You are on page 1of 5

Artikel:

Menjadi Guru Profesional, Mungkinkah?


Judul: Menjadi Guru Profesional, Mungkinkah?
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN /
EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Afrianto Daud
Saya Mahasiswa di Monash University
Topik: MENJADI GURU PROFESIONAL; MUNGKINKAH?
Tanggal: 09 Mei 2006
Oleh: Afrianto Daud

Membaca judul tulisan diatas, sepintas barangkali kita akan menjawab kenapa tidak
mungkin. Tak ada yang mustahil di dunia ini, termasuk untuk bisa menjadi guru yang
profesional. Bahkan mungkin ada diantara kita yang berfikir kalau pertanyaan diatas
sedikit silly, pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu disampaikan. Namun kalau kita
mau jujur, menjawab pertanyaan di atas dalam konteks dunia pendidikan nasional kita,
maka minimal kita tidak berani untuk segera menjawab pertanyaan itu secara sederhana
dengan jawaban why not?

Ketidakberanian kita barangkali disebabkan karena begitu kompleksnya permasalahan


guru di tanah air tercinta ini. Telah ada begitu banyak diskusi, seminar, lokakarya, dan
pertemuan ilmiah lainnya yang membicarakan betapa rumitnya permasalahan guru di
negri ribuan pulau ini. Guru kita sering berada pada posisi yang sangat dilematis karena
pada satu sisi menjadi tumpuan harapan keberlangsungan masa depan anak bangsa ini
dalam bidang pendidikan di masa yang akan datang, namun pada saat yang sama guru
sulit keluar dari permasalahan klasik yang melilit mereka, seperti kesejahteraan,
penghargaan, dan isu tentang profesionalisme.
Menurut saya, masalah profesionalisme guru adalah isu yang paling serius diantara
permasalahan lain yang dihadapi guru kita. Pembicaraan mengenai problematika guru
sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai hari ini sepertinya guru "belum percaya
diri" menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi
lainnya, seperti dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti
"tak bisa" menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar dengan para
profesional di bidang yang lain.

Hal ini disebabkan karena mereka sadar bahwa suatu jenis pekerjaan yang disebut profesi
idelnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap
sebagai profesi. Kedudukan lebih itu bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping
itu, untuk menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang
profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding pekerja
lainnya. Maka untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi
minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004).

Kalau kita bandingkan dengan profesi guru dengan profesi terhormat lainnya, seperti
dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat betapa besarnya perbedaan
profesi guru dengan profesi lainnya itu. Lazim diketahui bahwa untuk menjadi seorang
dokter, pengacara, dan akuntan, misalnya, membutuhkan proses yang panjang dan waktu
yang lama. Mereka harus mengikuti berbagai jenis jenjang pendidikan formal, praktek
lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di bidangnya masing-masing. Bahkan, di
negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status guru
seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Hal ini dilakukan
sebagai salah satu jaminan bahwa yang bersangkutan profesional dalam menjalankan
tugasnya.

Bagaimana untuk menjadi seorang guru di negeri ini? Di Indonesia, setelah lulus dari
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan bekerja di lembaga pendidikan,
maka seseorang langsung disebut guru. Bahkan, banyak pula lulusan non-LPTK, namun
bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru. Untuk disebut sebagai guru sangatlah
mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan pelarian oleh banyak sarjana kita setelah
gagal memeperoleh pekerjaan lain yang mereka anggap "lebih baik".

Kemudian, untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus
memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga profesi. Izin atau
sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi yang terkait dengan profesi
maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi memiliki kontrol yang ketat terhadap
anggotanya, bahkan berani memberikan sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di
negeri ini, izin kerja sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu
seseorang lulus dari LPTK.

Apalagi kalau kita membandingkannya dari sisi kesejahteraan, maka perbedaannya akan
semakin kentara. Tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki
standar gaji dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu
menghargai diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun
banyak guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp. 60.000 per bulan. Banyak guru yang
gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak mengikuti standar UMK, karena
kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar, dan kebanyakan guru tidak
memiliki serikat pekerja, sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk
mencukupi kebutuhan hidup harus membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti
mengojek atau berjualan. Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa,
sebuah tuntutan yang amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah
kita menyalahkan, gurunya tidak profesional?

Harapan Di Balik UU Nomor 14/2005

Tumpukan permasalahan guru memang kadang membuat dada kita sesak, sampai
kemudian pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan
Dosen tanggal 30 Desember 2005, harapan barupun kemudian muncul. Banyak pihak
berharap bahwa Undang Undang ini bisa menjadi tonggak bersejarah untuk bangkitnya
profesi ini menjadi profesi mulia yang betul-betul setara dengan profesi lainnya. Sebuah
profesi yang tak hanya dihargai dengan ungkapan "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi
sebuah profesi yang betul-betul diakui sejajar dengan profesi lainnya.

Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan
mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang dalam UU Nomor
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kita berharap, kedua undang-undang ini
mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para guru yang betul-betul
profesional dalam makna yang sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-
undang ini akan membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara
perlahan tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui perbaikan
mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang profesional sebagai entry point.

Sebagai implementasi dari undang-undang yang baru ini, pemerintah telah merencanakan
akan melakukan program sertifikasi guru dalam waktu dekat. Seperti yang dikatakan
Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal
bahwa pemerintah sedang menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk sertifikasi para
guru, dan diharapakan dalam enam bulan telah keluar PP dan telah ditunjuk LPTK
penyelenggara sertifikasi. Setelah itu, dilangsungkan pendidikan profesi serta uji
sertifikasi bagi para guru yang sudah sarjana (Kompas, 27/02/2006)

Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak menyelenggarakan
program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi guru, namun terlepas dari siapa
yang meyelenggarakan, program sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak
positif bagi proses terbentuknya guru yang profesional di masa datang. Selain karena
dengan program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi seseorang
layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa menjawab permasalahan klasik
guru menyangkut kesejahteraan karena pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005
menyebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan
profesi sebesar satu kali gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah
negeri maupun swasta.
Apalagi kalau pemeritah berkomitmen menjalankan amanat undang undang yang
menegaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 20 persen anggaran negara ke
sektor pendidikan, dampaknya akan diyakini begitu luar biasa kepada kualitas dunia
pendidikan kita secara umum, dan terbentuknya guru yang profesional secara khusus.

Dengan lahirnya guru yang profesional dalam makna yang sesungguhnya, maka diyakini
masyarkat tidak akan lagi melihat "sebelah mata" kepada profesi ini. Efek dominonya
adalah akan banyak para siswa pintar kita kembali secara sadar memilih profesi ini
sebagai alaternatif karir mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri
ini memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan komitmen yang
kuat dari berbagai pihak. Wallahu'alam

* Afrianto Daud, guru MAN 3 Batusangkar, Mahasiswa Program Master of Education


Monash University Australia
Saya Afrianto Daud setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan
di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya
saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

You might also like