You are on page 1of 154

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai Negara demokrasi, Indonesia melakukan pemilihan umum (Pemilu)
dalam periode lima tahun sekali. Definisi Pemilu berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945. Dari periode ke periode, sistem pemilihan umum di Indonesia
berubah sesuai dengan berubahnya corak pemerintahan Indonesia, dari orde baru ke
dalam orde reformasi. Perubahan sistem pemilu tersebut juga diikuti dengan
perubahan Undang-Undang Pemilu yang berimplikasi kepada perubahan cara
memilih. Di Indonesia, lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan
umum adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan di bawah pengawasan dari
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pemilu memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan
(representative government) yang merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi
suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Definisi demokrasi menurut
Huntington (1995) adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan
kolektif tertinggi dalam sistem ini dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur,
dan berkala. Karena itu, pemilu tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah
akan keabsahan kekuasaannya, juga yang terpenting adalah sebagai sarana bagi
rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (Amirudin, 2008: 11). Pemilu mempunyai beberapa fungsi
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (Prihatmoko, 2008: 48-50), yaitu: a)
Sebagai sarana legitimasi politik; b) Sebagai perwakilan politik; c) Sebagai

1
mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa; d) Sebagai sarana pendidikan
politik bagi rakyat.
Langkah awal untuk mendorong pemilu yang demokratis adalah dengan
memberikan informasi mengenai pemilu langsung dan visi-misi calon peserta pemilu
kepada masyarakat. Tidak saja dalam bentuk pemaparan satu arah, melainkan juga
dialog interaktif agar masyarakat secara terbuka dapat menilai kapasitas dan
komitmen calon peserta pemilu terhadap dinamika yang berkembang nyata di
masyarakat yang kompleks ini. Dialog publik dengan berbagai komponen masyarakat
dapat menjadi salah satu sarana yang efektif untuk membangun komunikasi dan
dukungan dari masyarakat, baik terhadap kebijakan maupun langkah-langah teknis
yang menjadi visi dan misi calon peserta pemilu. Tugas inilah yang diemban KPU
sebagai lembaga penyelenggara pemilu 2009, demi tercapainya pemilu yang
demokratis. KPU dituntut untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat secara
professional, proporsional, dan bertanggung-jawab. KPU harus memberikan
konstribusi yang nyata di bidang pelayanan publik dalam bidang pemilu sebab pemilu
merupakan sarana pendidikan politik di tingkat nasional dan lokal melalui sepuluh
prinsip penerapan, yaitu penyediaan pelayanan publik yang meliputi kesederhanaan,
kepastian, waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana &
prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, dan keramahan serta
kenyamanan.(KPU,http://www.pemilu.kpu.go.id/index/php/option/com/content&task
view32 itemid62.html, akses 08 November 2009).

Sebagai warga negara Indonesia, setiap individu mempunyai hak dan


kewajiban masing-masing. Begitu pula dalam pemilihan umum, masyarakat
Indonesia yang telah mendapatkan hak pilihnya berhak untuk turut berpartisipasi
dalam pemilihan umum demi tercapainya kesuksesan pemilu di Indonesia. Hak
tersebut juga menyangkut hak-hak pemilih lainnya meliputi hak untuk terdaftar
sebagai pemilih, hak untuk menentukan pilihan secara mandiri, hak atas kerahasiaan
pilihan, hak untuk bebas dari intimidasi, hak untuk memperoleh informasi mengenai

2
pemilu, hak untuk memantau dan hak untuk melaporkan adanya pelanggaran pemilu.
Berbagai hak pemilih di atas dilindungi oleh UU Pemilu No.12/2003.
(Gani, http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10327.html,
akses 12 Januari 2009).
Esensi dari pemilu akan berhasil apabila seluruh masyarakat Indonesia yang
telah mempunyai hak sebagai warga negara Indonesia menggunakan hak tersebut
dengan sebaik-baiknya, bukan sekedar memeriahkan pesta demokrasi, namun juga
untuk menunjukkan konstribusinya demi masa depan bangsa ini. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Prihatmoko (2008: 46) bahwa keberhasilan pemilu
dapat ditunjukkan dengan adanya partisipasi politik rakyat yang secara sadar
menggunakan hak mereka untuk memilih sesuai dengan hati nurani, demi masa depan
demokrasi Indonesia. Untuk mewujudkan esensi tersebut, pendidikan pemilih perlu
diberikan kepada masyarakat awam terutama para pemilih pemula/berpendidikan
rendah. Kendala rendahnya masyarakat dalam menggunakan hak pilih tidak lepas dari
peran aparat pemerintah dan seluruh anggota masyarakat sebagai pemilih yang belum
memahami betul peraturan yang ada. Sebagai pemilih, masyarakat diharapkan dapat
memahami hak dan kewajibannya serta dapat menempatkan diri sesuai porsi yang
telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hasil riset yang dilakukan oleh Asia Foundation 1998 menyimpulkan bahwa
kurang demokratisnya pelaksanaan pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru, selain
disebabkan oleh banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dan
parpol kontestan pemilu, juga disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat
tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan pelaksanaan pemilu, seperti tentang
demokrasi, kebebasan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan tentang
kaitan antara pemilu dan demokrasi (Rita, 1999: 1). Hasil riset ini menyadarkan
bahwa harus ada upaya-upaya kependidikan untuk mempersiapkan masyarakat
Indonesia menjelang pelaksanaan pemilu.
Pendidikan pemilih diharapkan dapat membantu seluruh rakyat mendapatkan
informasi sejelas-jelasnya dan sebanyak-banyaknya tentang penyelenggaraan pemilu

3
agar mereka dapat menentukan pilihan dan terhindar dari praktik-praktik pemaksaan
dan money politic, maupun melalui cara-cara lainnya yang bertentangan dengan nilai-
nilai luber dan jurdil. Memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada
masyarakat tentang aspek-aspek penyelenggaraan pemilu berarti menumbuhkan
keberanian mereka untuk menyatakan dan menggunakan haknya sesuai dengan hati
nurani mereka dan sesuai dengan cita-cita kedaulatan rakyat.
KPU sebagai organisasi memiliki kewajiban melaksanakan sejumlah kegiatan
komunikasi sebagai bentuk pertanggung-jawabannya kepada rakyat. KPU melakukan
kegiatan „pendidikan kepada para pemilih‟ agar tercapai kesuksesan dalam
melaksanakan pemilu 2009. Singkatnya, KPU mencari cara tertentu untuk
mengkomunikasikan informasi yang membujuk anggota-anggota kelompok sasaran
dalam hal ini adalah para calon pemilih sehingga berperilaku sesuai dengan
keinginannya, yaitu untuk menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar.
Berbagai bentuk pendidikan pemilih telah dilakukan sebelumnya oleh KPU dengan
cara melakukan berbagai kegiatan komunikasi seperti publikasi dan sosialisasi
(Prihatmoko: 2008).
KPU Kabupaten Blora adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dari KPU
yang mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu di kabupaten Blora.
Pada tahun 2004, KPU Kabupaten Blora telah melaksanakan serangkaian kegiatan
yang bertujuan untuk memberikan informasi pemilu dan pendidikan pemilih kepada
masyarakat kabupaten Blora. Kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain:
mendistribusikan produk-produk yang berkaitan dengan informasi pemilu dan
pendidikan memilih seperti buku panduan pemilu 2004, VCD pemungutan dan
penghitungan suara, poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk
menggunakan hak pilihnya, leaflet dan ilustrasi surat suara, buku cara mencoblos
yang benar, spanduk, dan sebagainya; melakukan sosialisasi ke sejumlah radio swasta
di Blora; serta mengadakan sosialisasi langsung kepada masyarakat (Laporan Hasil
Pemilu 2004 KPU Kabupaten Blora, 134: 2004).

4
Pada pemilu 2009 lalu, KPU Kabupaten Blora mengalami jumlah peningkatan
DPT dari 598.251 pemilih, menjadi 697.350 pemilih (Data KPU Kabupaten Blora
tahun 2004 dan 2009). Peningkatan ini juga mengharuskan KPU Kabupaten Blora
melakukan kegiatan pendidikan pemilih lebih maksimal dari pemilu-pemilu
sebelumnya. Apalagi, mengingat bahwa sistem pemilu pada saat itu berubah cara dari
‟mencoblos‟, menjadi ‟mencontreng‟. Selain itu, pendidikan pemilih pemilu 2009
sangat diperlukan pada masyarakat Blora yang mayoritas penduduknya
berpendidikan rendah. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan bahwa tidak lebih
dari 60% penduduk Kabupaten Blora melanjutkan jenjang pendidikan SMA (SKB
Blora,http://www.skbblora.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12
&Itemid=45, akses 20 November 2009).
Setiap lima tahun sekali aktivitas komunikasi terhadap para pemilih
dijalankan oleh KPU Blora sebagai perwujudan rasa tanggung-jawabnya agar pemilu
di kabupaten Blora sukses dan jumlah partisipasinya terus meningkat. Atas dasar
itulah, pemerintah kabupaten Blora yang dalam hal ini diwakili oleh KPU Kabupaten
Blora melakukan komunikasi „pendidikan pemilih‟ kepada masyarakat Blora yang
telah memiliki hak pilih demi tercapainya kesuksesan pemilu 2009 di kabupaten
Blora.
Untuk membangun hubungan antara organisasi (KPU Kabupaten Blora) dan
publiknya (para pemilih), serta dapat menerapkan tindakan yang akan dilakukan,
perlu keahlian dalam berkomunikasi secara efektif dan efisien. Untuk itu perlu
diperhatikan strategi pesan yang akan disampaikan dalam berkomunikasi, pesan
dirancang untuk setiap publik sasaran (para pemilih) dalam mendukung pencapaian
sasaran dan tujuan program, yaitu kesuksesan pemilu 2009. Strategi merupakan hal
yang sangat penting karena strategi merupakan cara dalam mencapai suatu tujuan
sehingga misi dapat dicapai (Ruslan, 2006:182).
Keberhasilan suatu program komunikasi dapat diukur melalui proses evaluasi
kegiatan. Evaluasi yang signifikan terhadap suatu program haruslah dilakukan
berdasarkan pengukuran secara ilmiah mengenai peningkatan atau perubahan

5
pendapat, sikap, dan tingkah laku khalayak mengenai organisasi. Evaluasi pada
tingkat efek atau dampak, digunakan untuk mengukur apakah program yang
dijalankan sudah berhasil meningkatkan kesadaran, mengubah pendapat, sikap dan
tingkah laku khalayak (Ruslan, 2006:224).
Pada penelitian ini, penulis mengambil objek pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009 karena jalannya pemilu legislatif merupakan penentuan keberhasilan
dari pemilu selanjutnya, yaitu pemilu Presiden. Selain itu, pada pemilu legislatif
2009, sistem pemilihan yang baru dilaksanakan untuk pertama kalinya yaitu
„mencontreng‟.
Berangkat dari hal ini perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas komunikasi
pendidikan pemilih pemilu 2009 yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Blora
kepada masyarakat Blora, untuk kemudian penulis lakukan evaluasi sesuai dengan
teori evaluasi komunikasi yang ada guna menemukan solusi dari berbagai
permasalahan agar pendidikan pemilih pemilu berjalan lebih baik lagi di masa
mendatang. Selain isu tentang pendidikan pemilih masih hangat, juga walaupun
program pendidikan pemilih sudah pernah dilakukan, tidak menutup kemungkinan
akan hal-hal yang tidak diingankan pada program pemilih selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
KPU Kabupaten Blora sebagai penentu kesuksesan pemilu 2009 di Kabupaten
Blora dituntut untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu lembaga
penyelenggara pendidikan politik dengan konsekuen demi terwujudnya pemilu yang
adil dan demokratis di kabupaten Blora. Persoalannya kemudian adalah apakah
proses pendidikan pemilih pemilu 2009 di kabupaten Blora yang dilakukan oleh KPU
Kabupaten Blora telah berjalan sebagaimana mestinya? Berangkat dari hal inilah
dirasakan perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas komunikasi ‟pendidikan
pemilih‟ yang telah dijalankan KPU Kabupaten Blora sebagai lembaga pendidikan
politik pemilu 2009. Penelitian ini dikaitkan dengan perspektif evaluasi komunikasi,
yaitu suatu kegiatan yang terkait dengan aktivitas komunikasi antara organisasi

6
dengan publiknya. Dalam hal ini, komunikasi yang terjalin antara KPU kabupaten
Blora dengan masyarakat Blora yang telah memiliki hak pilih. Sesuai dengan latar
belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a) Program komunikasi apakah yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora
dalam mendidik pemilih pada pemilu legislatif 2009?
b) Bagaimanakah evaluasi aktivitas komunikasi KPU Kabupaten Blora dalam
mendidik pemilih 2009 ditinjau dari segi dampak pesannya?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
a) Mengetahui secara lebih rinci dan jelas mengenai program komunikasi yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora pada pemilu legislatif 2009.
b) Mengevaluasi aktivitas komunikasi „pendidikan pemilih‟ pemilu legislatif
2009 kepada masyarakat Blora ditinjau dari segi dampak pesannya.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini diantaranya :
1. Akademis
Sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan dalam ilmu komunikasi,
khususnya dalam bidang komunikasi politik dan Public Relations sebagai
salah satu alat pemerintah untuk mensosialisasikan kebijakannya terhadap
masyarakat. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi untuk
penelitian lain yang serupa mengenai masalah pendidikan politik, perbaikan
sistem pemilu, atau perkembangan pembahasan terhadap teori manajemen
komunikasi sebagai bagian dari aktivitas Public Relations.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti akan ilmu komunikasi politik, dan
salah satu fungsi Public Relations sebagai pihak yang menjembatani antara

7
pemberi kebijakan (pihak yang mempunyai kewenangan) dengan masyarakat,
atau elemen lainnya dalam suatu institusi.
3. Bagi Lembaga yang Diteliti
Memberikan masukan berupa saran, agar dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai lembaga pendidikan
politik, sehingga dapat lebih memaksimalkan perannya untuk mensukseskan
pemilu di Kabupaten Blora.
4. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang apa itu
pendidikan politik, sehingga masyarakat diharapkan lebih dapat bersikap
bijaksana dalam menggunakan haknya sebagai warga negara di pemilu
mendatang.

E. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
a. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Ika Rahmawati
(153030121), mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta pada tahun 2008. Berjudul
“Evaluasi Kantor Informasi dan Kehumasan Pemda Klaten Dalam Rangka
Sosialisasi Pilkades. Studi Deskriptif Sosialisasi dan Implementasi
Kebijakan Baru Pilkades yang Dilaksanakan Secara Serentak Pertama di
Kabupaten Klaten”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui secara lebih
rinci dan jelas mengenai strategi komunikasi yang digunakan oleh humas
Pemda Klaten dalam rangka sosialisasi kebijakan baru Pilkades;
Mengevaluasi hasil dari langkah maupun strategi yang telah dilakukan
ditinjau dari tahap-tahap evaluasi strategi komunikasi yang ada; serta
mengetahui sejauh mana pemahaman warga dan partisipasi warga setelah
diadakannya sosialisasi tersebut.

8
Kesimpulan dari penelitian ini adalah strategi yang digunakan
dalam melakukan program sosialisasi pilkades yang dilakukan oleh kantor
informasi dan kehumasan Pemda Klaten adalah dengan langkah strategi
perencanaan yang meliputi analisis situasi atau pengenalan situasi,
penetapan tujuan, penentuan khalayak, pemilihan media, teknik-teknik
humas dan pengukuran hasil. Dilaksanakan tanpa mengesampingkan
adanya community relations, media relations, dan penggunaan marketing
tools. Terkait dengan efektivitas/hasil dari langkah maupun strategi yang
direncanakan oleh humas Pemda Klaten diukur dalam tiga tahap, yaitu:
kognitif: berhasil, ditandai dengan munculnya respon khalayak yang
menjadi sasaran; Afektif: belum berhasil, karena banyak pro-kontra yang
masih terjadi mengenai sistem pelaksanaan dan hasil akhir; konatif:
banyak calon yang melenceng dari prosedur, jadi belum berhasil.
Sedangkan sosialisasi sudah menunjukkan hasil yang positif, partisipasi
sudah terlihat, meskipun ada sebagian kecil masyarakat yang masih kontra
dengan pelaksanaannya maupun hasil dari Pilkades.
Dari penjabaran tersebut, didapatlah beberapa perbedaan antara
penelitian di atas dengan penelitian yang diajukan peneliti sekarang.
Pertama, bidang kajian. Pada penelitian di atas terdapat bidang kajian
Pilkades, sedangkan penelitian yang peneliti usung memiliki bidang kajian
pemilu legislatif 2009. Kemudian, perbedaan yang lainnya terletak pada
subjek yang melaksanakan kegiatan komunikasi. Pada pemilu di atas,
subjek merupakan humas Pemda Klaten, sedangkan penelitian ini
subjeknya adalah KPU Kabupaten Blora. Selain itu, wilayah yang diteliti
pada penelitian diatas adalah Kabupaten Klaten, sedangkan pada
penelitian ini adalah Kabupaten Blora.
Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah metode
penelitian yang sama-sama menggunakan deskriptif kualitatif. Kemudian,

9
persamaan yang lain pada tema pokok yaitu kegiatan komunikasi
sosialisasi pada pemilihan tingkat kabupaten.

b. Penelitian lainnya mengenai sosialisasi pemilu dilakukan oleh Aris Eko


Prasetyo (153000099), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas
Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta pada tahun 2004.
Penelitian yang berjudul ”Hubungan Sosialisasi Mekanisme Pemilu
Legislatif 2004 Melalui VCD Terhadap Tingkat Pemahaman Masyarakat
Kel. Dlingo, Kec. Dlingo, Kab. Bantul, Yogyakarta” ini memiliki rumusan
masalah yaitu ”Apakah ada hubungan antara sosialisasi pemilu legislatif
2004 melalui VCD terhadap tingkat pemahaman masyarakat di kelurahan
Dlingo, kabupaten Bantul?” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara sosialisasi mekanisme pemilu legislatif 2004 melalui
VCD dengan pemahaman masyarakat mengenai mekanisme pemilu, dan
untuk mengetahui nilai murni antara sosialisasi mekanisme pemilu melalui
VCD terhadap tingkat pemahaman masyarakat yang dikontrol oleh tingkat
pendidikan dan interaksi sosial.
Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kuantitatif
yang menentukan keadaan lapangan yang ada menurut kenyataan dengan
cara mengukur. Penelitian survey yaitu penelitian yang mengambil sampel
dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul
data yang pokok.
Kesimpulan dari penelitian ini diantaranya adalah: Intensitas
sosialisasi mekanisme pemilu melalui VCD yang tidak terlalu rendah
disebabkan karena masyarakat Dlingo aktif dan sadar akan peran serta
mereka dalam kegiatan sosialisasi pemilu 2004 yang diadakan dalam
upaya untuk meningkatkan kemajuan daerah mereka agar tidak menjadi
daerah yang terisolir dikarenakan kondisi geografis. Ini terbukti dari data
di lapangan bahwa daerah ini paling cepat memberikan laporan

10
penghitungan suara ke kantor KPUD Bantul. Kemudian, terdapat
pengaruh yang signifikan antara tingkat pemahaman mengenai mekanisme
pemilu 2004 terhadap tingkat pendidikan dan interaksi sosial. Ini
membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman yang dimiliki
seseorang atau semakin banyak orang tersebut melakukan interaksi sosial
akan semakin mudah menerima pesan sosialisasi pemilu 2004 sehingga
tidak perlu melakukan sosialisasi berulang kali. Namun, semakin
rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang dan semakin
sedikitnya dia berinteraksi dengan orang lain, semakin sulit pula dia
menerima pesan sosialisasi mekanisme pemilu legislatif 2004 sehingga
perlu adanya pengulangan sosialisasi berulang kali.
Dari penjabaran tersebut, didapatlah beberapa perbedaan antara
penelitian di atas dengan penelitian yang diajukan peneliti sekarang.
Pertama, bidang kajian. Pada penelitian di atas terdapat bidang kajian
yaitu sosialisasi pemilu legislatif 2004, sedangkan pada penelitian ini
peneliti menekankan kajian pendidikan politik pemilu 2009 yang di
dalamnya terdapat salah satu elemen sosialisasi. Jadi, penelitian ini
merupakan perluasan atas penelitian sebelumnya, yaitu dari sosialisasi
pemilu menjadi pendidikan politik pemilu. Kedua, objek penelitian.
Penelitian di atas menggunakan masyarakat kelurahan Dlingo kabupaten
Bantul yang telah memiliki hak pilih sebagai objek penelitian, sedangkan
penelitian ini menggunakan objek KPU kabupaten Blora sebagai suatu
lembaga penyelenggara pemilu. Jadi, terdapat perbedaan objek penelitian
antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Ketiga, metode
penelitian. Dalam penelitian sebelumnya metode deskriptif kuantitatif
yang digunakan, sedangkan dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah deskriptif evaluatif. Keempat, penelitian ini menggunakan
perspektif manajemen public relations sebagai bahan evaluasi terhadap
kegiatan pendidikan politik yang telah dilaksanakan. Sedangkan penelitian

11
diatas tidak menekankan pada evaluasi, namun lebih kepada efektivitas
kegiatan sosialisasi pemilu.

2. Landasan Teori
a. Pendidikan Pemilih (Voter Education)
Voter education adalah suatu upaya sadar untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih tentang berbagai hal yang
ada kaitannya dengan hak suara mereka dalam pemilu sehingga mereka dapat
memberikan hak suara sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional
dan hati nurani, tanpa merasa terpaksa atau tertekan (Sirozi, 2007: 154).
Agar dapat berjalan secara efektif, pelaksanaan program voter
education bagi masyarakat hendaknya memperhatikan beberapa aspek sebagai
berikut (Sirozi, 2007: 161-163):
1) Tujuan, pelaksanaan program voter education harus memiliki tujuan
yang jelas, yaitu:
a) Mendidik calon pemilih agar memahami arti penting pemilu
bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
b) Mendidik calon pemilih agar dengan penuh kesadaran mau
menggunakan hak pilih mereka, dan turut serta menjaga
kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pemilu.
2) Target, pada akhir program voter education diharapkan:
a) Calon pemilih memahami arti penting pemilu bagi masa
depan demokrasi di Indonesia.
b) Dengan penuh kesadaran menggunakan hak pilih mereka dan
turut serta menjaga kelancaran pelaksanaan pemilu.
3) Materi, materi program voter education antara lain adalah tentang
sistem demokrasi, situasi terakhir kehidupan sosial dan politik di
Indonesia, aspek-aspek penyelenggaraan pemilu, teknik komunikasi,
dan teknik advokasi.

12
4) Sasaran, sasaran utama program voter education adalah:
a) Para calon pemilih muda yang duduk di bangku
sekolah/kuliah maupun yang tidak duduk di bangku
sekolah/kuliah.
b) Masyarakat kurang terdidik, terutama yang berada di daerah
terpencil.
5) Bentuk Program, program voter education dapat dilakukan dalam
bentuk penyuluhan dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi,
pemasangan spanduk, penyebaran pamflet dan stiker di tempat-
tempat strategis, dan lain sebagainya.
6) Pelaksana, pelaksana dari program voter education adalah para
instruktur yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Non-partisan, tidak menjadi anggota dan atau pengurus suatu
parpol.
b) Memiliki kepekaan terhadap perkembangan kehidupan sosial
politik di Indonesia.
c) Memiliki komitmen untuk turut serta mensukseskan
pelaksanaan pemilu dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di
Indonesia.
Program voter education bertujuan ”menyebarkan” berbagai informasi yang
ada kaitannya dengan penggunaan dan kegunaan hak suara rakyat dalam
penyelenggaraan pemilu dan ”memberitahukan” kepada rakyat bahwa pemilu telah
tiba dan rakyat dapat menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani. Setelah
menerima informasi dan pemberitahuan tersebut, diharapkan bahwa rakyat yang
sebelumnya kurang memahami hal-hal yang ada kaitannya dengan penyelenggaraan
pemilu menjadi lebih paham dan mereka yang sebelumnya kurang ”bersemangat”
untuk menggunakan hak pilihnya menjadi lebih bersemangat. Lebih dari itu, rakyat
yang sebelumnya merasa terancam dan terpaksa dalam menggunakan hak pilihnya
diharapkan merasa bebas dan aman sehingga dapat menjatuhkan pilihan sesuai hati

13
nuraninya. Program voter education merupakan program komunikasi dari KPU
kepada masyarakat/khalayak sasaran KPU (Prihatmoko, 2008).
Komunikasi tidak sekedar saling tukar pendapat dan pikiran, tetapi
berlangsung lebih jauh daripada itu, yaitu merupakan kegiatan dimana seseorang
berusaha mengubah pendapat dan tingkah laku orang lain. Komunikasi memiliki
enam komponen, yaitu komunikator, pesan, media, khalayak, efek, dan konteks. Pada
hakikatnya proses komunikasi adalah suatu upaya untuk menyampaikan pesan, atau
informasi agar penerima mempunyai pengertian yang sama dengan komunikator
(Mulyana, 2005). Dalam program voter education, yang bertindak sebagai
komunikator adalah para pelatih yang ditugasi oleh forum penyelenggara pemilu
(dalam hal ini KPU) dan pesan yang disampaikannya tidak lain adalah informasi
tentang pemilu dan penggunaan hak pilih. Media yang digunakan dalam program
voter education disesuaikan dengan kebutuhan dan khalayak yang menjadi sasaran
program voter education adalah para pemilih muda dan masyarakat kurang terdidik
yang berada di desa-desa terpencil. Program ini diharapkan dapat mengubah persepsi
dan perilaku rakyat tentang pemilu dan kegunaan hak pilih mereka (Prihatmoko,
2008).
Effendi (1993: 31-37) mengidentifikasi dua perspektif tentang proses
komunikasi, yakni perspektif psikologis dan perspektif mekanistis. Perspektif
psikologis adalah isi dari suatu pesan yang menggambarkan keadaan si penyampai
pesan yang oleh Walter lippman disebut ”picture in our head”. Seorang yang akan
menyampaikan pesan akan melibatkan seluruh dirinya dalam proses komunikasi
sebagai manusia. Proses pengemasan (encoding) pesan atau informasi dipengaruhi
oleh kejiwaan di penyampai pesan. Demikian juga si komunikan dalam menerima
pesan atau mengupas kemasan pesan yang diterimanya. Dalam proses ini komunikasi
interpersonal akan lebih memengaruhi decoding yang dilakukan oleh komunikan.
Bila dalam men-decoding pesan yang diterima tidak sesuai dengan isi pesan yang
disampaikan komunikator, berarti komunikasi tidak efektif, sebaliknya bila isi pesan

14
di-decoding sama dengan pesan yang disampaikan, maka komunikasi efektif atau
komunikatif.
Perspektif mekanistis adalah proses komunikasi dimana komunikator dalam
menyampaikan pesan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu.
Komunikator juga dapat berfungsi sebagai media yang ada, baik media cetak maupun
elektronik. Proses perspektif mekanistis sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
lingkungan proses komunikasi terjadi. Dalam proses komunikasi dapat terjadi
beberapa kemungkinan, yakni komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan
komunikasi massa.
Pelaksanaan program voter education menggabungkan proses psikologis dan
proses mekanistis. Sebagai komunikator, para pelatih voter education adalah orang-
orang yang yakin bahwa pemilu adalah pintu gerbang menuju Indonesia baru yang
demokratis. Dia juga yakin bahwa untuk mendapatkan hasil-hasil yang legitimate,
tidak ada cara lain bahwa pemilu harus berjalan secara luber, jurdil, dan aman. Dia
ingin menanamkan visi ini kepada rakyat yang menjadi sasaran voter education yang
ada dihadapannya dan penanaman visi tersebut disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang ada pada saat program voter education dilaksanakan.
Komunikasi dalam perspektif mekanistis dapat diklasifikasikan menjadi
proses komunikasi secara primer dan sekunder. Proses komunikasi primer adalah
proses komunikasi yang mempunyai cara dalam penyampaian pesan dengan
menggunakan lambang. Lambang-lambang ini dapat berupa bahasa dan gesture,
yakni gerak anggota tubuh, gambar, warna, dll. Proses komunikasi dengan
menggunakan bahasa disebut dengan lambang verbal (verbal symbol), sedangkan
yang tidak menggunakan lambang bahasa disebut sebagai nonverbal.
Proses komunikasi sekunder adalah proses komunikasi yang komunikatornya
dalam menyampaikan pesan menggunakan alat, sebagai media kedua setelah
menggunakan lambang sebagai media yang pertama, umumnya lebih ditopang
dengan teknologi yang semakin canggih, misalnya telepon, faximile, internet, dan
lain-lain.

15
Program voter education dapat dilaksanakan dalam empat bentuk, yaitu
penyuluhan, penyebaran leaflet, penempelan stiker, dan pemasangan spanduk. Empat
bentuk program ini menggunakan lambang verbal dan lambang nonverbal. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi yang terjadi dalam program voter
education adalah komunikasi primer, bukan komunikasi sekunder (Sirozi, 2007: 160).
Pada dasarnya ada dua bentuk komunikasi, yakni komunikasi verbal dan
nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan lambang-
lambang bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata sebagai pengemasan pesan yang
akan disampaikan kepada komunikan. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi
dalam menyampaikan pesan dengan menggunakan lambang-lambang bahasa
diwujudkan dengan gesture atau gerakan tubuh (body language) dan benda-benda
yang dapat di mengerti oleh komunikan. Dilihat dari pesertanya komunikasi dapat
diklasifikasikan menjadi komunikasi pribadi yang terdiri dari komunikasi
intrapersonal dan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok yang terdiri dari
komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar serta komunikasi massa
yang terdiri dari komunikasi media cetak dan komunikasi media elektronik (Rakhmat,
1992: 43-186).
Karena peserta program voter education adalah masyarakat luas,
komunikasi yang terjadi adalah komunikasi massa. Namun demikian, komunikasi
interpersonal dan komunikasi kelompok juga dapat terjadi, tergantung pada situasi
yang dihadapi oleh para pelatih voter education di lapangan. Dilihat dari arus pesan
yang disampaikan, ada tiga model komunikasi, yaitu model linear (satu arah), model
interaksional (dua arah), dan model transaksional (multiarah). Program voter
education dapat menerapkan empat bentuk kegiatan penyuluhan, pemasangan
spanduk, penyebaran leaflet, dan penempelan stiker. Dengan empat bentuk kegiatan
ini, diharapkan penyampaian pesan-pesan voter education berlangsung secara
transaksional (multiarah).(Sirozi, 2007: 163-166).

16
b. Evaluasi Program Komunikasi
Menurut Ross (1977: 15), komunikasi merupakan alat yang penting dalam
fungsi Public Relations. Publik mengakui dan menghargai suatu kinerja yang baik
dalam kegiatan komunikasi secara efektif, dan sekaligus kinerja yang baik tersebut
untuk menarik perhatian publik serta tujuan penting yang lainnya dari fungsi Public
Relations.
Pengakuan publik tersebut hal yang penting kaitannya dengan penilaian kerja
(performance) dan komunikasi (communication) secara definisi yang mendasar dalam
fungsional Public Relations yang baik, yaitu ”Good Public Relations result from
good performance publicly acknowledgment and appreciated” (Untuk menciptakan
Public Relations yang baik berasal dari penilaian kinerja, pengakuan, dan
penghargaan umum yang baik pula).
Sedangkan menurut Horlow, The Statement of Mexico and International
Public Relations Association (IPRA) 1978, berpendapat bahwa: “Public Relations
activity is management of communications between organization and its publics”
(Aktivitas Public Relations merupakan manajemen komunikasi antara organisasi dan
publiknya). Artinya, aktivitas utama humas, salah satunya adalah melakukan fungsi-
fungsi „manajemen komunikasi‟ antara organisasi dengan publik sebagai khalayak
sasarannya (Ruslan, 2008: 83-114).
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas diungkapkan bahwa manajemen
komunikasi merupakan salah satu bagian dari fungsi ke-Public Relations-an. Untuk
itu, peneliti mengggunakan berbagai teori evaluasi kehumasan sebagai bahan acuan
evaluasi terhadap program komunikasi pendidikan pemilih KPU Kabupaten Blora.
Menurut Ronald Smith dalam bukunya Strategic Planning For PR (2005:
237), evaluasi program adalah sistem pengukuran terhadap hasil dari sebuah proyek,
program atau kampanye yang terkait dengan tujuan awal dan penghargaan yang
didapatkan.

17
Evaluasi haruslah merupakan suatu aktivitas yang melekat pada rencana
program komunikasi. Aktifitas ini merupakan proses yang mengukur hasil kegiatan
program komunikasi berdasarkan target atau tujuan yang hendak dicapai yang telah
dirumuskan sejak memulai kegiatan. Kegunaan evaluasi adalah untuk melihat apakah
kegiatan program komunikasi tersebut mempunyai dampak yang diinginkan atau
efek-efek negatif yang tidak diharapkan. Evaluasi memberitahu pemimpin program
atau proyek dan yang lainnya, apakah pendekatan kegiatan komunikasi yang
digunakan berhasil atau tidak, atau dapat diperluas pada kegiaan lainnya nanti.
Evaluasi dalam program kehumasan dapat dibagi atas tiga tahapan utama,
yaitu: a) evaluasi tahap persiapan; b) evaluasi tahap pelaksanaan; dan c) evaluasi
tahap dampak atau efek. (Cutlip, 2000: 436). Peneliti lebih memfokuskan penelitian
ini pada evaluasi tahap dampak untuk memberikan penilaian atas dampak yang
dihasilkan dari aktivitas komunikasi pendidikan pemilih 2009 yang telah
dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Blora. Pengukuran dampak mencatat seberapa
jauh hasil yang dinyatakan dalam sasaran untuk masing-masing publik sasaran dan
keseluruhan program yang telah dicapai.
Berikut merupakan komponen evaluasi dampak/efek menurut Ronald D.
Smith dalam bukunya „The Strategic Planning for PR‟ (2005: 245-253):
1) Outputs Evaluations, yaitu evaluasi yang digunakan untuk mengukur produk
komunikasi dan distribusinya. Berfokus pada pengembangan dan presentasi dari
pesan, khususnya produksi dan penyebaran. Terdiri dari:
a) Produksi Pesan: Berguna untuk mengukur berapa banyak produksi
materi pesan yang telah dibuat untuk menyukseskan program tersebut.
Misalnya brosur, flyer, spanduk, untuk disesuaikan dengan jumlah
khalayak sasaran.
b) Distribusi Pesan: Pendekatan lain kesadaran evaluasi tidak hanya fokus
pada produksi, tetapi pesan pada distribusi mereka. Mengukur
penyebaran materi pesan, apakah sudah merata atau belum.

18
2) Evaluations Of Awareness Objectives, yaitu evaluasi yang berkaitan dengan
fokus pada kegiatan komunikasi yang mendokumentasikan. Evaluasi ini untuk
menunjukkan nilai yang menawarkan taktik komunikasi organisasi, khususnya
efektivitas organisasi dalam mencapai kesadaran, sikap dan tindakan tujuan.
Evaluasi terfokus pada kesadaran dari isi pesan. Hal ini mempertimbangkan
berapa banyak orang yang terkena pesan, bagaimana pesan tersebut mudah
untuk dipahami dan berapa banyak pesan yang ingat. Berikut adalah beberapa
langkah umum untuk evaluasi kesadaran:
a) Terpaan Pesan (Message Exposure): Berfokus pada jumlah orang di
masyarakat yang terkena dampak besar pesan, tindakan ini melihat lebih
dekat taktik komunikasi, evaluasi tidak hanya distribusi, tetapi juga
perhatian khalayak sasaran. Hal ini bukan hanya digunakan untuk
menghitung berapa jumlah khalayak sasaran yang hadir pada program,
akan tetapi juga untuk mengetahui seberapa besar ketertarikan mereka
terhadap program tersebut.
b) Isi Pesan (Message Content): Jenis evaluasi yang berfokus pada isi
pesan. Apakah positif, atau hanya memberikan data yang salah?
Kesimpulan tak beralasan? Atau informasi yang ketinggalan jaman?.
c) Mengingat Pesan (Message Recall): Dengan menggunakan metode ini
peserta dalam program kemudian diwawancarai untuk menentukan apa
yang mereka ingat dari pesan. Sebuah penelitian dasar yang diambil dari
Laporan ‘Advertising is the Starch Readership’, menunjukkan tiga
tingkat pembaca: "mencatat pembaca/noted readers", yang pernah ingat
sebelum melihat sebuah iklan, “menghubungkan pembaca/assosiated
readers”, yang dapat menghubungkan iklan ke merek tertentu atau
pengiklan, dan "membaca sebagian pembaca/read most readers”, yang
mampu mendeskripsikan paling banyak dari bahan-bahan tertulis dalam
iklan. Jika penelitian tersebut dikaitkan dengan suatu program
berdasarkan pemahaman khalayak sasaran, maka “read most readers”

19
adalah khalayak yang paling memahami isi pesan dari program, dan
sudah menentukan sikapnya. Sedangkan “assosiated readers”
merupakan khalayak yang memahami pesan, akan tetapi hanya bisa
menentukan pendapat, namun belum bisa bersikap. Sedangkan “noted
readers”, merupakan khalayak yang hanya memahami isi pesan, dan
belum berpendapat.
3) Evaluations Of Action Objectives melalui “Audience Participation”. Pada tahap
evaluasi ini, proses perencanaan perlu diberikan pertimbangan yang hati-hati
untuk mengukur tujuan-tujuan tindakan. Pengukuran dilakukan dengan
menghitung jumlah orang yang aktif menanggapi pesan tersebut. Angka
kehadiran efektif jika kehadiran itu sendiri adalah tujuan yang diinginkan.
Tersirat dalam angka kehadiran ini juga adalah ukuran efektivitas publikasi dan
promosi yang mendahului peristiwa. Dalam penelitian ini, evaluasi kehadiran
khalayak ditentukan dari jumlah peserta yang hadir pada setiap program
komunikasi, dan jumlah pemilih yang ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif
2009.

c. Komunikasi Politik
Salah satu dari fungsi pemilu yaitu sebagai sarana pendidikan politik bagi
rakyat (Prihatmoko, 2008: 48-50). Oleh karena itu proses komunikasi yang terjadi
antara KPU Kabupaten Blora untuk membujuk masyarakat Blora agar mau
menggunakan hak pilih mereka, merupakan bagian dari sebuah komunikasi
politik. Secara sederhana, komunikasi politik (political communications) adalah
komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau
berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan
pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang
baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang
memerintah” dan ”yang diperintah”. Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat
kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu

20
pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam
analisis dan kajian komunikasi politik.
Menurut Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan
komunikasi. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut
mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan
empat struktur komunikasi. Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul
terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti
hubungan keluarga dan keagamaan. Ketiga, struktur politik „output‟ (keluaran)
seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur „input‟ (masukan) termasuk
misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik.
Kelima, media massa. Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik
manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa
saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia menyebutkan,
studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955) menemukan
bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas kebanyakan individu
(Almond, 1976: 167).
Mochtar Pabotinggi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi
politik sering mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng.
Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis
“bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu menunjukkan
sebuah euphemisme. Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain
dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut
seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”. Kedua, distorsi
bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang pelupa. Namun
demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa sebagai sesuatu yang
dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas Pabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan
direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan
ratusan juta orang”. Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa
dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka

21
massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator.
Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki
rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan
sejarah pemerintahan sebelumnya. Ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai
representasi. Jika dalam distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam
distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi
bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Pabottinggi memberi
contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum Muslimin dan orang
Arab oleh media Barat.
Dunia Islam, seperti disebutkan Edward Said (1978) dalam Pabottinggi
(1993: 54) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam politik nasional pun,
suatu kelompok yang jadi lawan politik rezim berkuasa sering dilukiskan sebagai
penyeleweng, penganut aliran sesat dan tidak memakmurkan rakyat. Yang
terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang
paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan.
Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua,
distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya. Ada dua
perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif
yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang.
Perspektif ini menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana
yang politik dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan
monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata
menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut
perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik
tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
Karena komunikasi politik pada dasarnya merupakan salah satu bentuk
dari banyak bentuk komunikasi, maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari
dimensi-dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam bentuk-bentuk
komunikasi yang lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu proses

22
penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber, selaku pihak yang
memprakarsai komunikasi, kepada khalayak dengan menggunakan media tertentu
untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dimensi-dimensi inilah pada dasarnya
yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan komunikasi politik dalam suatu
masyarakat. Sehingga keluaran (output) komunikasi politik pada akhirnya akn
ditentukan oleh dimensi-dimensi tersebut secara keseluruhan (Muhtadi, 2008: 31).
Nimmo (1993: 29) mengemukakan beberapa komponen penting dalam
proses komunikasi politik, diantaranya:
a) Komunikator dalam komunikasi politik, yaitu pihak yang
memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi.
b) Khalayak komunikasi politik, yaitu penerima yang memberikan
feedback komunikasi.
c) Saluran-saluran komunikasi politik, yakni setiap pihak atau unsur yang
memungkinkan sampainya pesan-pesan politik.

F. Metode Penelitian

1) Paradigma dan Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut
paradigma ini, manusia dianggap sebagai makhluk unik yang memiliki
motif/makna yang berbeda-beda terhadap setiap perilaku yang dilakukannya
(Moleong, 2001: 30). Jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual
secara sistematis dan akurat. Langkah umum dalam penelitian deskriptif adalah:
mengidentifikasi masalah, mendefinisikan masalah secara spesifik, merumuskan
rancangan atau desain pendekatan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan
menyusun laporan penilitian (Danim, 2002: 42).

23
2) Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kantor KPU kabupaten Blora yang
bertempat di Jl. Halmahera 09 Blora dan untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa
instansi/lembaga sasaran kegiatan pendidikan pemilih pemilu 2009 di
kabupaten Blora seperti sekolah, instansi pemerintahan, dan anggota
penggerak PKK. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
pengumpulan data adalah enam bulan, sejak Oktober 2009 s/d April 2009.
3) Pemilihan Narasumber
Narasumber dalam penelitian ini adalah:
1. Staf KPU kabupaten Blora yang khusus menangani masalah
pendidikan pemilih, dalam hal ini yaitu Divisi Sosialisasi dan Kajian
Pemilu.
2. Masyarakat Blora yang menjadi sasaran program, diantaranya
beberapa murid atau guru Sekolah Menengah Atas, PKK, petani dan
perwakilan pegawai negeri instansi pemerintahan Kabupaten Blora.
Alasan peneliti memilih narasumber di atas karena ketiga narasumber
tersebut dianggap lebih banyak mengetahui tentang proses pendidikan pemilih
pemilu 2009 di kabupaten Blora yang dilakukan oleh KPU sehingga dengan
ini diharapkan peneliti dapat memperoleh data-data yang lebih lengkap.
Metode pemilihan narasumber pertama dan kedua menggunakan model snow-
ball sampling, yaitu model wawancara dimana peneliti mulai wawancara
dengan orang yang sudah dikenal terlebih dahulu dari sana peneliti meminta
rujukan mempunyai pengalaman atau karakteristik serupa (Moleong, 2001:
121). Narasumber baru ini kemudian juga menunjukkan narasumber lain yang
dirasa mengetahui tentang hal-hal yang ditanyakan begitu seterusnya sampai
peneliti memperoleh jumlah subjek yang memadai.
Sedangkan, narasumber ketiga dalam penelitian ini dipilih secara
representative, yaitu pemilihan narasumber dengan menggunakan model

24
perwakilan seseorang yang dianggap mampu untuk menjelaskan aktivitas
pendidikan pemilih yang sedang berlangsung di Blora. Model ini digunakan
untuk mewawancarai narasumber dari pihak yang telah mendapatkan
pendidikan politik pemilu 2009 di kabupaten Blora. Dengan demikian, dapat
diperoleh data yang akan digunakan sebagai hasil evaluasi.
4) Metode Pengumpulan Data
Metode/teknik pengumpulan data sebagai salah satu bagian dari
penelitian, merupakan unsur yang sangat penting. Berikut ini merupakan
bagian dari metode pengumpulan data yang dikutip dari buku Metodologi
Penelitian Kualitatif karya Moleong (2001: 112-139):
a. Sumber dan Jenis Data
1. Data Primer : Merupakan data utama yang diperoleh dari
sumber pertama secara langsung dengan cara wawancara.
2. Data Sekunder : Bukti kedua, yang didapat peneliti secara
tidak langsung untuk mendukung temuan dari data primer
seperti dokumentasi foto, dokumen, artikel, data statistik, dan
sebagainya.
b. Wawancara
Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu,
yang dilakukan oleh dua pihak pewawancara dan yang diwawancarai.
Maksud dari wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba
(1985: 266), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan
lain-lain kebulatan; Merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikan
sebagai yang dialami masa lalu; Memproyeksikan kebulatan-kebulatan
sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan
datang; Memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang
diperoleh orang lain, baik manusia maupun bukan manusia
(triangulasi); Dan memverifikasi, mengubah dan memperluas

25
konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan
anggota.
5) Metode Analisis Data
Menurut Patton (1980: 268), analisis data adalah proses mengatur
urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan
uraian dasar. Dari rumusan tersebut dapatlah kita menarik garis bahwa analisis
data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul
(foto, dokumen, hasil observasi dan wawancara, dan lain-lain), lalu diatur
dengan cara mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan
mengkategorikannya. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut
bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat
menjadi teori substansif (Moleong, 2000: 103).
Dalam penelitian ini digunakan teknik Analisis Interaktif, yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Dalam model interaktif ini, tiga jenis
kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data merupakan proses siklus dan
interaktif. Sehingga peneliti harus memiliki kesiapan untuk bergerak aktif di
antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya
bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi selama penelitian. Gambaran model interaktif ini adalah
sebagai berikut (Idrus, 2007: 180-181):

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan
Kesimpulan/Verifikasi

26
a. Pengumpulan Data
Kebanyakan data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata, fenomena, foto
dan lain-lain. Dalam hal ini peneliti memperoleh hasil wawancara, observasi,
maupun studi pustaka.
b. Reduksi Data
Reduksi merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan ketika melakukan penelitian di lapangan. Proses ini bukan
proses yang sekali jadi, namun akan terus berulang selama proses penelitian
kualitatif berlangsung. Proses ini dimaksudkan untuk lebih menajamkan,
mengarahkan dan membuang bagian data yang tidak diperlukan serta
pengorganisasian data sehingga memudahkan untuk dilakukan penarikan
kesimpulan.
c. Penyajian Data
Proses ini berupa penyajian data-data hasil penelitian yang telah melalui
reduksi. Dengan mencermati penyajian data ini, peneliti lebih mudah
memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Artinya,
apakah peneliti meneruskan analisisnya atau masih perlu memperdalam
penelitian tersebut.
d. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Menarik kesimpulan dari data-data yang telah dipaparkan. Peneliti akan
menangani kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan longgar, terbukaan, dan
skeptis, tetapi kesimpulan yang ada pada awalnya belum jelas namun
kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. (Idrus,
2007: 181-183)

27
BAB II
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Profil Kabupaten Blora


1. Pemerintahan
Kabupaten Blora, adalah salah satu dari 35 kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah dengan luas wilayah 1.820,59 km2 , dan jumlah penduduk
827.000 jiwa dengan kepadatan 461 jiwa/km2 . Terletak sekitar 127 km
sebelah timur Semarang, berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten
Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini
berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara,
Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah timur,
Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobogan di
barat. Kabupaten Blora terdiri atas 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas 271
desa dan 24 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Blora. Di
samping Blora, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah
Cepu, Ngawen, dan Randublatung. Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi
paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora (Pemda
Blora, 2008: II-1).
Menurut data KPU Kabupaten Blora, banyaknya jumlah Tempat
Pemungutan Suara (TPS) tahun 2009 adalah 2.400 unit TPS, dengan Daftar
Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan legislatif sebesar 697.350 pemilih (KPU
Blora, 2009: 91-92).

2. Kondisi Geografis
Wilayah Kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan
dengan ketinggian 20-280 meter dpl. Bagian utara merupakan kawasan
perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan

28
juga berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari Pegunungan
Kendeng, yang membentang dari timur Semarang hingga Lamongan (Jawa
Timur). Ibukota kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan Pegunungan
Kapur Utara. Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan
hutan, terutama di bagian utara, timur, dan selatan. Dataran rendah di bagian
tengah umumnya merupakan areal persawahan. Sebagian besar wilayah
Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air (baik untuk air minum maupun
untuk irigasi) pada musim kemarau, terutama di daerah pegunungan kapur.
Sementara pada musim penghujan, rawan banjir longsor di sejumlah kawasan.
Kali Lusi merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora, bermata air di
Pegunungan Kapur Utara (Rembang), mengalir ke arah timur yang akhirnya
bergabung dengan Kali Serang (Pemda Blora, 2008: II-2).

3. Pendidikan
Pada tahun 2001 Kabupaten Blora telah memiliki sarana pendidikan
formal baik TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Hingga tahun
2008, tercatat Kabupaten Blora telah memiliki 654 SD Negeri dan 8 SD
swasta, SMP Negeri sebanyak 44 unit dan 31 unit untuk SMP swasta,
sedangkan SMA Negeri berjumlah 11 unit dan 29 unit untuk SMA swasta.
Jumlah SMA yang relatif sedikit ini mengakibatkan sedikitnya peluang anak
untuk melanjutkan sekolah ke SMA karena persaingan yang ketat, juga
rendahnya kesadaran pendidikan keluarga (Pemda Blora: 2008: II-3).

B. Profil KPU Kabupaten Blora


KPU Kabupaten Blora dibentuk berdasarkan Keppres. No. 67 Tahun 2002
tentang „Pembentukan Perwakilan Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum di
Daerah‟ dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2002 tentang
„Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Sekretariat Umum Komisi
Pemilihan Umum di Propinsi Kabupaten/Kota‟. Proses pelaksanaan pembentukan

29
Kantor Perwakilan Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Blora
sepenuhnya menjadi kewenangan Bupati dalam mengambil langkah-langkah
untuk pengisian jabatan struktural. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa
Tengah No. 821.2/005/2003 tanggal 16 Januari 2003 telah dilaksanakan
pengambilan sumpah/janji dan pelantikan Pejabat Perwakilan Sekretariat Umum
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Blora, oleh Gubernur Jawa Tengah (KPU
Kabupaten Blora, 2009: 14-18).
Dalam melaksanakan tugas Pemilihan Umum di kabupaten, KPU
Kabupaten mempunyai Sekretariat yang bertugas melayani kebutuhan yang
berhubungan dengan pelayanan staf dan personil, pembiayaan (keuangan),
perlengkapan dan tugas lain yang ditentukan oleh KPU. Sekertariat KPU
Kabupaten dipimpin oleh seorang sekretaris. Sekretaris adalah PNS yang dipilih
dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh Bupati dan selanjutnya ditetapkan
oleh Sekretaris Jenderal.
Fungsi dari sekretariat KPU Kabupaten Blora diantaranya: Memberikan
pelayanan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Blora;
Memberikan pelayanan administrasi yang meliputi ketatausahaaan, kepegawaian,
anggaran, dan perlengkapan; Melayani informasi Pemilu, pendidikan pemilih
guna meningkatkan partisipasi masyarakat dan penyelenggaraan hubungan
masyarakat bagi keperluan Pemilu; Mengelola logistik dan distribusi barang dan
jasa bagi keperluan Pemilu; Menyusun laporan secara periodik mengenai
penyelenggaraan kegiatan dan pertanggungjawaban KPU Kabupaten kepada KPU
dan Bupati (KPU Kabupaten Blora, 2009: 23).
KPU Kabupaten Blora mempunyai visi „Menjadi penyelenggara
pemilihan umum yang mandiri non partisan, tidak memihak, transparan, dan
profesional, berdasarkan azas-azas Pemilihan Umum demokratis dengan
melibatkan partisipasi rakyat seluasnya-luasnya sehingga dipercaya masyarakat‟.
Sedangkan misi KPU Kabupaten Blora adalah sebagai berikut:

30
a) Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pejabat-Pejabat
Publik lain yang ditentukan oleh Undang-Undang.
b) Meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban politik rakyat
Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,
akuntabel, edukatif dan beradab.
c) Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara
adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara
konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d) Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan
Pemilihan Umum untuk peningkatan kualitas Pemilihan Umum
berikutnya (KPU Kabupaten Blora, 2009: 32-40).

Setiap Pemilihan Umum KPU Kabupaten Blora berkewajiban sebagai


berikut:
a) Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan tepat
waktu.
b) Memperlakukan peserta Pemilu dan pasangan calon secara adil dan
setara,
c) Menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada
masyarakat,
d) Melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
e) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban semua kegiatan
penyelenggaraan pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi Jawa
Tengah.

31
f) Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang
inventaris KPU Kabupaten Blora berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
g) Menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan
Pemilu kepada KPU dan KPU Provinsi Jawa Tengah serta
menyampaikan tembusannya kepada Bawaslu.
h) Membuat berita acara pada setiap rapat pleno KPU Kabupaten dan
ditantangani oleh ketua dan anggota KPU Kabupaten.
i) Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU dan KPU
Provinsi.
j) Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan (KPU Blora, 2009: 14).

Berikut merupakan Struktur Organisasi KPU Kabupaten Blora:


Bagan 1
Struktur Organisasi KPU Kabupaten Blora

Ketua KPU
Kabupaten Blora

Div. Pendaftaran Div. Kampanye,


Div. Hukum dan Div. Logistik,
Div. Sosialisasi dan Pemilih, Daerah Pemungutan Suara,
Hubungan Antar Organisasi Personil,
Kajian Pemilu Pemilihan, dan dan Penetapan Hasil
Lembaga dan Keuangan
Pencalonan Pemilu

Sumber: Data KPU Kabupaten Blora tahun 2009


*Ket: Untuk tugas dan wewenang divisi lain, lihat lampiran.

32
Salah satu divisi yang bertugas untuk mengadakan pendidikan pemilih
kepada masyarakat Blora adalah Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu. Divisi
tersebut melakukan kegiatan untuk mengedukasi para calon pemilih sebelum
Pemilu dilaksanakan dengan harapan para calon pemilih dapat lebih cerdas dan
bijaksana dalam menentukan pilihannya nanti. Divisi ini melakukan pendidikan
pemilih melalui berbagai kegiatan sosialisasi di tingkat kabupaten pusat, dan pada
tingkat daerah tugas mereka dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK),
ditingkat Desa (PPS) dan ditingkat TPS yaitu KPPS yang setiap lima tahun sekali
diadakan regenerasi panitia, yaitu tiap PPK memiliki anggota 10 orang dan PPK
tersebut yang berhak mengadakan perekrutan terhadap petugas PPS dan KPPS.
Selain itu, mereka juga bertugas menjalin media relations dengan berbagai media
lokal dalam bentuk iklan, dialog interaktif di radio, dan lain sebagainya (Sumber:
data KPU Kabupaten Blora tahun 2009).

C. Profil Narasumber
Untuk memperoleh data pada penelitian ini, peneliti mewawancarai
beberapa narasumber. Untuk mengetahui program pendidikan pemilih yang telah
dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora, peneliti mengadakan wawancara dengan
narasumber dari staf Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora.
Sedangkan, untuk memperoleh hasil evaluasi terhadap dampak pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora,
peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber yang menjadi
sasaran program tersebut. Narasumber berikut ini telah dipilih secara acak dan
masing-masing mewakili pendapat mengenai program pendidikan pemilih yang
telah mereka ikuti, yaitu:
1. Narasumber pertama yaitu penyampai pesan program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009 (KPU Kabupaten Blora), peneliti mengadakan
wawancara dengan narasumber dari staf Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu
KPU Kabupaten Blora, yaitu suatu divisi khusus yang bertugas untuk

33
menyelenggarakan program pendidikan pemilih di kota Blora yang diwakili
oleh Ibu Rukhayatin, S.Ag.
2. Narasumber selanjutnya sebagai penerima pesan pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009. Untuk memperoleh hasil evaluasi terhadap dampak atau efek
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh KPU
Kabupaten Blora, peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa
narasumber yang menjadi sasaran program tersebut. Narasumber berikut ini
telah dipilih secara acak, dan masing-masing mewakili pendapat mereka
setelah mengikuti program pendidikan pemilih tersebut, yaitu:
a. Representasi dari Pemilih Pemula
Pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali
melakukan Pemilu, peneliti melakukan wawancara dengan Saudari Ana
Fitriya yang bersekolah di SMAN 01 Blora, yang telah mengikuti
sosialisasi pemilu legislatif 2009, di sekolahnya.
b. Representasi dari Pemilih Pemula
Masih dari pemilih pemula, peneliti melakukan wawancara dengan
Saudara Singgih Putra Witjaksana yang bersekolah di SMAN 01
Tunjungan Blora, yang juga mengikuti program pendidikan pemilih di
sekolahnya.
c. Representasi dari Guru
Peneliti memilih narasumber yaitu Ibu Sutiyani, S.Pd yang
menjadi guru di SMAN 01 Tunjungan Blora dan telah mengikuti
sosialisasi pemilu legislatif 2009 di sekolah tersebut.
d. Representasi dari Guru
Bapak Widodo, S.Ag yang juga menjadi guru di SMAN 01
Tunjungan Blora, dan telah mengikuti program pendidikan pemilih oleh
KPU Kabupaten Blora di sekolah tersebut dan di balai desa tempat
tinggalnya.

34
e. Representasi dari Kelompok PKK
Peneliti mewawancarai Ibu Nur Ainiah yang telah mengikuti
program pendidikan pemilih pada saat pengajian rutin bulanan kota Blora
di masjid Al-Ikhlas Blora.
f. Representasi dari Kelompok PKK
Peneliti melakukan wawancara dengan Ibu Ernaning Hastuti
selaku ketua tim penggerak PKK Kelurahan Tempelan Kabupaten Blora,
yang pernah mendapatkan program pendidikan pemilih di Pendopo Bupati
Kabupaten Blora. Ibu Ernaning Hastuti ini juga berkewajiban untuk
melakukan pendidikan pemilih kepada seluruh anggota PKK di
kelurahannya, pada saat pertemuan rutin PKK.
g. Representasi dari Petani
Untuk narasumber dari kalangan Petani, peneliti melakukan
wawancara dengan Bapak Musta‟in yaitu ketua kelompok tani di
Kecamatan Tambaksari Blora sekaligus mahasiswa S2 STAIM Blora yang
mengikuti pendidikan pemilih di Balai Desa Tambaksari.
h. Representasi dari Pegawai
Peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Rusmanto yang
bekerja di kantor Badan Keuangan Daerah Blora yang telah mengikuti
program pendidikan pemilih di kantornya tersebut.

35
BAB III
HASIL TEMUAN

Berikut merupakan hasil temuan yang didapat oleh peneliti berdasarkan hasil
wawancara yang telah peneliti lakukan dan didukung dengan data sekunder berupa
Laporan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilihan
Presiden dan Wapres Tahun 2009 di Kabupaten Blora, berbagai brosur, flyer, dan
material pendukung lainnya.

A. Program Komunikasi Pendidikan Pemilih Pemilu Legislatif 2009 KPU


Kabupaten Blora
Pada tinjauan pustaka, peneliti telah menjabarkan definisi dari voter education
atau pendidikan pemilih yang dikemukakan oleh Sirozi (2007: 154), yaitu suatu
upaya sadar untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih
tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan hak suara mereka dalam pemilu,
sehingga mereka dapat memberikan hak suara sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangan rasional dan hati nurani, tanpa merasa terpaksa atau tertekan.
Sirozi (2007: 161-163) juga mengemukakan enam aspek agar pelaksanaan
pendidikan pemilih dapat berjalan dengan lancar meliputi: tujuan, target, materi,
sasaran, bentuk program, dan pelaksana.
KPU Kabupaten Blora sebagai penyelenggara pemilu legislatif 2009
merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan pendidikan pemilih
kepada masyarakat Blora. Untuk mengetahui secara lebih rinci dan jelas mengenai
program komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora pada pemilu
legislatif 2009, peneliti telah mewawancarai salah satu staf divisi sosialisasi dan
kajian pemilu KPU Kabupaten Blora yang bertugas melakukan serangkaian kegiatan
untuk mengedukasi masyarakat Blora mengenai pemilu legislatif 2009, yaitu Ibu
Rukhayyatin. Berikut merupakan hasil temuan peneliti berdasarkan hasil wawancara

36
tersebut dan berbagai data yang ada ditinjau dari aspek-aspek pendidikan pemilih
yang ada.
1. Tujuan
Perumusan tujuan yang tepat adalah perumusan yang menekankan
hasil (outcome) apa yang diharapkan dari berbagai kegiatan komunikasi yang
dijalankan organisasi (Broom & Dozier, 1990).
Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh narasumber, tujuan utama
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU Kabupaten Blora adalah
“Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan
pentingnya pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD yang biasa disebut pileg
dalam membangun kehidupan demokrasi di Kabupaten Blora” (Sumber:
wawancara dengan Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu 02/12/2009
09:00WIB).
Hal ini ditunjukkan dengan pesan yang mereka sampaikan dalam
presentasi sosialisasi (lihat lampiran 3 „Contoh Presentasi Sosialisasi‟) yang
memuat:
a. Arti pemilu yang dijelaskan dengan kalimat “Pemilu dilaksanakan
5 tahun sekali, sebagai sarana kedaulatan rakyat dan ini merupakan
waktu masyarakat untuk melakukan penilaian/evaluasi dan
memilih individu yang akan menduduki jabatan
DPR/DPD/DPRD”.
b. Informasi tentang syarat dan cara memilih, dan pesan bertuliskan
“Sukseskan Pemilu 2009 Suara Anda Menentukan Nasib Bangsa”.
Selain itu pesan-pesan tersebut juga terdapat pada atribut pemilu
lainnya seperti spanduk, flyer, dan lain sebagainya.

37
Secara lebih lanjut, narasumber mengungkapkan bahwa tujuan
mereka untuk mengadakan komunikasi tatap muka adalah agar pesan yang
mereka sampaikan dapat langung ditanggapi masyarakat, sedangkan
tujuan mereka untuk menjalin media relations adalah untuk mempererat
kerjasama mereka dengan media lokal dan membantu proses penyampaian
pesan kepada masyarakat yang belum mengikuti sosialisasi. Seperti yang
diungkapkan oleh narasumber dari Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu
KPU Kabupaten Blora sebagai berikut:
“Kami berharap untuk mengadakan komunikasi secara langsung
dengan khalayak sasaran dari berbagai lapisan program, sehingga pesan
langsung dapat tersampaikan. Kalau program seperti iklan dan interview
di radio, kami ingin menjalin kerjasama dengan berbagai media lokal agar
turut membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat yang belum
tersentuh oleh sosialisasi tadi. Dan pawai atau mobilisasi sosial kami
adakan sebagai simbol kemeriahan pesta demokrasi, dengan tujuan
menarik minat massa pada keramaian agar mereka ingat momen unik
tersebut, dan ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif nantinya”
(Sumber: wawancara 03/12/2009 10:00 WIB).
Namun KPU Kabupaten Blora tidak mencantumkan tujuan
tersebut secara lebih terperinci sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu
Rokhayatin selaku kepala Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU
Kabupaten Blora berikut:
“Kebetulan tujuan tersebut tidak kami jabarkan secara tertulis,
karena bagi kami yang penting adalah programnya berjalan sesuai
harapan” (Sumber: wawancara 03/12/2009 10:00 WIB).

38
2. Target
Target merupakan hasil akhir (outcome) yang diharapkan dari
berbagai kegiatan komunikasi yang dijalankan organisasi (Putra, 1999:
31).
Berikut merupakan target yang ingin dicapai KPU Kabupaten
Blora terkait dengan Pendidikan Pemilih Pileg 2009 yang mereka
jalankan. Berdasarkan hasil wawancara, narasumber dari Divisi Sosialisasi
dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora mengungkapkan:
“Harapan kami terhadap pendidikan pileg 2009 ini yaitu
tersebarluasnya informasi tentang penyelenggaraan Pemilu legislatif
sehingga pemilih memahami dan mengetahui arti penting pemilu legislatif
dan pada akhirnya mereka dapat menggunakan hak pilihnya dengan
sebagaimana mestinya. Kalau target terhadap sosialisasi yang telah kami
adakan, kami berharap khalayak sasaran dapat memahami tentang
ketentuan pemilu legislatif 2009, sehingga pengetahuan mereka tentang
pileg 2009 dapat bertambah, kemudian melalui media relations dan
mobilisasi sosial, kami menginginkan kesadaran masyarakat Blora dan
pengkonsumsi media untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif
2009” (Sumber: wawancara 03/12/2009 13:00WIB).

3. Materi
Materi merupakan isi dari tema besar yang ingin disampaikan
organisasi dalam suatu program (Ruslan: 2007: 76).
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti didukung
dengan data yang ada (lihat lampiran 2 „Contoh Presentasi Sosialisasi‟),
secara garis besar materi yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora
dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 meliputi:

39
a. Penjelasan tentang arti pemilu,
b. Tahapan-tahapan dalam pemilu (termasuk tanggal penyelenggaraan
pemilu, pendaftaran pemilih, dan penetapan hasil pemilu),
c. Pengetahuan partai pengikut pemilu dan calon anggota DPD pemilu
2009,
d. Pengetahuan tentang dapil, kampanye, dan larangan dalam kampanye,
e. Penjelasan tentang pentingnya untuk terdaftar sebagai pemilih pileg
2009, termasuk bagaimana cara memilih.

Pada hasil wawancara, narasumber dari Divisi Sosialisasi dan


Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora mengungkapkan:

“Pada dasarnya kami ingin menyampaikan pesan berkaitan dengan


hak dan kewajiban sebagai pemilih pemilu, kewajiban untuk menciptakan
suasana yang demokratis, menjelaskan bagaimana sistem pemilu di
Indonesia termasuk cara memilih yang sah, juga ketentuan hukum dalam
pemilu/kampanye” (Sumber: wawancara 06/12/2009 09:00 WIB).
Materi tersebut dipaparkan kepada target sasaran pemilu, dengan
media pembantu yaitu (KPU Blora, 2009: 51):
a. Stiker 4500 lembar untuk masyarakat umum.
b. Spesimen surat suara 14000 lembar untuk penyelenggara di tingkat
bawah.
c. Leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan masyarakat umum.
d. Spanduk 315 buah untuk masing-masing Desa dan Kecamatan.
e. Baliho 5 buah dipasang di pusat-pusat keramaian.
f. Pemasangan iklan di radio-radio pemerintah dan swasta.

40
4. Sasaran
Perencana program harus memilih dan menetapkan publik dalam
rangka menyusun strategi dan taktik yang diperlukan untuk
mengimplementasikan suatu program terhadap publik tersebut (Cutlip,
2006: 366).
Berdasarkan hasil wawancara dan data pada Laporan
Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilhan
Presiden dan Wapres Tahun 2009 di Kabupaten Blora, KPU Kabupaten
Blora telah melakukan pendidikan pemilih yang akan dijelaskan melalui
tabel berikut:
Tabel 1
Khalayak Sasaran Program Pendidikan Pemilih Pemilu Legislatif 2009
Kabupaten Blora
No. Khalayak Strategi
1. Masyarakat umum di sekitar Pawai/mobilisasi sosial di alun-
kota Blora, Cepu, dan Randu alun
Blatung.
2. Pemilih pemula: remaja, Sosialisasi di sekolah mereka
pemuda, mahasiswa di beberapa masing-masing bekerjasama
SMA/SMK/MA dan STAIM dengan pihak sekolah.
Blora
3. Kaum perempuan yang diwakili Sosialisasi utama dilakukan di
oleh tim penggerak PKK dan pendopo bupati, kemudian
anggota PKK lainnya sosialisasi anggota lapisan bawah
lainnya dilakukan sewaktu
pertemuan rutin PKK/pengajian
warga.
4. Pengemuka pendapat Dialog interaktif di
kecamatan/balai desa.

41
5. Petani, buruh, dan kelompok Sosialisasi di berbagai balai desa
pekerja lainnya. kelurahan.
S
6. Wartawan dan kelompok media Iklan di koran lokal, dialog
u massa interaktif dan iklan di berbagai
m
radio lokal.
b
7. TNI/POLRI Dialog interaktif yang lebih
e
menekankan soal pengamanan
r
menjelang pemilu legislatif 2009.
:
8. Partai politik Rapat dan dialog interaktif
9.
w Pengawas Pemilu Rapat dan dialog interaktif
a10. LSM Sosialisasi, dan dialog interaktif
w
ancara dan Laporan Pemilu 2009 KPU Kab. Blora

Ketika ditanya mengenai alasan yang mendasari KPU Kabupaten


Blora melakukan sosialisasi kepada khalayak sasaran tersebut, narasumber
dari Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora
menjawab:
“Agar semua segmentasi masyarakat di Kabupaten Blora
mendapatkan sosialisasi tentang pemilu, misalnya TNI/POLRI walaupun
mereka tidak memilih namun mereka harus mengerti apa itu pemilu
sehingga kelak kita bisa bekerjasama untuk mengamankan jalannya
pemilu” (Sumber: wawancara 07/12/2009 10:30 WIB).
Dengan jumlah kehadiran peserta rata-rata 80% pada setiap
sosialisasi, namun sayangnya hal ini tidak dapat dibuktikan oleh KPU
karena pada setiap sosialisasi KPU tidak mencatat daftar hadir peserta.

42
5. Bentuk Program
Program komunikasi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh organisasi, menggunakan berbagai lambang untuk
mempengaruhi publik sedemikian rupa, sehingga tingkah laku yang
timbul karena pengaruh tersebut sesuai dengan keinginan komunikator
organisasi (Cutlip, dkk: 2006: 362).
Program pendidikan pemilih yang telah dijalankan oleh KPU
Kabupaten Blora dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Komunikasi tatap muka, yaitu kegiatan komunikasi secara langsung
tanpa melalui media perantara. Komunikasi ini diadakan dalam bentuk
sosialisasi, diskusi, dan dialog interaktif. Seperti yang telah
diungkapkan oleh ibu Rukhayatin selaku Divisi Sosialisasi dan kajian
pemilu KPU Kabupaten Blora:
“Kita telah mengadakan diskusi dengan berbagai kelompok
masyarakat di SMA-SMA kemarin sekitar 20 SMA kita datangi, Dinas
Perkantoran, LSM, PKK, khusus di kota Blora” (Sumber: wawancara
09/12/2009 08:00WIB).
Selain itu, dalam melakukan pendidikan pemilih, divisi
sosialisasi dan kajian pemilu KPU Kabupaten Blora dibantu oleh
petugas KPU Kecamatan atau biasa disebut PPK (Panitia Pemilihan
Kecamatan), ditingkat Desa (PPS) dan ditingkat TPS yaitu KPPS.
Fokus KPU Kabupaten Blora melakukan pendidikan pemilih di kota
Blora pusat untuk disebarkan ke daerah-daerah. Misalnya untuk PKK,
KPU Kabupaten Blora memilih sosialisasi ke tim penggeraknya
kemarin di pendopo bupati, lalu mereka menyebarkannya ke anggota-
anggota PKK lain di bawahnya, begitu seterusnya. Hal ini sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh narasumber dari Divisi Sosialisasi
dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora:

43
“Fokus KPU Kabupaten Blora melakukan pendidikan pemilih
di kota Blora pusat untuk disebarkan ke daerah-daerah, misalnya untuk
PKK kita memilih sosialisasi ke tim penggeraknya kemarin di
pendopo bupati, lalu mereka menyebarkannya ke anggota-anggota
PKK lain di bawahnya, begitu seterusnya” (Sumber: wawancara
09/12/2009 08:30WIB).

b. Salah satu bagian dari program pendidikan pemilih pemilu legislatif


2009 KPU Kabupaten Blora adalah komunikasi melalui media massa
(media relations). Media relations yang dijalankan oleh KPU
Kabupaten Blora sebagai bagian program pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009 dalam bentuk berupa dialog interaktif dengan lokal
radio, dan spot iklan di radio juga koran lokal. Narasumber dari Divisi
Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora mengatakan:
“Kita juga mengadakan komunikasi lewat media massa berupa
dialog interaktif di radio, iklan di media cetak dan radio-radio di
Blora. Untuk iklannya biasanya di Radio GPN, Gagak Rimang, X-FM,
sehari dua kali atau disesuaikan dengan budget kami. Kalau di media
massa biasanya kita kerjasama dengan koran lokal Blora, Diva, Radar
Bojonegoro, sama Suara Merdeka, karena itu koran yang banyak
dibaca warga sini. Tapi sayangnya kita jarang beriklan Cuma satu dua
kali saja, soalnya mahal” (Sumber: wawancara 09/12/2009
09:00WIB).

c. Mobilisasi sosial merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh


KPU Kabupaten Blora sebagai salah satu bentuk pendekatan mereka
kepada masyarakat umum. Mobilisasi sosial pada program pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 dilaksanakan dengan pawai di jalan-

44
jalan besar kota Blora. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber dari
Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora:
“Mobilisasi sosial yaitu sosialisasi di jalan-jalan, kemarin kita
sempat tiga kali sosialisasi di alun-alun Blora waktu akhir pekan,
pernah juga ada tema unik yang kita ambil yaitu sosialisasi pake
delman yang ditarik kambing, biar menarik minat masyarakat sini”
(Sumber: wawancara 09/12/2009 09:00WIB).

Seluruh rangkaian program pendidikan pemilih pemilu legislatif


2009 tersebut dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Blora pada saat
menjelang pemilu legislatif di semua jajaran penyelenggara dari KPU
kabupaten sampai tingkat KPPS, terhitung mulai tanggal 01 Maret, sampai
dengan 02 April 2009.
Ketika ditanya mengenai kendala yang biasa KPU Kabupaten
Blora hadapi dalam menjalankan program pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009, narasumber dari Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu
menjelaskan bahwa kendala tersebut meliputi: kurang maksimalnya media
sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat, penyesuaian anggaran
dengan kebutuhan, juga sikap apatis masyarakat terhadap pemilu. Seperti
yang dikemukakan oleh narasumber Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu
sebagai berikut:
“Kendalanya seperti banyaknya kelompok sasaran dan luasnya
wilayah sehingga tidak dapat terjangkau secara menyeluruh, kurang
maksimalnya media sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat,
penyesuaian anggaran dengan kebutuhan, sikap apatis masyarakat
terhadap pemilu, dan lain sebagainya. Untuk mengatasinya kita berusaha
memaksimalkan fungsi penyelenggara di tingkat Kecamatan yaitu Panitia
Pemilihan Kecamatan(PPK),ditingkat Desa (PPS) dan ditingkat TPS yaitu
KPPS, selain itu memaksimalkan penggunaan anggaran yang ada dan

45
bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat, juga melaksanakan
sosialisasi di segala segmentasi masyarakat” (Sumber: wawancara
09/12/2009 10:30WIB).
Secara lebih jelas, berikut merupakan hal yang dilakukan oleh
KPU Kabupaten Blora, yang dalam hal ini diwakili oleh divisi sosialisasi
dan kajian pemilu mengenai program pendidikan pemilih yang mereka
lakukan, yang peneliti kutip sesuai dengan Laporan Penyelenggaraan
Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilhan Presiden dan Wapres
Tahun 2009 di Kabupaten Blora (KPU Blora, 2009: 132-141):
1) Pada pelaksanaannya, KPU Kabupaten Blora bertugas
mendistribusikan produk-produk yang berkaitan dengan informasi
Pemilu dan pendidikan pemilih yang berasal dari KPU, KPU Propinsi
Jawa Tengah dan dari KPU Kabupaten Blora sendiri kepada warga
masyarakat di Kabupaten Blora yang tersebar di 16 kecamatan, 295
Desa dan 2401 TPS dengan perincian:
a. Produk yang berasal dari KPU mengenai petunjuk tata cara
Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
i. Buku panduan KPPS sebanyak 5.620, yang di
distribusikan ke 16 Kecamatan, 295 Desa serta 2.401
TPS.
ii. VCD pemungutan dan perhitungan suara Pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD
Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
iii. Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen
untuk menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2009,
contoh tata cara mencontreng surat suara.

46
b. Produk yang berasal dari KPU Propinsi Jawa Tengah.
i. Leaflet tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
ii. Ilustrasi surat suara anggota DPR, DPD, DPRD
Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
iii. Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen
untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.
iv. Buku panduan “Tandai Pilihanmu” yang berisi tentang
pengetahuan Pemilu 2009 sebanyak 500 buah.
c. Produk yang berasal dari KPU Kabupaten Blora
i. Bersumber dari APBN: Stiker 4500 lbr untuk
masyarakat umum, Leaflet 3500 lembar untuk
penyelenggara dan masyarakat umum.
ii. Bersumber dari APBD: Spanduk 315 buah untuk
masing-masing Desa dan Kecamatan, baliho 5 buah
dipasang di pusat-pusat keramaian, radiospot di radio-
radio pemerintah dan swasta, iklan di koran lokal Radar
Bojonegoro dan Suara Merdeka.
2) Mengadakan sosialisasi langsung kepada masyarakat:
a. Sosialisasi di Kabupaten Blora bekerjasama dengan BPS:
i. 1 s.d 31 Maret 2009, melalui lima stasiun radio Blora:
GPN FM, X-FM, Gagak Rimang, Star FM, dan Pop
FM Blora.
ii. 21 s.d 24 Maret 2009, sosialisasi di berbagai daerah
pemilihan Kabupaten Blora: Jepon, Jiken, Bogorejo,
Sambong, Cepu, Kedungtuban, Randublatung, Jati,
Kradenan, Ngawen, Banjarejo, Tunjungan, Japah,
Todanan, dan Kunduran.

47
b. Sosialisasi yang diadakan oleh KPU Kabupaten Blora sendiri:
i. 15 s.d 30 Maret 2009, sosialisasi pada 20 lembaga
pendidikan SMA, SMK, MA, STM dan STAIM Blora.
ii. 2 s.d. 10 Maret 2009, sosialisasi bagi dinas/instansi,
rumah sakit, tokoh agama dan tokoh masyarakat se-eks
Kawedanan Cepu dan kota Blora, PKK, dan LSM.
iii. 31 s.d. 2 April 2009, mobilisasi sosialisasi dengan
pawai di alun-alun Kota Blora, alun-alun Cepu, dan
alun-alun Randublatung.
6. Pelaksana
Pelaksana atau biasa disebut juga komunikator program
pendidikan pemilih merupakan pihak yang paling menentukan sukses
tidaknya program komunikasi. Komunikator setidaknya merupakan pihak
yang paling berpengalaman dan mengerti seluk-beluk organisasi, juga
pihka yang paling menguasasi materi program (Sirozi, 2007: 163).
Dalam melaksanakan program sosialisasi dan pendidikan pemilih,
KPU Kabupaten Blora dibantu dengan staf sekertariat dengan membentuk
kelompok kerja sosialisasi yang bertugas melaksanakan semua program-
program yang telah di rencanakan oleh KPU Kabupaten Blora bernama
Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu (Lihat BAB II). Kemudian divisi
tersebut dibantu juga dengan panitia pemilih dibawahnya yaitu PPK
(Tingkat Kecamatan), PPS (Tingkat Desa), dan KPPS (Tingkat TPS).
Setiap PPK terdiri dari sepuluh orang, dan mereka berhak memilih panitia
pemilihan di bawahnya seperti PPS dan KPPS. Semua anggota KPU
dipilih secara independen dan diambil sumpah/janji pada saat pelantikan
mereka, berdasarkan Keppres. No. 67 Tahun 2002 dan Keputusan
Mendagri No.41 Tahun 2002 (KPU Blora, 2009: 15-45).

48
49
50
51
52
53
B. Evaluasi Dampak Pesan Program Komunikasi KPU Blora pada Pemilu
Legislatif 2009
Untuk mengetahui keberhasilan program pendidikan pemilih yang telah
KPU Kabupaten Blora laksanakan, peneliti mengambil salah satu teori evaluasi
terhadap dampak, yaitu merupakan bagian evaluasi kehumasan yang digunakan
untuk mengukur seberapa jauh hasil yang dinyatakan dalam sasaran untuk
masing-masing publik sasaran dan keseluruhan program yang telah dicapai
(Cutlip, 2000: 436).
Smith (2005: 245-253) dalam bukunya “The Strategic Planning For PR”
menjelaskan beberapa komponen yang digunakan untuk mengukur evaluasi
dampak, yaitu Outputs Evaluations yang diukur melalui produksi dan distribusi
pesan, Evaluations Of Awareness Objectives yang diukur berdasarkan terpaan
pesan, isi pesan, dan pengulangan pesan, kemudian Evaluations Of Action
Objectives, melalui “Audience Participation”.
Untuk mendapatkan hasil evaluasi tersebut, peneliti telah mewawancarai
berbagai narasumber yang merupakan khalayak sasaran pendidikan pemilih pileg
2009 KPU Kabupaten Blora, diantaranya dari pemilih pemula, guru, anggota
PKK, petani, dan pegawai, sebagaimana telah dijelaskan dalam BAB II.
Berikut merupakan hasil temuan peneliti berdasarkan masing-masing
komponen evaluasi tersebut.
1. Outputs Evaluations
Evaluasi ini digunakan untuk mengukur produk komunikasi dan
distribusinya atau berfokus kepada produksi dan penyebaran dari materi
pembantu penyampaian pesan (brosur, spanduk, flyer, iklan, dan lain
sebagainya) (Smith, 2005: 245). Untuk mengukur evaluasi tersebut, peneliti
melakukan wawancara terhadap divisi sosialisasi dan kajian pemilu KPU
Kabupaten Blora, kemudian dibandingkan dengan pernyataan narasumber dari
khalayak sasaran yang telah peneliti wawancara.

54
a. Produksi Pesan
Produksi pesan digunakan untuk mengukur berapa banyak
produksi materi pesan yang telah dibuat untuk menyukseskan program
tersebut (Smith, 2005: 246). Sesuai dengan hasil wawancara yang telah
dilakukan oleh peneliti dan data yang ada, maka berikut merupakan
perincian produksi materi pesan yang telah dibuat dan distribusikan oleh
KPU Kabupaten Blora (KPU Blora, 2009: 132-141):
1) Produk yang berasal dari KPU mengenai petunjuk tata cara Pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
a) Buku panduan KPPS sebanyak 5.620, yang di distribusikan ke
16 Kecamatan, 295 Desa serta 2.401 TPS.
b) VCD pemungutan dan perhitungan suara Pemilu anggota DPR,
DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk
menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2009, contoh tata cara
mencontreng surat suara.
2) Produk yang berasal dari KPU Propinsi Jawa Tengah.
a) Leaflet tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota.
b) Ilustrasi surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota.
c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk
menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.
d) Buku panduan “Tandai Pilihanmu” yang berisi tentang
pengetahuan Pemilu 2009 sebanyak 500 buah.

55
3) Produk yang berasal dari KPU Kabupaten Blora
a) Bersumber dari APBN: Stiker 4500 lembar untuk masyarakat
umum, Leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan
masyarakat umum.
b) Bersumber dari APBD: Spanduk 315 buah untuk masing-
masing Desa dan Kecamatan, baliho 5 buah dipasang di pusat-
pusat keramaian, radiospot di radio-radio pemerintah dan
swasta, iklan di koran lokal Radar Bojonegoro dan Suara
Merdeka.
b. Distribusi Pesan
Distribusi pesan digunakan untuk mengukur penyebaran materi
pesan, apakah sudah merata atau belum (Smith, 2005: 246). Berdasarkan
hasil wawancara dengan pihak KPU Kabupaten Blora, materi pesan
tersebut yang berupa Buku Panduan KPPS, VCD Pemilu, dan Poster
disebarkan ke seluruh penjuru kecamatan, desa, dan TPS di Kabupaten
Blora. Sedangkan spanduk 315 buah dipasang di setiap pusat keramaian
desa dan kecamatan di Kabupaten Blora yang memiliki 16 kecamatan,
yang dibagi lagi atas 271 desa dan 24 kelurahan, dengan kata lain setiap
satu wilayah baik kecamatan, desa, maupun kelurahan mendapatkan satu
spanduk untuk dipasang dikeramaian. Sedangkan baliho yang dipasang
hanya 5 buah saja, dan khusus untuk dipasang di pusat keramaian
kecamatan kota Blora dan Cepu. Stiker dan leaflet Pemilu yang disebarkan
untuk masyarakat umum agaknya hanya berjumlah sekitar 9.000,
dibandingkan dengan banyaknya jumlah DPT Pileg yang meningkat 20%
dari tahun sebelumnya sebanyak 697.350 pemilih.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak KPU Kabupaten
Blora, stiker, leaflet, maupun materi lain dari produk tersebut dibagikan
pada saat sosialisasi dilakukan:

56
“Kami membagikan sebagian atribut pemilu seperti brosur dan
flyer, pada setiap sosialisasi, dan disana juga diputarkan VCD Ayo
Mencontreng” (Sumber: wawancara 10/12/2009 13:30WIB).
Namun, agaknya beberapa peserta tidak menerima materi tersebut.
Ini ditunjukkan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan
beberapa khalayak sasaran yang mengaku bahwa mereka tidak
mendapatkan leaflet atau brosur sewaktu mengikuti sosialisasi sehingga
mereka terkendala dan banyak pihak yang lupa pesan dari sosialisasi
sewaktu mereka selesai mengikuti program tersebut karena tidak
mencatat. Bahkan tak jarang di antara mereka memberikan saran kepada
pihak KPU Kabupaten Blora untuk memberikan media pembantu
penyampaian pesan lain seperti pamflet, atau flyer untuk mereka bawa
pulang sehingga kelak mereka bisa mempelajarinya. Seperti yang
diungkapkan oleh seorang narasumber PKK bernama Ibu Ainiah ketika
ditanya tentang kritik dan saran yang mereka ingin sampaikan kepada
KPU terkait dengan sosialisasi yang mereka ikuti:
“Mungkin selain kita diberi penjelasan melalui ceramah tadi, harus
dikasih media pembantu lain seperti brosur atau apa gitu biar lebih jelas,
dan setelah penyampaian tersebut saya tidak lupa lagi” (Sumber:
wawancara 04/12/2009 15:30WIB).
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh narasumber guru
bernama Bapak Widodo, “Sosialisasi dari KPU terkesan monoton, karena
kurang adanya interaksi, apalagi media pembantu seperti brosur, flyer,
hanya dijadikan contoh, tidak dibagikan kepada peserta satu-persatu. Ini
yang menyebabkan mereka lupa sepulang dari acara sosialisasi tadi”
(Sumber: wawancara 16/12/2009 08.00WIB).

57
2. Evaluations Of Awareness Objectives
Evaluasi ini digunakan untuk menunjukkan nilai yang menawarkan
taktik komunikasi organisasi, khususnya efektivitas mereka dalam mencapai
kesadaran, sikap dan tindakan tujuan. Evaluasi terfokus pada kesadaran dari
isi pesan. Hal ini mempertimbangkan berapa banyak orang yang terkena
pesan, bagaimana pesan tersebut mudah untuk dipahami dan berapa banyak
pesan yang ingat (Smith, 2005: 245). Untuk mendapatkan hasil evaluasi
tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan narasumber pemilih pemula,
guru, kelompok PKK, dan pegawai/karyawan/petani (seperti yang telah
dijelaskan peneliti sebelumnya).
Evaluasi ini diukur melalui komponen-komponen sebagai berikut:
a. Terpaan Pesan (Message Exposure)
Evaluasi ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar
ketertarikan khalayak sasaran terhadap program pendidikan pemilih
tersebut (Smith, 2005: 245). Berikut merupakan hasil wawancara dengan
narasumber terkait dengan terpaan pesan:
1) Pemilih Pemula
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti
terhadap kedua narasumber, mereka mempunyai pandangan yang
berbeda terhadap program ini. Peneliti sengaja memilih narasumber
berbeda jenis kelamin dan sekolah mereka. Narasumber yang pertama
seorang perempuan bernama Ana yang bersekolah di SMA terfavorit
pertama di Blora (SMAN 01 Blora), berpendapat bahwa dia sangat
tertarik akan program tersebut, karena pemilu merupakan hal yang
baru pertama kali ia lakukan, sehingga ia merasa penasaran dan ingin
tahu lebih lanjut tentang pemilu.
“Karena saya baru pertama kali memilih, jadi sangat tertarik
ingin tahu apa sih itu pemilu dan bagaimana cara memilih” (Sumber:
wawancara 16/12/2009 09:15WIB).

58
Sedangkan narasumber yang lain berjenis kelamin laki-laki
bernama Singgih dan bersekolah di SMA yang berbeda dengan
narasumber pertama (SMAN 01 Tunjungan Blora), dengan kualitas
sekolah yang hampir sama baiknya dengan sekolah narasumber
pertama, berpendapat bahwa program ini tidak begitu membuat dirinya
tertarik, alasannya mengikuti program tersebut hanya karena dipaksa
oleh pihak sekolah.
“Sebenarnya biasa saja, karena waktu itu kan kita anak kelas
tiga wajib ikut acara itu” begitu jawabnya ketika ditanya tentang
seberapa besar ketertarikannya terhadap acara tersebut (Sumber
wawancara 16/12/2009 10:00WIB).
Namun keduanya sepakat untuk mengatakan bahwa program
ini bermanfaat, sedangkan ketika ditanya apakah mereka mau
mengikuti program tersebut lagi, narasumber yang pertama Ana
menjawab:
“Kalau ada waktu, tentu kenapa tidak” (Sumber: wawancara
16/12/2009 09.15WIB).
Jawaban yang berbeda dikemukakan oleh narasumber kedua
ketika ditanya kesanggupannya untuk mengikuti kembali program
tersebut, dia lebih terkesan enggan untuk mengikuti lagi.
“Tidak tahu mungkin ikut kalau ada waktu, tergantung mood”
begitu ungkap narasumber kedua Singgih (Sumber: wawancara
16/12/2009 10:00WIB).
2) Guru
Menurut pendapat guru yang telah peneliti wawancara,
menunjukkan ketertarikan mereka berada dalam kadar yang berbeda.
Seorang guru yang juga merupakan penyelenggara program tersebut di
sekolahnya bernama Ibu Sutiyani mengatakan ketertarikannya
terhadap program ini, karena menganggap program pendidikan

59
pemilih sangat bermanfaat bagi muridnya yang baru pertama kali
mengikuti pemilu dengan mengatakan:
“Saya sangat tertarik, apalagi mengingat anak-anak didik saya
yang belum pernah ikut berpartisipasi dalam pemilu. Jadi saya harus
mengajarkan pengetahuan ini kepada mereka” (Sumber: wawancara
16/12/2009 08:00WIB).
Sedangkan pendapat lain ditunjukkan guru yang satunya Bapak
Widodo, dengan mengatakan bahwa dia mengikuti program tersebut
hanya sebatas ingin tahu saja. Namun keduanya juga sepakat bahwa
kegiatan ini sangat bermanfaat bagi siswa mereka, dan berharap pada
pemilu mendatang kegiatan ini tetap dilakukan, mereka mengatakan:
“Bagi para siswa yang baru pertama kali memilih kegiatan ini
sangat bermanfaat, dan bagi masyarakat awam juga agar mereka lebih
tahu tentang pemilu” (Sumber: wawancara 16/12/2009 11:00WIB).
3) Kelompok PKK
Kedua narasumber menunjukkan ketertarikan yang besar
terhadap program ini, apalagi salah satu narasumber bernama Ibu
Ernaning bertugas untuk memberikan sosialisasi kepada anggota PKK
di bawahnya, karena kewajiban narasumber sebagai tim penggerak
PKK. Seperti yang diungkapnya sebagai berikut:
“Saya tertarik karena selain pemilu kali ini berbeda, saya juga
berkewajiban untuk menyebarkan informasi pemilu ke anggota PKK
lain di daerah saya, jadi saya harus paham mengenai seluk beluk
pemilu ini” begitu ungkap anggota penggerak PKK tersebut (Sumber:
wawancara 12/12/2009 14:00WIB).
Ketertarikan ini juga ditunjukkan dengan kesediaan mereka
untuk berpartisipasi lagi dalam program pendidikan pemilih
selanjutnya, seperti yang telah dikatakan oleh narasumber bernama Ibu
Ainiah:

60
“Sosialisasi ini sangat bermanfaat karena ini membantu saya
agar suara saya nanti sah tidak terbuang dengan percuma, kalau pemilu
mendatang ada sosialisasi lagi, mungkin saya mau ikut” (Sumber:
wawancara 12/12/2009 17:30WIB).
4) Pegawai/Karyawan
Narasumber yang berasal dari PNS bernama Bapak Rusmanto,
menjawab bahwa dia cukup tertarik karena penasaran dengan
pemberitaan media yang menyebutkan bahwa pemilu kali ini berbeda:
“Cukup tertarik, karena saya penasaran juga katanya pemilu
sekarang ini beda dari kemarin caranya” begitu ungkap narasumber
(Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30WIB).
Ketika ditanya mengenai manfaat sosialisasi ini, narasumber
menjawab:
“Lumayan bermanfaat, biar kita lebih tahu tentang pemilu
karena dari periode ke periode kan berbeda-beda regulasinya. Iya pasti
saya mau ikut selama saya bisa” (Sumber: wawancara 04/12/2009
15:30WIB).
5) Petani
Narasumber dari kalangan petani bernama Bapak Musta‟in
mengatakan ketertarikan program ini hanya sebatas untuk menambah
wawasan saja. Ketika ditanya tentang manfaat sosialisasi ini dia
mengatakan:
“Cukup bermanfaat, bagi saya manfaatnya jadi lebih tahu
tentang apa itu pemilu, dan bilamana masih ada kesempatan tidak ada
salahnya ikut berpartisipasi lagi” (Sumber: wawancara 05/12/2009
16:00WIB).

61
b. Isi Pesan (Message Content)
Evaluasi ini berfokus pada isi pesan. Apakah positif, atau hanya
memberikan data yang salah? Kesimpulan tak beralasan? Atau informasi yang
ketinggalan jaman? (Smith, 2005: 247).
1) Pemilih Pemula
Salah satu narasumber Ana merasa paham akan isi pesan yang
disampaikan, namun narasumber lain agaknya kurang menyimak betul
apa yang dipaparkan oleh pihak KPU, terbukti ketika ditanya siswa
tersebut hanya menggelengkan kepala dan menjawab:
“Saya kurang memerhatikan kemarin, dan sudah lupa” (Sumber:
wawancara 16/12/2009 10:00WIB).
Kedua narasumber tersebut berpendapat bahwa penyampaian
pesan yang dilakukan dalam sosialisasi terlalu membuat mereka bosan.
“Saya paham sih sebagian, tapi karena menurut saya
penyampaiannya agak membosankan jadi saya malah mengobrol dengan
teman-teman saya. Membosankan karena kurang menarik saja” begitu
ungkap salah seorang narasumber (Sumber: wawancara 16/12/2009
09:15WIB).
Karena itu, banyak dari teman-teman mereka tidak
memerhatikan juga. Bahkan, beberapa dari mereka menyarankan kepada
KPU untuk mengemas acara tersebut secara lebih menarik, tidak
monoton, misalnya dengan game dan doorprize pada sesi tanya jawab.
2) Guru
Menurut pendapat para guru, pada dasarnya pesan yang
disampaikan cukup baik, namun cara penyampainnya cenderung kurang
interaktif dan melibatkan siswa mereka dalam hal berfikir aktif dan ikut
berdiskusi, sehingga para murid banyak yang merasa bosan.
“Secara keseluruhan materinya menarik, namun harus
diperbanyak dialog interaktif dengan anak-anak agar mereka ikut

62
berfikir juga bukan hanya mendengar, yang saya lihat masih ada
sebagian anak yang berbicara sendiri pada saat kegiatan berlangsung”
begitu narasumber berpendapat (Sumber wawancara 16/12/2009
11:00WIB).
Ketika ditanya mengenai kritik dan saran terhadap sosialisasi
tersebut kepada KPU, narasumber Ibu Sutiyani menjawab:
“Agar kegiatan seperti ini lebih digiatkan lagi, apalagi bagi
pemilih pemula lebih diperbanyak intensitasnya, dan seperti yang saya
jelaskan tadi, dialog interaktif dengan siswa lebih ditingkatkan, jadi
mereka bisa berfikir aktif lagi mengenai pengetahuan Pemilu” (Sumber:
wawancara 16/12/2009 08:00WIB).
3) Kelompok PKK
Kedua narasumber kelompok PKK sepakat bahwa pesan yang
disampaikan oleh KPU mudah dipahami, namun perlu diperbaiki cara
penyampaian mereka, terkait dengan kurangnya dialog interaktif dan
tidak adanya media pembantu seperti brosur atau flyer yang dibagikan
kepada masing-masing peserta.
“Mengenai masalah penyajian, karena biasanya pada sosialisasi
di bawah seperti anggota PKK lainnya kan waktunya singkat, jadi
kurang tanya jawab dan tidak ada tukar pikiran, nah saran saya mungkin
lain kali kusus untuk anggota PKK lainnya diberi waktu khusus lagi
yang membahas tentang sosialisasi, jadi biar efektif pesan sosialisasi
sampai kepada pendengarnya” begitu ungkap narasumber ketika ditanya
tentang saran yang ingin disampaikan terhadap KPU terkait program
tersebut (Sumber: wawancara 12/12/2009 14:00WIB).
4) Pegawai/Karyawan
Berikut merupakan jawaban narasumber Bapak Rusmanto
ketika ditanya tentang penyampaian pesan sosialisasi pileg 2009 yang
diikutinya:

63
“Materinya sebenarnya mudah dipahami, tapi kurang digali
lagi. Karena yang disampaikan hanya yang umum saja seperti definisi
pemilu, dan cara memilih. Kurang yang soal penjelasan siapa calon-
calonnya, jadi kita bisa diberi gambaran mau memilih siapa nantinya.
Apalagi sekarang banyak sekali calegnya, jadi bingung saya mau pilih
siapa” (Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30WIB).
5) Petani
Narasumber Bapak Musta‟in mengungkapkan bahwa
sosialisasi yang dia ikuti kurang maksimal karena masyarakat banyak
yang belum mengerti dengan pesan yang disampaikan oleh KPU
Kabupaten Blora, seperti yang diungkapkannya berikut:
“Sosialisasi KPU di Kabupaten Blora menurut saya kurang
maksimal sehingga masyarakat masih banyak yang kurang atau bahkan
tidak faham tentang bagaimana cara mencontreng yang sah, terutama
pada masyarakat awam di pelosok desa. Karena saya sering bergaul
dengan mereka dan sebagian dari mereka merasa cuek dengan pemilu
itu. Kalau terkait dengan penyampaian materi, menurut saya mudah
dimengerti” (Sumber: wawancara 15/12/2009 16:00WIB).
Narasumber berpendapat bahwa sebaiknya sosialisasi KPU
dilakukan di berbagai tempat, sehingga seluruh lapisan masyarakat
terkena sosialisasi agar mereka paham, apalagi yang di daerah pelosok
desa perlu diperbanyak.

c. Mengingat Pesan (Message Recall)


Evaluasi ini digunakan untuk mengukur sejauhmana peserta
memahami pesan yang mereka ketahui setelah mengikuti program
pendidikan pemilih (Smith, 2005: 248). Peneliti menggunakan beberapa
pertanyaan seperti: Apa yang mereka ketahui tentang pemilu dan seberapa
penting pemilu bagi warga negara Indonesia? Adakah perbedaan sistem

64
pemilu 2009 dengan pemilu sebelumnya tahun 2004, lebih mudah atau
sulitkah? Bagaimana cara mencontreng yang benar dan sah? Apakah mereka
mengetahui pendidikan pemilih? Kemudian setelah mengikuti sosialisasi,
hal apa saja yang mereka pahami dari pesan kegiatan pendidikan pemilih
tersebut?.
Berikut merupakan hasil wawancara peneliti, terhadap beberapa
pertanyaan tersebut:
1) Pemilih Pemula
Pada hasil wawancara dengan pemilih pemula, jawaban yang
singkat mereka paparkan ketika peneliti bertanya tentang definisi
pemilu, yaitu pemilihan Presiden dan anggota DPR lainnya. Ketika
mereka berdua ditanya tentang seberapa penting pemilu bagi warga
negara Indonesia, salah satu dari narasumber Ana menjawab dengan
kalimat singkat “Cukup penting” (Sumber: wawancara 16/12/2009
10:00WIB).
Sedangkan narasumber Singg menganggap bahwa pemilu
lumayan penting karena nasib negara Indonesia ditentukan oleh pihak
yang menang dalam pemilu.
Namun ketika keduanya ditanya tentang perbedaan pemilu 2009
dengan pemilu sebelumnya, keduanya menjawab kurang tahu, karena
pemilu sebelumnya mereka tidak ikut berpartisipasi. Keduanya juga
tidak mengerti apa itu pendidikan pemilih ketika peneliti ingin
mengetahui lebih lanjut tentang pemahaman mereka terhadap
pendidikan pemilih, mereka hanya menjawab “Kurang tahu” (Sumber:
wawancara 16/12/2009 10:00WIB).
Keduanya juga sepakat menjawab bahwa pesan yang ingin
disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora dalam sosialisasi yang mereka
ikuti di sekolah merupakan sosialisasi mengenai cara mencontreng yang
benar dan sah. Hal ini dikemukakan karena mereka mengaku sudah lupa

65
dengan sosialisasi tersebut, dengan alasan program itu sudah lama
berlangsung.
“Seingat saya berkaitan dengan cara mencontreng yang benar
bagaimana gitu, soalnya saya sudah lupa” begitu ungkap narasumber
Ana (Sumber: wawancara 16/12/2009 09:15WIB).
Namun keduanya dapat menjawab dengan singkat mengenai cara
mencontreng pada pemilu legislatif 2009 kali ini, yaitu setiap lembar
kertas suara cukup satu contrengan, boleh terletak pada gambar partai
atau caleg, dan sudut contrengan jangan sampai melebihi gambar partai
atau caleg lainnya.
2) Guru
Hasil wawancara dengan kedua narasumber guru ketika ditanya
tentang arti pemilu, keduanya sepakat menjawab bahwa pemilu
merupakan perwujudan aspirasi rakyat Indonesia untuk memperoleh
pemimpin mereka, sebagai perwujudan dari Indonesia, yang merupakan
negara demokrasi.
Keduanya juga berpendapat bahwa pemilu sangat penting
dilakukan dengan alasan ini merupakan pesta demokrasi rakyat
Indonesia untuk memperoleh pemimpinnya dari, oleh, dan untuk rakyat
Indonesia. Bahkan salah satu dari mereka berpendapat bahwa pemilu
dapat dikatakan berhasil apabila dijalankan sebagaimana mestinya dan
menurut asas yang berlaku, yaitu luber dan jurdil.
Jawaban yang berbeda mereka perlihatkan ketika ditanya tentang
sistem pemilu saat ini dibandingkan dengan sistem pemilu kemarin.
Salah satu narasumber Ibu Sutiyani berpendapat bahwa sistem pemilu
sekarang lebih mudah karena setiap masyarakat bisa mencalonkan diri
sebagai caleg, tidak peduli derajat maupun pengalaman mereka.
Sedangkan narasumber lain berpendapat bahwa pemilu sekarang lebih
rumit dan banyak yang harus diperbaiki karena banyaknya kekacau-

66
balauan pasca pemilu seperti banyaknya jumlah suara yang tidak sah,
DPT ganda, serta kasus-kasus lainnya.
Keduanya juga memahami arti dari pendidikan pemilih sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh aparat pemilu (KPU, panwaslu, dan lain
sebagainya) untuk mengedukasi masyarakat mengenai pemilu.
“Pendidikan pemilih adalah kegiatan yang dilakukan oleh aparat
pemilu (partai, KPU, atau lembaga lainnya) untuk menginternalisasikan
nilai-nilai Pemilu kepada rakyat sesuai dengan pemahaman ideologi
yang mereka usung” begitu jawab salah satu narasumber tersebut
(Sumber: wawancara 16/12/2009 11:00WIB).
Pemahaman mereka akan pendidikan pemilih disebabkan karena
keduanya telah mengikuti pendidikan pemilih beberapa kali. Ketika
ditanya tentang hal apa saja yang mereka pahami mengenai pesan dari
sosialisasi pendidikan pemilih yang telah mereka ikuti, keduanya
menjawab pesan tersebut mengenai seluk beluk pemilu, bagaimana cara
memilih, dan penjelasan mengenai perundang-undangan pemilu lainnya.
3) Kelompok PKK
Ketika peneliti menanyakan tentang definisi pemilu terhadap
kedua narasumber, jawaban yang berbeda mereka kemukakan.
Narasumber pertama menjawab:
“Pemilu berguna untuk memilih pemimpin Indonesia agar bisa
menentukan nasib negara ini, yang bergantung pada pemimpin yang kita
pilih tersebut” (Sumber: wawancara 12/12/2009 17:30WIB).
Sedangkan narasumber lain Ibu Ernaning mengemukakan bahwa
pemilu merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan
regenerasi kepemimpinan, kalau dahulu pemilihannya masih
representatif oleh DPR, rakyat hanya sebatas memilih partai saja,
sekarang secara langsung rakyat bisa memilih presidennya.

67
Ketika kedua narasumber ditanya mengenai pengetahuan mereka
tentang pendidikan pemilih, narasumber pertama mengaku tidak
mengetahui apa itu pendidikan peilih, namun keduanya lebih akrab
dengan istilah sosialisasi, yaitu diskusi yang dilakukan oleh KPU untuk
calon pemilih supaya lebih mengetahui tentang pemilu dan
menggunakan haknya dengan benar.
Mereka sama-sama pernah mengikuti program pendidikan
pemilih sewaktu menjelang pemilu-pemilu sebelumnya pada pertemuan
rutin PKK. Keduanya juga paham mengenai cara mencontreng yang
benar dan sah ketika peneliti menanyakan hal tersebut, mereka
menjawab:
“Setiap pemilih diberi tiga kertas dengan warna yang berbeda
menunjukkan ketiga tingkatan daerah pemilihan, yaitu DPR, DPD, dan
DPRD. Kemudian tugas pemilih tinggal memberi satu contrengan saja
pada setiap kertas suara, bisa pada gambar partai ataupun gambar atau
nama calegnya. Intinya jangan sampai sudut contrengan mengenai
gambar partai atau caleg lainnya” (Sumber: wawancara 12/12/2009
17:30 WIB).
Ketika ditanya tentang pesan apa yang mereka dapatkan setelah
mengikuti sosialisasi tersebut, salah satu narasumber mengaku sudah
lupa dan hanya mengingat mengenai cara mencontreng yang benar,
sedangkan narasumber lainnya menjawab:
“Kami diberi penjelasan tentang definisi pemilu, dan partai apa
saja yang ikut, yang terpenting adalah diberi penjelasan bagaimana cara
mencontreng yang benar dan sah” (Sumber: wawancara 12/12/2009
14:00 WIB).
4) Pegawai/Karyawan
Ketika peneliti menanyakan tentang apa itu pemilu terhadap
narasumber Bapak Rusmanto menjawab:

68
“Pemilu merupakan suatu jalan yang harus ditempuh bangsa ini
setiap lima tahun sekali untuk memperbaharui kepemimpinan dan sistem
yang sudah tidak layak digunakan, agar nasib bangsa ini lebih baik lagi,
tidak kalah bersaing dengan negara lainnya” (Sumber: wawancara
04/12/2009 15:30WIB).
Ketika menjawab pertanyaan peneliti tentang seberapa penting
pemilu, narasumber mengungkapkan:
“Pemilu sangat penting bagi warga negara, karena menyangkut
siapa yang akan dijadikan imam untuk memimpin dan membuat negara
ini menjadi lebih baik. Tapi sayangnya sekarang pemilu malah dijadikan
ajang politik memperebutkan jabatan semata” (Sumber: wawancara
04/12/2009 15:30WIB).
Ketika ditanya mengenai hal apa saja yang narasumber dapatkan
dari sosialisasi, dia menjawab:
“Kita harus menggunakan hak pilih dengan benar, dan saya juga
diajari bagaimana cara memilih yang sah agar suara kita tidak terbuang
dengan percuma” (Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30WIB).
Narasumber berharap agar pemilu di Indonesia ini dapat berjalan
dengan lebih baik lagi, termasuk penyelenggaranya harus jujur dan adil.
5) Petani
Ketika peneliti menanyakan tantang apa itu pemilu, narasumber
menjawab:
“Pemilu itu memilih pemimpin di berbagai jajaran, seperti
DPRD, DPD, DPR RI, Presiden, Wakil Presiden, dan Bupati” (Sumber:
wawancara 05/12/2009 16:00WIB).
Narasumber mengungkapkan sudut pandangnya ketika
menjawab pertanyaan peneliti tentang seberapa penting pemilu:
“Pemilu sangat penting, namun mereka sepakat bahwa pemilu
harus dijalankan secara amanah sesuai dengan UUD‟45, karena

69
sekarang ini banyak terjadi kecurangan dimana-mana bahkan dari si
penyelenggara pemilu sendiri, kalau seperti ini justru pemilu itu
merugikan bagi rakyat Indonesia karena demi kepentingan elit politik
tertentu saja” (Sumber: wawancara 05/12/2009 16:00WIB).
Ketika peneliti ingin mengetahui sejauhmana narasumber
mengerti tentang pendidikan pemilih, narasumber menjawab pendidikan
pemilih sebagai suatu upaya KPU untuk mencerdaskan masyarakat atau
calon pemilih agar lebih mengetahui apa itu pemilu dan betapa
pentingnya pemilu bagi warga negara Indonesia.
Ketika ditanya mengenai perbedaan sistem pemilu 2009 dengan
sistem pemilu tahun sebelumnya, narasumber berpandangan bahwa
sistem pemilu kali ini lebih sulit karena melihat banyaknya
permasalahan yang muncul pasca pemilu.
Ketika ditanya mengenai pesan yang mereka dapat setelah
mengikuti sosialisasi tersebut, narasumber mengatakan:
“Mungkin tentang demokrasi yang harus kita buktikan dengan
berpartisipasi dalam pemilu ini, jadi kita dituntut untuk menjadi pemilih
yang pintar menganalisa pemimpin, jangan termakan money politic dan
janji mereka saja” (Sumber: wawancara 05/12/2009 16:00WIB).

3. Evaluations Of Action Objectives, melalui “Audience Participation”


Evaluasi ini diukur berdasarkan angka-angka publik yang aktif
menanggapi pesan organisasi (Smith, 2005). Evaluasi ini digunakan untuk
mengukur jumlah kehadiran khalayak sasaran yang ditentukan dari jumlah peserta
yang hadir pada setiap program komunikasi, dan jumlah pemilih yang ikut
berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009.
Pada bagian sebelumnya, peneliti telah menjelaskan bahwa KPU
Kabupaten Blora selaku penyelenggara pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009, tidak mencantumkan daftar hadir peserta setiap acara sosialisasi

70
berlangsung. Namun berdasarkan hasil wawancara, pihak KPU yang diwakili oleh
Kepala Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu, Ibu Rokhayatin, mengatakan bahwa
sekitar 80% peserta hadir di setiap sosialisasi yang mereka selenggarakan.
“Jumlah kehadiran peserta kita sudah lupa karena di setiap sosialisasi
kami tidak mendatanya, namun kalau dipersentase sekitar 80% rata-rata disetiap
sosialisasi mereka hadir semua” (Sumber: wawancara 06/12/2009 09:00).
Kemudian partisipasi masyarakat yang melakukan pemilihan, dilihat dari
data KPU Kabupaten Blora yaitu jumlah masyarakat yang mengikuti Pemilu
legislatif 2009 menurun dibandingkan dengan pemilu pada 2004 lalu, berdasarkan
data yang dimiliki KPU yaitu DPT pemilu legislatif tahun 2004 sejumlah
598251pemilih, yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 493022 pemilih,
berarti sebanyak 105. 229 pemilih atau sekitar 18 % pemilih tidak menggunakan
hak pilihnya, dengan jumlah suara tidak sah sebesar 118.286 pemilih atau sekitar
23% pemilih telah sia-sia menggunakan hak pilihnya. Sedangkan Pemilu 2009
jumlah DPT Pileg meningkat 20% sebanyak 697.350 pemilih, yang menggunakan
hak pilihnya sejumlah 518.997 pemilih dan yang tidak menggunakan hak pilihnya
sejumlah 178.353 pemilih atau 25% meningkat 7% dari tahun sebelumnya,
dengan jumlah suara tidak sah sebesar 122.614 atau 23% pemilih tidak sah,
hampir sama jumlahnya dengan pemilu sebelumnya (KPU Blora:2009).
Evaluasi ini juga mengukur sejauhmana keberhasilan program pendidikan
pemilih tersebut dalam membujuk para calon pemilih/khalayak sasaran program
untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009. Berikut merupakan hasil
partisipasi pemilu legislarif 2009 para narasumber yang telah peneliti wawancara.
a. Pemilih Pemula
Kedua narasumber baru pertama kali memilih, dan mereka sama-sama
ikut berpartisipasi dalam pileg 2009, walaupun mereka hanya memilih
berdasarkan iseng saja.

71
“Kalau pas pileg saya cuma ikut-ikutan saja, tapi pas pilpres saya
memilih berdasarkan yang saya senangi” begitu ungkap salah satu narasumber
ketika ditanya tentang partisipasi mereka dalam pileg 2009 (Sumber:
wawancara 16/12/2009 09:15WIB).
b. Guru
Narasumber guru yang pertama Ibu Sutiyani mengikuti setiap pemilu
yang pernah dilaksanakan pemerintah.
“Saya berpartisipasi aktif pada pemilu 2009 kali ini baik di pilleg
maupun pilpres. Karena setiap pemilu saya usahakan ikut” begitu ungkap
narasumber tersebut (Sumber: 16/12/2009 08:30WIB).
Berbeda dengan narasumber kedua Bapak Widodo yang mengaku
tidak berpartisipasi dalam pileg 2009 karena merasa bingung dengan
banyaknya caleg yang ada, dan belum bisa menentukan pilihan mereka.
“Pemilu legislatif kemarin saya tidak ikut karena tidak ada pandangan
harus memilih siapa, namun pada saat pilpres saya ikut berpartisipasi” ungkap
salah seorang narasumber (Sumber: wawancara 16/12/2009 11:00WIB).
c. Kelompok PKK
Kedua narasumber sudah bisa menentukan sikap dan ikut serta dalam
pileg 2009 ini berdasarkan pandangan dan hati nurani mereka.
“Setiap pemilu saya usahakan ikut, sepertinya saya tidak pernah absen
saat pemilu karena saya selalu berusaha mencermati apa yang akan saya pilih”
(Sumber: wawancara 12/12/2009 14:00WIB).
d. Pegawai/Karyawan
Narasumber Bapak Rusmanto memutuskan untuk tidak ikut
berpartisipasi, “Saya kemarin hanya mengikuti pilpres, karena pilleg saya
bingung mau memilih yang mana, terlalu banyak pilihan dan calon yang
belum saya kenal” begitu ungkapnya (Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30).

72
e. Petani
Walaupun sudah mengikuti sosialisasi, narasumber memutuskan untuk
tidak berpartisipasi dalam pileg 2009 kali ini, karena merasa belum terlalu
mengenal calon yang ada, sehingga calon-calon tersebut belum bisa mewakili
aspirasinya.

73
BAB IV
PEMBAHASAN

Berikut ini merupakan penjabaran dari hasil temuan yang ada (BAB III),
berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti dengan berbagai narasumber
(lihat BAB II), juga dari data sekunder baik berupa flyer, brosur, lembar presentasi,
maupun laporan penyelenggaraan pemilu 2009, yang kemudian akan dibahas berdasarkan
berbagai kajian teori komunikasi yang relevan. Pembahasan akan dipaparkan berdasarkan
dua pokok kajian utama, yaitu program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 KPU Kabupaten Blora, yang digunakan untuk mengetahui secara lebih rinci dan
jelas mengenai program komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora pada
pemilu legislatif 2009. Selain itu, pembahasan selanjutnya digunakan untuk
mengevaluasi aktivitas komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 kepada
masyarakat Blora ditinjau dari segi dampak pesan dari program komunikasi.

A. Program Komunikasi Pendidikan Pemilih Pemilu Legislatif 2009 KPU Kabupaten


Blora
Berikut merupakan program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora, yang akan dibahas berdasarkan enam
aspek komponen program komunikasi pendidikan pemilih, yang dikemukakan oleh
Sirozi (2007: 161-163), yaitu tujuan, target, materi, sasaran, bentuk program, dan
pelaksana.
1. Tujuan
Pelaksanaan pendidikan pemilih hendaknya harus memiliki tujuan yang
jelas, sebagai tolak ukur berjalannya program pendidikan pemilih. Menurut Sirozi
(2007: 161) tujuan pendidikan pemilih yang baik pada hakikatnya mencakup dua
hal, yaitu:

74
a) Mendidik calon pemilih agar memahami arti penting pemilu bagi masa
depan demokrasi di Indonesia.
b) Mendidik calon pemilih agar dengan penuh kesadaran mau menggunakan
hak pilih mereka, dan turut serta menjaga kelancaran dan keberhasilan
pelaksanaan pemilu.
Tujuan atau objective adalah titik yang hendak dituju organisasi,
sehingga organisasi mempunyai gambaran yang jelas mengenai keberadaannya
sekarang, dan pandangan kemana titik spesifik yang hendak dicapai. Tujuan
dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan tertulis dan jelas tentang hal-hal
yang mesti dicapai organisasi selama kurun waktu tertentu yang masuk akal,
dan konsisten dengan objective organisasi secara menyeluruh (Kasali, 2005:
56). Secara lebih jelas, Kasali dalam bukunya „Manajemen Public Relations
Konsep dan Aplikasinya di Indonesia‟ mengemukakan bahwa objective
hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harus dinyatakan secara tertulis, karena objective yang tidak tertulis
biasanya tidak bisa dipertanggungjawabkan dan kurang spesifik.
b. Harus dinyatakan secara jelas dan singkat, penggunaan kalimat yang
terlampau panjang memungkinkan untuk menafsirkannya berbeda.
c. Harus spesifik pada batasan tertentu, sesuai dengan job descriptions
masing-masing divisi dalam suatu organisasi.
d. Harus mencakup batasan waktu yang spesifik, perlu ditetapkan kapan
setiap kegiatan hendak dilakukan dan apa objective-nya dalam batas
waktu tersebut.
e. Objective harus dapat dinyatakan dalam ukuran yang terukur.
f. Objective harus konsisten dengan objective organisasi secara
menyeluruh.
g. Objective harus dapat dijangkau, tetapi tetap memberi tempat yang
menantang untuk merangsang usaha.

75
Fleet dalam bukunya „Strategic Communications Planning‟ (2007),
mengemukakan konsep SMART untuk merumuskan tujuan, yaitu:
S :Spesific, harus dikemukakan secara terperinci.
M :Measurable, harus dapat diukur secara kuantitas.
A :Achievable, dapat memberikan dampak positif bagi organisasi.
R :Realistic, masuk akal.
T :Time focused, memiliki batasan waktu yang pasti.
Ketika diwawancarai mengenai tujuan program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora, narasumber
yang diwakili oleh Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu berpendapat:
“KPU Kabupaten Blora ingin lebih meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan masyarakat akan pentingnya pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD
yang biasa disebut pileg dalam membangun kehidupan demokrasi di Kabupaten
Blora. Untuk sosialisasi, kami berharap untuk mengadakan komunikasi secara
langsung dengan khalayak sasaran dari berbagai lapisan program, sehingga
pesan langsung dapat tersampaikan. Kalau program seperti iklan dan interview
di radio, kami ingin menjalin kerjasama dengan berbagai media lokal agar turut
membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat yang belum tersentuh oleh
sosialisasi tadi. Dan pawai atau mobilisasi sosial kami adakan sebagai simbol
kemeriahan pesta demokrasi, dengan tujuan menarik minat massa pada
keramaian agar mereka ingat momen unik tersebut, dan ikut berpartisipasi
dalam pemilu legislatif nantinya” (Sumber: wawancara 02/12/2009 09:00WIB).
Sesuai dengan pendapat Sirozi sebelumnya, dapat dikatakan secara
keseluruhan tujuan yang dikemukakan oleh KPU Kabupaten Blora dalam
program pendidikan pemilih pemilu 2009 sudah sesuai, yaitu:
“Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan
pentingnya pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD yang biasa disebut pileg

76
dalam membangun kehidupan demokrasi di Kabupaten Blora” (Sumber:
wawancara 02/12/2009 09:00WIB).
Untuk mencapai tujuan tersebut, KPU Kabupaten Blora menyelaraskan
isi pesan yang mereka sampaikan kepada khalayak sasaran. Secara garis besar
pesan yang diangkat oleh KPU Kabupaten Blora mengenai ajakan untuk
berpartisipasi dalam pemilu ditunjukkan dengan berbagai kalimat seperti
“Gunakan hak pilih anda dalam pemilu 2009” dan “Satu suara untuk masa
depan” (Lihat lampiran „Flyer Ajakan Pemilu‟), kemudian pengetahuan tentang
pemilu (Lihat lampiran „Stiker Surat Suara Sah Pemilu 2009‟), dan lain
sebagainya.
Sesuai dengan konsep perumusan tujuan yang dikemukakan oleh
Rhenald Kasali dalam bukunya „Manajemen Public Relations Konsep dan
Aplikasinya di Indonesia‟, tujuan yang ingin dicapai oleh KPU Kabupaten
Blora dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 belum memiliki
tujuan yang konkrit dan perumusannya hanya diungkapkan secara lisan. Hal ini
terbukti ketika peneliti menanyakan kepada narasumber apakah tujuan tersebut
dicatat secara tertulis dan sudah dirumuskan matang-matang, narasumber KPU
Kabupaten Blora menjawab:
“Kebetulan tujuan tersebut tidak kami jabarkan secara tertulis, karena
bagi kami yang penting adalah programnya berjalan sesuai harapan” (Sumber:
wawancara 02/12/2009 09:00WIB).
Tujuan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang sudah
dikemukakan oleh KPU Kabupaten Blora belum memenuhi syarat sebagai
objective yang baik karena tidak memenuhi kriteria yaitu tertulis, jelas dan
singkat, tidak mempunyai waktu yang spesifik, dan dinyatakan dalam ukuran
yang terukur, seperti pada konsep perumusan tujuan yang dikemukakan oleh
Rhenald Kasali diatas.
Penentuan tujuan kegiatan sangat penting, menurut Cutlip, Center, dan
Broom (2006: 362) mempunyai tiga fungsi, yakni (1) memberi fokus dan arah

77
bagi orang yang akan mengembangkan strategi dan taktik program, (2) memberi
panduan dan dorongan bagi orang yang akan melaksanakan program, dan (3)
memberi rincian hasil yang akan digunakan untuk memantau dan mengevaluasi
program. Tujuan yang baik harus diarahkan pada pemecahan persoalan yang
sedang dihadapi organisasi.
Menurut Hunt dan Grunig (1994), berdasarkan hasil-hasil riset dalam
komunikasi, tujuan-tujuan program dapat difokuskan pada perubahan
pengetahuan, bagaimana orang berfikir, atau ide-ide dan kepercayaan yang
mereka punyai, sebelum melihat atau bertujuan untuk mengubah sikap dan
perilaku. Untuk menekankan pencapaian tujuan yang dicapai, „taxonomy effect‟:
a) Communication (komunikasi): disini maksudnya adalah organisasi
dan publik harus saling melakukan pertukaran informasi. Berita atau
cerita harus ditulis di media, dan publik harus membacanya, brosur
harus dibuat dan disebarkan, publik harus memperoleh dan
membacanya. Berikan publik akses atau kedekatan fisik dengan
pesan-pesan dari organisasi, sekaligus juga manajemen harus
mempunyai akses untuk mendengar publik.
b) Retention of the message (pengingatan pesan): Tujuan ini disebut
juga sebagai tujuan akurasi komunikasi atau ketepatan komunikasi.
Baik publik maupun manajemen memahami pesan dari masing-
masing pihak. Kedua pihak dapat mengartikulasikan ide kepada
pihak lain walaupun diantara mereka tidak terjadi sharing terhadap
ide-ide tersebut.
c) Acceptance of cognition: Baik publik maupun manajemen bersama-
sama memahami ide-ide dari pihak lain tentang hakekat masalah
yang sedang berkembang. Mereka memang belum tentu setuju
tentang apa yang akan diperbuat untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Tujuan ini juga bisa disebut sebagai tujuan understanding
(mengerti, memahami).

78
d) Formation or change of an attitude (agreement): Baik organisasi
dan publik sepakat untuk memecahkan masalah dengan cara yang
sama, mereka punya sikap yang sama, dan cenderung untuk
bertindak sama. Mereka saling mempengaruhi sehingga akhirnya
mereka setuju terhadap ide masing-masing pihak.
e) Complementary Behaviour: Baik publik maupun manajemen
memperbaiki atau mengubah tingkah lakunya sehingga hubungan
diantara mereka dapat diperbaiki.
Taksonomi lain juga dikemukakan oleh Cutlip, Center, dan Broom (2006):
a) Knowledge outcome, yakni hasil yang berupa pengetahuan atau
pemahaman publik terhadap organisasi atau pemahaman organisasi
terhadap publik. Dengan tujuan ini organisasi meningkatkan orang
yang memahami masalah lingkungan, politik, ekonomi, dll.
b) Predisposition outcome, yakni hasil yang berkaitan dengan sikap
atau kecenderungan untuk bertindak. Meningkatkan orang yang
setuju terhadap suatu usulan atau ide.
c) Behaviour outcome, yakni hasil berupa perilaku nyata yang
diperlihatkan publik.
Secara lebih lanjut, Cutlip, dkk (2006: 359) mengemukakan dalam
bukunya „Effective Public Relations‟ mengenai konsep yang biasa disebut
dengan Management by Objectives (MBO). MBO merupakan konsep
manajemen berbasis sasaran dan hasil, yang mengaplikasikan teknik-teknik
manajemen yang efektif untuk menjalankan organisasi. MBO
menspesifikasikan hasil (konsekuensi, hasil, dampak) yang akan dicapai, dan
karenanya menetapkan kriteria untuk memilih strategi, memonitor kinerja dan
kemajuan, dan mengevaluasi efektivitas program. MBO beroperasi pada dua
level, tujuan dan sasaran.

79
Menurut Encyclopedia of Professional Management, diterbitkan Grolier
International Donbory, Conectut (1978: 781), bahwa pengertian MBO: The
system of management by objectives - MBO is a process where by the superior
and subordinate managers jointly identify the organization’s common goals,
define each individual’s major areas of responsibility in terms of result
expected, and use these measures as guides for operating the unit and assesing
the contributing of its members.
Secara garis besar bahwa pengertian MBO merupakan proses dimana
manajer tingkat bawahan dan atasan secara bersama-sama mengidentifikasikan
tujuan umum organisasi, termasuk menetapkan kawasan tanggung jawab setiap
individu untuk menetapkan hasil yang diharapkan, dan dalam hal ini tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman operasi unit dan penafsiran konstribusi
yang telah dicapai para anggotanya.
Model MBO tersebut sebelumnya dicetuskan oleh Peter Drucker (1954)
merupakan suatu cara bagi manajerial untuk mempromosikan manajemen
pengendalian secara mandiri, dan pengertian dari Management by Objectives
(MBO) tersebut, menurut Peter Druckler adalah suatu sistem manajemen
komprehensif yang berbasiskan tolak ukur tertentu dan partisipatif peserta untuk
mencapai tujuan bersama dan objektif.
Secara khusus model MBO tersebut dimulai dari komitmen top
pimpinan organisasi dan dimana terdapat rangkaian penentuan untuk men-
setting dan me-review perencanaan mencapai tujuan utama perusahaan,
biasanya rangkaian tersebut adalah penentuan berdasarkan kalendar program
acara dalam satu periode tersebut telah dirancang untuk kerja tim selama satu
atau dua tahun ke depan.
Di samping melaksanakan manajemen dengan model MBO tersebut,
terdapat istilah teknis penunjang lainnya agar pelaksanaan fungsinya secara
optimal dan efektif seperti, perlu adanya penetapan strategic objectives (tujuan
strategik), management by anticipation (manajemen berdasarkan antisipasi),

80
dan management by commitment (manajemen berdasarkan komitmen). Jika
ingin menerapkan tujuan strategik untuk memantapkan tujuan MBO yang akan
ditetapkan tersebut, merupakan keharusan dan kalau tidak maka tolak ukur
operasional dalam mencapai tujuan objektif perusahaan akan menjadi tidak jelas
(kabur) atau dapat terjadi suatu kegagalan yang cukup fatal. Sedangkan
manajemen berdasarkan antisipasi merupakan penggambaran menetapkan
pelaksanaan tujuan yang diperlukan organisasi untuk mengantisapasi hal-hal di
luar dugaan, misalnya adanya faktor kelemahan, kekurangan, risiko kegagalan
atau salah arah dari rencana yang ditetapkan bersama. Kemudian berkaitan
dengan manajemen berdasarkan komitmen, pengertian komitmen tersebut
merupakan perjanjian antarpribadi yang sangat penting untuk mampu
melaksanakan tanggung jawab secara optimal bagi setiap anggota yang telah
terlibat, dan komitmen itu secara spesifik memiliki ketegasan, merupakan
pedoman, terukur dan bermanfaat bagi setiap pihak yang terlibat dalam
manajemen organisasi, khususnya dalam model manajemen mencapai sasaran
secara objektif (Ruslan, 2006: 101-102).
Dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang
dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora ini, konsep MBO menekankan bahwa
penetapan tujuan dari program ini haruslah berdasarkan pemikiran matang dari
berbagai struktur organisasi KPU Kabupaten Blora. Dengan kata lain, perlu
adanya sinergi dan kerjasama antara divisi sosialisasi dan kajian pemilu KPU
Kabupaten Blora yang bertugas sebagai komunikator jalannya program tersebut,
dengan ketua KPU Kabupaten Blora dan divisi-divisi lain dalam KPU
Kabupaten Blora.
KPU Kabupaten Blora juga diharapkan membentuk management by
anticipation untuk mengatasi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan/terduga
sewaktu menjalani program pendidikan pemilih pemilu 2009, misalnya untuk
menghadapi khalayak yang kritis, yang selalu tanggap dengan isu-isu

81
permasalahan pemilu yang sedang hangat di media, atau berbagai pihak yang
melakukan berbagai penyimpangan pelanggaran pemilu lainnya.
Manajemen by commitment juga harus diterapkan oleh semua anggota
KPU Kabupaten Blora dengan cara berkomitmen untuk menjadi penyelenggara
pemilu yang jujur, independen, dan tidak memihak.
Menurut Charles H. Kepner dan Benjamin B. Tregoe, dalam buku
berjudul The Rational Manager (1965), yaitu terdapat tiga bentuk dari spesific
objective, yaitu interim (sementara), problem corrective (korektif
permasalahan), dan adaptive objective (tujuan adaptif) yang tergantung dari
keadaan organisasi, dan penjelasannya sebagi beikut:
a) Interim objective (tujuan sementara)
Dipergunakan sebelum salah satu informasi penting diperoleh dari
pengembangan tujuan kolektif permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan program, biasanya informasi penting tersebut diperoleh
melalui penelitian atau riset fakta dan data permasalahan yang ada di
perusahaan.
b) Problem corrective and prevention
Merupakan tindakan korektif terhadap permasalahan dan sekligus
tindakan pencegahan untuk menciptakan peluang atau mencapai
perbaikan-perbaikan di masa mendatang.
c) Adaptive objective
Tujuan adaptif atau tindakan penyesuaian, atau merupakan tindakan
pencegahan dan mampu mengatasi permasalahan. Misalnya
menghadapi permasalahan sikap yang kurang tepat atau minimnya
tingkat kemampuan analisis staf sebagai pendukung perlu
ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan serta tersedianya dana
program.
Secara lebih lanjut, MBO dapat diterapkan dengan memperhatikan
kondisi organisasi sebagai berikut (Ruslan, 2006: 107-108):

82
1) Bertujuan pencapaian manajemen pada hasilnya tersebut harus
mampu menarik perhatian publik,
2) Standar pencapaian hasil harus didefinisikan secara tepat dan
spesifik untuk menghindarkan pengertian standar ganda, serta
memudahkan untuk menentukan kesepakatan program kerjasama
bagi pihak-pihak yang terlibat,
3) Harus ditetapkan periode jangka waktu (deadline) yang terencana
untuk menentukan pencapaian hasilnya yang efektif,
4) Hasil yang akan dicapai tersebut harus dipertegaskan, bersifat
konkret, dan terukur serta bukan bersifat abstrak.
5) Keberhasilan pencapaian hasil tersebut harus realistik, akan tercapai
dalam kurun waktu tertentu, kondisi, situasi serta tujuan utama
organisasi,
6) Pendekatan istilah „objective‟ (tujuan) akan berbeda arti „goal‟
(harapan) yang pada umumnya sinonimnya hampir sama, dan
kesalahan semantik dapat terjadi mengenai sesungguhnya dalam
pengertian MBO.

2. Target
Target dirumuskan sebagai perwujudan praktis dari tujuan pendidikan
pemilih. Sirozi (2007: 162) mengemukakan, hal yang diharapkan pada peserta
ketika selesai mengikuti program pendidikan pemilih antara lain:
a) Calon pemilih memahami arti penting pemilu bagi masa depan
demokrasi di Indonesia.
b) Dengan penuh kesadaran menggunakan hak pilih mereka dan turut
serta menjaga kelancaran pelaksanaan pemilu.
Istilah target disini yang dimaksud adalah hasil (outcome) yang
diinginkan organisasi dalam suatu program. Target mengemukakan hasil utama

83
yang harus diraih dalam kaitannya dengan setiap publik dalam rangka mencapai
tujuan program keseluruhan. Dalam praktiknya, target (Cutlip, dkk 2006: 368):
a) Memberikan fokus dan arah bagi mereka yang menyusun strategi dan
taktik program.
b) Menyediakan pedoman dan motivasi bagi mereka yang ditugasi
mengimplementasikan program.
c) Menyebutkan kriteria hasil yang akan dipakai memonitoring dan
evaluasi program.
Akan tetapi, seringkali target program mendeskripsikan taktik atau cara,
bukan mendeskripsikan konsekuensi atau tujuan yang hendak dicapai. Target
juga mengkonkritkan teori kerja dibalik program, biasanya dalam urutan kausal
“belajar-rasakan-lakukan”. Target program masing-masing publik
menspesifikasikan hasil yang diharapkan dan dalam urutan yang bagaimana,
tanggal berapa, dan seberapa besar hasil itu dibutuhkan untuk mencapai tujuan
program secara keseluruhan (Cutlip, 2006: 369).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, dapat disimpulkan
bahwa target yang ingin dicapai oleh KPU Kabupaten Blora dalam program
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 ini adalah:
“Tersebarluasnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu legislatif,
sehingga pemilih memahami dan mengetahui arti penting pemilu legislatif dan
pada akhirnya mereka dapat menggunakan hak pilihnya dengan sebagaimana
mestinya” (Sumber: wawancara 03/12/2009 13:00WIB).
Target merupakan apa yang hendak dicapai setelah program
berlangsung. Dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di
Kabupaten Blora ini, narasumber KPU Kabupaten Blora tidak mengungkapkan
secara signifikan seberapa besar target yang mereka ingin capai. Seperti pada
konsep yang dijelaskan diatas, KPU Kabupaten Blora hendaknya lebih
menspesifikasikan hasil yang diharapkan dan dalam urutan yang bagaimana,

84
tanggal berapa, dan seberapa besar hasil itu dibutuhkan untuk mencapai tujuan
program secara keseluruhan (Cutlip, 2006: 369).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ekowati dalam bukunya
„Perencaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program‟ (2009: 15)
yang mengatakan bahwa sebelum merencanakan suatu program, organisasi
seharusnya menetapkan sebuah target dasar untuk mengukur keberhasilan
program tersebut, dan sebagai tolak ukur kinerja program.
Berikut merupakan contoh kongkrit target program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora sesuai
dengan konsep yang diungkapkan oleh Cutlip (2006: 369):
“Program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU
Kabupaten Blora dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat Blora dalam pemilu legislatif 2009 pada 08 April 2009
mendatang, sebanyak 10% partisipan, dibandingkan pemilu
legislatif tahun 2004, dan mengurangi jumlah pelanggaran-
pelanggaran pemilu sebanyak 5% dari pemilu legislatif tahun
2004.”
Hunt dan Grunig (1994) berpendapat bahwa ketika tujuan program
dirumuskan sebagai komunikasi, maka yang diukur adalah jumlah pesan yang
sudah dikirim dan sudah diterima publik. Ini bisa diukur dengan antara lain
melihat berapa banyak berbagai jenis komunikasi berlangsung antara organisasi
dan publiknya.
Smith dalam bukunya „Strategic Planning for PR‟ (2005: 250)
mengungkapkan bahwa penting untuk membuat perbedaan yang jelas antara
keluaran (output) dan hasil (outcome). Hasil digunakan untuk mengukur apa
yang inginkan oleh organisasi sewaktu program mereka telah berakhir dan
bersifat kuantitatif.

85
3. Materi
Pada umumnya materi program pendidikan pemilih berupa penjelasan
tentang sistem demokrasi, situasi terakhir kehidupan sosial dan politik di
Indonesia, aspek-aspek penyelenggaraan pemilu, teknik komunikasi, dan teknik
advokasi. Materi tersebut merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pihak
komunikator, melalui berbagai media komunikasi baik tatap muka maupun
media lainnya.
Menurut Ruslan dalam bukunya yang berjudul „Kiat dan Strategi
Kampanye Public Relations‟ (2007: 76), materi dan isi dari suatu program
biasanya menyangkut tentang beberapa hal, diantaranya:

a) Tema, topik, dan isu apa yang ingin diangkat ke permukaan agar
mendapat tanggapan,
b) Tujuan dari program,
c) Sasaran dari program yang hendak dicapai.

Sesuai dengan pendapat diatas, materi yang seharusnya disampaikan


oleh KPU Kabupaten Blora pada saat melakukan pendidikan pemilih pemilu
2009, sebaiknya sebagai berikut:

a) Tema/Topik: Berkaitan dengan pengetahuan umum pemilu legislatif


2009, mulai dari tata cara mencontreng, perbedaan sistem pemilu 2009
daripada pemilu sebelumnya, penjelasan partai dan calon-calonnya
secara garis besar, larangan-larangan dalam pemilu 2009.
b) Tujuan dari program: Berupa penjelasan kepada khalayak sasaran bahwa
kegiatan ini diadakan agar peserta berpartisipasi dalam pemilu legislatif
2009, dan pintar dalam memilih.
c) Sasaran dari program: Penjelasan kepada audiens, mengapa KPU
Kabupaten Blora memilih khalayak sasaran mereka.

86
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti, didukung dengan
data yang ada (lihat lampiran „Contoh Presentasi Sosialisasi‟), pada dasarnya
materi yang ingin disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora dalam kegiatan
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 meliputi:
a. Penjelasan tentang arti pemilu,
b. Tahapan-tahapan dalam pemilu (termasuk tanggal penyelenggaraan
pemilu, pendaftaran pemilih, dan penetapan hasil pemilu),
c. Pengetahuan partai pengikut pemilu dan calon anggota DPD pemilu
2009,
d. Pengetahuan tentang dapil, kampanye, dan larangan dalam kampanye,
e. Penjelasan tentang pentingnya untuk terdaftar sebagai pemilih pileg
2009, termasuk bagaimana cara memilih.

Berdasarkan data diatas, apabila dibandingkan dengan teori yang ada,


materi yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora dalam program
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 hanya mencakup satu unsur saja,
yaitu penjelasan tentang topik atau tema. Namun KPU Kabupaten Blora tidak
mengangkat dua unsur yaitu tujuan dari program dan sasaran yang hendak
dicapai, sehingga khalayak sasaran dikhawatirkan kurang mengetahui maksud
dari program pendidikan pemilih yang mereka ikuti.

Selain itu, seperti apa yang disampaikan oleh Schramm dalam bukunya
„The Process and Effect Of Mass Communications‟, mengenai kondisi sukses
tidaknya penyampaian pesan dalam suatu program, pengemasan materi yang
disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora hendaknya memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut agar lebih terlihat menarik di depan khalayak sasaran (Ruslan,
2007: 38):

a. Pesan dibuat sedemikian rupa dan selalu menarik perhatian,

87
b. Pesan dirumuskan melalui lambang-lambang yang mudah dipahami
atau dimengerti khalayak sasaran,
c. Pesan menimbulkan kebutuhan pribadi dari khalayak sasarannya,
d. Pesan merupakan kebutuhan yang dapat dipenuhi, sesuai dengan
situasi dan keadaan kondisi dari khalayak sasaran.

Setiap hari masyarakat telah dibombardir oleh berbagai headlines dalam


advertising maupun informasi yang berebut ingin menarik perhatian mereka.
Sehingga setiap pesan, harus bekerja keras untuk dapat menarik perhatian
mereka. Sebelumnya, prinsip dasar dari informasi dan advertising harus bersifat
menarik perhatian dan dapat mempersuasi seseorang untuk bertindak sesuai
dengan keinginan organisasi. Namun, seiring dengan persaingan yang semakin
ketat, dibutuhkan energi khusus untuk dapat menarik perhatian tersebut,
sehingga masyarakat melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang
diinginkan organisasi. Pendekatan AIDDA berikut ini dapat membantu
suksesnya tindakan tersebut. Ada lima tahap ketika organisasi ingin
mempengaruhi dan menarik masyarakat melalui kegiatan advertising atau
mengemas informasi dalam suatu program. Yaitu (Ferrell, 2005):

1) Attention/Attract: dengan cara menggunakan kata-kata yang memikat,


atau gambar yang menarik perhatian, sehingga dapat membuat
masyarakat membaca dan mengamati, bahkan penasaran dengan apa
yang akan diungkapkan selanjutnya.
2) Interest: tahap ini merupakan yang paling menantang, ketika sudah
memperoleh perhatian publik, tapi apakah mereka akan menyediakan
waktunya untuk mengamati pesan tersebut secara mendetail?. Pada
tahap ini komunikator berusaha untuk meningkatkan minat publik lebih
dalam. Komunikator perlu meningkatkan kata-kata yang dapat „merayu‟
publik dengan menjelaskan segala manfaat dan keuntungan pada produk

88
atau jasa yang ditawarkannya, sehingga mereka merasa sependapat
dengan pemikiran komunikator.
3) Desire: setelah meningkatkan minat publik, komunikator juga harus
membantu mereka untuk mengerti apa yang ditawarkan olehnya dengan
menumbuhkan hasrat mereka, sehingga mereka dapat berfikir bahwa
inilah yang selama ini mereka ingin dan butuhkan.
4) Decision: merupakan tahap dimana publik sudah membuat keputusan
mengenai segala informasi yang telah dia dapatkan sebelumnya.
5) Action: tahap paling akhir, ketika publik telah bertindak mengikuti
pemikiran dan kata hati mereka, apakah akan mengikuti anjuran dari
komunikator atau justru mengabaikannya saja.

Menurut pendapat di atas, KPU Kabupaten Blora hendaknya mengemas


pesan pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 secara menarik dan mudah
dipahami. Dengan kata lain, penyampaian pesan tersebut harus berbeda-beda
sesuai dengan kebutuhan khalayak sasarannya. Misalnya, ketika menghadapi
khalayak sasaran pemilih pemula, pesan diharapkan menggunakan bahasa atau
istilah yang akrab dengan mereka dan pengemasannya lebih ringan, banyak
diselingi dengan games atau kuis, agar membangkitkan minat mereka. Selain
itu, terkait dengan intensitas penyelenggaraan, kegiatan serupa tidak hanya
diselenggarakan satu kali saja terhadap khalayak sasaran yang sama, namun dua
atau tiga kali, sehingga kelak khalayak sasaran mengingat kegiatan tersebut,
hingga sampai pada pengambilan keputusan/sikap mereka tidak berubah
pendapat dan menyadari bahwa berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009
sangat penting.

Karakteristik pesan jelas berdampak pada proses komunikasi, tetapi


banyak ahli komunikasi sepakat bahwa „maknanya tergantung pada orang,
bukan kata-kata atau pesannya‟. Observasi ini menghasilkan kesimpulan bahwa
orang berbeda yang menerima pesan sama mungkin akan menafsirkannya

89
secara berbeda, memberikan makna yang berbeda dan bereaksi dengan cara
yang berbeda. Bagaimanapun juga karakteristik pesan dapat menghasilkan efek
yang kuat, walaupun mungkin tidak dapat diterangkan dengan penjelasan
berdasarkan sebab-akibat langsung dan sederhana. Seperti ditunjukkan lewat
gagasan tentang audiens yang keras kepala, efek pesan dimediasi oleh penerima,
dan karenanya menyulitkan pencarian aturan yang berlaku untuk semua situasi
komunikasi. Berikut merupakan empat pendekatan utama untuk mendapatkan
penerimaan melalui komunikasi (Cutlip, dkk 2006: 228):

a. Strategi sanksi menggunakan imbalan dan hukuman yang


dikendalikan oleh pengirim, penerima, atau akibat dari situasi.
b. Strategi altruisme meminta penerima untuk setuju sehingga mau
membantu atau mewakili pengirim atau pihak ketiga yang mewakili
pengirim.
c. Strategi argumen menggunakan (a) permintaan langsung, dimana
pengirim tidak memberi alasan atau motivasi dibalik permintaan itu;
(b) penjelasan, dimana pengirim memberikan penerima satu atau
lebih alasan atas permintaan tersebut; (c) isyarat atau petunjuk,
dimana pengirim membeberkan situasi atau menunjukkan keadaan
yang bisa menjadi dasar bagi penerima untuk menarik kesimpulan
dan persetujuan.
d. Strategi sirkumvesi atau pengelakan, yakni memaparkan situasi
palsu, atau memberikan janji imbalan atau hukuman yang
sebenarnya yang tidak bisa diberikan oleh si pengirim.

4. Sasaran
Suatu program pendidikan pemilih yang baik, harus dijalankan dengan
pemilihan peserta/target sasaran yang sesuai dengan target dan tujuan yang
ingin dicapai. Dengan kata lain, apabila tujuan dari program ini mengedukasi

90
masyarakat tentang pemahaman pemilu legislatif 2009, agar kelak mereka bisa
menggunakan hak pilihnya dengan kata hati dan bijaksana, maka KPU
hendaknya memilih khalayak sasaran yang masih belum sepenuhnya mengerti
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, karena
sesungguhnya pemilu merupakan kesempatan rakyat untuk menyampaikan
aspirasi politik mereka. Menurut Sirozi (2007: 162), program pendidikan
pemilih yang baik hendaknya diprioritaskan bagi para calon pemilih muda yang
duduk di bangku sekolah/kuliah maupun yang tidak duduk di bangku
sekolah/kuliah, juga masyarakat kurang terdidik, terutama yang berada di
daerah terpencil, karena mereka merupakan khalayak yang masih belum
memahami betul akan pentingnya pemilu, dan masih awam dengan dunia
politik.
Pada kondisi masyarakat Blora, pendidikan pemilih diperlukan
mengingat karakteristik masyarakat mereka yang sebagian besar berpendidikan
rendah, ditunjukkan dengan sedikitnya masyarakat yang melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu SMA atau Perguruan Tinggi, karena berbagai
alasan seperti kurangnya kesadaran orang tua mengenai pentingnya pendidikan
bagi anak mereka, alasan biaya, hingga sulitnya menemukan sekolah yang
mudah dijangkau tempat tinggal mereka (Pemda Blora, 2008: II-3).
Berikut merupakan khalayak sasaran yang dipilih oleh KPU Kabupaten
Blora sebagai khalayak sasaran program pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan narasumber:
a. Masyarakat umum melalui sosialisasi berupa pawai di alun-alun
Blora.
b. Remaja,pemuda,dan mahasiswa melalui sosialisasi yang dilakukan
di beberapa SMA, SMK, MA, dan STAIM Blora (pemilih
pemula).
c. Perempuan melalui sosialisasi dengan PKK dan Tim Penggerak
PKK.

91
d. Pengemuka pendapat.
e. Petani,buruh dan kelompok pekerja lainnya di berbagai balai desa
kelurahan Blora.
f. Wartawan dan kelompok media lainnya melalui dialog interaktif di
radio dan wawancara dengan koran lokal Blora.
g. TNI/Polri.
h. Partai Politik.
i. Pengawas /Pemantau Pemilu.
j. LSM.

Untuk mendapatkan sasaran atau obyek (target audience) dalam suatu


program, ditentukan sebagai berikut (Fleet, 2007: 16):

a. Pendekatan kependudukan (demographics approach), dilihat dari


tingkat sosial dan ekonomi, usia rata-rata, dan tingkat pendidikan.
b. Pendekatan psikologis (psychographics approach), yakni sasaran
dari kelompok yang sama, kecenderungan pilihan, preferensi,
keinginan, citra-rasa, gaya hidup, sistem nilai atau pola yang dianut,
hingga masalah-masalah yang sifatnya pribadi.
c. Pendekatan geografis, menunjukkan lokasi orang dan
mengalokasikan sumber daya program sesuai dengan kepadatan
populasi.
d. Kekuatan tersembunyi (kekuatan politik dan ekonomi dibalik layar),
mendeskripsikan orang dipucuk piramida kekuasaan yang beroperasi
di berbagai situasi.
e. Posisi, menggunakan kedudukan yang dipegang individu, bukan
atribut dari individu itu sendiri untuk mengidentifikasi publik
sasaran,
f. Reputasi, mengidentifikasi „orang berpengetahuan luas‟ atau „orang
berpengaruh‟ berdasarkan persepsi orang lain terhadap individu itu.

92
g. Keanggotaan menggunakan pemuatan pada daftar anggoata atau
afiliasi organisasi sebagai atribut yang relevan dalam situasi tertentu.
h. Peran dalam proses keputusan membutuhkan pengamatan dalam
proses pembuatan keputusan untuk mengetahui siapa yang berperan
dalam memengaruhi keputusan dalam situasi tertentu.
James Grunig (1992) menjelaskan, terdapat tiga bentuk publik (khalayak
sasaran), yaitu: (a) Latent Publics (Publik tersembunyi yang sulit untuk dikenal
keberadaannya oleh pihak organisasi; (b) Aware Publics (Publik yang peduli,
dan bentuk publik ini mudah dikenali keberadaannya; (c) Active Publics
(Merupakan publik yang aktif dan selalu berkaitan dengan sesuatu
permasalahan yang dihadapi dengan pihak perusahaan). Di samping itu,
terdapat tiga kategori publik yang selalu bereaksi terhadap isu-isu yang tengah
berkembang, yaitu (a) All issue publics, jenis publik yang selalu aktif
menanggapi hampir semua isu yang berkembang dan dapat mempengaruhi
kegiatan organisasi, (b) Single issue publics, publik ini hanya bereaksi terhadap
satu isu yang menjadi daya tarik atau perhatiannya, (c) Hot issue publics, Jenis
publik ini hanya tertarik atau bereaksi terhadap kasus-kasus yang terekspos oleh
media massa, (d) Apathetic Publics, publik yang bersikap masa bodoh atau
tidak peduli mengenai isu-isu yang terjadi di sekitar kehidupannya.
Menurut pendapat diatas, berikut merupakan publik yang dihadapi oleh
KPU Kabupaten Blora ketika mereka melakukan program pendidikan pemilih
pemilu 2009 berdasarkan khalayak sasarannya:
a) Latent Publics: dapat berupa masyarakat yang golput, atau pihak
penentang pemerintah.
b) Aware Publics: 0pinions leaders, dan masyarakat umum yang sadar
politik.
c) Active Publics: panwaslu, partai politik beserta calon-calonnya,
pemerintah kabupaten Blora, media massa dan LSM.

93
Berdasarkan reaksi terhadap isu yang tengah berkembang, berikut
merupakan publik yang kemungkinan dihadapi oleh KPU Kabupaten Blora:
a) All issue publics: panwaslu dan partai politik.
b) Single issue publics: media massa, LSM atau masyarakat yang
mempunyai masalah berkaitan dengan aktivitas KPU Kabupaten Blora
misal, tidak terdaftar dalam DPT, masyarakat golput (akibat alasan
tertentu), dan lain sebagainya.
c) Hot issue publics: masyarakat umum yang sadar politik.
d) Apathetic publics: pemilih pemula, masyarakat berpendidikan rendah,
dan masyarakat yang belum memiliki kesadaran berpolitik, ini
merupakan tantangan bagi KPU Kabupaten Blora untuk menyadarkan
jenis publik ini.
KPU Kabupaten Blora diharapkan bisa mengklasifikasikan publik yang
mereka hadapi sesuai dengan konsep diatas, agar mereka bisa memperlakukan
publik tersebut sesuai dengan mindset masing-masing publik yang berbeda,
sehingga tidak terjadi misscommunications sewaktu-waktu.

5. Bentuk Program
Dari semua aspek lain, aspek bentuk program merupakan yang
terpenting di antara aspek lainnya, karena penyajian program yang menarik
dapat melancarkan jalannya program pendidikan pemilih ini sehingga
masyarakat paham betul akan pesan yang disampaikan kepada mereka, sehingga
tercapailah target dan tujuan akhir yang diinginkan dari pendidikan pemilih
tersebut. Sirozi (2007: 163) berpendapat bahwa program pendidikan pemilih
yang baik dapat disajikan dalam bentuk penyuluhan dengan metode ceramah,
tanya jawab, diskusi, pemasangan spanduk, penyebaran pamflet dan stiker di
tempat-tempat strategis, dan lain sebagainya.

94
Secara garis besar, bentuk program pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 yang telah dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora diantaranya:
a. Komunikasi tatap muka melalui sosialisasi.
b. Media relations, dalam bentuk dialog interaktif di berbagai radio lokal
Kabupaten Blora dan iklan.
c. Mobilisasi sosial berupa pawai di beberapa pusat kota Blora dan
kecamatan Randu Blatung dan Cepu.
Program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang
diadakan oleh KPU Kabupaten Blora tersebut antara lain merupakan proses
penyebaran informasi, pengetahuan, gagasan, atau ide untuk membangun atau
menciptakan kesadaran dan pengertian melalui teknik komunikasi.
Berbicara tentang bentuk program, tentu tidak lepas dari teknik
komunikasi yang digunakan. Menurut Ruslan (2007: 68), alternatif bentuk dan
teknik komunikasi dalam melakukan program komunikasi adalah melalui
komunikasi sebagai berikut:
a. Komunikasi intrapersona,
b. Komunikasi antarpersona (face to face),
c. Komunikasi kelompok (group communication),
d. Komunikasi publik (public communication),
e. Komunikasi melalui media massa dan media nirmassa.
Pada dasarnya program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora bersifat persuasif, yaitu
membujuk khalayak sasaran untuk ikut berpartisipasi dalam memeriahkan pesta
demokrasi Indonesia. Selain itu program tersebut juga bersifat edukatif, yaitu
KPU Kabupaten Blora berupaya untuk mengubah perilaku, sikap bertindak,
tanggapan, atau persepsi, hingga membentuk opini positif khalayak sasaran
mengenai pemilu legislatif 2009.

95
Berikut merupakan pembahasan secara lebih rinci mengenai bentuk
aktifitas komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang telah
dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora:
1) Komunikasi tatap muka
Komunikasi tatap muka yang telah dijalankan oleh KPU
Kabupaten Blora melalui sosialisasi, dengan berbagai khalayak sasaran
di 17 kecamatan Blora.
Komunikasi tatap muka merupakan komunikasi yang dijalankan
oleh dua orang atau lebih dalam suatu kesempatan, yang memungkinkan
setiap peserta komunikasi menangkap reaksi orang lain secara langsung,
baik verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2005: 73). Sedangkan bentuk
komunikasi tatap muka yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora
dalam menjalankan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009
yaitu komunikasi komunikasi publik. Komunikasi publik dapat
didefinisikan sebagai komunikasi antara seorang pembicara dengan
sejumlah besar khalayak, bersifat formal, dan lebih sulit daripada
komunikasi antarpribadi atau kelompok. Karena komunikasi publik
menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan
menghadapi sejumlah besar orang. Salah satu pihak dalam komunikasi
publik cenderung bersifat pasif.
Menurut Rosady Ruslan dalam bukunya „Kampanye Public
Relations‟ (2007: 71-73) untuk berhasilnya suatu aktifitas persuasi
dalam berkomunikasi, perlu berbagai teknik agar dalam penyampaian
pesan (message) kepada audiensnya cukup efektif, antara lain:
a. Partisipasi (participating)
Teknik ini berusaha menyertakan peran serta audiens yang
memancing minat atau perhatian yang sama.

96
b. Asosiasi (association)
Menyajikan isi kegiatan yang berkaitan dengan suatu peristiwa
atau kegiatan yang sedang „in‟ dibicarakan, agar dapat memancing
perilaku masyarakat.
c. Teknik integratif (integrative)
Bagaimana kemampuan komunikator untuk menyatukan diri
dengan khalayaknya secara komunikatif dengan mengucapkan
kata-kata: “kita, kami, anda sekalian, dan sebagainya”.
d. Teknik ganjaran (pay off technique)
Teknik ini bermaksud mempengaruhi komunikan dengan suatu
ganjaran (pay off) atau menjanjikan sesuatu dengan „iming-iming
hadiah‟.
e. Teknik penataan patung es (icing technique)
Teknik ini merupakan suatu upaya dalam menyampaikan pesan
(message) secara sedemikian rupa sehingga enak dilihat, dibaca,
dirasakan dan sebagainya.
f. Memperoleh empati (empathy)
Teknik yang menempatkan diri dalam posisi komunikan, ikut
merasakan dan „peduli‟ situasi atau kondisi pihak komunikan.
g. Teknik koersi atau paksaan (coersion technique)
Dalam komunikasi, lebih menekankan suatu paksaan yang dapat
menimbulkan rasa ketakutan komunikan.
Di antara teknik di atas, alternatif yang bisa digunakan oleh KPU
Kabupaten Blora agar proses penyampaian pesan mereka berhasil, dapat
menggunakan beberapa teknik seperti partisipasi (melibatkan khalayak sasaran
untuk berkonunikasi dan berdiskusi agar mereka ikut aktif berfikir), asosiasi
(mengaitkan tema pemilu legislatif 2009 dengan isu-isu yang sedang dibahas
oleh media massa seperti cara mencontreng yang selama ini dinilai susah,
berusaha menjelaskan keunggulan segi mencontreng daripada mencoblos),

97
teknik integratif (ketika mengadakan sosialisasi, KPU Kabupaten Blora
sebaiknya merangkul khalayak sasaran dengan panggilan yang lebih terlihat
akrab di telinga mereka, misalnya „para sederek sedaya (para sodara sekalian)‟
digunakan sewaktu mengadakan sosialisasi dengan kaum petani atau
masyarakat pedesaan), teknik ganjaran (melalui berbagai kuis melibatkan
pemilih pemula dengan memberikan doorprize menarik sehingga mereka
memperhatikan pesan yang akan disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora),
teknik penataan patung es (KPU Kabupaten Blora berusaha menyajikan
sosialisasi yang se-attraktif mungkin melalui berbagai permainan atau
menggunakan tema power point yang eye catching).
Selain teknik tersebut, Ruslan (2007: 41-42) juga mengungkapkan
strategi persuasi yang diyakini dapat membujuk komunikan, sekaligus
mempengaruhi agar opini „digiring‟ sesuai dengan keinginan dan tujuan
komunikasi tersebut, yaitu:
a. Teknik “Ya-ya”
Kiat dan teknik persuasi berupaya untuk menggiring audiensi
untuk mengatakan “ya” sebagai suatu kesepakatan bersama sesuai
dengan keinginan komunikator. Misalnya sewaktu sosialisasi
berlangsung, KPU Kabupaten Blora membentuk kesepakatan
dengan khalayak sasaran untuk selanjutnya mereka sepakat
berpendapat bahwa berpartisipasi dalam pemilu itu penting,
sehingga kewajiban bersama untuk mengetahui seluk beluk
pengetahuan pemilu legislatif 2009.
b. Jangan tanya “apabila”, tetapi “yang mana”
Teknik untuk memojokkan audiensi yang “keras kepala” agar tidak
mempunyai kesempatan untuk memilih jawaban yang selain
diinginkan oleh komunikator. Artinya, dengan langsung
memojokkan pertanyaan yang menekan tersebut, audiensi yang

98
menghindar diri atau mengelak karena berbeda pendapat bisa
segera diketahui jawabannya sesuai dengan yang diinginkan.
c. Menjawab “pertanyaan” dengan melemparkan “pertanyaan”
Model persuasi disini agak kehilangan kontrol atau pegangan dan
sebagai komunikator yang menguasai communication skill
langsung membimbing kembali diskusi, rapat, atau dialog yang
bertele-tele untuk memfokuskan kembali pembicaraan pada tema
yang disepakati bersama.
d. Membangun kesepakatan (deal)
Biasanya dalam membicarakan kepentingan orang banyak atau
antara perusahaan dengan karyawannya, atasan dengan bawahan,
pemimpin dengan pengikutnya, atau komunikator dengan
audiensnya dibangun kesepakatan. Biasanya sebelum inti pokok
permasalahan diajukan, untuk itu perlu diadakan “kesepakatan
bersama”. Artinya, dalam posisi yang saling menguntungkan
kedua belah pihak. Misalnya sebelum memulai, KPU Kabupaten
Blora telah menyepakati dengan khalayak sasaran bahwa
sosialisasi yang mereka adakan, tanpa ada sangkut paut dengan
suatu kepentingan partai atau elit politik tertentu.
e. Dengarkan dahulu pendapat floor kemudian diskusikan
Ini taktik persuasi mencari informasi audiensi yang sebanyak-
banyaknya (sounding technique) untuk mencari masukan, baru
kemudian didiskusikan secara bersama untuk mencapai suatu
keputusan. Misalnya sebelum sosialisasi dimulai, KPU Kabupaten
Blora bertanya terlebih dahulu kepada khalayak sasaran tentang
pengetahuan mereka mengenai pemilu legislatif 2009, dari situ
akan ketahuan permasalahan apa yang menjadi titik perhatian
mereka, kemudian permasalahan tersebut dibahas secara bersama-
sama agar lebih menarik.

99
f. IOU (I owe you)
Taktik persuasi ini sering disebut trade off. Taktik ini
menempatkan audiensi sebagai pihak yang merasa mempunyai
utang budi. Jadi, dengan cara tersebut audiensi ingin membayar
utangnya dengan cara menerima pesan yang ditawarkan oleh pihak
komunikator sebagai balasannya. KPU Kabupaten Blora, berusaha
menciptakan mindset kepada khalayak sasaran bahwa sebagai
warga negara mereka wajib terdaftar sebagai DPT, kemudian
setelah terdaftar sebagai DPT mereka memiliki kewajiban untuk
mengikuti sosialisasi.

2) Media relations
Media merupakan sarana atau alat untuk menyampaikan pesan
atau sebagai mediator antara komunikator dengan komunikannya. Media
dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Media umum, seperti surat-menyurat, telepon, atau facsimile.
b. Media massa, seperti media cetak, surat kabar, dan majalah.
c. Media khusus, seperti iklan atau produk untuk tujuan promosi dan
komersial yang efektif.
d. Media internal yaitu media yang dipergunakan untuk kepentingan
kalangan terbatas dan nonkomersial, seperti house journal, printed
materials, spoken and visual word, dan media pertemuan (Ruslan,
2007:30).
Menurut Harwood Childs, salah satu strategi yang digunakan
untuk dapat menarik perhatian dan menyebarkan pesan dalam bentuk
informasi dan berita, yaitu strategy of publicity, suatu kegiatan yang
dilakukan organisasi untuk menyebarkan pesan melalui proses
publikasi suatu berita melalui kerjasama dengan media massa (Ruslan,
2007: 54). Strategi tersebut dalam dunia public relations lebih dikenal

100
sebagai media relations, yaitu bagian dari kegiatan PR eksternal yang
membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa
sebagai sarana komunikasi antara organisasi dengan publiknya untuk
mencapai tujuan organisasi (Iriantara, 2005).
Media relations yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora
terkait dengan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009
yaitu berupa dialog interaktif dengan masyarakat melalui berbagai
radio lokal Kabupaten Blora, juga spot iklan di radio tersebut dan
pemasangan iklan pada harian lokal, yaitu Radar Bojonegoro dan
Suara Merdeka.
Publikasi atau publisitas merupakan alat penting, karena
merupakan salah satu relasi komponen yang cukup berperan banyak
untuk menunjang keberhasilan dalam promosi dalam suatu program.
Publikasi dalam penampilannya ada tiga macam (Ruslan:2007: 59),
yaitu:
a. Nilai kepercayaan tinggi, publisitas melalui artikel, feature,
berita, dan advertorial di media cetak, biasanya lebih dipercaya
oleh pembaca/konsumen daripada sebuah iklan. Dalam hal ini
sebaiknya KPU Kabupaten Blora lebih memilih melakukan
serangkaian kegiatan seperti menulis artikel atau feature di media
massa lokal yang mengangkat isu-isu atau tema mengenai
pentingnya berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009, sehingga
masyarakat diharapkan lebih percaya, daripada membuat sebuah
iklan. Karena selain menghabiskan biaya, biasanya media massa
tidak memungut biaya untuk pemuatan artikel atau publikasi.
b. Menjembatani iklan, publisitas bisa menjangkau pembaca atau
konsumen yang kurang senang dengan iklan, maka publisitas
tersebut akan menjembatani pihak yang kurang menyukai iklan.
Dengan kata lain, memperbanyak intensitas acara seperti dialog

101
interaktif yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora di berbagai
radio lokal, lebih berpeluang mendapatkan banyak kepercayaan
masyarakat, daripada spot iklan di radio tersebut.
c. Efek mendramatisir, sebagaimana iklan, publisitas bisa
menimbulkan efek mendramatisir dengan perekayasaan cerita
melalui berita (news strategy) tentang suatu produk atau
organisasi. Hal ini dapat diwujudkan melalui cara seperti
penulisan feature atau artikel yang lebih menekankan sisi
kemanusiaan dan keunggulan dari penyelenggaraan pemilu
legislatif 2009.
Berdasarkan gagasan tentang pers yang independen dan bebas,
para praktisi berpengalaman menawarkan pedoman untuk bekerjasama
dengan pers sebagai berikut (Iriantara, 2005: 141):
a) Berbicaralah dari sudut pandang kepentingan publik, bukan
kepentingan organisasi.
b) Membuat berita yang mudah digunakan dan dibaca. Gunakan
headline yang singkat dan jelas untuk menarik perhatian dan
memberikan petunjuk tentang topik bagi para pembacanya.
c) Jika tidak ingin beberapa pernyataan dikutip, jangan buat
pernyataan itu. Juru bicara sebaiknya tidak mengatakan “off the
record,”karena pernyataan seperti itu akan menimbulkan rumor
lain tanpa diketahui sumbernya.
d) Nyatakan fakta paling penting diawal.
e) Jangan berdebat dengan reporter sebab bisa jadi kehilangan
kendali.
f) Jika sebuah pertanyaan mengandung bahasa yang menyinggung
atau mengandung kata yang tidak disukai, jangan mengulanginya
atau menyangkalnya.

102
g) Jika reporter mengajukan pertanyaan langsung, beri jawaban
yang langsung pula.
h) Jika juru bicara tidak tahu jawaban suatu pertanyaan, mereka
harus menyatakan, “Saya tidak tahu, tetapi nanti akan saya
berikan jawaban ketika saya tahu”.
i) Katakan kebenaran, meski menyakitkan. Jangan berfikir bahwa
berita buruk akan hilang atau media tidak akan mengetahuinya.
j) Jangan lakukan konferensi pers, kecuali punya sesuatu yang
dianggap berita oleh reporter.
Saran-saran ini dapat membantu organisasi untuk membangun
dan menjaga hubungan baik dengan jurnalis di media massa. Karena
awak media massa memainkan peranan penting, maka organisasi tidak
punya banyak pilihan kecuali mendapatkan dan mempertahankan rasa
hormat dari mereka. Pada saat yang sama, meskipun publik punya hak
untuk mendapatkan informasi publik, tetap ada batasannya. Beberapa
informasi bersifat rahasia, dan beberapa informasi tidak bisa dibuka
karena privasi atau karena sifat dari informasi itu dalam kerangka
persaingan bisnis.

3) Mobilisasi sosial
Mobilisasi sosial merupakan teknik komunikasi yang digunakan
untuk menarik massa dikeramaian. KPU Kabupaten Blora melakukan
kegiatan mobilisasi sosial berupa pawai yang dilakukan di pusat
keramaian kota, dengan menggunakan berbagai hiburan dengan cara-
cara yang unik seperti delman yang ditarik oleh kambing, dan lain
sebagainya. Mobilisasi sosial ini dijalankan dengan menggunakan teknik
penataan patung es (icing technique) dimana salah satu strategi
penyampaian pesan yang tertata dengan sedemikian rupa, sehingga
menarik dilihat, didengar, dan dirasakan (Ruslan, 2007: 73).

103
Tidak semua aktifitas komunikasi bisa berjalan dengan mulus dan tanpa
rintangan, begitu juga dengan berbagai aktifitas komunikasi yang telah
dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora tersebut. Narasumber mengungkapkan
berbagai kendala yang dihadapi ketika aktifitas tersebut berlangsung
diantaranya:
1) Kurang maksimalnya media sehingga tidak dapat terjangkau oleh
masyarakat.
2) Penyesuaian anggaran dengan kebutuhan.
3) Sikap apatis masyarakat terhadap pemilu.

Menurut Ruslan (2007: 39), hambatan yang terjadi dalam melakukan


aktifitas komunikasi diantaranya disebabkan karena faktor berikut:
1) Gangguan teknik dan mekanisme komunikasi
2) Gangguan semantik atau bahasa
3) Gangguan suara atau sound system yang dipergunakan
4) Kecurigaan
5) Kurang kesiapan dalam melakukan aktifitas komunikasi
6) Predisposisi atau sudah ada pendapat yang lebih mapan dan mantap.
Sesuai dengan konsep yang dikemukakan di atas, hambatan yang
dihadapi oleh KPU Kabupaten Blora dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:
a. Terkait dengan kurang maksimalnya media, sebaiknya KPU Kabupaten
Blora lebih menggencarkan dialog interaktif pada radio daerah yang
memiliki jaringan luas hingga ke pelosok desa karena biasanya
masyarakat berpindikan rendah dan pedalaman lebih sering mendengarkan
radio-radio daerah tersebut.
b. Terkait dengan masalah budget, sebaiknya KPU Kabupaten Blora lebih
mengedepankan publisitas daripada iklan, dan berfokus pada penggandaan
material tools seperti brosur, pamflet, atau flyer yang diperbanyak. Karena

104
material tools tersebut merupakan media dasar yang lebih mudah dibawa
kemana-mana, sehingga masyarakat lebih ingat dan bisa
terdokumentasikan.
c. Terkait dengan sikap apatis masyarakat terhadap pemilu, KPU Kabupaten
Blora sebaiknya lebih terpacu dan menemukan strategi yang baik lagi
untuk melakukan persuasi terhadap publik tersebut.
Suatu rencana program merepresentasikan teori kerja tentang apa yang
harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Secara teoretis dapat
dikatakan, “Jika organisasi mengimplementasikan tindakan dan komunikasi ini,
maka organisasi akan mencapai hasil bersama publik organisasi, dan ini akan
menyebabkan tercapainya tujuan program”. Teori juga menentukan pemilihan
taktik. Teori kerja seseorang akan menjadi pedoman cara mendesain acara
khusus, cara menyusun kata-kata, dan cara fungsi komunikasi dijalankan. Teori
yang memandu bagaimana cara masing-masing taktik dilaksanakan pada dasarnya
merupakan ide praktisi tentang apa yang menyebabkan tercapainya hasil yang
diinginkan. Jadi ketika sesorang mengatakan sebuah program „hanya teori‟,
mereka benar. Teori kerja tampak jelas ketika dinyatakan dalam bentuk target
untuk dua publik sasaran. setelah target ditulis, perencana kemudian
mengembangkan strategi dan taktik untuk mewujudkan hasil sebagaimana
ditetapkan dalam target. Jika selama implementasi atau setelah program hasil
yang diharapkan (sesuai dengan teori) tidak tercapai, maka perencana program
harus meneliti apakah teori itu cacat atau apakah implementasinya yang cacat
(Cutlip, dkk, 2006: 365-366).

6. Pelaksana
Dalam setiap program pendidikan pemilih, hendaknya KPU menugaskan
secara khusus divisi yang bertanggungjawab untuk melakukan serangkaian
kegiatan pendidikan pemilih kepada masyarakat. Pelaksana dari program

105
pendidikan pemilih adalah para instruktur yang memenuhi kriteria sebagai berikut
(Sirozi, 2007: 163):
a) Non-partisan, tidak menjadi anggota dan atau pengurus suatu parpol.
b) Memiliki kepekaan terhadap perkembangan kehidupan sosial politik di
Indonesia.
c) Memiliki komitmen untuk turut serta mensukseskan pelaksanaan
pemilu dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Komunikator merupakan orang yang menyampaikan suatu pesan yang
hendak disampaikan kepada pihak lain (Mulyana:2005), dalam hal ini KPU
Kabupaten Blora menempatkan divisi sosialisasi dan kajian pemilu sebagai
komunikator program pendidikan pemilih pemilu 2009, dengan dibantu oleh
panitia pemilih dibawahnya yaitu PPK (Tingkat Kecamatan), PPS (Tingkat Desa),
dan KPPS (Tingkat TPS).
Teknik berkomunikasi adalah suatu cara, kiat atau seni dalam
penyampaian pesan melalui aktifitas komunikasi yang dilakukan sedemikian rupa
oleh komunikator sehingga menimbulkan dampak tertentu oleh para
komunikannya. Dengan kata lain keberhasilan seluruh program pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Blora tersebut, berada pada ujung
tombak divisi sosialisasi dan kajian pemilu serta panitia pemilihan dibawahnya.
Mereka harus memiliki kesiapan, kewibawaan, dan etos kerja yang tinggi.
Setidaknya memenuhi berbagai persyaratan sebagai berikut:
1) Kemampuan (communication skill),
2) Kepentingan (competence),
3) Imajinatif, inovatif, kreativitas, dan lain sebagainya,
4) Kejujuran (integrity),
5) Iktikad baik atau kemauan baik (good will),
6) Karakter pribadi yang kuat (good character),
7) Dapat dipercaya dan diandalkan (credibilitas and favorable),

106
8) Penguasaan materi (product knowledge) cukup baik untuk
disampaikan ke publiknya.
Dengan perpaduan etos kerja yang tinggi tersebut, bagi komunikator akan
menunjang fungsi dan tugasnya sebagai seorang profesional, organisator, dan
seorang yang bertanggungjawab atas tujuannya, sehingga bermanfaat bagi
berbagai pihak yang terkait, lembaga atau produk yang diwakilinya serta opini
dan publik yang menjadi sasarannya (Ruslan, 2007: 85).
Komunikator merupakan tokoh sentral dalam aktifitas komunikasi karena
ia harus memahami proses secara seksama mengenai berbagai hal yang terkait
dengan komunikasi dalam penyampain pesan kepada publik. Dalam hal ini
hendaknya KPU Kabupaten Blora, memilih komunikator yang benar-benar
mengerti seluk beluk pengetahuan pemilu legislatif 2009. Disamping itu,
komunikator harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi di masyarakat dan juga
harus bisa memahami, yang artinya memiliki pengertian yang mendalam dari
berbagai aspek kehidupan yang ada, seperti tanggung jawab sosial, masalah
hukum, keagamaan, pendidikan, adat istiadat, teknologi, perekonomian, sosial
budaya, serta politik. KPU Kabupaten Blora di setiap aktifitas komunikasi
hendaknya bekerjasama dengan pihak yang dipercaya oleh khalayak sasaran,
sehingga proses penyampaian pesan mudah diterima. Misalnya sewaktu
sosialisasi dengan siswa SMA, hendaknya KPU bekerjasama dengan guru atau
kepala sekolah, kemudian apabila KPU mengadakan sosialisasi di balai desa,
hendaknya bekerjasama dengan opinion leaders setempat, dan lain sebagainya.
KPU Kabupaten Blora sendiri, melakukan seleksi pemilihan anggota KPU
Kabupaten Blora secara periodik setiap lima tahun sekali, berdasarkan surat
keputusan Bupati Blora nomor 270/279/2008 tentang pembentukan tim seleksi
calon anggota KPU Kabupaten Blora dan keputusan KPU Nomor 172 tahun 2003
tentang organisasi dan tata kerja panitia pemilihan kecamatan, panitia
pemungutan suara dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPU Blora,
2009: 27). Dengan kata lain, komunikator yang dipilih oleh KPU Kabupaten

107
Blora untuk menjalankan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di
Kabupaten Blora telah melalui serangkaian pemilihan, dan mereka benar-benar
mengerti mengenai seluk beluk pemilu legislatif 2009, juga bersifat independen
(tidak terikat oleh partai atau organisasi lain).

7. Gambaran Terhadap Keseluruhan Program


Pada dasarnya program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora bersifat persuasif, yaitu
membujuk khalayak sasaran untuk ikut berpartisipasi dalam memeriahkan pesta
demokrasi Indonesia. Selain itu program tersebut juga bersifat edukatif, yaitu
KPU Kabupaten Blora berupaya untuk mengubah perilaku, sikap bertindak,
tanggapan, atau persepsi, hingga membentuk opini positif khalayak sasaran
mengenai pemilu legislatif 2009.
Cutlip,dkk. dalam bukunya „Effective Public Relations‟ (2006: 365)
mengemukakan bahwa suatu rencana program merepresentasikan teori kerja
tentang apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.
Secara teoretis dapat dikatakan, “Jika organisasi mengimplementasikan tindakan
dan komunikasi ini, maka organisasi akan mencapai hasil bersama publik
organisasi, dan ini akan menyebabkan tercapainya tujuan program”.
Setelah melakukan serangkaian analisis di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh
KPU Kabupaten Blora tidak dijalankan sesuai dengan konsep dan teori kerja
komunikasi yang dikemukakan oleh Cutlip (2006: 365). Hal ini terbukti dengan
indikator sebagai berikut:
a. Menurut konsep yang penetapan objective/tujuan dan target yang
dikemukakan oleh Fleet dalam bukunya „Strategic Communications
Planning‟ (2007) SMART, bahwa tujuan setidaknya harus memiliki kriteria:
Spesific, harus dikemukakan secara terperinci; Measurable, harus dapat
diukur secara kuantitas; Achievable, dapat memberikan dampak positif bagi

108
organisasi; Realistic, masuk akal; Time focused, memiliki batasan waktu yang
pasti. Dari indikator tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan program
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang sudah dikemukakan oleh KPU
Kabupaten Blora belum memenuhi syarat sebagai objective yang baik karena
tidak memenuhi kriteria yaitu tertulis, jelas dan singkat, tidak mempunyai
waktu yang spesifik, dan dinyatakan dalam ukuran yang terukur, seperti pada
konsep perumusan tujuan yang dikemukakan oleh Rhenald Kasali diatas.
b. Menurut Ruslan dalam bukunya yang berjudul „Kiat dan Strategi Kampanye
Public Relations‟ (2007: 76), materi dan isi dari suatu program biasanya
menyangkut tentang beberapa hal, diantaranya: Tema, topik, dan isu apa yang
ingin diangkat ke permukaan agar mendapat tanggapan; Tujuan dari program;
Sasaran dari program yang hendak dicapai. Namun, materi yang disampaikan
oleh KPU Kabupaten Blora dalam program pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009 hanya mencakup satu unsur saja, yaitu penjelasan tentang topik
atau tema. KPU Kabupaten Blora tidak mengangkat dua unsur yaitu tujuan
dari program dan sasaran yang hendak dicapai, sehingga khalayak sasaran
dikhawatirkan kurang mengetahui maksud dari program pendidikan pemilih
yang mereka ikuti.

Untuk mengatasi kegagalan dalam program pendidikan pemilih pemilu


legislatif 2009 tersebut, harus ada perencanaan program secara matang mulai dari
ketujuh komponen: tujuan, target, materi, sasaran, bentuk program hingga
pelaksana. Seperti pepatah mengatakan, sebelum bertindak sebaiknya: “Plan your
work and work your plan!”. Artinya, rencanakan pekerjaan sebaik mungkin, dan
kerjakan dengan persiapan matang, juga dukungan dari berbagai pihak (Ekowati,
2009: 10). Jika ternyata hasil dari program pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 tersebut tidak memuaskan dapat disebabkan salah satu komponen dari
bauran komunikasi (communication mix) tidak berfungsi seabagaimana mestinya,
seperti:

109
1) Komunikatornya lemah atau tidak menguasai communication skill
(kemampuan berkomunikasi) sehingga pesan yang disampaikan tidak mampu
mempengaruhi opini publik, dalam hal ini yaitu partisipasi mereka untuk
melakukan pemilihan pada pemilu legislatif 2009.
2) Pesan (message) yang akan disampaikan tidak sesuai dengan keinginan atau
minat audiensinya, atau menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh
khalayak sasaran.
3) Media yang dipakai untuk menyampaikan pesan kepada khalayak sasaran
kurang pas sehingga tidak mampu menjangkau audiensinya secara optimal.
Hal tersebut akibat dari kurang memperhitungkan strategi menggunakan
perencanaan media secara tepat sehingga pesannya tidak sampai kepada
audiensi.
4) Komunikan yang menjadi objek sasaran dari program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009 tidak diketahui dengan jelas dan rinci siapa yang
dijadikan khalayak sasaran, akibatnya komunikan tidak terfokus dan tentunya
tidak menghasilkan sesuatu yang diinginkan organisasi.
5) Efek atau dampak yang dihasilkan dari keempat komponen saling berkorelasi
atau terkait erat tersebut, satu sama lain terjadi banyak hambatan dan
kekurangan. Jangankan keempat komponen bauran komunikasi yang
mengalami kegagalan seluruhnya, jika salah satunya tidak berfungsi
sebagaimana mestinya sudah cukup mengakibatkan dampak atau efek yang
negatif, baik terhadap kepercayaan maupun opini yang buruk.

110
B. Evaluasi Dampak Pesan Program Komunikasi KPU Blora pada Pileg 2009
Salah seorang praktisi pernah mengatakan, “Kita bukan hanya harus
mencari hasil, tetapi juga harus mampu untuk mengukurnya”. Tetapi, menurut Katie
Delahaye Paine, seorang pelopor dalam bidang pengukuran kinerja organisasi,
meskipun banyak organisasi yang sudah mempunyai data untuk mengukur hasil
program, mereka tidak melakukannya, dengan alasan takut akan apa yang akan terjadi
jika organisasi melakukan upaya pengukuran dan ternyata tidak menghasilkan apa-
apa. Pengukuran dampak mencatat seberapa jauh hasil yang dinyatakan dalam target
untuk masing-masing publik sasaran dan keseluruhan tujuan program telah dicapai
(Gozali, 2005: 5).
Menurut Emerson, ”Komunikasi yang dapat mencapai tujuan atau sasaran
yang telah ditentukan oleh komunikator adalah komunikasi yang dikatakan efektif”
(Sunarjo, 1995: 72-73). Membangun dan memelihara sistem komunikasi yang efektif
tersebut adalah fungsi pokok eksekutif perusahaan atau organisasi (Hardjana, 2000:
x). Dan untuk dapat mengetahui apakah kegiatan atau program komunikasi yang
dilakukannya itu efektif atau tidak serta untuk mengukur kinerja dan kualitas
eksekutif, pejabat dan staf komunikasi maka eksekutif harus melakukan audit
komunikasi atas proses-proses komunikasi yang terjadi dalam organisasinya secara
berkala. Audit komunikasi yang diperkenalkan oleh George Odiorne berkaitan
dengan pemeriksaan, evaluasi dan pengukuran secara cermat dan sistematik. Dengan
kata lain, kegiatan-kegiatan atau program komunikasi yang dilakukan oleh staf
maupun eksekutif dalam suatu perusahaan atau organisasi dapat diukur, diperiksa dan
dievaluasi sehingga efektifitas dan maupun efisiensi kegiatan komunikasi yang sudah
dilakukan dapat di ketahui untuk kemudian hari ditingkatkan. Sedangkan Gerald
Goldhaber, seorang tokoh kunci dalam komite ICA (International Communication
Association), seperti yang dikutip oleh Hardjana (2000: 9-10) menjelaskan audit
komunikasi sebagai “pemeriksaan diagnosis yang dapat memberikan informasi dini
untuk mencegah kehancuran kesehatan organisasi yang lebih besar”. Namun, konsep
audit komunikasi tidak serta merta menjadi populer. Hingga akhir dekade 1960-an,

111
audit komunikasi tidak populer dalam artian tidak banyak para ahli yang
menggunakannya.
Untuk dapat mengetahui apakah kegiatan komunikasi yang sudah dijalankan
efektif atau berhasil mencapai tujuan dan sasaran organisasi adalah dengan
melakukan audit komunikasi. Dengan melakukan audit komunikasi, segala hambatan
komunikasi dan gangguan yang menyebabkan macetnya aliran informasi dan peluang
yang terlewat dapat diketahui sehingga diperoleh cara yang dapat meningkatkan
dampak yang dikehendaki sehingga organisasi atau perusahaan dapat
mempertahankan hidup bahkan kesuksesannya di tengah persaingan global yang
makin keras.
Audit komunikasi menurut Jane Gibson dan Richard Hodgetts dalam
Organizational Communication: A Managerial Perspective (Hardjana, 2000: 10)
adalah ”suatu analisis yang lengkap atas sistem-sistem komunikasi internal dan
eksternal dari suatu organisasi”. Begitu pula definisi yang diberikan oleh Joseph A.
Kopec, seperti yang dikutip cutlip, Center dan Broom (Putra, 1998: 26) yang
menyatakan audit komunikasi ”sebagai sebuah analisis lengkap tentang komunikasi
organisasi baik internal maupun eksternal yang dirancang untuk memahami
kebutuhan, kebijakan, praktek dan kemampuan komunikasi, dan untuk menemukan
data sehingga manajemen puncak dapat membuat keputusan yang ekonomis dan
berdasarkan informasi lengkap tentang tujuan kedepan komunikasi organisasi”.
Sedangkan Anthony Booth, mendefinisikan audit komunikasi sebagai ”proses
pembuatan analisis atas komunikasi-komunikasi di dalam organisasi oleh konsultan
internal atau eksternal dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi organisasi”.
Dengan pembatasan ruang lingkup pada komunikasi internal saja dan efisiensi, yang
umumnya memiliki arti jangka pendek, menunjukkan kalau audit komunikasi
sebaiknya dianggap sesuatu yang mudah untuk ditangani dan perlu dilakukan
berulang-ulang secara teratur (Hardjana, 2000: 11-12).

112
Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa penyelenggaraan audit
komunikasi bermanfaat bagi kelangsungan dan efektivitas komunikasi dalam
organisasi, yakni:
a. Untuk mengetahui apakah dan dimana terjadi kelebihan (overload) atau
kekurangan (underload) muatan komunikasi berkaitan dengan topik, sumber
dan saluran komunikasi.
b. Untuk menilai kualitas informasi dan mengukur kualitas hubunganhubungan
komunikasi secara khusus mengukur kepercayaan antarpribadi (trust),
dukungan, keramahan, dan kepuasan kerja.
c. Untuk mengenali jaringan-jaringan yang aktif operasional komunikasi non
formal dan membandingkannya dengan komunikasi formal.
d. Untuk mengetahui sumber-sumber kemacetan (bottleneck) arus informasi dan
para penyaring informasi (gatekeeper) dengan memperbandingkannya dengan
peran masing-masing dalam jaringan komunikasi.
e. Untuk mengenali kategori dan contoh pengalaman dan peristiwa komunikasi
yang positif maupun negatif.
f. Untuk menggambarkan pola-pola komunikasi pada tingkat pribadi, kelompok
maupun organisasi berkaitan dengan komponen komunikasi, frekuensi dan
kualitas interaksi.
g. Untuk memberikan rekomendasi tentang perubahan atau perbaikan yang perlu
dilakukan (Hardjana, 2000: 16-17).

Sedangkan alasan-alasan diselenggarakannya audit komunikasi adalah:


1) Untuk mengetahui apakah program komunikasi berjalan dengan baik.
2) Ingin membuat diagnosis tentang masalah yang terjadi atau berpotensi dan
peluang yang mungkin terbuang.
3) Ingin melakukan evaluasi atas kebijakan baru atau praktek komunikasi yang
terjadi.

113
4) Ingin memeriksa hubungan antara komunikasi dengan tindakan operasional
lain.
5) Ingin menyususn anggaran kegiatan komunikasi.
6) Ingin menetapkan patok banding.
7) Ingin mengukur kemajuan dan perkembangan dengan membandingkannya
dengan patok banding tadi.
8) Ingin mengembangkan atau melakukan restrukturisasi fungsi-fungsi
komunikasi.
9) Ingin membangun landasan dan latar belakang guna mengembangkan
kebijakan dan program komunikasi baru (Hardjana, 2000: 17-18).

Evaluasi program merupakan bagian dari audit komunikasi. Evaluasi


merupakan suatu usaha dan kegiatan untuk menentukan nilai suatu program atau
kegiatan. Broom dan Dozier (1990: 73) menyatakan “evaluation is determining the
worth of something”. Sementara itu, Quarles dan Rowlings (1993: 49) menyatakan
bahwa pengevaluasian sebuah program berarti “measuring what actually happen
against objectives developed in the plan”, dengan demikian, ketika melakukan
evaluasi terhadap suatu program, organisasi sedang mencoba memperlihatkan nilai
dari masing-masing kegiatan, sehingga pada akhirnya kegiatan tersebut dapat
dikatakan berhasil atau justru mengalami kegagalan (Putra, 1999: 70).
Berikut merupakan pembahasan hasil evaluasi terhadap dampak dari
program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang telah dijalankan oleh KPU
Kabupaten Blora, berdasarkan pendapat narasumber-narasumber yang telah
mengikuti kegiatan tersebut, yang selanjutnya akan dikaji dengan teori komunikasi
yang ada.

114
1. Output Evaluations
Evaluasi output adalah evaluasi yang digunakan untuk mengukur produk
komunikasi dan distribusinya. Evaluasi ini berfokus pada pengembangan dan
presentasi dari pesan, khususnya produksi dan penyebarannya.
a. Produksi Pesan
Merupakan evaluasi yang mengukur berapa banyak jumlah atribut
pesan digunakan untuk menyukseskan program pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009 ini.
Media taktik merupakan strategi yang digunakan untuk menggunakan
bantuan media sebagai pembantu berjalannya program yang bertujuan untuk
membujuk khalayak sasaran, bisa media massa ataupun atribut-atribut media
lainnya seperti buletin, jurnal, brosur, flyer, iklan, spanduk, dan lain
sebagainya. Organisasi memutuskan untuk menggunakan media taktik ketika
menghadapi khalayak sasaran yang berjumlah banyak, tersebar luas, sehingga
kemungkinan sulit untuk berinteraksi secara personal (Smith, 2005: 174).
Salah satu manfaat dari media taktik adalah media mudah dicari oleh khalayak
sasaran yang aktif terhadap isu-isu organisasi, dalam hal ini merupakan
masyarakat Kabupaten Blora yang paham betul dengan dunia politik dan
memiliki perhatian lebih terhadap pemilu legislatif 2009. Fungsi dari media
pembantu ini adalah:
(1) Meningkatkan pengertian atau pemahaman khalayak sasaran.
(2) Meningkatkan daya tarik program.
(3) Mengajarkan keahlian lebih efektif.
(4) Merangsang khalayak untuk bertindak sesuai dengan harapan
organisasi.
(5) Berperan dalam menumbuhkan sikap yang diinginkan organisasi.
(6) Memperpanjang waktu penyimpanan informasi.
(7) Memberikan perolehan pengalaman (Smith, 2005: 172).

115
Salah satu strategi dari media taktik adalah general publications, yaitu
publikasi dari berbagai macam material yang dicetak oleh organisasi. Salah
satu bagian dari general publications yaitu stand-alone publications.
Publikasi ini biasanya berupa brosur atau flyer yang dicetak hanya sekali oleh
organisasi pada suatu periode/program tanpa ada keterlanjutan
(serial/bersambung). Brosur merupakan bagian dari stand-alone publications,
yang memuat sebuah topik atau isu, seperti produk atau jasa yang disajikan
oleh organisasi, promosi dari sebuah program, atau isu-isu lainnya yang
dikedepankan organisasi. Brosur bagian dari action-publications, untuk alat
bantu menyukseskan aktivitas marketing. Jenis lain dari brosur, dapat berupa
pamflet atau booklet. Brosur yang bersifat persuasif biasanya mengangkat
tentang isu-isu yang berhubungan dengan keyakinan, politik, atau sosial topik.
Flyer tidak jauh beda dengan brosur, namun bedanya brosur disebarkan dalam
suatu forum atau kegiatan, dan flyer dapat disebarkan dimana dan kapan saja.
Jenis lain dari flyer dapat berupa leaflet atau folder (Smith, 2005: 173).
Ketika membuat media publikasi, hal yang harus diperhatikan adalah
kelayakan isi berita (news worthy) dan lebih mengedepankan pada hal-hal
yang dapat menarik publik. Pastikan media publikasi dapat menyajikan
informasi yang semenarik mungkin dari sudut pandang khalayaknya.
Organisasi harus lebih mengesampingkan egonya untuk membuat informasi
yang sesuai dengan keinginan organisasi, namun organisasi harus
mengedepankan informasi yang berhubungan dengan kebutuhan publiknya
(Smith, 2005: 173).
Strategi lainnya yang digunakan oleh KPU Kabupaten Blora dalam
menyukseskan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di
Kabupaten Blora adalag melalui menggunakan media pembantu advertising
atau periklanan seperti spanduk dan billboard. Advertising adalah informasi
yang ditempatkan di media oleh sponsor tertentu yang jelas identitasnya yang
membayar untuk ruang dan waktu penempatan informasi tersebut. Advertising

116
merupakan metode terkontrol dalam menempatkan pesan di media (Cutlip,
dkk. 2006: 14).
Media pembantu yang digunakan oleh KPU Kabupaten Blora yang
berupa spanduk atau billboard merupakan bagian dari Out-of-home
advertising yaitu bagian dari jenis advertising yang berusaha melakukan
kegiatan persuasi pada publik yang bergerak, misalnya orang yang sedang
mengendarai kendaraan. Jenis advertising seperti ini menawarkan banyak
keuntungan seperti tersedia selama 24 jam dan dapat menjangkau publik luas,
advertising jenis ini juga dapat diingat oleh publik karena menimbulkan efek
pengulangan kepada publik yang melihatnya. Namun, advertising ini cukup
mahal, dan hanya dapat memuat pesan yang pendek dan simpel. Advertising
jenis ini dapat berupa outdoor posters, arena posters, billboard, dan lain
sebagainya (Smith, 2005).
Berikut merupakan rincian dari berbagai media pembantu yang telah
dibuat oleh KPU Kabupaten Blora untuk menyukseskan program pendidikan
pemilih pemilu 2009 ini (KPU Blora, 2009: 132-141):
1) Produk yang berasal dari KPU mengenai petunjuk tata cara Pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
a) Buku panduan KPPS sebanyak 5.620, yang di distribusikan ke
16 Kecamatan, 295 Desa serta 2.401 TPS.
b) VCD pemungutan dan perhitungan suara Pemilu anggota DPR,
DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk
menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2009, contoh tata cara
mencontreng surat suara.
2) Produk yang berasal dari KPU Propinsi Jawa Tengah.
a) Leaflet tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota.

117
b) Ilustrasi surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota.
c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk
menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.
d) Buku panduan “Tandai Pilihanmu” yang berisi tentang
pengetahuan Pemilu 2009 sebanyak 500 buah.
e) Produk yang berasal dari KPU Kabupaten Blora.
3) Bersumber dari APBN: Stiker 4500 lembar untuk masyarakat
umum, Leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan masyarakat
umum.
4) Bersumber dari APBD: Spanduk 315 buah untuk masing-masing
Desa dan Kecamatan, baliho 5 buah dipasang di pusat-pusat
keramaian, radiospot di radio-radio pemerintah dan swasta, iklan
di koran lokal Radar Bojonegoro dan Suara Merdeka.
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa KPU Kabupaten Blora
telah memproduksi media pembantu berupa buku panduan, leaflet, poster, dan
stiker yang memuat informasi tentang penyelenggaraan pemilu legislatif
2009, untuk memudahkan masyarakat Blora dalam melakukan pemilihan.
Namun, yang menjadi titik berat pada evaluasi produksi pesan adalah, untuk
mengukur berapa banyak jumlah media pembantu tersebut yang telah
disebarkan oleh KPU Kabupaten Blora?, dan apakah jumlah media pembantu
itu cukup memenuhi kebutuhan informasi masyarakat Blora mengenai pemilu
legislatif 2009?.
Sesuai dengan pendapat Smith dalam bukunya „The Strategic
Planning for PR‟ (2005: 175), mengemukakan bahwa: “Organisasi perlu
memperhatikan publik mana yang akan menerima media promosi agar
hasilnya lebih efektif. Memproduksi lebih dari satu jenis media publikasi yang
memiliki banyak variasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan
untuk menarik perhatian publik yang berjumlah banyak”.

118
Dengan jumlah DPT sebanyak 697.300 pemilih, KPU Kabupaten
Blora menyebarkan media pembantu antara lain berupa stiker 4500 lembar
untuk masyarakat umum, spesimen surat suara 14000 lembar untuk
penyelenggara di tingkat bawah, leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan
masyarakat umum, spanduk 315 buah untuk masing-masing Desa dan
Kecamatan, serta baliho 5 buah dipasang di pusat-pusat keramaian (Sumber:
wawancara 03/12/2009 09:00WIB). Dengan asumsi sekitar 22.000 media
pembantu dibagikan untuk 697.300 pemilih, berarti setiap satu media
pembantu diperuntukkan bagi 31 calon pemilih. Dengan kata lain setiap 31
pemilih berusaha mendapat kesempatan untuk memperoleh satu media
pembantu. Tentu saja jumlah 1:31 belumlah memenuhi kriteria penyebaran
informasi yang benar.
McCombs dan Shaw (1993: 65) mengemukakan bahwa ”media bukan
hanya memberitahu kita apa yang kita pikirkan tentang sesuatu, tetapi juga
bagaimana kita memikirkan tentangnya, dan, konsekuensinya, apa yang akan
dipikirkan”. Dari pemikiran tersebut, lahirlah teori agenda-setting yang
berasumsi bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka
media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi,
apa yang dianggap penting bagi media, penting juga bagi masyarakat. Asumsi
ini berasal dari asumsi lain bahwa media memiliki efek yang kuat, terutama
karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan
perubahan sikap dan pendapat. Teori agenda-setting menganggap bahwa
masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu tersebut
disusun berdasarkan tingkat kepentingannya. McCombs dan Shaw
mengatakan pula bahwa audiens tidak hanya mempelajari berita-berita dan
hal-hal lainnya melalui media, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti
penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media memberikan
penekanan terhadap topik tersebut (Effendy, 2000: 287-288).

119
Agar berhasil menjalankan media taktik, organisasi harus membuat
packaging atau mengemas media pembantu yang akan digunakan sebagai
bahan persuasi secara menarik, melalui cara sebagai berikut:
a. Berfikir kreatif, buatlah pesan yang paling simpel dan masuk akal,
dengan ide-ide kreatif yang jarang dikemukakan oleh organisasi lain.
b. Ketika waktunya telah dimulai untuk melakukan promosi, lakukanlah
semua komponen program promosi mulai dari kegiatan komunikasi, dan
keluarkanlah berbagai media pembantu lainnya secara bersamaan
selama waktu program yang ditentukan pada perencanaan. Dengan
demikian, mereka akan berfikir program tersebut penting (Smith, 2005).

d) Distribusi Pesan
Evaluasi ini digunakan untuk mengukur penyebaran materi pesan,
apakah sudah merata atau belum (Smith, 2005: 246).
Usaha agar ide atau inovasi diterima bukan hanya sekedar memberikan
informasi kepada audiens melalui media massa atau publikasi internal.
Komunikasi harus diarahkan pada sasaran yang tepat, bukan disebarkan ke
segala arah. Bahkan setelah dilakukan riset bertahun-tahun, masih belum ada
model tunggal tentang bagaimana ide disebarkan kepada khalayak. Elmo
Roper telah melakukan riset opini hampir 30 tahun, merumuskan hipotesis
yang mengandung pedoman yang berguna. Teori lingkaran konsentrisnya
menyatakan bahwa ide masuk ke publik dengan sangat lambat melalui proses
yang mirip dengan proses osmosis. Sejarah kampanye publik menguatkan
teori ini. ide bergerak dalam lingkaran konsentris dari pemikir besar ke murid
utama lalu ke penyebar besar sampai ke penyebar kecil hingga ke orang-orang
yang aktif dan tidak aktif secara politik. Hipotesis ini mengasumsikan bahwa
masyarakat bisa dibuat berlapis-lapis, dan menekankan arti penting dari
penggunaan pemimpin opini dalam proses komunikasi. Namun tingkat aliran
dalam transmisi penerimaan ide dipengaruhi oleh banyak faktor disamping

120
karakteristik dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faktor-faktor ini
mencakup “rintangan berkomunikasi” menurut Lippmann dan “pengatur
tingkat penyerapan” menurut George Gallup, seperti diilustrasikan dalam
gambar berikut (Cutlip, dkk. 2006: 404-405):

Gambar 01
Rintangan dan Diseminasi Komunikasi Program Pendidikan Pemilih
Pemilu 2009 KPU Kabupaten Blora
Rintangan Berkomunikasi Hipotesis Roper Pengatur Tingkat
Lippmaan Penyerapan Ide Baru dari
Gallup
Pemikir Besar
1. Sensor artifisial
KPU Pusat 1. Kompleksitas ide

2. Batasan kontak sosial


Murid Besar 2. Faktor perbedaan
KPU Propinsi Jateng dengan pola yang
sudah lazim

3. Sedikit waktu yang


tersedia untuk Penyebar Besar 3. Kompetisi dengan ide
memberi perhatian KPU Kabupaten Blora yang sudah ada
pada persoalan publik (Divisi Sosialisasi dan
Kajian Pemilu)

4. Distorsi karena
kejadian harus 4. Apakah ide itu mudah
dipadatkan dalam Penyebar Kecil ditunjukkan dan
pesan PPK, PPS, dan KPPS dibuktikan?

5. Kesulitan menyusun 5. Seberapa kuat vested


Aktif secara politik
kosakata untuk interest akan menolak
Warga Blora yang tertarik
mengekspresikan terhadap isu-isu pemilu usulan perubahan?
dunia yang besar dan legislatif 2009
rumit

121
6. Kekhawatiran Pasif secara politik 6. Apakah proposal itu
menghadapi fakta Warga Blora yang jarang sesuai dengan
yang tampaknya menyuarakan opini, tetapi kebutuhan yang
mengancam rutinitas tetap berpartisipasi dalam dirasakan?
mapan dalam pileg 2009
kehidupan
7. Seberapa sering publik
diingatkan pada ide
baru?
Sumber Diadaptasi dari Rintangan dan Diseminasi Komunikasi Cutlip, dkk. 2006: 405

Gambar di atas menjelaskan tahapan-tahapan penyebaran pesan yang


terjadi pada program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU Kabupaten
Blora. Pesan tersebut mengalir dari sumber terbesar (komunikator utama) yaitu
KPU pusat hingga ke masyarakat Blora. Dalam setiap tahapan proses tersebut,
terdapat berbagai permalahan tertentu yang timbul yang dijelaskan melalui
rintangan komunikasi Lippmann, kemudian permasalahan tersebut diselesaikan
melalui pemikiran-pemikiran serta hal-hal baru yang dijelaskan pada tingkat
penyerapan ide baru dari Gallup. Tahapan-tahapan penyebaran serta penyerapan
pesan di atas, juga sering disebut dengan difusi.
Difusi adalah proses penyebaran ide dan praktik ke anggota sistem sosial.
Teori difusi inovasi menjelaskan tentang proses mengadopsi inovasi pada
masyarakat untuk mengganti tekhnologi lama dengan yang baru dalam lima tahap
(Rogers, 1983: 165):
1) Tahap pertama, pengetahuan: kesadaran individu akan adanya inovasi dan
adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi,
2) Tahap kedua, persuasi: individu membentuk/memiliki sifat yang menyetujui
atau tidak menyetujui informasi tersebut,
3) Tahap ketiga, keputusan: individu terlibat dalam aktivitas yang membawa
pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut,
4) Tahap keempat, pelaksanaan: individu melaksanakan keputusannya itu sesuai
dengan pilihan-pilihannya,

122
5) Tahap kelima, konfirmasi: individu akan mencari pendapat yang menguatkan
keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan
yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang
diterimanya berlawanan dengan yang lainnya.

Dari segi media taktik, teori ini direpresentasikan melalui media pembantu
yang dapat membantu kesuksesan komunikasi antara publik dengan organisasi.
Media pembantu berguna dan berpengaruh besar dalam menciptakan kesadaran
dalam tahap pengetahuan tersebut diatas. Mengkomunikasikan ide baru atau
praktik baru adalah tugas yang panjang dan sulit. Taktik komunikasi yang
berbeda akan efektif pada poin yang berbeda dengan cara yang berbeda pula.
Pengaruh dari opini dan tokoh masyarakat sangat besar di banyak situasi. Adalah
penting bagi komunikator untuk mengetahui apa teknik dan media yang akan
digunakan pada tahap yang berbeda dan mengetahui bagaimana cara
memobilisasi pengaruh ini secara efektif. Ide atau inovasi lebih mudah untuk
diadopsi jika ide-ide tersebut (1) Lebih menguntungkan ketimbang situasi
sekarang; (2) Kompatibel dengan pengalaman sebelumnya dan aspek situasi
lainnya; (3) Sederhana; (4) Mudah dicoba; (5) Dapat diamati melalui hasil yang
kelihatan (Cutlip, dkk. 2006: 236).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak KPU Kabupaten Blora, media
pembantu berupa Buku Panduan KPPS, VCD Pemilu, dan Poster disebarkan ke
seluruh penjuru kecamatan, desa, dan TPS di Kabupaten Blora. Sedangkan
spanduk 315 buah dipasang di setiap pusat keramaian desa dan kecamatan di
Kabupaten Blora yang memiliki 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas 271 desa dan
24 kelurahan, dengan kata lain setiap satu wilayah baik kecamatan, desa, maupun
kelurahan mendapatkan satu spanduk untuk dipasang dikeramaian. Sedangkan
baliho yang dipasang hanya 5 buah saja, dan khusus untuk dipasang di pusat
keramaian kecamatan kota Blora dan Cepu.

123
Masih menurut narasumber dari KPU Kabupaten Blora, stiker, leaflet,
maupun materi lain dari produk tersebut dibagikan pada saat sosialisasi
dilakukan:
“Kami membagikan sebagian atribut pemilu seperti brosur dan flyer, pada
setiap sosialisasi, dan disana juga diputarkan VCD Ayo Mencontreng” (Sumber:
wawancara 10/12/2009 13:30WIB).
Namun, agaknya beberapa peserta tidak menerima materi tersebut,
ditunjukkan dengan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa
khalayak sasaran, yang tidak sedikit dari mereka mengaku bahwa mereka tidak
mendapatkan leaflet atau brosur sewaktu mengikuti sosialisasi, sehingga mereka
terkendala dan banyak pihak yang lupa pesan dari sosialisasi sewaktu mereka
selesai mengikuti program tersebut karena tidak mencatat. Bahkan tak jarang
diantara mereka memberikan saran kepada pihak KPU Kabupaten Blora, untuk
memberikan media pembantu penyampaian pesan lain seperti pamflet, atau flyer
untuk mereka bawa pulang, sehingga kelak mereka bisa mempelajarinya.
Fakta-fakta di atas menjelaskan bahwa KPU Kabupaten Blora belum dapat
menjalankan fungsi media taktik secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh:
1) Sedikitnya jumlah media pembantu yang diproduksi yaitu hanya
sekitar 22.000 media pembantu dibagikan untuk 697.300 pemilih,
berarti setiap satu media pembantu diperuntukkan bagi 31 calon
pemilih. Dengan kata lain, setiap 31 pemilih berusaha mendapat
kesempatan untuk memperoleh satu media pembantu.
2) Kesalahan dari strategi penyebaran pesan, karena menurut Lippman
dan Gallup, tingkat aliran dalam transmisi penerimaan ide dipengaruhi
oleh banyak faktor, dan biasanya informasi mengalir dari masyarakat
yang berpengetahuan tinggi ke pengetahuan rendah, atau yang aktif
mencari informasi pada masyarakat yang pasif (Cutlip, dkk. 2006:
404-405). Dalam hal ini, KPU Blora berkemungkinan memiliki
kesalahan dalam strategi penyebaran pesannya, yaitu masyarakat yang

124
aktif dan mengikuti pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 tidak
mendapatkan pembagian media pembantu tersebut, namun justru
masyarakat lain yang justru kurang responsif terhadap pemilu legislatif
2009, mendapatkan media pembantu tersebut.

2. Evaluations of Awareness Objectives


Metode evaluasi yang bertujuan untuk mengukur kesadaran publik
terhadap kegiatan yang telah dilakukan organisasi. Berkaitan dengan fokus pada
kegiatan komunikasi yang mendokumentasikan. Evaluasi ini dimaksudkan untuk
menunjukkan seberapa besar kemahiran organisasi untuk membentuk taktik
komunikasi mereka dalam meningkatkan kesadaran dan sikap publik, sehingga
publik mampu bertindak dan berfikir sesuai dengan tujuan dari program
komunikasi (Smith, 2005: 247).
Pengukuran evaluasi ini berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu terpaan pesan
(message exposure), isi pesan (message content), dan pengingatan pesan (message
recall).
a) Evaluasi Berdasarkan Terpaan Pesan (Message Exposure)
Evaluasi yang memfokuskan pada perhatian khalayak program,
langkah ini digunakan untuk mengukur seberapa besar perhatian dan
ketertarikan khalayak terhadap program (Smith, 2005: 247). Dalam penelitian
ini, evaluasi berdasarkan terpaan pesan dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah narasumber penelitian yang telah
mengikuti program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU
Kabupaten Blora benar-benar memperhatikan kegiatan tersebut? dan apakah
sesungguhnya mereka tertarik dengan kegiatan tersebut?.
Pendapat umum mengatakan bahwa dasar utama yang menjadikan
seseorang untuk tertarik dengan orang lain yang belum saling mengenal
adalah hal-hal yang nampak (apprearance). Adapun hasil penelitian

125
menjelaskan bahwa hal-hal yang nampak kurang menjadikan keterkaitan
sosial, melainkan adanya persamaan dan persamaan merupakan faktor yang
penting yaitu dasar untuk saling tertarik. Ketertarikan adalah suatu proses
yang dengan mudah dialami oleh setiap individu akan tetapi sukar untuk
diterangkan. Ada tiga teori tentang ketertarikan. Pertama, Teori cognitive
yakni menekankan pada proses berpikir dan bagaimana seseorang memahami
(mengerti) dan mempresentasikan, yang berpengaruh pada tingkah laku
mereka. Kedua, Teori reinforcement (penguatan), yakni teori yang mengakar
pada teori belajar yang menginterpretasikan ketertarikan sebagai suatu respon
yang dipelajari seseorang. Teori ini mengemukakan bahwa orang cenderung
memberikan ganjaran atau pengukuhan positif terhadap dirinya, dibanding
dengan orang yang memberikan pengukuhan negatif. Ketiga, teori
interaktionist, beranggapan bahwa setiap orang dirangsang untuk tertarik pada
orang lain (Hudaniah, 2003: 127-135).
Berdasarkan hasil wawancara terhadap kedua narasumber pemilih
pemula, mereka menunjukkan ketertarikan yang berbeda. Narasumber
pertama cenderung merasa tertarik dengan program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009 yang diikutinya, dengan alasan baru pertama kali akan
berpartisipasi dalam pemilu. Hal ini sesuai dengan teori belajar manusia yang
menekankan peranan situasi dan lingkungan sebagai sumber penyebab
tingkah laku. Teori ini berakar dari dorongan jiwa atau hasrat untuk
melakukan kegiatan belajar, yang akan menghasilkan perubahan karena
adanya usaha dari individu tersebut (Supratiknya, 1993: 279). Menurut teori
belajar tersebut, narasumber ingin mengungkapkan bahwa ketertarikannya
lebih dikarenakan narasumber belum pernah ikut berpartisipasi dalam
penelitian tersebut, sehingga narasumber ingin mengetahui dan mempelajari
hal-hal yang berhubungan dengan pemilu legislatif 2009. Teori belajar
tersebut juga berlaku pada narasumber lainnya seperti pada petani dan pada
narasumber guru, serta anggota PKK yang mengaku mengikuti kegiatan

126
pendidikan pemilih karena rasa keingintahuan mereka terhadap informasi
mengenai pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009. Narasumber-narasumber
tersebut memiliki motivasi belajar, karena adanya aspek seperti minat,
kesadaran, semangat, keinginan, cita-cita, kesukaan, dan rasa keingintahuan
terhadap pemilu legislatif 2009.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000: 143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan
respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Berikut merupakan
berbagai definisi belajar menurut berbagai pakar yang dikutip dari buku
“Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat dan Behavioristik” (Supratiknya,
1993).
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang

127
tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh
oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi,
semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia,
sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk
dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler,
1991).
Sedangkan konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar
lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner
hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena
stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang

128
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi
inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh
karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus
memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan
bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk
menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Faktor lain yang dianggap penting dalam teori belajar adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin
kuat.
Sesuai dengan teori belajar di atas, para narasumber yang menjadi
khalayak sasaran merupakan „murid‟ pada program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009, sedangkan komunikator program yaitu pihak KPU
Kabupaten Blora yang diwakili oleh Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu
merupakan „guru‟ yang ingin menyebarkan „ajaran‟ dan pengetahuan mereka
mengenai pemilu legislatif 2009.
Para „murid‟ yaitu khalayak sasaran pada program pendidikan pemilih
pemilu 2009, memiliki reinforcement (penguatan) terhadap program tersebut
karena berbagai alasan seperti baru pertama kali berpartisipasi dalam pemilu
sebagaimana yang terjadi dalam salah satu narasumber pemilih pemula, rasa
keingintahuan mereka terhadap pemilu legislatif 2009 yang memiliki sistem
pemilihan berbeda dari pemilu sebelumnya yaitu mencontreng, bahkan salah
satu narasumber yaitu dari anggota penggerak PKK berkewajiban untuk
menjadi „guru‟ selanjutnya pada sosialisasi pemilu legislatif 2009 terhadap
anggota-anggota PKK dibawahnya.

129
Berbeda dengan narasumber pemula yang pertama, narasumber
pemula yang kedua menyatakan ketidak-tertarikannya dengan program
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU
Kabupaten Blora, dengan alasan karena pihak sekolah mewajibkan untuk
mengikuti kegiatan tersebut, maka narasumber ikut. Hal ini sesuai dengan
spiral of science theory oleh Elizabeth Noelle-Neuman yang mengungkapkan
tindakan seseorang yang berusaha untuk mengikuti tindakan lainnya sesuai
dengan konsensus kelompok, walaupun tindakan tersebut bertentangan
dengan pendapatnya, karena pada dasarnya seseorang tidak mau dikucilkan
dari kelompoknya (Bungin, 2006: 284). Teori ini direfleksikan ketika
narasumber ingin mengikuti program tersebut karena adanya kewajiban dari
pihak sekolah untuk mengikutinya.
Selain itu, narasumber pemilih pemula yang terpaksa mengikuti
program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 tersebut menunjukkan
salah satu alasan manusia ingin melakukan interaksi dalam ilmu psikologi
yaitu identifikasi. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi
identik atau sama dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Proses identifikasi pertama-tama berlangsung secara tidak sadar dan
selanjutnya irasional. Artinya, identifikasi dilakukan berdasarkan perasaan-
perasaan atau kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara
rasional dimana identifikasi akan berguna untuk melengkapi sistem norma,
cita-cita, dan pedoman bagi yang bersangkutan (Hudaniah, 2003: 130).
Namun, berdasarkan hasil wawancara terhadap semua narasumber
yang ada, mayoritas dari mereka sepakat bahwa program pemilu legislatif
2009 ini bermanfaat bagi mereka, dan mereka bersepakat untuk mengikuti
kembali program pendidikan pemilih pada pemilu mendatang apabila diberi
kesempatan. Hal ini sesuai dengan pertukaran sosial dan reinforcement-affect
theory yang menekankan aspek kemampuan (ability) ketika orang ingin
melakukan interaksi lebih. Teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan

130
memberi ganjaran atau konsekuensi positif kepada hal-hal yang memberi
keuntungan atau manfaat bagi mereka. Teori ini mengasumsikan bahwa
stimuli diklasifikasikan sebagai reward (imbalan) dan punishment (hukuman).
Dimana rewarding stimuli memberikan efek positif, sedangkan punishment
stimuli memberikan efek negatif. Evaluasi seseorang tentang objek atau
orang lain didasarkan pada derajat afek positif atau negatif yang dialaminya
dan stimulus netral diasosiasikan dengan afek itu sehingga akan menghasilkan
afek yang sama. Dengan demikian, subjek menjadi suka terhadap objek yang
diasosiasikan (dihubungkan) dengan pengalaman yang baik dan tidak suka
pada objek yang diasosiasikan dengan pengalaman buruk (Hudaniah, 2003:
137).
Teori tersebut menjelaskan bahwa „subjek‟ yaitu para narasumber
yang telah mengikuti program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009,
merasa bahwa „objek‟ yaitu KPU Kabupaten Blora dan program pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 yang mereka ikuti membawa dampak yang
positif bagi diri mereka. Terbukti dengan keinginan mereka yang ingin
mengikuti/berpartisipasi dalam program pendidikan pemilih lagi pada pemilu-
pemilu selanjutnya.
Ketertarikan diukur dalam tiga tingkatan yaitu kecil (rendah), sedang
(biasa), dan tinggi (sangat tertarik). Ketika seseorang tertarik dengan sesuatu
hal, sangat wajar kalau mereka ingin kembali mengulangi hal tersebut lagi,
tanpa ada rasa bosan.

b) Evaluasi Berdasarkan Isi Pesan (Message Content)


Evaluasi ini terkait dengan penyajian pesan dan penyampaiannya
dalam suatu program (Smith, 2005: 250).
Menurut hasil wawancara dengan berbagai narasumber, mayoritas dari
mereka merasa telah memahami isi pesan yang disampaikan oleh KPU

131
Kabupaten Blora, dalam program pendidikan pemilih 2009 tersebut karena
pesan mudah dipahami.
Kotler dalam bukunya „Marketing Management, an Asia Perspective‟
(1996) mengemukakan bahwa ada tiga proses ketika seseorang
mempersepsikan sesuatu:
(1) Selective attention, yaitu dimana seseorang akan mempersepsikan sesuatu
berdasarkan pada perhatiannya. Hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya
informasi yang diterima pada saat bersamaan. Dalam satu hari, rata-rata
seseorang dapat menerima 1.500 informasi. Untuk itulah komunikator
program harus membuat informasi semenarik mungkin agar sering
diingat.
(2) Selective distortion, yaitu kecenderungan seseorang untuk memilah-milah
informasi berdasarkan kepentingan pribadinya, dan menerjemahkan
informasi berdasarkan pola pikir sebelumnya yang berkaitan dengan
informasi tersebut.
(3) Selective retention, dimana seseorang akan mudah mengingat informasi
yang dilakukan secara berulang-ulang.
Para narasumber lebih banyak mengkritisi tentang cara penyampaian
pesan program tersebut. banyak dari mereka yang bilang program tersebut
cenderung monoton, sehingga banyak dari mereka yang merasa bosan dan
banyak dari mereka yang menyarankan untuk menambahkan berbagai dialog
interaktif dan berbagai ilustrasi lainnya seperti games, kuis, dan lain
sebagainya agar para narasumber merasa tertarik dan tidak cepat melupakan
isi sesungguhnya dari pesan program pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 yang mereka ikuti.
Pesan yang disampaikan jika itu sesuai dengan pandangan atau nilai-
nilai dari audiens akan cenderung lebih diterima. Namun adanya kesenjangan
antara isi pesan yang disampaikan dengan pendapat audiens dapat pula
menimbulkan perubahan sikap. Hal ini sesuai dengan teori dissonansi

132
kognitif, bahwa semakin besar kesenjangan, semakin besar tekanan potensial
untuk berubah. Meskipun demikian, tekanan yang semakin kuat dengan
semakin besarnya kesenjangan, tidak selalu menghasilkan lebih banyak
perubahan. Ada dua faktor yang menyulitkan: (1) Sejalan dengan semakin
besarnya kesenjangan, komunikan atau audiens menemukan kesulitan yang
semakin besar untuk merubah sikap mereka guna menghilangkan
kesenjangan; (2) Kesenjangan terlalu besar juga cenderung menyebabkan
individu meragukan kredibilitas sumber. Sehingga pada tingkat kesenjangan
yang tinggi, tekanan cenderung menurun, yang biasanya disebabkan oleh
adanya penghinaan terhadap sumber dan bukannya karena perubahan sikap.
Dengan kata lain, penghinaan terhadap sumber merupakan mekanisme
pemulihan konsistensi yang lebih umum dipilih daripada perubahan sikap.
Namun kredibilitas yang semakin tinggi akan memperbesar
kemungkinan keberhasilan komunikator untuk mengemukakan pandangan
yang lebih senjang, karena mereka tidak akan mudah ditolak. Hasil penelitian
selanjutnya menemukan bahwa ternyata lebih banyak perubahan pada tingkat
kesenjangan menengah dibandingkan pada tingkat kesenjangan yang lebih
tinggi. Tingkat kesenjangan optimal untuk sumber dengan kredibilitas tinggi.
Misalnya hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber dengan kredibilitas
tinggi hanya dapat menurunkan sikap subjek pada tingkat terbaik dari rata-rata
delapan jam setiap malam sampai sekitar enam jam setiap malam. Jadi tingkat
kredibilitas tidak mengubah dasar hubungan terbalik antara kesenjangan dan
perubahan sikap (Sears, dkk. 1999).
Walaupun ada keyakinan bahwa „makna bukan terletak pada kata,
tetapi pada orang‟, karakteristik pesan tetap harus dipertimbangkan sebagai
faktor penting dalam mempengaruhi penerimaan khalayak terhadap suatu
gagasan. Ada berbagai teori yang dapat digunakan untuk meningkatkan
keefektifan komunikasi dengan mempertimbangkan berbagai pesan yang akan
ditampilkan. Jika berbicara variabel pesan dalam komunikasi, maka ada

133
beberapa bagian dari variabel pesan yang cukup penting untuk mendapat
perhatian. Beberapa diantaranya adalah faktor gaya pesan (content style),
imbauan pesan (message appeals) yang biasanya berupa imbauan rasional dan
semosional (ethos, pathos, dan logos), pengulangan pesan (message
repetition), kesimpulan dalam pesan (implisit dan eksplisit), pengorganisasian
pesan (Wilcox, Ault, Agee, 1995: 270).

c) Evaluasi Berdasarkan Pengingatan pesan (Message Recall)


Digunakan untuk mengukur seberapa besar khalayak memerhatikan
program komunikasi yang diikutinya. Kebanyakan program berusaha
mengkomunikasikan informasi untuk menaikkan pengetahuan, kesadaran, dan
pemahaman di kalangan khalayak sasaran. Peningkatan pengetahuan
seringkali penting untuk meningkatkan minat atau motivasi, yang berujung
pada tindakan. Kunci untuk mengevaluasi apa yang dipelajari seseorang
dalam suatu program adalah dengan mengetahui seberapa besar pengetahuan,
kesadaran, dan pemahaman mereka setelah program berlangsung (Patton,
2009: 49). Untuk mengukur seberapa pemahaman narasumber terhadap
program pendidikan pemilih pemilu 2009, Peneliti menggunakan beberapa
pertanyaan seperti: Apa yang mereka ketahui tentang pemilu dan seberapa
penting pemilu bagi warga negara Indonesia? Adakah perbedaan sistem
pemilu 2009 dengan pemilu sebelumnya tahun 2004, lebih mudah atau
sulitkah? Bagaimana cara mencontreng yang benar dan sah? Apakah mereka
mengetahui pendidikan pemilih? Kemudian setelah mengikuti sosialisasi, hal
apa saja yang mereka pahami dari pesan kegiatan pendidikan pemilih
tersebut?.
Sebuah penelitian dasar diambil dari Laporan Readership iklan. Studi
ini menunjukkan tiga tingkat pembaca. Setelah itu, pemahaman mereka
terhadap pesan dikelompokkan dalam beberapa tingkatan, yaitu “read most
readers”, khalayak yang paling memahami isi pesan dari program, dan sudah

134
menentukan sikapnya. Sedangkan “assosiated readers” merupakan khalayak
yang memahami pesan, akan tetapi hanya bisa menentukan pendapat, namun
belum bisa bersikap. Sedangkan “noted readers”, merupakan khalayak yang
hanya memahami isi pesan, dan belum berpendapat (Smith, 2005: 250).
Dari berbagai wawancara yang ada, dapat digolongkan bahwa pemilih
pemula cenderung termasuk golongan noted readers, yaitu khalayak yang
hanya memahami isi pesan, dan belum bisa berpendapat. Mereka hanya dapat
menjawab berbagai pertanyaan ringan dengan benar seperti definisi pemilu,
dan seberapa penting pemilu bagi mereka, namun belum bisa menjawab
pertanyaan lebih lanjut mengenai pendidikan pemilih dan sistem pemilu.
Mereka beralasan, keterbatasan yang mereka miliki tersebut karena mereka
belum pernah berpartisipasi dalam pemilu sebelumnya.
Sedangkan narasumber lain dari kalangan PKK, pegawai, guru, maupun
petani, mayoritas dari mereka dapat digolongkan sebagai read most readers,
yaitu khalayak yang paling memahami isi pesan dari program, dan sudah
menentukan sikapnya. Hal ini terbukti dari kecakapan mereka dalam
menjawab berbagai pertanyaan seputar isu-isu pemilu yang digulirkan oleh
peneliti, dan bahkan banyak diantara mereka yang mengembangkan
jawabannya dengan merambah isu-isu lain yang masuk ke dalam ranah
politik. Hal ini mungkin disebabkan karena narasumber tersebut sudah pernah
beberapa kali berpartisipasi dalam pemilu, dan banyak dari mereka yang aktif
menanggapi berbagai isu politik seputar pemilu legislatif 2009, baik melalui
media massa maupun percakapan dengan masyarakat sekitarnya.
Mayoritas dari narasumber menjawab bahwa yang mereka ingat dari
pesan kegiatan pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang mereka ikuti
adalah cara mencontreng yang benar dan sah. Padahal, bukan hanya hal itu
saja yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora. Pada contoh lembar
presentasi sosialisasi yang mereka miliki, KPU Kabupaten Blora berusaha
menyematkan berbagai pesan selain cara mencontreng yang benar dan sah,

135
diantaranya berbagai regulasi mengenai pemilu, larangan berkampanye, dan
sistem-sistem pemilu yang berlaku pada pemilu legislatif 2009, termasuk
ajakan untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (Uses and Gratification
Theory) adalah salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian
dilakukan pada pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media. Pemirsa
dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab
dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi
kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana
memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan
kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi
kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan
pendekatan dengan fokus “mengapa sekelompok orang memilih untuk
menggunakan media tertentu dibandingkan kandungan isi yang ditawarkan”.
Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan
„apa yang media lakukan pada pemirsanya‟ (yang menitik beratkan kepada
kehomogenan pemirsa dalam komunikasi masa dan melihat media sebagai
jarum hipodermik). Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat
sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh peneliti media yang membuka
ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam
(McQuail, 1987).
Uses and gratification theory menjelaskan bahwa audiens dalam
pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU Kabupaten Blora, mempunyai
peranan untuk memilah-milah informasi/pesan berdasarkan kebutuhan
mereka, atau pesan yang lebih membuat mereka menarik. Maka dari itu,
pesan-pesan tersebut mudah diingat mereka, dan memberikan dampak yang
lebih dalam bagi mereka.

136
Peneliti menggunakan teori psikologi sosial untuk menelaah
kemampuan narasumber penerima pesan pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 dalam mengingat dan menafsirkan pesan. Teori psikologi sosial
mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang mempengaruhi kebiasaan kita
dalam berinteraksi. Dua tema besar yang dimunculkan dalam tradisi ini pada
literatur. Literatur yang pertama berfokus pada kondisi di mana suatu individu
mengatur ketidaktahuan atau ketidakpastiannya pada orang lain yang terdiri
atas bagaimana ia mendapatkan informasi tentang orang lain, bagaimana
ketidakpastian dan kecemasan berhubungan antara satu dengan yang lain, dan
bagaimana ketidakpastian mengurangi proses hal-hal yang berhubungan
dengan kebudayaan. Tema yang kedua adalah kelaziman pada psikologi sosial
bekerja pada pembahasan yang melibatkan pengorganisasian, koordinasi dan
hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan dalam berinteraksi.
Charles berger dan William Gudykunst menjelaskan bahwa pada bagian
ini merupakan garis penyambung individu dalam hal mendapatkan informasi
tentang orang lain, kenapa individu melakukan hal tersebut, dan hasil apa
yang akan kita dapatkan ketika melakukan hal tersebut. Dengan kata lain pada
teori ini berfokus pada cara manusia untuk memonitoring lingkungannya dan
untuk mengetahui lebih jauh tentang dirinya dan orang lain melalui interaksi.
Teori berger ini disebut sebagai Uncertainty Reduction Theory (URT) (teori
untuk mengurangi ketidak pastian) dan yang kedua dirumuskan oleh
Gudykunst kawan kerja Berger yaitu Anxiety Uncertainty management
(AUM) (teori manajemen kecemasan dan ketidak-pastian). URT teori ini lebih
banyak membahas tentang proses dasar mengenai bagaimana individu
menambah pengetahuan tentang orang lain ketika mereka bertemu dengan
orang asing, kita mungkin memiliki keinginan yang kuat untuk mengurangi
ketidaktahuan kita tentang orang tersebut, seperti pada situasi di mana kita
cenderung tidak tahu tentang kemampuan yang dimiliki orang lain dalam
mengkomunikasikan target-targetnya , rencananya, bagaimana dia merasakan

137
saat-saat itu, dan apa yang digemarinya. Berger memberi Tips tentang
bagaimana cara mendapatkan informasi dari orang lain. Dengan beberapa
strategi di antaranya yaitu: Passive Strategies (Strategi Pasif) adalah
pengamatan di area mana suatu kebutuhan dari pengamat untuk melakukan
sesuatu dalam rangka mendapatkan informasi. Interactive strategy
menisbahkan secara langsung proses komunikasi kepada orang lain. Passive
strategy yang pertama mengenal adanya reactivity searching di sini individu
telah melakukan pengamatan dan benar-benar melakukan sesuatu reaksi pada
suatu situasi yang sama. Kemudian ada yang dikenal sebagai Disinhibition
Searching ini adalah passive strategy yang lain di mana orang melakukan
pengamatan pada situasi informal di mana mereka kurang dapat melakukan
self monitoring dan bersikap alami atau tidak dibuat-buat. Sedangkan
interaktif strategi itu sendiri adalah hal yang memuat pemeriksaan dan
pembukaan diri. Yang penting dari strategi ini adalah bagi seseorang adalah
bisa menambahkan informasi karena jika seseorang membuka sesuatu dari
dirinya maka orang lain juga akan membuka dirinya juga (Littlejohn, 1996).
Teori di atas, merepresentasikan gambaran audiens pada pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 dalam mengolah informasi mereka yang penuh
ketidakpastian. Masing-masing individu mempersepsi pesan secara berbeda,
sesuai dengan kepentingan mereka, frame of reference dan field of experience
mereka. Maka hasil yang diharapkan oleh KPU Kabupaten Blora kepada
audiens untuk memahami program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009,
memiliki penafsiran yang berbeda-beda pula.

3. Evaluations of Actions Objectives melalui Audience Partisipations


Evaluasi ini digunakan untuk mengukur jumlah kehadiran khalayak
sasaran yang ditentukan dari jumlah peserta yang hadir pada setiap program
komunikasi, dan jumlah pemilih yang ikut berpartisipasi dalam pemilu
legislatif 2009. Hasil digunakan untuk mengukur apakah kelompok sasaran

138
benar-benar menerima pesan yang ditujukan pada mereka, memberi perhatian
kepada mereka, memahami pesan, dan menyimpan pesan dalam bentuk
apapun. Hasil juga mengukur apakah bahan-bahan komunikasi dan
penyebaran pesan telah mengakibatkan pendapat, sikap dan/atau perubahan
perilaku pada bagian dari target audiens kepada siapa pesan itu ditujukan. Jadi
teori ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang mengubah
sikapnya setelah mengikuti kegiatan program pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009. (Smith, 2005: 252).
Menurut Kelman (dalam Brigham, 1991), secara umum ada tiga
proses global membentuk atau mengubah sikap melalui komunikasi persuasif:
a. Compliance terjadi ketika orang menerima pengaruh (dari orang lain
atau suatu kelompok) karena mengaharapkan suatu reaksi yang positif
atau menguntungkan dari seseorang atau kelompok yang berkuasa atau
memiliki pengaruh. Tindakan itu akan diperlihatkan hanya ketika
diawasi oleh orang yang berkuasa (powerful agent). Orang yang
merubah perilaku mereka, tetapi tidak sampai pada sikap pribadinya.
b. Identifikasi terjadi ketika seseorang menerima pengaruh untuk
mempertahankan suatu hubungan yang memuaskan definisi diri dengan
orang lain atau kelompok. Disini orang benar-benar percaya dengan
sikap yang baru itu, tapi isinya mungkin sedikit relevan atau lebih tidak
relevan, mungkin akan ada tambahan suatu cara mengidentifikasi diri
dengan seseorang atau kelompok yang diinginkan.
c. Internalisasi terjadi ketika seseorang menerima pengaruh karena prilaku
yang dibujuk secara intrinsik mendapat ganjaran (misal merasa benar)
dan sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Disini seseorang akan
mendukung agen yang melakukan persuasif tanpa perlu adanya
pengawasan. Pada umumnya terjadinya proses perubahan sikap sampai
internalisasi menjadi tujuan yang diharapkan dari sumber atau perilaku
persuasif.

139
Sementara Carl Hovland, dkk. (dalam Brigham, 1991)
menggambarkan perubahan sikap dengan memfokuskan kepada langkah-
langkah yang dilalui orang ketika mereka dipersuasi: pertama, perhatian
(attention) yaitu merujuk pada derajat dimana seseorang menyadari
(memperhatikan) pesan. Suatu perubahan sikap tidak akan efektif jika audiens
tidak menaruh perhatian kepada pesan yang disampaikan sumber komunikasi
(komunikator). Jika audiens sudah memperhatikan pesan, maka menuju pada
langkah berikutnya yaitu mereka mengerti dan memahaminya (comprehend).
Kemudian langkah berikutnya adalah penerimaan atau (acceptance) terhadap
pesan. Jika menerima pesan membimbing pada penerimaan sosial atau
persetujuan atau merasa bahwa nilai-nilai seseorang secara jelas
diekspresikan, atau akan membantu seseorang dalam memperhatikan diri
(ego-defense) maka penerimaan pesan lebih mungkin terjadi. Faktor keempat
adalah penyimpanan (retention) yaitu mengingat dan bertindak sesuai dengan
pesan jika pesan yang merubah sikap segera dilupakan sesudah dipersepsi,
maka menghasilkan perubahan sikap atau perilaku sedikitnya permanensinya.
Berdasar alasan itulah, mengapa advertisers dan para politikus (komunikator)
melakukan cara mengulang-ulang atau menggunakan ungkapan atau susunan
kata-kata dalam cara yang membuat tidak mudah untuk dilupakan atau
bertahan lama dalam ingatan audiens.

Sendjaja (2002: 9-11) mengemukakan mengenai teori komunikasi


interpretasi yang berusaha untuk menjelaskan makna dari tindakan. Karena
suatu tindakan tidak dapat memiliki banyak arti, maka makna tidak dapat
diungkap begitu saja. Interpretasi secara harafiah merupakan proses aktif dan
inversi. Kemajuan komunikasi dan visualisasi media informasi menyebabkan
penggunaan simbol-simbol sosial dan budaya modern tidak bisa dihindari.
Bahasa komunikasi berkembang dengan sangat pesat dan modern, begitu pula

140
orang berkomunikasi ikut berubah. Dari konteks inilah teori komunikasi
interpretasi berkembang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang telah
mengikuti pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh
KPU Kabupaten Blora, ditemukan bahwa walaupun sudah mengikuti kegiatan
tersebut, beberapa narasumber tidak berpartisipasi dalam pemilu legislatif
2009 karena mereka berpendapat bahwa calon legislatif dalam pemilu tersebut
tidak dapat mewakili aspirasi mereka. Namun, banyak juga dari narasumber
yang berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009 ini, dan sudah bisa memilih
dengan bijak sesuai dengan keinginan hati mereka. Pemilih pemula mengaku
juga berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009 tersebut, akan tetapi mereka
belum bisa menentukan pilihan mereka dengan bijak, karena mereka hanya
ikut-ikutan saja berpartisipasi. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa
program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU
Kabupaten Blora, belum dapat mempengaruhi pemikiran audiensnya, untuk
berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009 dan menjadi pemilih yang bijak.
Terkait dengan evaluasi jumlah kehadiran peserta pada saat kegiatan
berlangsung, pada bagian sebelumnya, peneliti telah menjelaskan bahwa KPU
Kabupaten Blora selaku penyelenggara pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009, tidak mencantumkan daftar hadir peserta setiap acara sosialisasi
berlangsung. Namun berdasarkan hasil wawancara, pihak KPU mengatakan
bahwa sekitar 80% peserta hadir di setiap sosialisasi yang mereka
selenggarakan.
Kasali dalam bukunya „Manajemen Public Relations, Konsep dan
Aplikasinya di Indonesia‟ (1994), menjelaskan bahwa untuk mengukur
tercapainya target dan hasil dalam suatu program, dibutuhkan adanya data
berupa dokumentasi dan berbagai catatan lapangan. Karena sumber tersebut
merupakan data yang konkrit dan signifikan yang akan menjelaskan seberapa
besar keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan target program yang

141
ingin mereka capai. Jadi, KPU Kabupaten Blora hendaknya memperhatikan
untuk menggunakan catatan lapangan pada program pendidikan pemilih
pemilu selanjutnya, sebagai salah satu indikator untuk menilai efektivitas
keberhasilan program tersebut.
Keberhasilan program pendidikan pemilih pemilu 2009 ini dapat
dilihat dari berapa banyak partisipasi masyarakat yang ikut dalam pemilu
legislatif 2009, dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Berikut merupakan
tabel dan grafik mengenai partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif di
Kabupaten Blora yang peneliti dapat dari data KPU Kabupaten Blora.

Tabel 4
Perbandingan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2004
dengan Pemilu Legislatif 2009
Hal Pileg 2004 Pileg 2009 Keterangan
Meningkat ±20%
Jumlah DPT 598.251 pemilih 697.350 Pemilih dari tahun
sebelumnya

Jumlah yang 493.022 Pemilih 518.997 Pemilih


Menurun 7% dari
menggunakan hak (±82% menggunakan (±75% menggunakan
pemilu sebelumnya
pilihnya hak pilihnya) hak pilih)

105.229 Pemilih 178.353 Pemilih


Jumlah yang tidak
(±18% tidak (±25% tidak Meningkat 7% dari
menggunakan hak
menggunakan hak menggunakan hak pemilu sebelumnya
pilihnya
pilihnya) pilih)
Jumlah suara tidak 118.286 Pemilih 122.614 Pemilih Sama dengan tahun
sah (±23%) (±23%) sebelumnya
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2204 dan 2009 KPU Kabupaten Blora

142
Grafik 1
Perbandingan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2004
dengan Pemilu Legislatif 2009

6
Jumlah DPT
5

4 Jumlah yang tdk


menggunakan hak pilih
3
Jumlah Suara Tdk Sah
2

0
Pileg 2004 Pileg 2009

Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 KPU Kabupaten Blora

Menurut data di atas, jelas terlihat bahwa jumlah partisipasi


masyarakat menurun secara signifikan dalam pemilu legislatif 2009 kemarin,
dengan jumlah suara tidak sah hampir sama dengan pemilu sebelumnya.
Padahal pemilu legislatif 2009 kemarin mengalami jumlah peningkatan DPT
sebanyak 20%, kesempatan ini seharusnya digunakan oleh KPU Kabupaten
Blora untuk lebih memacu kinerja mereka dalam program pendidikan pemilih
pemilu 2009 kemarin. Sehingga target awal dari program pendidikan pemilih
pemilu 2009 KPU Kabupaten Blora yaitu kesadaran masyarakat Blora untuk
berpartisipasi menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009, dapat
dikatakan belum berhasil.

143
C. Implikasi Penelitian
1. Implikasi Teoritis
Implikasi teoritis merupakan implikasi yang berhubungan dengan
konstribusi penelitian bagi teori-teori yang ada. Penelitian ini menguatkan
teori pengolahan informasi yang dikemukakan oleh Charles Berger dan
William Gudykunst, mengenai Uncertainty Reduction Theory (URT) (teori
untuk mengurangi ketidak pastian) dan yang kedua dirumuskan oleh
Gudykunst kawan kerja Berger yaitu Anxiety Uncertainty management
(AUM) (teori manajemen kecemasan dan ketidak-pastian) (Littlejohn, 1996).
Teori tersebut direpresentasikan melalui gambaran audiens pada pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 dalam mengolah informasi mereka yang penuh
ketidakpastian. Masing-masing individu mempersepsi pesan secara berbeda,
sesuai dengan kepentingan mereka, frame of reference dan field of experience
mereka. Maka hasil yang diharapkan oleh KPU Kabupaten Blora kepada
audiens untuk memahami program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009,
memiliki penafsiran yang berbeda-beda pula.

2. Implikasi Terhadap Kajian Public Relations


Menurut kajian public relations, penelitian ini memberikan banyak
penjelasan mengenai peran public relations pemerintah yang berfungsi
sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dengan publiknya. Secara
mendasar, hubungan pemerintah dengan publiknya merupakan hubungan
pertanggung-jawaban, dalam hal ini KPU Kabupaten Blora sebagai wakil
pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu legislatif 2009 di Kabupaten
Blora, yang bertanggungjawab untuk mengadakan program mendidik para
calon pemilih, agar nantinya bisa ikut berpartisipasi dalam pemilu dan
melakukan pemilihan umum dengan bijak.

144
Selain itu, penelitian ini juga menguatkan pentingnya suatu rencana
program/konsep perencanaan komunikasi yang merepresentasikan mengenai
apa saja yang harus dilakukan oleh organisasi dalam suatu program untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan (Cutlip, dkk, 2006: 364).

3. Implikasi Praktis
Implikasi praktis berhubungan dengan konstribusi temuan penelitian
terhadap penguatan pelaksanaan program pendidikan pemilih pada Kabupaten
Blora dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Penelitian ini memberi saran dan
pertimbangan kepada KPU Kabupaten Blora untuk membenahi kekurangan
ataupun kendala mereka dalam program pendidikan pemilih yang akan
mereka laksanakan selanjutnya, supaya lebih baik lagi dan dapat mencapai
hasil yang maksimal.

145
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berikut merupakan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian
„Program Komunikasi Pendidikan Pemilih KPU Kabupaten Blora pada Pemilu
Legislatif 2009”:
1. Program Komunikasi Pendidikan Pemilih Legislatif 2009 KPU Kabupaten
Blora
a. Pada dasarnya program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif
2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora bersifat persuasif, yaitu
membujuk khalayak sasaran untuk ikut berpartisipasi dalam memeriahkan
pesta demokrasi Indonesia. Selain itu, program tersebut juga bersifat
edukatif, yaitu KPU Kabupaten Blora berupaya untuk mengubah perilaku,
sikap bertindak, tanggapan, atau persepsi, hingga membentuk opini positif
khalayak sasaran mengenai pemilu legislatif 2009.
b. Program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di
Kabupaten Blora dijalankan melalui tiga bentuk program, yaitu
komunikasi secara langsung (tatap muka), media relations, serta
mobilisasi komunikasi melalui pawai serta kampanye.
c. Program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 tersebut tidak dibuat
berdasarkan perencanaan komunikasi. Hal ini terbukti karena program
komunikasi tersebut tidak memenuhi kriteria seperti tujuan dan target
program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang sudah
dikemukakan oleh KPU Kabupaten Blora belum memenuhi syarat sebagai
objective dan outcome yang baik karena tidak memenuhi kriteria, juga
tidak adanya kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora
untuk mengukur keberhasilan program tersebut.

146
2. Evaluasi Dampak Pesan Program Pendidikan Pemilih KPU Kabupaten Blora
a. Dari segi jumlah media taktik serta distribusinya (output evaluations),
KPU Kabupaten Blora kurang memaksimalkan fungsi media pembantu
seperti brosur, flyer, atau pamflet sehingga masih banyak masyarakat yang
kurang mendapatkan media pembantu tersebut. Padahal, fungsi media
pembantu tersebut sangat penting karena sebagai sumber informasi
sekunder pemilu legislatif 2009.
b. Berdasarkan evaluations of awareness objectives diperoleh beberapa
kesimpulan di antaranya:
i. Berdasarkan message exposure/ketertarikan audiens terhadap program,
mayoritas dari narasumber mengatakan program ini cukup menarik dan
bermanfaat bagi mereka, dan mereka bersepakat untuk mengikuti
kembali program pendidikan pemilih pada pemilu mendatang apabila
diberi kesempatan.
ii. Berdasarkan isi pesan (message content), para narasumber penerima
pesan lebih banyak mengkritisi tentang cara penyampaian pesan
program tersebut. Banyak dari mereka merasa program tersebut
cenderung monoton sehingga mereka merasa bosan dan menyarankan
untuk menambahkan berbagai dialog interaktif serta berbagai ilustrasi
lainnya seperti games, kuis, dan lain sebagainya agar para narasumber
merasa tertarik dan tidak cepat melupakan isi sesungguhnya dari pesan
program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang mereka ikuti.
iii. Dari segi pengingatan pesan (Message Recall), program ini dapat
menambah dan meningkatkan ilmu, wawasan, serta manfaat mengenai
pengetahuan pemilihan umum pada individu-individu yang telah
mengikuti program tersebut, khususnya bagi para pemilih pemula.

147
c. Berdasarkan evaluations of actions objectives melalui audiences
participations, secara persuasif program pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009 tidak membawa pengaruh/dampak yang besar bagi
masyarakat Blora terhadap kesadaran mereka untuk berpartisipasi dalam
pemilihan umum legislatif 2009. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah
partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif 2009 dibandingkan dengan
pemilu sebelumnya tahun 2004 yaitu menurun sebanyak 7%, juga sikap
beberapa narasumber penelitian yang telah menerima pesan pendidikan
pemilih pemilu legislatif 2009 yang tetap tidak mengikuti pemilu legislatif
2009, walaupun telah berpartisipasi dalam pendidikan pemilih pemilu
legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora.
d. Kurang berhasilnya program komunikasi pendidikan pemilih KPU Blora
tersebut dalam membujuk sikap masyarakat untuk ikut serta menggunakan
hak pilihnya secara baik dan benar pada pemilu legislatif 2009 disebabkan
oleh faktor diantaranya: Pengemasan program yang terlalu membosankan
dan monoton sehingga cepat dilupakan oleh audiensnya; Kesalahan dalam
melakukan distribusi media pembantu; Serta sikap apatis masyarakat
terhadap para calon legislatif pemilu.

B. Saran
1. Saran Terhadap KPU Kabupaten Blora
Dalam penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran yang sekiranya
bermanfaat bagi KPU Kabupaten Blora, khususnya Divisi Sosialisasi dan
Kajian Pemilu, yang khusus bertugas untuk mengadakan program pendidikan
pemilih bagi para calon pemilih pada pemilu selanjutnya, diantaranya:
a. KPU Kabupaten Blora perlu meningkatkan kapabilitas dan
kreativitasnya dalam membuat program pendidikan pemilih kepada
publik agar terlihat menarik, gampang diingat, dan tidak membosankan.

148
b. Hendaknya KPU Kabupaten Blora membuat semacam perencanaan
komunikasi yang ada, agar diharapkan program pendidikan pemilih
lebih tertata dengan baik sehingga hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan.
c. KPU Kabupaten Blora diharapkan selalu mengadakan evaluasi terhadap
kinerja program yang telah dilaksanakan, untuk mengukur seberapa
besar keberhasilan program tersebut.
d. Selalu mendokumentasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan program seperti foto dan daftar presensi kehadiran, untuk
dapat digunakan sebagai bahan pengukur evaluasi keberhasilan program.
e. Lebih banyak melakukan publikasi melalui pariwara dan dialog
interaktif kepada masyarakat, daripada beriklan di media massa. Karena
efek publikasi seperti ini dipercaya dapat lebih „mengena‟ di
masyarakat. Selain itu KPU Kabupaten Blora diharapkan lebih
memperbanyak jumlah media pembantu seperti flyer, brosur, dan
pamflet, sebagai sumber informasi pemilu sekunder.

2. Saran Terhadap Masyarakat


Peneliti ingin memberikan saran terhadap masyarakat umum yang
belum maupun akan mengikuti program pendidikan pemilih, agar kegiatan
yang diikutinya tersebut dapat bermanfaat baginya kelak. Antara lain:
a. Bersikap aktif terhadap isu-isu seputar pemilihan umum dan politik
lainnya, karena sebagai warga negara Indonesia dituntut untuk turut aktif
terhadap segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan.
b. Apabila akan mengikuti sosialisasi pemilu, audiens diharapkan lebih
memperhatikan program pendidikan pemilih tersebut sewaktu acara
berlangsung dan tidak melakukan keributan demi suksesnya acara.

149
c. Audiens dalam sosialisasi pemilu diharapkan selalu aktif bertanya
mengenai masalah seputar pemilu yang tidak diketahuinya dengan
komunikator.
d. Berusahalah menjadi pemilih yang bijak, independen, dan jujur, serta
tidak terpengaruh dengan money politic.

C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti memiliki banyak keterbatasan yang menjadi kendala terhadap
kurang maksimalnya hasil penelitian. Karena penelitian ini dilaksanakan sesudah
program berlangsung, peneliti kurang mendapatkan data yang valid melalui
proses observasi untuk lebih menguatkan hasil penelitian. Selain itu, narasumber
penelitian penyampai maupun penerima pesan program pendidikan pemilih
pemilu legislatif 2009, sudah mulai lupa terhadap program yang mereka ikuti
karena kendala waktu yang sudah berlangsung lama, yaitu hampir 6 bulan setelah
program berlangsung. Untuk itu, diharapkan kepada peneliti selanjutnya yang
akan meneliti mengenai program pendidikan pemilih, untuk melakukan penelitian
ini pada saat program masih berlangsung agar mendapatkan hasil yang maksimal.

150
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Almond, Gabriel., And G. Bingham Powell. 1976. Comparative Politics: A
Developmental Approach. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Company.
Amirudin, Ibramsyah. 2008. Kedudukan KPU dalam Struktur Kenegaraan Republik
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Yogyakarta: Laksbang Mediatama.
Brigham, J.C. 1991. Social Psycology. New York: Harpet Collins Publishers.
Broom, G.M. & Dozier, D. M. 1990. Using Research in Public Relations:
Application to Program Management. New Jersey: Prentice Hall.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Cutlip, Scott.M,ET AL. 2006. Effective Public Relations. Jakarta: Kencana.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
_______________, 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Ekowati, Mas Roro Lilik, Dr. MS. 2009. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi
Kebijakan Atau Program, Suatu Kajian Teoritis dan Praktis. Surakarta:
Pustaka Cakra.
Ferrell, O.C. and Hartline, Michael. 2005. Marketing Strategy. Thomson South-
Western.
Fleet, Dave. 2007. Strategic Communications Planning. San Fransisco: Creative
Commons Attribution.
Gozali, Dodi M. 2005. Communication Measurement, Konsep dan Aplikasi
Pengukuran Kinerja Public Relations. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Hardjana, Andre. 2000. Audit Komunikasi: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo.

151
Hudaniah, Tri Dayakisni. 2003. Psikologi Sosial, Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Hunt, T. & Grunig, J.E. (1994). Public Relations Techniques. Fort Worth: Harcourt
Brace Colleges Publishers.
Idrus, Muhammad. 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif
& Kuantitatif). Yogyakarta: UII Press.
Iriantara, Yosal. Dr. 2005. Media Relations Konsep, Pendekatan, dan Praktik.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Jalaludin, Rakhmat. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Kotler, Philip, Swee Hoon Ang, Siew Meng Leong, and Ching Tiong Tan. 1996.
Marketing Management, an Asian Perspctives, 2𝑛𝑑 Edition. New Jersey:
Prentice Hall.
KPU Kabupaten Blora. 2009. Laporan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR,
DPD, DPRD dan Pemilhan Presiden dan Wapres Tahun 2009 di Kabupaten
Blora. Blora.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Littlejohn, S.W. 1996. Theories of human communication 5th ed. Belmont, Ca:
Wadsworth Publishing Company.
McCombs, Maxwell E. and Donald L. Shaw. 1993. The Evolution of Agenda-Setting
Research: Twenty Five Years in The Marketplace of Ideas. Jurnal of
Communication 43, No.2.
McQuail, Denis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction (2nd edn).
London: Sage
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja
Rosdakarya.

152
Muhtadi, Ase Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia, Dinamika Islam Politik
Pasca-Orde Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy, M.A., Ph.D. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Pabottinggi, Mochtar. 1993. Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik,
Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta: Gramedia.
Patton, Michael Quinn. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pemda Blora. 2008. Profil Investasi Kabupaten Blora. Blora.
Prihatmoko, Joko J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen
Teknis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, I Gusti Ngurah. 1999. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya
Ruslan, Rosady, SH, MM. 2006. Manajemen Public Relations dan Media
Komunikasi, Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
_____________. 2007. Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Sears, D.O., Freedman, J.l., & Peplau, L.A. 1999. Psikologi Sosial Jilid I.
Jakarta:Erlanga.
Sendjaja, Sasa Duarsa. 2002. Teori Komunikasi. Jakarta:UT.
Sirozi, M. P.Hd. 2007. Politik Pendidikan, Dinamika Antara Kepentingan Kekuasaan
dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Smith, D. Ronald. 2005. Strategic Planning For Public Relations, Second Edition.
London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Supratiknya, Dr. A. 1993. Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat dan
Behavioristik. Yogyakarta: Kanisius.

153
Rogers, Everett M. and Floyd Shoemaker. 1983. Communication of Innovations,
Second Edition. London: The Free Press Collier Macmillan Publisher.
Wilcox, D.L., Ault, P. H. & Agee, W. K. 1995. Public Relations: Strategies and
Tactics. Edisi Keempat. New York: Harper Collin College Publishers.

Internet:
Gani, Ahmad Abdul. Pemilu 2009, Pemilih Menyontreng.
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10327.html.
(Akses 12 Januari 2009)
KPU. Tugas dan Kewenangan.
http://www.pemilu.kpu.go.id/index/php/option/com/content&taskview32
itemid62.html, (Akses 08 November 2009)
SKB Blora,
http://www.skbblora.com/index.php?option=com_content&task=view&id=&
Itemid=45, (Akses 20 November 2009).

Skripsi:
Prasetyo, Aris Eko. Hubungan Sosialisasi Mekanisme Pemilu Legislatif 2004 Melalui
VCD Terhadap Tingkat Pemahaman Masyarakat Kel. Dlingo, Kec. Dlingo,
Kab. Bantul, Yogyakarta. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, 2004.
Rahmawati, Ika. Evaluasi Kantor Informasi dan Kehumasan Pemda Klaten Dalam
Rangka Sosialisasi Pilkades. Studi Deskriptif Sosialisasi dan Implementasi
Kebijakan Baru Pilkades yang Dilaksanakan Secara Serentak Pertama di
Kabupaten Klaten. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, 2008.

154

You might also like