You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trigeminal neuralgia merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah pada satu sisi
yang berulang. Disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu
atau lebih saraf dari tiga cabang saraf trigeminal. Saraf yang cukup besar ini terletak di
otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya
fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf
trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.
Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai
satu menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk.
Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri saat terkena setrum
listrik.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2 pada wanita
per satu juta populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan
dengan sisi kiri (rasio 3:2), dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa (dekade
enam sampai tujuh). Hanya 10 % kasus yang terjadi sebelum usia empat puluh tahun.
Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada mereka yang
berusia di atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-anak.
Trigeminal neuralgia merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat
mengganggu kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya pemberian obat untuk
mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal
nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak
mengetahui dan menyalahartikan Trigeminal neuralgia sebagai nyeri yang ditimbulkan
karena kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah tuntas.

1
1.2 Tujuan

Karya tulis ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik di bagian
NEUROLOGI FK USU dan agar pembaca dapat lebih memahami Trigeminal neuralgia
serta penatalaksanaannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2. 1 Anatomi

Nervus trigeminus merupakan nervus kranialis yang terbesar dan melayani arkus
branchialis pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan aferen
somatik umum (yang terdiri atas komponen ekteroseptif dan komponen proprioseptif),
dengan nuclei sebagai berikut:

a. Nucleus motorius nervi trigemini


Dari nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke arah
ventrolateral menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris medius (fibrae
pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m. Masticatores melalui rami
motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m. Mylohyoideus.

b. Nucleus montius, nervi trigemini dan nucleus spinalis nervi trigemini


Kedua nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan
daerah calvaria bagian ventral sampai vertex. Di antara kedua nucleus di atas
terdapat perbedaan fungsional yang penting: di dalam nucleus pontius berakhir
serat-serat aferan N. V yang relatif kasar, yang mengantarkan impuls-impuls rasa
raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas sel-sel neuron kecil dan
menerima serat-serat N. V yang halus yang mengantarkan impuls-impuls
eksteroseptif nyeri dan suhu.

2. 2 Fisiologi

Fungsi nervus trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan raba
pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria), pemeriksaan refleks
kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot pengunyah. Fungsi otot pengunyah dapat
diperiksa, misalnya dengan menyuruh penderita menutup kedua rahangnya dengan rapat,
sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang atas, sementara m.

3
Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah. Pada kerusakan unilateral
neuron motor atas, mm. Masticatores tidak mengelami gangguan fungsi, oleh karena
nucleus motorius N. V menerima fibrae corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri.
Sebagai tambahan terhadap fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan mandibularis
penting pada kedokteran gigi. Nervus maxillaris memberikan inervasi sensorik ke gigi
maxillaris, palatum, dan gingiva. Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik ke
gigi mandibularis, lidah, dan gingiva. Variasi nervus yang memberikan persarafan ke gigi
diteruskan ke alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal nervus alveolaris superior
ke gigi maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus alveolaris
inferior ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus trigeminus.

2. 3 Definisi

Secara harfiah, Trigeminal neuralgia berarti nyeri pada nervus trigeminus, yang
menghantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Trigeminal neuralgia adalah suatu keadaan
yang memengaruhi Nervus V. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat,
seperti sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi rahang
atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat pula
terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat malam hari, atau pada saat
penderita berbaring.

2. 4 Gambaran Klinis

Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai


satu menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk.
Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri saat terkena setrum
listrik. Penderita Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti
ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya. Serangan ini hilang
timbul. Bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang
setiap hari atau sepanjang minggu. Lalu, tidak sakit lagi selama beberapa waktu.
Trigeminal neuralgia biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga menyebar

4
dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dalam waktu
bersamaan.

2. 5 Klasifikasi

Trigeminal neuralgia dapat dibedakan menjadi:

1. Trigeminal neuralgia tipikal,

2. Trigeminal neuralgia atipikal,

3. Trigeminal neuralgia karena Sklerosis Multipel,

4. Trigeminal neuralgia sekunder,

5. Trigeminal neuralgia paska trauma, dan

6. Failed Trigeminal neuralgia.

Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta
kelainan lain yang menyebabkan nyeri kranio-fasial.

2. 6 Etiologi

Mekanisme patofisiologi yang mendasari Trigeminal neuralgia belum begitu pasti,


walau sudah sangat banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang
mekanisme harus konsisten dengan:

1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.
2. Umumnya ada stimulus 'trigger' yang dibawa melalui aferen berdiameter besar
(bukan serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk
nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian dan/atau
akar-akar saraf sering menghilangkan nyeri.

5
4. Terjadinya Trigeminal neuralgia pada pasien yang mempunyai kelainan
demielinasi sentral (terjadi pada 1% pasien dengan Sklerosis Multipel).

Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding


saraf tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering
dapat dikontrol dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu
cetusan 'aberrant' dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input
melalui saraf kelima, berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima, atau pada tingkat
sinaps sentralnya. Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang mungkin pada
kelainan ini. Pada kebanyakan pasien yang dioperasi untuk Trigeminal neuralgia
ditemukan adanya kompresi atas ‘nerve root entry zone' saraf kelima pada batang otak oleh
pembuluh darah (45-95% pasien). Hal ini meningkat sesuai usia karena sekunder terhadap
elongasi arteria karena penuaan dan arteriosklerosis dan mungkin sebagai penyebab pada
kebanyakan pasien.
Otopsi menunjukkan banyak kasus dengan keadaan penekanan vaskuler serupa
tidak menunjukkan gejala saat hidupnya. Kompresi nonvaskuler saraf kelima terjadi pada
beberapa pasien. 1-8% pasien menunjukkan adanya tumor jinak sudut serebelopontin
(meningioma, sista epidermoid, neuroma akustik, AVM) dan kompresi oleh tulang (misal
sekunder terhadap penyakit Paget). Tidak seperti kebanyakan pasien dengan Trigeminal
neuralgia, pasien ini sering mempunyai gejala dan/atau tanda defisit saraf kranial.
Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera perifer saraf kelima (misalnya
karena tindakan dental) atau Sklerosis Multipel, dan beberapa tanpa patologi yang jelas.

2. 7 Patofisiologi

Trigeminal neuralgia dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem
persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi
etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami
pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini
dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor
benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau

6
neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena Sklerosis Multipel. Ada sebagian kasus
yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai
penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun
penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/inti saraf
ini yang menimbulkan produksi ektopik potensial aksi pada saraf trigeminal. Keadaan ini,
yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur
sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan
nyeri. Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri
trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus
mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara sentral
membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang bagaimana Multipel
Sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan adanya demyelinating plaques
pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus.
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes, dianggap bahwa
lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat terjadinya nyeri. Tentang
mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai waktu cukup lama dikatakan karena
setelah sembuh dan selama masa regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri
hingga kurun waktu yang berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan
tetapi, pada usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat
dan dalam dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.
Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan hemifacial spasm
dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve Hyperactivity". Menurut dia, semua saraf
yang digolongkan pada sindroma ini mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak
pada pons atau medulla oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri dan vena.

Pada genesis dari sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya
merupakan proses penuaan yang wajar:
7
1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.
2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser
atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin
besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan memperbesar kemungkinan
terjadinya penekanan pada saraf yang terkait.

Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab umum dari
sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang berdenyut, baik dari arteri
maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak kompresi berhubungan dengan gejala
klinis yang timbul. Misalnya, kompresi pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan
mengakibatkan neuralgia pada cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya.
Menurut Calvin, sekitar 90% dari Trigeminal neuralgia penyebabnya adalah adanya arteri
"salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut.
Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan bahwa
mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah dengan beberapa
faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya. Pembuluh darah yang
menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun hanya kecil, misalnya dengan diameter
50-100 um saja, sudah bisa menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun
vertigo. Bila dilakukan microvascular decompression secara benar, keluhan akan hilang.

2. 8 Diagnosis

Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan tes neurologis


(misalnya CT scan) tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri
dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada
distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa
kasus mulai pada divisi 1.
Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang
dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf trigeminal, misalnya bagian
rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang
(trigger area atau trigger zone).

8
Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut. Yang unik
dari trigger zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau tekanan pada kulit
atau rambut di daerah tersebut. Rangsang dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan
panas, walaupun menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat memancing terjadinya
serangan neuralgia. Pemeriksaan neurologik pada Trigeminal neuralgia hampir selalu
normal. Tidak terdapat gangguan sensorik pada Trigeminal neuralgia murni.
Dilaporkan adanya gangguan sensorik pada Trigeminal neuralgia yang menyertai
Multiple sklerosis. Sebaliknya, sekitar 1-2% pasien dengan MS juga menderita Trigeminal
neuralgia yang dalam hal ini bisa bilateral.
Suatu varian Trigeminal neuralgia yang dinamakan tic convulsive ditandai dengan
kontraksi sesisih dari otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu
dibedakan dengan gerak otot muka yang bisa menyertai neuralgia biasa, yang dinamakan
tic douloureux. Tic convulsive yang disertai nyeri hebat lebih sering dijumpai di daerah
sekitar mata dan lebih sering dijumpai pada wanita.
Secara sistematis, anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan sebagai berikut:
Anamnesis:
 Lokalisasi nyeri, untuk menentukan cabang nervus trigeminus yang terkena.
 Menentukan waktu dimulainya Trigeminal neuralgia dan mekanisme
pemicunya.
 Menentukan interval bebas nyeri.
 Menentukan lama, efek samping, dosis, dan respons terhadap pengobatan.
 Menanyakan riwayat penyakit herpes.

Pemeriksaan Fisik:
 Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral (termasuk
refleks kornea).
 Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka
mulut, deviasi dagu).
 Menilai EOM.
 Pemeriksaan penunjang diagnostik seperti CT-scan kepala atau MRI dilakukan
untuk mencari etiologi primer di daerah posterior atau sudut serebelo-pontin.
9
2. 9 Penatalaksanaan

Pengobatan pada dasarnya dibagi atas 3 bagian:

1. Penatalaksanaan pertama dengan menggunakan obat.

2. Pembedahan dipertimbangkan bila obat tidak berhasil secara memuaskan.

3. Penatalaksanaan dari segi kejiwaan.

Terapi Medis (obat)

Perlu diingatkan bahwa sebagian besar obat yang digunakan pada penyakit ini
mempunyai cukup banyak efek samping. Penyakit ini juga terutama menyerang mereka
yang sudah lanjut usia. Karena itu, pemilihan dan pemakaian obat harus memperhatikan
secara cermat kemungkinan timbulnya efek samping. Dasar penggunaan obat pada terapi
Trigeminal neuralgia dan neuralgia saraf lain adalah kemampuan obat untuk menghentikan
hantaran impulse afferent yang menimbulkan serangan nyeri.

1. Carbamazepine

Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan pertama adalah carbamazepine.
Bila efektif maka obat ini sudah mulai tampak hasilnya setelah 4 hingga 24 jam pemberian,
kadang-kadang bahkan secara cukup dramatis. Dosis awal adalah 3 x 100 hingga 200 mg.
Bila toleransi pasien terhadap obat ini baik, terapi dilanjutkan hingga beberapa minggu
atau bulan. Dosis hendaknya disesuaikan dengan respons pengurangan nyeri yang dapat
dirasakan oleh pasien. Dosis maksimal adalah 1200 mg/hari.
Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka dosis dan lama
pengobatan bisa disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan pemantauan
dari efek sampingnya negatif, maka obat ini sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6
bulan sebelum dicoba untuk dikurangi. Pemantauan laboratorium biasanya meliputi
pemeriksaan jumlah leukosit, faal hepar, dan reaksi alergi kulit.
Bila nyeri menetap maka sebaiknya diperiksa kadar obat dalam darah. Bila ternyata
kadar sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa dipertimbangkan untuk

10
menambahkan obat lain, misalnya baclofen. Dosis awal baclofen 10 mg/hari yang bertahap
bisa dinaikkan hingga 60 hingga 80 mg/hari. Obat ketiga boleh ditambahkan bila
kombinasi dua obat ini masih belum sepenuhnya mengendalikan nyerinya. Tersedia
phenytoin, sodium valproate, gabapentin, dan sebagainya. Semua obat ini juga dikenal
sebagai obat anti epileptik.

2. Gabapentin

Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji coba
sebagai obat yang dapat dipertimbangkan untuk nyeri neuropatik. Obat ini mulai dipakai di
Amerika pada 1994, sebagai obat anti epilepsi. Kemampuannya untuk mengurangi nyeri
neuropatik yang membandel dilaporkan secara insidentil mulai 1995 hingga 1997 oleh
Mellick, Rosner, dan Stacey.
Waldeman menganjurkan pemberian obat ini bila carbamazepin dan phenitoin
gagal mengendalikan nyerinya. Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak
terjadi efek samping yang mengganggu seperti pusing/dizzy, ngantuk, gatal, dan bingung,
obat dinaikkan dosisnya setiap 2 hari dengan 300 mg hingga nyeri hilang atau hingga
tercapai dosis 1800 mg/hari. Dosis maksimal yang diperbolehkan oleh pabrik obat ini
adalah 2400 mg/hari. Waldeman menganjurkan 1800 mg sebagai dosis tertinggi.
Rowbotham dkk. menemukan bahwa gabapentin dalam dosis mulai 900 hingga 3600 mg
sehari berhasil mengurangi nyeri, memperbaiki gangguan tidur, dan secara umum
memperbaiki quality of life dari para pasien mereka.
Untuk neuralgia yang menyertai pasien dengan Multipel Sklerosis ternyata
gabapentin dalam dosis antara 900 hingga 2400 mg/hari juga efektif pada 6 dari 7
pasiennya.
Cara kerja gabapentin dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas benar. Yang
pasti dapat dikemukakan adalah bahwa obat ini meningkatkan sintesis GABA dan
menghambat degradasi GABA. Karena itu, pemberian gabapentin akan meningkatkan
kadar GABA di dalam otak. Karena obat ini lipophilic maka penetrasinya ke otak baik.

Terapi Non-medis (Bedah)

11
Pilihan terapi non-medis (bedah) dipikirkan bilamana kombinasi lebih dari dua obat
belum membawa hasil seperti yang diharapkan. Dr. Stephen B. Tatter menyebutkan bahwa
pembedahan disiapkan untuk mereka yang tidak dapat mentoleransi efek samping dari
terapi medis atau ternyata terapi medis tidak efektif. Terdapat beraneka ragam cara
pembedahan, dari yang paling kuno, yang dapat menimbulkan kecacatan (biasanya
pendengaran dan gerak otot wajah) cukup besar, sampai cara yang lebih sophisticated,
yang hanya sedikit atau hampir tidak pernah dijumpai efek samping.
J. Keith Campbell menulis dalam artikelnya "Are All of the Treatment Options
Being Considered” bahwa penatalaksanaan medik sering gagal dalam menghilangkan nyeri
dalam periode yang panjang. Hal ini sering didapati pada pasien usia lanjut. Untuk pasien-
pasien muda, merujuk ke ahli bedah untuk dekompresi mikrovaskular perlu
dipertimbangkan segera sesudah diagnosis ditegakkan.
Dua cara operasi kuno, yaitu ablatio total dari saraf perifer dan reseksi bagian
sensorik dari saraf trigeminal, kini tidak dikerjakan lagi karena ada metode yang lebih baik.
Walaupun demikian, Waldeman masih menganjurkan Trigeminal nerve block dengan
menggunakan anestesi lokal + methylprednisolone. Yang dipakai adalah bupivacaine tanpa
pengawet yang diberi bersama dengan methylprednisolone. Suntikan dilakukan tiap hari
sampai obat oral yang dimulai pada saat sama, mulai efektif. Radiofrequency rhizotomy
(Meglio and Cioni, 1989).
Hingga kini masih populer karena relatif aman dan murah. Sayang, cara ini
mempunyai kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek samping lain yang kurang enak
adalah terjadinya anestesi kornea, rasa kesemutan, dan kelemahan rahang yang kadang-
kadang bisa mengganggu. Bahkan, ada pasien yang merasa menyesal karena rasa
kesemutan yang terus-menerus ini lebih tidak nyaman daripada nyeri yang masih ada masa
bebasnya.

Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol

Cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997). Konon,
hasilnya sangat baik dengan gangguan minimal pada kepekaan muka. Hipotesis yang
dikemukakan adalah bahwa gliserol adalah neurotoksik dan bekerja pada serabut saraf
12
yang sudah mengalami demielinisasi, menghilangkan compound action potential pada
serabut trigeminal yang terkait dengan rasa nyeri. Cara ini cepat dan pasien bisa cepat
dipulangkan. Kerugiannya adalah masih tetap bisa terjadi gangguan sensorik yang
mungkin mengganggu atau kumat lagi sakitnya.

Microvascular Decompression

Dasar dari prosedur ini adalah anggapan bahwa adanya penekanan vaskular
merupakan penyebab semua keluhan ini. Neuralgia adalah suatu compressive cranial
mononeuropathy. Para penganut cara pengobatan ini mengganggap bahwa penyembuhan
yang terjadi adalah yang paling sempurna dan permanen. Kerugian cara ini adalah bahwa
bagaimanapun juga ini suatu kraniotomi dan pasien perlu tinggal sekitar 4-10 hari di rumah
sakit, dilanjutkan dengan masa rekonvalesensi yang juga perlu 1-2 minggu. Pertimbangan
lain adalah bahwa walaupun jarang, mikrovaskular dekompression bisa menyebabkan
kematian atau penyulit lain seperti stroke, kelemahan nervus fasialis, dan tuli.
Di tangan ahli bedah yang berpengalaman, komplikasi ini tentunya sangat kecil.
Pada operasi yang berhasil, pengurangan atau bahkan hilangnya nyeri sudah dapat
dirasakan setelah 5-7 hari pasca bedah. Dr. Fred Barker dan timnya melaporkan dalam
suatu pertemuan ilmiah tentang pengalamannya dengan mikrovaskular dekompression
pada 1430 pasien yang dilakukan di Universitas Pittsburgh. Sebagian besar dari pasien
tersebut mendapatkan pengurangan nyeri secara lengkap atau bermakna. Dua tahun setelah
operasi, insidens kekambuhan 1% per tahunnya. Kekambuhan ini secara umum
dikarenakan adanya pembuluh darah baru yang muncul pada nervus trigeminus.

Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife

Merupakan perkembangan yang masih relatif baru. Gamma Knife merupakan alat
yang menggunakan stereotactic radiosurgery. Tekniknya dengan cara memfokuskan sinar
Gamma sehingga berlaku seperti prosedur bedah, namun tanpa membuka kranium. Gamma
Knife pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Lars Leksell dari Stockholm, Swedia pada 1950.
13
Cara ini hanya memerlukan anestesi lokal dan hasilnya konon cukup baik. Sekitar 80-90%
dari pasien dapat mengharapkan kesembuhan setelah 3-6 bulan setelah terapi.
Cara kerja terapi adalah lewat desentisisasi pada saraf trigeminal setelah radiasi
yang ditujukan pada saraf ini dengan bantuan komputer. Seorang ahli bedah saraf dari
Seattle Dr. Ronald Young mengatakan bahwa dengan Gamma Knife hasilnya sangat
memuaskan juga dengan komplikasi yang minimal.
Meglio dan Cioni melaporkan cara dekompresi baru dengan menggunakan suatu
balon kecil yang dimasukkan secara perkutan lewat foramen ovale. Balon diisi sekitar 1 ml
sehingga menekan ganglion selama 1 hingga 10 menit. Konon cara ini membawa hasil
pada sekitar 90% dari kasus. Belum ada laporan mengenai berapa banyak yang mengalami
residif.

Penatalaksanaan dari Segi Kejiwaan

Hal lain yang penting untuk diperhatikan selain pemberian obat dan pembedahan
adalah segi mental serta emosi pasien. Selain obat-obat anti depresan yang dapat
memberikan efek perubahan kimiawi otak dan mempengaruhi neurotransmitter baik pada
depresi maupun sensasi nyeri, juga dapat dilakukan teknik konsultasi biofeedback (melatih
otak untuk mengubah persepsinya akan rasa nyeri) dan teknik relaksasi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

14
Trigeminal neuralgia merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang
berulang, disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau
lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya
fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf
trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab. Pada kebanyakan kasus, tampaknya
yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang
mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat
keluarnya saraf ini dari batang otak.
Kunci diagnosis adalah riwayat. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi
nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai
pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya.
Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat
hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf
trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu
daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone). Trigger zones sering dijumpai di
sekitar cuping hidung atau sudut mulut.
Obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan
memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang. Bila ada efek
samping, obat lain bisa digunakan sesuai petunjuk dokter tentunya.
Beberapa obat yang biasa diresepkan antara lain Carbamazepine (Tegretol,
Carbatrol), Baclofen. Ada pula obat Phenytoin (Dilantin, Phenytek), atau Oxcarbazepine
(Trileptal). Dokter mungkin akan memberi Lamotrignine (Lamictal) atau Gabapentin
(Neurontin). Pasien Trigeminal neuralgia yang tidak cocok dengan obat-obatan bisa
memilih tindakan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Love S, Coakham HB. Trigeminal neuralgia Pathology and phatogenesis. Brain


2001;124:2347-2360

15
2. Joffroy A, Levivier M, Massager N. Trigeminal neuralgia Pathology and treatment. Acta
neurol 2001;101:20-25

3. Nurmikko TJ, Eldridge PR. Trigeminal neuralgia-pathophysiology, diagnosis and


current treatment. British Journal of Anaesthesia 2001;87(1):32-117

4. Kamel HAM, Toland J. Trigeminal Nerve Anatomy: Illustrated Using Examples of


Abnormalities. AJR 2001 Jan;176:247-251

5. Siddiqui MN, Siddiqui S, Ranasinghe JS, Furgang FA. Pain Management: Trigeminal
neuralgia. Clinical Review Article. Hospital Physician 2003 Jan;64-70

6. Bennetto L, Patel NK, Fuller G. Trigeminal neuralgia and its management. BMJ 2007
Jan 27;334:201-205

7. Kraftt RM. Trigeminal Neuralgia. American Family Physician 2008 May 1;77:1291-
1296

8. Scrivani SJ. Trigeminal Neuralgia. Paint Management 2004;1(3):1-6

9. Dedhia JD, Tordoff S, Sivakumar G. Trigeminal Neuralgia (TGN ) - Pathophysiology


and Management. Journal Anaesthesia Clinical Pharmacology 2009;25(1):3-8

16

You might also like