You are on page 1of 12

c 

„  

Muhammad ¶Abdullah Darâz berkata:


Kehidupan bermasyarakat tidak akan tegak tanpa kerja sama antar anggotanya. Kerja sama
ini hanya dapat terjadi jika ada undang-undang yang mengatur hubungan-hubungan antar
anggota masyarakat serta membatasi hak-hak dan kewajibannya. Tapi undang-undang ini
tetap memerlukan sebuah kekuatan yang memiliki kewibawaan dan supremasi dalam jiwa
manusia serta menjamin terjaganya.
Kami tegaskan bahwa di muka bumi ini tidak ada kekuatan yang setara atau mendekati
kekuatan agama dalam menjamin tegaknya hukum, keharmonisan antar anggota
masyarakat, ketaatan pada aturan-aturannya, serta terciptanya ketenteraman dan kedamaian
di dalamnya.
««.Jelas keliru kalau kita menyangka bahwa ilmu pengetahuan saja sanggup menjamin
terciptanya kedamaian dan ketenangan. Tidak benar jika ilmu pengetahuan dapat
menggantikan pendidikan serta tuntunan agama dan akhlak. Itu tak lain karena ilmu
bagaikan pisau bermata dua; dapat merusak dan menghancurkan, seperti juga dapat
membangun dan menyejahterakan. Agar kita dapat menggunakannya dengan baik maka
harus ada pengawas moral yang mengarahkannya pada hal-hal yang melahirkan kebaikan
bagi manusia dan kemakmuran bumi, bukan kepada keburukan dan kerusakan. Pengawas
itu adalah akidah dan iman.
Akhlak merupakan pilar jiwa pribadi yang memiliki keutamaan, penyangga masyarakat yang
bermartabat. Suatu masyarakat akan tegak selama ada akhlak di dalamnya dan akan hancur
ketika akhlak tidak ada di dalamnya. Dalam pandangan agama umumnya dan Islam khususnya,
akhlak memiliki tempat yang tinggi dan kedudukan yang terhormat. Pujian tertinggi al-Qur`an
untuk Rasulullah Saw. adalah:
Ϣ˳ ϴ˶ψϋ
˴ ϖ
˳ Ϡ˵Χ
˵ ϰϠ˴όϟ˴ Ϛ
˴ ϧ͉·˶ϭ˴
d  
          (QS. al-Qalam/68: 4).
Nabi Saw. sendiri menyimpulkan risalah yang dibawanya dalam sabdanya:
Sesunggguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. al-
Bukhârî).
Mengacu kepada Hadits di atas, tidak heran jika kemudian kita mendapati ulama besar setaraf
Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa agama adalah akhlak. Pernyataan ini sejalan dengan sabda
Rasulullah Saw.:
Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (HR. al-
Tirmidzî).
Kebajikan itu adalah akhlak yang baik (HR. Muslim).
Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan amal seorang Mukmin pada hari kiamat dari
akhlak yang baik (HR. al-Tirmidzî).
Demikianlah, bagi agama, akhlak merupakan pilar penopang, sedang bagi masyarakat, akhlak
merupakan pondasi. Agama tidak sekadar mengajak dan memuji akhlak mulia. Lebih dari itu,
agama membangun kaidah-kaidahnya, menentukan batas-batasnya, menetapkan tolok ukurnya,
memberi sejumlah contoh bagi beberapa perilaku, mendorong manusia untuk konsisten
memedomaninya, mewanti-wanti mereka agar tidak melakukan penyimpangan, serta
menetapkan   dan 
;   bagi perilaku terpuji, 
 bagi perilaku
tercela. Akhlak mulia menjadi tujuan dari misi besar agama. Apa yang diajarkan dalam agama
akan dapat terlaksana dengan baik jika para umatnya memiliki landasan akhlak yang mulia.
Pernyataan Mahathma Ghandi berikut ini menarik untuk kita jadikan bahan refleksi bersama
tentang hubungan yang erat antara agama dan akhlak mulia:
Sesungguhnya agama dan akhlak mulia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya tidak dapat berpisah satu sama lain. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi. Agama bagaikan ruh bagi akhlak dan akhlak seperti
udara bagi ruh. Dengan ungkapan lain: Agama memupuk akhlak, menumbuhkan dan
menyegarkannya. Seperti halnya air memberi makan dan menumbuhkan tanaman.
Pernyataan Ghandi ini semakin mengukuhkan hubungan antara agama dan akhlak mulia. Tanpa
agama, tidak mungkin ada akhlak. Dan tanpa akhlak, tidak mungkin ada undang-undang.
Agamalah sumber terpelihara yang darinya diketahui mana akhlak baik mana akhlak buruk.
Agamalah yang menghubungkan manusia dengan Zat Maha Tinggi, kepada-Nya mereka
menatap dan untuk-Nya mereka beramal. Agamalah yang membatasi egoisme seseorang,
menahan tirani nalurinya, mengalahkan dominasi kebiasaannya, lalu menaklukkan dan
menundukkannya kepada tujuan-tujuan dan nilai-nilai luhur. Agamalah yang mendidik nurani
yang di atas pondasinya menara akhlak berdiri tegak.
Orang beriman hidup demi satu risalah yang agung, beramal demi satu tujuan yang mulia, dan
hidup di bawah naungan nilai-nilai luhur. Ia hidup untuk dan di atas nilai-nilai luhur tersebut,
yaitu merasa dekat dengan Allah, meneladani akhlak-Nya, dan berusaha meraih ridha-Nya. Di
jalan nilai-nilai ini ia berjuang mengalahkan nafsunya serta meredam tirani naluri hewani dan
syahwatnya, demi ridha-Nya, guna meraih apa yang ada di sisi-Nya, karena percaya akan pahala-
Nya. Ia letakkan tepat di depan matanya firman Tuhannya:
Ι
˶ ˸ήΤ ˴ ˸ϟ΍˴ϭ ϡ˶ Ύ˴ό˸ϧ΄˴˸ϟ΍˴ϭ Δ˶ ϣ˴ Ϯ͉ δ
˴ Ϥ˵ ˸ϟ΍ Ϟ
˶ ˸ϴΨ
˴ ˸ϟ΍˴ϭ Δ˶ π
͉ ϔ˶ ˸ϟ΍˴ϭ ΐ ˶ ϫ˴ ά͉ ϟ΍ Ϧ ˴ ϣ˶ Γ˶ ή˴ τ˴ ˸ϨϘ˴ Ϥ˵ ˸ϟ΍ ή˶ ϴ˶σΎ˴Ϩ˴Ϙ˸ϟ΍˴ϭ Ϧ
˴ ϴ˶ϨΒ˴ ˸ϟ΍˴ϭ ˯˶ Ύ˴δϨ͋ϟ΍ Ϧ ˴ ϣ˶ Ε˶ ΍˴ϮϬ˴ θ ͉ ϟ΍ ΐ ͊ Σ ˵ α ˶ Ύ͉ϨϠ˶ϟ Ϧ ˴ ϳ͋ί˵
˸Ϧϣ˶ ϱ˶ή˸ΠΗ˴ ˲ΕΎ͉ϨΟ ˴ ˸ϢϬ˶ Α͋έ˴ Ϊ˴ ˸Ϩϋ ˶ ΍˸ϮϘ˴ Η͉΍ Ϧ˴ ϳ˶άϠ͉ϟ˶ ˸ϢϜ˵ ϟ˶Ϋ˴ ˸Ϧϣ˶ ή˳ ˸ϴΨ ˴ Α˶ ˸ϢϜ˵ Ό˵Β͋ϧ˴ ΅˵ ΃˴ ˸Ϟϗ˵ (14) Ώ ˶ ΂˴Ϥ˸ϟ΍ Ϧ ˵ ˸δΣ ˵ ϩ˵ Ϊ˴ ˸Ϩϋ
˶ Ϫ˵ Ϡ͉ϟ΍ϭ˴ Ύ˴ϴ˸ϧΪ͊ ϟ΍ Γ˶ Ύ˴ϴΤ
˴ ˸ϟ΍ ω
˵ Ύ˴Θϣ˴ Ϛ ˴ ϟ˶Ϋ˴
˸ήϔ˶ ˸ϏΎ˴ϓ Ύ͉Ϩϣ˴ ΍˴˯ Ύ˴Ϩϧ͉·˶ Ύ˴ϨΑ͉έ˴ ϥ ˴ Ϯ˵ϟϮ˵Ϙϳ˴ Ϧ˴ ϳ˶άϟ͉΍ (15) Ω˶ Ύ˴Βό˶ ˸ϟΎ˶Α ˲ήϴ˶μΑ˴ Ϫ˵ Ϡ͉ϟ΍˴ϭ Ϫ˶ Ϡ͉ϟ΍ Ϧ ˴ ϣ˶ ˲ϥ΍˴Ϯ˸οέ˶ ϭ˴ ˲Γή˴ Ϭ͉ τ ˴ ϣ˵ ˲Ν΍˴ϭ˸ί΃˴ϭ˴ Ύ˴Ϭϴ˶ϓ Ϧ ˴ ϳ˶Ϊϟ˶Ύ˴Χ έ˵ Ύ˴Ϭ˸ϧ΄˴˸ϟ΍ Ύ˴ϬΘ˶ ˸ΤΗ˴
έ˶ Ύ˴Τ˸γ΄˴˸ϟΎ˶Α Ϧ˴ ϳ˶ήϔ˶ ˸ϐΘ˴ ˸δϤ˵ ˸ϟ΍˴ϭ Ϧ
˴ ϴ˶Ϙϔ˶ ˸ϨϤ˵ ˸ϟ΍˴ϭ Ϧ
˴ ϴ˶Θϧ˶ Ύ˴Ϙ˸ϟ΍˴ϭ Ϧ ˴ ϴ˶ϗΩ˶ Ύ͉μϟ΍˴ϭ Ϧ
˴ ϳ˶ήΑ˶ Ύ͉μϟ΍ (16) έ˶ Ύ͉Ϩϟ΍ Ώ ˴ ΍˴άϋ ˴ Ύ˴Ϩϗ˶ ϭ˴ Ύ˴ϨΑ˴ Ϯ˵ϧΫ˵ Ύ˴Ϩϟ˴
d           
            
              
    
                  
    
  
                
 
             
     !  "  "   
         # 
       
     
   $
       
  d  
           
         %  
  

& ' 
"  "     "  '  # 
  
    



   " 
   
      "  " 
         
 (         
 

""
   (QS. Âli µImrân/3: 14-17).

Upaya meneladani akhlak Allah artinya adalah upaya sungguh-sungguh dan lestari menuju
keluhuran dan kesempurnaan; usaha berkelanjutan untuk meneladani kesempurnaan Tuhan
sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Sebagai contoh: Allah itu Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. Maka usaha manusia untuk meneladani-Nya adalah dengan berusaha
menghiasi diri dengan ilmu dan hikmah sesuai dengan kemampuan kemanusiaan. Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, maka usaha untuk meneladani-Nya adalah dengan berupaya
menjadikan diri penuh kasih sayang sesuai dengan kadar kemanusian. Allah itu Maha Kaya lagi
Maha Pemurah. Maka, dalam usaha meneladani-Nya, kita harus berupaya menjadikan diri kita
kaya lagi murah hati sesuai dengan kadar kemanusiaan. Allah Maha Perkasa lagi kuasa
mengadakan pembalasan, maka dalam kerangka mengikuti akhlak Allah, manusia harus
berusaha menjadi orang yang disegani oleh orang-orang kafir dan ditakuti oleh para pelaku
kezaliman. Dan begitu seterusnya.

TUNTUNAN AKHLAK ISLAM


Ajaran Islam sangat banyak memberikan dorongan kepada sikap-sikap untuk maju. Kemajuan materi (madiyah) akan
terpacu oleh akhlak manusia yang menggenggam materi tersebut. Akhlak adalah perangai yang berakar didalam hati
sebagai anugerah dari Khalik Maha Pencipta. Adalah satu kenyataan belaka bahwa makhluk manusia mesti terikat
erat dengan Khalik sang Pencipta. Akhlak adalah jembatan yang mendekatkan makhluk dengan Khaliknya. Menjadi
parameter menilai sempurna atau tidaknya ihsan Muslim itu. Melaksanakan agama sama artinya dengan ber akhlak
sesuai dengan tuntunan agama Islam. Karena itu, agama bukanlah sebuah beban, melainkan adalah sebuah identitas
(cirri, shibgah). Membebaskan diri dari ketentuan Maha Pencipta, atau membebaskan manusia dari nilai-nilai agama
(seperti free of values yang banyak dipahami oleh masyarakat liberalistik) akan berakibat bahwa makhluk manusia
menjadi makhluk yang tidak punya makna. Dengan demikian, semestinya agama harus dilihat sebagai satu keperluan
utama. Betapapun keperluan materi telah dapat dipenuhi, suasana hidup akan selalu hambar dan gersang manakala
keperluan ruhanik (immaterial, spirituil) tidak diperhatikan. Selalu akan tampak bahwa manusia tanpa agam,a sama
saja dengan makhluk yang bukan manusia. Perikehidupan tanpa bimbingan agama, artinya sama dengan peri
kehidupan tidak berperikemanusiaan.

? 
Tazkiyatun Nufus
6/2/2008 | 27 Muharram 1429 H | Hits: 7.129
Oleh: Tim dakwatuna.com

47Share
0diggsdigg
4
Comments
Email
Print

|
± Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target
seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan
dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan
kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah
saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah
kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak
yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari
keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan,
seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini
menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril ²yang menyamar
sebagai seorang manusia² mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah
saw. bersabda kepada para sahabatnya, ³Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian
urusan agama kalian.´ Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt.
memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

³Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik.´ (QS. Al-Baqarah: 195)

³Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan«.´ (QS. An-Nahl: 90)

  ? 

Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk
masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an
mengenai hal ini.

³Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri«´ (Al-Isra¶: 7)

³Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu«.´
(QS. Al-Qashash: 77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.

|   ? 

0 
 ) *  

Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini
kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga
mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi
landasan akan hal ini.

³Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik.´ (QS. Al-Baqarah: 195)

³Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan«.´ (QS An-Nahl: 90)

³« serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia«.´ (QS. Al-Baqarah: 83)

³Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba
sahayamu«.´ (QS. An-Nisaa`: 36)

  + 

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan
puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan
tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah
saw. menerangkan mengenai ihsan ²ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang
ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, ³Engkau menyembah
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.´ (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, ³Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan
pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu
menyembelih, sembelihlah dengan baik.´ (HR. Muslim)

½      |
? 

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan
akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

 |?

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat,
rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang
hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang
sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa
memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal
seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat
menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah
tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang
berbunyi, ³Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika
engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.´

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka,
selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah
lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan
setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah,
Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa
sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

#     d  

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang
pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya.
Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri
dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat
tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang
dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di
langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.

Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

0 
# # 

Tingkat takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk
kategori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan masing-masing.

Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan
seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat
mengakibatkan sanksi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian,
puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha
Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan
kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara
penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt.
akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak
takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia
akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini
membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling
rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah swt.

 #   ,

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan
amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala
yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada
hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-
amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran,
sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.

Akantetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok
al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena,
melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.

Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia
tidak mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak terhindar dari siksaan neraka,
maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman
dalam kitab-Nya, ³Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan
bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.´ (QS. l-Baqarah: 189)

³Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman,
yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah
kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.´ (QS. Ali µImran: 193)

 #   

Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah
orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna ²seperti yang telah kita sebutkan
sebelumnya± maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada
saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa
memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal
itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-
amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar
mencari ridha Allah swt.

O 
?

Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa¶ ayat 36, yang berbunyi
sebagai berikut, ³Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu.´

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap
seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita.
Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya.
Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

0 
      " 

Allah swt. menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, ³Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ³ah´
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
³Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku
diwaktu kecil.´ (QS. Al-Israa¶: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan
ibadah kepada Allah.

Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda,
³Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada
kemurkaan orang tua.´

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai
dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka
bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.

        

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka,
bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan
perusak di muka bumi. Allah berfirman, ³Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?´ (QS. Muhammad:
22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling
utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya
hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, ³Aku adalah Allah, Aku
adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku.
Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa
yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.´ (HR. Turmudzi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, ³Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali
silaturahmi.´ (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

        
 (  
 

Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ³Aku
dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini«(seraya menunjukkan
jari telunjuk jari tengahnya).´

Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, ³Barangsiapa ²dari Kaum Muslimin² yang
memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak
terampuni.´


             
  

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di
dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan,
pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma¶had, dan sebagainya. Mereka semua
masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja,
tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim; sedang
tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan
sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, ³Demi Allah, tidak
beriman, demi Allah, tidak beriman.´ Para sahabat bertanya, ³Siapakah yang tidak beriman, ya
Rasulullah?´ Beliau menjawab, ³Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.´
(HR. Syaikhani)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, ³Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang
pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.´(HR. Ath-
Thabrani)


       
  

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, ³Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah memuliakan tamunya.´ (HR. Jama¶ah, kecuali Nasa¶i)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga
hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya
pelayanan.

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, ³Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?´ Rasulullah diam
tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, ³Berapa kali ya, Rasulullah?´ Rasul menjawab,
³Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.´ (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, ³Jika seorang hamba sahaya membuat
makanan untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan
telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan
bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua
suapan.´ (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya
sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup
melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah
tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa
yang kita pakai.

Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya firman-Nya yang
berbunyi, ³Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi
mengingkari nikmat.´ (QS. Al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan.
Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua
sifat yang sangat dibenci oleh Allah swt.


              


Rasulullah saw. bersabda, ³Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia
berkata yang baik atau diam.´ (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, ³Ucapan yang baik adalah
sedekah.´

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya
jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak
mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

             

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya
jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan
menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang
tajam.

Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

,   ""  
 

 

Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu Hamzah.
Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya. Kemudian
seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akantetapi,
Rasulullah malah berkata, ³Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang
bodoh.´

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, ³Kipasilah aku
sampai aku tertidur.´ Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai Umar tertidur. Karena sangat
mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan
mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak
menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, ³Engkau adalah manusia
biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal
ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku.´

n ?

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan
mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi
harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah
Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya
Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya
itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku,
sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam
perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang ²yang diperoleh dari hasil maksimal
ibadahnya± maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam
sebuah hadits, ³Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.´

Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena
itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri
yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata
Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan
dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah
swt. mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a¶lam bish-shawwab. []

You might also like