You are on page 1of 7

Pendidikan di Indonesia

Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan
yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya
menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya
ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan (bahkan sampai berdebat kusir hehehe)
tentang pendidikan ini. Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah sudah ada
BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”.
Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu
lingkungan sekolah.

Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau
belum? Ada komputer atau enggak?”. Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak
gituan. sama aja!”

Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana
buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat,
disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC,
prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.

Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti
melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan
SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial
antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.

Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai
prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta.
Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka
tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.

Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang
pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik
uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri.
Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.

Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak
manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon
terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).
Kemiskinan Di indonesia.
Pada mulanya adalah kemiskinan. Lalu pengangguran. Kemudian kekerasan dan kejahatan [crime].
Martin Luther King [1960] mengingatkan, "you are as strong as the weakestof the people." Kita tidak
akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk
menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah.

Sesungguhnya kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum
kemerdekaan Pemerintah Kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia
[Pulau Jawa]. Pada saat itu indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk yang pesat
[Soejadmoko, 1980].

Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu makin akut. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009
saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen [www.bps.go.id]. Kemiskinan tidak hanya terjadi di
perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan
ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.

Pertanyaannya seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia? Jawabannya mungkin sangat


parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa
kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini.

Hakikat Kemiskinan

Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia tetapi pemahaman kita
terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang
menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai
"sesuatu" yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja.

Hari Susanto [2006] mengatakan umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah
seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak bisa dipantau dengan
memakai ukuran peningkatan pendapatan atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang.
Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor. Apakah itu sosial-budaya, ekonomi,
politik, maupun hukum. Menurut Koerniatmanto Soetoprawiryo menyebut dalam Bahasa Latin ada
istilah esse [to be] atau [martabat manusia] dan habere [to have] atau [harta atau kepemilikan]. Oleh
sebagian besar orang persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin
adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat
ekonomis semata.

Kondisi Umum Masyarakat

Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta
bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat.
Bapenas [2006] mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup,
serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik. Baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini
semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus
sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya
mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara
15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat "signifikan." Jumlah pengangguran
terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi,
kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan "Nasi Aking."
Dampak Kemiskinan

Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama,
pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7
juta orang. Jumlah yang cukup "fantastis" mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi
bangsa saat ini.

Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak
bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli
masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan,
nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.

Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah
Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk
mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam
konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi
meningkatkan angka kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi
pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya
[74,99 persen].

Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang.
Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau
pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya
banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi
membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus
dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].

Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari
pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal.
Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya
maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan
cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak
keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia
mendapatkan uang dari memalak.

Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini.
Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah
atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab,
mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.

Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari
kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang
yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika
ini yang terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan "pemiskinan struktural" terhadap rakyatnya.

Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah
berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan
seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya
pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala
bidang.

Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap
klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang
biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat
ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari
kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan
"keamanan" dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif
disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
Kesehatan di Indonesia

Sebagai Negara berkembang, Indonesia masih tergolong Negara yang kurang peduli dengan
kualitas mutu kesehatan di tengah masyarakat. Salah satu bukti nyatanya adalah dengan kurangnya
tenaga medis baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Ditengah-tengah banyaknya isu yang
menerpa negeri ini, nampaknya isu kesehatan masih tergolong dalam kebijakan yang stagnant dan
belum terkoordinir. Sebut saja masalah penyakit musiman seperti demam berdarah, malaria dan
sebagainya, dimana dalam penanganannya masih terkesan instant. Dimana belum terlihat upaya dan
kebijakan pemerintah yang bersifat investasi agar wabah tersebut tidak terulang lagi.

Ditinjau dari segi tenaga medis lagi, kebijakan pemerintah masih belum tepat sasaran. Salah
satu indekasi tersebut terlihat dari tingkat kebijakan pemerintah yang menggunakan subsidi atau
beasiswa di perguruan tinggi. Jika kita masuk atau melakukan survei ke perguruan tinggi untuk
fakultas kedokteran, maka jagan kaget jika kita akan banyak menjumpai mahasiswa asing yang
menimba ilmu dengan biaya subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Adapun factor yang sangat
mendorong terjadinya hal ini adalah perlombaan dari perguruan tinggi (terutama PTN) dalam
membentuk image brand di masyarakat. Adanya isu yang mengatakan bahwa semakin banyak
mahasiswa asing yang ada di suatu perguruan tinggi, maka dapat diasumsikan oleh masyarakat bahwa
perguruan tinggi tersebut memilki mutu yang baik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa system
pemerintahan yang sekarang berjalan (di era reformasi) adalah menggunakan system otonomi daerah.
Peranan perubahan sistempemerintahan ini memiliki dampak positif dan negative dalam peningkatan
mutu kesehatan di Indonesia. Faktor positifnya adalah daerah akan lebih dapat memiliki peranan
dalam megatur kebijakan pemerintahan daerahnya (termasuk kebijakan dalam bidang kesehatan
didaerahnya). Hal ini tentunya akan membuka lebar-lebar pintu bagi generasi muda didaerah tersebut
agar dapat mendapatkan dan membuaka lowongan kerja baru (terutama dalam kesehatan).

Diantaranya adalah (1). Jenis penyakit atau plonya yang semakin berkembang (semakin kompleks.
Perkembangan dunia medis sangatlah pesat dalam beberpa tahun terakhir, namun sayangnya hal itu
juga diikuti oleh perkembangan jenis penyakit yang terjadi di masyarakat. Salah satu yang harus
diperhatikan oleh pemerintah adalah jenis penyakit yang bias menular (baik yang mudah maupun
susah). (2). Tingginya kesenjangan social di masyarakat. Jelas hal ini menjadi masalah besar, karena
rendahnya tingkat penghasilan dan pendapatan individu akan sangat mempengaruhi tunjangannya
dalam kesehatan.Apalagi sampai saat ini pemerintah belum bias mensubsidi 100% tunjangan
kesehatan masyarakat (terutama masyarakat menengah ke bawah). (3). Menurunnya tingkat fasilitas
public atau yang sangat dikuatirkan adalah makin banyaknya fasilitas kesehatan public beralih ke
pihak swasta sehingga akan mengarahkan ke tujuan kemersialisasi kesehatan. Dan masih banyak
tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh dunia medis di tanah air.

You might also like