You are on page 1of 51

ASKEP EPILEPSI

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya
serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)

B. Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagianbesara belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum


2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. kelainan pembuluh darah

(Tarwoto, 2007)

C. Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-jutaneron. Pada hakekatnya tugas
neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafyang berhubungan satu dengan yang
lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine
dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-
neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

D. Manifestasi klinik

1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan


penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar
suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)

E. Klasifikasi kejang

1. Kejang Parsial
1. Parsial Sederhana

Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran Misal: hanya satu jari atau tangan yang
bergetar, mulut tersentak Dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami
sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman

1. Parsial Kompleks

Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala kognitif, afektif,
psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara
automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat

1. Kejang Umum (grandmal)

Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi kekauan
intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi
dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran, kejang umum terdiri dari:

1. Kejang Tonik-Klonik
2. Kejang Tonik
3. Kejang Klonik
4. Kejang Atonik
5. Kejang Myoklonik
6. Spasme kelumpuhan
7. Tidak ada kejang
8. Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap.

F.Pemeriksaan diagnostik

1. CT Scan

Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral

1. Elektroensefalogram(EEG)

Untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan

1. Magnetik resonance imaging (MRI)


2. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

G. Penatalaksanaan

1. Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang


2. Farmakoterapi

Anti kovulsion untuk mengontrol kejang

1. Pembedahan

Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler

1. Jenis obat yang sering digunakan


1. Phenobarbital (luminal).

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

1. Primidone (mysolin)

Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

1. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

 Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat
terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
 Tak berhasiat terhadap petit mal.
 Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan
darah.
1. Carbamazine (tegretol).

 Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan


epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.
 Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai
gangguan tingkahlaku.
 Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi
sumsum tulang dan gangguanfungsi hati.

1. Diazepam.

 Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).


 Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya
diberikan i.v. atau intra rektal.

1. Nitrazepam (Inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

1. Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

1. Na-valproat (dopakene)

 Obat pilihan kedua pada petit mal


 Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
 Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
 Efek samping mual, muntah, anorexia

1. Acetazolamide (diamox).

 Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.


 Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na
berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

1. ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

ASUHAN KEPERAWTAN
I.Pengkajian

1. Riwayat kesehatan
1. Riwayat keluarga dengan kejang
2. Riwayat kejang demam
3. Tumor intrakranial
4. Trauma kepal terbuka, stroke
5. Riwayat kejang
1. Berapa sering terjadi kejang
2. Gambaran kejang seperti apa
3. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
4. Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang
5. Riwayat penggunaan obat
1. Nama obat yang dipakai
2. Dosis obat
3. Berapa kali penggunaan obat
4. Kapan putus obat
5. Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran
2. Abnormal posisi mata
3. Perubahan pupil
4. Gerakan motorik
5. Tingkah laku setelah kejang
6. Apnea
7. Cyanosis
8. Saliva banyak
9. Psikososial
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan
4. Peran dalam keluarga
5. Strategi koping yang digunakan
6. Gaya hidup dan dukungan yang ada
7. Pengetahuan pasien dan keluarga
1. Kondisi penyakit dan pengobatan
2. Kondisi kronik
3. Kemampuan membaca dan belajar
4. Pemeriksaan diagnostik
1. Laboratorium
2. Radiologi

II. Diagnosa keperawatan

1. Resiko injury b/d aktivitas kejang


2. Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi
3. Cemas b/d terjadinya kejang
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan

III. Intervensi keperawatan

1.  Dx: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi

Intervensi:

Mandiri

1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan
kejang.
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
4. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi.
5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi.

Kolaborasi

1. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal.


2. Siapkan untukmelakukan intubasi, jika ada indikasi

2.  Dx: Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan

Mandiri

1. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/ prognosis penyakit dan perlunya


pengobata/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
2. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk,
dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk
pengurasi dosis.
3. Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu
makan, jika memungkinkan.
4. Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperi mengantuk, hiperaktif,
gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, ruam pada
kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu dan anemia aplastik.
5. Anjurkan pasien untuk menggunakan semacam gelang identifikasi/semacam petunjuk
yang memberitahukan bahwa pasien adalah penderita epilepsi.
6. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan
laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa
minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya sakit tenggorok atau demam.
7. Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal
8. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat
yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya, alkohol, kefein dan obaat yang dapat
menstimulasi kejang.
9. Tinjau kembali pentingnya kebersihan mulut dan perawatan gigi teratur.
10. Identifikasi perlunya penerimaan terhadap keterbatasan yang dimiliki, diskusikan
tindakan keamanan yang diperhatikan saat mengemudi, menggunakan alat mekanik,
panjat tebing, berenang, hobi dan sejenisnya.a
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
ANAK DENGAN EPILEPSI
February 8, 2010 in Dioxygenic's ASKEP

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan
oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol
dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya
serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

1. Epidemiologi

Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37
juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan
WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif
diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian
Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang
epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah
sebesar 6,23 per 1000 penyandang.

1. Etiologi

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :


o Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi,
minum alcohol, atau mengalami cidera.
o Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
o Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

o Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-
anak.
o Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

o Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

o Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
o Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada
jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-
sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar
belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

5. Tumor Otak

6. Kelainan pembuluh darah

(Tarwoto, 2007)

2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan
ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya
hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

 fever / panas (these are called febrile seizures)


 genetic causes
 head injury / luka di kepala.
 infections of the brain and its coverings
 lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses kelahiran.
 hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities)
 disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.

1. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau
dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut :

 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah
kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang
hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik
yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.

1. Klasifikasi
1. Sawan Parsial

1. i.      Sawan parsial sederhana


2. ii.      Sawan parsial kompleks

1.
1. Sawan Umum

-         Sawan lena

-         Sawan mioklonik

-         Sawan klonik

-         Sawan Tonik

-         Sawan tonik-klonik

-         Sawan atonik

1.
1. Sawan tak tergolongkan

1. Manifestasi Klinis

1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

-         Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal

1. Dengan gejala motorik

 Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
 Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
 Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
 Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
 Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana
yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.

 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.


 Visual : terlihat cahaya
 Auditoris : terdengar sesuatu
 Olfaktoris : terhidu sesuatu
 Gustatoris : terkecap sesuatu
 Disertai vertigo

1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

-         Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.

-         Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa
lalu, merasa seperti melihatnya lagi.

-         Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

-         Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

-         Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.

-         Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.

-         Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)


1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.

 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan
kesadaran.
 Hanya dengan penurunan kesadaran
 Dengan automatisme

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.

1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

1. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata
dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama
¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.

1. i.      Hanya penurunan kesadaran


2. ii.      Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3. iii.      Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan,
tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4. iv.      Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher
atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang,
lengan dapat mengetul atau mengedang.
5. v.      Dengan automatisme
6. vi.      Dengan komponen autonom.
7. vii.      Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:

1. Gangguan tonus yang lebih jelas.


2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

1. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot
atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

1. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di
lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

1. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian
tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

1. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal.
Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½
menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.

1. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.

1. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

1. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang
belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang
demam pertama pada bayi.

-         Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)

-         Mengalami complex partial seizure

-         Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)

-         Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

-         Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam
setelah kejang demam adalah normal.

-         Kejang pertama setelah usia 3 tahun

Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan
selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada
anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis
dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk
dilakukan.

1. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.


Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali
tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG
yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat
diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak
bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau
gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus
ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

1. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
1. CT Scan

Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral

1. Magnetik resonance imaging (MRI)

1. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

1. Pemeriksaan fisik

Inspeksi      : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi, purpura,
memar, pembengkakan.

Palpasi        : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.

Perkusi        : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.

Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

1. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang
digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan
epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus
di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program
pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :

¨                  Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama
serangan mendadak, menyisipkan  benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda
malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.

¨                  Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki
kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si
anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
¨                  Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama
dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera
berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut  jika si anak tak bernapas.

1. Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam
waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat
(compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung
jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang
berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara
bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan
mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.

Penatalaksanaan

 Farmakoterapi

-         Anti konvulsion untuk mengontrol kejang

 Pembedahan

Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler

Jenis obat yang sering digunakan :

 Phenobarbital (luminal).

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

 Primidone (mysolin)

Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).


Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap
epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.

Tak berhasiat terhadap petit mal.

Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.

 Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi


itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.

Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan
tingkahlaku.

Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum
tulang dan gangguan fungsi hati.

 Diazepam.

Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).

Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan
i.v. atau intra rektal.

 Nitrazepam (Inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

 Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

 Na-valproat (dopakene)

Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.

Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.

Efek samping mual, muntah, anorexia

 Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.


Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang
akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

 ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

Status epileptikus

Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau serangkaian serangan
epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali. Terapi awal diarahkan untuk
menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan fungsi-fungsi
vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi,
serta dilanjutkan dengan pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per
rektum merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi
sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat
pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan
gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang
memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan
kematian.

Penatalaksanaan gawat darurat

Kejang tonik-klonik

Selama kejang :

Waktu episode kejang

-         lakukan pendekatan dengan tenang

-         jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak

-         letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia kepala anak
bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.

-         Jangan :

1. i.      Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan


2. ii.      Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
3. iii.      Memberikan makanan atau minuman

-         Longgarkan pakaian yang ketat

-         Lepaskan kacamata


-         Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya

-         Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan

-         Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi

Setelah kejang :

-         Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)

-         Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.

-         Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan pernapasan
buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.

-         Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau kecurigaan zat
yang mengindikasikan keracunan

-         Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring

-         Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya

-         Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan refleks
menelan pulih

-         Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan

-         Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)

1. Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung pada
etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien
epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun
sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah
mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi. Meskipun minum
obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering
didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih
mudah relaps sesudah remisi.

Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun atau
lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan
dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG
menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang
menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.
Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan sebelumnya.
Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak
yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang
berulang.

B. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang
faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada
gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah
pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme
koping apa yang digunakan?

1. 1. Identitas

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk
rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.

1. 2. Keluhan utama

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan utama
pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak
badan, nyeri  pada ektremitas.

1. 3. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul.
Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan
( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat
pembesaran hati, limpa, dan kelenjar  limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau
tanpa pembengkakan.

1. 4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan  keadaan  penyakit 


sekarang  perlu  ditanyakan.

1. 5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.

Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal
perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui
apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan
terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit
contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan
anak setelah

1. 6. Riwayat penyakit keluarga

Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang
dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang
menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi
tipe kejang dan penatalaksanaannya.

1. Selama serangan :

-         Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

-         Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

-         Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.

-         Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-
klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

-         Apakah pasien menggigit lidah.

-         Apakah mulut berbuih.

-         Apakah ada inkontinen urin.

-         Apakah bibir atau muka berubah warna.

-         Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.

-         Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau
keduanya.

2. Sesudah serangan

-         Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara

-         Apakah ada perubahan dalam gerakan.

-         Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.

-         Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
-         Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

3. Riwayat sebelum serangan

-         Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.

-         Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.

-         Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun
visual.

4. Riwayat Penyakit

-         Sejak kapan serangan terjadi.

-         Pada usia berapa serangan pertama.

-         Frekuensi serangan.

-         Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan
emosional.

-         Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan
kesadaran, kejang-kejang.

-         Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak

-         Apakah makan obat-obat tertentu

-         Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas

Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.

Tanda : kelemahan otot, somnolen.

b. Sirkulasi

Gejala : palpitasi.

Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

c. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine.

d. Makanan / cairan

Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.

Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi mengindikasikan
leukemia monositik akut).

e. Integritas ego

Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.

Tanda : depresi, ansietas, marah.

f. Neurosensori

Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, kesemutan.

Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

g. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.

Tanda : gelisah, distraksi.

h. Pernafasan

Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.

Tanda : dispnea, takipnea, batuk.

i. Keamanan

Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan, tak
terkontrol dengan trauma minimal.

Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan


2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan
kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non
verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah
meringis

1. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan


keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
2. Termoregulasi tidak efektif
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
4. Defisit perawatan diri
5. Gangguan persepsi sensori auditori

C. Intervensi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak mengalami gangguan pola
napas dengan kriteria hasil :

-         RR dalam batas normal sesuai umur

-         Nadi dalam batas normal sesuai umur

Intervensi Rasional
1. Tanggalkan pakaian pada daerah 1. Memfasilitasi usaha
leher/dada, abdomen bernapas/ekspansi dada
2. Masukkan spatel lidah/jalan napas 2. Dapat mencegah tergigitnya
buatan lidah, dan memfasilitasi saat
melakukan penghisapan
3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai lendir, atau memberi
indikasi sokongan pernapasan jika
diperlukan
Kolaborasi
3. Menurunkan risiko aspirasi
1. Berikan tambahan O2 atau asfiksia

Kolaborasi

1. Dapat menurunkan hipoksia


serebral
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non
verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah
meringis

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama … nyeri klien berkurang dengan  kriteria
hasil:

1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri  yang
dialami
2. Klien tidak menangis lagi
3. Wajah klien tampak ceria

Intervensi Rasional
1. Kaji PQRST dengan menggunakan
media gambar
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai
kebutuhan
3. Berikan lingkungan yang nyaman
bagi  klien
4. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
5. Kolaborasi untuk pemberian obat
analgesic
6. Pengkajian yang benar akan
membantu dalam  menentukan
tindakan keperawtan selanjutnya
7. Posisi yang nyaman dapat
memberikan efek malsimal untuk
relaksasi otot
8. Kehadiran keluarga memberikan
efek psikologis pada anak untuk
mengurangi nyeri
9. Rangsang yang berlebihan dari
lingkungan dapat memperberat rasa
nyeri

10. Obat analgesic dapat meminimalkan


rasa nyeri
1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan
kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

Kriteria hasil :

 Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

 Riwayat kejang
 Tingkatan kejangnya

Intervensi Rasional
1. Kaji karakteristik kejang Untuk mngetahui seberapa besar
tingkatan kejang yang dialami
pasien sehingga pemberian
intervensi berjalan lebih baik
1. Jauhkan pasien dari benda benda Benda tajam dapat melukai dan
tajam / membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien
1. Segera letakkan sendok di mulut Dengan meletakkan sendok diantara
pasien yaitu diantara rahang pasien rahang atas dan rahang bawah,
maka resiko pasien menggigit
lidahnya tidak terjadi dan jalan
nafas pasien menjadi lebih lancer
1. Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat mengurangi
anti kejang derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang
1. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan :

1. pengetahuan keluarga meningkat


2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi

Kriteria pengkajian focus Makna klinis


1. Kaji tingkat pendidikan 1 .  pendidikan merupakan salah satu
keluarga klien. faktor penentu tingkat pengetahuan
seseorang
2. Kaji tingkat pengetahuan 1. untuk mengetahui seberapa
keluarga klien. jauh informasi yang telah
3. Jelaskan pada keluarga klien mereka ketahui,sehingga
tentang penyakit kejang pengetahuan yang nantinya
demam melalui penkes. akan diberikan dapat sesuai
dengan kebutuhan keluarga
4. Beri kesempatan pada keluarga 2. untuk meningkatkan
untuk menanyakan hal yang pengetahuan
belum dimengerti.
3. untuk mengetahui seberapa
5. Libatkan keluarga dalam setiap jauh informasi yang sudah
tindakan pada klien. dipahami

4. agar keluarga dapat


memberikan penanngan yang
tepat jika suatu-waktu klien
mengalami kejang
berikutnnya.

D. Evaluasi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

RR dalam batas normal sesuai umur

Nadi dalam batas normal sesuai umur

1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non
verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah
meringis

Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri  yang dialami

Klien tidak menangis lagi

Wajah klien tampak ceria

1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan


kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

1. i.      Riwayat kejang


2. ii.      Tingkatan kejangnya

4.      Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi


Pengetahuan keluarga meningkat

Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi

Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

DAFTAR PUSTAKA

 Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah


Monica Ester, EGC, Jakarta
 Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made,
EGC, Jakarta
 NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih bahasa 
Budi Santosa. Prima Medika.

KONSEP DASAR

1. Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang


mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat
sementara (Hudak and Gallo,1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan
demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di
atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga
disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah
5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul
mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima
tahun.

2. Patofisiologi
a. Etiologi

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak,
trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan
gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik
subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui
etiologinya).

1) Intrakranial

Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik

Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular

Infeksi : Bakteri, virus, parasit

Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith –


Lemli – Opitz.

2) Ekstra kranial

Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan


elektrolit (Na dan K)

Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.

Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan


kekurangan produksi kernikterus.

3) Idiopatik

Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
b. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu
adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system
kardiovaskuler.

Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan
dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan
didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion
didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang
extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena
penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh
dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+
melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun
membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga
mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat,
kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan
menimbulkan terjadinya asidosis.

c. Manifestasi klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi
dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik.

Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul
pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita
epilepsy.

untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan
yaitu :

1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever

Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah
dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam
sederhana, yaitu :

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun

2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.

3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali

4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam


5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan.

3. Klasifikasi kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai
dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang
mioklonik.

a. Kejang Tonik

Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis
kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di
bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus

b. Kejang Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal
yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi
dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar
dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

c. Kejang Mioklonik

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini
merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada
kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

4. Diagnosa banding kejang pada anak

Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus
nokturnal benigna.

a. Gemetar

Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi
yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar
seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan
ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama
dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .

b. Apnea

Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6
detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak
disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit.
Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 –
15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup
bulan.

Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di
curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan
ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah
apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.

c. Mioklonus Nokturnal Benigna

Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu
tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari
persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama
dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik
nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya
selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini
tidak memerlukan pengobatan

5. Penatalaksanaan

Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan
tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera
untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.

Penatalaksanaan Umum terdiri dari :

a. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati

b. Memonitor pernafasan dan denyut jantung

c. Usahakan suhu tetap stabil

d. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain

e. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena

Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan.
Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB
secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 %
sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai
dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian
dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin,
berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.

Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan
50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV)
sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum
menyerupai floppy infant dapat muncul.

Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti


hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk
bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme
sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak
karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan
dalam 2 dosis selama 20 menit.

Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang
pada BBL dengan alasan

a. Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya

b. Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan

c. Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan
bilirubin dalam darah.

6. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik,


pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :

1) hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan
struktur otak.

2) Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
3) Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol
menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh
pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran
menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior
yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

4) Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.

5) Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau


subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural.
Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus
dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di
retina terlihat pada sindom hiperviskositas.

6) Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural
atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.

7) Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising
jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

b. Pemeriksaan laboratorium

Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula


dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap
terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.

Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu

1) Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara
berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.

2) Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan
analisis gas darah.
3) Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila
cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan
supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi
terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah
pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal

4) Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia

5) Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan
untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG
latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust
supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12
% diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG
dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi
prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.

6) Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang
pasti yaitu mencakup :
a) Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic

b) Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella,


citomegalovirus dan virus herpes.

c) Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih
besar dari aturan baku

d) USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal,


pervertikular, dan vertikular

e) Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan


intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak

e) Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi


positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala
membesar.

7. Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu

1. Fisik

f. Ubun-ubun anterior tertutup.

g. Physiologis dapat mengontrol spinkter

2. Motorik kasar

a. Berlari dengan tidak mantap

b. Berjalan diatas tangga dengan satu tangan

c. Menarik dan mendorong mainan

d. Melompat ditempat dengan kedua kaki

e. Dapat duduk sendiri ditempat duduk

f. Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh


3. Motorik halus

a. Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan

b. Melepaskan dan meraih dengan baik

c. Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu

d. Menggambar dengan membuat tiruan

4. Vokal atau suara

a. Mengatakan 10 kata atau lebih

b. Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh

5. Sosialisasi atau kognitif

a. Meniru

b. Menggunakan sendok dengan baik

c. Menggunakan sarung tangan

d. Watak pemarah mungkin lebih jelas

e. Mulai sadar dengan barang miliknya

8. Dampak hospitalisasi

Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan hilang
kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara verbal, takut
terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi.

Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :

a) Rasa takut
1) Memandang penyakit dan hospitalisasi

2) Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal

3) Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit

4) Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan

5) Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol,


menyentuh tubuh yang sakit berulang-ulang.

b. Ansietas

1) Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal

2) Protes (menangis dan mudah marah, (merengek)

3) Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat

4) Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit

5) Tidak berdaya

6) Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan

7) Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi
pengobatan atau perawatan

8) Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol

9) Protes dan Ansietas karena restrain

c. Gangguan citra diri

1) Sedih dengan perubahan citra diri

2) Takut terhadap prosedur invasive (nyeri)


3) Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi kejangnya
dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik yang
berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek seperti pergerakan bola mata ,
kontraksi otot lateral harus didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan
lamanya kejang.

Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor


pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang
ditimbulkan oleh kejang.

1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot.


Gerakan involunter

2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan
penurunan nadi dan pernafasan

3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan
atau penanganan, peka rangsangan.

4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus


spinkter

5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang


berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi

6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra

7. Riwayat jatuh / trauma


2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi
otot.

2. Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular

3. Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

4. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

5. Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

3. INTERVENSI

Diagnosa 1

Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

Tujuan

Cidera / trauma tidak terjadi

Kriteria hasil

Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan


lingkungan

Intervensi

Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum, sebelum,
selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi. Lakukan
penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi klien dari trauma atau kejang.
Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti
compulsan

Diagnosa 2

Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular

Tujuan

Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

Kriteria hasil

Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam
batas normal

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan
penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi

Diagnosa 3

Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

Tujuan

Aktivitas kejang tidak berulang

Kriteria hasil

Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal

Intervensi
Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien. Observasi
tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan
ketiak.

Diagnosa 4

Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

Tujuan

Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

Kriteria hasil

Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi

Intervensi

Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien dalam
pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien. Libatkan keluarga
dalam pemenuhan kebutuhan klien.

Diagnosa 5

Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi
tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi
Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. Jelaskan pada
keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri kesempatan pada keluarga
untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada
klien.

6. EVALUASI

1. Cidera / trauma tidak terjadi

2. Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

3. Aktivitas kejang tidak berulang

4. Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

5. Pengetahuan keluarga meningkat

Obat anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila:

 diagnosis epilepsi telah dipastikan


 setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
 pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping OAE yang akan timbul

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan.

Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping.

Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bengkitan maka
perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama
diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.

Penghentian OAE:

 dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari


bangkitan selama minimal 2 tahun. 
 gambaran EEG normal.
 harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
 penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS),
yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang
rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi),
istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar
mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya.
Sedangkan untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE). Pengobatan
dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan
dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat dikontrol atau tejadi efek
kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih
tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1
tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2
macam obat mungkin ke depannya mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih
besar. Pengobatan dengan lebih dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau
pasien mengalami tipe kejang yang berbeda.

OBAT PILIHAN

Obat pilihannya yaitu Fenitoin.

Nama generik: Phenytoin kapsul 100 mg; 300 mg.

Nama dagang:

Dilantin®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg; cairan injeksi 50mg/ml

Ikaphen®, kapsul 100 mg; injeksi 50 mg/ml.

Kutoin-100®, kapsul 100 mg; ampul 100 mg/2 ml

Movileps®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg

Phenilep® , kapsul 100 mg

Phenytoin Ikapharmindo®, kapsul 100 mg; ampul 200 mg/2 ml

Zentropil®, kapsul 100 mg

Indikasi:
Semua jenis epilepsi, kecuali petit mal; status epileptikus; trigeminal neuralgia jika
karbamazepin tidak tepat digunakan.

Kontra-indikasi:

Gangguan hati, hamil, menyusui, penghentian obat mendadak; hindari pada porfitia.

Dosis:

Status epileptikus: i.v:

Bayi dan anak: dosis awal 15-20 mg/kg pada dosis tunggal atau dosis terbagi; dosis
pemeliharaan: awal: 5 mg/kg/hari pada 2 dosis terbagi; dosis biasa:

5 bulan-tahun: 8-10 mg/kg/hari

4-6 tahun: 7,5-9 mg/kg/hari

7-9 tahun: 7-8 mg/kg/hari

10-16 tahun: 6-7 mg/kg/hari, beberapa pasien mungkin membutuhkan setiap 8 jam.

Dewasa:dosis awal:15-25 mg/kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3
dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap.

Antikonvulsi: anak-anak dan dewasa: oral

Dosis awal: 15-20 mg/kg; tergantung pada konsentrasi serum fenitoin dan riwayat dosis
sebelumnya. Pemberian dosis awal oral pada 3 dosis terbagi diberikan setiap 2-4 jam untuk
mengurangi efek yang tidak dinginkan pada saluran pencernaan dan meyakinkan bahwa dosis
oral terabsorpsi sepenuhnya.; dosis pemeliharaan sama seperti i.v

Pembedahan saraf (profilaksis):


100-200 mg pada kira-kira interval 4 jam selama pembedahan dan selama periode setelah
pembedahan.

Penyesuaian dosis pada kerusakan ginjal atau penyakit hepar: aman pada dosis biasanya untuk
penyakit hepar ringan. Level fenitoin bebas harus dimonitor.
Efek samping:

Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia, neuropati perifer, hipertrofi
gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam,
hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia,trombositopenia,
agranulositosis).

Resiko khusus:

Hamil dan menyusui. Selama kehamilan, kadar plasma total obat antiepilepsi (terutama fenitoin)
menurun, tapi kadar obat bebas dalam plasma tetap sama. Terdapat kenaikan resiko teratogenik
pada penggunaan obat antiepilepsi. Karena itu perlu dilakukan pemantauan oleh spesialis terkait.
Dianjurkan untuk memberi asam folat 5 mg/hari untuk mengantisipasi terjadinya kelainan neural
tube. Untuk mengantisipasi terjadinya pendarahan neonatal, yang berkaitan dengan pemberian
fenitoin, dapat diberi vitamin K pada ibunya. Ibu yang menyusui dapat terus mendapat obat
antiepilepsi, dengan perhatian khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 153-154, Depkes RI,


Jakarta,

Anonim, 2006, British National Formulary, edisi 52, 246-247, British Medical
Association, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain

Anonim, 2007, MIMS, Volume 8, 178-181, PT Info Master, Jakarta.

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information
Handbook, 14th Ed., 1260-1264, Lexicomp, Inc., USA

Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 6th ed, 1023-


1035, Mc Graw-Hill Companies, New York
Tierney, L. M., Stephen J.M., Maxine A. P., 2006, Current Medical Diagnosis &
Treatment, 45th ed, 980-986, Mc Graw-Hill Companies, USA

You might also like