You are on page 1of 8

Kung Pow

Tanda-Tanda Palsu dan Dekonstuksi Dimensi Waktu


(Pendekatan Postmodern Jean Baudrillard)
Keken Frita Vanri
208000036

SekilasTentang Film Kungpow


Film Kung Pow diproduksi pada tahun 2001 dan merupakan parodi dari film beladiri
Tiger and Crane Fists (1976). Film ini bercerita tentang seorang bayi yang dikenal sebagai
“choosen one” yang memiliki kekuatan super dan lidah yang dapat bicara (diperankan dan
disutradarai oleh Steve Oedekerk). Orangtuanya mati terbunuh oleh seorang penjahat
“Master Pain” aka Betty, yang sebenarnya berniat membunuh choosen one karena ia
dianggap menjadi ancaman dan lawan beratnya. Saat itu Betty tidak berhasil membunuh
choosen one karena ia terus melawan dengan kekuatan super yang ia miliki. Karena
kehabisan akal, Betty membakar rumah choosen one dan mengira ia mati terpanggang
didalamnya. Ternyata choosen one yang masih bayi berhasil kabur dan terjatuh dari jurang
yang sangat tinggi.
Cerita tentang choosen one kecil berhenti sampai disitu dan langsung dilanjutkan
dengan Choosen One dewasa dalam perjalanannya mencari pembunuh orang tuanya, yakni
Betty. Ia juga berusaha mencari perguruan silat untuk melatih kemampuan supernya guna
mengalahkan Betty yang juga memiiki kekuatan hebat yang berasal dari lencana berbentuk
pyramid di dada kanannya. Akhirnya ia bertemu dengan seorang guru bernama Master Tang
(diperankan oleh Jennifer Tung). Seperti film lain dengan tema pembalasan dendam,
akhirnya Choosen One berhasil menghabisi Betty dengan mencabut lencana tersebut,
meskipun sebelumnya ia kehilangan guru dan beberapa orang temannya yang mati terbunuh
oleh Betty.
Jika dilihat dari cerita aslinya, Tiger and Crane fists (1976), film ini merupakan film action
yang serius dan alur ceritanya mudah ditebak. Namun dalam Kung Pow, Stevee mengubah
genre film ini menjadi film komedi dengan menyisipkan banyak hal-hal tak terduga yang
jauh berbelok dari versi aslinya. Stevee berusaha membuat sebuah film yang tidak terfokus
pada substansi cerita melainkan pada atribut-atribut tertentu yang menggiring penonton untu
menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Film ini di-dubbing dalam bahasa Inggris dengan logat yang unik dan dialog yang diubah
sedemikian rupa serta ditambah dengan kalimat-kalimat aneh tanpa makna yang dirasai
hanya sebagai pengisi dialog yang kosong.

Pemahaman Postmodernisme Baudrillard


Postmodernisme dapat dipahami sebagai sebuah pemikiran yang mempertanyakan
batas-batas, akibat dan realisasi dari asumsi-asumsi modernisme. Kaum postmodernis juga
memiliki hasrat untuk hidup dalam sebuah peradaban yang bebas dari tanda dsan kode-kode
baku. Posmodernisme merupakan sebuah wacana kebudayaan yang ditandai dengan
penggunaan media massa sebagai teknologi dan alat produksi tanda yang massif dan
terjadinya pembauran nilai-guna dan nilai-tukar menjadi nilai tanda dan nilai simbol yang
melahirkan realitas semu (hiperrealitas).
Wacana tentang postmodernitas dapat diterapkan dan kerap terlihat dalam berbagai
aspek kehidupan seperti musik, lukisan, fashion style, dan lain-lain. Hadirnya nama-nama
seperti Andy Warhol dengan seni kaleng sup tomat, Antonin Artaud dengan teater absurd,
Stockhausen dengan Oriental music, Pierre Bordeau dengan theatrum politicum, Lyotard
dengan konsep delegitimasi dan Baudrillard dengan hyperreality, simulacra serta dominasi
nilai-tanda/nilai-simbol, merupakan contoh euphoria lahirnya postmodernisme. Hal ini
dimulai dengan adanya kritik terhadap fenomena renaissance yang ternyata belum benar-
benar mencerahkan. Zaman modern menjadi masa yang penuh kontradiksi, sangat ideologis
fanatik terhadap kebenaran ilmiah, dan membuat suatu standar baku tentang pengetahuan..
Menurut Pauline Rosenau, setidaknya ada lima tuntutan postmodernisme terhadap
modernism. Pertama, modernism dianggap gagal mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Kedua, Ilmu pengetahuan belum bisa melepaskan diri dari penyelewengan otoritas keilmuan
demi kepentingan kekuasaan tertentu. Ketiga, Ada banyak pertentangan antara teori dan fakta
dalam ilmu-ilmu modern. Keempat, Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern dapat
memecahkan persoalan manusia ditumbangkan oleh berbagai patologi sosial. Terakhir, Ilmu
modern mengabaikan dimensi spiritual karena terlalu fokus pada atribut fisik individu
(Rosenau, 1992 : 10)1
Dasar-dasar ontologism postmodern dimulai oleh filsafat prancis Jean Lyotard yang
menolak secara radikal pendekatan modern tentang kesatuan.Menurutnya, di masa teknologi
berkembang kesatuan sudah tidak relevan karena mengabaikan perbedaan dan keberagaman
realitas, unsure, permainan dan logikanya masing-masing tanpa perlu saling menindas. Atau
menguasai (Awuy, 1995:198)2.
Jean Baudrillard adalah salah satu filsuf penganut aliran postmodern yang fokus pada
persoalan-persoalan kebudayaan. Baudrillard menggabungkan teori semiotika Barthes,
expenditure (belanjaan) Georges Bataile, dan teori struktural tentang pemberian (gift) milik
seorang antropologis,Marcell Mauss. (Lechte, 1994:233)3. Melalui gabungan ketiganya,
Baudrillard menolak prinsip nilai guna dan nilai tukar Marx dan pendapat bahwa aktivitas
konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas yang non-
utilitarian(Baudrillard,1993 : 68). Baudrillard mengambil pendapat marcell dan Bataille
bahwa kegiatan memberikan atau membelanjakan sesuatu ternyata didasarkan pada
kebanggan simbolik/ prestise, bukan karena aspek fungsional. Hal ini berarti bahwa suatu
fenomena tidak bisa digeneralisasikan untuk konteks-konteks tertentu.
Adanya konversi nilai-tukar dan nilai guna menjadi nilai tanda dan nilai simbol ini
menandai masa dimana sesuatu tidak lagi hanya memiliki makna tunggal, melainkan terkait
dengan konteks ruang dan waktu. Lingkungan mengambil bagian yang besar dalam proses
penciptaan makna atas sesuatu. Begitu pula dengan dimensi waktu, dimana setiap pemaknaan
juga dipengaruhi oleh konteks waktu kapan, dalam keadaan apa, dan bagaimana ia dimaknai.
Jika dikaitkan dengan teks, maka dapat diasumsikan bahwa setiap teks tidaklah memiliki
makna yang monosemik. Makna teks tergantung pada interpetasi pembacanya. Proses
interpretasi sendiri dipengaruhi oleh individual differences yang menjadikannya amat relative
dan subjektif. Bisa dikatakan bahwa makna adalah hak perseorangan yang dibentuk dan
dimiliki sebagai hasil konstruksi sosial dan budaya.

1
dikutip dari http://fordiletante.wordpress.com/2008/04/15/kebudayaan-postmodern-menurut-jean-
baudrillard/

2
Dikutip dari http://opayat.multiply.com/journal/item/2
3
Dikutip dari http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html
Kembali ke permasalahan nilai tanda dan nilai symbol. Kedua nilai ini membuat
“sesuatu” tidak hanya menjadi entitas yang merepresentasikan modus produksi dan konsumsi
semata, namun merupakan penanda atau symbolilisasi dari posisi seseorang dalam sebuah
struktur masyarakat tertentu. 4
Pada tahun 1983, Baudrillard menerbitkan karyanya yang berjudul Simulations. Buku
ini menjelaskan bagaimana kebudayaan barat menjadi sebuah representasi dari dunia
simulasi, yaitu dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak,
tanpa ada referensi hubungan yang jelas. Simulasi ini melibatkan tanda asli dan tanda palsu.
Tanda Asli adalah tanda yang tercipta dari proses produksi, sedangkan tanda palsu aalah
tanda yang diciptakan melalui kegiatan reproduksi (pengulangan). Keduanya kadang
muncul secara bersamaan dan menjalin sebuah kesatuan dimana tanda asli dan tanda palsu
sulit untuk dipisahkan. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai Simulakra, sebuah
dunia yang dibangun diatas carut-marutnya nilai, fakta, tanda, kode dan image, dimana
realitas menjadi bias dan tidak memiliki referensi kecuali simulacra itu sendiri. Dalam
kondisi seperti ini, sangat mungkin terjadi jika sebuah tanda asli bukan hanya bercampur
dengan tanda palsu, tapi juga dilemahkan keberadaannya oleh tanda-tanda palsu (citra)5
Hubungan antara realitas dan citra yang kabur pun menjadi semakin membingungkan
ketika terjadi kondisi dimana realitas (tanda asli) dibangun berdasarkan model-model yang
telah dibuat sebelumnya (yang notabene merupakan image/ tanda palsu). Dalam dunia
simulasi keadaan dibalik, bahwa model-model lah yang menjadi cermin dari kenyataan,
bukan realitas itu sendiri. Tokoh-tokoh imajinatif dan asumtif yang seolah-olah hidup dn
dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan menjadi acuan dalam membentuk realitas yang
sesungguhnya, tanpa mau tahu apakah model-model itu benar-benar ada di dunia nyata atau
hanya rekaan. Teknologi yang paling berperan membangun simulasi ini adalah media massa.
Media merekonstrusi sebuah fakta berulang-ulang dan disebarkan melalui media, dan orang
percaya bahwa apa yang mereka lihat di media sebagai keadaan yang sebenarnya. Padahal
,terjadi pembauran konsep ruang dan waktu di dalam media. Ketika menonton sebuah reality
show, orang-orang mengira bahwa hal-hal di dalamnya merupakan hal yang nyata dan benar-
benar terjadi. Padahal, dengan konsep siaran tunda saja sudah memperlihatkan bahwa

4
Dikutip dari tulisan Yuka D. Narendra “Post-Modernisme Dan Praksisnya”
5
Dikutip dari http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html
sebenarnya penonton tidak melihat sesuatu yang real. Penonton tidak benar-benar melihat
apa yang terjadi di dalam realityshow tersebut dengan konteks ruang dan waktu yang sama
dengan waktu pengambilan gambar. Jika kita menonton pada malam hari , dan apa yang kita
tonton memperlihatkan suasana pada malam hari,, itu saja sudah berarti bahwa kita melihat
sesuatu yang tidak real karena tidak sesuai dengan konteks waktu kita. Belum lagi jika
ditambah dengan manipulasi-manipulasi naskah, cerita rekaan dan lain-lain. Itulah yang
disebut sebagai sebuah hiperrealitas dimana semua batas seolah ditiadakan, sehingga tempat,
ruang dan waktu menjadi sesuatu yang sangat absrak namun terasa begitu nyata dalam
tayangan-tayangan televisi.

Analisis Film Kungpow


Film kungpow seperti yang sekilas telah dijelaskan merupakan sebuah karya yang
kental berlandaskan semangat posmodernisme. Parodi ini berusaha membongkar makna-
makna dalam film aslinya Tiger and Crane fists seerta membangun ulang makna-makna
tersebut menjadi suatu hal yang jauh berbeda. Saya tidak begitu mengerti bagaimana jalan
cerita film Tiger and Crane Fists, dan bahkan saya belum bisa menjelaskan apakah itu
termasuk film Hongkong, atau China secara rinci dan jelas. Namun saya berusaha melihat
fenomena konstruk dan dekonstruksi makna dalam film tersebut yang pada akhirnya
menggeser genre film ke posisi yang amat jauh dari posisi awal. Dalam film ini saya
menemukan banyak sekali tanda-tanda palsu yang mengobrak-abrik otentitas makna dalam
film Tiger and Crane Fists. Stevee Oedererk berhasil menggunakan teknik komputerisasi dan
blue screen untuk melakukan reproduksi makna melalui perubahan karakter tokoh utama
yang sebenarnya orang Asia menjadi karakter tokoh Eropa. Ada banyak kejanggalan di awal
film Kung Pow yang membuat saya bertanya-tanya, seperti bagaimana mungkin seorang bayi
yang dilahirkan dari keluarga Asia ( ayah, ibu dan adik-adiknya berwajah China), tiba-tiba
tumbuh menjadi orang dewasa dengan karakter yang sama sekali bukan China melainkan
Eropa. Memang di awal film tidak dijelaskan apakan bayi tersebut merupakan anak kandung
atau dipungut oleh keluarga tersebut. Yang pasti, ada konteks waktu yang dilompati
sedemikian jauh sehingga penonton tidak tahu bagaimana kehidupan bayi ini selama ia
kanak-kanak hingga dewasa. Siapa yang merawat dan membesarkan serta membentuk
pemahaman di dalam diri Choosen One bahwa ia harus membalaskan dendam kedua
orangtuanya ketika dia dewasa. Persoalan ahistoris ini yang menjadi pertanyaan utama saya
untuk film ini.
Tanda-tanda asli dan palsu bermunculan secara bergantian dan perubahannya bisa
dibilang belum begitu halus. Steve menghadirkan hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai
dengan konteks waktu dan tempat dalam film tersebut. Misalnya ketika terjadi pertarungan
antara Choosen One dengan beberapa orang prajurit di padang rumput, keadaan saat itu
memperlihatkan seolah-olah Choosen One sedang berhadapan dengan puluhan orang
pasukan yang bisa mengancam keselamatannya. Kamera melakukan zooming berganti-
gantian antara Choosen One dengan musuhnya satu persatu, dan terjadi pengulangan yang
cukup lama antara Choosen One dengan satu orang yang diposisikan sebagai pemimpin
pasukan itu.. Ketika suasana emosional sedang dibangun, tiba-tiba kamera mengambil
gambar seorang gay berpakaian bikini kuning cerah dengan rambut blonde dan gaya miss
USA yang muncul entah dari mana dan dengan tujuan apa. Mungkin ini merupakan sindiran
bahwa perempuan dimanapun diperlakukan sebagai objek hiburan, bahkan saat perang,
misalnya Miss USA yang dikirim untuk menghibur pasukan yang bertarung di Perang
Vietnam sekitar tahun 196o-an. Kemunculan-kemunculan sesuatu yang aneh dan di luar
konteks ini terus terjadi dalam scene-scene selanjutnya
Materi-materi yang tidak relevan dengan konteks waktu pada film itu juga terlihat
pada anjing peliharaan Choosen One dan seekor sapi perah yang bertarung dengan Choosen
One. Anjing yang dipelihara dan selalu setia menemani Choosen One ini tidak diketahui asal
mula kedatangannya dan jelas terlihat bahwa anjing ini bukan tipikal anjing yang hidup di
China saat itu. Keanehan yang sama juga terlihat pada sapi perah. Selain efek
komputerisasinya yang sengaja diperlihatkan agar terlihat lucu,, sapi jenis ini adalah sapi
yang dihidup New Zealand dan daratan Eropa lainnya, namun tiba-tiba hadir di China dan
terlihat akrab dengan gerakan-gerakan action yang menyerupai adegan-adegan dalam film
matrix.
Perombakan makna juga terjadi karena dialog dalam film ini di-dubbing dalam
bahasa Inggris dengan suara-suara yang unik dan emosi-emosi yang berlebihan serta
kalimat-kalimat yang tidak memiliki makna yang jelas seperti kata-kata “uweuweuwe” serta
pengulangan-pengulangan kata seperti saat Master Tang melarang Choosen One pergi
mencari Betty, ia mengatakan “you never make it, never make it, never maybe never,maybe
never maybe” dilanjutkan dengan suara tangisan yang berlebihan. Ada juga beberapa adegan
yang diputar berkali-kali, mungkin dengan maksud menciptakan efek kumulatif bagi
penonton semisal adegan saat Mr. Tang membuka pakaiannya di depan Chosen One hingga 3
kali dan menyisipkan dialog-dialog lucu yang dbawakan secara serius. Saya tidak mengerti
apa maksud dan tujuan Stevee Oodekerk disamping keinginannya menghibur penonton
dengan suatu hal yang berbeda dan unpredictable. Tapi yang jelas, ada maksud dibalik
disebutnya Kota Paris, Perancis dalam film ini. Apalagi, Perancis dikenai image buruk
sebagai tempat dimana komunitas Evil yang notabene jahat, berasal.

Kesimpulan
Film ini menggunakan pendekatan postmodern karena Kung Pow benar-benar
mengabaikan adanya standar baku tentang konsep ruang, waktu, budaya dan lain lain. Film
ini mencampurkan segala unsur tanda dan kode asli maupun palsu dan menjadikannya
sebuah kesatuan yang membaurkannya menjadi sebuah siimulakra. Tanda-tanda itu berasal
dari lintas waktu, ruang dan budaya yang berbeda dan disatukan hingga memiliki makna
tersendiri yang absurd. Absurditas ini dipandang sebagai sebuah realitas dan dibangun
menjadi sesuatu yang bisa dijual dan dinikmati, walaupun penonton terkadang dipaksa untuk
mengikuti alur cerita yang tidak tertebak. Hal ini tidak mungkin ditemukan dalam
pemikiran modern dan positivistik. Kemampuan film ini dalam menampilkan hal-hal kecil
namun berdampak besar merupakan kekuatan terbesarnya. Saya belum mengerti secara
mendalam tentang interpretasi makna-makna yang ada di dalamnya. Namun setidaknya saya
mulai mengerti tentang definisi tanda palsu dan tanda asli dalam sebuah produk teknologi
berupa film.

Referensi
- Makalah Yuka Dian Narendra “Post-Modernisme dan Praksisnya”
- http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html
- http://fordiletante.wordpress.com/2008/04/15/kebudayaan-postmodern
- http://opayat.multiply.com/journal/item/2

You might also like