Professional Documents
Culture Documents
1
dikutip dari http://fordiletante.wordpress.com/2008/04/15/kebudayaan-postmodern-menurut-jean-
baudrillard/
2
Dikutip dari http://opayat.multiply.com/journal/item/2
3
Dikutip dari http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html
Kembali ke permasalahan nilai tanda dan nilai symbol. Kedua nilai ini membuat
“sesuatu” tidak hanya menjadi entitas yang merepresentasikan modus produksi dan konsumsi
semata, namun merupakan penanda atau symbolilisasi dari posisi seseorang dalam sebuah
struktur masyarakat tertentu. 4
Pada tahun 1983, Baudrillard menerbitkan karyanya yang berjudul Simulations. Buku
ini menjelaskan bagaimana kebudayaan barat menjadi sebuah representasi dari dunia
simulasi, yaitu dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak,
tanpa ada referensi hubungan yang jelas. Simulasi ini melibatkan tanda asli dan tanda palsu.
Tanda Asli adalah tanda yang tercipta dari proses produksi, sedangkan tanda palsu aalah
tanda yang diciptakan melalui kegiatan reproduksi (pengulangan). Keduanya kadang
muncul secara bersamaan dan menjalin sebuah kesatuan dimana tanda asli dan tanda palsu
sulit untuk dipisahkan. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai Simulakra, sebuah
dunia yang dibangun diatas carut-marutnya nilai, fakta, tanda, kode dan image, dimana
realitas menjadi bias dan tidak memiliki referensi kecuali simulacra itu sendiri. Dalam
kondisi seperti ini, sangat mungkin terjadi jika sebuah tanda asli bukan hanya bercampur
dengan tanda palsu, tapi juga dilemahkan keberadaannya oleh tanda-tanda palsu (citra)5
Hubungan antara realitas dan citra yang kabur pun menjadi semakin membingungkan
ketika terjadi kondisi dimana realitas (tanda asli) dibangun berdasarkan model-model yang
telah dibuat sebelumnya (yang notabene merupakan image/ tanda palsu). Dalam dunia
simulasi keadaan dibalik, bahwa model-model lah yang menjadi cermin dari kenyataan,
bukan realitas itu sendiri. Tokoh-tokoh imajinatif dan asumtif yang seolah-olah hidup dn
dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan menjadi acuan dalam membentuk realitas yang
sesungguhnya, tanpa mau tahu apakah model-model itu benar-benar ada di dunia nyata atau
hanya rekaan. Teknologi yang paling berperan membangun simulasi ini adalah media massa.
Media merekonstrusi sebuah fakta berulang-ulang dan disebarkan melalui media, dan orang
percaya bahwa apa yang mereka lihat di media sebagai keadaan yang sebenarnya. Padahal
,terjadi pembauran konsep ruang dan waktu di dalam media. Ketika menonton sebuah reality
show, orang-orang mengira bahwa hal-hal di dalamnya merupakan hal yang nyata dan benar-
benar terjadi. Padahal, dengan konsep siaran tunda saja sudah memperlihatkan bahwa
4
Dikutip dari tulisan Yuka D. Narendra “Post-Modernisme Dan Praksisnya”
5
Dikutip dari http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html
sebenarnya penonton tidak melihat sesuatu yang real. Penonton tidak benar-benar melihat
apa yang terjadi di dalam realityshow tersebut dengan konteks ruang dan waktu yang sama
dengan waktu pengambilan gambar. Jika kita menonton pada malam hari , dan apa yang kita
tonton memperlihatkan suasana pada malam hari,, itu saja sudah berarti bahwa kita melihat
sesuatu yang tidak real karena tidak sesuai dengan konteks waktu kita. Belum lagi jika
ditambah dengan manipulasi-manipulasi naskah, cerita rekaan dan lain-lain. Itulah yang
disebut sebagai sebuah hiperrealitas dimana semua batas seolah ditiadakan, sehingga tempat,
ruang dan waktu menjadi sesuatu yang sangat absrak namun terasa begitu nyata dalam
tayangan-tayangan televisi.
Kesimpulan
Film ini menggunakan pendekatan postmodern karena Kung Pow benar-benar
mengabaikan adanya standar baku tentang konsep ruang, waktu, budaya dan lain lain. Film
ini mencampurkan segala unsur tanda dan kode asli maupun palsu dan menjadikannya
sebuah kesatuan yang membaurkannya menjadi sebuah siimulakra. Tanda-tanda itu berasal
dari lintas waktu, ruang dan budaya yang berbeda dan disatukan hingga memiliki makna
tersendiri yang absurd. Absurditas ini dipandang sebagai sebuah realitas dan dibangun
menjadi sesuatu yang bisa dijual dan dinikmati, walaupun penonton terkadang dipaksa untuk
mengikuti alur cerita yang tidak tertebak. Hal ini tidak mungkin ditemukan dalam
pemikiran modern dan positivistik. Kemampuan film ini dalam menampilkan hal-hal kecil
namun berdampak besar merupakan kekuatan terbesarnya. Saya belum mengerti secara
mendalam tentang interpretasi makna-makna yang ada di dalamnya. Namun setidaknya saya
mulai mengerti tentang definisi tanda palsu dan tanda asli dalam sebuah produk teknologi
berupa film.
Referensi
- Makalah Yuka Dian Narendra “Post-Modernisme dan Praksisnya”
- http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html
- http://fordiletante.wordpress.com/2008/04/15/kebudayaan-postmodern
- http://opayat.multiply.com/journal/item/2