You are on page 1of 2

Selamat Datang Dewan Hak Asasi Manusia

Oleh: Todung Mulya Lubis


Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) memang belum lagi
terbentuk, meski Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui sidang umum
telah memutuskan akan segera membentuk lembaga tersebut untuk
menggantikan Komisi Hak Asasi Manusia PBB (The UN Human Rights
Commission) yang telah berperan sejak lahir pada 1946. Ini adalah
suatu langkah yang diharapkan akan membuka babakan baru dalam
sejarah penegakan hak asasi manusia yang selama ini sangat banyak
didera oleh bias politik akibat berkembangbiaknya lobi di antara negara
bangsa.

Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada 21 Maret 2005 dalam


laporannya yang berjudul "In Larger Freedom", antara lain menyebutkan
bahwa dia mengakui kontribusi luar biasa dari Komisi HAM PBB. Namun,
belakangan ini Komisi HAM PBB telah menderita karena merosotnya
kredibilitas dan profesionalisme. Telah terjadi apa yang disebutnya
sebagai credibility deficit, yang pada akhirnya turut mencederai reputasi
PBB.

Pernyataan ini buat para aktivis hak asasi manusia bukanlah sesuatu
yang sama sekali baru. Soalnya, pengalaman bersidang di Komisi HAM
PBB hampir setiap tahun membuktikan begitu dominannya dagang sapi
dan trade off. Negara-negara pelanggar hak asasi manusia banyak yang
terhindar dari kecaman dan hukuman, meski dalam pidato Ketua Komisi
HAM PBB disebutkan adanya semacam concern atas pelanggaran hak
asasi yang terjadi.

Kekecewaan demi kekecewaan memang tak dapat dihindarkan, apalagi


komposisi keanggotaan Komisi HAM PBB diimbuhi oleh keberadaan wakil
negara tempat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Malah, pernah
ada Ketua Komisi HAM PBB yang berasal dari negara yang banyak
tindak-tanduknya berlawanan secara diametral dengan prinsip-prinsip
hak asasi manusia. Bayangkan, dukungannya terhadap kekerasan dan
terorisme pada masa silam telah sangat membahayakan keamanan
global. Namun, posisi di Komisi HAM PBB dapat diperoleh dengan lobi
dan mungkin juga investasi uang, sehingga dukungan dari berbagai
negara akhirnya dapat diperoleh. Tidak aneh jika kursi anggota atau
malah ketua dapat diraih. Akibatnya, Komisi HAM PBB memang tak lagi
menjadi ajang perjuangan penegakan hak asasi manusia yang optimal
tapi telah berubah menjadi apa yang oleh Sekjen PBB Kofi Annan disebut
sebagai usaha to protect themselves (maksudnya negara-negara)
against criticism or to criticize others.

Atas dasar hal tersebut, lagi-lagi menurut Sekjen PBB Kofi Annan,
apabila PBB ingin memenuhi harapan umat manusia di dunia, bila PBB
akan memperlakukan hak asasi manusia seserius soal keamanan dan
pembangunan, tak dapat tidak para anggota PBB harus setuju
mengganti Komisi HAM PBB dengan badan yang lebih kecil, yang disebut
sebagai Dewan HAM PBB. Dalam konteks inilah kita menyaksikan betapa
pada akhirnya Sidang Umum PBB melahirkan keputusan yang
menyetujui terbentuknya Dewan HAM PBB.

Saya berharap agar pemerintah Indonesia memberikan dukungan yang


penuh terhadap pembentukan Dewan HAM PBB ini. Saya menuliskan hal
ini karena ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Panel
45 yang turut merumuskan sikap pemerintah Indonesia terhadap
reformasi PBB, termasuk pembentukan Dewan HAM PBB, saya
menangkap ada semacam kemenduaan (ambivalency) sikap. Dalam
diskusi kelompok, beberapa anggota Panel 45 sepertinya tak merasakan
perlunya mengganti Komisi HAM PBB menjadi Dewan HAM PBB karena
fungsinya kurang-lebih sama. Mengapa justru tidak memperbaiki dan
meningkatkan fungsi Komisi HAM PBB?

Anehnya, dalam Panel 45 tersebut tak terdapat pula penolakan tegas


terhadap pembentukan Dewan HAM PBB tersebut. Namun, sikap
mengambang ini begitu membuat saya risau karena saya menangkap
adanya semacam kekhawatiran bahwa Indonesia nantinya akan menjadi
sasaran tembak dari Dewan HAM PBB dan Indonesia tak punya ruang
yang cukup untuk melawan resolusi atau kecaman Dewan HAM PBB.
Masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di berbagai wilayah
negeri ini, seperti di Papua dan Poso, misalnya, pastilah akan menjadi
obyek laporan banyak pihak yang merasa sebagai human rights victims.
Ditambah lagi dengan banyaknya organisasi hak asasi manusia, nasional
ataupun internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights
Watch, yang pasti akan sangat agresif menghantam negara-negara
pelanggar hak asasi manusia. Ini belum lagi kita bicara tentang belum
tuntasnya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, seperti
kasus pembunuhan Munir, Trisakti I dan II, serta Semanggi.

Kekhawatiran ini tentunya bisa dipahami. Soalnya, nantinya


keanggotaan Dewan HAM PBB akan dipilih dengan sangat selektif oleh
Sidang Umum PBB yang dihadiri oleh dua pertiga anggota PBB. Standar
yang akan digunakan juga lebih tinggi serta kewenangannya akan lebih
luas daripada apa yang dimiliki oleh Komisi HAM PBB. Kewenangan ini
akan merupakan implementasi langsung dari primacy of human rights
seperti yang tercantum dalam Piagam PBB. Yang menarik di sini adalah
bahwa Dewan HAM PBB ini akan menjadi semacam subsidiary dari

You might also like