You are on page 1of 6

Macam-Macam Bid’ah di Bulan Ramadhan

Kategori Fiqh dan Muamalah, Ramadhan | 01-09-2008 | 205 Komentar

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah dan penuh dengan keutamaan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah
yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum
muslimin berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Mereka lupa
firman Allah ta’ala, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3).
Mereka ingin melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup dengan
apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
beliauridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Oleh sebab itu pada tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid’ah yang banyak
dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallammaupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya
kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut.
Bid’ah Berzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih
Berzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih dengan dikomandani oleh
satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu pula perkataan muazin, “assholaatu
yarhakumullah” dan yang semisal dengan perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat
tarawih, perbuatan ini juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula
oleh para sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu
hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah
dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru
yang tidak ada tuntunannya dari mereka.
Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur
Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal ini. Perbedaan tata-
cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan tidak disyariatkannya hal ini,
padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka tentunya mereka tidak akan berselisih.
Melafazkan Niat
Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi yang dilakukan oleh
banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara yang kita jumpai adalah imam masjid
shalat tarawih ketika selesai melaksanakan shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama
membaca niat untuk melakukan puasa besok harinya.

Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga orang-orang saleh setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk
melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa
dilafazkan.
Imsak
Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika ramadhan. Ketika waktu
sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan “imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak
lagi makan dan minum padahal saat itu adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita
untuk makan dan minum. Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhuma,
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian beliau shalat. Maka
kata Anas, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca
ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan kita untuk
menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,
‫طَر‬
ْ ‫جُلوا اْلِف‬
ّ‫ع‬َ ‫خْيٍر َما‬
َ ‫س ِب‬
ُ ‫ل الّنا‬
ُ ‫ل َيَزا‬
َ
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari
Muslim)
Takbiran
Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan memukul bedug pada
malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan sunah adalah melakukan takbir
ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan
shalat ied.

Padusan
Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan ini tidak disyariatkan
dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadhan adalah niat untuk berpuasa
esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi junub untuk puasa Ramadhan tidak ada
tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mendahului Puasa Satu Hari Atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah telah melarang mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa pada dua hari
terakhir di bulan sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa puasa pada jadwal tersebut,
misalnya puasa senin kamis atau puasa dawud. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului
puasa ramadhan dengan melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi yang
terbiasa melakukan puasa pada hari tersebut maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Perayaan Nuzulul Qur’an
Yaitu melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang saat-saat
diturunkannya al-Qur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat sepeninggal beliau.
Berziarah Kubur Karena Ramadhan
Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh kaum muslimin,
bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan perbuatan-perbuatan syirik
di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan. Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian
dan akhirat, akan tetapi mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, khususnya di negeri kita,
semoga Allah ta’alamemberikan kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa meninggalkan perkara-
perkara tersebut dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman
Artikel www.muslim.or.id
14 Amalan yang Keliru di Bulan Ramadhan
Kategori Fiqh dan Muamalah, Ramadhan | 02-09-2009 | 40 Komentar

Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-
tengah kaum muslimin.

1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan


Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi
kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan
ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah
jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang
Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak
ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan


Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau
keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan
“padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat
pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam.
Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫شْهُر َهَكَذا َوَهَكَذا‬
ّ ‫ال‬, ‫ب‬
ُ ‫س‬
ِ‫ح‬
ْ ‫ل َن‬
َ ‫ب َو‬
ُ ‫ل َنْكُت‬
َ ، ‫ِإّنا ُأّمٌة ُأّمّيٌة‬

“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan
tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan
bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah
madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya
sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka
seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu
hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini
kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)
4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫صَياًما َقْبَلُه َفْلَيصُْمُه‬
ِ ‫صوُم‬
ُ ‫ن َي‬
َ ‫حٌد َكا‬
َ ‫ل َأ‬
ّ ‫ن ِإ‬
ِ ‫ل َيْوَمْي‬
َ ‫شْهَر ِبَيْوٍم َو‬
ّ ‫حٌد ال‬
َ ‫ن َأ‬
ّ ‫ل َيَتَقّدَم‬
َ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali
bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi
dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan.
Dan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫سّلَم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫سِم‬
ِ ‫صى َأَبا اْلَقا‬
َ ‫ع‬
َ ‫ك ِفيِه َفَقْد‬
ّ‫ش‬
َ ‫صاَم اْلَيْوَم اّلِذي ُي‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َم‬

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya
dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat.
Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar
dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
ٍ ‫ل‬
‫ف‬ َ‫خ‬
ِ ‫ل‬
َ ‫ق ِب‬
ُ‫ط‬
ْ ‫ط الّن‬
ُ ‫شَتَر‬
ْ ‫ل ُي‬
َ ‫ب َو‬
ُ ‫حّلَها الَقْل‬
َ ‫ل ِبالّنّيِة َوَم‬
ّ ‫ح الصّْوَم ِإ‬
ّ‫ص‬ِ ‫ل َي‬
َ

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan
untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth
Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan
minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan
shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu
kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya
waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur …
sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara
membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang
dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih
dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan
minum. Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi
kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)
7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫حَمُر‬
ْ‫ل‬
َ ‫ض َلُكُم ا‬
َ ‫حّتى َيْعَتِر‬
َ ‫شَرُبوا‬
ْ ‫صِعُد َفُكُلوا َوا‬
ْ ‫طُع اْلُم‬
ِ ‫سا‬
ّ ‫ل َيِهيَدّنُكُم ال‬
َ ‫شَرُبوا َو‬
ْ ‫ُكُلوا َوا‬

“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang.
Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu
Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini hasan shahih). Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan
dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan
bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk
menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata,“Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur
kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama
jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat
dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit)
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah
dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482.
Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara
hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi
yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011
dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,

ُّ ‫شاَء ا‬
‫ل‬ َ ‫ن‬
ْ ‫جُر ِإ‬
ْ‫ل‬
َ‫تا‬
َ ‫ق َوَثَب‬
ُ ‫ت اْلُعُرو‬
ِ ‫ظَمُأ َواْبَتّل‬
ّ ‫ب ال‬
َ ‫َذَه‬

“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang
dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
9. Dzikir Jama’ah Dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak
diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap
orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara
berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang
suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189)
10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan
ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca:
bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ب َلُه ِقَياُم َلْيَلًة‬
َ ‫ف ُكِت‬
َ ‫صِر‬
َ ‫حّتى َيْن‬
َ ‫لَماِم‬
ِ ‫ن َقاَم َمَع ا‬
ْ ‫ِإّنُه َم‬

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam
penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini
shahih). Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut
menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
12. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mengatakan,
‫سَبُقْوَنا ِإَلْيِه‬
َ ‫خيْرًا َل‬
َ ‫ن‬
َ ‫َلْو َكا‬

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk
melakukannya.”Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena
para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam
membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya,
karena tidak boleh bagi beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang
dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu
para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada
seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal
para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara
mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan
dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).” (Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)
14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah
perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no.
388)
Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan di bulan Ramadhan yang mesti kita tinggalkan dan
mesti kita menasehati saudara kita yang lain untuk meninggalkannya. Tentu saja nasehat ini dengan
lemah lembut dan penuh hikmah.

Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak
diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang
yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (www.rumaysho.com)


Dipublikasikan oleh muslim.or.id

You might also like