You are on page 1of 2

PENANGKAPAN TIGA PETUGAS DKP INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP

HUBUNGAN DIPLOMATIK INDONESIA - MALAYSIA


Oleh Najmu Laila1

Hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia kembali memanas seiring dengan ditangkapnya tiga
petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia oleh Marine Police Malaysia di Perairan Tanjung
Berakit pada tanggal 13 Agustus 2010 silam. Insiden tersebut sontak menuai reaksi dari kedua negara.
Berbagai aksi dan protes pun dilancarkan. Publik Indonesia yang sudah sejak lama menaruh geram
terhadap Malaysia, kembali terbakar amarahnya.
Melalui metode deskriptif analisis dengan pendekatan analisis kualitatif yang bertumpu pada data
sekunder, tulisan ini akan mencoba untuk mengkaji permasalahan, (1) bagaimana penangkapan tiga
petugas DKP Indoonesia dalam perspektif hukum internasional? serta (2) bagaimana pengaruh
penangkapan tersebut dengan hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia?

Penangkapan Petugas DKP dalam Perspektif Hukum Internasional


Dalam doktrin hukum internasional, negara pantai mempunyai hak untuk melakukan pengejaran
terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan negara tersebut di
perairan territorial negara tersebut2. Hak tersebut dinamakan dengan “Right of Hot Persuit” atau hak
pengejaran seketika (untuk selanjutnya disebut HPS saja).
Pasal 111 ayat (1) Konvensi Hukum Laut Laut Tahun 1982 mengatur bahwa pengejaran seketika
terhadap sebuah kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang negara pantai mempunyai
alasan yang dapat dipercaya bahwa kapal asing itu telah melakukan pelanggaran terhadap hukum dan
peraturan negara pantai (has violated the laws and regulations of state) yang dilakukan wilayah territorial
negara tersebut juga di ZEE atau landas kontinen termasuk zona pengamannya. Pasal 111 ayat (7)
Konvensi ini juga memperbolehkan untuk menahan atau menghentikan kapal yang dikejar di luar laut
wilayah.
Pengaturan HPS dalam hukum laut nasional terdapat dalam pasal 17 Ordonansi Laut Teritorial
dan Lingkungan Maritim tahun 1939. Selanjutnya melalui UU No. 17/1985 (LN Tahun 1958 Nomor 76 ;
tambahan lembaran negara nomor 3318) tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun
1982, maka ketentuan tentang HPS yang terdapat dalam konvensi tersebut juga dapat diterapkan oleh
Indonesia. Dengan kata lain, bahwa ketentuan tentang HPS yang diatur oleh konvensi tersebut telah
menjadi hukum positif Indonesia.
Dalam konteks kasus yang tengah kita bahas, para petugas DKP Indonesia mempergunakan HPS
ini ketika mendapati bahwa kapal asing berbendera Malaysia tengah melakukan penangkapan ikan di
Perairan Tanjung Berakit, Pulau Bintan, Kepulauan Riau, yang secara geografis masuk ke dalam perairan
Indonesia.. Hal tersebut tentu saja digolongkan sebagai illegal fishing yang merupakan pelanggaran
terhadap hukum nasional Indonesia. Bagi para pelanggar tersebut, hukum nasional Indonesia mengatur di
dalam pasal 69 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009 jo UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bahwa:
“Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang
diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut”
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa penangkapan
kapal asing berbendera Malaysia yang dilakukan oleh Petugas DKP Indonesia adalah benar adanya. Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah, mengapa mereka justru ditangkap oleh polisi laut Malaysia? inilah
yang menjadi persoalan karena mengindikasikan setidaknya dua hal. Pertama, lemahnya penegakkan
hukum laut nasional dan kedua, lemahnya kekuatan diplomasi Indonesia terhadap Malaysia.

Pengaruh terhadap Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia


Konflik bilateral selalu terjadi di mana pun baik di negara maju maupun di negara berkembang. 3
Dalam konteks hubungan Indonesia – Malaysia konflik tersebut justru menemukan salurannya dalam
banyak hal. Romantisme sebagai bangsa serumpun nyatanya tidak mampu membuat kedua negara
1
Penulis adalah Mahasiswa FHUI angkatan 2008, anggota Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum UI.
2
C. John Colombus, The International Law of The Sea (London: Longmans, 1962), hal. 151.
3
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 196.
tersebut hidup rukun saling berdampingan. Bagai memendam duri dalam sekam, konflik demi konflik
yang terjadi antara Indonesia – Malaysia pelan tapi pasti menggerogoti hubungan kedua belah pihak,
bahkan hingga sampai level terbawah
Jika menengok ke belakang, kita akan menemukan fakta bahwa konflik antara Indonesia –
Malaysia telah memiliki akar sejarah yang panjang. Sejarah telah menulis dengan tinta hitam konfrontasi
Indonesia – Malaysia pada saat Soekarno, Presiden Indonesia kala itu, melancarkan konfrontasi
mengganyang Malaysia pada tahun 1963. Hal tersebut dipicu oleh ketidaksetujuan Soekarno atas
dibentuknya Federasi Malaysia dengan pertimbangan bahwa Federasi tersebut dibentuk dan
dipertahankan oleh Inggris yang Neo-Kolonialisme sehingga dapat mengacamkan kedaulatan Indonesia.4
Seiring dengan bergulirnya waktu, hubungan Indonesia – Malaysia kerap kali mengalami pasang
surut. Berbagai gejolak dan konflik kian mewarnai hubungan diplomatik antara kedua negara. Setidaknya
ada 4 masalah pokok yang senantiasa menjadi isu sentral. Pertama, terkait dengan sengketa wilayah,
mulai dari Sipadan-Ligitan, blok Ambalat, hingga berbagai permasalahan di wilayah perbatasan kedua
negara. Kedua, terkait dengan kebudayaan Indonesia yang kerap kali diklaim sebagai kebudayaan
Malaysia. Ketiga, maraknya pembalakan kayu liar (illegal loging) dan pencurian ikan (illegal fishing)
yang terjadi di wilayah teritorial Indonesia. Keempat, terkait dengan perlakuan kasar yang diterima oleh
para Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia.
Rentetan demi rentetan ketegangan telah terakumulasi menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu
dapat meledak. Munculnya kasus penangkapan ketiga petugas DKP ini menjadi satu moment penting
karena kembali menorehkan luka bagi publik Indonesia. Ironisnya, ketegangan hubungan Indonesia –
Malaysia ini kerap kali disikapi secara reaksioner oleh publik Indonesia, bahkan menjadi komoditas
politik para elit politk tertentu. Padahal emosi yang meledak-ledak, perang kata yang menggelora, caci-
maki kekanak-kanakan, tidak akan mengubah keadaan dan hanya akan membuat kita terjebak pada
romantisme masa lalu yang tidak akan membuat kita menjadi bangsa yang dewasa. Sikap reaksioner dari
bangsa Indonesia dalam menyikapi hal ini hanya akan memperkuat sikap ambivalen yang secara sadar
atau tidak telah menempatkan kalangan masyarakat Indonesia ke dalam posisi sub-ordinatif ketika
berhadapan dengan Malaysia. Posisi seperti itu pada gilirannya menumbuhkan apa yang disebut oleh
Azyumardi Azra sebagai "psikologi pecundang" (psychology of the losers).5

Penutup
Di tengah memanasnya hubungan Indonesia Malaysia, saatnya Bangsa Indonesia berdiri tegak
meninggalkan rasa rendah diri. Ada alasan yang sangat kuat untuk mengatakan bahwa kita bangsa
Indonesia tidak perlu merasa rendah diri dan dilecehkan oleh bangsa lain, apalagi oleh Malaysia. Namun
tentu saja, alih-alih disikapi secara reaksioner, sejatinya berbagai permasalahan antara Indonesia-
Malaysia harus kita sikapi secara dewasa dengan mengedepankan rasionalitas sebuah bangsa yang
beradab.
Dalam konteks dunia modern, hubungan yang terjalin antar bangsa yang beradab haruslah
ditempatkan ke dalam posisi yang ordinatif. Sejatinya, pola hubungan dalam tataran dunia internasional
didasarkan pada sebuah pemikiran adanya suatu masyarakat Internasional yang terdiri atas sejumlah
negara yang berdaulat dalam hubungan yang sederajat.6 Kini saatnya kita menyadari bahwa sikap
superioritas Indonesia sebagai ‘abang’ terhadap Malaysia sebagai ‘adik’ sudah tidak lagi dapat
didudukkan dalam konteks kekinian. Karena itu, rasionalitas hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia
seharusnya menjadi prinsip hubungan ke depan. Dalam hal ini, persoalan-persoalan yang masih ada
dalam hubungan Indonesia - Malaysia hendaknya diselesaikan secara tuntas, bukan diakhiri dengan
berbagai seremonial simbolik semata.
Dalam konteks hubungan Indonesia – Malaysia, komunikasi juga menjadi salah satu variable yang
penting digunakan untuk meredam konflik. Jangan sampai berbagai kesalahpahaman yang terjadi akan
berujung kepada konflik yang lebih besar antara kedua negara serumpun. Di samping itu, Pemerintah
harus bisa menentukan skala prioritas dan tegas dalam menentukan kebijakan politik luar negeri yang
berorientasi kepada perlindungan setiap warga negara Indonesia.

4
Hidayat Mukmin, TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia – Malaysia (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 92 – 93.
5
Azyumardi Azra, “Psikologi Ambivalensi RI – Malaysia”, Kompas 5 September 2007.
6
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 9.

You might also like