You are on page 1of 16

MANFAAT FILSAFAT DALAM KURIKULUM

Mawardi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia


Jl. Dr. Setia Budi No. 229 Bandung, HP. O85750113777, email ;
marmawirais@yahoo.co.id

ABSTRAK

Secara filosofis, bahwa aktivitas pendidikan berfungsi membina kesadaran


akan nilai-nilai filosofis negara. Kesadaran moral dan sikap mental yang menjadi
kriteria manusia ideal dalam sistem nilai suatu bangsa bersumber pada ajaran
filsafat bangsa dan negara yang dianutnya. Dengan demikian, pendidikan bukanlah
usaha aktivitas spekulatif semata-mata. Pendidikan dilaksanakan secara
fundamental didasarkan atas asas filosofis dalam menentukan arah atau
pencapaian tujuan dalam membina perkembangan anak didik.
Manfaat filsafat bagi dunia pendidikan adalah menentukan arah, kemana arah
perkembangan kepribadian anak didik yang menjadi tujuan pendidikan di suatu
negara. Tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui suatu cara akan menjadi
pedoman dan motivasi dalam kegiatan pendidikan. Sebagai langkah pertama dalam
merencanakan kurikulum adalah merumuskan tujuan atau arah proses pendidikan
serta cara-cara dan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Kurikulum merupakan isi
dan jalan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain, manfaat kurikulum
dalam proses pendidikan adalah sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan.
Sebagai alat pendidikan, kurikulum memiliki bagian-bagian penting dan penunjang
yang dapat mendukung operasional pendidikan secara baik. Komponen pokok
kurikulum adalah; 1) komponen tujuan, 2) Komponen pengetahuan, 3) Komponen
kegiatan atau pengalaman belajar, 4) komponen penilaian. Keempat komponen
tersebut saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Sedangkan komponen
penunjang kurikulum meliputi 1) Sistem administrasi dan Supervisi, 2) Bimbingan
dan Konseling. Demikian pula untuk pengetahuan, perlu ditentukan scope (apa
yang harus diajarkan) dan sequence kurikulum ( ruang lingkup atau luas bahan
pelajaran).
Falsafah negara Indonesia adalah Pancasila yang menjadi dasar dalam
menyusun kurikulum gambaran manusia yang berketuhanan, manusia yang
berprikemanusiaan, gambaran manusia yang memiliki rasa persatuan
(nasionalisme), gambaran manusia yang demokratis (musyawarah), gambaran
manusia yang berkeadilan. Semua gambaran itu dirumuskan dalam suatu tujuan
pendidikan yang dirumuskan di dalam kurikulum pendidikan untuk digunakan oleh
pendidik dalam menyelenggarakan proses pendidikan di sekolah. Jadi tujuan itu
meliputi segala aspek perkembangan anak yang dalam pengkhususannya dapat
dipecah-pecah dalam bentuk unit pengajaran meliputi; domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Tentunya perumusan tujuan khusus pembelajaran tersebut
mengandung unsur kelakuan secara spesifik (proses) dan unsur pengetahuan
(product).
BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat adalah suatu istilah yang mempunyai beragam pengertian dan


pandangan serta manfaatnya dalam bidang kehidupan manusia. Plato memandang
filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang kebenaran. Sedangkan Cicero
memandang filsafat sebagai ilmu tentang hal-hal yang muluk-muluk serta usaha
untuk mencapainya. Tujuan filsafat adalah untuk membentuk suatu pandangan
yang sistematis tentang segala sesuatu.
Filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan yang bermanfaat dalam
kurikulum biasa disebut filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan yang secara
sederhana dapat dimengerti dari namanya itu sendiri, yakni filsafat yang dijadikan
asas dan pandangan dasar bagi pelaksanaan pendidikan. Filsafat yang mendalam
yang logis sistematis ialah milik yang berharga. Filsafat sangat bermanfaat dalam
bidang pendidikan, karena terdapat berbagai persoalan dalam bidang pendidikan
yang dijawab melalui pemikiran filosofis.
Filsafat dalam kehidupan manusia tidak terpisahkan, bukan saja karena
sejarahnya yang panjang ke belakang zaman dalam catatan-catatan yang ada.
Melainkan juga karena ajaran filsafat malah menjangkau masa depan umat
manusia dalam bentuk ideologi. Kehidupan bangsa dan negara dengan segala
aspek kehidupan bangsa/negara berpedoman pada ideologi nasional masing-
masing. Dalam hubungan ini, hampir selalu tiap-tiap filsafat negara merupakan pula
asas filsafat pendidikan bangsa dan negara itu. Sebab, pendidikan adalah lembaga
yang melaksanakan pembinaan manusia baik sebagai warga negara maupun
sebagai pribadi menurut ajaran filsafat negara.
Dengan demikian, pandangan filsafat di suatu negara akan menjadi landasan
bagi pendidikan nasional di negera tersebut. Melalui filsafat sebagai metode berfikir
secara radikal. Penyelidikan dengan pemikiran mendalam atau perenungan
mengenai objek sampai ke akar-akarnya (radix). Maksudnya adalah berpikir
mendalam sampai ditemukan unsur-unsur inti yang secara sistematis menjadi objek
pemikiran itu ada sebagaimana halnya.
Bidang ilmu pendidikan merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan
pendidikan yang terus berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan
sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh
kebijakan dan pelaksanaan pendidikan. Untuk maksud itulah perlu dipahami arti dan
manfaat filsafat dalam kurikulum pendidikan.
BAB II
MANFAAT FILSAFAT DALAM KURIKULUM

A. Pengertian Filsafat dan Kurikulum.

Sebagai titik tolak sebelum membahas lebih lanjut tentang manfaat filsafat
dalam kurikulum, ada baiknya kita mengerti bahwa filsafat itu mengandung
pengertian sebagai berikut:
Filsafat sebagai aktivitas pikir murni atau kegiatan akal manusia dalam usaha
untuk mengerti secara segala sesuatu. Pengertian filsafat ini ialah berfilsafat. Ia
merupakan pula suatu daya atau kemampuan pikir yang murni dari setiap manusia.
Bahkan berfilsafat merupakan daya dan tingkat berpikir manusia yang tertinggi
dalam usaha memahami kesemestaan (segala sesuatu).
Pada pengertian lain, filsafat adalah pemikiran yang radikal. Penyelidikan
dengan pemikiran mendalam atau perenungan mengenai objek atau sampai
keakar-akarnya (radix). Maksudnya adalah berpikir mendalam sampai ditemukan
unsur-unsur inti yang secara sistematis menjadi objek pemikiran itu ada
sebagaimana halnya. Sering pula dikatakan bahwa filsafat adalah perenungan
mengenai objek sampai pada tingkat kebenaran hakiki.
Pemikiran filosofis tentang pendidikan selanjutnya dikembangkan menurut
keseluruhan segi yang ada di dalam objek pendidikan. Karena pendidikan adalah
masalah manusia, maka seluruh kehidupan manusia akan menjadi tolak ukur
pemikiran. Dengan kata lain, pendidikan dipikirkan sejauh hakekat keberadaan
manusia. Jadi filsafat pendidikan mempunyai persoalan sentral berupa hakekat
pematangan potensi manusia. Dengan demikian, filsafat pendidikan pada
hakekatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.
John Dewey seorang filsuf Amerika mengatakan bahwa filsafat itu adalah teori
umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan.
Filsafat mengajukan pertanyaan dari menyelidiki faktor-faktor realita dan
pengalaman yang banyak dalam lapangan pendidikan. Oleh karena itu filsafat
mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita, maka dikupaslah mengenai
konsep tentang tujuan atau arah pendidikan serta metodologi pendidikan yang di
rumuskan dalam kurikulum.
Sedangkan kurikulum mengandung arti tidak sekedar kumpulan subjek
matter, melainkan rencana atau program yang menjadi tanggung jawab lembaga
pendidikan sebagai pihak penyelenggara. Di dalam rencana atau program tersebut
diperlukan landasan filosofis, terutama dalam menentukan tujuan atau arah
pendidikan dan tujuan kurikuler.

B. Ide – Ide Filsafat Dalam Pendidikan.


Menurut Noor Syam (1990: 41-42) bahwa ide-ide filsafat pendidikan itu, antara
lain tersimpul di dalam pandangan:
1. Teori (hukum) Empirisme.
Ajaran filsafat empiris yang dipelopori oleh John Locke (1632 – 1704) yang
mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan,
terutama pendidikan. John Locke berkesimpulan bahwa tiap individu lahir
sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang menulisnya. Teori ini dikenal
dengan teori tabularasa atau teori empirisme. Bagi john Locke, faktor
pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi
seseorang. Karena lingkungan itu dapat di atur dan dikuasai manusia, maka teori
ini bersifat oftimis pada tiap-tiap perkembangan pribadi.

2. Teori (hukum) Nativisme.


Ajaran filsafat Nativisme yang dapat digolongkan ke dalam filsafat Idealisme
berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh hereditas,
faktor dalam yang bersifat kodrati. Tokoh Nativisme adalah Arthur Schopenhauer
(1788 – 1860) beranggapan, faktor pembawaan bersifat kodrati dari kelahiran
dan tak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar. Potensi-potensi hereditas
itulah pribadi seseorang dan bukan pendidikan. Tanpa potensi hereditas yang
baik, seseorang tak mungkin mencapai taraf yang dikehendaki, meskipun dididik
secara maksimal. Ajaran filsafat Nativisme ini dapat dianggap aliran yang
pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya, tanpa
kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.
3. Teori (hukum) Konvergensi.
Bagaimana kuatnya alasan kedua aliran pandangan di atas, namun keduanya
kurang realistis. Suatu kenyataan bahwa potensi hereditas yang baik saja, tanpa
pengaruh lingkungan (pendidikan) yang baik tidak akan membina kepribadian
yang ideal. Sebaliknya, meskipun lingkungan (pendidikan) yang positif dan
maksimal, tidak akan menghasilkan kepribadian ideal tanpa potensi hereditas
yang baik. Oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil
proses kerja sama kedua faktor, baik internal (potensi hereditas) maupun faktor
eksternal (lingkungan, pendidikan). Tiap pribadi adalah proses konvergensi
antara faktor internal dan eksternal. Teori ini dikemukakan oleh William Stern
(1871 – 1938) dan dikenal sebagai teori konvergensi.

Ketiga teori di atas, dikenal sebagai asas-asas filsafat pendidikan aliran-aliran


emirisme, idealisme dan realisme. Masing-masing mempunyai penganut hingga
sekarang ini dengan segala variasinya sejalan dengan perkembangan psikologi,
ilmu pendidikan dan filsafat. Adanya lembaga pendidikan dan penyelenggara
pendidikan bersumber atas asas filsafat pendidikan. Filsafat menetapkan ide-ide
yang idealis, sedangkan pendidikan merupakan usaha merealisasi ide-ide itu
menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, bahkan membina kepribadian manusia.

C. Pandangan Filsafat Terhadap Kurikulum.


Filsafat adalah hasil pemikiran manusia atau filosof sepanjang zaman.
Sejarah pemikiran filsafat yang amat panjang di bandingkan dengan ilmu
pengetahuan. Filsafat pendidikan adalah pemikiran filosofis dalam bidang
pendidikan. Filsafat menghasilkan ide-ide yang idealis di bidang pendidikan,
termasuk dalam kurikulum pendidikan. Tidak mungkin pendidikan tanpa kurikulum.
Karena kurikulum merupakan bagian yang amat penting di dalam pendidikan.
Menurut Subandiyah (1992: 2) pengertian kurikulum adalah aktivitas dan kegiatan
belajar yang direncanakan, diprogramkan bagi peserta didik di bawah bimbingan
sekolah, baik di dalam maupun di luar sekolah. Perencanaan program dan
pelaksanaan pendidikan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, kurikulum berkedudukan sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan. Apabila kurikulum dipandang sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus bersifat
anticipatory, bukan hanya sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus
dapat “meramalkan” kejadian di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan
keberhasilan peserta didik. Kurikulum adalah sesuatu yang sangat menentukan
atau paling tidak dapat meramalkan hasil pendidikan yang diharapkan. Di samping
itu, kurikulum berkaitan dengan tujuan atau hasil pendidikan yang akan dicapai.
Noor Syam mengatakan bahwa kurikulum harus berorientasi pada tujuan
pendidikan yang akan dicapai, kurukulum adalah isi dan jalan untuk mencapai
tujuan pendidikan.Hubungan antara tujuan pendidikan dengan kurikulum ialah
hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Suatu tujuan baru tercapai bila isi
pendidikan tepat. Dengan kata lain hanya isi yang tepat, kurikulum yang tepat akan
mengantarkan pendidikan mencapai tujuannya. Dalam hubungan demikian, berarti
pula tujuan akan menentukan isi atau kurikulum pendidikan. Artinya berdasarkan
tujuan yang hendak dicapai, kita menetapkan isi pendidikan.
Selanjutnya hubungan kurikulum dengan filsafat terutama nampak pada
bentuk-bentuk kurikulum yang dilaksanakan. Jika asas filosifi yang menjadi latar
belakang pendidikan itu nilai-nilai demokrasi, maka prinsip kebebasan yang
diutamakan dengan tidak mengabaikan prinsip kemanusiaan.
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau
beberapa orang ahli filsafat tentang hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang
ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam
mengapproach suatu masalah akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
berbeda-beda tentang masalah yang sama. Perbedaan itu dapat juga disebabkan
latar belakang pribadi para ahli tersebut di samping pengaruh zaman, kondisi dan
alam pikiran manusia di suatu tempat. Kenyataan ini melatarbelakangi perbedaan
tiap-tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian ajaran
filsafat tersebut disusun dalam suatu sistematika. Klasifikasi inilah yang melahirkan
apa yang kita kenal sebagai suatu aliran. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai
produk suatu zaman atau produk suatu kultural. Dengan demikian suatu ajaran
filsafat dapat merupakan aksi atau reaksi atas sesuatu realita di dalam kehidupan
manusia. Filsafat dapat membentuk cita-cita, idealisme yang secara radikal
berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu. Ide-ide filosofis adalah
jawaban terhadap problema yang manantang pikiran manusia, usaha memenuhi
dorongan rasional manusiawi.

1. Pandangan Filsafat Progresivisme Terhadap Kurikulum.


Sikap progresivisme yang memandang segala sesuatu berasas fleksibelitas,
dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangan
mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksprimental
dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Setiap kurikulum harus terbuka
dan dapat menerima perubahan atau penyempurnaannya. Fleksibelitas ini
dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak
didik dengan sifat-sifat dan kebudayaannya masing-masing. Selain itu
semuanya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena
itu sifat kurikulum yang tidak baku dan dapat direvisi, maka jenis yang memadai
adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh
Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat
mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit. Pengalaman belajar diarahkan
ke perkembangan kepribadian yang penuh dengan jalan memberikan
penghayatan emosional, motorik, intelektual dan sosial yang seluas dan sekaya
mungkin. Menurut progresivisme, yang dipandang maju adalah tipe yang
disebut “Core Corriculum,” ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar
kebutuhan umum.
Core Curriculum maupun kurikulum yang bersendikan pengalaman perlu
disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar
pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait
pada hal-hal yang insidental dan tidak penting. Maka, lingkungan dan
pengalaman yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang
dapat diciptakan dan ditujukan kearah yang telah ditentukan. Kurikulum yang
memenuhi tuntutan ini diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan
metode proyek yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.

2. Pandangan Filsafat Essensialisme Terhadap Kurikulum


Aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme adalah Idealisme dan
Realisme. Tokoh-tokoh Esensialisme adalah G.W. Leibniz, Hegel, Arthur
Schopenhauer. Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume
dan Francis Bacon. Beberapa tokoh Idealisme memandang kurikulum itu
hendaknya berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat.
Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New
Education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas
fundamental tunggal yaitu watak manusia yang ideal. Kegiatan dalam
pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas dasar
ketentuan ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang,
asalkan sejalan dengan fundamental-fundamental itu.
Semua yang ideal adalah baik, yang berisi manifestasi dari intelek, emosi
dan kemauan, ini semua perlu menjadi sumber kurikulum. Berhubung dengan
itu kurikulum hendaknya berisikan ilmu pengetahuan, kesenian dan segala
yang dapat menggerakkan kehendak manusia.
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal
yang lebih jelas, ia menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya
pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat
diumpamakan sebuah rumah yang mempunyai empat bagian ialah:
a. Universum: Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala
manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan
alam, asal-usul tata surya dan lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b. Sivilisasi: Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat.
Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap
lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
c. Kebudayaan: Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian,
kesusastraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d. Kepribadian: Bagian yang bertujuan pembentukkan kepribadian dalam arti
riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam
kurikulum hendaknya diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis,
emosional, dan intelektual sebagai keseluruhan dapat berkembang
harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal.
Dalam lingkungan idealisme adanya gagasan yang merupakan
komponen pengembangan kurikulum cukup lama. Dalam variasi di atas,
nampak adanya kesamaan prinsip, ialah tekanan kepada segi-segi kejiwaan
dan pembentukkan watak dengan menggunakan alat disiplin, pengawasan dan
lain-lainnya. Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakekatnya
kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu berdasarkan atas pribadi anak,
fleksibelitas ini tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan
alam semesta. Untuk itu perlu diadakan perencanaan dengan kesaksamaan
dan kepastian. Di samping itu, kurikulum harus dapat diterima secara normatif
sebagaimana mempelajari nilai-nilai hidup. Butler mengemukakan bahwa
sejumlah anak untuk setiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui
dan mengagumi kitab suci. Sedangkan Demiashkevich menghendaki agar
kurikulum berisikan moralitas yang tinggi.
Realisme mengumpakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun
dengan teratur satu sama lain dan dengan mengingat pola tertentu. Yaitu
disusun dari yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks. Misalnya,
mengenai isi mata pelajaran Matematika dan Bahasa, semula diberikan dasar-
dasar yang fundamental yang selanjutnya menjadi makin meningkat hingga
pelajaran itu berisikan bagian-bagian yang menggunakan angka dan bahasa
sebagai dasar.
Susunan seperti yang diutarakan di atas, dapat diibaratkan sebagai
susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamental atau dasar dari
susunannya yang lebih kompleks. Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar
pikiran ini akan bersifat harmonis.

3. Pandangan Filsafat Perenialisme terhadap Kurikulum.


Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai
zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan,
kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai
zaman yang membutuhkan usaha mengamankan lapangan moral, intelektual
dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang sedang berlayar,
zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme
berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini
merupakan tugas pertama dari filsafat pendidikan.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah
kemasakan. Masak dalam arti akalnya. Akal inilah yang perlu mendapat
tuntutan ke arah kemasakan tersebut.
4. Pandangan Filsafat Pancasila Terhadap Kurikulum.
Negara Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945 sebenarnya adalah
negara Pancasila. Predikat prinsipiil ini berdasarkan ketentuan yuridis
konstitusional bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila sesuai dengan
pembukaan Undang-undang dasar 1945 (alenia ke -4).
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia diangkat dari realita
sosio-budaya dan tata nilai dasar masyarakat Indonesia. Nilai-nilai dasar itulah
yang menjiwai dan merupakan perwujudan kepribadian bangsa, maka identitas
itu diadopsi ke dalam hidup berbangsa dan ber negara. Motivasi demikian
bersumber atas keyakinan bahwa nilai Pancasila adalah keyakinan atau
pandangan hidup bangsa yang benar dan unggul.
Nilai-nilai dasar di dalam sosio-budaya Indonesia hidup dan berkembang
sejak awal terutama meliputi:
a. Kesadaran Ketuhanan dan keagamaan.
b. Kesadaran kekeluargaan.
c. Kesadaran musyawarah.
d. Kesadaran gotong royong dan tolong menolong.
e. Kesadaran tegang rasa atau tepa salira.
Nilai dasar yang potensial ini telah mencapai bentuk, sifat dan kualitas
yang formal dalam rangka sistem kenegaraan Indonesia, sebagaimana terjelma
di dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Dari sinilah melahirkan
Filsafat Pendidikan Pancasila.
Secara sederhana filsafat pendidikan ialah nilai dan keyakinan-keyakinan
filosofis yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas (karakteristik)
suatu sistem pendidikan. Bagi bangsa Indonesia, keyakinan atau pandangan
hidup bangsa, dasar negara Republik Indonesia ialah Pancasila. Oleh karena itu
sistem pendidikan nasional Indonesia dijiwai dan didasari filsafat Pancasila.
Kurikulum yang diorganisasikan berdasarkan wawasan nasional, cita-cita
nasional dan kebutuhan nasional.

D. Manfaat Filsafat Terhadap Kurikulum.


Aliran yang secara nyata mengutamakan peranan yang sangat urgen
pendidikan ialah Empirisme, termasuk Progressivisme sebagai Empirisme radikal.
Hanya pendidikan khususnya dan lingkungan yang baik yang mampu membina
pribadi ideal. Demikian pula aliran Realisme, teori Convergensi misalnya, yang
pendiriannya bahwa bagaimanapun baiknya potensi hereditas, masih harus
dilengkapi dengan lingkungan dan pendidikan yang baik untuk membina pribadi
yang ideal. Adanya lembaga-lembaga dan penyelenggara pendidikan bersumber
atas asas filsafat pendidikan. Jadi inilah fungsi atau manfat filsafat pendidikan yang
paling esensial.
Pada hakekatnya, filsafat dan pendidikan tidak terpisahkan. Filsafat
menetapkan ide-ide atau idealisme, dan pendidikan merupakan usaha merealisasi
ide-ide itu menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku untuk membina kepribadian
manusia. Sebagaimana menurut Brauner bahwa Pendidikan dan filsafat tak
terpisahkan sebab tujuan pendidikan adalah juga tujuan filsafat – kebijaksanaan;
dan jalan yang ditempuh filsafat adalah juga jalan yang dilalui pendidikan – bertanya
dan menyelidiki; yang dapat membimbing ke arah kebijakan.
Selanjutnya Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education” mengatakan,
bahwa berfilsafat dan mendidik adalah dua phase dalam satu usaha. Berfilsafat
adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik,
sedangkan mendidik ialah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu di dalam
kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang
dapat disumbangkan filsafat untuk generasi muda sebagai bimbingan kepada rakyat
dalam membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka dan dengan cara ini demi
menemukan cuita-cita tertinggi suatu filsafat dan melembagakannya dalam
kehidupan mereka.
Demikian pula Nelson B Henry dalam bukunya “Modern Philosophies and
Education” mengatakan bahwa konsepsi pendidikan sebagai suatu fungsi dan
proses sosial tak akan mempunyai arti secara definitif tanpa lebih dahulu adanya
suatu gambaran jenis masyarakat ideal. Melihat pendapat Nelson di atas, bahwa
pendidikan berfungsi sosial yang bermakna dalam suatu gambaran manusia ideal,
manusia yang dicita-citakan hasil dari pendidikan. Gambaran manusia ideal yang
ingin dicapai dalam proses pendidikan itu adalah tujuan pendidikan sebagai arah ke
mana pendidikan akan di bawa. Lembaga pendidikan bertugas untuk mendidik
anak-anak ke arah yang dicita-citakan.
Agar lembaga pendidikan dapat berfungsi untuk membawa cita-cita
sebagaimana yang tergambar dalam tujuan pendidikan, maka diperlukan kurikulum.
Sebagai langkah pertama dalam merencanakan kurikulum adalah merumuskan
tujuan atau arah proses pendidikan serta cara-cara dan alat untuk mencapai tujuan
tersebut. Kurikulum merupakan isi dan jalan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dengan kata lain, manfaat kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat
dalam mencapai tujuan pendidikan. Sebagai alat pendidikan, kurikulum memiliki
bagian-bagian penting dan penunjang yang dapat mendukung operasional
pendidikan secara baik. Komponen pokok kurikulum adalah; 1) komponen tujuan, 2)
Komponen pengetahuan, 3) Komponen kegiatan atau pengalaman belajar, 4)
komponen penilaian. Keempat komponen tersebut saling berhubungan antara satu
dengan yang lain. Sedangkan komponen penunjang kurikulum meliputi 1) Sistem
administrasi dan Supervisi, 2) Bimbingan dan Konseling.
Selanjutnya Stratemeyer berpendapat (dalam Muhammad Noor Syam) bahwa
pendidikan harus menetapkan ke arah ilmu pengetahuan, pengertian-pengertian,
kecakapan-kecakapan yang manakah pengalaman-pengalaman murid akan
dibimbing. Kebijaksanaan ini menentukan scope kurikulum (apa yang harus
diajarkan) dan sequence kurikulum (ruang lingkup atau luas bahan pelajaran).
Luasnya scope kurikulum harus berimbang. Kurikulum yang kaya dengan
jenis vaknya, tanpa intensifikasi atau dalamnya studi berarti hanya memberikan kulit
luarnya saja. Keseimbangan antara luas bahan pelajaran (scope) dan dalam (depth)
suatu kurikulum adalah syarat bagi penguasaan suatu pengetahuan. Penguasaan
teori pengetahuan adalah pangkal pengetahuan praktis. Dan pengetahuan praktis
adalah tujuan pendidikan. Sedangkan sequence adalah urutan pengalaman belajar
atau kapan bahan pelajaran itu diberikan kepada anak didik. Scope dan sequence
erat hubungannya dalam kurikulum. Oleh karena itu bahan harus diberikan dengan
waktu yang tepat. Akan tetapi waktu tepat tidak selalu mudah ditentukan, sering
dilakukan beradasarkan tradisi. Pembaharuan pendidikan harus merubah
kebiasaan lama ini. Subject matter (bahan pelajaran) terdiri atas pengetahuan, nilai-
nilai, dan ketrampilan. Laut bukanlah bahan pelajaran, akan tetapi yang menjadi
bahan pelajaran ialah pengetahuan tentang laut itu. Bahan pelajaran merupakan isi
pendidikan sebagian dari kebudayaan.
Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran sebagai
berikut:
1. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
2. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi
yang lampau.
3. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
4. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam
hidupnya. Herbert Spencer pada tahun 1860 mengajukan pertanyaan: “What
knowledge is of most worth”. Pegetahuan apa yang paling besar manfaatnya,
yang paling berguna bagi manusia dalam kehidupnnya sehari-hari. ?
Pendidikan harus relevan dengan kebutuhan peserta didik.
5. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.

Bagaimana prosedur dalam menentukan bahan pelajaran? Dalam


menentukan bahan pelajaran diperlukan prosedur sebagai berikut:
1. Prosedur menerima para ahli. Terlebih dahulu dirumuskan tujuan pendidikan
agar dapat ditentukan bahan pelajaran yang kiranya sesuai dengan kebutuhan
dan paling serasi untuk mencapainya.
2. Prosedur eksprimental. Dengan melakukan penelitian hingga manakah bahan
itu memang serasi untuk mencapai sasarannya. Metode ini digunakan untuk
penyelidikan keserasian bahan yang khusus untuk tujuan yang spesifik, agar
dapat dikuasai faktor-faktor yang mempengaruhi, agar keilmiahannya dapat
dipertahankan.
3. Prosedur ilmiah atau analitis. Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan
menganalisis situasi di mana bahan pelajaran itu diperlukan. Dapat dianalisis
kegiatan manusia dalam kehidupannya sehari-hari seperti kompetensi menjadi
perawat, penerbang, sekretaris dan lain-lain. Prosedur ini dapat menggunakan
wawancara dan observasi serta metode lainnya pada para pekerja/tugas.
4. Prosedur konsensus. Memperoleh konsensus dengan meminta pendapat orang
lain yang berkompeten dalam bidang tertentu seperti tokoh masyarakat,
perusahaan dan sebagainya.
5. Prosedur-prosedur lainnya seperti a) social functions procedure, b) persistent
life situation procedure, c) adolescent needs or problems procedure,
menentukan bahan pelajaran menurut prinsip-prinsip utama yang mendasari
kurikulum.
Kemudian untuk menentukan sequence dalam kurikulum dapat dilakukan dua
cara yakni pertama menentukan bahan pelajaran terlebih dahulu dan peserta didik
menyesuaikan, kedua menyesuaikan bahan pelajaran dengan tingkat
perkembangan anak. Sequence sering dihubungkan dengan soal penempatan
bahan pelajaran, seperti dari yang mudah ke sulit, dari yang sederhana ke
kompleks, dari bagian keseluruhan atau sebaliknya. Sedangkan urutan proses
belajar diserahkan kepada guru. Selain itu, faktor-faktor dalam menempatkan bahan
pelajaran adalah: 1) taraf kesulitan bahan pelajaran, 2) apersepsi atau pengalaman
lampau 3) kematangan anak 4) usia mental anak 5) Minat anak.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan, para penyusun kurikulum banyak
memperoleh bantuan hasil pemikiran (seperti di Indonesia) dari buku “Taxonomy of
Education Objectives” oleh Benyamin S. Bloom cs. Tujuan-tujuan pendidikan itu
digolongkan ke dalam tiga golongan dan setiap bagian dipecahkan dalam bagian
yang lebih kecil. Pembagian itu adalah: 1) bidang kognitif (cognitive domain)
meliputi; pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi, 2) bidang
afektif (effevtive domain) meliputi; sikap, nilai-nilai, interest, minat dan apresiasi, 3)
bidang psikomotorik (psycho-motor domain) meliputi; ketrampilan, kemampuan,
kebiasaan dan ketrampilan fisik dan mental.
Hasil pemikiran Bloom ini menjadi populer, karena dalam proses dan hasil
pendidikan yang terarah pada tujuan sehingga dapat diamati dan diukur tingkat
keberhasilannya. Bloom Cs memberikan pegangan tentang cara-cara merumuskan
tujuan secara spesifik dalam pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
Filsafat sebagai aktivitas pikir murni atau kegiatan akal manusia dalam usaha
untuk mengerti secara segala sesuatu. Filsafat menggunakan kemampuan pikir
yang murni dari setiap manusia. Bahkan berfilsafat merupakan daya dan tingkat
berpikir manusia yang tertinggi dalam usaha memahami kesemestaan (segala
sesuatu).
Filsafat mengajukan pertanyaan dari menyelidiki faktor-faktor realita dan
pengalaman yang banyak dalam lapangan pendidikan. Oleh karena itu filsafat
mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita, maka dikupaslah mengenai
konsep tentang tujuan atau arah pendidikan serta metodologi pendidikan yang di
rumuskan dalam kurikulum.
Sedangkan kurikulum mengandung arti tidak sekedar kumpulan subjek
matter, melainkan rencana atau program yang menjadi tanggung jawab lembaga
pendidikan sebagai pihak penyelenggara. Di dalam rencana atau program tersebut
diperlukan landasan filosofis, terutama dalam menentukan tujuan atau arah
pendidikan dan tujuan kurikuler.
Ide -ide filsafat pendidikan itu, antara lain tersimpul di dalam pandangan:
1. Teori (hukum) Empirisme.
Ajaran filsafat empiris yang dipelopori oleh John Locke (1632 – 1704) yang
mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan,
terutama pendidikan. John Locke berkesimpulan bahwa tiap individu lahir
sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang menulisnya, teori ini terkenal
dengan nama tabularasa atau teori empirisme.
2. Teori (hukum) Nativisme.
Ajaran filsafat Nativisme yang dapat digolongkan ke dalam filsafat Idealisme
berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh hereditas,
faktor dalam yang bersifat kodrati.
3. Teori (hukum) Konvergensi.
Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerja sama kedua
faktor, baik internal (potensi hereditas) maupun faktor eksternal (lingkungan,
pendidikan). Tiap pribadi adalah proses konvergensi antara faktor internal dan
eksternal. Teori ini dikemukakan oleh William Stern (1871 – 1938) dan dikenal
sebagai teori konvergensi.

Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau


beberapa orang ahli filsafat tentang hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang
ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam
mengapproach suatu masalah yang melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
berbeda-beda tentang masalah yang sama. Perbedaan itu dapat juga disebabkan
latar belakang pribadi para ahli tersebut di samping pengaruh zaman, kondisi dan
alam pikiran manusia di suatu tempat.
1. Pandangan Filsafat Progresivisme Terhadap Kurikulum.
Sikap progresivisme yang memandang segala sesuatu berasas fleksibelitas,
dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangan mengenai
kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksprimental dan adanya
rencana dan susunan yang teratur. Setiap kurikulum harus terbuka dan dapat
menerima perubahan atau penyempurnaannya.
2 Pandangan Filsafat Essensialisme Terhadap Kurikulum
Aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme adalah Idealisme dan
Realisme. Beberapa tokoh Idealisme memandang kurikulum itu hendaknya
berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat.
Semua yang ideal adalah baik, yang berisi manifestasi dari intelek, emosi dan
kemauan, ini semua perlu menjadi sumber kurikulum. Berhubung dengan itu
kurikulum hendaknya berisikan ilmu pengetahuan, kesenian dan segala yang
dapat menggerakkan kehendak manusia.
kurikulum dapat diumpamakan sebuah rumah yang mempunyai empat bagian
ialah:
a. Universum: Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala
manifestasi hidup manusia.
b. Sivilisasi: Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat.
c. Kebudayaan: Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian,
kesusastraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d. Kepribadian: Bagian yang bertujuan pembentukkan kepribadian dalam arti
riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Realisme mengumpakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan
teratur satu sama lain disusun dari yang paling sederhana sampai ke yang paling
kompleks. Misalnya, mengenai isi mata pelajaran Matematika dan Bahasa,
semula diberikan dasar-dasar yang fundamental yang selanjutnya menjadi makin
meningkat hingga pelajaran itu berisikan bagian-bagian yang menggunakan
angka dan bahasa sebagai dasar.
3 Pandangan Filsafat Perenialisme terhadap Kurikulum.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang
membutuhkan usaha mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan
sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang sedang berlayar, zaman memerlukan
pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari
dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas pertama dari
filsafat pendidikan.
4. Pandangan Filsafat Pancasila Terhadap Kurikulum.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia diangkat dari realita sosio-
budaya dan tata nilai dasar masyarakat Indonesia. Nilai-nilai dasar itulah yang
menjiwai dan merupakan perwujudan kepribadian bangsa, maka identitas itu
diadopsi ke dalam hidup berbangsa dan ber negara. Motivasi demikian
bersumber atas keyakinan bahwa nilai Pancasila adalah keyakinan atau
pandangan hidup bangsa yang benar dan unggul.

Aliran yang secara nyata mengutamakan peranan yang sangat urgen


pendidikan ialah Empirisme, termasuk Progressivisme sebagai Empirisme radikal.
Hanya pendidikan khususnya dan lingkungan yang baik yang mampu membina
pribadi ideal. Demikian pula aliran Realisme, teori Convergensi misalnya, yang
pendiriannya bahwa bagaimanapun baiknya potensi hereditas, masih harus
dilengkapi dengan lingkungan dan pendidikan yang baik untuk membina pribadi
yang ideal. Adanya lembaga-lembaga dan penyelenggara pendidikan bersumber
atas asas filsafat pendidikan. Jadi inilah fungsi atau manfat filsafat pendidikan yang
paling esensial.
Agar lembaga pendidikan dapat berfungsi untuk membawa cita-cita
sebagaimana yang tergambar dalam tujuan pendidikan, maka diperlukan kurikulum.
Sebagai langkah pertama dalam merencanakan kurikulum adalah merumuskan
tujuan atau arah proses pendidikan serta cara-cara dan alat untuk mencapai tujuan
tersebut. Kurikulum merupakan isi dan jalan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dengan kata lain, manfaat kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat
dalam mencapai tujuan pendidikan. Sebagai alat pendidikan, kurikulum memiliki
bagian-bagian penting dan penunjang yang dapat mendukung operasional
pendidikan secara baik. Komponen pokok kurikulum adalah; 1) komponen tujuan, 2)
Komponen pengetahuan, 3) Komponen kegiatan atau pengalaman belajar, 4)
komponen penilaian. Keempat komponen tersebut saling berhubungan antara satu
dengan yang lain. Sedangkan komponen penunjang kurikulum meliputi 1) Sistem
administrasi dan Supervisi, 2) Bimbingan dan Konseling.
Pendidikan harus menetapkan ke arah ilmu pengetahuan, pengertian-
pengertian, kecakapan-kecakapan yang manakah pengalaman-pengalaman murid
akan dibimbing. Kebijaksanaan ini menentukan scope kurikulum (apa yang harus
diajarkan) dan sequence kurikulum (ruang lingkup atau luas bahan pelajaran).
Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran sebagai
berikut:
1. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
2. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi
yang lampau.
3. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
4. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam
hidupnya.
5. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.

Dalam menentukan bahan pelajaran diperlukan prosedur sebagai berikut:


1. Prosedur menerima para ahli.
2. Prosedur eksprimental.
3. Prosedur ilmiah atau analitis.
4. Prosedur konsensus.
5. Prosedur-prosedur lainnya seperti a) social functions procedure, b) persistent
life situation procedure, c) adolescent needs or problems procedure,
menentukan bahan pelajaran menurut prinsip-prinsip utama yang mendasari
kurikulum.

Kemudian untuk menentukan sequence kurikulum dapat dilakukan dua cara


yakni pertama menentukan bahan pelajaran terlebih dahulu dan peserta didik
menyesuaikan, kedua menyesuaikan bahan pelajaran dengan tingkat
perkembangan anak. Tujuan-tujuan pendidikan itu digolongkan ke dalam tiga
golongan dan setiap bagian dipecahkan dalam bagian yang lebih kecil yakni 1)
bidang kognitif (cognitive domain) meliputi; pengetahuan, pengertian, aplikasi,
analisis, sintesis, evaluasi, 2) bidang afektif (effevtive domain) meliputi; sikap, nilai-
nilai, interest, minat dan apresiasi, 3) bidang psikomotorik (psycho-motor domain)
meliputi; ketrampilan, kemampuan, kebiasaan dan ketrampilan fisik dan mental.
Proses dan hasil pendidikan terarah pada tujuan sehingga dapat diamati dan diukur
tingkat keberhasilannya.

Bibliografi
Barnadib, Imam, 1994, Filsafat Pendidikan; Pengantar Mengenai Sistem dan
Metode, Yogyakarta, Fakultas Ilmu Pendidikan.

Howard, C. Craig, 1991, Theories of General Education; A Critical Approach, Mac


Millan Academic and Profesional, LTD.

Kilpatrick, William H, Philosophy of Education, New York, Mac Millan Coy.


Kneller, George F, 1971, Introduction The Philosophy of Education, New York,
John Wiley & Sons, Inc.

Noor Syam, Muhammad, 1993, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional.

Nasution, S, 1992, Asas-asas Kurikulum, Bandung, Jemmars.

Suhartono Suparlan, 2008, Filsafat Pendidikan, Yogjakarta, Ar-Ruzz Media.

Subandiyah, 1992, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta, PT. Raja


Grafindo Persada.

Saifullah, Ali, T.Th, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional.

Wiramihardja, Sutardjo A, Pengantar Filsafat; Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat,


Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia,
Aksiologi, Bandung, PT, Refika Aditama.

You might also like