You are on page 1of 10

 

PENGARUH AGEN DEKOMPOSER TERHADAP KUALITAS


HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA
EFFECT OF DECOMPOSER AGENTS ON THE QUALITY OF
COMPOST PRODUCED FROM ORGANIC DOMESTIC WASTE
Endah Sulistyawati1, Nusa Mashita2, Devi N.Choesin3

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung, 40132;

email : endah@sith.itb.ac.id; mashita03@yahoo.com; devi@sith.itb.ac.id

Agen dekomposer dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas hasil pengomposan,
dan telah diproduksi secara komersial, umumnya dalam bentuk konsorsium mikroorganisme (disebut
dengan bioaktivator) dan cacing tanah dalam pembuatan vermikompos. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji pengaruh agen dekomposer, yaitu tiga produk bioaktivator komersial (dengan kode EM, DS,
dan SD) serta cacing tanah spesies Lumbricus rubellus, terhadap kualitas hasil pengomposan sampah
rumah tangga. Pada tahap uji pendahuluan, dilakukan karakterisasi sampah rumah tangga dari lokasi
sampel penelitian (Subang) untuk menentukan komposisi bahan awal dan bahan tambahan yang
dibutuhkan pada eksprimen. Pada tahap eksperimen, pengomposan dilakukan hingga kompos terlihat
matang dengan desain untuk empat macam perlakuan dan enam kali pengulangan dalam pengkondisian
semi anaerob. Parameter untuk menilai kualitas kompos adalah warna, tekstur, bau, suhu kompos, pH,
kandungan hara (C-Organik, N-Total, rasio C/N, P2O5, dan K2O), dan tingkat toksisitas dengan
menggunakan parameter Indeks Perkecambahan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nyata kandungan hara antar ketiga perlakuan dengan bioaktivator (p<0,05). Perbedaan
nyata dijumpai pada kandungan hara antara perlakuan cacing tanah dan ketiga bioaktivator, dengan
nilai kandungan yang lebih tinggi pada perlakuan dengan bioaktivator dibandingkan perlakuan dengan
cacing tanah. Sedangkan nilai indeks perkecambahan dari keempat perlakuan menunjukkan hasil yang
tidak berbeda secara nyata. Kualitas kompos yang dihasilkan pada seluruh perlakuan agen dekomposer
telah memenuhi standar SNI 2004 untuk parameter fisik (warna, tekstur, bau, suhu kompos, pH) dan
kandungan hara (C-Organik, N-Total, rasio C/N, P2O5, dan K2O). Namun, ada kecenderungan bahwa
penggunaan agen dekomposer berbentuk bioaktivator (EM, DS dan SD) menghasilkan kualitas kompos
lebih baik dibandingkan cacing tanah.

Kata kunci : agen dekomposer, kualitas kompos , sampah organik rumah tangga

Composting process can be accelerated and its quality can be improved by adding decomposer agents.
This experiment aimed to investigate the effects of decomposer agents on the quality of compost produced.
The decomposer agents used were microbial-based bio-activator coded EM, DS, SD, and earthworm
species Lumbricus rubellus. The first phase of the research focused on characterization of organic
domestic wastes in Subang in order to determine initial composition of composting substrate and
additional substrate required for the composting process. The experiment consisted of four treatments
with six replicates for each treatment which was started in semi anaerobic condition. The treatments were
terminated when the compost has matured. parameters for evaluating the quality of compost were colour,
odour, texture, temperature of compost pile, pH, nutrient content (Organic C, Total N, C/N ratio, P2O5,
and K2O), and toxicity level using Germination Index. The result of analysis showed that there no
significant differences on the compost’s nutrient content among the bioactivator treatments i.e., EM, DS
and SD (p<0,05). The significant differences were shown on the nutrients content of compost between the
earthworm treatment and bioactivator treatments with higher nutrients content found in the compost from
bioactivator treatments. The Germination Indices from all treatments were not significantly different. The
quality of compost from all treatments meet the standard quality of SNI 2004 for the following
parameters : physically parameters (odour, colour, texture, temperature, pH, and moisture) and the
content of macro-nutrients (Organic C, Total N, C/N ratio, P2O5, dan K2O). In general, there are trend
showed the quality compost produced using bioactivator EM, DS, and SD were better than compost
produced using earthworm treatment.

Keywords: decomposer agents, organic domestic waste, quality of compost

Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian Lingkungan di Perguruan Tinggi, 7 Agustus 
2008 di Universitas Trisakti, Jakarta. 
 

PENDAHULUAN
Proporsi sampah organik merupakan proporsi terbesar dari sampah perkotaan. Data
volume sampah untuk kota-kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa sampah
organik mencapai 73,35% dari total volume sampah (Kementerian Lingkungan Hidup,
2002), dan sebanyak 53,3% sampah kota tidak tertangani dengan baik (BPS, 2000
dalam Wibowo, 2002). Oleh karenanya diperlukan metode pengelolaan sampah organik
yang efisien dan ramah lingkungan seperti pengomposan. Pengomposan adalah suatu
proses dekomposisi yang dilakukan oleh agen dekomposer (bakteria, actinomycetes,
fungi, dan organisme tanah) terhadap buangan organik yang biodegradable (Indriani,
2003). Proses pengomposan alami oleh agen dekomposer memakan waktu lama (enam
bulan hingga setahun), karena itulah saat ini telah banyak dikembangkan produk agen
dekomposer yang diproduksi secara komersial untuk meningkatkan kecepatan
dekomposisi, meningkatkan penguraian materi organik, dan dapat meningkatkan
kualitas produk akhir (Nuryani et. al, 2002). Produk tersebut antara lain bioaktivator,
yaitu beberapa spesies mikroorganisme pengurai materi organik yang telah diisolasi dan
dioptimasi, dikemas dalam berbagai bentuk dan terdapat pada keadaan inaktif, seperti
Effective Microorganism (EM4), EM Lestari, SuperDec, Degrasimba, Orgadec, Stardec,
Harmony, dan Fix-Up Plus. Penggunaan organisme dekomposer seperti cacing tanah
seperti spesies Lumbricus rubellus dan Eisenia foetida juga dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas kompos, terutama melalui kotoran yang dihasilkannya (Indriani,
2003).

Hasil pengomposan berbahan baku sampah dinyatakan aman untuk digunakan ketika
sampah organik telah dikomposkan dengan sempurna. Salah satu indikasinya terlihat
dari kematangan kompos yang meliputi karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur yang
telah menyerupai tanah, penyusutan berat mencapai 60%, pH netral, suhu stabil),
perubahan kandungan hara (mencapai rasio C/N 10-20), dan tingkat fitotoksisitas
rendah (Djuarnani, 2005; Zucconi, 1985 dalam Araujo, 2005).

Sampah organik perkotaan yang dikomposkan sangat berpotensi untuk dijadikan pupuk
organik yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pupuk kimia. Untuk
mengefisienkan produksi kompos sampah organik dalam skala besar dan meningkatkan
kualitasnya perlu dicari agen-agen dekomposer yang efektif dalam mendekomposisi
sampah organik. Dengan menggunakan agen dekomposer yang efektif, maka
diharapkan dapat menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu cepat
sehingga volume sampah organik dapat dikurangi secara signifikan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini dikaji pengaruh aktivitas
agen dekomposer berbeda (bioaktivator yang diberi kode EM, DS, SD, dan cacing tanah
spesies Lumbricus rubellus) terhadap kualitas kompos yang meliputi parameter fisik
(warna, bau, suhu, pH, kadar air), kandungan hara (C-Organik, N-Total, P2O5, K2O, dan
rasio C/N), dan tingkat toksisitas.

METODE KERJA
Penelitian dilakukan melalui tiga tahapan yaitu, tahap uji pendahuluan, tahap
eksperimen, dan tahap analisis kompos.
 

Tahap Uji Pendahuluan


Pada tahap uji pendahuluan dilakukan karakteristisasi sampah organik rumah tangga
dengan wilayah sampel penelitian yaitu Perumahan Bumi Abdi Praja, Subang. Tahap ini
dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah bahan tambahan yang diperlukan dalam
proses pengomposan. Penentuan karakteristik sampah rumah tangga dilakukan dengan
cara pengumpulan sampah rumah tangga, kemudian dipilah berdasarkan jenis sampah
(yaitu sampah kebun dan sampah dapur), diukur proporsi dari setiap jenisnya, dan
dianalisis kandungan haranya (C-organik, N-total, P2O5, dan K2O). Analisis kandungan
hara dilakukan di Balai Penelitian Sayuran, Lembang. Informasi yang didapat dari uji
pendahuluan ini dijadikan rujukan untuk menentukan bahan tambahan dan komposisi
bahan awal pengomposan untuk mendapatkan komposisi C/N yang ideal (30:1) di awal
pengomposan mengikuti pendekatan dari Agaziss (1996),.

Tahap eksperimen
Pada tahap eksperimen dilakukan persiapan bahan dan agen dekomposer yang diujikan,
perlakuan pengomposan, dan pengukuran faktor fisika-kimia selama proses
pengomposan berlangsung. Ekperimen terdiri dari empat perlakuan, yaitu tiga perlakuan
menggunakan bioaktivator yang diberi kode EM, DS, dan SD serta satu perlakuan
menggunakan cacing tanah dengan enam ulangan untuk setiap perlakuan. Pengomposan
dilakukan dengan pengondisian semi anaerob (untuk perlakuan bioaktivator) dan
pengondisian aerob (untuk perlakuan cacing tanah) di dalam tong plastik berbentuk
tabung berdiameter 30 cm dan tinggi 40 cm (Gambar 1). Eksperimen dimulai dengan
persiapan bahan awal, yaitu pengumpulan sampah organik dari sumber yang sama dari
hasil tahap uji pendahuluan. Sampah dapur dan sampah kebun yang dikumpulkan
kemudian dicacah hingga berukuran 2-5 mm, kemudian seluruhnya dicampur dengan
serbuk gergaji secara merata sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan pada hasil
uji pendahuluan. Persiapan agen dekomposer dilakukan sesuai dengan petunjuk
penggunaan dari setiap produk agen dekomposer. Campuran bahan awal pengomposan
kemudian ditambahkan dengan agen dekomposer (EM, SD, DS pada hari ke nol, dan
untuk perlakuan dengan cacing pada saat suhu tumpukan telah mencapai 25-300C).
Pengomposan dihentikan saat kompos terlihat matang dengan parameter yang terlihat
dari warna, tekstur, bau, suhu kompos, dan pH (Djuarnani, 2005; Yuwono,2005;
Standar Nasional Indonesia, 2004). Faktor fisik yang diukur selama pengomposan
adalah suhu tumpukan (setiap hari), pH (setiap sepuluh hari), kadar air (pada awal dan
akhir pengomposan).
40 cm

30 cm

Gambar 1. Tong pengomposan


 

Tahap Analisis Kompos


Pada tahap ketiga dilakukan evaluasi kompos yang meliputi pengukuran kandungan
hara total kompos dan uji kecambah untuk mengetahui tingkat toksisitas. Kandungan
hara total yang dianalisis antara lain kandungan C-Organik, N-Total, P2O5, dan K2O.
Sedangkan pada uji kecambah, metode yang dilakukan merupakan adaptasi dari metode
Zucconi et al. (1981 dalam Vargas et al., 2005), yaitu dengan mengecambahkan benih
seledri (Apium graveolans) di atas kertas saring Whatmann No.2 yang telah
ditambahkan 10 mL larutan kompos. Kemudian tingkat toksisitas dilihat dari Indeks
Perkecambahan (IP) dengan cara menghitung jumlah benih yang berkecambah beserta
akar yang tumbuh pada larutan kompos kemudian dibandingkan dengan jumlah benih
yang berkecambah pada kontrol (Zucconi et al., 1981 dalam Vargas et al., 2005). Data
yang diperoleh dari seluruh pengukuran, dianalisis secara statistik dengan menggunakan
metode one way ANOVA dan uji lanjutan uji Duncan pada selang kepercayaan 95 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada uji pendahuluan, sampah organik rumah tangga diklasifikasikan menjadi dua jenis
berdasarkan sumbernya, yaitu sampah kebun dan sampah dapur. Hasil dari karakterisasi
sampah organik rumah tangga didapat bahwa proporsi sampah dapur masih lebih besar
dari sampah kebun seperti terlihat pada Tabel 1. Sampah dapur merupakan sampah yang
terdiri dari banyak sisa-sisa makanan, dan diduga memiliki kandungan N yang cukup
tinggi. Penentuan proporsi ini dilakukan untuk menjadi landasan dasar pencampuran
proporsi bahan dasar pengomposan dan bahan tambahan yang diperlukan dalam tahap
eksperimen .

Tabel. 1 Proporsi sampah Organik Rumah tangga


Ulangan ke- % Sampah Kebun % Sampah Dapur
1 30,51 69,49
2 24,80 75,20
Rata-rata 27,65 72,35

Hasil analisis kandungan total hara sampah organik rumah tangga (Tabel 2)
menunjukkan bahwa rasio C/N kandungan hara sampah cukup rendah, yaitu dengan
rata-rata sebesar 16 + 4,43. Untuk memulai pengomposan dengan kondisi ideal (rasio
C/N 30:1) maka perlu adanya penambahan bahan tambahan yang memiliki kandungan
C yang besar seperti serbuk gergaji (rasio C/N 450:1) yang juga berperan sebagai
bulking agent (Djuarnani, 2005). Merujuk cara perhitungan Agassiz (1996), maka
diperlukan penambahan serbuk gergaji sebesar 10% dari berat total. Maka komposisi
bahan awal yang digunakan dalam pengomposan antara lain 2 kg sampah kebun (≈
27,65 %), sampah kebun sebanyak 5 kg (≈72,35%), dan 0,7 kg serbuk gergaji (≈10%
berat total sampah) sehingga untuk setiap perlakuan berat total bahan awal
pengomposan adalah sebesar 7,7 kg.
Tabel 2 Kandungan hara sampah
C-Org (%) N Total (%) C/N P2O5 (%) K2O (%)
Sampel 1 10,73 0,64 17 0,21 0,56
Sampel 2 9,78 0,86 11 0,24 0,6
Sampel 3 12,5 0,62 20 0,23 0,49
Rata-rata 11,00 + 1,38 0,71 + 0,13 16 + 4,43 0,23 + 0,02 0,55 + 0,06
 

Kematangan kompos mulai terlihat pada hari ke-30. Hal tersebut dilihat dari
perubahan suhu, pH, kadar air, dan penampakan secara fisik (Gambar 2a, 2b, 2c). Suhu
tumpukan pada awalnya cukup berfluktuatif namun terlihat mulai stabil hari ke 26
hingga hari ke 30 pada suhu 28-300C. pH pada seluruh perlakuan juga telah
menunjukkan nilai netral pada hari ke 30 . Hal ini mengindikasi bahwa kompos sudah
matang (Zucconi et al. 1985 dalam De´portes, et al, 1998; Gazi, 2007). Pada proses
pengomposan juga terlihat adanya penurunan kadar air yang cukup signifikan pada
perlakuan EM, DS, dan SD. Sebaliknya pada perlakuan cacing tanah, kadar air justru
mengalami peningkatan di akhir masa pengomposan.

50

45
Suhu Tumpukan( C)
0

40

35

30

25

20
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Hari Ke-
EM DS SD Cacing

(a)
8.5 80
8.0 70
60
Kadar Air (%)

7.5
50
pH Kompos

7.0 40
6.5 30
20
6.0
10
5.5 0
5.0 EM DS SD Cacing
1 10 Hari Ke- 20 30 Perlakuan
EM DS SD Cacing Awal Akhir

(b) (c)
Gambar 2. (a) Perubahan suhu tumpukan kompos; (b) Perubahan Nilai pH pada tumpukan kompos;
(c) Kadar air kompos
Hasil pengamatan secara organoleptik (berdasarkan sistem penilaian dari Asngad dan
Suparti , 2005) yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kompos sudah berbau
daun lapuk, bertekstur halus (remah), berwarna coklat kehitaman seperti tanah (SNI,
2004). Artinya, dari parameter organoleptik, kompos telah matang. Kematangan
kompos juga terlihat dari penyusutan berat kompos sebesar 70% hingga 81% dari berat
awal (Gambar 3). Pada umumnya penyusutan berat kompos yang diproduksi secara
aerobik ataupun anaerobik hanya sebesar 50 – 70% (Yuwono, 2005). Tingginya
penyusutan berat kompos pada penelitian ini menunjukkan bahwa pengomposan dengan
pengondisian secara semi-anaerob pada awal pengomposan mampu mengurangi berat
kompos lebih besar.
 

Tabel 3 Kualitas kompos secara organoleptik


Parameter EM DS SD Cacing
Berbau daun Berbau daun Sangat berbau Berbau daun
Bau lapuk lapuk daun lapuk lapuk
Warna Hitam Sangat hitam Sangat hitam Hitam
Tekstur Halus Halus Sangat halus Halus
 
100

Persentase Reduksi
80

Kompos (%)
60

40

20

Perlakuan
EM DS SD Cacing

Gambar 3 Pengurangan berat kompos

Selanjutnya kualitas hasil kompos dievaluasi berdasarkan kandungan haranya dan


tingkat toksisitas melalui uji kecambah. Hasil analisis kandungan hara (Tabel 4)
menunjukkan bahwa nilai kandungan C-Organik pada bahan awal setelah ditambahkan
dengan serbuk gergaji adalah sebesar 30%, kemudian setelah mengalami proses
pengomposan maka terjadi penurunan kandungan C-Organik pada masing-masing
perlakuan akibat adanya penggunaan karbon sebagai sumber energi agen dekomposer
untuk aktivitas metabolismenya (Graves et al., 2007 ). Nilai C-Organik pada perlakuan
cacing tanah lebih rendah dibandingkan pada perlakuan ketiga bioaktivator. Rendahnya
nilai C-Organik ini diduga terjadi karena selama proses dekomposisi, karbon tidak
hanya digunakan oleh cacing tanah, namun juga oleh mikroorganisme yang ada dalam
tumpukan.

Sedangkan pada kandungan N-Total kompos (Tabel 4), terlihat bahwa dari kandungan
N-Total dari perlakuan EM, DS, dan SD meningkat sedangkan terjadi penurunan
persentase kandungan N-Total kompos pada perlakuan cacing tanah. Meningkatnya
persentase N-Total pada pengomposan merupakan fenomena yang dapat dijumpai
dalam proses pengomposan (contohnya antara lain Ruskandi, 2006; Taiwo dan Oso,
2004; Ciavatta et al., 1993).

Salah satu indikator yang menandakan berjalannya proses dekomposisi dalam


pengomposan adalah penguraian C/N substrat oleh mikroorganisme maupun agen
dekomposer lainnya. Pada Tabel 4, terlihat bahwa rasio C/N telah mencapai 10-20 pada
hari ke-30. Rasio C/N merupakan salah satu indikasi kematangan kompos. Perubahan
rasio C/N terjadi selama pengomposan diakibatkan adanya penggunaan karbon sebagai
sumber energi dan hilang dalam bentuk CO2 sehingga kandungan karbon semakin lama
berkurang (Graves et al., 2007 ).

Pada penelitian ini, unsur lain yang dihitung adalah P dan K dalam bentuk P2O5 dan
K2O, yang kemudian akan digunakan oleh tanaman dalam bentuk H2PO4- dan K+
(Finck, 1982). Untuk parameter kandungan P dan K (Tabel 4), terlihat bahwa setelah
mengalami pengomposan, terjadi peningkatan persentase kandungan P dan K pada
kompos dari seluruh perlakuan. Kandungan P dan K yang cukup besar tersebut akan
 

digunakan oleh tumbuhan dengan lebih mudah karena terdapat dalam bentuk yang dapat
diserap oleh tumbuhan (Finck, 1982).

Secara umum terlihat bahwa kandungan hara kompos dari perlakuan EM, DS, dan SD
lebih baik dibandingkan kompos dari perlakuan cacing tanah. Hasil analisis statistik dari
ketiganya juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan EM, DS, dan SD
dengan perlakuan dengan cacing tanah (p<0,05). Selain itu, dalam aspek kandungan
hara kompos dari seluruh perlakuan juga telah memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI, 2004; Yuwono, 2005).

Tabel 4 Kandungan Hara Kompos


Bahan EM DS SD Cacing
Awal
C- Organik 30 *) 17 + 4,29a 15,66 + 3,66 a 11,90 + 2,23 a 8,09 + 1,62b
(%)
N- Total (%) 1 *) 1,63 + 0,43a 1,59 + 0,41a 1,23 + 0,32a 0,64+ 0,07b
Rasio C/N 30 11 + 0,7 a 10 + 0,63 a 10 + 1,57 a 13 + 1,98 b
a a a
P2O5 (%) 0,23 0,69 + 0,19 0,73 + 0,21 0,55 + 0,13 0,34 + 0,02 b
a a a
K2O (%) 0,55 1,20 + 0,19 1,20 + 0,2 1,05 + 0,2 0,71 + 0,07 b
*) Keterangan: kandungan hara setelah ditambahkan bahan tambahan. Huruf berbeda
menunjukkan bahwa pada masing-masing parameter yang diukur berbeda secara nyata
(p<0,05)

Kualitas kompos yang dihasilkan pada penelitian ini memberikan gambaran tentang
kemampuan masing-masing agen dekomposer dalam mendekomposisi materi organik
pada sampah. Secara umum, mikroorganisme yang terdapat di dalam ketiga bioaktivator
terdiri dari tiga kelompok yang sama, yaitu bakteri, jamur, dan aktinomiset, namun
berbeda spesies dan kelimpahannya. Bakteri berperan sebagai penginisiasi proses
dekomposisi senyawa-senyawa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Fungi dan
aktinomiset berkemampuan mendekomposisi bahan yang sulit terurai (Graves et al.,
2000). Aktivitas spesies mikroorganisme tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Penelitian ini menunjukkan kualitas kompos dari ketiga perlakuan
bioaktivator (EM, DS, dan SD) tidak berbeda nyata. Artinya meskipun komposisi dan
kelimpahan spesies pada masing-masing bioaktivator berbeda, kondisi lingkungan yang
terjadi dalam proses cukup optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga
ketiga perlakuan memiliki efektifitas yang sama dalam mendekomposisi materi
organik.

Sebaliknya perbedaan jelas terlihat pada kompos dengan perlakuan cacing tanah.
Dengan rentang waktu masa pengomposan selama 30 hari, ternyata kandungan hara
kompos dari perlakuan lebih rendah. Hal tersebut diduga terjadi karena kurang lamanya
cacing mengurai materi organik pada kompos. Cacing baru dimasukkan pada hari ke-24
ketika suhu tumpukan sudah mencapai 30-290C, artinya pengomposan oleh cacing
hanya berlangsung selama 6 hari. Sehingga pada akhir masa pengomposan (hari ke-30)
cacing masih berada dalam keadaan aktif mencerna materi organik di dalam kompos,
dan mengakibatkan tidak dihasilkannya kotoran cacing (kasting) dengan kandungan
hara yang tinggi dalam jumlah banyak, meski kompos telah terlihat matang. Penelitian
ini menunjukkan pembuatan kompos dengan menggunakan cacing membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk menghasilkan kompos yang berkualitas dibandingkan dengan
perlakuan EM, DS, dan SD.
 

Sedangkan berdasarkan hasil uji kecambah kompos (gambar 4), terlihat bahwa nilai
Indeks Perkecambahan (IP_ kompos dari seluruh perlakuan adalah berkisar antara 99,33
+ 25,24 hingga 114,76 + 34,59, dan nilai IP diantara keempat perlakuan tidak berbeda
secara nyata. Nilai IP yang berada pada kisaran lebih dari 80 menunjukkan bahwa
kompos dari keempat perlakuan tidak berpotensi toksik pada tanaman (Brinton, 2000
dalam Kuo et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa masa pengomposan selama 30
hari dengan menggunakan keempat agen dekomposer sudah cukup untuk mematangkan
kompos hingga aman digunakan pada tanaman.

160
Indeks Perkecambahan
140
120
100
80
60
40
20
0

Perlakuan
EM DS SD Cacing

Gambar 4 Perbandingan Indeks Perkecambahan pada ekstrak kompos

Kualitas kompos yang dihasilkan dari penelitian ini sudah memenuhi sebagian dari
standar kualitas kompos yang telah ditetapkan oleh SNI tahun 2004. Pembandingan
kualitas antara kompos yang dihasilkan dalam penelitian ini dengan standar nilai yang
diberikan SNI dilihat pada tabel 5. Dari 32 kriteria yang ditetapkan dalam standar SNI,
dalam penelitian ini kriteria yang dianalisis hanya terdiri dari parameter fisik (suhu, pH,
kadar air, warna, bau, tekstur) dan unsur makro (C-Organik, N-Total, rasio C/N, P2O5,
dan K2O). Sedangkan parameter lainnya seperti unsur mikro dan bakteri tidak dianalisis
pada penelitian ini.

Tabel 5 Ringkasan hasil uji Kuantitatif dan Kualitatif Kompos


No. Parameter Standar SNI EM DS SD Vermikompos
1 Kadar Air (%) maks 50 36,87 + 15,16 39,56 + 13,4 52,54 + 7,14 66,71 + 2,58
2 Suhu (0C) Suhu air tanah 300C + 1,48 290C + 1 300C + 1,6 290C + 2,27
(26-300 C)
3 Warna Sangat hitam Hitam Sangat hitam Sangat hitam Hitam
4 Sangat berbau daun Berbau daun Berbau daun Sangat berbau Berbau daun
Bau lapuk lapuk lapuk daun lapuk lapuk
5 Ukuran Partikel Sangat halus Halus Halus Sangat halus Halus
6 Kemampuan Ikat Air (%) min 58 tidak diuji dalam penelitian ini
7 pH 6,8-7,49 7,59 + 0,41 7,58 + 0,45 7,36 + 0,43 7,86 + 0,17
8 Bahan Asing maks 1,5 tidak diuji dalam penelitian ini
Unsur makro
9 Bahan Organik (%) 27-58 tidak diuji dalam penelitian ini
10 Nitrogen (%) min. 0,4 1,63 + 0,43 1,59 + 0,41 1,23 + 0,32 0,64+ 0,07
11 Karbon (%) 9,8-32 17 + 4,29 15,66 + 3,66 11,90 + 2,23 8,09 + 1,62
12 Rasio C/N 10-20 11 + 0,7 10 + 0,63 10 + 1,57 13 + 1,98
13 P2O5 (%) min 0,1 0,69 + 0,19 0,73 + 0,21 0,55 + 0,13 0,34 + 0,02
14 K2O (%) min 0,2 1,20 + 0,19 1,20 + 0,2 1,05 + 0,2 0,71 + 0,07
Unsur mikro
15 Arsen (mg/kg) maks. 13 tidak diuji dalam penelitian ini
16 Kadmium (Cd) (mg/kg) maks. 3 tidak diuji dalam penelitian ini
17 Cobalt (Co) (mg/kg) maks. 34 tidak diuji dalam penelitian ini
18 Kromium (Cr) (mg/kg) maks. 210 tidak diuji dalam penelitian ini
 

19 Tembaga (Cu) (mg/kg) maks. 100 tidak diuji dalam penelitian ini
20 Merkuri (Hg) (mg/kg) maks. 0,8 tidak diuji dalam penelitian ini
21 Nikel (Ni) (mg/kg) maks. 62 tidak diuji dalam penelitian ini
22 Timbal (Pb) (mg/kg) maks. 150 tidak diuji dalam penelitian ini
23 Selenium (Se) (mg/kg) maks. 2 tidak diuji dalam penelitian ini
24 Seng (Zn) (mg/kg) maks. 500 tidak diuji dalam penelitian ini
Unsur Lain
25 Kalsium (%) maks. 25,5 tidak diuji dalam penelitian ini
26 Magnesium (Mg) (%) maks. 0,6 tidak diuji dalam penelitian ini
27 Besi (Fe) (%) maks. 2 tidak diuji dalam penelitian ini
28 Alumunium (Al) (%) maks. 2,2 tidak diuji dalam penelitian ini
29 Mangan (Mg) (%) maks. 0,1 tidak diuji dalam penelitian ini
Bakteri
30 Fecal coli (MPN/gr) maks. 1000 tidak diuji dalam penelitian ini
31 Salmonella sp. (MPN/gr) maks 3 tidak diuji dalam penelitian ini
32 Uji Kecambah Tidak ditentukan 114,76 + 34,59 101,36 + 11,80 99,33 + 25,24 100,80 + 17,97
33 Reduksi Berat (%) Tidak ditentukan 81 + 2,57 74 + 15,2 70 + 2,31 76 + 8,16

KESIMPULAN
Kualitas kompos dari keempat perlakuan telah memenuhi standar kualitas SNI tahun
2004 untuk beberapa parameter, yaitu suhu, pH, Rasio C/N, C-Organik, N-Total, P2O5,
K2O, dan kadar air kompos. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan secara umum
kualitas kompos dari perlakuan dengan bioaktivator (EM, DS, dan SD) memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan cacing tanah.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana dari Riset Unggulan ITB dari Pusat
Penelitian Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur tahun 2007. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Deni R. Nugraha, M.Si dan Sdr. M. Ridwan yang telah membantu
pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Agassiz. 1996. British Columbia Composting Factsheet. Canada.
http://www.al.gov.bc.ca/resmgmt/publist/300series/382500-4.pdf
Anonim, 2002. Laboratorium lingkungan. Departemen Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Bandung.
Asngad, A. dan Suparti. 2005. Model Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik dengan Inokulan (Studi
Kasus Sampah Di TPA Mojosongo Surakarta dalam Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 6 (20): 101 –
11.
Ciavatta, C., Govi, M., Pasotti, L., dan Sequi, P. 1993. Changes Inorganic Matter during Stabilization of
Compost from Municipal Solid Waste dalam Bioresource Technology 43: 141-145
Djuarnani, N., Kristian, dan Setiawan, B.S. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos, Agromedia Pustaka,
Jakarta.
De´portes, I., Benoit-Guyod, J.-L., Zmirou, D., dan Bouvier, M.-C.. 1998. Microbial disinfection capacity
of municipal solid waste (MSW) composting dalam Journal of Applied Microbiology, 85: 238–246.
Finck, A. 1982. Fertilizers and Fertilization. Weinheim, German
Gazi, A.V., Kyriacou, A,. Kotsou, M, dan. Lasaridi, K.E. 2007. Microbial Community Dynamics and
Stability Assessment during Green Waste Composting dalam Global NEST Journal, 9 (1): 35-41.
Graves, R.E., Hattemer, G.M,. Stettler, D., Krider, J.N. dan Dana, C. 2000. National Engineering
Handbook. United States Department of Agriculture
Indriani, Y.H. 2003. Membuat Kompos Secara Kilat. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2002. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002.KLH.
Jakarta
Kuo, S., Ortiz-Escobar, M. E., Hue, N. V., dan Hummel, R. L. 2004. Composting and Compost
Utilization for Agronomic and Container Crops dalam Review Buku Recent Developments in
Environmental Biology. Washington.
 

Macgregor, S. T., Mitler, F. C., Psarianos, K. M., dan Finsteini, M. S.. 1981. Composting Process Control
Based on Interaction Between Microbial Heat Output and Temperature dalam Applied and
Environmenntal Microbiology, 41(6): 1321-1330
Nuryani, S.H.U. dan Sutanto, R. 2002. Pengaruh Sampah Kota Terhadap Hasil dan Tahana Hara Lombok.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan,3 (1): 24-28.
Raditya, R. 2005. Studi Pengkomposan Sampah Kota Menggunakan Aktivator EM (Effective
Microorganisme) Sebagai Salah Satu Alternatif Dalam Pengelolaan Sampah Di TPA Boyolali. Skripsi
Sarjana Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang
Rofiq, A. 2007. Pengaruh Pemberian Trichoderma harzianum Rifai, Aspergillus Niger van Tieghem, dan
Rhizopus oligosporus Saito Terhadap Kualitas dan Waktu Pengomposan. Skripsi Sarjana Biologi
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Ruskandi. 2006. Teknik Pembuatan Kompos Limbah Kebun Pertanaman Kelapa Polikultur dalam Buletin
Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1.
Standar Nasional Indonesia. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI 19-7030-
2004. Badan Standar Nasional. Indonesia. Jakarta.
Taiwo, L. B. dan. Oso, B. A. 2004. Influence of Composting Techniques on Microbial Succession,
Temperature and pH in a Composting Municipal Solid Waste dalam African Journal of
Biotechnology, 3 (4): 239-243.
Vargas, D.D.C., Sanchez-Monedero, M.A., Urpilainen, S.T., Kamilaki, A., dan Stentiford, E.I. 2005.
Assessing The Stability and Maturity Of Compost At Large Scale Plants. Ingenieria Revista Academica,
9 (2): 25-30.
Wibowo, A., dan Djajawinata, D.T. 2002. Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu dalam
www.kppi.or.id . diakses pada tanggal 8 Agustus 2007.
Yuwono, Dipo. 2005. Kompos. Penerbit Swadaya. Jakarta.

You might also like