You are on page 1of 22

9

BAB DUA
TINJAUAN UMUM AL-‘ADALAH DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian ‘Adalah dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian ‘adalah

Secara etimologis, al-‘adl berarti, tidak berat sebelah, tidak memihak, atau

menyamakan yang satu dengan yang lain (al-masawah)”. Istilah lain dari al-‘adl

adalah al-qist, al-mist (sama bagian atau semisal). 1

Secara terminologi, adil berarti “mempersamakan sesuatu dengan yang

lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi

tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain”. Adil juga berarti “berpihak

atau berpegang pada kebenaran”. 2 Adil menurut syara’ adalah menegakkan

hukum Allah SWT dengan sepenuhnya dan tidak berbuat sebaliknya merusak

hukum Allah dan berbuat dhalim.3

Dalam pandangan Ibn Hazm bahwa adil seseorang dapat ditinjau dari

bergelut atau bersihnya seseorang dari dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Dalam hal ini Imam Ibn Hazm menjelaskan definisi adil bahwa.

Artinya: Adil adalah orang yang tidak ditemukan pada dirinya dosa besar dan

tidak terang-terangan melakukan dosa kecil.

1
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet I, Jakarta: Ikthiar Baru, Van Hoeve.
1996, hlm, 25
2
Ibid
3
Shodiqse, Drs. Salahuddin Chairy, BA, Kamus Istilah Agama, Cet. I, Jakarta: CV.
Siettarama, 1983. hlm. hlm 257
4
Ibn Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, Juz X, Lebanon: Dar Kutub al-Islamiyah, tt, hlm, 393
10

Penjelasan di atas dapat diketahui tentang batasan sifat adilnya seseorang

dalam pandangan Imam Ibn Hazm. Seseorang yang dikatakan adil adalah orang

yang terhindar dari dosa besar dan berusaha mengindarinya serta tidak

terang-terangan melakukan perbuatan yang mengandung dosa kecil.

Dalam hal ini Wahbah Zuhaili menjelaskan definisi bahwa:

5
.
Artinya: Sifat adil itu menepati apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi

apa-apa yang dilarang oleh syara’

Sayyed Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah menjelaskan bahwa:

Artinya: Sesungguhnya ia (keadilan) dikaitkan dengan kemaslahatan dalam agama

dan bersifat muru’ah.

Menurut ibn Taimiyah, keadilan merupakan tujuan untuk mencapai hidup,

baik dunia maupun akhirat, dan meningkatkan martabat kemanusiaan dalam hidup

sehari-hari.7 Al-Qurtubi sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Umar

menjelaskan definisi adil adalah konsekwensi menjalankan agama dan

kesempurnaannya, hal ini dengan menjauhi dosa besar, memelihara harga diri

meninggalkan dosa kecil, dan dapat dipercaya dan tidak pelupa.8

5
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuh, Juz VI, Bairut: Daar al-Fikr, 1989 hlm.
562
6
Sayed Sabiq, Fiqh as- Sunnah, Jilid III, Cet. Ke –6, Bairut: Daar al Fikr, tt., hlm. 332
7
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah Li al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1988, hlm. 121
8
Abdurachman Umar, Kedudukan Saksi dan Peradilan Menurut Hukum Islam, Jakarta:
Sinar Grafindo, 1992, hlm. 22
11

Menurut Imam Manshur al-Bahwati, seorang ulama fiqh mazhab Hambali

mengatakan bahwa adil itu adalah konsisten dalam beragama serta konskwen

dalam perkataan dan perbuatan.9 Mawardi menambahkan adil adalah benar dalam

ucapan, dapat dipercaya, menjaga diri dari yang diharamkan, terpelihara dari

perbuatan dosa, jauh dari keragu-raguan, jujur dalam keadaan senang maupun

susah dan mengamalkan serta menjaga kehormatan agama dan dunianya. 10

Menurut pendapat Ibnu Katsir, kata ‘adalah menjadikan hak hidup bagi

setiap manusia dalam menegakkan keadilan yang wajib dimiliki oleh setiap

individu tanpa memandang status dan derajatnya.11

Murtadhoh Muthahari, membedakan pengertian adil dan keadilan atas

empat corak:

1. keadilan, baik dalam pengertian kuantitatif (mauzunah) maupun kualitatif

(basirah).

2. keadilan dalam pengertian persamaan, tidak diskriminatif dalam bentuk

apapun, maka keadilan seperti ini menuntut persamaan secara mutlak

tanpa memandang perbedaan bobot dan kapasitas setiap orang. Keadilan

bentuk kedua ini hampir sama dengan keadilan kolektif versi aristoteles.

3. keadilan pada hakekatnya memelihara hak-hak orang lain dalam

memberikan sesuatu yang menjadi haknya. keadilan Tuhan (al-adl Ilahi).

9
Bahwati, Ar-Raudhul Murbi, Riyad: Maktabah Ar-Riyadhil Haditsah, hlm. 421
10
Mawardi, Al-Ahkamul Sulthaniyah, Mesir: Musthafa Al-Babil Halabi, 2973 M/1393 H.
hlm. 66
11
Imam Abu-Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Damasqy, Tafsirl Qur’an al-Adhim (Terj : Bahrul
Bari) Juz. 14, cet. II, Jakarta: Argensindo, 2003, hlm. 237-238
12

Yaitu keadilan yang sejati, dan bahwa keadilan termasuk sifat yang harus

dimiliki oleh Zat yang Maha Agung.12

Jumhur ulama mengatakan bahwa adil hanya sebagai sifat tambahan dari

seseorang yang beragama Islam. Maksudnya, dengan keislaman itu seseorang

sudah dapat dikategorikan orang yang adil, karena telah diperintahkan oleh Allah

SWT untuk menjalankan segala kewajiban syara’dan amal-amal kebaikan serta

menjauhi segala yang diharamkan dan menjaga diri dari segala yang makruh.

Dalam pengertian konseptual, Ibnu Manzur, seorang leksikograf,

menyatakan bahwa “sesuatu yang terbina dengan mantap dalam pikiran seperti

berterus terang”, itu identik dengan makna keadilan. Sesuatu yang tidak jujur atau

tidak sempurna dianggap sebagai jawr atau ketidakjujuran, makna harfiah kedua

dari kata kerja “meluruskan” dan “berangkat” dinyatakan dalam pengertian

konseptual terus terang dan tegak lurus. Gagasan ‘adlh sebagai “ kebenaran”

adalah sepadan dengan gagasan tentang kejujuran dan kepantasan/kelayakan, yang

mungkin lebih tepat digunakan dalam istillah istiqamah atau terus-terang. 13

Para fuqaha berbeda pendapat tentang adil, sebab keadilan sulit

dibuktikan tanpa adanya kekuasaan (al-waliyah). Oleh karena itu pilihan untuk

“kecocokan”dan “kesesuaian”(al-kafaah), tanpa keadilan sulit diterima. 14

12
Murthado Muthahhari, al-‘Adl al-Ilahi, Keadilan Ilahi Azas Pandangan Dunia Islam,
(Terj. Agus Efendi), Bandung: Mizan, 1992, hlm. 43-47.
13
al-Jarjani, Kitab at-Ta’rifat. ed.G.L. Fluger (Leipzig, 1845), hlm. 153.
14
Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayal al-Muqtashid, (Terj. Dsr.
Imam Ghazali said, MA, dkk), Jilid II, Jakarta: Pustaka Amani, t.t., hlm..
13

Ash-Shan’ani mendefinisikan adil dengan orang yang amal baiknya dapat

mendesak amal buruknya dan ia tidak pernah berdusta.15 Tanda keadilan menurut

jumhur fuqaha’adanya dua hal:

1. Melaksanakan berbagai hal yang wajib, yakni shalat lima waktu dan shalat

jum’at dengan segala shalat sunat rawatibnya, maka tidak bisa diterima

kesaksian orang yang selalu meninggalkan shalat sunnat rawatib dan witir.

2. Memiliki kepewiraan, yakni semua amal perbuatan yang menghiasi

dirinya dan menjadikan lebih sempurna, seperti kedermawanan, berakhlak

mulia, dan menjauhi apa yang mengotori dirinya dan bertindak kasar

berupa perkara-perkara yang hina seperti penyanyi dan pelawak yaitu

orang yang selalu mengundang tawa banyak orang karena perkataan atau

tingkah lakunya.16

Kedua hal tersebut merupakan tanda-tanda keadilan seseorang, karena

orang yang selalu menjaga shalat wajib dan shalat sunat rawatib, serta

membiasakan dirinya melakukan amal kebaikan, kecil kemungkinan ia berdusta.

tanda-tanda tersebut menjadikan citra dirinya sangat baik dalam pandangan orang

lain. Sebaliknya apabila seseorang tidak ada pada dirinya kedua ciri-ciri tersebut,

maka integritas dirinya masih diragukan.

Al-Qur’an menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat

adalah keadilan. Yang menjadi tuntutan keadilan adalah keimbangan dan

kesebandingan, bukan kesamaan, karena hal-hal tertentu, kesamaan bertentangan

15
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail al-Amir, Subuhussalam, Jilid. II, Kairo: Daar
Hadis, 2000 hlm. 220
16
Shalih bin Fauzan, Ringkas Fiqh Lengkap, (Terj.Asmuni), Jakarta: PT. Darul Falah,
2005, hlm. 1180-1181
14

dengan prinsip keadilan. Oleh karena itu, keadilan yang diperintahkan Allah

bukanlah kesamaan hak, tetapi kesebandingan dan keseimbangan.

Firman Allah SWT dalam Al-Qu’an surat Al-Maidah : 8

,
( : ).

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak


keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi yang adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah. Karena (adil) lebih dekat
dengan taqwa. Dan bertawakallah kepada Allah, sungguh, Allah Maha
teliti apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Maidah : 8)

Ayat di atas menganjurkan agar kita berlaku adil. Al-‘adalah menurut

bahasa berarti al-musawah (persamaan), sedangkan menurut istilah berarti tidak

berpihak, keadilan atau al’adalah harus ditegakkan dalam kehidupan

bermasyarakat. Menurut ulama mufasirin Quraish Shihab dalam kitabnya Tafsir

al-Misbah, hendaklah kamu menjadi qawwanin, yakni orang-orang yang selalu

bersungguh-sungguh dalam pelaksanaan yang sempurna terhadap tugas kamu,

serta menjadi saksi yang adil terhadap keluarga, istrimu dan kepada siapa pun

walau pun atas diri sendiri.17

Al-‘adalah (keadilan) adalah salah satu syarat ketaqwaan yang merupakan

inti dari sebuah iman (berlakulah adil karena ia paling dekat dengan taqwa).

Secara kebahasaan al-‘adalah dapat diartikan sebagai keseimbangan. Secara

keagamaan dapat diartikan sebagai meletakkan sesuatu pada tempatnya.

17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. III, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 41
15

Keadilan memiliki kedudukan yang peka dalam kehidupan manusia,

karena keadilan adalah sumber dari semua sifat manusia. Dengan kata lain,

keadilan adalah alasan dibalik prilaku luhur, juga merupakan sebuah elemen yang

menetapkan keharmonisan dan kesenangan dalam bermasyarakat. Bahkan

keadilan sebuah langkah penting menuju masyarakat yang bersatu di jalan

kebenaran. Cukup aman dikatakan bahwa keadilan adalah elemen dasar dalam

kehidupan sosial yang terorganiasi.

Al-Qur’an menangkap kata-kata yang mengandung makna keadilan,

antara lain dengan kata al-’adl, al-qist, al-mizan, dan mempertentangkan

pengertiannya dengan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu

menjadi antonim kezaliman. 18

Adil yang berarti ”sama” memberi kesan adanya dua pihak atau lebih.

Karena jika hanya satu pihak tidak akan terjadi ”persamaan”. Sedangkan

pengertian al-qist adalah “ bagian yang wajar” patut (tidak harus sama dengan

jumlah). Oleh karenanya, al-qist lebih umum dari pada al-’adl. Karena itu, Ketika

Al-Qur’an menuntut seorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri.

digunakan kata al-qist, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Nisa’ayat

135

...
( : )
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qist
(keadilan), menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap diri sendiri
(Q.S. an-Nisa’. 135)

18
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudbhu’i Atas Berbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996, hlm.111
16

Adapun mizan yang berasal dari kata wazn, berarti “timbangan”. Oleh

karena itu, ia adalah alat untuk menimbang dalam rangka mencapai keadilan. 19

Dalam konteks dan makna ini, kata adil sinonim dengan al-wast dan al-qist.

Ar-Ragrib al-Isfahani, memberi definisi adil dengan mu’adalah atau musawah

yang berarti persamaan (equitable).20 Dengan demikian, kata adil mengandung

pengertian pantas, wajar dan jujur yang merupakan lawan dari sikap curang, berat

sebelah dan aniaya (zalim).21

Terminologi adil dipakai pula untuk beberapa tema ibadah dan

mu’amalah. Adil dalam aspek mu’amalah meliputi berbagai tindakan seperti

mencukupkan timbangan atau takaran, tidak mengurangi atau merugikan hak

orang lain, menegakkan hukum Allah, dan menafkahkan sebagian harta atau

rezeki di jalan Allah. Dalam beberapa kamus dan ensiklopedi, terminologi adil

atau keadilan lebih popular dipakai dalam konteks penegakan hukum (justice

law). Kemudian dipopulerkan dalam bahasa Inggris menjadi justice yang

mengandung pengertian law (hukum) yang harus dicapai atau yang menjadi

tujuan hukum atau keadilan itu adalah melahirkan rasa persamaan (equality).22

Keadilan lebih dititikberatkan pada pengertian “meletakkan sesuatu pada

tempatnya (wad ‘asy syai’ fi maqamih). Ibnu Qadamah (ahli fikih Mazhab

Hanbali) mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi,

19
Ibid.
20
Al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradat al-Qur’anul Karim, Dar-al-Katib al-Arabi, disuting
oleh Nadim Mar’ashli, Dar al-fikr, Bairut: t.t., hlm. 336-337. lihat pula al-Jurjani, kitab al-Ta’rifat,
al-Haramain, Singapore, t.t., hlm. 147.
21
Ibnu Manzur, lisan al-‘Arab, Juz. XI, hlm. 430,4,5,6,7 / Q.S : 9 / al-Taubah : 112 : al-
anfal : 8 ; al-Baqarah : 110. lihat Pula Elias Anton Elias, Qamus Elias Al-Ashri, Dar al-Jel, Bairut,
t.t., hlm. 428.
22
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Cet. II, Yogyakarta: Penerbit. Super Sukses,
Sumbangan untuk Pemahaman Pancasila, 1982, hlm.14-15.
17

motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilan telah

dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil

lain yang menentangnya. 23

Mengenai konsep atau pengertian dari keadilan (adil), banyak sekali

literatur atau pendapat yang akan menjelaskan dari berbagai sudut pandang.

Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga

tidak selalu berasal dari kata-kata sinonim seperti al-qist. Ada beberapa pengertian

yang berkaitan dengan keadilan yaitu dari akar kata ‘adlh itu, “yaitu sesuatu yang

benar, sikap yang tidak memihak, penjaga hak seseorang dan cara yang tepat

mengambil keputusan (hendaklah kalian mengambil keputusan hukum atas dasar

keadilan). Secara keseluruhan pengertian di atas berkaitan langsung dengan sisi

keadilan yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan.24

2. Dasar hukum al-‘adalah

Kata adil (al-’adl) banyak dijumpai dalam al-Qur’an, sebayak 28 tempat

yang secara etimologi bermakna pertengahan. 25 Karena itu berlaku untuk aktivitas

hidup menusia sebagai mahluk sosial. Hukum yang adil adalah sebuah pesyaratan

dasar bagi kerangkan sosial manapun. Hukum yang adil menjamin hak-hak semua

golongan dan individu sesuai dengan kesejateraan publik. Dibarengi oleh

implementasi prilaku dari berbagai kitab UU.


23
Aristoteles membahas keadilan dengan cara yang berbeda. Menurutnya keadilan
merupakan nilai moral yang paling sempurna (al-fadhilah al-tammah). Oleh karena itu dalam
pandangannya segala bentuk keutamaanya diperoleh dalam kerangka keadilan dan bukan semata-
mata bersifat individual, tetapi mempunyai implikasi pada yang lain. Plato (427-
347)mendefinisikan keadilan sebuah bentjuk keutamaan yang paling tinggi (asma al-fadilah).
24
Ibid., hlm. 137
25
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim,
Jakarta : Angkasa, 1982, hlm. 448-449
18

Keadilan dalam hal ini tidak membedakan status sosial seseorang, apakah

ia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, tidak pula karena perbedaan warna

kulit serta perbedaan bangsa dan agama, karena di hadapan hukum semuanya

sama. Di dalam al-Qur’an Allah SWT banyak mengambarkan masalah keadilan.

( : ) .

Artinya: Dan kalau Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendakiNya, dan
memberi petunjuk siapa yang dikehendakiNya, dan sesungguhnya
kamu akan ditanya tentang apa yang kamu kerjakan (Q.S. an-Nahl. 93)

( : ).
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya. Dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan cara
yang adil. (Q.S. An-Nisa. 58)

Keadilan memiliki kedudukan yang peka dalam kehidupan manusia,

karena keadilan merupakan sumber dari semua sifat yang mulia. Dengan kata lain,

keadilan adalah sebuah elemen yang menciptakan keharmonisan, bahkan keadilan

sebuah langkah penting menuju masyarakat yang bersatu di jalan kebenaran

dalam pengertian persamaan. Sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an Surat

An-Nahl : 90

( : ) ...

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dalam membuat


kebajikan, dan memberi bantuan kepada kerabat dan Allah melarang
dari pada perbuatan keji dan kemungkaran… (Q.S. An-Nahl. 90).
19

Islam adalah agama kesatuan penyelarasan antara aqidah, syariat,

akhlak, mu’amalah, material dan spiritual, nilai-nilai ekonomi dan moral duniawi

dan ukhrawi. Dari skala dan ruang lingkup yang luas ini, Islam menetapkan

beberapa ketentuan tentang arah dan batas yang wajar dan adil. Seluruh aspek

kegiatan dan nilai di atas menuntut adanya keseimbangan dan keadilan baik secara

hissiyyah maupun ma’nawiyyah.26

Nabi Muhammad SAW menegaskan adanya persamaan mutlak

(egatarisme absolut, al-musawah al-muthalaqah) di hadapan hukum. Di antara

hadits yang menjadikan tentang dasar hukum keadilan adalah:

:
27
( ).

Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, Kamu sekalian berasal dari Adam,
dan Adam berasal dari debu (tanah). Tidak ada kelebihan dari orang
arab atas non arab, kecuali karena ketaqwaanya (HR.Ahmad)

Keadilan dalam hal ini tidak membedakan status sosial, kaya atau

miskin, pejabat atau rakyat jelata, tidak pula kerena perbedaan warna kulit serta

perbedaan bangsa dan agama, karena di hadapan hukum semuanya sama.

B. Bentuk-Bentuk ‘Adalah

Secara umum keadilan dapat dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu :

a. Keadilan intelektual (al-‘adalah al-fikri)

26
Sayyid Quthub, Al-`Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Katib al-Araby,
t.t., hlm.29-30.
27
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz. V, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 411
20

Keadilan intelektual (al-‘adalah al-fikri) adalah meletakkan keyakinan pada

tempat yang benar-benar meyakini sesuatu secara sempurna. Seseorang yang

berani menyatakan sesuatu sebagai benar, karena secara objektif memang benar

atau salah secara pertimbangan subjektif dan tendensial.

b. Keadilan aktual (al-‘adalah al-amaliah)

Keadilan aktual (al-‘adl al-‘amali) adalah meletakkan suatu perbuatan pada

tempat yang layak. Apabila kita melakukan perbuatan baik atau yang layak

dilakukan (fisikal maupun non fisikal), maka berarti kita telah berlaku adil secara

faktual dan praktis, perbuatan kita termasuk keadilan praktis. Keadilan aktual

dapat dibagi dua, berdasarkan sasarannya:

1. Keadilan subjektif.

Yaitu perbuatan sempurna terhadap diri sendiri. Seseorang yang melaksanakan

tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang berlaku adil terhadap

dirinya sendiri. Ia disebut adil, karena memperlakukan dirinya secara

proporsional dan baik. Semua perbuatan baik, berdimensi legal dan

berdimensi moral adalah keadilan terhadap diri (pelaku sendiri). Seseorang

yang berlaku dan bersikap adil terhadap diri akan berpeluang untuk berlaku

adil terhadap selain dirinya.

2. Keadilan objektif.

Yaitu perbuatan sempurna terhadap selain diri sendiri. Segala sesuatu di luar

subjek atau diri kita masing-masing adalah alam yang dapat dibagi

berdasarkan entitas-entitas (maujud-maujud) yang ada di dalamnya. Konsep

keadilan dalam bentuk objektif inilah konsep keadilan yang shahih, yang
21

secara tegas didefinisikan olah Khalifah Ali karramallahu wajhah.

“meletakkan sesuatu pada tempatnya dan porsinya”.28

Konsep keadilan yang merujuk kepada Al-Qur’an adalah keadilan objektif

dalam berbagai dimensi dan konteksnya. Sebagai azas yang paling fundamental

yang membentuk keseluruhan ajarannya menjadi sistem kehidupan, baik dalam

hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan alam, yang secara

global dapat dikatakan dengan keharmonisan dalam berbagai aspek kehidupan.

C. al-‘Adalah dalam Pembahasan Fiqh

‘Adalah merupakan kebalikan dari pada fasiq, yakni syarat yang harus

dipenuhi oleh seorang wali yang diberi kekuasaan dari ayah kandung untuk

menggantikan dirinya menjadi wali perempuan yang akan dinikahkan, maka ayah

kandung yang diberikan kekuasaan tidak harus hadir dalam aqad nikah. Yang

harus hadir adalah orang yang memenuhi syarat di atas, yang penting adalah orang

tersebut telah diberikan kekuasaan resmi untuk menjadikan seorang wali dalam

aqad nikah. Tanpa kekuasaan dari orang tua kandung, maka ia tidak berhak untuk

menjadi wali, sehingga yang berhak menjadi wali adalah serah terima wewenang

dari ayah kandung.

Sifat adil juga disyaratkan bagi seorang saksi. Oleh karena itu, adil

merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang saksi dalam

persaksian demi untuk tercapainya kebenaran dari suatu peristiwa dan

28
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: the Shape of Ideas to Come, (Masa Depan Islam), terj.
Rahman Astuti, Pustaka, Cet I, Bandung: 1987, hlm.358-359
22

menjauhkan dari kebohongan. Sebagaimana Allah berfirman dalam dalam surat

al-Thalaq ayat 2:

( : )... ....

Artinya : ....”Dan saksikanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu”.....
(Q.S. at-Thalaq. 2)

Dan dalam surat al-Hujarat ayat 6 Allah SWT berfirman:

( : ).
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik
membawa sesuatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan sesuatu masalah kepada sesuatu kaum tanpa mengetahui
keadaanya, menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.
(Q.S. Hujurat. 6)

Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas dapat dipahami, bahwa penyaksian

sesuatu itu tidak terlepas dari keterkaitan dengan kualitas orang yang akan

menjadi saksi. Ini menunjukan bahwa saksi itu adalah orang yang adil dan dapat

diridhai, bukan orang yang fasik. Hanafiah berpendapat bahwa tidak diterima

kesaksian orang-orang fasik secara mutlak, meskipun mereka telah bertaubat.29

Sedangkan ulama yang lain sepakat untuk menerima kesaksian orang fasik yang

telah bertaubat.30

Adapun yang membolehkan diterima kesaksian orang yang telah bertaubat

didasarkan kepada firman Allah SWT.

29
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuh, op.cit., hlm 6040
30
Ibid.
23

. ,
( : : ).

Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh) delapan puluh kali dera. Dan janganlah kamu terima
mereka buat selama-lamannya, dan mereka itulah orang-orang yang
fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
(dirinya), maka sesunggugnya Allah Maha Pengampun lagi Penyanyang
(Q.S. an-Nur 4 : 5)

Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki

oleh seseorang, termasik hak asasi, wajib diberlakukan secara adil. Hak dan

kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada

yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus

ditetapkan secara adil tanpa diberanggi rasa kebencian dan negatif.

Dalam instrumen zakat, keadilan diartikan memberi kepada seseorang

yang menjadi haknya. Maka keadilan sosial dapat diartikan memberikan kepada

masyarakat apa yang menjadi haknya atas dasar kepatuhan dan keseimbangan.

Hak-hak tersebut meliputi: pangan, sandang, dan tepat tinggal yang layak. 31

Keadilan sosial Islam tidak mengharuskan agar setiap orang mempunyai tingkat

kemampuan ekonomi yang sama dan terhapusnya kemiskinan dalam masyarakat,

tetapi harus tercipta suatu kondisi masyarakat yang harmonis, tidak ada jurang

pemisah antara yang kaya dan miskin, dan hilangnya faktor-faktor penyebab

31
Muhammad Abu Zahra, Al-Mujtama’al-Insani fi Zilal al-Islam, Kairo: Daar al-Fikr
Al-Araby, t.t, hlm. 128
24

rendahnya produktivitas, pertumbuhan dan pengembangan potensi sumber daya

manusia dan alam.32

Ajaran zakat, sedekah dan berbagai bentuk bantuan sosial lainnya dari

orang kaya kepada orang yang tidak mampu, adalah contoh yang nyata keadilan

sosial Islam. Karena tugas mewujudkan keadilan sosial demikian berat dan luas,

maka Al-Qur’an memberikan kewenangan yang besar kepada negara dan

pemerintah memungut dan mengelola zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran bagi masyarakat. Ini membuktikan tentang peranan zakat untuk

mewujudkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. 33

Dalam beberapa bidang hukum Islam, persyaratan adil sangat

menentukan benar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaaan hukum.

Umpamanya dalam kewarisan sebagaimana dikemukakan oleh Hasanain

Muhammad Makhluf (ahli fikih kontemporer dari mesir), Islam mensyariatkan

aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni

hak yang harus dimiliki dan seseorang sebagai ahli waris dengan sebab

meninggalkannya seseorang yang lain/keluarga. 34

Dalam hal perkawinan, berlaku adil lebih menitikberatkan bagi suami

yang berpoligami. Untuk berpoligami diberikan oleh Al-Qur’an persyaratan yang

ketat, yakni kemampuan berlaku adil terhadap istri-istri. Sehingga dijelaskan

sekiranya seseorang yang bermaksud berpoligami ia takut kalau tidak dapat

berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka cukup satu istri saja, karena itulah yang

32
Ibid.
33
Muhammad Ali al-Sais, Tafsir ayat al-Ahkam, Kuwait: Dar al-Fikr, t.t.,hlm. 37
34
Dr. Abdurrachman, MA, Zakat Dalam dimensi Muhdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001, hlm. 132
25

terbaik baginya. Dalam penceraian yang merupakan hak suami sebagai tanda

berakhirnya hubungan suami istri, juga disyariatkan berlaku adil, dalam arti

melakukan penceraian secara baik (makruf) dan disaksikan oleh dua orang saksi

yang adil.35

Ini memberikan isyarat bahwa jika seseorang ingin berbalik kembali

dengan istri yang telah diceraikannya. Maka rujuklah di masa iddah dengan cara

yang baik atau sebaliknya, menceraikan istri pun dilakukan dengan cara yang baik

pula serta disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Rujuk tidak boleh dilakukan

dengan maksud untuk berbuat tidak adil (dhalim). Jika habis masa iddah,

seseorang tidak boleh dihalangi untuk mencari jodoh lain yang cocok baginya. 36

D. Pendapat Ulama tentang al-’Adalah Dalam Pembahasan Aqad Nikah

1. al-’Adalah saksi (keadilan saksi)

Dalam aqad nikah diharuskan adanya saksi, hal inilah yang

merupakan syarat untuk sahnya aqad nikah yang dilakukan. Sebagaimana

sabda Rasulullah:

:
37
( ).
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a, berkata: tidak sah nikah tanpa wali dan

kedua saksi yang adil. (HR.Imam Ahmad)

Berdasarkan hadits di atas dapatlah dipahami, bahwa saksi ini

merupakan rukun sahnya aqad nikah, tanpa adanya saksi aqad nikah
35
Ibid
36
Ibid., hlm. 135
37
Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad, op.cit., hlm. 181
26

tersebut batal hukumnya. Namun para ulama masih tidak sependapat

mengenai kasaksian dalam aqad nikah tersebut, untuk lebih jelasnya akan

diutarakan pendapat Imam Mazhab sebagai berikut.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’iyah sudah sepakat bahwa saksi

menjadi rukun nikah. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah

saksi tersebut merupakan rukun kelengkapan atau merupakan rukun sah.

Abu Hanifah berpendapat saksi dalam aqad nikah sebagai rukun

pelengkap. Artinya keberadaan saksi hanya untuk menutupi kemungkinan

terjadi perselisihan terhadap aqad nikah.38

Menurut Imam Malik bahwa hadirnya saksi dalam aqad nikah

tidak disyaratkan, hanya diperlukan untuk mengetahui bahwa perkawinan

telah dilangsungkan atau tidak, artinya perkawinan itu walaupun tidak

disaksikan waktu aqad nikah asalkan perkawinan itu diumumkan

(persandingan diresmikan). Ini artinya menurut Imam Malik tidak

mensyaratkan saksi, beliau mensyaratkan pengumuman nikah.39

2. Al-’adalah wali (keadilan wali)

”Al-wali” maknanya ialah mempunyai kekuasaan. Menurut

istilah fiqh, ”al-wilayah” bermakna kekuasaan untuk membuat urusan

terhadap seseorang. Orang yang mengendalikan aqad nikah dinamakan

wali, sebab disyariatkan wali dalam pernikahan bertujuan menjaga

38
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, op.cit.,hlm. 17
39
Hasbi Ash-Shiddeqy, Ahkamul Fiqhul Islami, Jakarta: Bulan Bintang. 1970, hlm. 243
27

kemaslahatan wanita, memelihara hak-hak wanita dalam mengatur

hidupnya.40 Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w:

: :
.
41
( ).

Artinya: Diriwayatkan dari Malik: Sesungguhnya telah disampaikan


Said Ibn Musaiyab, sesungguhnya Umar Ibn Khatab berkata:
tidak ada pernikahan seorang perempuan tanpa seizin walinya
dan izin dari para keluarganya atau penguasa. ( HR. Malik)

Di dalam kitab “Subulu al Salam”dinyatakan yang dimaksudkan

dengan sultan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, baik ia zalim

maupun adil, karena hadits yang memerintahkan mentaati sultan adalah

bersifat umum, mencakupi sultan yang adil maupun yang zalim. 42

Mengenai ketentuan wali adil dalam melakukan aqad nikah, para ulama

berselisih pendapat antara satu sama lain.

Sayyed Sabiq berpendapat dalam kitabnya “Fiqhu al-Sunnah”

bahwa wali adil bukan merupakan ukuran tidak sahnya nikah, beliau

berpendapat bahwa wali tidak disyaratkan adil. Jadi seorang yang

durhaka tidak kehilangan hak untuk bertindak sebagai wali dalam akad

nikah, kecuali karena kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan

yang berat. Wali fasik tidak ada halangan untuk menjadi wali dalam

40
Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’I (Edisi lengkap) buku II: muamalat,
Jinayat, Munaqahat: Pustaka Setia, hlm. 79
41
Imam Malik, Al-Muwatha’, Juz II, Bairut, Dar-khutub Al-`Ilmiah,. hlm. 252
42
Muhammad Ismail al-Sona’i, Subulu Al-Salam fi Syarah Bulughah Maram, Jilid III, Cet.I
Kaherah: Darul Hadits, 2000/1421, hlm. 161
28

melangsungkan pernikahan anaknya, dan mempunyai kedudukan yang

sama dengan orang lain serta sah hukumnya.43

Sebagian ulama yang lain berbeda pendapat, wali dalam aqad

nikah disyaratkan adil, dalam arti tidak berbuat maksiat, tidak fasik.

Sebaliknya orang yang tidak berbuat adil (fasik) tidak boleh bertindak

menjadi wali nikah, karena orang fasik tidak dapat menentramkan jiwa

orang lain dan tidak dapat dipercaya disebabkan ketidakadilan itu. Adil

di sini merupakan ukuran terhadap sahnya suatu pernikahan.44

Wali adil adalah wali yang tidak melakukan dosa-dosa besar,

tidak berterus terang melakukan dosa-dosa kecil dan tidak melakukan

perkara-perkara yang menjatuhkan maruah, seperti kencing di jalan raya,

berjalan tanpa alas kaki dan sebagainya. Oleh karena itu, orang fasik

tidak bisa mengawinkan perempuan di bawah perwaliannya yang

beriman. Demikian dikemukakan Imam Ahmad bahwa keadilan

merupakan syarat wali nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari

Ibnu Abbas ra.

:
.
45
( )

43
As-Sayed Sabiq, Fiqh al-Sunnah, op.cit., hlm. 7
44
Proyek pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam /IAIN Jakarta,
Ilmu Fiqh, Jilid II, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1984/1985, hlm.108
45
Imam Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Jilid. II. Indonesia: Dahlan, t.t. Hlm. 284
29

Artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil, wanita mana saja yang dinikahkan oleh wali yang
dimurkai, maka nikahnya bathal (HR. Turmidzi)

Dalam buku Fiqh Keluarga, ulama Mutsanna bin Jami’ menyatakan

bahwa adil bukan sebagai syarat wali nikah. Pernikahan yang dilakukan oleh wali

fasik dan dihadiri beberapa orang adil maka tidak membatalkan pernikahan. 46

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa suatu ketentuan hukum Islam

tidak sekedar membuat peraturan-peraturan saja, tetapi setiap peraturan yang di

syariatkan masing-masing mempunyai hikmah yang sangat besar bagi

kesempurnaan hidup dan untuk kemaslahatan umat itu sendiri.

Pernikahan mempunyai tujuan yang sama-sama menghalalkan baginya

melakukan sesuatu perbuatan yang diharamkan. Dengan adanya pernikahan, maka

dihalalkan baginya melakukan perbuatan yang diharamkan sebelum nikah, maka

begitu juga dengan wali. Dengan adanya wali maka pernikahan yang

dilangsungkan tersebut sah terhadap perempuan yang akan dinikahkan. Dengan

demikian keberadaan wali mempunyai beberapa hikmah, baik ditinjau secara

umum maupun khusus. Jika ditinjau secara umum maka ada beberapa hikmah

disyariatkan wali dan saksi. Adapun hikmah wali yaitu:

a. Menghindari perselisihan pendapat

Dengan adanya wali dalam pernikahan maka akan terhindar dari adanya

perselisihan salah satu pihak terhadap peristiwa aqad nikah, artinya tidak

bertentangan dengan pendapat yang tidak mengharuskan adanya wali.


46
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 60
30

b. Memberikan kepastian hukum

Bila terjadi pertentangan dari salah satu pihak terhadap wali adil maka

dalam hal ini dapat dibuktikan dengan adanya syarat-syarat kesempurnaan

seorang wali atau jika terjadi perselisihan pendapat, maka salah satu pihak

memperoleh kekuatan dua orang saksi yang akan memberikan kekuatan

hukum.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kesaksian wali mempunyai

hikmah yang sangat besar secara khusus bagi dirinya sendiri, yaitu akan

menimbulkan sifat jujur, muruah, menjaga diri dari sifat tercela dan juga

menimbulkan kepercayaan dirinya sendiri. Dengan diangkatnya seseorang

menjadi wali berarti telah mendapat kepercayaan dari orang lain sekaligus

memegang amanah, kerena kesaksian itu merupakan amanah. Sehingga

akan tegak keadilan dan kebenaran ditengah-tengah masyarakat. Tegaknya

keadilan dan kebenaran akan menimbulkan ketenangan, menyebarkan rasa

aman tenteram serta memperteguh hubungan masyarakat. Pada akhirnya

nilai-nilai kebenaran dan keadilan itu akan mewarnai setiap gerak langkah

kehidupan masyarakat.

You might also like