psikiater, sehingga dalam penerapan tentang ketentuan pidana
kekerasan secara psikis (pasal 45) dan kekerasan seksual yang mengakibatkan
korban mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan (pasal 48) dapat didukung
dengan Visum yang dikeluarkan oleh dokter ahli jiwa/psikiater yang menerangkan
tentang gangguan kejiwaan atau gangguan daya pikir dari korban
------------ TQ ------------
28
Harian Kompas :
• Dari data yang dihimpun oleh Harian Kompas, hari Kamis tanggal 11 Desember
2008 menyebutkan dari tahun 2004 s/d 2008 jumlah kekerasan thdp perempuan di
Jawa Tengah sebanyak 7.804 kasus
• dan dari kasus sebanyak 7.804 tersebut yang merupakan kekerasan dalam rumah
tangga sebanyak 1.167 kasus dengan korban meninggal sebanyak 26 orang
29
Perkara Di PN. Wonosobo
Tahun 2007 ada 2 Kasus, yaitu :
1. a. Perk. No.118/Pid.B/2007 a/n Teguh Nugroho
b. Melanggar psl. 44 (4) UU 23/2004
c. Tuntutan ----- 3 bulan
d. Putusan ----- 3 bulan
2. a. Perk. No.152/Pid.B/2007 a/n Kristianto
b. Melanggar psl. 44 (1) 23/2004
c. Tuntutan ----- 2 tahun
d. Putusan ----- 1 tahun dan 4 bulan
30
• Seorang Filsuf yang bernama Aurelius Agustinus (354-430) yang lahir di Tagaste
(wilayah Aljazair) menulis sajak tentang wanita yang digubah oleh Dale S.
Hadley sebagai berikut :
Woman was created from the rib of man
Not from his head to be above him
Nor from his feet to be walked upon
31