You are on page 1of 4

Keimanan dalam agama Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Keimanan sering disalahpahami dengan 'percaya', keimanan dalam Islam diawali dengan usaha-usaha
memahami kejadian dan kondisi alam sehingga timbul dari sana pengetahuan akan adanya Yang Mengatur
alam semesta ini, dari pengetahuan tersebut kemudian akal akan berusaha memahami esensi dari
pengetahuan yang didapatkan. Keimanan dalam ajaran Islam tidak sama dengan dogma atau persangkaan
tapi harus melalui ilmu dan pemahaman.

Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai
hambanya yang mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak
mahmudah.Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung jawab, amanah,
baik hati, tawadhu, istiqomah dll. Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk
dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak
sempurna. Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak rosul adalah
Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-
quran

[10:36] Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.

Adapun sikap 'percaya' didapatkan setelah memahami apa yang disampaikan oleh mu'min mubaligh serta
visi konsep kehidupan yang dibawakan. Percaya dalam Qur'an selalu dalam konteks sesuatu yang ghaib,
atau yang belum terrealisasi, ini artinya sifat orang yang beriman dalam tingkat paling rendah adalah
mempercayai perjuangan para pembawa risalah dalam merealisasikan kondisi ideal bagi umat manusia
yang dalam Qur'an disebut dengan 'surga', serta meninggalkan kondisi buruk yang diamsalkan dengan
'neraka'. Dalam tingkat selanjutnya orang yang beriman ikut serta dalam misi penegakkan Din Islam.

Adapun sebutan orang yang beriman adalah Mu'min

Tahap dan Tingkatan Iman serta Keyakinan


Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:

* Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)


* Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)
* Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)

Tingkatan Keyakinan akan Kebenaran (Yaqin) adalah:

* Ilmul Yaqin (berdasarkan ilmu)


* 'Ainul Yaqin (berdasarkan ilmu dan bukti-bukti akan Kebenaran)
* Haqqul Yaqin (berdasarkan ilmu, bukti dan pengalaman akan Kebenaran)
jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya“. (QS Al A’raf [7]:96).

Dalam kehidupan ini, seorang muslim harus memiliki keimanan yang kuat dan kokoh agar dapat
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat.

Dengan iman, kehidupan seorang muslim menjadi terarah, selalu mendekatkan diri kepada Allah dan jauh
dari segala maksiat. Dengan iman yang kokoh, Nabi Yusuf menolak ajakan Zulaikha untuk berzina, dan
begitulah seterusnya.

Orang yang beriman disebut dengan mukmin dan orang Islam disebut dengan muslim. Seorang muslim
belum tentu seorang mukmin, akan tetapi seorang mukmin pasti seorang muslim, hal ini karena belum tentu
iman sudah masuk ke dalam hati.

Dalam hal ini karena banyak sekali seorang muslim yang mengaku beragama Islam akan tetapi mereka
tidak menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan juga tidak menjauhkan segala apa yang dilarang-
Nya, kita sering menyebutnya dengan Islam KTP.

Untuk itu, kita akan membahas empat tanda keimanan kepada Allah yang harus kita tunjukkan.

1. Taqwa.

Taqwa adalah menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan melaksanakan segala apa yang diperintah
oleh Allah swt dan juga meninggalkan apa yang telah dilarang-Nya.Keimanan seseorang kepada Allah swt
belum sempurna jika ia tidak bertaqwa, yakni mewujudkannya dalam bentuk yang nyata dengan beramal
shaleh atau berbuat kebaikan kepada orang lain.

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk selalu bertaqwa dimana saja kita berada. Jika kita berada di
pasar maka kita harus menunjukkan ketaqwaan dalam urusan kita di pasar, jika kita berada dalam klas yang
sedang belajar kita juga harus bertaqwa kepada Allah dalam urusan menuntut ilmu dan mengajarkannya
dan begitulah seterusnya dimana saja kita berada kita harus bertaqwa kepada Altah swt tanpa harus ragu-
ragu untuk melakukannya.

Namun bila kita terlanjur melakukan kesalahan yang pastinya tidak disukai oleh Allah atau kita melakukan
perbuatan yang menimbulkan dosa, maka bersegeralah kita untuk bertaubat dan menebusnya atau
menghapus dosa yang telah kita perbuat dengan melakukan kebaikan.

Allah swt sama sekali tidak membedakan derajat manusia berdasarkan suku, bangsa, bahasa, dan budaya,
akan tetapi Allah swt membedakan perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya dengan taqwanya,
barang siapa yang paling bertaqwa, maka dialah yang derajatnya paling mulia di sisi Allah swt.

Hal tersebut termaktub dalam firman Allah swt: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisiAllah ialah
orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS AIHujurat[49]:13).

Orang yang bertaqwa atau muttaqiin memperoleh berbagai keistimewaan, di dunia ia diberikan kelebihan
seperti anugerah furqan yakni petunjuk untuk dapat membedakan yang haq (benar) dengan yang bathil
(salah), diampuni kesalahan dan dosa, hal ini termaktub dalam firman Allati swt: “Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar“. (QS Al Furqan [25]:29).

Selain itu orang yang bertaqwa juga akan diberikan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi, bahkan bila
masalahnya adalah ekonomi, akan diberikan rizki yang dia sendiri tidak menduga-duga, hal ini dinyatakan
Allah swt dalam firman-Nya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginyajalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangkasangkanya“. (QS At Thalaq [65]:
2-3).

Hal lain yang akan diberikan kepada orang yang bertagwa adalah memperoleh kemudahan dalam
menyelesaikan segala urusannya sebagaimana firman-Nya: “dan barang siapa yang beriakwa kepada Allah,
niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya“. (QS At Thalaq [65]:4).

Keistimewaan lain yang diberikan Allah swt kepada orang yang bertaqwa adalah akan dilimpahkan
kepadanya berkah dari langit dan bumi: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya“. (QS Al A’raf [7]:96).

Adapun di akhirat nanti, ia dijanjikan tempat terbaik yaitu surga dengan segala kenikmatannya yang
termaktub dalam surat Adz-Zariyaat [51]: 15: ” Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada didalam
taman-taman (surga) dan di mata air-mata air“.

2. Malu.

Tanda keimanan yang amat penting dari seseorang yaitu al haya’ atau mempunyai rasa malu. Maksud dari
mempunyai rasa malu disini bukan kita merasa malu berbicara di depan orang banyak sehingga merasakan
panas dingin jika berbicara di depan umum atau kita merasa malu dengan penampilan yang kurang
meyakinkan atau kurang keren di depan teman-teman kita dalam suatu acara. Akan tetapi, rasa malu yang
harus kita tanam sebagai orang yang beriman yaitu malu jika kita tidak melakukan perbuatan atau hal-hal
yang telah dibenarkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu sangatlah penting bagi kita mempunyai rasa malu seperti ini, agar tentunya tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan. Bahkan, keimanan dengan rasa malu menjadi sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan dan tentunya tidak boleh juga kita pisah-pisahkan sendiri seperti dua sisi mata
uang yang tidak diakui dan tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.

Bila malu tidak ada pada jiwa seseorang yang mengaku beriman, pada hakikatnya dia tidak beriman. Haya’
(rasa malu) terdapat dua macam yaitu:

1. Malu naluri (haya’ nafsaniy), yaitu rasa malu yang dikaruniakan Allah kepada setiap diri manusia,
seperti rasa malu kelihatan auratnya atau ma!u bersenggama di depan orang lain. Dalam hal ini tentu kita
harus selalu tunduk dan patuh kepada Allah swt dengan segala ketentuan-Nya dengan mengkaruniakan kita
malu naluri. Bila kita memiliki rasa malu terhadap diri sendiri dan juga kepada orang lain pasti kita akan
selalu menjaga aurat jangan sampai kelihatan dihadapan orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak
memiliki rasa malu harus diwaspadai, sebab kalau dia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin
baginya untuk merusak citra orang lain.
2. Malu imani (haya’imaniy), ialah rasa ma!u yang bisa mencegah seseorang dari melakukan perbuatan
maksiat karena takut kepada Allah swt. Setiap muslim haruslah memiliki sifat malu kepada Allah yang
sebenar-benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja, dan dalam situasi serta kondisi yang
bagaimanapun juga. Bukan hanya malu untuk menyimpang ketika berada di masjid dan sejenisnya, tapi
tidak malu-malu untuk melakukan penyimpangan di pasar, kantor, bahkan saat sendirian. Oleh karena itu,
menjadi sangat penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu sehingga tidak ada kejelekan
sedikitpun dari sifat malu tersebut.

3. Syukur.

Tanda keimanan seseorang yang amat penting adaiah selalu bersyukur. Allah swt meng-anugerahkan
nikmat yang banyak kepada manusia. Setiap detik dalam kehidupan manusia tidak akan pemah lepas
dengan yang namanya nikmat Allah swt.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia selalu bersyukur kepada Allah swt. Syukur berarti “berterima
kasih kepada Allah swt”. Dalam arti lain, syukur ialah memanfaatkan nikmat yang diberikan Allah swt
kepada kita sesuai dengan kehendak yang memberikannya.

Bersyukur mengandung banyak manfaat, diantaranya yaitu mengekalkan dan menambah nikmat itu pula
dengan nikmat yang lain yang berlimpah, Allah swt berfirman: “Sesunguhnya jika kamu bersyukur, pasti
kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya
azab-Ku sangatlah pedih” (QS Ibrahim [14]:7).

Ada tiga macam cara kita bersyukur kepada Allah swt:

1. Bersyukur dengan hati, yakni mengakui dan menyadari bahwa nikmat yang diperolehnya berasal dari
Allah swt.
2. Bersyukur dengan lisan, yaitu dengan mengucapkan “Alhamdulillah” yang berarti segala puji bagi
Allah.
3. Bersyukur dengan perbuatan, seperti melakukan perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntutan agama.

Allah swt melimpahkan nikmat yang banyak kepada manusia. Secara garis besar nikmat Allah terbagi atas
dua macam yaitu nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi alat untuk mencapai tujuan.

Ciri-ciri nikmat yang pertama adalah kekal, diliputi kebahagiaan dan kesenangan, sesuatu yang mungkin
dicapai, dan segala kebutuhan terpenuhi. Adapun nikmat yang kedua meliputi kebersihan jiwa dalam
bentuk iman dan akhlak yang mulia, kelebihan tubuh seperti kesehatan dan kekuatan, hal-hal yang
membawa kesenangan jasmani, seperti harta dan kekuasaan, dan hal-hal yang membawa sifat keutamaan
seperti pertolongan dan lindungan dariAllah swt.

4. Sabar.

Yang terakhir atau yang Keempat dari tanda keimanan seseorang yaitu sabar. Sabar berasal dari bahasa
Arab yaitu shabara-yashbiru-shabran yang artinya menahan atau mengekang.

Secara istilah sabar yaitu menahan diri dari bersikap, berbicara, dan bertingkah laku yang tidak dibenarkan
oleh Allah swt.

Sabar merupakan bagian yang penting dari iman. Dalam hadits yang diriwayatkan oieh Abu Nu’aim,
Rasulullah saw bersabda bahwa sabar adalah sebagian dari iman. Kedudukan sabar bagi iman sangat
penting, seperti kedudukan hari Arafah dalam ibadah haji.

Nabi saw melukiskan sabar sebagai barang yang sangat bernilai tinggi di surga. la juga pemah berkata,
“sabar terhadap sesuatu yang engkau benci merupakan kebajikan yang besar” (HR. At-Tirmidzi).

Sumber : Khairu Ummah Edisi ke-43 Tahun XVI

You might also like