You are on page 1of 8

Ringkasan Haruskah Kita Bermadzhab (1)

Pembicara : Ustadz Badrusalam


Pada : 29 Sept 2007
Durasi : 49:21 menit
Penulis Kitab : Muhammad Sultan al-Maksumi al-Khajandi

Kitab ini ditulis oleh ulama asal Uni Soviet yang hidup pada kurun 14 H, dalam
lingkungan yang fanatik madzhab. Di akhir hayatnya beliau berhijrah ke Makkah
dan di sana mengajar ilmu sehingga akhir wafat beliau. Kitab ini ditulis sebagai
hadiah kepada kaum muslimin yang berada di Jepang, yang ketika itu bingung dengan
adanya madzhab-madzhab di mana setiap madzhab mengaku bahwa madzhab
merekalah yang harus diikuti dan madzhab merekalah yang di atas kebenaran.

Buku ini telah ditahqiq oleh Syeikh Salim bin ‘Id al-Hilaly, salah seorang murid
Syeikh Muhammad Nasiruddin al-Albany yang merupakan seorang ahli hadits zaman
ini. Syeikh Salim telah memberikan mukaddimah mengenai wajibnya berhukum
pada al-Quran dan Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam. Menurut
Syeikh Salim, manusia mulanya di atas satu keyakinan, satu aqidah, di atas agama
Nabi Adam selama 10 abad. Ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim,
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abbas bahwa semua sepuluh generasi pertama di atas satu
aqidah. Kemudian syaithan telah menyelewengkan mereka dengan mengharamkan
apa yang Allah halalkan dengan berbagai cara, menyimpangkan anak Adam dari jalan
yang hak kepada keharaman bukan dengan secara langsung tetapi secara halus.
Karena itu Allah telah memperingatkan supaya tidak mengikuti langkah-langkah
syaitan. Bermula dari kaum Nabi Nuh alayhi salam seperti yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas, bahwa sewaktu meninggalnya orang-orang shalih lalu dibuatkannya
patung-patung dan gambar-gambar mereka. Itu langkah syaitan menyeret manusia
kepada kesyirikan. Mereka menghalalkan apa yang haram sehingga manusia
bercerai-berai dan tidak mengikut kebenaran. Maka Allah mengutuskan Rasul terus
menerus agar hanya Allah saja yang disembah dan firman Allah lah yang menjadi
pemutus kepada tempat-tempat ikhtilaf yang diperselisihkan manusia.

Terjadinya ikhtilaf setelah muncul pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Tidak


berlaku ikhtilaf yang bersifat keyakinan atau aqadiyah pada generasi pertama karena
apabila sahabat berselisih, mereka segera kembalikan kepada Rasulullah sallallahu
alayhi wasallam. Begitulah yang berlaku seterusnya dari zaman Abu Bakar
as-shiddiq, Umar al-Khattab sehinggalah ke zaman Utsman apabila pada akhir hayat
Utsman muncul usaha-usaha untuk merusakkan agama. Seorang yahudi bernama
Abdullah bin Saba, berpura-pura masuk Islam dengan bertujuan merusakkan Islam,
berusaha merusakkan keharuman nama Utsman bin ‘Affan dengan mem-provokasi
massa dengan mengatakan bahwa Utsman telah menzholimi Ummahatul Mukminin,
lalu terjadi demo besar-besaran oleh rakyat Iraq di mana sepuluh ribu personil telah
ke Madinah meminta Utsman supaya turun dari dari jabatan. Kemudian terjadi
pembunuhan Utsman dan mulai dari situ pintu fitnah terus menerus terjadi.
Orang-orang Khawarij mengkafirkan Ali dan Muawiyah, orang-orang Syi’ah
mengatakan Ali sebagai Tuhan dan sebagian mereka pula berkata Ali orang yang
paling berhak menjadi khilafah. Kemunculan pemikiran-pemikiran sesat itu
membawa kepada munculnya perselisihan dalam tubuh umat Islam hasil dari rekayasa
musuh-musuh Islam.

Adalah menjadi kewajiban kita menjadikan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan
sabda Rasulullah sallallahu alayhi wa sallam sebagai pemutus ikhtilaf di
tempat-tempat yang diperselisihkan. Dalil untuk keadaan ini adalah firman Allah
dalam Surah al-Baqarah : 213, yang artinya bahwa manusia pada mulanya di atas satu
aqidah dan setelah itu Allah mengutus para Nabi untuk memberi khabar gembira dan
peringatan, dan menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran dan hak agar ia
menghukumi manusia dalam perkara yang diperselisihkan. Kedatangan Nabi
Muhammad sallallahu ‘alayhi wa sallam pula di masa-masa kekosongan para Rasul,
ketika seluruh manusia telah kafir kepada Allah, dunia dipenuhi kegelapan jahiliyah,
kebobrokan aqidah, kemerosotan moral dan merajalelanya kemaksiatan.
Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam diutuskan untuk menjelaskan kepada manusia
jalan paling lurus dan beliau memberi hidayah kepada manusia dengan izin Allah
tatkala mereka berselisih. Dan membimbing mereka kepada jalan kebenaran.

Firman Allah dalam Surah an-Nahl:64, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman” ayat ini menjelaskan kewajiban para Rasul yaitu menyampaikan dengan
sejelas-jelasnya apa yang manusia harus ikuti, mengikut apa yang diwahyukan kepada
beliau. Yang demikian, datangnya para Rasul dengan Kitab-Kitab merupakan
nikmat paling besar kepada manusia dan tanpa mereka manusia akan hidup seperti
binatang, tiada bimbingan, tidak tahu jalan yang haq dan bathil, tidak tahu jalan yang
harus ditempuh untuk menuju syurga.

Di dalam Surah al-Ahzab:1-2, Allah berfirman dengan maksudnya: “Wahai Nabi,


bertaqwalah kamu kepada Allah dan jangan kamu taati orang-orang kafir dan orang
munafiq itu, sesungguhnya Allah maha tau lagi maha bijaksana dan ikutilah apa yang
Allah telah wahyukan kepada engkau. Sesungguhnya Allah akan mengkabarkan
apa yang telah kamu lakukan itu.” Dari ayat tersebut jelas perintah Allah kepada
Nabi Muhammad sallallahu ‘alayhi wa sallam untuk mengikut apa yang telah Allah
wahyukan, justru apa lagi kita sebagai umatnya. Maka sungguh sangat sesat ketika
orang-orang Sufi mengatakan bahawa wali itu di atas Nabi dan Rasul, sehingga
mereka tidak perlu mengikuti ajaran Nabi dan para Rasul. Jelas sekali ini
merupakan perkataan orang-orang zindiq yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Di dalam Surah al-An’am:106 yang artinya “Ikutilah apa yang telah diwahyukan
kepadamu dari Rabbmu; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia; dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik.” dan Surah al-Jatsiyah:18, yang artinya
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.” Allah telah menyuruh Nabi-Nya untuk
mengikuti wahyu dan melarang Nabi-Nya dari mengikuti nafsunya orang-orang yang
bodoh. Ternyata Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam telah menjawab seruan itu
dan memberi sebenar-benar penghurmatan dan kedudukan yang mulia dengan
melaksanakan perintah Rabb-nya. Dan Allah telah menyaksikan hal itu seperti yang
terkandung dalam maksud Surah An-Najm: 3-4, bahwa Muhammad tidak pernah
berbicara dari hawa nafsunya melainkan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Imam Malik juga tegas mengatakan bahawa setiap orang boleh diambil dan di tolak
perkataannya kecuali Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam karena beliau tidak
berbicara kecuali dari wahyu Allah. Adalah menjadi kewajiban para Rasul
menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya dan menjelaskannya kepada
manusia sementara kewajiban kita untuk mengikuti wahyu yang diturunkan kepada
Nabi dan Rasul yang berupa al-Quran dan Sunnah dan tidak boleh mengikuti hawa
nafsu manusia.
Di dalam Surah Al-Maidah: 67, yang Artinya “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” Allah menyuruh Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam
menyampaikan apa yang telah diturunkan kepada beliau dengan jaminan akan
menjaga beliau dari manusia, dan Allah juga menegaskan tidak akan memberi
hidayah kepada orang-orang kafir. Dan bahkan mengancam akan melaknat
orang-orang yang menyembunyikan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman pada Surah Al
Baqarah ayat 159, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu
dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.”
Dalam Surah Al-Maidah:3 yang artinya “….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu…” yang bermakna bahwa telah disempurnakan agama
dan nikmat-Nya dan Dia ridha Islam sebagai agama. Dalam hal ini, Aisyah
radhiyallahu anha telah berkata kepada Masruh, seperti yang diriwayatkan oleh
Bukhari-Muslim, bahwa siapa saja yang menyampaikan kepadanya bahwa
Muhammad sallallahu ‘alayhi wa sallam menyembunyikan sedikit pun dari apa yang
Allah turunkan kepada beliau maka orang itu telah berdusta.

Semua kaum muslimin juga menyaksikan pada Haji Wadha’ yang sangat masyhur,
dalam khutbahnya beliau sallallahu ‘alayhi wa sallam telah bertanya kepada para
sahabat: “Dan kalian akan ditanya tentangku, apa yang akan kalian jawab?”
Maka dijawab oleh para sahabat: “Kami bersaksi sesungguhnya engkau telah
menyampaikan risalah Rabb-mu dan menasihati umatmu dan engkau telah
menyelesaikan apa yang telah menjadi kewajibanmu.” Lalu Rasulullah sallallahu
‘alayhi wa sallam segera mengacungkan jari telunjuknya ke langit dan kemudian
menunjukkannya kepada manusia sambil berkata: “Ya Allah, saksikan. Ya Allah,
saksikan bahwa aku telah menyampaikan semuanya.” Tidak ada satu pun kebaikan
kecuali telah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam telah sampaikan kepada kita
dan tidak ada satu pun keburukan kecuali telah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa
sallam terangkan kepada kita. Sepertimana persaksian Abu Dzar yang mengatakan
“Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam meninggalkan kami, dan tidaklah ada seekor
burung pun yang mengepakkan sayapnya kecuali Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa
sallam telah menyebutkan ilmu padanya”, seterusnya menyebutkan bahwa Allah telah
menyuruh Rasul-Nya untuk mengikuti wahyu lalu menyampaikan dan
menjelaskannya kepada manusia, untuk menghukumi di antara mereka ke atas perkara
yang diperselisihkan, karena hanya Allah yang paling tau maslahat dan syari’at yang
paling cocok untuk makhluk-Nya. bahwa Allah sebagai Pencipta, lebih faham dan
paling tau tentang manusia, apa-apa yang menjadikan urusan mereka lurus dan
apa-apa yang akan memperbaiki keadaan mereka. Sesungguhnya Allah yang paling
Lembut lagi Maha Mengabarkan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Mulk :
14, yang artinya “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu
lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?.”

Seandainya Allah menyerahkan kepada manusia untuk berhukum, sangat pasti


perselisihan akan berlaku karena perbedaan manusia pada tempat dan waktu.
Manusia bersifat lemah tidak mampu untuk membuat hukum yang kukuh dan tetap,
selalu akan berubah. Yang demikian, Allah telah mewajibkan hamba-hamba-Nya
untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya karena kebaikan hanyalah ada pada ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya dan keburukan jika menyimpang dari ketaatan itu.
Allah menyimpan petunjuk-Nya di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya dan
setiap mukmin dan mukminah wajib tunduk kepada Al-Quran dan Sunnah dan apa
yang telah Allah dan Rasul-Nya putuskan. Tidak ada pilihan bagi mereka untuk
membuat hukum sendiri atau memilih-milih hukum yang sesuai mengikut selera,
sebagaimana maksud firman Allah dalam Surah al-Ahzab : 36, yang artinya “Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.”

Penegasan bahwa sesiapa yang mentaati Rasul berarti telah mentaati Allah terkandung
dalam ayat 80 Surah an-Nisaa, yang artinya “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”
Allah telah mewanti-wanti (mewaspadai) bahwa orang yang berani menyimpang dari
perintah-Nya akan ditimpa fitnah dan adzab yang pedih. Allah berfirman dalam Surah
An Nuur ayat 63, yang artinya “… maka hendaklah waspada orang-orang yang
menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih“
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, fitnah yang dimaksudkan itu adalah syirik,
karena orang yang memaksiati Allah dan Rasul-Nya ada terbetik dalam hatinya ke
arah kesesatan. Telah kita ketahui bagaimana Allah mengadzab kaum Tsamud,
kaum ‘Ad dan Saba’ karena mereka telah menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam Surah An Nur ayat 24, yang artinya Katakanlah: "Taat kepada
Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya
kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu
sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu
melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan penyampaian yang nyata."

Di dalam hadith riwayat Bukhari, Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam


memberitahu sahabat bahwa setiap umat beliau sallallahu ‘alayhi wa sallam akan
masuk surga kecuali orang-orang yang enggan. Beliau juga berpesan: Jagalah
Allah niscaya Allah akan menjagamu. Ketaatan kepada Allah membawa banyak
keberuntungan. Mentaati Allah dan Rasul-Nya berarti menjaga agama Allah.
Ada kebahagiaan dan ketenangan di dalam hatinya. Allah akan menjaganya dari apa
yang tidak diingininya, dunia, agama, harta, keturunan dan akhiratnya. Bahkan
ketika sakaratul maut, Allah akan menjaganya sehingga ia pun mati di atas husnul
khotimah.

Di dalam Surah an-Nisaa: 59, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
ditegaskan kepentingan dan kewajiban kita kembali berhukum kepada al-Quran dan
as-Sunnah jika terjadi perselisihan dalam apa saja masalah keduniaan. Menurut Ibnu
Taimiyah, dalam masalah ikhtilaf tidak boleh kita berhujjah dengan pendapat ulama,
hendaklah berhukum dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah sebagai bukti
benarnya keimanan seseorang. Karena orang yg tidak kembali kepada Al Quran dan
As-Sunnah, dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan Allah berfirman pada
surah An-Nisaa ayat 65, yang artinya “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.”. Maka segera kembalikan perselisihan kepada Allah dan
Rasul-Nya.

o-o-o-o-o-o-o

Untuk lebih lengkapnya dengar kajian di www.radiorodja.com

You might also like