You are on page 1of 2

Partisipatorik dan keberlanjutannya.

A. Farid Nazaruddin ST./nim. 0920605002 PPSUB MALANG

Prinsip kerja partisipatorik sebenarnya cukup sederhana. Ia berprinsip bahwa


lingkungan akan lebih berhasil jika penduduk aktif dan terlibat dalam proses kreasi
dan manajemennya, dibandingkan jika hanya diperlakukan sebagai konsumen pasif.
Ia cukup dengan disetujui, dilakukan dan dirawat oleh berbagai pihak yang
bersangkutan. Tetapi, dalam ranah arsitektural dan lingkungan, proses ini sepertinya
adalah proses yang sangat rumit dilakukan. Konflik kepentingan antar pihak yang
terlibat seringkali menindas kepentingan pihak yang lain. Penindasan ini terjadi
apabila tidak terdapat rasa saling memberi dan tidak bertujuan menerima.
Bagaimana sebenarnya melakukan suatu partisipatorik itu?

Saya pernah dimintai bantuan untuk menjadi konsultan dalam perancangan renovasi
dan pengembangan Masjid Jami’ Bululawang, Malang. Saat itu saya dan teman-
teman memutuskan bahwa perancangan itu harus melibatkan semua pihak tidak
hanya arsitek saja. Semua pihak mempunyai hak dalam keputusan rancangan,
arsitek hanya fasilitator saja (sebuah usaha partisipatorik kami). Oleh karena itu,
berbagai diskusi dilakukan dengan mengajak semua pihak (takmir, panitia
pembangunan, pengguna bangunan, dan arsitek) dan kami melihat ternyata tidak
diperlukan sebuah proyek baru, yang diperlukan adalah perawatan bangunan lama.
Pada saat-saat jamaah berjumlah maksimal, pun ternyata dapat diwadahi oleh
masjid yang ada bahkan ternyata barisan tidak rapat. Selain itu, kualitas bangunan
lama sangat membutuhkan perawatan rutin, yang ternyata sangat jarang dilakukan
sehingga banyak kerusakan dan kebocoran di sana sini. Dengan pertimbangan
kebutuhan inilah kami memberi pandangan dan saran untuk tidak menambah
bangunan, cukup merawat apa yang ada.

Lain halnya dengan apa yang kami ajukan sesuai pertimbangan bahwa berlebih-
lebihan itu tidak diperkenankan, para takmir dan panitia pembangunan berpikir
bahwa bangunan baru harus ada, meski dengan alasan yang kurang jelas pula,
karena sebenarnya jamaah sudah diwadahi, meskipun pada sholat jum’at. Terdapat
berbagai diskusi dan perdebatan terjadi. Pada suatu diskusi, telah diputuskan bahwa
pembangunan bangunan yang baru ditangguhkan terlebih dahulu untuk lebih
mementingkan perawatan bangunan yang ada. Pada saati itu, kami semua lega.

Tetapi selang satu bulan, tiba-tiba perwakilan takmir datang dan meminta kami
menggambarkan sebuah bangunan tambahan. Sedangkan kami tahu perawatan
bangunan lama belum dilakukan. Keputusan itu tidak dapat diganggu gugat dan
dengan embel-embel “sudah diputuskan”. Kami seakan menjadi “korban” akan tidak
diajaknya kami dalam diskusi lanjutan dan diputuskan secara “sepihak” penggunaan
bangunan baru oleh takmirnya.

Dalam pengalaman ini, dapat saya ambil kesimpulan bahwa dalam partisipatorik,
semua pihak memang harus bertujuan sama. Apabila satu pihak mempunyai tujuan
yang berbeda, maka kepentingannya akan menindih kepentingan pihak yang lain.
Semua pihak ini pun harus menyadari posisi masing-masing, yaitu sejajar. Apabila
klien (dalam hal ini takmir) menganggap arsitek adalah bawahan, maka tidak perlu
diajak dalam diskusi, arsitek cukup menggambarnya saja. Ataupun apabila arsitek
menganggap dia sebagai yang paling pintar, maka bangunan tidak akan user
friendly. Dan berbagai hal lainnya. Semua harus berposisi sejajar. Semua pihak, pun
harus ikhlas dalam kesejajaran itu, tidak ada ada rasa ingin diatas, tidak pula sinis
apabila pihak yang lain dalam posisi sejajar dengan mereka. Misal, pihak takmir
harus ikhlas bahwa pihak arsitek (yang mereka bayar) dalam hal memberi saran,
berposisi sama dengan mereka.
Partisipatorik dapat terjadi dengan baik dan benar, jika semua pihak mempunyai
nilai-nilai yang sama. Yaitu nilai keikhlasan. Nilai saling memberi. Misal, apabila satu
pihak dalam partisipatorik itu memberi keputusan yang merusak, pihak lain harus
memberi pengertian kepadanya. Apabila dirasa benar, pihak lain pun harus ikhlas
menerima keputusan itu (logowo) tidak ada tendensi kesombongan dan harga diri.
Apabila klien memutuskan untuk membangun rumahnya tanpa suatu kepedulian
lingkungan, maka arsitek harus memberi pengertian. Semua pihak harus ikhlas untuk
saran yang diterima, ikhlas untuk merubah keputusan dan ikhlas untuk
melaksanakan keputusan bersama. Partisipatorik akan gagal bila satu pihak merasa
lebih mempunyai kekuatan dalam satu keputusan. Partisipatorik akan gagal bila nilai-
nilai yang dianut berbeda. “saya ini mbayar anda, ini pun rumah saya, sudahlah ikuti
saja keinginan saya”. Disinilah konflik terjadi. Arsitek pun hanya pasrah dan mungkin
bersiasat untuk memasukkan pendapatnya dalam rancangan.

Partisipatorik dalam prosesnya pun tidak stagnan. Pada suatu partisipatorik, terjadi
fluktuatif keputusan dan proporsi pengambil keputusan. Pada satu posisi, arsitek
mempuyai keputusan tertinggi, kadang pula klien, kadang pula yang lain.

Sehingga, sejauh mana partisipatorik itu dapat dikatakan partisipatorik? Apakah


cukup dengan diskusi ataukah sampai pada ranah rancangan yang dihasilkan secara
bersama-sama, ataukah sampai pada bangunan yang dibangun secara bersama
sama.

Bagaimanapun, partisipatorik adalah sebuah usaha. Memang terjadi fluktuatif


pengambil keputusan dan hak dalam suatu proses partisipatorik, tetapi disinilah
kuncinya. Bahwa dalam fluktuatif itu rawan terjadi konflik kepentingan, oleh karena
itu semua pihak harus ikhlas memberi. Ikhlas menjaga fluktuatif keputusan itu
supaya tetap sama. Ikhlas membagi kekuatan keputusan pada semua pihak. Ikhlas
menerima kekuatan keputusan dari pihak lain. Ikhlas mensejajarkan posisi. Dengan
demikian fluktuatif minim terjadi dan proses partisipatorik tetap terjaga.

Bagaimanapun pula, partisipatorik adalah sebuah proses, dengan artian, ia tidak


akan pernah berhenti. Mulai dari awal prosesnya sampai pasca huninya. Mulai dari
tokoh pelakunya sampai bentuk hasilnya, semua seharusnya terus berubah sejalan
dengan perkembangan jaman dan situasi. Sebagai contoh, dalam membangun suatu
lingkungan yang partisipatif, pihak-pihak yang terlibat adalah stake holder,
masyarakat, dan perencana. Apabila diawal telah terjadi proses partisipatif dalam
membangun lingkungannya, maka untuk menjaga konsistensi lingkungan, diperlukan
penjagaan. Hal ini khususnya dilakukan apabila para pelaku berubah, misal stake
holder berganti nama. Penjagaan juga dilakukan secara partisipatif. Dengan kata
lain, silaturahmi harus terus terjaga. Diksusi harus tetap dilakukan. Konsistensi harus
tetap ditularkan. Sehingga keberlanjutan dapat terjadi.

Dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mencapai hasil yang baik, maka sebelum
partisipatorik dilakukan para pelaku harus memahami tujuan dan nilai-nilai yang
harus dianut dan di jaga. Tujuan para pihak harus baik dan disetujui bersama. Akan
lebih baik jika tujuannya adalah mencari kebaikan dunia dan akhrat pula. Setelah itu,
nilai-nilai yang dianut adalah nilai-nilai keikhlasan dan nilai-nilai saling memberi tidak
meminta. Apabila kedua hal itu tercapai dan diresapi oleh semua pihak, maka proses
partisipatorik akan terjadi dengan baik dan menghasilkan karya yang baik pula.
Untuk menjaga hasil dan proses partisipatorik, maka diperlukan konsistensi dan
silaturahmi dari semua pihak untuk tujuan bersama yang disepakati. Partisipatorik
tidak lain hanya merupakan usaha perbaikan diri dan lingkungan yang dilakukan
secara bersama-sama.

You might also like