You are on page 1of 11

Efek Konten Horor dan Kekerasan

Terhadap Agresivitas Penonton


(Analisa terhadap film “Rumah Dara” )

Kelompok 1 Mata Kuliah Kajian Dampak Media


Alifia Kurniasih
Dhinar D.A
Keken Frita Vanri

UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA


2011

Resensi Film Rumah Dara1


1
Diunduh dari http://gosipboo.blogspot.com/2010/01/resensi-film-rumah-dara.html
Film ini tidak akan memperlihatkan ketakutan akan hantu tetapi membangkitkan rasa takut terhadap
keluarga pembunuh. Film bergenre Slasher horor movie ini diberi judul Rumah Dara karya The Mo Brother.
Film yang awalnya diberi judul Macabre dan berubah menjadi
Rumah Dara ini merupakan versi panjang film “DARA” di seri
kompilasi TAKUT. Sebelumnya, The Mo Brother menyajikan film
‘Dara’ dalam sebuah film kompilasi horor “Takut” yang membuat
Dannish meraih best Actress di Puchon film festival.

Film Rumah Dara sendiri menceritakan pengalaman paling


mencekam 6 orang teman lama.Adjie dan Astrid, pasangan yang
baru saja dikarunia anak bernama Nico pergi ke Bandung bersama
tiga orang temannya Jimmy, Eko dan Alam. Mereka pergi ke
Bandung untuk berpamitan dengan Ladya, adiknya karena Adjie
dan Astrid akan pergi ke Australia dan memulai hidup disana..
Hubungan Adjie dan Ladya sebenarnya kurang harmonis semenjak
kematian orang tua mereka. Dengan usaha keras, Adjie pun
berhasil membujuk Ladya dan mau mengantarkannya ke Bandara. Saat menuju bandara, mereka
menemukan seorang wanita bernama Maya yang sedang mengalami musibah perampokan. Mereka pun
mengantarkan Maya ke rumahnya.

Disana, mereka disambut baik oleh penghuni rumah. Seorang gadis anggun bernama Dara dan menawan
mempersilahkan menikmati makan malam yang telah disediakan. Disinilah pengalaman buruk 6 orang
teman lama dimulai. Kebaikan hati penghuni rumah menjadi awal bencana di hari kelam itu. Mereka
pingsan setelah menyantap makanan tersebut dan mendapati diri mereka terkurung ketika tersadar.

Kebaikan hati, kemurahan hati dan senyum manis berubah drastis di keluarga tersebut. Mereka menjadi
pembunuh yang keji. Keenam orang tersebut terjebak dalam situasi mencekam dimana satu persatu
mereka dibantai secara sistematis. Mereka harus berjuang melarikan diri dari rumah berdarah tersebut.
Akankah mereka berhasil? Siapakah Dara dan keluarga tersebut? pertanyaan ini akan terjawab jika kalian
menonton film ini.Film ini dibintangi oleh artis/aktor Julie Estelle, Shareefa Daanish, Ario Bayu, Sigi
Wimala, Mike Muliardo, Imelda Theriine, Arifin Putra, Dendy Subangil dan Daniel Mananta.

Efek Konten Horror dan Kekerasan Terhadap Agresivitas Penonton


Konten-konten kekerasan dan horror sering ditemui dalam media audio vidual berupa film. Kekerasan
berasal dari bahasa latin violentus yang artinya berkuasa atau kekuasaan. Kekerasan secara istilah berarti
ekspresi baik secara fisik maupun verbal yang mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada
kebebasan dan martabat seseorang yang dapat dilakukan secara individu atau kelompok. 2 Sedangkan
horror menurut kamus adalah (1) perasaan yang sangat kuat menyakitkan yang berasal dari kebencian
dan ketakutan, (2) Sesuatu yang informal dan tidak menyenangkan (3) kecemasan yang ditimbulkan oleh
kengerian-kengerian informal. Jika disederhanakan, horror merupakan sesuatu yang menciptakan
ketakutan dan kegelisahan.

Nuansa horror dalam sebah film dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe. Ada film yang bernuansa
horror karena menampilkan mahluk halus dan memuat unsure klenik yang kuat. Ada juga film horror yang
tidak menampilkan mahluk-mahluk lain dunia itu, melainkan menampilkan sisi jahat dari manusia. Misalnya
film-film tentang pembunuhan dan thriller (mencengangkan karena biasanya banyak adegan memotong
tubuh manusia).

Di Indonesia, horror menjadi satu genre film yang diminati. Hal ini terlihat dari jumlah produksi film horror
Indonesia melebihi 20 film di tahun 2009 hingga 2010. 3 Itulah mengapa film horror Indonesia menarik untuk
dikaji, terutama pembahasan mengenai efeknya terhadap penonton. Kajian dampak konten kekerasan dan
horror terhadap khalayak kali ini membahas tentang film Rumah Dara. Film ini merupakan film horror
thriller Indonesia berdurasi Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui apakan sebuah film horror dan
kekerasan bisa membangun ketakutan dan kengerian yang membangkitkan imajinasi dan perilaku agresif
pada penontonnya. Untuk itu, kami mengambil beberapa teori unuk membahas film ini.

1. Arousal.
Arousal adalah respon psikologis yang tidak spesifik yang ditandai dengan semakin cepat tarikan
napas dan detak jantung. (Lang, 1994) 4 Arousal adalah kondisi dimana perasaan seseorang ikut
terbawa oleh adegan-adegan yang dilihat di media, baik TV atau film. Arousal dapat diamati ketika
seorang penonton menangis ketika menonton adegan yang mengharukan atau penonton menjerit
ketakutan ketika melihat adegan pembunuhan. Biasanya, seseorang menonton film untuk
mendapatkan sensasi yang baru dan berbeda dengan keadaan yang biasa yang habitual. Dengan

2
Dikutip dari Wikipedia
3
Riset kecil-kecilan di toko DVD
4
Dikutip dari Elizabeth M. Pearse “Media Effect And Society” hal. 211
menonton suatu film, penonton akan mendapatkan suatu perasaan yang melepaskannya dari
kebosanan.
Film memiliki kemampuan untuk arousing atau membangkitkan perasaan, emosi dan alam bawah
sadar penontonnya. Perasaan yang ditimbulkan dapat berupa perasaan positif misalnya keceriaan,
kebahagiaan dsb. Namun, film tertentu misalnya film-film dengan konten horor dan kekerasan,
mampu membangkitkan perasaan-perasaan negatif seperti kebencian, ketakutan, ketegangan dll.
Arousal dibangun dan ditingkatkan di dalam sebuah media audio visual melalui efek suara, efek
kamera, editing, dll.
Ada tiga mekanisme yang menjelaskan bagaimana arousal dibangun melalui tayangan-tayangan
horor dan kekerasan. Pertama, ketika seseorang mengalami arousing, seorang individu akan
berlaku sebagaimana ia sebenarnya-tetapi dengan energi yang lebih besar (Tannenbaum &
Zillman, 1975 p.161)5 . Kembali ke sifat dasar manusia yang secara refleks membela diri jika
terancam, maka seseorang cenderung untuk memberikan respon yang spontan ketika mendapat
sensasi yang berbeda dari sebuah tayangan. Kedua, kemampuan seseorang dalam merasakan
arousal dipengaruhi oleh individual differences. Individual differences adalah keunikan yang
melekat pada individu yang membedakannya dengan individu lain. ID dapat dibedakan menadi 2
jenis,
a. Personal Characteristic
Karakter personal adalah indikator yang membedakan individu satu dan yang lain
berdasarkan sifat-sifat yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, namun dapat diamati
melalui sikap dan tingkah laku.. Beberapa contoh karakteristik personal yang dapat
digunakan untuk menganalisa kemampuan seseorang dalam menikmati film horor dan
kekerasan adalah empati, motivasi dan agresivitas.
Empati secara umum berarti upaya menempatkan posisi kita sebagai orang lain dimana
kita merasakan dan seolah-olah mengalami apa yang orang itu rasakan. Menurut
Tamborini, orang dengan tingkat empati yang tinggi tidak semestinya menyukai konten
horror dan kekerasan, karena keduanya berasosiasi dengan kesakitan, ketakutan dan
penderitaan. Berkebalikan dengan pendapat tersebut, Zillman mengattakan bahwa orang
yang memiliki empati yang tinggi biasanya menyukai horror dan kekerasan, setidaknya
pada bagian resolusi. 6
5
Dikutip dari Elizabeth M. Pearse “Media Effect And Society” Hal. 212
6
Dikuti dari Raymon W. Preiss dkk (edt) “Mass Media Effect Research” hal. 218-219
Kedua, motivasi yang dimaksud adalah tujuan seseorang dalam menggunakan media /
menonton tayangan tertentu adalah untuk mendapatkan imbalan berupa perasaan dan
sensasi tertentu. Menurut Zuckerman, Semakin tinggi level arousal yang diperoleh
seseorang , maka orang itu akan merasa lebih baik. Orang yang mencari sensasi dari
sebuah tayangan akan menikmati stimuli yang mengacu pada emosi negatif (misalnya
ketakutan) karena intensitas emosi tersebut membantu mereka mencapai level tertinggi
dari arousal.7
Terakhir, orang yang memiliki pikiran dan fantasi agresif cenderung tertarik pada tindakan
dan hiburan yang mengandung konten kekerasan dan brutalitas, terutama pada orang
lain.(Fenigsten dan Heyduk)8 Jadi, agresivitas sebenarnya bukan hanya sebuah efek dari
tayangan kekerasan, melainkan hasil dari selective exposure, dimana orang-orang
agresif memilih untuk menonton tayangan kekerasan demi memuaskan kebutuhannya.
Menurut Atkin, orang-orang agresif suka melihat konten-konten kekerasan untuk
membenarkan perilaku mereka dan mengurangi perasaan bersalah atas tindakan
mereka.9
b. Demografis Characteristic

Karakteristik demografis adalah karakteristik yang melekat pada individu dan dapat dilihat
atau dihitung. Misalnya Gender dan Usia. Menurut bahasan gender, laki-laki cenderung
lebih menonton dan menikmati tayangan-tayangan kekerasan dan horor karena laki-laki
dirasa memiliki agresifitas yang lebih tinggi. Paradigma ini dibangun sejak kecil dimana
anak laki-laki merasa dirinya maskulin dan keren ketika mereka menonton film horror dan
kekerasan. Ditambah lagi menurut Zillman, laki-laki berupaya menghindari ekspresi
ketakutan dan ketegangan karena hal itu tidak diterima sebagai sesuatu yang wajar
selayaknya perempuan diizinkan.10 Perbedaan juga terjadi antara laki-laki dan perempuan
dalam hal reward yang diterima dari menonton film ini. Lki-laki yang menonton tayangan
kekerasan dan horror berusaha untuk tetap tenang dan menampilkan diri sebagai orang
yang berani dan mampu menghadapi ketakutan. Sedangkan perempuan menonton
kekerasan dan horror untuk menampilkan sensitifitasnya melalui ekspresi terganggu,

7
Dikuti dari Raymon W. Preiss dkk (edt) “Mass Media Effect Research” hal. 219
8
Ibid. hal. 220
9
Ibid
10
Ibid
cemas, bimbang dan merasa jijik. Sedangkan perbedaan umur juga dirasa berbanding
lurus dengan ketertarikan terhadap tayangan horror dan kekerasan, dimana masa anak-
anak adalah masa perkenalan. Masa puncak ketika seseorang mulai dewasa, dan
pengalami penurunan minat dan kemampuan sesudahnya.

Mekanisme ketiga adalah bahwa respon arousal bergantung pada penilaian seseorang pada
sebuah konteks tayangan. Seseorang bisa merasakan kebencian ataupun keceriaan dari sebuah
tayangan ketikan mereka memiliki preferensi tertentu terhadap tayangan tersebut.

Dalam konteks Rumah Dara (RD), arousal dibangun ketika Adjie dan teman-teman-temannya
bertemu Maya dan mengantarkannya ke rumah. Maya yang pendiam memperlihatkan gerak-gerik
yang mencurigakan dengan terus memperhatikan perut Astrid yang sedang hamil tua. Penonton
dibawa untuk menerka-nerka siapa sebenarnya Maya. Suasana rumah, kemunculan Ibu, adik dan
kakak Maya yang berwajah dingin dan terkesan misterius memperlihatkan ada suatu hal yang
tidak beres di rumah itu.

Film RD membangun arousal melalui adegan-adegan yang mengagetkan dan menegangkan.


Adegan ini dimulai ketika mereka mulai mabuk dan Alam terbangun. Alam tidak mendapati teman-
temannya ada di dekatnya, tapi justru di goda oleh Maya. Disana Alam bersikap kasar dan Maya
mulai menunjukkan perangai aslinya dan menghujami Alam dengan pisau. Terjadi upaya rebutan
pisau yang berakhir dengan datangnya Kakak Maya yang mematahkan tulang Alam. Efek suara
tulang yang patah, sayatan pisau dan teriakan-teriakan Alam, memperkuat suasana horror. Belum
lagi ketika Astrid bersembunyi dan menempelkan tangan di pintu, tiba-tiba pisau besar dari balik
pintu mengenai tangannya.

Suasana makin kacau ketika Ladya, Eko dan Daniel terbangun dan berteriak-teriak memanggil
Alam. Teriakan dan ekspresi wajah mereka yang penuh keringan menggambarkan betapa besar
rasa takut dalam diri yang akhirnya menulari penonton. Saat Arman (Kakak Maya) memotong
kepala Alam dengan Gergaji mesin, saat Astrid menjerit kesakitan karena kontraksi dan harus
melahirkan anaknya sendiri, saat keluarga itu membunuhi polisi satu persatu, saat kepala demi
kepala jatuh bergelimpangan merupakan bagian yang memicu adrenalin penonton dan terkadang
membuat penonton menutup mata.
Kami sebagai penonton merasa ikut terlibat dan seakan-akan berada dalam posisi yang sama
dengan Ladya dan kawan-kawan (empati). Perasaan ingin berlari sejauh mungkin, berteriak, dan
menangis karena ketakutan, juga kami rasakan saat menonton adegan-adegan dalam film RD.
Saat-saat klimaks adalah ketika Ladya dan Adjie mulai melawan dan menimbulkan pergulatan
sengit. Ada perasaan sedih yang tercipta ketika melihat bayi Adjie dan Astrid yang harus
kehilangan orang tuanya. Dan kami pun sedih ketika membayangkan Ladya yang seharusnya
mengantarkan kakaknya pergi ke Bandara untuk pindah ke Australia, justru mengantarkan Kakak
dan teman-temannya ke Peristirahatan terakhir.

Arousal dalam film ini dibangun dengan bantuan efek suara yang dominan, musik latar yang
mencerminkan kesedihan, kesuraman, keduluan, dan hal-hal negatif lainnya. Pencahayaan yang
redup juga menimbulkan suasana yang jauh dari kata ceria. Terakhir, setting tempat yang dipenuhi
darah dan potongan-potongan tubuh manusia semakin memperkuat perasaan ngeri, jijik dan takut
pada kami sebagai penonton.

2. Aggressive Cues.

Agrressive cues adalah respon agresif yang muncul ketika menyaksikan tayangan yang
menimbulkan kemarahan dan kebencian. Ketika kita melihat sebuah tayangan yang melarutkan
kita dalam ketidaksukaan terhadap tokoh antagonis, maka secara tidak sadar kita membayangkan
tindakan-tindakan agresif yang akan kita lakukan tokoh antagonis tersebut. Perasaan marah, sedih
dan iba mampu membangkitkan sisi lain yang agresif dari diri kita yang biasanya sulit diwujudkan
dalam realitas, sehingga agresivitas itu bermain pada tataran fantasi.Dari hasil diskusi kelompok
kami, kami menemukan beberapa adegan alam film RD yang menimbulkan kekesalan. Pertama,
kami sebagai penonton dibuat ikut merasakan kekesalan kepada Astrid yang bersikeras menolong
Maya, padahal belum mengenalnya. Kekesalan juga terjadi saat Daniel dan Eko justru memilih
untuk mampir dan tidak mendengarkan kata-kata Adjie. Andai mereka tidak melakukan itu,
mungkin malam itu tidak jadi malam terburuk bagi mereka. Kami membayangkan apabila kami
adalah Adjie, makan kami akan menyumpal mulut Daniel dan Eko karena membuat keputusan
seenaknya.
Selain kekesalan, kami juga merasakan kebencian ketika melihat keluarga Dara melakukan
praktek kejahatannya hanya demi uang dan kelanggengan hidup. Keluarga Dara percaya bahwa
dengan memakan daging manusia, mereka akan berumur penjang. Selain itu, organ-organ tubuh
korban dijual kepada pembeli dengan harga yang lumayan. Kami merasa sangat benci ketika
mereka membunuh dengan ekspresi wajah dingin dan tanpa perasaan. Disamping itu, Dara
memiliki cara yang amat keji untuk membunuh orang, yakni memotongnya hidup-hidup. Dara juga
terlihat amat puas ketika dapat melampiaskan kebenciannya melalui pisau, dan ekspresi wajahnya
itu yang membuat kami main benci dan merasa ingin mencabik-cabik dara. Namun semua
kebencian dan kekesalan kami sulit terlampiaskan secara konatif, melainkan hanya mampu
bermain pada tataran kognitif. Itulah yang dinamakan Aggressive Cues.

3. Chatarsis
Teori Chatarsis berasal dari bahasa Yunani, Katharsis yang berarti penyucian, pembersihan, atau
purifikasi. Dalam konteks komunikasi, catharsis berarti suatu tindakan pada kondisi agresif tertentu
dapat mengurangi kemungkinan adanya tindakan agresif lebih lanjut. Aksi-aksi agresif ini tidak
hanya terjadi pada dunia nyata, namun lebih memaiinkan peran dalam alam bawah sadar individu
atau di dalam dunia imajinasi dan di dalam media. Berdasarkan teori ini, pernyataan bahwa
menonton tayangan kekerasan meningkatkan agresivitas individu menjadi tidak berlaku. Menurut
teori catharsis, semakin banyak orang menonton tayangan kekerasan dan horor, maka ia semakin
tidak agresif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa katharsis bisa dimengerti sebagai sebuah
tindakan pelampiasan agresivitas kepada sesuatu yang mampu menghilangkan perasaan marah,
benci, senang dan lain-lain, dimana penonton merasa lebih baik dan lega setelahnya. 11

Setelah melihat setengah jalan cerita kami berpikir kapan Ladya dan kawan-kawannya akan
menang. Namun ketika mulai terjadi perlawanan dari pihak polisi dimana satu persatu anak Ibu
Dara meninggal, kami mulai merasa ada sedikit rasa senang. Awalnya kami benci melihat orang
saling membunuh, namun saat tiba giliran penjahat-penjahat itu dibunuh, kami merasakan
kepuasan sebagai gratifikasi dari kekesalan dan kebencian kami sebelumnya. Ketika Maya mati
tertembak, Adam mati Terbakar, dan Arman mati tertikam, kami merasakan suasana kemenangan.
Klimaks Chatarsis adalah ketika Ladya melawan Dara dengan menusukkan tanduk rusa ke tubuh
Dara dan menabrakkan Dara ke batang Pohon. Walaupun di adegan terakhir Dara diperlihatkan

11
Dikutip dari Dikutip dari Elizabeth M. Pearse “Media Effect And Society” hal. 222
masih hidup, namun kami cukup puas karena Ladya dan bayi Adjie dapat pergi dan
menyelamatkan diri.

4. Cultivation
Teori kultivasi menerangkan bagaimana TV memberikan gambaran umum tentang dunia. Apa
yang disajikan oleh TV setiap hari selalu mengulang permasalahan yang sama sehingga kemudian
hal tersebut diyakini sebagai suatu realitas. Kultivasi juga dapat dipahami sebagai proses
penanaman suatu persepsi dan ideologi yang dilakukan berulang-ulang dengan tujuan
menguatkan persepsi tersebut di dalam benak khalayak.

Jika kita memperhatikan film RD dan horror Indonesia lainnya,maka kita dapat menemukan satu
kesamaan yang menjadi cirri khas film Indonesia. Fil-film horror kita jarang menceritakan
perjalanan atau pengalaman seseorang yang tunggal. Cerita yang banyak ditampilkan adalah
kisah kolektif beberapa orang (biasanya remaja dan bersahabat), yang awalnya tidak memiliki
masalah sama sekali, namun kemudian terjebak dalam sebuah kondisi yang mengerikan karena
ulah satu orang. Dalam kelompok itu biasanya diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, ada
yang bertipe serius dan misterius (biasanya pemeran utama), ada yang berperan sebagai seorang
yang penakut dan kurang pintar , ada yang berperan sebagai orang yang sok tahu dan sok berani
(biasanya sering berdebat dengan pemeran utama dan biasanya menjadi korban pertama kali),
dan tipe-tipe lain. Inti cerita rata-rata homogen, dimana terdapat sekelompok remaja yang
mengganggu ketenangan mahluk halus dan akhirnya mahluk halus itu membalas dendam kepada
mereka. Format ini terlihat dalam beberapa film horror Indonesia seperti Lentera Merah, Pulau
Hantu, Jelangkung, Air Terjun Pengantin, Suster Keramas,Lawang Sewu, Terowongan
Casablanca.

Karakteristik di atas menimbulkan kultivasi bagi penonton film horror Indonesia. Seakan-akan
persoalan horror di Indonesia hanya persoalan reproduksi dan modifikasi dari apa yang telah ada
sebelumnya. Penikmat horror di Indonesia telah menanamkan persepsinya bahwa jalan cerita A
biasanya sama dengan jalan cerita B. Akhirnya, film-film horror Indonesia menjadi tontonan yang
mudah ditebak ending ceritanya. Mengenai konten, khalayak juga dibuat yakin bahwa manusia itu
lebih lemah daripada mahluk halus, karena mahluk halus yang ditampilkan dalam film rata-rata
mampu melakukan pembunuhan dan kekerasan terhadap manusia. Sekarang, timbul persepsi
baru bahwa horror Indonesia adalah film seks terselubung. Hal ini karena di tahun 2010 ada
sekitar 7 film yang menuai kontroversi karena menampilkan adegan-adegan yang menggairahkan
dengan busana yang mini dan menggunakan pemain dari luar, diantaranya suster keramas (Rin
Sakuragi), Diperkosa Setan (Cynthiara Alona), Tiran (Dewi Persik), dan Miyabi Hantu Tanah Kusir
(Maria Ozawa).12

5. Habituation Desensitization
Merupakan salah satu efek psikologis dari TV. Habituasi merupakan respon adatif terhadap
lingkungan. Ketika kita menerima terpaan stimuli secara berulang dan terus menerus, maka hal
tersebut mengurangi kemampuan arousal kita. Kita menjadi kehilangan sensitifitas karena konten
media yang kita lihat selalu mengulang hal yang sama dan membuat kita terbiasa dengan itu.
Misalnya kita terbiasa menonton film slasher seminggu sekali. Pada saat pertama kali kita nonton
film itu, masih ada kengiluan yang dirasakan saat melihat orang memotong-motong bagan tubuh
manusia.,Selanjutnya, mungkin masih ada perasaan seperti itu, namun ketika kegiatan menonton
itu menjadi suatu rutinitas, maka kita akan terbiasa dengan adegan-adegan seperti itu. Sering
menonton konten horor dan kekerasan juga membuat kita berkulit tebal dan mengabaikan
penderitaan orang lain. Kemampuan kita untuk merespon secara spontan pun berkurang sehingga
untuk mengembalikan kemampuan arousal tersebut, kita harus memberikan stimuli pada level
yang lebih tinggi dengan sensasi yang berbeda dengan sensasi habitual.

Sebagai contoh, ketika saya menyaksikan film RD pertama kali, kami merasa ketakutan karena
banyak adegan sadis dan darah dimana-mana. Namun, ketika adegan itu diulang beberapa kali,
maka rasa takut kami sedikit demi sedikit tereduksi. Justru pada akhir-akhir cerita, kami tidak lagi
menutup mata ketika Ladya akan membunuh Ibu Dara. Kami menjadi kebal terhadap penampakan
darah, pisau, gergaji, erangan, teriakan kesakitan, dan lain-lain. Dalam film-film horror lain,
habituation Desensitization juga sering terjadi, terutama karena banyaknya adegan dan efek suara
yang diulang-ulang, bahkan antara film yang satu dengan film yang lain biasanya menggunakan
teknik mengejutkan yang sama, sehingga nuansa horror gagal diciptakan, namun justru membuat
khalayak bosan dan tidak takut lagi.

12
Dikutip dari http://gen22.blogspot.com/2010/12/film-horor-indonesia-kontroversial-2010.html
Kesimpulan

1. Film Rumah Dara dapat membangkitkan perasaan takut melalui efek suara, gambar, teknik
kamera dan pencahayaan.
2. Film ini juga mampu membangkitkan perasaan benci dan kesal yang akhirnya terlampiaskan
pada bagian resolusi.
3. Film RD dan horror Indonesia lainnya memiliki kesamaan yang menumbuhkan persepsi pada
khalayak bahwa manusia jauh lebih lemah dari mahluk halus, film horror Indonesia adalah film
seks terselubung, dan film horror Indonesia memiliki ending yang mudah ditebak.
4. Efek suara dan adegan yang diulang-ulang, mampu menguatkan nuansa kengerian dalam film
horror, namun juga mampu membuat khalayak bosan dan mengalami desensitization.

You might also like