You are on page 1of 26

Islam di Simpang Jalan

oleh Muhammad Asad

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

1. JALAN ISLAM YANG TERBUKA


Salah satu slogan yang paling khas dari zaman kita ini adalah "menaklukkan ruang". Alat-alat
perhubungan telah dikembangkan jauh melampaui impian generasi-generasi sebelumnya; dan
alat-alat baru ini telah menggerakkan peralihan barang-barang yang jauh lebih cepat dan jauh
lebih luas daripada yang pernah dikenal dalam sejarah ummat manusia sebelumnya.
Perkembangan ini menyebabkan saling bergantungnya bangsa-bangsa dalam bidang
perekonomian. Tidak ada satu bangsa atau satu golongan sekarang yang dapat bertahan untuk
tetap terpencil dari bagian dunia lainnya. Perkembangan ekonomi tidak lagi terbatas secara lokal;
sifatnya telah menjadi seluas dunia. Sekurang-kurangnya dalam kecenderungannya mengabaikan
batas-batas politik dan jarak-jarak geografis. Ini membawa dengan sendirinya --dan boleh jadi ini
bahkan lebih penting daripada, segi material masalah itu-- keperluan yang terus bertambah dari
suatu penyaluran bukan saja barang-barang dagangan tetapi juga pikiran dan nilai-nilai kultural.
Tetapi sementara kedua kekuatan itu, kekuatan ekonomik dan kultural, sering berjalan
bergandengan, ada perbedaan dalam hukum dinamikanya. Hukum-hukum dasar ekonomi
menuntut bahwa pertukaran barang antara bangsa-bangsa berlaku timbal balik; ini berarti bahwa
tidak ada satu bangsa yang dapat berlaku sebagai pembeli saja sedang bangsa-bangsa lain tetap
sebagai penjual; lambat laun masing-masing dari bangsa itu harus melakukan dua peranan
sekaligus, saling memberi dan menerima, baik secara langsung atau melalui perantaraan pelaku-
pelaku lain dalam panggung kekuatan-kekuatan ekonomik. Tetapi dalam bidang kultural hukum
besi pertukaran ini tidak mesti berlaku, sekurang-kurangnya tidak selalu tampak; ini berarti
bahwa penyaluran idea-idea dan pengaruh-pengaruh kultural tidak mesti berdasar di atas
prinsip memberi dan menerima. Adalah berhubungan dengan sifat manusia bahwa bangsa-
bangsa dan peradaban yang secara politik dan ekonomi lebih kuat menjadi suatu penarik yang
kuat atas golongan yang lebih lemah atau kurang aktif dan mempengaruhinya dalam bidang
intelektual dan kemasyarakatan, sedang yang kuat itu sendiri tidak terpengaruh. Demikianlah
keadaan sekarang mengenai perhubungan antara Barat dan dunia Islam.

Dari sudut pandangan peninjau historik pengaruh yang kuat dan sepihak yang dilakukan
peradaban Barat atas dunia Islam pada saat ini sama sekali tidak mengherankan, karena ini
merupakan hasil suatu proses sejarah yang panjang; untuk itu kami berikan beberapa analogi di
bagian lain. Tetapi sementara ahli sejarah itu mungkin puas sekedar itu, bagi sebagian kita
masalah ini tetap tidak terpecahkan. Bagi kita yang bukan hanya sekedar penonton-penonton
yang tertarik tetapi merupakan pelaku-pelaku yang sebenarnya dari drama ini, bagi kita yang
memandang diri kita sebagai pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw., masalah ini sebenarnya
mulai dari sini. Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan hanya
sikap spiritual, daripada jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang
berbeda-beda, tetapi merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan
dengan pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti halnya
sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan
menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita sendiri, kita wajib
menerangkan pada diri kita apakah pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-
kemungkinan kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai
serum yang menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun.

Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat diperoleh melalui analisa. Kita harus menemukan
kekuatan-kekuatan dasar dari kedua peradaban ini --peradaban Islam dan Barat modern-- dan
kemudian menyelidiki sejauh mana kerja sama antara keduanya dapat dilaksanakan. Dan karena
peradaban Islam pada hakekatnya adalah peradaban agama, pertama-tama kita harus berusaha
memberikan definisi pengaruh umum agama dalam kehidupan manusia.

Apa yang kita namakan "sikap agamawi" adalah akibat alami dari konstitusi intelektual dan
biologik. Manusia tidak sanggup menerangkan pada dirinya sendiri rahasia hidup, rahasia lahir
dan mati, rahasia ketidakterbatasan dan keabadian. Pemikirannya terhenti di hadapan dinding-
dinding yang tak tertembus. Oleh karena itu ia hanya dapat melakukan dua hal. Yang satu adalah
meninggalkan segala usaha untuk memahami hidup secara keseluruhan. Dalam hal ini manusia
akan bersandar atas bukti pengalaman-pengalaman lahir saja dan akan membatasi kesimpulan-
kesimpulannya pada bidangnya. Dengan demikian ia hanya sanggup mengerti fragmen-fragmen
tunggal daripada hidup, yang mungkin bertambah jumlahnya dan bertambah jelasnya secepat
atau selambat pertambahan pengetahuan manusia tentang alam, tetapi bagaimanapun juga selalu
hanya akan tetap tinggal fragmen-fragmen --cakupan dari keseluruhannya tetap di luar
perlengkapan metodik pemikiran manusia. Inilah jalan yang ditempuh ilmu-ilmu pengetahuan
alam. Kemungkinan lainnya --yang mungkin bergandengan dengan jalan ilmiah-- adalah jalan
agama. Agama membimbing manusia dengan jalan pengalaman batin, kebanyakan secara
intuitif, kepada penerimaan keterangan yang seragam tentang hidup pada umumnya atas dasar
pandangan bahwa ada satu Kuasa Kreatif yang maha tinggi yang mengatur alam semesta
menurut suatu rencana sebelumnya di atas dan di luar kesanggupan pengertian manusia. Seperti
baru dikatakan, konsepsi ini tidak perlu menjauhkan manusia dari penyelidikan tentang fakta-
fakta dan fragmen-fragmen hidup seperti yang dapat disaksikan dengan peninjauan lahir. Tidak
mesti ada suatu antagonisme antara pengertian lahir yang ilmiah dan penerimaan pengertian
batin yang religius. Tetapi yang disebut penerimaan pengertian religius dalam kenyataannya
adalah satu-satunya kemungkinan pemikiran untuk memahami seluruh hidup sebagai kesatuan
esensi dan kekuatan dasar; singkatnya, sebagai satu keseluruhan yang berimbang, yang
harmonis. Kata "harmonis" walaupun sudah sangat sering disalahgunakan, adalah sangat penting
dalam hubungan ini karena ia mencakup sikap yang bersangkutan dalam manusia sendiri. Orang
religius tahu bahwa segala apa yang terjadi padanya dan dalam dirinya tidak pernah dapat
merupakan hasil permainan buta dari kekuatan-kekuatan tanpa kesadaran-kesadaran dan tujuan;
ia percaya bahwa itu datang dari kehendak Tuhan yang sadar semata-mata dan oleh karena itu
secara organik terpadu dengan rencana semesta alam. Dalam jalan ini manusia diberi
kesanggupan untuk memecahkan pertentangan pahit antara wujud manusia --self-- dan dunia
obyektif tentang fakta-fakta dan wajah-wajah lahir yang disebut alam. Makhluk manusia dengan
segala mekanisma jiwanya yang rumit, dengan segala hasrat-hasrat dan ketakutan-ketakutannya,
perasaan-perasaan dan ketidakpastian spekulatifnya, melihat dirinya dihadapkan pada suatu alam
di mana kemurahan dan kekejaman, bahaya dan ketenteraman, tercampur aduk dalam satu cara
yang dahsyat yang tak teruraikan dan seperti bekerja atas garis-garis yang tampaknya berbeda
dari metoda-metoda dan struktur pikiran manusia. Falsafah intelektual murni atau ilmu
pengetahuan eksperimental melulu tidak pernah sanggup memecahkan konflik ini. Inilah justeru
titik di mana agama melangkah masuk.

Dalam sinar persepsi religius dan pengalaman, wujud manusia yang sadar-diri dan alam yang
bisu yang tampaknya tampaknya tidak bertanggungjawab dibawa ke dalam satu hubungan
harmonis spiritual: karena keduanya, kesadaran individu manusia dan alam yang melingkungi
dia serta yang ada dalam dirinya, tidaklah lain daripada manifestasi-manifestasi yang setara,
kalaupun berbeda, dari Kehendak Kreatif yang Satu dan sama. Maka manfaat besar yang
diberikan agama seperti itu atas manusia adalah penyadaran bahwa ia selalu, dan tidak pernah
dapat terlepas, dari satu kesatuan yang terencana baik dari gerak abadi Pencipta: suatu bagian
tertentu dalam organisme yang tidak terbatas dari bagan Rencana Universal. Konsekuensi
psikologik dari konsepsi ini adalah suatu perasaan yang dalam dari kepastian spiritual --yang
berimbang antara harap dan takut yang membedakan manusia religius yang positif -apapun
agamanya- dari manusia tidak religius.

Posisi dasar ini sama-sama terdapat pada seluruh agama-agama besar, apapun doktrin-doktrin
spesifiknya; dan yang sama pula bagi semua agama-agama besar itu adalah panggilan moral
kepada manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Kehendak Tuhan yang nyata itu. Tetapi
Islam, dan hanya Islam saja, melampaui penerangan dan dorongan teoritik ini. Islam tidak saja
mengajarkan kepada kita bahwa hidup pada keseluruhannya adalah satu dalam hakekatnya
--karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa-- tetapi Islam pun menunjukkan kepada kita jalan
praktis betapa setiap orang dari kita dapat berkembang, dalam batas-batas individualnya,
kesatuan pikiran dan tindakan, baik dalam wujudnya maupun dalam kesadarannya. Untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi itu, dalam Islam, manusia tidak dipaksa untuk
menyangkali dunia; tidak ada kekerasan dituntut untuk membuka pintu rahasia menuju
pemurnian spiritual, tidak ada penekanan atas pikiran untuk percaya pada dogma-dogma yang
tak dapat dimengerti untuk menjamin penyelamatan. Hal-hal semacam itu sama sekali asing bagi
Islam karena Islam bukanlah doktrin mistik dan bukan pula falsafah. Islam adalah program hidup
sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya; dan hasil
capaiannya yang paling tinggi ialah koordinasi yang sempurna daripada aspek-aspek spiritual
dan material kehidupan insani. Dalam ajaran-ajaran Islam kedua aspek ini bukan saja
"dipertemukan" satu sama lain dalam pengertian tidak meninggalkan konflik yang menempel
antara kehidupan jasadi dan moral manusia, tetapi kenyataan dari kerjasamanya dan paduannya
yang tak dapat dipisahkan ditekankan sebagai basis hidup yang alami.

Ini, saya pikir, adalah hikmah dari bentuk shalat yang khas dalam Islam, dimana konsentrasi
spiritual dan gerak jasmani tertentu saling terkordinasi. Kritikus-kritikus yang bersifat
bermusuhan terhadap Islam selalu menilik cara shalat itu sebagai bukti atas tuduhan mereka
bahwa Islam adalah agama formalisma dan lahiriah. Dan dalam kenyataannya ummat agama
lain, yang memisahkan "rohani" dan "jasadi" hampir dalam cara yang sama sebagai tukang susu
memisahkan krim dari susu, tidak mudah memahami bahwa dalam susu Islam asli, yang tidak
dicedok, kedua unsur itu walaupun berbeda dalam konstitusinya, namun sama-sama hidup secara
harmonis dan sama menyatakan dirinya. Dalam kata-kata lain shalat dalam Islam terdiri dari
konsentrasi mental dan gerak-gerik jasadi karena kehidupan insani sendiri adalah paduan
semacam itu, dan karena kita diharapkan untuk mendekati Allah melalui keseluruhan dari segala
karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita.

Suatu gambaran lebih lanjut dari sikap ini dapat dilihat dalam ibadah thawaf, upacara
mengelilingi Ka'bah di Makkah. Karena upacara itu termasuk dalam upacara wajib bagi setiap
orang yang menjalankan ibadah haji ke kota suci itu tujuh kali mengelilingi Ka'bah, dan karena
pelaksanaan ibadah ini adalah satu dari ketiga pokok terpenting dari ibadah haji, maka patutlah
kita bertanya: Apa hikmahnya ini? Apakah perlu kita menyatakan pengabdian kita dalam cara
formal semacam itu?

Jawabannya sangat jelas. Apabila kita bergerak mengikuti satu lingkaran, maka dengan begitu
kita menempatkan obyek itu sebagai titik pusat tindakan kita. Ka'bah, ke mana setiap Muslim
menghadapkan mukanya setiap shalat, melambangkan keesaan Tuhan. Gerak jasadi orang-orang
yang menjalankan ibadah haji dalam thawaf itu melambangkan aktivitas hidup manusia, bukan
saja pikiran-pikiran pengabdian kita tetapi juga kehidupan praktek kita, tindakan dan usaha-
usaha kita, harus mengandung idea tentang Allah dan keesaan-Nya sebagai pusatnya --sesuai
dengan kata-kata al-Qur'an:

"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qur'an
Suci, 51: 56).

Jadi konsepsi-konsepsi ibadah dalam Islam berbeda dari konsepsi agama-agama lain. Di sini
konsepsi ibadah itu tidak dibatasi pada praktek-praktek yang bersifat ibadah murni seperti shalat,
puasa, tetapi juga mencakup seluruh praktek kehidupan manusia. Apabila tujuan hidup kita
adalah mengabdi kepada Allah maka perlulah kita memandang hidup ini, dalam keseluruhan
aspek-aspeknya, sebagai satu tanggung jawab moral yang kompleks. Maka seluruh tindakan kita,
bahkan yang tampaknya kecil, harus dilakukan sebagai tindakan pengabdian, yaitu dilakukan
dengan sadar sebagai bagian dari rencana universal Tuhan. Hal-hal semacam ini merupakan
suatu ideal jauh bagi manusia yang berkesanggupan biasa; tetapi bukankah tujuan agama adalah
memberikan ideal-ideal kedalam kehidupan nyata?

Posisi Islam dalam pandangan ini tidak mungkin keliru. Islam pertama-tama mengajarkan
kepada kita bahwa pengabdian permanen kepada Allah dalam segala tindakan yang aneka ragam
dari kehidupan manusia adalah maksud sesungguhnya daripada hidup ini; dan kedua, bahwa
maksud ini tetap tidak akan mungkin tercapai selama kita membagi hidup kita dalam dua bagian,
yaitu yang spiritual dan material: keduanya harus terpadu bersama-sama dalam kesadaran dan
tindakan kita, kedalam satu keseluruhannya yang harmonis. Pengertian kita tentang keesaan
Allah harus direfleksikan kedalam perjuangan kita ke arah kordinasi dan penyeragaman dari
berbagai aspek kehidupan kita.

Suatu konsekuensi logis dari sikap ini adalah perbedaan selanjutnya antara Islam dan semua
sistem agama yang dikenal lainnya. Ini akan diperoleh dalam kenyataan bahwa Islam, sebagai
satu ajaran, menjamin untuk memberi batasan bukan saja hubungan metafisik antara manusia
dan Penciptanya tetapi juga --dan dengan tekanan yang hampir tidak kurang kuatnya-- hubungan
duniawi antara individual dan lingkungan masyarakatnya. Kehidupan duniawi tidaklah hanya
dianggap sebagai kulit kerang kosong, sebagai bayangan tidak berarti dari hari akhirat yang akan
datang, tetapi sebagai satu keseluruhan positif yang padu. Allah sendiri adalah Satu dan Esa,
bukan saja dalam hakekat tetapi juga dalam tujuan; dan oleh karena itu ciptaan-ciptaan-Nya
adalah satu kesatuan, mungkin dalam hakekatnya, tetapi pasti dalam tujuannya.

Ibadah kepada Allah dalam pengertian yang luas yang diterangkan di atas, menurut Islam,
memberi arti hidup manusia. Dan konsepsi ini saja yang menunjukkan kepada kita kemungkinan
bagi manusia mencapai kesempurnaan dalam kehidupan duniawi manusia individual. Dari segala
sistem agama hanya Islam saja yang menyatakan bahwa kesempurnaan individual dapat dicapai
dalam kehidupan duniawi kita. Islam tidak menangguhkan menepati ini hingga sesudah
penindasan apa yang disebut hasrat-hasrat 'jasadi' seperti ajaran Kristen; tidak pula Islam
menjanjikan suatu rangkaian belenggu reinkarnasi atas tingkat yang terus menaik seperti dalam
Hinduisme; tidak pula Islam setuju dengan ajaran Budhisme yang mengajarkan bahwa
penyempurnaan dan penyelamatan hanya dapat dicapai melalui pemusnahan wujud individual
dan hubungan emosionalnya dengan dunia. Tidak, Islam memberi tekanan dalam penegasan
bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam kehidupan duniawi individualnya dan
dengan membuat kegunaan penuh dari segala kemungkinan-kemungkinan duniawi dari
hidupnya.

Untuk menjauhkan salah pengertian, kata "sempurna" harus diberi batasan dalam pengertian
yang dipergunakan di sini. Sejauh berhubungan dengan makhluk manusia, yang terbatas secara
biologik, kita tidak dapat memandang idea kesempurnaan yang "mutlak" karena segala yang
mutlak hanya termasuk milik sifat Allah saja. Kesempurnaan manusia dalam pengertian
psikologik dan moral harus mengandung arti relatif dan individual. "Sempurna" di sini tidak
berarti memiliki segala sifat-sifat yang dapat dibayangkan, bahkan tidak pula mengandung arti
pengambilan secara progresif akan sifat-sifat baru dari luar, tetapi semata-mata pengembangan
sifat-sifat dari individual yang telah ada dan positif dalam cara demikian rupa sehingga
membangkitkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya yang apabila tidak demikian akan
tetap tidur. Berhubung dengan aneka ragam yang alami dari gejala-gejala hidup, sifat-sifat asli
manusia berbeda dalam setiap diri individual. Oleh karena itu maka akan keliru apabila kita
menganggp bahwa seluruh makhluk manusia harus atau bahkan dapat berjuang ke arah tipe
kesempurnaan yang satu dan sama --tepat sebagaimana akan keliru untuk mengharapkan seekor
kuda pacuan sempurna dan seekor kuda beban sempurna akan memiliki sifat-sifat yang sama.
Keduanya mungkin sempurna dan memuaskan secara individual, tetapi keduanya akan berbeda,
karena karakter aslinya berbeda.

Demikian pula halnya dengan makhluk manusia. Apabila kesempurnaan harus diberi ukuran
dalam tipe tertentu --seperti Kristen memberi ukuran dalam tipe pertapa suci-- manusia akan
harus menyerah atau mengubah atau menindas perbedaan-perbedaan individual mereka. Tetapi
ini jelas akan memperkosa hukum Ilahi tentang aneka ragam individual yang menempati segala
kehidupan di atas muka bumi ini. Oleh karena itu Islam, yang bukan agama penindasan,
memberikan kepada manusia, suatu wilayah yang sangat luas dalam kehidupan perorangan dan
kemasyarakatan, sehingga sifat-sifat yang aneka ragam itu, tabiat-tabiat dan kecenderungan
psikologik dari individu-individu yang berbeda-beda akan mendapatkan jalannya ke arah
perkembangan positif sesuai dengan pembawaan individualnya masing-masing. Dengan
demikian seseorang mungkin bersifat pertapa, atau ia boleh menikmati ukuran penuh dari
kemungkinan-kemungkinan penyaluran nafsunya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum; ia mungkin seorang pengembara di padang-padang gurun tanpa bekal makanan untuk
hari esok atau seorang kaya yang dikelilingi harta kekayaannya. Selama ia secara jujur dan sadar
patuh pada hukum-hukum perintah dan larangan Allah, ia bebas membentuk hidup individualnya
ke arah bentuk apa yang diarahkan oleh alam insaninya. Kewajibannya adalah membuat dirinya
sebaik mungkin sehingga ia dapat menghormati anugerah hidup yang dikaruniakan Penciptanya
kepadanya, dan menolong hidup sesamanya dengan jalan perkembangan dirinya sendiri, dalam
usaha-usaha spiritual, sosial dan material mereka. Tentang bentuk dari kehidupan individualnya
sekali-kali tidak dipastikan oleh suatu ukuran. Ia bebas membuat pilihannya dari antara segala
kemungkinan-kemungkinan halal yang tidak terbatas yang terbuka baginya.

Basis dari "liberalisme" ini dalam Islam terdapat dalam konsepsi bahwa alam insani asli pada
hakekatnya baik, berlawanan dengan idea Kristen bahwa manusia dilahirkan dengan dosa, atau
ajaran Hindu bahwa manusia asalnya rendah dan tidak suci dan terpaksa dengan pahitnya
melalui rantai transmigrasi-transmigrasi reinkarnasi yang panjang menuju tujuan terakhir
kesempurnaan, ajaran Islam menegaskan bahwa manusia dilahirkan suci dan --dalam pengertian
yang diterangkan di atas-- sempurna secara potensial. Ini dikatakan dalam al-Qur'an:

"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam struktur yang sebaik-baiknya,"

tetapi dalam nafas yang sama ayat itu dilanjutkan:

"dan kemudian kami turunkan dia pada kerendahan yang serendah-rendahnya; kecuali mereka
yang beriman dan beramal shaleh …" (Qur'an Suci, 95: 4-6).

Dalam ayat ini dilahirkan doktrin bahwa manusia pada aslinya baik dan suci dan dinyatakan pula
bahwa ketiadaan iman kepada Allah dan tidak adanya amal baik akan menghancurkan
kesempurnaan aslinya. Sebaliknya manusia dapat mempertahankan atau memperoleh lagi
kesempurnaan asli individual itu apabila ia menyadari dengan insaf akan keesaan Allah dan
berserah diri pada Hukum-hukum Ilahi. Jadi menurut Islam kejahatan itu sama sekali bukan
hakiki atau asli; kejahatan itu adalah akibat yang diperoleh dari kehidupan manusia
kemudiannya, dan disebabkan oleh penyalahgunaan sifat-sifat asli dan positif yang telah
dikaruniakan Allah pada setiap individu makhluk manusia. Sifat-sifat itu adalah, seperti telah
dikatakan lebih dahulu, berbeda dalam diri setiap diri individu tetapi selalu sempurna secara
potensial dalam diri sendiri; dan perkembangannya yang penuh adalah mungkin dalam jangka
waktu kehidupan manusia individu di muka bumi ini. Kita memang membenarkan bahwa
kehidupan sesudah mati, berhubung dengan kondisinya yang diubah tentang perasaan-perasaan
kesadaran, akan memberikan pada kita sifat-sifat dan kesanggupan-kesanggupan lain yang sama
sekali baru yang masih memungkinkan suatu kemajuan baru bagi jiwa manusia, tetapi ini hanya
menyangkut kita dalam kehidupan kita di hari kemudian saja. Dalam kehidupan di dunia ini juga,
ajaran Islam secara definitifif menegaskan, bahwa kita --setiap orang dari kita-- dapat mencapai
ukuran kesempurnaan yang penuh dengan jalan mengembangkan sifat-sifat yang secara positif
memang telah ada, yang membentuk individualitas-individualitas.
Dari segala agama hanya Islam yang memberikan kemungkinan bagi manusia untuk menikmati
ukuran sepenuhnya kehidupan duniawinya tanpa sekejap pun meninggalkan tujuan spiritualnya.
Betapa berbeda hal ini dari konsepsi Kristen. Menurut konsepsi Kristen, manusia jungkir balik
dalam belenggu dosa warisan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa dan oleh karena itu seluruh
hidup dianggap --sekurang-kurangnya dalam teori dogmatik-- sebagai lembah sengsara dan
kesedihan. Hidup merupakan medan pertempuran dua kekuatan: kejahatan yang diwakili oleh
setan, dan kebaikan yang diwakili oleh Yesus Kristus. Setan berusaha dengan segala godaan-
godaan jasadi untuk menghalang kemajuan jiwa menuju terang abadi; jiwa adalah milik Kristus
sedang jasad adalah lapangan tempat pengaruh setan. Orang dapat menerangkan dengan cara
lain: dunia materi pada hakekatnya adalah jahat sedang dunia ruh adalah Ilahi dan baik. Segala
sesuatu dalam alam insani yang material, --atau "carnal", seperti istilah yang lebih disukai dalam
theologia Kristen-- adalah hasil langsung dari penyerahan Adam kepada nasihat Pangeran Gelap
dan Jasadi dari neraka. Oleh karena itu maka untuk memperoleh keselamatannya manusia harus
memalingkan hatinya dari dunia daging ini ke arah hari kemudian, dunia spiritual, dimana "dosa
manusia" ditebus oleh pengorbanan Kristus di tiang salib.

Sekalipun umpamanya dogma ini tidak ditaati dalam prakteknya --dan tidak pernah
dipraktekkan-- adanya ajaran ini saja cenderung untuk menghasilkan suatu perasaan permanen
dari kesadaran buruk dalam diri orang yang punya kecenderungan religius. Ia dilemparkan
kedalam suatu gelanggang perjuangan antara panggilan penting untuk meninggalkan dunia dan
desakan alami dari hatinya untuk menikmati hidup ini. Idea tentang dosa yang tak terelakkan
karena diwariskan, dan tentang penebusan dosa --yang tidak dapat dipahami oleh pikiran
umum-- melalui penderitaan Yesus di tiang salib, menegakkan tembok pemisah antara hasrat
spiritual manusia dan hasratnya yang sejati untuk hidup.

Dalam Islam kita tidak mengenal dosa warisan; kita memandang hal itu tidak sesuai dengan idea
keadilan Allah. Allah tidak membuat seorang anak bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan
ayahnya dan betapa Ia akan membuat generasi-generasi ummat manusia yang tak terhitung
jumlahnya akan bertanggungjawab atas dosa karena pelanggaran yang dilakukan oleh nenek
moyangnya yang jauh? Tidaklah diragukan bahwa tidak mungkin menyusun keterangan falsafah
tentang anggapan aneh ini, tetapi bagi pikiran yang menjangkau jauh hal itu akan tetap sebagai
hal yang dibuat-buat dan tidak akan memuaskan seperti konsepsi tentang Tritunggal itu sendiri.
Dan karena tidak ada dosa warisan maka tidak ada pula penebusan dosa universal dalam ajaran
Islam. Setiap Muslim adalah penebus dosanya sendiri; ia memiliki segala kemungkinan-
kemungkinan sukses dan kegagalan spiritual dalam dirinya sendiri.

Dikatakan dalam al-Qur'an tentang keperibadian manusia:

"Bagi dia apa yang telah diterimanya, dan terhadap dia kejahatan yang dilakukannya." (Qur'an
Suci, 2: 286)

Ayat lainnya mengatakan:

"Tidak ada yang akan diperhitungkan bagi manusia, selain yang telah diusahakannya." (Qur'an
Suci, 53:39).
Tetapi apabila Islam tidak memiliki aspek hidup yang suram seperti yang dilahirkan oleh
Kristen, betapapun juga Islam tidak mengajarkan kepada kita untuk memberikan pada kehidupan
duniawi nilai yang dilebih-lebihkan seperti yang diberikan oleh peradaban Barat modern.
Sementara pandangan Kristen mengandung pengertian bahwa kehidupan duniawi adalah buruk,
Barat modern --seperti dibedakan dari Kristen-- memuja hidup dalam cara tepat sama seperti si
rakus memuja makannya; ia menelannya tetapi ia tidak punya respek terhadapnya. Sebaliknya
Islam memandang kehidupan duniawi dengan tenang dan dengan respek. Ia tidak memujanya,
tetapi memandangnya sebagai suatu tangga dalam perjalanan menuju kehidupan yang lebih
tinggi. Tetapi justru karena ia adalah tangga, dan tangga yang perlu pula, manusia tidak berhak
untuk menghinanya atau bahkan menganggap remeh nilai kehidupan duniawinya. Perjalanan kita
melintasi dunia ini adalah satu bagian yang pasti dan positif dalam rencana Allah. Oleh karena
itu kehidupan manusia bernilai sangat tinggi sekali; tetapi ia tidak boleh melupakan bahwa itu
hanyalah nilai instrumental, sebagai alat saja. Bagi Islam tidak ada tempat bagi optimisme
materialistik Barat modern yang mengatakan "Kerajaanku hanya di dunia ini saja" --tidak pula
ada tempat bagi sikap benci pada hidup seperti ucapan Kristen: "Kerajaanku bukanlah daripada
dunia ini." Islam menempuh jalan tengah; al-Qur'an mengajarkan manusia berdoa:

"Tuhan kami, berikanlah kiranya kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat."
(Quran Suci, 2:201)

Demikianlah penilaian penuh tentang dunia ini dan kebaikannya sama sekali bukan merupakan
halangan bagi usaha-usaha spiritual kita. Harta benda dikehendaki tetapi bukan merupakan
tujuan itu sendiri. Tujuan dari segala kegiatan praktek kita selalu harus berupa penciptaan dan
pemeliharaan syarat-syarat perorangan dan sosial yang dapat bermanfaat bagi perkembangan
tingkat moral dalam diri manusia. Sesuai dengan prinsip ini Islam membimbing manusia ke arah
kesadaran tanggung jawab moral dalam segala hal yang dilakukannya, besar ataupun kecil.
Perintah "Injil" yang terkenal: "Berikan kepada Kaisar kepunyaan Kaisar dan berikan kepada
Tuhan kepunyaan Tuhan" tidak ada tempatnya dalam struktur agama Islam, karena Islam tidak
mengakui adanya konflik antara tuntutan-tuntutan moral dalam kehidupan kita. Dalam segala hal
hanya ada satu pilihan: pilihan antara benar dan salah, tidak ada lain. Dari situlah datangnya
desakan kuat atas perbuatan sebagai satu unsur moralitas yang tidak dapat dilepaskan.

Setiap individu Muslim harus memandang dirinya secara pribadi bertanggungjawab atas segala
sesuatu yang terjadi di sekitar dia dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan memberantas
kejahatan pada setiap saat dan pada setiap arah. Dasar atas sikap ini terdapat dalam ayat al-
Qur'an:

"Kamu adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan kepada ummat manusia: kamu menganjurkan
kebenaran dan mencegah kemungkaran, dan kamu beriman kepada Allah." (Qur'an Suci, 3:110).

Inilah pembenaran moral terhadap peperangan Islam, suatu pembenaran terhadap penaklukan-
penaklukan Islam dan tentang apa yang sering ditunjukkan sebagai "imperialisme". Islam adalah
"imperialisme" apabila anda akan memaksakan istilah itu; tetapi "imperialisme" semacam ini
tidak terdorong oleh cinta akan kekuasaan, tidak ada hubungan dengan egoisme ekonomi dan
egoisme nasional, tidak ada sangkut paut dengan keserakahan untuk memperbesar kesenangan
kaum Muslimin atas kerugian orang lain; tidak pula itu dimaksudkan sebagai pemaksaan atas
orang-orang tidak beriman ke dalam rangkulan Islam. Sebagaimana halnya, itu hanya
dimaksudkan untuk pembangunan dunia demi perkembangan spiritual manusia sebaik mungkin.
Karena menurut ajaran Islam, pengetahuan moral secara otomatis memaksakan tanggung jawab
moral atas manusia. Pemisahan platonik melulu antara baik dan buruk tanpa desakan untuk
mengangkat kebaikan dan memberantas keburukan adalah immoralitas kasar dalam sendirinya.
Dalam Islam moralitas hidup dan mati bersama perjuangan manusia untuk menegakkan kejayaan
moralitas itu di muka bumi.

(sebelum, sesudah)

Islam di Simpang Jalan


Judul asli: Islam at the Crossroads
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan
Penterjemah: M. Hashem
Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967
Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.

Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di Dalamnya (2/3)

Neoplatonisme

Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang
paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah
kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah
besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya
Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus
yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu
mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber
penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak.
dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang
terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan
atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu
memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan
kaum Stoic.

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat
"inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia),
jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang
"Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond
being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak
terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu
"seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai
model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan
jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan
substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan
akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum
reinkarnasi.

Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang
lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak
bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin
mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme
deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu
berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah
identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras
(baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa
dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik
tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan
dalam alam raya.[10]

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran
tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau
Intelek, dan Jiwa.[11]

Aristotelianisme

Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi
sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang
sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme.
Bahkan sebetulnya para failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama"
(al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan
begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam
falsafah Islam.

Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan
orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.[12] Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah
falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.

Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan
berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak mudah,
dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus disebut di sini
ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan
melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.[13]

Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang mendapat perlakuan yang berbeda-
beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya, tidak
mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau
bertentangan dengan Trinitas Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan
jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani
yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda, yaitu Neo-platonisme
dengan unsur kuat Aristotelianisme.[14] Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist
oleh Ibn al-Nadim,

The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the
discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very important
details which may be supplied from the sequel: first, the manuseripts were certainly not written
in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as
well.[15]

(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di dunia Islam ada kaitannya dengan
diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun, kisah itu
menghilangkan dua rinci penting yang bisa melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu
pastilah tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan
Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).

Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim sudah
tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun
orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru
pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran dia sendiri saja,
melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran
Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada
falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim
menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani
sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen
Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial"
filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu
menjadi lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan
metafisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada
pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis menurut
metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan menjadi
menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-
kalam al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.[16]

(sebelum, sesudah)
ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Agama / Religion menurut falsafah Barat.

Para pemikir Barat tidak sepakat dalam memberikan definisi agama, masing-masing
menyifatkan agama dari sudut yang berbeza-beza. Hal ini menyebabkan kefahaman mereka
terhadap agama dangkal dan tidak adil terhadap Islam. Dalam Encyclopedia of Philosophy,
philosof-philosof terkenal memberikan definisi masing-masing, ada yang mengatakan agama itu
tidak lebih daripada konsep morality/ akhlak, ada juga yang mengatakan agama itu sesuatu yang
menyentuh hal-hal ruhaniyyah/spiritual sahaja, ada pula yang mendefinisikan agama dengan
ritual/upacara penyembahan.

Jadi dari sini kita dapat melihat pandangan Barat yang sempit terhadap agama. Walaupun
penilaian mereka itu berdasarkan realiti sebahagian agama yang ada di muka bumi ini, seperti
Nasrani, Hindu , Budha dll. Akan tetapi  pengertian Islam jauh berbeza dengan apa yang mereka
sifatkan sebagai agama, Islam bukan sekadar akhlak, bukan hanya ritual dan ibadah harian, dan
bukan juga untuk memenuhi segi spiritual kehidupan manusia, akan tetapi Islam merangkumi
semua itu dan ditambah  dengan banyak lagi pengertian yang tidak ada dalam agama lain selain
Islam.

Tidak hairanlah apabila agama selain Islam hanya menumpukan pada akhlak, spiritual,
dan ritual. Agama menurut pandangan mereka mesti terpisah dengan kehidupan nyata, agama
tidak boleh mencampuri hal politik, ekonomi dan sosial. Agama hanyalah tempat ritual yang
dikunjungi seminggu sekali dan hari-hari tertentu. Tetapi bagi kita ummat Islam apakah hal ini
berlaku pada Islam? Sejauh manakah peranan Islam dalam kehidupan manusia?

Pengaruh Positivism dan sekularisasi

 
 

Dari sejak kurun ke 4 sebelum Masehi lagi, falsafah adalah merupakan sumber pemikiran
Barat. Plato dan Aristotle menyifatkan alam  ini  berjalan dengan sendirinya (Being qua being),
tidak ada kaitan dengan kekuasaan tuhan.  Kemudian pada kurun ke 17 masehi Barat mengalami
paradigm shift (perubahan paradigma) mereka tidak lagi berkiblat pada falsafah aristotle, akan
tetapi mereka mula memberikan perhatian kepada falsafah yang baru muncul pada era
enlightment, yaitu positivisme. Dengan lahirnya paradigma yang dipelopori oleh Isaac Newton
ini, metaphysic (yang mana agama dimasukkan kedalam salah satu kategorinya) dipisahkan
daripada sains.  Sains dijadikan sesuatu yang mutlak, tidak diragukan kebenarannya kerana sains
dihasilkan melalui scientific methods (eksperimen, verifikasi dll.) sedangkan metaphysic dan
agama menurut Hume adalah berdasarkan illusi semata-mata. Dengan keangkuhan mereka
agama mula disudutkan, agama dikatakan opium yang merusak manusia.

Dalam era inilah  Sekularisasi dihasilkan sebagai senjata untuk melawan pengaruh agama
terhadap manusia. Menurut Prof. al-Attas (Pengetua ISTAC) Sekularisasi adalah suatu program
falsafah yang beroperasi untuk mematerialisasikan alam (disenchantment of nature) menafikan
kesakralan politik (desacralization of politics) menghapuskan nilai-nilai luhur (deconsecration
of values). Seorang sosiologis Jerman Max weber  tidak menafikan hal ini bahkan dia
menyimpulkan bahwa tujuan sekularisasi adalah untuk membebaskan alam ini dari pengaruh dan
tunjuk ajar agama.

Agama/ad-Din menurut Islam.

Agama atau bahasa arabnya ad-Din berasal dari asal kata da ya na. Dalam kamus arab
traditioanal ia memberikan banyak arti, dari berbagai makna dayana ada 4 pengertian yang
mempunyai hubung kait dengan agama menurut persepsi Islam:

1.      Dain/ qardh bermakna hutang. Dalam hal ini ia berkaitan rapat dengan kewujudan manusia
yang merupakan suatu hutang yang perlu dibayar(lihat surah al-Baqarah:245), manusia yang
berasal dari tiada kemudian dicipta dan dihidupkan lalu diberi berbagai nikmat yang tak
terhingga (wain tauddu). Sebagai peminjam kita sebenarnya tidak memiliki apa-apa, akan
tetapi Pemilik sebenar adalah Allah S.W.T manusia hanyalah diamanahkan untuk
dipergunakan dalam ibadah. Oleh kerana tidak memiliki apa-apa, manusia tidak dapat
membayar hutangnya  maka satu-satunya jalan untuk membalas budi adalah dengan
beribadah, dan menjadi hamba Allah yang mana adalah tujuan daripada penciptaan
manusia(al-Dhariyat:56).

2.      Maddana juga berasal dari kata dana, dari kata ini lahirlah istilah madinah dan  madani,
maddana yang bermakna membangun dan  bertamaddun, oleh itu madinah dan madani hanya
boleh digunakan untuk masyarakat yang beragama dan bukan sekular. Dari pengertian ini
juga kita lihat ianya berhubung kait dengan konsep khilafah dimana manusia telah
diamanahkan oleh Allah sebagai khalifahNya di muka bumi untuk memakmurkan  bumi dan
membangun tamadun yang sesuai dengan keinginan Allah(al-Qasas:5, al-Nur:55).

3.       Perkataan  dana juga mempunyai arti kerajaan (judicious power). Konsep ini sangat
berkaitan dengan tauhid uluhiyyah yang merupakan perkara paling penting dalam aqidah
Muslim. Seseorang itu tidak diterima imannya dengan hanya percaya kepada Allah sebagai
Rabb akan tetapi ia hendaklah iman kepada Allah sebagai Ilah. Ini bermakna Allah adalah
satu-satunya tuhan yang disembah, ditaati, dialah penguasa dan Raja.  Tauhid uluhiyyah ini
yang membezakan musyrikin dengan mu’minin. Dari sinilah lahirnya Istilah al-hakimiyyah
dimana seoarang muslim harus menerima Syari’at Allah dan tidak boleh tunduk kepada
undang-undang buatan manusia. Kerana Allah Yang maha bijaksana dan maha mengetahui
telah menetapkan hukum syari’ah yang sesuai untuk manusia untuk ditegakkan dan
dipatuhi(Yusuf:40,al-Nisa’:65).

4.      Pengertian yang lain ialah kecendrungan (inclination). Sudah menjadi fitrah manusia
diciptakan mempunyai kecendrungan untuk percaya kepada perkara yang supernatural,
percaya adanya tuhan yang mengatur alam semesta dan kuasa ghaib disebalik apa yang
dicerna oleh indera manusia. Inilah yang dinamakan dienul fitrah (al-Zukhruf:9, al-Rum:30)
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan seorang bayi itu lahir sebagai
seorang Muslim.

Dari beberapa definisi / maksud ad-Din menurut Islam seperti yang telah diterangkan diatas,
maka jelaslah agama menurut sudut pandangan Islam sangat berbeza dengan persepsi Barat,
agama dalam Islam adalah cara hidup, cara berfikir, berideologi, dan bertindak. Agama
meliputi sistem-sistem politik, ekonomi, sosial, undang-undang dan ketata-negaraan. Agama
berperan dalam membentuk pribadi insan kamil disamping juga membentuk masyarakat yang
ideal, agama menitik beratkan pembentukan moral dan spiritual sesebuah masyarakat tetapi
tidak lupa juga membangun tamadun dan membina empayar yang kukuh dan berwibawa
dimata dunia. Inilah yang dinamakan agama menurut Islam, jadi apa yang dianggap agama
oleh barat adalah bukan agama(tidak lengkap) menurut Islam, ataupun Islam bukan hanya
sekadar agama dalam pengertian Barat yang  sempit.

Islam berasal dari kata as la ma yang dari segi bahasa bermakna berserah diri. Ini tidak
berarti setiap orang yang berserah diri dan percaya adanya tuhan termasuk dalam Islam, oleh
kerana berserah diri sahaja tidak cukup untuk masuk Islam. Al-Qur’an menerangkan bahwa ada
dua jenis berserah diri/tunduk (ali Imran:83): (a). seluruh ciptaan Allah tunduk kepada hukum
Allah dengan terpaksa. (b) Ada juga yang berserah diri dengan keinginan sendiri (tau’an) mereka
adalah orang mukmin(al-An’am:162,163). Agama selain islam tidak diterima oleh Allah (Ali
Imran:19,85)

Keislaman seseorang itu bergantung kepada kefahamannya terhadap kalimah Lailaha illallah
Muhammadarrasulullah, Lailaha illallah merumuskan konsep tauhid uluhiyyah yang mana
orang musyrikin terkeluar daripada Islam, demikian juga orang yang menuhankan hawa nafsu
dan tidak mahu tunduk kepada hukum Allah. Adapun dengan kalimah Muhammadarrasulullah
terkeluarlah orang-orang yang tidak mengakui Muhammad sebagai nabi dan Rasul, tunduk dan
Iman  kepada Allah tidak diterima apabila mengingkari Nabi . Sunnah yang dibawanya adalah
wajib dipegang , ibadah seorang Muslim tidak diterima apabila sesuatu itu tidak disyari’atkan
dan disunnahkan.

Ciri-ciri Islam syumul.

Setelah kita mengkaji pengertian agama menurut Barat dan terserlahnya  perbedaan agama
Islam dengan agama-agama lain ada baiknya kita mengetahui ciri-ciri Islam itu sendiri, kerana
dengan mengetahui ciri-ciri ini kita dapat mengetahui keistimewaan Islam.

1.      Rabbaniyyah. Bahwa Islam adalah agama yang secara sah dan rasmi diturunkan oleh Allah. 
Syari’at yang ada didalamnya adalah wahyu, bukan ciptaan manusia bahkan bukan juga
rekaan Nabi (Yunus:15). Ini bermakna Islam adalah agama untuk seluruh ummat manusia di
mana juga mereka berada dan hingga ke akhir zaman (al-Anbiya’:107).
2.      Agama Islam itu bersesuaian dengan fitrah dan akal manusia. Segala hukum yang telah
diturunkan oleh Allah tidak bertentangan dengan akal sehat manusia, bahkan akal tersebut
jika betul-betul digunakan ia akan menemukan keagungan dan keesaan Allah. Adapun yang
nampak bertentangan ialah kerana akal manusia(kerana keterbatasannya) tidak dapat
memahami dan mentafsirkan apa yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh Allah. Segala apa
yang disyari’atkan itu pada hakikatnya sesuai dan menepati fitrah manusia, kerana Allah
sajalah yang amat mengetahui hakikat dan kejadian manusia(al-Rum:30,al-Baqarah:164).

3.      Agama Islam itu mudah dan Jelas. Allah tidak mensyari’atkan sesuatu yang diluar
kemampuan manusia, disamping itu juga Allah telah memberikan keringanan (rukhsah) pada
keadaan-keadaan tertentu. Di dalam Islam tidak ada sesuatu ayng sulit difahami kerana
kerumitannya. Asas tauhid Islam jelas kerana segalanya telah diterangkan oleh al-Qur’an,
tidak ditokok-tambahkan oleh golongan tertentu, sebagaimana yang terjadi pada sebahagian
agama. Seseorang itu mempunyai akses langsung kepada Allah tanpa perlu adanya perantara,
semua orang sama taraf disisi Allah. Dalam Islam tidak ada pendeta-pendeta yang
mengatasnamakan tuhan dan mempunyai hak istimewa ditaati dan memberikan ampunan.

4.      Syumuliyyah. Ini bermakna bahwa islam memberikan teori yang lengkap dan mendalam
tentang alam semesta bagaimana ia diciptakan, ciri-cirinya dan bagaimana ia berjalan
mengikuti ketetapan Allah. Begitu juga tentang penciptaan manusia dan kehidupan.

5.      Agama Islam juga bercirikan al-wasatiyyah atau tawazun (moderate). Posisi Islam tidak
terlalu menumpukan pada ruhaniyyah sehingga melupakan material, Islam merangkumi
dunia dan akhirat tidak menumpukan pada akhirat sehingga melupakan dunia dan Islam juga
tidak menghinakan dunia, akan tetapi menempatkannya pada tempat yang betul. Islam juga 
memberikan gambaran yang tidak ekstrim dalam sesuatu hal tetapi tegas dalam hal yang
berkaitan dengan prinsip, individu dan masyarakat sama pentingnya tidak boleh
mengorbankan maslahah orang ramai demi kepentingan individu tetapi tidak pula maslahah
orang ramai dijadikan legalisasi untuk mengorbankan kepentingan individu.

6.      Al-ijabiyyah, Islam adalah agama yang  positif. Islam memberikan kesan yang positif dalam
kehidupan manusia, hubungannya dengan sesama manusia dan hubungannya dengan Allah
akan semakin erat. Ini dapat dibuktikan dengan kehidupan seorang muslim yang lebih tenang
dan bahagia dibanding dengan orang tidak beragama atau yang beragama lain. Seorang
muslim tahu akan kebahagiaan sebenar yang jauh dari materialistic, ia selalu merasa adanya
perlindungan dan rahmat Allah.

7.      Agama Islam juga adalah agama yang realistic (al-waqi’iyah), tidak idealis. Setiap hukum
dalam Islam mengambil kira keadaan manusia dan memberikan keringanan bila berhalangan.
Oleh kerana itu  tidak boleh dikatakan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, kerana
fiqih Islam sebenarnya dapat menjawab segala masalah/perkembangan baru dalam kehidupan
manusia, selama pintu ijtihad terbuka kepada mujtahid.

8.      Agama Islam bersifat teguh dan tidak berubah. Syari’at yang Allah tetapkan tidak akan
berubah, ini berbeza dengan undang-undang manusia yang selalu berubah dan  dipinda.
Tidak ada yang kurang lengkap atau yang salah dalam Syariat Allah, adapun yang
berkembang dalam fiqih Islam itu adalah Ijtihad, masing-masing ulama berijtihad sesuai
dengan keadaan dan perkembangan semasa, dengan syarat tidak bercanggah dengan nash
yang telah ada dalam Qur’an dan Sunnah.

Kefahaman Islam yang menyeluruh / Syumul.

Dari kajian tentang agama tadi kita dapat menyimpulkan bahawa Islam bukanlah sekadar
agama yang membangun spiritual sesuatu masyrakat, Islam tidak cukup dengan menjalankan
solat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Pandangan yang sempit terhadap Islam adalah hasil
sekularisasi, dengan tidak disedari telah merasuk kedalam pemikiran ummat Islam.

            Lebih daripada itu Islam adalah cara hidup (way of life). Agama Islam memberi jawapan
kepada pertanyaan abadi  kehidupan (eternal question of life ) pertanyaan tersebut adalah
darimanakah asal-usul manusia? Kemanakah mereka akan pergi dan apakah arti kehidupan ini?.
Dari mula lagi Islam telah  memberikan jawapan kepada persoalan tersebut dengan jelas. Bahkan
menyediakan jalan bagaimana manusia harus hidup agar mereka tidak sia-sia dan sesat dengan
menerangkan bahwa satu-satunya cara untuk selamat adalah dengan menuju kearah al-sirat al-
mustaqim (jalan yang lurus)

Selain mambangun insan yang bermoral Islam juga membangun tamadun yang luhur,
Islam tidak sepatutnya dipisahkan dari politik dan kemasyarakatan. Manusia sebagai khalifah
berfungsi untuk memastikan hukum Syari’at Allah berlaku di bumi ini. Hal ini dibuktikan
dengan fakta bahwa nabi sendiri membangun sebuah negara dan mengatur sistem
kemasyarakatan (sosial order). Bahkan sebenarnya Islam tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya
tanpa tegaknya negara Islam yang bertanggungjawab melaksanakan Syari’at Allah.

Konsep Ibadah dalam Islam jauh lebih luas daripada apa yang dinamakan sembahyang
dalam sesuatu agama. Worship atau  sembahyang tidak dapat disamakan dengan ibadah. Ibadah
sepertimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah adalah istilah yang merangkumi segal
perbuatan yang disenangi dan diredhai Allah S.W.T. Oleh kerananya ibadah itu dapat terlaksana
dengan mematuhi segala apa yang diperintahkan Allah. Dengan kata lain Ibadah merupakan
gambaran yang menyeluruh daripada agama (ad-din).

 
Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam

A. Nisbab antara filsafat dan ilmu agama

Dalam jadwal kuliah madrasah besar pengajaran filsafat tidak masuk teras matakuliah pokok,
tetapi digolongkan dalam 'ulum al-ajam (ilmu-ilmu asing). Artinya tidak langsung bertempat
antara ulum al-din (ilmu-ilmu agama) yang berdasarkan tradisi dan disebut 'ulum al-naqliyyah.
Dilihat dari segi lain, filsafat, bersama dengan ilmu mantik dan filologi (lughat, nahwat, sarf dan
adab), dipergunakan sebagai ilmu alat ('aliyyah).

Kedudukan filsafat sebagai asing atau sebagai alat saja jelas berkaitan dengan takrif teologi. L.
GARDET mendefinisikan teologi muslim sebagai apologi defensif. Teologi hanya perlu
diperhatikan sewaktu-waktu, yaitu bila dalil-dalil agama diragukan oleh orang di dalam atau
diserang dari luar . Karena itu AL-GHAZALI memperbandingkan teologi dengan obat untuk
orang sakit, bukan dengan gizi untuk orang sehat. Pada ketika ajaran agama menjadi "quieta
possessio" (milik aman tak terancam) teologi dapat dibebastugaskan, seperti ditulis oleh b.
TAYMIAH. Definisi GARDET tersebut disetujui pada masa sekarang oleh FADLOU
SHEHADI, ISMAIL FAROUQI dan a. HANAFI (Pengantar theology Islam, Yogyakarta 1967,
126-127).

Jadi terdapat perbedaan besar dengan faham katolik yang mengharapkan dari "intellectus
quaerens fidem " (akal menyelidiki isi iman) suatu sumbangan substansiil untuk integrasi akal
dan iman dan pembinaan sintese teologis spekulatif.

Karena syarat untuk hidup filsafat dalam Islam itu, maka para filsuf harus merebut
kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai pendukung, pembela dan juru penerangan agama.
Berkali-kali mereka mencoba hal itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka
ditampik sebagai tidak memenuhi syarat.

B. Penolakan filsafat

Kontak pertama dengan dinamik filsafat Yunani mengobar-ngobarkan semangat besar untuk
berfilsafat dan untuk memperluas cakrawala budi di luar batas-batas dari pelajaran hukum (fiqh).
Para peminat filsafat yang pertama belum menyusun sistem, hanya memetik beberapa buah
fikiran dari khazanah Yunani. Nafsu mereka untuk mengecap buah terlarang itu mengakibatkan
kecurigaan pada fihak fuqaha. Dalam dua pernyataan, yang digabungkan dengan ahli fiqh ABU
HANIF A (w. 767), yaitu FIQH AKBAR I dan AL-WASIYAT, dirumuskan 37 fasal yang tidak
boleh diganggu-gugat oleh kaum filsuf . Gerakan MUTAZILA masuk lebih dalam istana filsafat.
Maka dalam FIQH AKBAR II, di mana pengaruh AL-ASH' ARI menampak ( ± 935),
dikeluarkan pernyataan resmi (29 fasal) yang membatasi penelitian bebas oleh kaum filsuf.
Gerakan FALSAFAH hellenistis memperuncing ketegangan antara akal dan iman. Reaksi para
ulama berbentuk aneka warna. Dalam FIQH AKBAR III (abad XI) filsafat dalam 33 fasal ditolak
sebagai bid'ah, kufurat, zandiq, mulhid, haram dan majuzi. Al-Tahafut menghitamkan ajaran
filsafat secara sistematis dan menyudahi kegiatan filsafat di khalifat timur. Pada tahun 1196
Sultan ABU YUSUF AL-NASIR melarang dengan keras pelajaran filsafat dalam seluruh daerah
kekuasaannya di barat. Perlawanan selanjutnya tampak dalam buku-buku seperti "Al-radd ala'I-
mantiq", karangan b. TAYMIAH (1300), "lbtal al-falsafah" karangan b. KHALDUN (1400),
yang dalam jadwal ilmu pengetahuan mendaftarkan falsafat dalam golongan ilmu-ilmu tolol
setingkat dengan sihir, tenung, alkemi dan klenik (The Muqadimmah, terj. F. ROSENTHAL, cet.
2, New York 1967, III 152-153; 246-258). Akhirnya terbitlah "Tahafut al-falsafah", disusun oleh
KHAJAZADAH atas perintah sultan Turki Osmanli Mehmed Il (1451 -1481).

Betapa hebat serangan anti filsafat itu dapat dimengerti dari fatwa seorang mu'allim di madrasah
Dar al-hadith di Dimashq, yaitu IBN AL-SALEH TAHI'UDDIN ABU AMR 'UTHMAN AL-
KURDI AL-SHAH- RAZURI (1182 -1245), yang mengatakan:

"Filsafat merupakan pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan.
Barangsiapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebajikan shari'at suci. Siapa
mempelajarinya, maka di diiringi kehinaan, tertutup bagi kebenaran dan tergoda oleh setan Para
ulama menyelami lautan kebenaran dan bahasan tanpa ilmu mantik atau filsafat. Barangsiapa
berpendapat bahwa kedua ilmu berfaedah, maka dia telah dibujuk dan ditipu oleh setan. Para
penguasa wajib memecat mereka dari pengajaran dan memenjarakannya" (bdk. E I, III, 927;
Hanafi, Pengantar filsafat Islam OC. 27-28).

Suara peringatan seperti itu bernafas panjang dan bergema jauh. MUH. ABDUH menasehati,
agar madhhab filsafat berhenti bicara saja (Risalah Tauhid, terj. H. FIRDAUS, Jakarta 1963, 80).
H. MUNAWAR CHALIL menyerukan, agar kaum muslim takut akan pemakaian akal, pikiran
dan ra'y dalam urusan agama (Kembali kepada al-Qur.an dan assunah, Jakarta 1956, 118-126).
Filsafat mengacaukan jalan pikiran benar (HAMKA, Pelajaran agama Islam, Jakarta 1956, 162-
169). H. RASHIDI memasang rambu bahaya pada jalan filsafat; itulah jalan ke kufurat
(Penyuluh Agama, 1956, 17) dst.

C. Pujian kepada para filsuf kuno

Berselang-seling dengan rambu "Awas Bahaya" dilihat juga tugu-tugu kenang-kenangan.


Sering dibaca sekarang, bahwa ummat Islam berhak membanggakan diri atas nilai filsafat
ajarannya dan atas para filsuf termashur yang lahir di tengah-tengah mereka.

Mengenai ujud pertama dibuktikan, bahwa pelaksanaan arkan al-islam menghasilkan


manfaat besar. Misalnya puasa berguna untuk kesehatan, sikap badan dalam salat
melemaskan sendi tulang dan memperpanjang usia, manasik haji mempererat ikatan
persaudaraan antara bangsa-bangsa dll. Hasil baik itu disebut hikmah atau filsafat rukun
(misalnya. H. ASHSHIDI- QY, Ideologi Islam, Medan, tt.). Syukurlah bahwa hasil baik itu
menyusul. Hanya saja sebaiknya tidak diberikan predikat filsafat. Nama tepat untuk hal
itu adalah: akibat pragmatis dari kewajiban terhadap Tuhan.
Secara tidak langsung filsafat dipuji oleh perbandingan antara alim ulama dahulu dengan
tokoh-tokoh filsafat baru. Misalnya: AL-GHAZALI disebut Kant atau Bergson Islam;
IQBAL dijuluki Descartes Islam; AL- ASH' ARI, Leibnitz Islam (bdk. Gema Islam 2, 1962,
22; 3, 1962, 9-10). AL- GHAZALI juga digelari sebagai Descartes daIi David Hume Islam
(M. NAT- SIR, Capita Selecta, Jakarta 1957, 20, 179, 201). Perbandingan itu, bila
dipikirkan dengan konsekwen, memuat penilaian positif terhadap para filsuf kuno dan
mengandung kemungkinan - siapa tahu ? kehidupan kembali filsafat di dalam Islam.

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.cybermq.com dari browser ponsel anda!

HUBUNGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL


Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.

Jawaban untuk saudara Indonesian Man alias IM.

Saudara Indonesian Man alias IM, tanggal 2 Nopember 1999 lewat apakabar
http://www.indopubs.com/archives/ telah menyampaikan buah pikirannya yang
diselipi dengan pertanyaan yang menyangkut apabila terjadi
penyelewengan-penyelewengan di Daulah Islam Rasulullah dan rasio perbandingan
antara negara-negara yang berlandaskan sekularisme dengan negara "agamis".

Saudara IM menulis:

"Tanya, Pak Ahmad S. Lama saya sudah mengikuti tulisan Ahmad Sudirman dengan
wacana Negara Islamnya. Sengaja saya biarkan dia mengumpulkan data-data analisis
sebanyak mungkin, dan saya sudah lama pula menyiapkan sedikit pertanyaan untuk
Ahmad.

1. Jika Negara berdasarkan agama benar-benar terlaksana. (Saya yakin tujuan ini
adalah tujuan positip). Namun suatu ketika, negara yang sudah berdasarkan agama
itu korup - Mohon jangan dibilang itu tak mungkin terjadi, dsb. Karena semua
manusia, termasuk ulama, pastor, pendeta dsb. bisa saja nyeleweng. namanya
manusia - Jika ini terjadi (penyelewengan, korupsi, kebobrokan, dsb.) logika
bisa dibalik: Berarti Agama yang mendasari pembentukan negara tersebut adalah
juga bobrok. Tolong dijawab. Jadi, menurut logika saya, sebaiknya agama (apapun,
baik Kristen Katolik, Islam, Hindu, Budha, dsb.) itu tak perlu dicampuradukkan
dengan kehidupan duniawi. Kemurnian agama justru akan lebih terjaga saat agama
tidak dicampuradukkan ke dalam urusan duniawi. Hindarkan pemakaian agama sebagai
kuda tungganagan atau kendaraan politik-contoh kasus: Habibie. Itu akan lebih
menjaga umat untuk lebih berkonsentrasi menjalankan ibadah tanpa harus terganggu
urusan berpolitik.

2. Mohon juga dijawab hal ini. Bagaimana rasio/perbandingan negara-negara maju


antara negara sekular dengan negara agamis? Negara-negara sekular adalah
pencetus di bidang teknologi, sains, demokrasi dan HAM. Bagaimana situasi di
Swedia? Bayangkan kalau Swedia jadi negara agama Kristen, misalnya. Jika Bapak
Ahmad bisa menjawab kedua pertanyaan di atas dengan lugas dan masuk akal,
silakan meneruskan wacana negara agama anda. Tapi kalau tidak.. sorry saja.
Salam. ( IM, 2 Nopember 1999).

Baiklah saudara IM.

Saudara IM bertanya pakai logika, maka saya-pun menjawab berdasarkan logika.

ISLAM MENGATUR HUBUNGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL

Islam memandang sesuatu dari dua sudut pandang sekaligus yaitu, pandangan ke
dunia sekarang ini dan pandangan ke hari kemudian. Artinya, kehidupan di dunia
ini, baik yang menyangkut kehidupan yang bersifat materi, sosial, politis,
ekonomi, teknologi, individu, masyarakat, pemerintahan, negara tidak bisa
dilepaskan dari ibadah kepada Tuhan. Mengapa? Karena Islam adalah bukan hanya
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, tetapi mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia lainnya. Kedua-duanya adalah ibadah. Inilah
kuncinya dalam Islam.

Hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya telah diatur dalam bentuk hukum-hukum
yang telah ditentukan Tuhan berdasarkan kepada apa yang telah tercantum dalam
Firman-Nya dan apa yang telah dicontohkan Rasul-Nya Muhammad saw.

Begitu juga dalam hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik itu dalam
hubungan keluarga, masyarakat, pemerintahan, negara, Islam telah memberikan
Garis-Garis Besar Haluan untuk dijadikan sebagai acuan dalam rangka menempuh
kehidupan di dunia ini, sebagai bekal kelak di hari kemudian. Karena apa yang
akan diperoleh di hari kemudian adalah tergantung dari apa yang telah dilakukan
di dunia sekarang ini.

Jadi logikanya adalah, perilaku manusia yang yakin kepada Tuhannya dengan
mengikuti dan menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya, tanpa pembangkangan
dan hanya penuh dengan penerimaan dan kepasrahan, maka hasil dari perilakunya
itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan hasil usaha menurut kemampuannya
masing-masing.

Nah sekarang, dalam penerapan dan pelaksaan hubungan antar manusia ini, Tuhan
telah memberikan GBHN-Nya kepada ummat manusia untuk dijadikan sebagai pedoman
dalam kehidupan, dari mulai kehidupan pribadi, masyarakat, pemerintahan, negara,
sosial, politik, ekonomi dan teknologi.

Karena itu, Islam tidak mengenal hanya satu hubungan, melainkan Islam memberikan
dua hubungan, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Artinya, hubungan
langsung kepada Tuhan dan hubungan langsung antar manusia.

KESALAHAN BESAR MEMISAHKAN HUBUNGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL

Suatu kesalahan besar, apabila sekarang ada kaum muslimin yang menginginkan
pemisahan dari kedua hubungan tersebut. Apabila hubungan vertikal dipisahkan
dari hubungan horizontal, maka akhirnya manusia akan mengalami kepincangan.

Mengapa? Karena manusia akan kehilangan keseimbangan. Berpegang hanya ke jalur


vertikal saja, maka manusia akan kehilangan sifat kebersamaanya, bukan hanya
dalam segi pergaulan saja, tetapi juga kehilangan dalam segi hubungan sosial,
kemasyarakatan, politik, ekonomi, pemerintahan dan negara. Sebaliknya, apabila
hanya berpegang ke jalur horizontal saja, maka manusia akan bebas berbuat sesuai
dengan apa yang menurut jalan pikirannya baik, tanpa perlu mendengar kepada apa
yang telah ditetapkan oleh sang Pencipta, yaitu Tuhan, karena dianggap Tuhan
tidak perlu ikut campur dalam urusan masyarakat, pemerintahan dan negara.

Keadaan yang bersifat hubungan horizontal inilah sekarang telah melanda hampir
diseluruh dunia. Mereka merasa bebas, menentukan apa yang dianggap oleh individu
dan kelompok baik berdasarkan hasil pikirannya, tanpa melibatkan nilai-nilai
yang datang dari Tuhan. Dan mereka itulah yang mayoritas hidup di negara-negara
yang menganut paham sekularisme, yaitu suatu paham yang tidak mendasarkan
moralitas kepada dasar ajaran agama.

PENYELEWENGAN BUKAN KARENA AGAMA YANG BOBROK

Nah sekarang, saya masuk kepada pertanyaan saudara IM, yaitu, "Jika Negara
berdasarkan agama benar-benar terlaksana, kemudian terjadi penyelewengan,
korupsi, kebobrokan, dsb logika bisa dibalik: Berarti Agama yang mendasari
pembentukan negara tersebut adalah juga bobrok?".
Jawabannya adalah pembalikan logika tersebut sepintas bisa dianggap benar,
tetapi bila ditelaah lebih mendalam ternyata salah, mengapa? Karena, manusia
adalah bukan malaikat. (Catatan: malaikat tidak pernah melakukan pembangkangan
terhadap perintah Tuhan-nya).

Justru, karena manusia adalah bukan malaikat, maka perlu diberikan Garis-Garis
Besar Haluan yang datang dari Tuhan untuk dijadikan sebagai bahan pembimbing dan
petunjuk jalan untuk menempuh kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
bernegara. Karena, Garis-Garis Besar Haluan hasil pemikiran manusia tidak bisa
dijadikan sebagai standard aturan dan hukum, karena nilanya relatif dan nisbi.

PERLU GARIS BESAR HALUAN PEMBIMBING DARI TUHAN

Nah, apabila terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa
muslim di Daulah Islam Rasulullah (DIR), maka itu disebabkan oleh

1. Aqidahnya yang masih lemah.


2. Dorongan nafsunya masih bisa mengalahkan dorongan pikiran dan hati nuraninya.

3. Dorongan untuk berkuasa lebih besar dari dorongan untuk melaksanakan amanah.
4. Dorongan untuk mementingkan diri dan keluarga lebih besar dari dorongan untuk
mementingkan rakyat banyak.
5. Dorongan tidak mau kalah lebih besar dari pada mau menerima dan mengakui
kesalahan.
6. Dorongan yang egois lebih besar dibanding dengan dorongan yang mengarah
kepada tolerasi dan saling hormat.
7. Dorongan ingin bebas dari ikatan agama.

Tentu saja akan ada yang menyanggah, itu kan sifat-sifat manusia yang umum yang
bisa terjadi pada setiap manusia di negara manapun, tanpa ada hubungannya dengan
agama.

Memang, justru karena manusia punya sifat-sifat umum itulah perlu adanya
garis-garis pembimbing yang tidak relatif sifatnya, artinya dimanapun, kapanpun
harus mempunyai nilai yang sama. Nah, garis pembimbing yang tidak relatif
sifatnya inilah yang diperlukan oleh manusia.

Dan garis pembimbing yang tidak relatif sifatnya ini adalah bukan hasil
pemikiran manusia yang nisbi sifatnya, melainkan garis pembimbing yang datangnya
dari Sang Pencipta manusia itu sendiri, yaitu Tuhan.

Jadi kembali kepada penyebab penyelewengan yang dilakukan oleh para penguasa DIR
adalah bukan disebabkan oleh dasar aqidah Islam-nya yang bokbrok (seperti yang
dilogikakan oleh IM), melainkan disebabkan oleh manusianya atau penganutnya.

BEDA ANTARA ISLAM DAN PANCASILA

Tentu saja, akan timbul pertanyaan, kalau begitu apa bedanya dengan Pancasila?
Misalnya, Soekarno yang diktator, yang salah bukan falsafah negaranya, tetapi
diri Soekarno sendiri. Begitu juga dengan Soeharto, dimana dia menjadi seorang
yang diktator sekaligus koruptor, bukan salah pancasila, tetapi yang salah
adalah dirinya.

Benar, kalau dilihat sepintas. Tetapi, coba lihat dan dalami apa itu pancasila,
dan apa itu Islam. Jelas, tidak bisa dibandingkan. Islam adalah agama, sedangkan
pancasila adalah merupakan falsafah dan hasil pemikiran panitia sembilan. Adakah
pancasila memberikan jalan dan bimbingan yang berlaku untuk semua manusia tanpa
memandang suku, ras, bangsa, nasionalitas?.

Jelas, pancasila hanyalah penjabaran dari nilai-nilai umum yang memang sudah ada
disetiap negara yang didasarkan kepada hasil pemikiran manusia yang relatif dan
nisbi sifatnya, seperti nilai kebangsaan, persatuan, kemanusiaan, kesejahteraan,
musyawarah. Dimana nilai-nilai itu memang sudah menjadi nilai umum. Misalnya,
nilai kesejahteraan rakyat menurut orang-orang yang menganut paham sosialis,
berbeda dengan kesejahteraan menurut orang yang menganut paham kapitalis, juga
berlainan menurut pandangan orang yang berpaham komunis. Jadi apa yang dimanakan
kesejahteraan adalah relatif dan nisbi sifatnya.

Jadi nilai-nilai yang berasal dari hasil pemikiran manusia tersebut tidak bisa
dijadikan sebagai standar moral yang mutlak yang mampu menjadi garis pembimbing
manusia untuk menuju kepada tingkat peradaban manusia yang lebih tinggi menurut
pandangan Tuhan.

RASIO PERBANDINGAN KEMAJUAN MANUSIA DILIHAT DARI SEKULARISME

Selanjutnya mengenai bagaimana rasio perbandingan negara-negara maju yang


sekuler dengan negara "agamis".

Nah, disini tergantung darimana kita melihat. Kalau melihat dari sudut pandang
sekularisme, yang mendasarkan moral bukan dari agama, maka kemajuan yang
sifatnya materi menjadi suatu ukuran dan patokan. Misalnya, berapa GNP
perkapita, nilai standar hidup materi, majunya dalam bidang industri,
perhubungan, teknik, mekanik, bangunan, pengobatan, kedokteran, yang kesemuanya
didasarkan kepada ukuran materi yang bisa diukur dengan ukuran yang tepat dan
terlihat.

Kemudian ukuran yang dilihat dari nilai moral yang bukan berdasarkan agama,
seperti nilai yang sering didengungkan dengan nama hak asasi manusia, demokrasi.

Sebenarnya setiap negara mempunyai batasan-batasan umum terhadap apa itu yang
disebut dengan hak asasi manusia, misalnya hukum mati di Amerika tetap
dipertahankan, siapa yang membunuh, kemudian ternyata terbukti bersalah, maka
dijatuhi hukuman mati. Penjatuhan hukuman mati karena membunuh di Amerika itu
tidak menyimpang dari hak asasi manusia, sedang di negara sekuler lainnya,
misalnya di Swedia, hukuman mati itu adalah melanggar hak asasi manusia.

Jadi, sebenarnya apa yang disebut dengan nilai hak asasi manusia untuk setiap
negara ternyata ada perbedaan, tergantung dari paham dan kepentingan mana yang
dipakai.

Begitu juga dengan demokrasi, masing-masing menafsirkan arti demokrasi, setiap


negara memiliki definisi demokrasinya masing-masing. Jadi apa yang disebut
demokrasi yang sebenarnya artinya kedaulatan rakyat, tetapi ternyata ditafsirkan
bermacam-macam tergantung dari siapa yang memegang kekuasaan di suatu negara.

RASIO PERBANDINGAN KEMAJUAN MANUSIA DILIHAT DARI AGAMA

Sedangkan kalau melihat dari sudut nilai moral yang berdasarkan kepada agama
(Islam), yang sifatnya bukan hanya nilai materi yang jadi ukuran, tetapi juga
nilai moral yang dipertimbangkan, maka yang disebut kemajuan di negara-negara
maju yang berpahamkan sekularisme adalah ternyata merupakan fatamorgana, artinya
seakan kilauan air yang tampak di panas teriknya gurun pasir, ternyata
sebenarnya bukan air, melainkan hanya pantulan sinar teriknya panas matahari
yang seolah-olah menggambarkan aliran air yang bisa menghilangkan rasa dahaga.

Misalnya, agama melarang hidup tanpa melalui perkawinan yang syah, tetapi mereka
justru menyuburkan hidup bersama tanpa perkawinan. Pelacuran adalah haram
menurut ajaran agama, tetapi ternyata pelacuran mereka jadikan sumber bisnis.
Judi adalah dilarang menurut agama, tetapi justru dikembangkan sebagai sumber
pemasukan dana. Bunga adalah haram menurut agama (Islam), tetapi justru
dijadikan sebagai sumber pemasukan yang mudah dan menjadi daya tarik roda
ekonomi. Minuman keras dilarang menurut Agama (Islam), ternyata menjadi sumber
penghasil keuangan besar bagi negara.

KESIMPULAN
Islam tidak mengenal hanya satu hubungan, melainkan Islam memberikan dua
hubungan, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Artinya, hubungan langsung
kepada Tuhan dan hubungan langsung antar manusia.

Kesalahan besar, apabila sekarang ada kaum muslimin yang menginginkan pemisahan
dari kedua hubungan tersebut. Apabila hubungan vertikal dipisahkan dari hubungan
horizontal, maka akhirnya manusia akan mengalami kepincangan.

Penyebab penyelewengan yang dilakukan oleh para penguasa DIR adalah bukan
disebabkan oleh dasar aqidah Islam-nya yang bokbrok, melainkan disebabkan oleh
manusianya atau penganutnya.

Nilai-nilai yang berasal dari hasil pemikiran manusia tersebut tidak bisa
dijadikan sebagai standar moral yang mutlak yang mampu menjadi garis pembimbing
manusia untuk menuju kepada tingkat peradaban manusia yang lebih tinggi menurut
pandangan Tuhan.

Rasio perbandingan negara-negara maju yang sekuler dengan negara "agamis" bisa
dilihat dari sudut pandang sekularisme, yang mendasarkan moral bukan dari agama
dan bisa dilihat dari sudut Agama.

You might also like