You are on page 1of 13

PERLINDUNGAN ANAK

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DI
INDONESIA DAN BEIJING RULES
(Oleh: Rusmilawati Windari,SH.,MH)
Posted on January 25, 2010 by Rusmila| 1 Comment

-Abstract-

Protecting children today, means protecting society, country and nation in the future. In
general, every children without any exception have an equal right to be protected by law,
whether children as a victim, or children as an offender as well. Sometimes,   people ignore
protection need of children who is involved some cases in law, because they think children
such as that category will bring some problems to their society, and has been labeled as a
criminal. Absolutely, their opinion is wrong indeed. We do not generalize or juxtapose
children such as that category as well as a criminal. According to Children Rights
Convention (CRC), Children in a conflict with the law has set as one of  category children
who is in need a special protection. Children in a conflict with the law or in other words
called by “Juvenille delinquency” need a prior protection more than any normal children.
Protection of  normal children,  children as a victim, and children in conflict is regulated
by and based on any  different regulations/instrument Internationally and nationally. One
of International regulation/instrument is called by Beijing Rules, Whereas  there are
several regulation which is implemented to give some protection  to children In Indonesia,
such as Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, and Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997.

Key Words: Children Protection, Indonesian Rules, and Beijing Rules

PENDAHULUAN

Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat melayu dalam
mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup
mereka. Anak seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa
mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun
juga di tangan anak-anak lah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan
kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan.
Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak – anak meliputi berbagai aspek
kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek hukum.

Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights
and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan anak. (Barda Nawawi Arief,1998:155).
Perlindungan hukum bagi anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai 
dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi
anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu: (a) perlindungan terhadap hak-hak asasi dan
kebebasan anak; (b)perlindungan anak dalam proses peradilan; (c) perlindungan
kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial); (d)
perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; (e)
perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran,
pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan
kejahatan dan sebagainya); (f) perlindungan terhadap anak-anak jalanan; (g) perlindungan
anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata; (h) perlindungan anak terhadap
tindakan kekerasan. (Barda Nawawi Arief, 1998:156)

Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum,
kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7)

Berdasarkan  prinsip non- diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa
terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan normal
maupun anak  yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama dari
pemerintah dan masyarakat dalam  memperoleh kesejahteraan tersebut.

Kondisi anak dewasa ini yang sangat mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama
pemerintah dan masyarakat. Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk saat ini,
nampaknya masih jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak
sedikit anak yang menjadi korban kejahatan dan dieksploitasi dari orang dewasa, dan tidak
sedikit pula anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang, yaitu kenakalan hingga
mengarah pada bentuk tindakan kriminal, seperti narkoba, minuman keras, perkelahian,
pengrusakan, pencurian bahkan bisa sampai pada  melakukan tindakan pembunuhan.

Perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa faktor internal
maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya
(emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta  karena
disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu berada.(Gatot Supramono, 2000:4).

Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga dengan deliquency) tidak
dapat dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang dewasa.
Meskipun pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat kematangan fisik dan
emosi anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya dapat menjadi pertimbangan
dalam hal menentukan perlakuan yang tepat terhadap mereka.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang, sikap yang ditunjukkan
masyarakat dan pemerintah seringkali kurang arif. Anggapan atau stigma sebagai anak nakal
atau penjahat seringkali diberikan kepada mereka, bahkan dalam proses peradilan, mereka
kerapkali diperlakukan tidak adil. Sehingga yang terjadi adalah anak-anak pelaku kejahatan
tersebut menjadi korban struktural dari para penegak hukum.

Beberapa produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna menjamin terlaksananya


perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak dan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak.

Mengingat anak dipandang sebagai subjek khusus dalam hukum, maka peraturan perundang-
undangan tersebut memuat berbagai kekhususan tentang anak, yaitu kekhususan perlakuan
hukum terhadap anak baik sebagai korban maupun anak sebagai pelaku, baik dalam proses
pengadilannya hingga pada penjatuhan sanksi yang dikenakan dan lembaga
pemasyarakatannya.

Kekhususan-kekhususan tertentu mengenai cara memperlakukan anak-anak pelaku kejahatan


dalam berbagai undang-undang, pada kenyataannya tidak menjamin tindakan para penegak
hukum dalam memperlakukan anak pelaku kejahatan secara arif dan bijaksana dengan
memperhatikan kondisi internal anak-anak dan pengaruh jangka panjang bagi masa
depannya.

Dikatakan demikian, karena masih banyak penegak hukum yang kurang memperhatikan hak-
hak anak pelaku tindak pidana. Mereka kerapkali memperlakukan mereka sama dengan
pelaku yang sudah dewasa, semisal mereka diletakkan di Lembaga Pemasyarakatan yang
sama dengan pelaku dewasa umumnya tanpa mempertimbangkan ekses-ekses negatif yang
timbul dari tindakan tersebut.

RUANG LINGKUP

Perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana sama  pentingnya dengan perlindungan anak
sebagai korban. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penulis dalam makalah ini
menfokuskan pada kajian terhadap perlindungan anak dilihat dari 2 (dua) sudut pandang
yakni anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban ditinjau dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dan Beijing Rules. Bahasan pertama mengenai
kedudukan anak di mata hukum, kemudian bahasan yang kedua adalah mengenai
perlindungan yang diberikan hukum kepada anak sebagai pelaku tindak pidana yang
dikaitkan hukum pidana positif yang berlaku dan Beijing Rules.

BAHASAN UTAMA

Pengertian Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional dan Hukum Pidana Positif
Indonesia

Terdapat banyak sekali definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai
siapakah yang disebut dengan ”anak” ini. Masing-masing definisi ini memberikan batasan
yang berbeda disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal 1 Children Rights
Convention (CRC) atau Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun
1990, mendefinisikan bahwa anak adalah:

“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-


undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. (C.De
Rover, 2000:369)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak merumuskan dalam pasal
1 nomor 1 bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam
kandungan”

Di antara undang-undang yang lain, Undang-undang perlindungan anak ini lebih rigid dan
limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan anak yang dalam kandungan
sebagai kategori anak juga.

Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak
disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin”.

Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor
1 bahwa:

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.

Dari beberapa perundang-undangan pidana Indonesia, penulis dapat menggarisbawahi tiga


hal yang signifikan, yaitu: (1) Batasan yang digunakan oleh masing-masing undang-undang
yang telah disebutkan di atas untuk memaknai siapakah yang disebut anak tersebut,
umumnya berdasarkan batasan umur; (2) KUHP sebagai peraturan induk dari keseluruhan
peraturan hukum pidana di Indonesia, sama sekali tidak memberikan batasan yuridis
mengenai anak. Pasal 45 KUHP yang selama ini dianggap sebagai batasan anak yang dalam
KUHP, sesungguhnya bukan merupakan definisi anak, melainkan batasan kewenangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan sebelum berumur
16 (enam belas) tahun; (3) Dari perundang-undangan pidana seperti yang telah disebut di
atas, nampak adanya ketidakseragaman definisi antara undang-undang yang satu dengan yang
lainnya dalam hal memaknai siapakah yang disebut anak tersebut. Ketidak seragaman
tersebut dilatarbelakangi dengan adanya perbedaan tujuan dan sasaran dari masing-masing
undang-undang tersebut. Meskipun tidak dipungkiri, adanya perbedaan definisi ini akan
menyulitkan para penegak hukum dalam memberlakukan hukum yang sesuai terhadap anak.

Signifikansi Kedudukan Khusus Anak Di Mata Hukum

Sama halnya dengan orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya
mempunyai hak yang sama  dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum.

Prinsip kesamaan hak antara anak  dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan
ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu: Unsur internal pada diri anak,
meliputi: (a) bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum sama seperti orang dewasa,
artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat
dengan ketentuan perundang-undangan; (b) Persamaan hak dan kewajiban anak. Maksudnya
adalah seorang anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa
yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya.
Hukum meletakkan anak dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh
hak atau melakukan kewajiban-kewajiban; dan atau untuk dapat disejajarkan dengan
kedudukan orang dewasa; atau disebut sebagai subjek hukum yang normal. Sedangkan,
Unsur eksternal pada diri anak, meliputi: (a) Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum
(equaliy before the law), memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang
tidak mampu untk berbuat peristiwa hukum; yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum
sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan
kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan; (b) Hak-hak privilege
yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan perundang-undangan
lainnya. (Maulana Hassan Waddong, 2000:4&5).

Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama
di mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus).
Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan dengan ketentuan
hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus
bagi anak dalam proses acara di pengadilan.

Menurut penulis, kedudukan istimewa (khusus) anak dalam hukum itu dilandasi dengan
pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya
belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Selain itu, juga
disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari anak-anak sebagai
generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum negara harus dilindungi,
dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri.

Dalam hal ini, Irwanto lebih menegaskan lagi bahwa kedudukan khusus anak di mata hukum
tidak terlepas dari prinsip-prinsip berikut ini:

Prinsip anak tidak dapat berjuang sendiri, Anak dengan segala keterbatasan yang melekat
pada dirinya belum mampu melindungi hak-haknya sendiri. Oleh karena itu, orang tua,
masyarakat dan negara harus berperan serta dalam melindungi hak-hak tersebut; Prinsip
kepentingan terbaik anak, bahwa kepentinganterbaik anak harus dipandang sebagai
‘paramount importance’ atau prioritas utama; Prinsip Ancangan Daur Kehidupan (life
circle approach, harus terbentuk pemahaman bahwa perlindungan terhadap anak harus
dimulai sejak dini dan berkelanjutan; Lintas Sektora, bahwa nasib anak sangat bergantung
pada berbagai faktor makro dan mikro, baik langsung maupun tidak langsung. (Muhammad
Joni, 1999:106).

Perlindungan Anak Secara Umum

Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya


perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini
diperkuat dengan pendapat Age, yang  telah mengemukakan dengan tepat bahwa
“melindungi anak  pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara di masa depan”. (Arief Gosita, 1996:1). Dari ungkapan tersebut nampak betapa
pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik
komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara.
Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak
hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis
mutualisme antara keduanya.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup,
mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan
hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).

Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
disebutkan bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat  hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.

Pada umumnya, upaya  perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan
tidak langsung, dan  perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara
langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan
dari  sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan
atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau
dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan
informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban,
penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang
menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi
usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)

Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu
sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung  tentunya adalah anak secara langsung.
Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan
berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari
dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan
anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin
pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta
diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi:
perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan
dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di
bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong,
2000:40)
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum.
Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai
kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.(Barda Nawawi Arief, 1998:156)

Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum
perdata yang mengatur mengenai anak seperti, (1) Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2)
pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak;
(4)kebelumdewasaan anak dan perwaliaan. (Retnowulan, 1996:3)

Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP
(telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal 278, pasal 283, pasal
287, pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang
pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang
Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-
upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.

Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan
lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya  peningkatan kesehatan
dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program bea
siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan canggih.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak


tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna
mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan
dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-
prinsip non-diskriminasi (non-discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak 
(the best interest of the child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan
pengembangan  (the right to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati
pandangan anak (respect to the views of the child).(www.sekitarkita.com,2002)

Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif
KUHP, Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 dan The Beijing Rules

Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan
hukum kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Orientasi dari keseluruhan proses
peradilan pidana anak ini harus ditujukan pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan
dilandasi prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for children).

Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing Rules)
dalam rule 5.1 bahwa:
“The juvenile  justice system shall emphasize the well – being of the juvenileand shall ensure
that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumtances of
both the offender and the offence”.(Rule 5.1. SMR JJ dalam Muladi, 1992:112).

Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran dibentuknya
peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of
the juvenile), Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama
dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan
penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum.
(Muladi, 1992:113). Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus
dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam
Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei
Liberty. (Barda Nawawi Arief, 1996:13); (b) Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the
principle of proporsionality). Prinsip yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang
penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal
ini mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak janganlan semata-mata sebagai
suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu
lembaga sosial.(Muladi, 19992:114)

Sebagai subjek hukum  yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses perlindungan
hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan jaminan-jaminan
khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya tidak mengesampingkan
jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap orang.

Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat prosedural
yang paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be
notified of the charges); (b)Hak untuk tetap diam (the right to remain silent) ; (c) Hak untuk
memperoleh penasehat hukum (the right to councel); (d) Hak untuk hadirnya orang tua/wali
(the right to the presence of a parent of guardian);(e) Hak untuk menghadapkan saksi dan
pemeriksaan silang para saksi (the right to confront and cross-examine witness); (f) Hak
untuk banding ke tingkat yang lebih tinggi (the right to appeal to a higher authority).
(Muladi, 1992:117).

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan terhadap


anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya dimulai dari ketentuan-
ketentuan hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak anak, dengan berdasarkan pada
prinsip-prinsip dasar perlindungan anak yang berlaku universal, yakni: (a) non-diskriminasi;
(b) kepentingan terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam lingkup nasional, jaminan hukum  secara khusus yang diberikan kepada anak sebagai
pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam The Beijing Rules.

Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminan-jaminan khusus bagi
anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi undang-undang peradilan
anak tersebut belum cukup memberikan jaminan perlindungan. Dalam hal ini,  terdapat
beberapa ketentuan yang inkonsistensi dengan peraturan induknya (KUHP) dan Undang-
undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan  mengabaikan prinsip kepentingan
terbaik bagi anak (the best interest for children).
Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak: (1) Mengenai batasan minimum usia minimal pertanggungjawaban pidana
(the minimum age of criminal responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undang-
undang Peradilan Anak  menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat dihadapkan ke
pengadilan adalah 8 (delapan) tahun (Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997).
Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak usia 8 – 12 tahun hanya berupa tindakan, namun
dengan batasan usia minimal pertanggunjawaban pidana yang terlampau rendah ini
memungkinkan timbulnya ekses-ekses negatif yang dirasakan anak, yakni pengalaman
selama proses diajukan ke persidangan    akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan
dirasakan anak. Hal ini jelas merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang
diajukan ke persidangan, mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam
masyarakat, sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama
tumbuh kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip terbaik
bagi anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni KUHP. Dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHP
dinyatakan tidak berlaku (Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini jelas akan
menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait dengan anak
sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada Pasal 45, 46, 47 KUHP
saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain dalam buku II dan III KUHP. Dengan
tidak adanya penegasan dalam Undang-undang Pengadilan anak tersebut maka dapat
dikatakan bahwa ketentuan selain pasal 45, 46, 47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku
untuk anak. (Disarikan dalam Barda Nawawi Arief, 2005).

Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undang-undang Nomor 3


Tahun 1997. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan aturan/sistem pemidanaan umum,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 harus tetap berpedoman pada aturan-aturan atau
prinsip-prinsip umum yang diatur dalam peraturan induknya (KUHP) sepanjang tidak diatur
tersendiri dalam undang-undang yang bersangkutan. Mengingat beberapa ketentuan dalam
buku I (khususnya Bab II dan Bab III) KUHP semisal ketentuan mengenai pidana, percobaan,
konkursus, recidive, dan ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997, maka aturan dalam KUHP tetap berlaku bagi anak karena merupakan bagian
sistem yang tidak terpisahkan. Hal ini sungguh merugikan anak, karena untuk beberapa
ketentuan seperti yang disebutkan di atas, terhadap anak tetap dikenakan ketentuan yang
berlaku pula untuk orang dewasa pada umumnya.

Mengenai pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan jenis pidana pokok yang
dikenakan juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di sini bukan lah jenis ataupun bobot
pidana penjara itu sendiri, melainkan tidak adanya aturan yang menjadi pedoman bagi hakim
untuk melaksanakan sanksi pidana bagi anak.

Dalam undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai kewenangan
hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan (seperti yang telah
diatur dalam The Beijing Rules, Rule 17.4)

Seperti yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang seharusnya diatur
sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak, adalah
sebagai berikut:

Rule 17.1 :  (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan
dengan keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; (b) pembatasan
kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati
dan dibatasi seminimal mungkin; (c) perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan
kecuali anak melakukan perbuatan serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain)
atau terus menerus melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk
respons/sanksi lain yang lebih tepat; (d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman
dalam mempertimbangkan kasus anak. Rule 17. 4 : Adanya prinsip “diversi”, yakni hakim
diberikan kewenangan  untuk menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau
dengan kata lain  hakim dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak. Rule 19.1:
penempatan seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu
ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu minimal yang
diperlukan. (Barda Nawawi Arief, 1998:164-165).

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengatur prinsip-prinsip
yang diakui oleh The Beijing Rules di atas (terkhusus prinsip diversi), sehingga yang dapat
terjadi adalah hakim dapat sewenang-wenang dalam menerapkan pidana penjara terhadap
anak, tanpa memperdulikan kepentingan terbaik anak. Beberapa ketentuan yang cenderung
tidak memperdulikan bahkan merugikan anak, adalah ketentuan mengenai:

Ketentuan mengenai Pidana bersyarat.

Berdasarkan prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan khusus akan menyimpangi
aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 3 tahun
1997 (sebagai lex specialis) akan menyimpangi (berlaku) ketentuan pidana bersyarat dalam
Pasal 14 a hingga 14 f KUHP (sebagai lex generalis).

Padahal jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih
melindungi kepentingan anak sebagai pelaku  daripada Pasal 29 Undang-undang Peradilan
Anak terkait dengan pidana bersyarat. Beberapa permasalahan (kelemahan) yang terdapat
dalam formulasi Pasal 29 tersebut adalah sebagai berikut: sebagai bentuk non-custodial
measures dan strafmodus, pidana bersyarat yang diberlakukan bagi anak hanya untuk pidana
penjara saja (tidak diperkenankan untuk pidana lainnya, semisal kurungan, denda dan pidana
tambahan lainnya). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang
mensyaratkan pidana bersyarat untuk pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau pidana
kurungan (Pasal 14 a ayat (1)), dan denda (Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2 (dua) ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk memperoleh pidana bersyarat bagi
orang dewasa lebih besar daripada kesempatan bagi anak. Ini jelas sangat diskriminatif,
padahal prinsip yang seharusnya melandasi setiap ketentuan untuk anak adalah “Prinsip
Kepentingan Terbaik Anak”. Sungguh tidak realistis kiranya jika kesempatan untuk
mendapatkan pidana bersyarat bagi anak yang seharusnya lebih besar, menjadi  lebih kecil
dibandingkan orang dewasa. Dengan tidak diaturnya ketentuan pidana bersyarat untuk pidana
kurungan, denda dan pidana tambahan, maka otomatis ketentuan mengenai hal itu kembali
lagi harus mengacu pada ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP (kecuali pidana bersyarat
dalam hal pidana penjara), padahal dalam hal ini KUHP tidak mengenal pembayaran ganti
rugi sebagai pidana tambahan. Sehingga tetap saja tidak ada pidana bersyarat untuk pidana
tambahan “ Pembayaran Ganti Rugi”.

Ketentuan mengenai Pelepasan bersyarat

Permasalahan yang timbul dari ketentuan Pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (a) ketentuan mana yang akan
diberlakukan kepada anak, apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62 Undang-undang  Nomor
3 Tahun 1997, hal ini dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak dicabut oleh Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997; (b) Pasal 62 ini tidak ditempatkan dalam Bab III UU Nol. 3/1997 (tentang
“Pidana dan Tindakan”), tetapi ditempatkan di dalam Bab VI tentang “Lembaga
Pemasyarakatan Anak”. Penempatan pasal pada bab yang tidak semestinya ini, selain
menyebabkan penafsiran yang berbeda mengenai peruntukkan pasal tersebut, juga
menyebabkan keberadaan pasal tersebut jarang diketahui oleh para aparat penegak hukum,
sehingga seringkali dianggap tidak pernah ada ketentuan mengenai pelepasan bersyarat dalam
undang-undang yang dimaksud; (c) Ketentuan jangka waktu percobaan pelepasan bersyarat
dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  sangat pendek jika dibandingkan
dengan jangka waktu yang ditetapkan KUHP. Masa percobaan pelepasan bersyarat  dalam
KUHP (Pasal 15) adalah sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun.
Sedangkan, masa percobaan pelepasan bersyarat bagi adank dalam Pasal 62 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997  adalah sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya (tanpa
penambahan apapun). Ketentuan ini tentunya juga tidak masuk akal, berdasarkan prinsip
kepentingan terbaik anak, seharusnya kesempatan yang diberikan anak untuk menjalani
pelepasan bersyarat/pembebasan bersyarat lebih lama, dibandingkan kesempatan yang
diberikan kepada orang dewasa, bukan malah lebih dipersingkat sehingga peluang anak untuk
kembali menjalani pidana penjara lebih besar.

Ketentuan mengenai pidana Pengawasan

Pidana pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  pada
prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana Pengawasan ini merupakan jenis
sanksi baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  untuk perkara-perkara
pidana anak. Permasalahan yang muncul adalah mengingat KUHP tidak mengenal  pidana
pengawasan, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  seharusnya mengatur pula
mengenai aturan pelaksanaannya (strafmodus). Kenyataannya, Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997  sama sekali tidak mengaturkan aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan ini,
sehingga ekses yang muncul adalah kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini
untuk perkara anak karena tidak ada aturan pelaksananya.

Dari beberapa catatan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997  tentang Peradilan Anak belum cukup memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana. Secara ekstrem dapat
dikatakan bahwa dalam beberapa hal (pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat) KUHP lebih
memberikan jaminan perlindungan bagi anak.

Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, wajar kiranya jika aparat penegak hukum dalam menangani perkara anak
seringkali keliru dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang, sehingga pada tataran
praktek yang muncul adalah ketidakadilan bagi anak.

Demi menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, degradasi mental
dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi  yang dapat
menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang
wajar, maka dalam menangani masalah hukum dari anak-anak yang telah melakukan perilaku
yang menyimpang, para penegak hukum perlu memahami bahwa: (a) anak yang melakukan
tindak pidana (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat, namun harus
dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi,
1992:115), pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan
persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan. (b) Kesejahteraan anak dalam hal ini harus
dijadikan guiding factor dalam penegakan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat penulis kemukakan berdasarkan uraian pembahasan di atas
adalah sebagai berikut: (1) Anak dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum. Hal
ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan
biologis dan psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-
haknya. Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan
dari anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum
negara harus dilindungi,  dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri; (2) Pada
dasarnya, Pengadilan anak yang senantiasa mengedepankan kesejahteraan anak sebagai
guiding factor dan disertai prinsip proporsionalitas merupakan bentuk perlindungan hukum
bagi anak sebagi pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, secara yuridis-formil Undang-undang
Pengadilan anak tidak cukup memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak sebagai
pelaku kejahatan. Terdapat beberapa peraturan dalam undang-undang tersebut yang
inkonsistensi dengan KUHP dan The Beijing Rules, sehingga yang terjadi adalah secara tidak
langsung terjadi pengabaian prinsip kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

DAFTAR RUJUKAN

Arief, Barda Nawawi,  (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan

Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:  Citra Aditya Bakti.

————————, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,

Seminar Nasional Perlindungan anak, diselenggarakan UNPAD,Bandung: Hotel Panghegar,

———————,  (14-15 Maret 2005) Makalah “Perkembangan Sistem Hukum Pidana

di Indonesia, diselenggarakan di UBAYA, Surabaya: Hotel Hyatt

Gosita, Arief,  (5 Okober 1996) Makalah Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang
Peradilan Anak dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak,
diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung.

————————, (2003) Disertasi “Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan

Anak Pidana Saran Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta: Program Pasca
sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,

Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,

————————–, (5 Oktober 1996) Instrumen Internasional Perlindungan Hak


Anak, Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran.

Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif

Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muladi, (1992) Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit alumni

Rover, C. De, (2000) To Serve And To Protect, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,

Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel
Panghegar.

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000

Undang-undang terdiri atas:

KUHP

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

WWW.Sekitar Kita.Com

You might also like