You are on page 1of 17

HARIAN KAMI DALAM PERISTIWA MALARI 1974

Keken Frita Vanri

208000036

Indonesia pada masa orde baru dipimpin oleh seorang berdarah dingin, Soeharto. Berangkat
dari karir politik di dunia militer, dia menjalankan pemerintahan dengan gaya kepemimpinan
otoriter yang tak kenal ampun. Perintahnya bagaikan sihir yang tak bisa dielakkan. Soeharto
amat menjaga jarak dengan pers dan dengan orang-orang yang dirasa kritis dan rasional.
Banyak kasus hilangnya orang-orang yang berani menentang dan melawan Soeharto,.
Sedangkan bagi pers, pembredelan dan pencabutan SIUPP adalah ketakutan terbesar yang
diciptakan penguasa pada masa itu.

Untuk tahu mengenai perkembangan pers dimasa orde baru, saya rasa perlu saya jelaskan
sedikit tentang kemunculan pers Indonesia di rezim orde lama.Pers Indonesia berkembang di
jaman orde lama ketika perusahaan pers belanda seperti De Locomotief (1852), Soerabaiasch
Handelsblad (1866) ditutup dan diambil alih menjadi perusahaan negara pada tahun 1957.
Selain pers Belanda, pers peranakan China Misalnya Keng Po (koran antikomunis 1923) dan
Sin Po (Komunis 1910) dipaksa mengganti nama menjadi Pos Indonesia dan Warta Bhakti.
Sejak saat itu, pers pribumi seperti Merdeka (dipimpin oleh B.M Dyah), Indonesia Raya
(Mochtar Lubis) dan Berita Indonesia (Sumantoro) menjadi semakin kuat. Bahkan di jaman
ini, pers berani menyebut diri mereka sebagai pers perjuangan yang bertugas mengisi
kemerdekaan. Dalam situasi ini muncul koran-koran lokal baru seperti Kedaulatan Rakyat di
Jogjakarta dan Soeara Merdeka di Bandung. Ada juga koran-koran yang diterbitkan oleh
partai poitik seperti Suluh Indonesia (PNI), Harapan Abadi (Masyumi), Pedoman (Partai
Sosialis Indonesia) dan Harjan Rakyat (PKI).1

Pers kali ini memiliki kebebasan yang amat besar dalam menyampaikan suatu informasi
kepada masyarakat. Namun dengan munculnya koran-koran milik partai politik, maka fungsi
pers yang dominan pada masa ini adalah sebagai alat propaganda parpol. Peranan pers
berubah dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Akhirnya, pers tidak lagi berorientasi

1
Dkutip dari Tempo Online.Piramida Pers Indonesia. 15 Januari 1992

1
pada kepentingan informasi masyarakat, melainkan kepentingan partai. Terlebih saat muncul
paham Manipol Usdek, pers banyak digunakan untuk saling memfitnah dan menjelekkan satu
sama lain dengan tujuan merusak simpati masyarakat terhadap partai tertentu.

Kebebasan pers dimasa ini dirasakan sudah melampaui batas. Karena itu dibuat kebijakan
bahwa setiap perusahaan pers wajib memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Tanggal 1 Oktober
1959 adalah batas terakhir pendaftaran bagi perusahaan pers untuk mendapat SIT. Tanggal
inilah yang sering disebut-sebut sebagai hari kematian Pers. Selain harus memiliki SIT,
koran-koran di masa ini harus memiliki induk pengelolaan partai politik atau kekuatan sosial
politik yang berpusat ke Jakarta.

Sesudah itu, penerbit pers yang kritis seperti Indonesia raya dan Pedoman, akhirnya dibredel.
Indonesia raya dibredel karena berani mengkritik gaya kepemimpinan demokrasi terpimpin di
bawah pimpinan Soekarno. Sedangkan Merdeka harus terbengkalai karena B.M Dyah harus
menjadi duta besar. Banyak koran politik yang tetap bertahan, salah satunya yang paling kuat
adalah Berita Yudha dan Warta Bhakti. Di tahun 1965, giliran Warta Bhakti dibredel dan
tempatnya digantikan oleh Sinar Harapan. Di tahun yang sama Kompas muncul layaknya
anak kecil yang masih lugu. Terlepas dari 1965, Indonesia mengalami perubahan dengan
direbutnya kekuasaan negara oleh Jenderal Soeharto. Dengan itu, sejarah Indonesia masuk
pada babak baru,rezim orde baru.

Sistem Politik Orde Baru

Soeharto dengan orde barunya telah membawa Indonesia kepada kesejahteraan semu. Ia
dengan kekuatan politik yang begitu besar mampu membungkam siapapun yang berusaha
menghalanginya. Kemantapannya duduk di kursi Presiden RI selama 32 tahun menjadi bukti
betapa kuatnya kekuatan Politik Soeharto.

Bicara tentang Soeharto tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sistem politik orde baru.
Almond and Dowell pernah mengkategorikan sistem politik menjadi tiga jenis, yakni sistem
politik primitif, tradisional dan modern.2 Sedangkann Ramlan Subakri membagi sistem
politik ke dalam empat tipe, yaitu Sistem politik Otokrasi Tradisional, Totaliter, Demokrasi
dan Sistem politik di negara berkembang.3

2
Dikutip dari makalah “Macam-Macam Sistem Politik Di Dunia” . Ahmadin A. Dkk. 2008
3
ibid

2
Indonesia adalah salah satu contoh negara berkembang di Asia yang mengalami pertumbuhan
ekonomi pesat di masa orde baru. Pendapatan per kapita yang kurang dari US$100 pada
tahun 1966 meningkat tajam menjadi US$1.000 pada tahun 1996 dan diperkirakan mencapai
US$ 3.000 pada tahun 2020.4 Untuk itu, saya akan membahas sistem politik Indonesia dari
perspektif sistem politik di negara berkembang.

Ada beberapa karakteristik dari sistem politik di negara berkembang. Ia sulit digolongkan ke
dalam sistem politik totaliter atau demokrasi. Kenapa tidak totaliter? Karena menurut Ramlan
Subakri hubungan kekuasaan di negara berkembang bersifat dominatif, negatif dan sarat
paksaan, namun dapat terjadi kesepakatan bersama walaupun keputusan tetap ada di tangan
presiden atau perdana menteri.

Sedangkan alasan Indonesia tidak bisa digolongkan kedalam negara demokrasi adalah karena
menurut Paul Tresno, Soeharto memiliki dua sasaran politik,, yaitu (1) mengkonsolidasi
kekuasaannya (2) mendepolitisasi rakyat. Lembaga-lembaga negara diatur sehingga selalu
berada di posisi pengendali, sedangkan kekuatan partai politik dikooptasi dengan meleburkan
10 partai menjadi 3 partai saja, Golkar, PPP dan PDI. Selain itu, kekuasaan politik banyak
dipegang oleh orang-orang dekat Soeharto seperti keluarga dan sahabat-sahabatnya. Hal ini
jelas bertentangan dengan paham demokrasi dimana setiap orang memiliki hak untk
berpartisipasi dalam hal politik

Indonesia di masa orde baru dipimpin dengan semangat militer dari Soeharto yang memang
memiliki latar belakang seorang jenderal. Dalam menetapkan suatu kebijakan ia berdiskusi
dengan para asisten pribadi dan jenderal-jenderal kepercayaannya, meskipun keputusan final
selalu dibuat berdasarkan kepentingan pribadinya.

Pemerintahan Soeharto dijalankan dengan melakukan program-program pembangunan,


misalnya Pelita 1 dan 2. Pembangunan ini didasarkan pada Trilogi Pembangunan yakni (1)
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. (2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (3) Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.

Soeharto amat fokus pada stabilitas nasional agar program-program pembangunan dapat
berjalan lancar tanpa hambatan. Hal-hal yang berbau kemajuan di bidang ekonomi selalu
disiarkan melalui media, sedangkan persoalan-persoalan yang dapat merusak kepercayaan

4
Dikutip dari Paul Tresno. The Ideal Presiden.2009. Hlm 38

3
masyarakat terhadap pemerintah selalu ditutup. Untuk menjaga kepercayaan itu, Soeharto
kerap menggunakan strategi-strategi propaganda yang halus dan tidak disadari oleh rakyat.
Proyek-proyek pembangunan dan keberhasilan orde baru selalu digaungkan dan dibuat
seolah-olah berpihak pada rakyat.

Berbagai penataran dan seminar-seminar indoktrinasi diselenggarakan serta wajib diikuti oleh
semua golongan masyarakat. Penataran ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai
Pancasila dan membentuk pribadi pancasilais yang bersedia mendukung program-program
pemerintah serta bersama-sama memusuhi musuh negara, misalnya PKI.

Dalam melancarkan strategi propaganda, pemerintah merangkul pers sebagai partner alias
corong kebijakan mereka. Pers dituntun untuk memberitakan hal-hal positif seputar
pemerintahan yang tengah berjalan. Walaupun begitu, Soeharto sebenarnya menjaga jarak
dengan pers. Ia tahu betul potensi pers yang bisa mendukung sepenuhnya pembangunan,
sekaligus menjadi bumerang bagi rezimnya sendiri.5

Romantisme Soeharto dengan pers dan rakyat tidak berlangsung lama, hanya tujuh tahun.
Pers dirasa sudah tidak sejalan dengan pemerintah. Kepemimpinan Soeharto menjelma
menjadi tangan-tangan keras yang menerapkan otoritarianisme pasca peristiwa Malari.
Pengendalian kekuasaan dijalankan dengan tegas, bahkan kejam terhadap rakyat.

Pers Pada Masa Orde Baru

Orde baru yang dimulai sejak tahun 1966 dan berakhir di pertengahan tahun 1998 pada
awalnya dirasa mampu membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan orde lama. Berbagai
kemajuan dan keterbukaan dijanjikan bagi masyarakat agar senantiasa mendukung Soeharto.
Terbukti sampai saat banyak orang yang merasa bahwa hidup di jaman orde baru lebih baik
daripada sekarang, karena biaya sandang, pangan dan papan sangat murah. Namun di balik
semua kemajuan yang dicapai orde baru, ada banyak hal yang dikorbankan, salah satunya
adalah kebebasan pers.

Menurut Freedom House Index, ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur kebebasan media. Yang pertama kondisi legal yang terlihat dari hukum,ketentuan
konstitusi dan regulasi yang membatasi kemampuan media untuk beroperasi secara bebas.

5
Wawancara dengan Bapak Eduard Lukman di Universitas Indonesia (UI Salemba). Rabu,19 Mei 2010

4
Yang kedua, lingkungan politik, yang mengevaluasi kontrol politik dalam isi berita di media.
Yang terakhir adalah keadaan ekonomi, yang meliputi kepemilikan media, infrastruktur
media yang terkait, konsentrasi media, pengaruh suap dan korupsi terhadap isi media, dan
pemotongan subsidi oleh pemerintah. Meskipun upaya untuk mengukur kebebasan pers tidak
pernah sempurna, namun dari ukuran itu, kebebasan pers dibedakan menjadi tiga level,
“bebas”, “setengah bebas”, dan “tidak bebas”. Dari data Freedom House tahun 2008, secara
global, sebanyak 37% media yang benar-benar bebas, 30% media “setengah bebas”, dan
terdapat 33% media “tidak bebas”. 6

Dilihat dari karakteristik di atas, menurut saya pers Indonesia di masa orde baru termasuk
dalam pers “tidak bebas”.

Soeharto mengerti betul bahwa pers memiliki peran-peran strategis dalam masyarakat. Ia tahu
bahwa pers mampu mendukung program-program pemerintah, namun pers juga memiliki
potensi untuk menghambat jalannya pemerintahan melalui kritik-kritiknya. Ini yang membuat
Soeharto menjaga jarak dengan Pers.7 Namun di awal orde baru tahun 1966, pemerintah tetap
memberikan kesempatan pada perusahaan pers yang dibredel untuk terbit kembali. Hal ini
tidak lain untuk membentuk relasi dan menjadikan pers sebagai partner pemerintah. Koran-
koran yang kembali hidup adalah Indonesia Raya dan Pedoman. Kebetulan saat itu B.M
Dyah (mantan pemimpin harian Merdeka) diangkat menjadi menteri penerangan pertama di
masa orde baru sehingga dukungan pun mengalir kepada pers. Sinar Harapan dan Berita
Yudha masih tetap menjadi pioner pers di Jakarta.

Pers memang mengalami masa-masa kejayaannya di tahun 1966-1974. Bahkan periode


tersebut disebut sebagai “bulan madu” antara pers dan pemerintah.Seorang kolumnis dan
direktur PDBI, Dr Taufik, menyebut periode ini sebagai “musim panas Indian” dimana pers
merayakan terpilihnya pemimpin baru.8 Pers mengira bahwa mereka dapat bertindak sebagai
penyeimbang (check and balances) dan pengawas pemerintah dalam situasi politik orde baru.
Namun ternyata, pers tetap berada pada posisi subordinat dan belum mampu memainkan
peran politiknya secara utuh karena masih menjadi alat hegemoni penguasa.

Pers mendapat tugas untuk menanamkan ideologi-ideologi nasional dan mempertahankan


status quo alias mempertahankan situasi politik yang memang kondusif tanpa kritik. Apa
yang dibicarakan oleh media hanya seputar keberhasilan-keberhasilan penguasa dan
6
Dikutip dari buku Coyne, J Christoher. Media, Development and institutional Change. Hlm 3-4
7
Wawancara dengan Bapak Eduard Lukman di Universitas Indonesia (UI Salemba). Rabu,19 Mei 2010.
8
Dikutip dari Mochtar Lubis.Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. Hlm.vii

5
cenderung menutupi kebobrokannya, terutama di bidang ekonomi, dengan alasan agar
keadaan tetap aman dan stabilitas nasional tetap terjaga. Keadaan ini sedikit berbeda dengan
penelitian Wanta dan Foote (1994) yang mengamati pengaruh Bush pada NBC,ABC dan
CBS. Mereka melihat bahwa asosiasi yang muncul antara presiden dan media justru terlihat
dalam isu-isu mengenai masalah sosial (pembangunan) dan isu sosial (sensor, kontrol
senjata,dll), sedangkan masalah ekonomi sedikit mendapat perhatian.9

Nihilnya kebebasan pers ini menimbulkan kerugian yang signifikan, terutama dalam hal
ekonomi dan perkembangan manusia (data dari World Development Report 2002 181-193)10.
Laporan ini menunjukkan bahwa media yang bebas sebenarnya dapat mengurangi korupsi,
membantu usaha kesehatan publik, dan mengembangkan pendidikan. Namun dengan
terkooptasinya kritisisme pers Indonesia ada masa itu, 30% dana pinjaman luar negeri bocor
dan mengucur ke saku penguasa.(Dennis de Tray)11

Keadaan pers diperlemah dengan pembentukan dewan pers di tahun 1968 sebagai bentuk
pelaksanaan UU no 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers. Awalnya pers
mengira bahwa kelahiran dewan pers dapat membantu mereka mewujudkan kebebasan dan
independensi pers. Adapun beberapa fungsi dewan pers yakni (1) melindungi kemerdekaan
pers dari campur tangan pihak lain, baik pemerintah maupun masyarakat (2) melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers (3) Menetapkan dan mengawasi
pelaksanaan kode etik jurnalistik (4) memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan (5)
mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah (6) memfailitasi
organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
wartawan (7) mendata perusahaan pers.12

Namun kenyataannya, Dewan pers justru bertindak layaknya penasehat pemerintah


khususnya departemen penerangan. Bahkan dalam UU no 11 tahun 1966 pasal 7 ayat 1
disebutkan bahwa “Ketua Dewan Pers Adalah Menteri Keuangan”. 13 Hal ini jelas makin
mengebiri fungsi-fungsi pers orde baru.

9
Dikutip dari George Chomstock.Psychology Of Media and Politics.hlm 177
10
Dikutip dari buku Coyne, J Christoher. Media, Development and institutional Change. Hlm 5
11
Dikutip dari buku Paul Tresno. The Ideal President. 2009. Hlm 45
12
Dikutip dari www.JurnalNasional.com
13
Dikutip dari http://www.theceli.com

6
Pers di masa orde baru memiliki keunikan diantara pers-pers sebelumnya terkait dengan
teori-teori normatif media. Menurut Siebert dalam buku Four Theory Of the Press, Ada 4
jenis teori pers, yakni pers otoritarian, pers libertarian, pers dengan penekanan tanggung
jawab sosial, dan pers totalitarian.14

Teori pers otoritarian berkembang di Inggris pada abad ke 16. Fungsi pers ini lebih pada
mendukung dan memajukan kebijakan dan kekuasaan pemerintah. Menurut teori ini, pers
dapat dimiliki oleh pemerintah ataupun swasta.

Teori pers libertarian diadopsi dari sistem pers Inggris tahun 1688 oleh Amerika dan
disebarkan ke seluruhh dunia. Fungsi pers adalah sebagai media informasi, menghibur dan
menjual produk yang memberikan kebenaran dan mengawasi pemerintah. Kepemilikan atas
media pun diutamakan bagi swasta.

Pers dengan penekanan pada tanggung jawab sosial mulai dipraktekan di Amerika pada abad
ke-20. Pers ini termasuk pers bebas dengan mempertimbangkan tanggung jawab sosial
terhadap khalayak dan pesan yang ia sampaikan. Kebebasan pers sebaiknya tidak melanggar
kebebasan orang lain kepentingan publik.

Pers yang terakhir pers totalitarian yang dikembangkan oleh Nazi di Jerman. Pers bertujuan
untuk melanggengkan kekuasaan dan kediktartoran partai. Kepemilikannya pers masa itu
dikuasai oleh pemerintah.

AG. Eka Wenats15 dalam essainya yang berjudul “Melampaui 4 Teori Pers” mengungkapkan
bahwa pers di Asia, termasuk Indonesia, tidak dapat dijelaskan dalam kerangka empat teori
pers tersebut. Hal ini karena sistem pers di Indonesia terutama pada masa orde baru
cenderung ke arah perusahaan keluarga atau kroni-kroni penguasa.16

Pers di masa orde baru tidak temasuk dalam keempat teori tersebut. Pers Indonesia pada masa
orde baru adalah pers pancasila. Semasa pemerintahan Soeharto, Pancasila memang dijadikan
sebagai ideologi mutlak yang harus dijalankan oleh seluruh golongan masyarakat termasuk
media. Pancasila dianggap harus dijadikan pegangan agar stabilitas nasional tetap terjaga.
Karena itu,sering sekali diadakan pelatihan atau penataran P4 (pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) bagi siswa dan mahasiswa baru, guru, dosen, pegawai negeri, dan
wartawan untuk mewujudkan masyarakat yang pancasilais. Wartawan-wartawan pada masa
14
Dikutip dari http://www.coolschool.k12.or.us
15
Dosen pelopor Peminatan Media Studies di Univ Paramadina
16
Dikutip dari essai AG Eka Wenats Melampaui 4 Teori Pers:(Model Baru untuk Asia dan Pers Dunia)

7
itu mengalami tekanan ideologis karena dilarang menulis kritik terhadap birokrsi yang
berjalan dan ruang geraknya diminimalisir. Pikiran wartawan dibatasi oleh ketakutan-
ketakutan akan efek pemberitaan terhadap stabilitas dan keamanan nasional yang sengaja
diciptakan oleh pemerintah melalui penataran P4 untuk menekan pers.

Pers pancasila menurut Bappenas adalah pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta
lebih meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya antara
pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata
informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis 1 sendiri diciptakan
pemerintah dengan tujuan politis, dimana pemerintah membuat suatu pedoman yang tidak
bisa dilanggar oleh pers.17 Dari karakteristik tersebut bisa kita lihat bahwa Pers pancasila
adalah pers yang bebas dan demokratis. Namun jika melihat lagi kepada kondisi real pers
Indonesia pada masa itu dimana pemerintah begitu mencengkeram pers dengan cakar-
cakarnya yang tajam dan menyumpal mulut wartawa dengan penataran-penataran p4 , pers
Indonesia pada masa orde baru jauh dari kata bebas. Pers Indonesia belum mengenal
kebebasan pers yang berarti kemampuan menggunakan ruang jurnalistik dalam mencari,
menerbitkan dan mengedarkan informasi.18

Meskipun begitu, bukan berarti pers Indonesia tidak memberikan perlawanan apa-apa. Pers
mulai gerah dengan perlakuan yang mereka terima selama ini dan mulai menulis kritik-kritik
pedas terhadap pemerintah sejak tahun 1970-an. Misalnya Indonesia raya yang mengecam
monopoli impor film Mandarin serta mengkritik PT Bogasari yang menaikkan harga tepung
terigu guna membayar utang mereka selama emat tahun.19 Di pertengahan tahun 1973, harian
KAMI banyak memberitakan tentang beras yang sulit didapat. Hal ini merupakan perlawanan
pers terhadap orde baru yang diikuti dengan perlawanan fisik mahasiswa di awal 1973.

Tentang Harian KAMI

KAMI merupakan salah satu harian yang kritis terhadap pemerintahan orde lama hingga orde
baru. KAMI muncul tidak lama setelah peristiwa G30S/PKI 1965. Pemimpin umum harian

17
http://dyendlessly.wordpress.com
18
Dikutip dari Daniel Dhakidae.Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru Hlm 376
19
Dikutip dari Dikutip dari Mochtar Lubis.Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. Hlm.x

8
ini adalah Zulharmans (1966-1974) yang menjadi Ketua Umum PWI pusat tahun 1983
menggantikan Harmoko yang diangkat menjadi menteri penerangan. Wakil-wakil pemimpin
redaksi harian KAMI antara lain Burhan Djabier Magenda dan (1966-1974) dan Ismid Hadad
(1966-1971) yang merupakan Kepala Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI)
pusat.

Kerasnya bahsa-bahasa yang digunakan oleh KAMI memang tidak terlepas dari para
perintisnya seperti Zuharmans, Goenawan Muhammad, Nono Anwar Makarim
danChristianto Wibisono yang merupakanaktifis-aktifis mahasiswa yang lumayan keras
menentang orde baru. Zul (penggilan akrab Zulharmans) juga pernah difitnah sebagai seorang
yang “tidak bersih lingkungan” hingga posisinya di PWI digantikan oleh Sugeng Wijaya,
seorang petinggi ABRI, pemimpin redaksi Berita Yudha. Namun sahabatnya, Harmoko
selaku menteri penerangan pada masa itu berusaha membela mati-matian dalam setiap
sambutannya.

Zulharmans termasuk orang yang berani dalam melontarkan kritik terhadap pemerintahan
Soeharto, sekalipun ia sedang duduk sebagai ketua PWI pusat. Hal ini terbukti waktu ia dan
Harmoko membuat pernyataan keras yang menegaskan bahwa setiap masyarakat pers tidak
sependapat bila pencabutan SIT (Surat Izin Terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) dilakukan
tanpa berkonsultasi duu dengan PWI.20

Sama kerasnya dengan Zuharmans, harian KAMI yang dipimpinnya berani memuat berita-
berita yang berbau kritik terhadap pemerintahan Soeharto, terutama di tahun 70-an ketika
modal asing gencar-gencarnya mengucur ke dalam negeri. Besarnya pinjaman yang tidak
pernah dinikmati rakyat secara utuh memancing KAMI untuk menulis judul-judul yang
bernada provokatif.

Tercatat oleh saya beberapa berita yang dimuat dalam Harian KAMI dan terasa membuat
pemerintah gerah. Dimulai dengan berita kenaikan tarif listrik sebesar 40% yang akan
diberlakukan mulai 1 Juli 1973.21 Hal ini dilakukan dalam rangka penyehatan keuangan PLN
pada akhir Pelita II. Dengan kenaikan itu diharapkan penerimaan PLN pada tahun 1978 bisa
mencapai angka 65,7 milyar, dan 22,6 milyar di tahun 1973. Menurut Menteri Pekerjaan
Umum dan tenaga Listrik, Ir Sutami, hal ini tidak memberatkan rakyat dan kaum industri
karena sudah dipertimbangkan sebelumnya. Selain itu ada juga berita tentang kelangkaan

20
Dikutip dari http://pwi.or.id
21
Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2055 Sabtu 16 Juni 1973

9
beras dengan harga tidak menentu dan kesediaan beras dengan harga naik yang semula Rp.
55,- per kg menjadi Rp.67,50,- per kg

Berita lain yang banyak dimuat adalah banyaknya proyek bangunan sipil yang dikuasai
perusahaan asing (hampir 90%)22. Hal ini disampaikan dalam “seminar management
problems dan management training needs”. Menurut Prof Ir. Rosseno, ini terjadi karena
Indonesia lemah dalam hal modal dan management.

Informasi lain yang lebih memancing emosi masyarakat adalah headline yang berjudul
“Hutang 7 Milyar Dollar Mengancam Bangsa” dengan sub judul “Pelita II Jangan Hanya
Dinikmati Segolongan Kecil Saja”.23 Kritik lain juga terlihat dari “Program2 Pemerintah
Harus Melindungi Pengusaha2 Kecil”.24 Berita ini jelas menampar pemerintah karena
masyarakat yang semula merasa nyaman dengan kehidupannya mulai sadar akan
ketidakadilan yang dilakukan Soeharto dkk.

Selain kritik-kritik yang disebut di atas, Harian KAMI juga memberitakan demonstrasi dan
aksi-aksi masa yang dilakukan oleh mahasiswa. Misalnya demonstrasi mahasiswa menolak
kedatangn Menteri Pronk, demonstrasi menolak Kedubes Jepang, dan aksi mahasiswa di
depan gedung BI25. Ketiga aksi itu menjadi headline dalam harian KAMI selama bulan
November.

Keberanian KAMI dalam menulis hal-hal tersebut adalah bentuk kesadaran akan fungsi pers
seutuhnya. Harian KAMI dengan slogannya “Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan
Aksi” berusaha menghadirkan kebenaran dan pergerakan dalam meraih keadilan. Koran ini
telah ebrani mengambil resiko di tengah-tengah situasi politik yang memanas. Kenekatan
KAMI menjadikannya target utama pencabutan SIT oleh pemerintah.

Tanggal 15 januari 1974 terjadi huru-hara besar di daerah Senen Jakarta Pusat. Kerusuhan ini
dijadikan moment oleh pemerintah untuk mencabut SIT beberapa koran, termasuk harian
KAMI, dengan alasan bahwa pers lah yang telah mengompori kejadian tersebut. Semanjak
tanggal 16 Januari 1974, Harian KAMI resmi tidak beroperasi.

Peristiwa Malari

22
Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2065 Kamis, 28 Juni 1973..
23
Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2183 Sabtu,17 November 1973
24
Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2189 . Sabtu, 24 November 1973
25
Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2190-2194 26-30November 1973

10
15 Januari 1974 adalah puncak kemarahan mahasiswa terhadap kesewenang-wenangan
pemerintah menggunakan dana asing dalam pembangunan negara yang manfaatnya tidak
dinikmati rakyat. Tarif listrik terus naik, beras semakin langka dan harganya semakin tidak
menentu, serta proyek-proyek bangunan sipil mulai dikuasai perusahaan asing. Barang-
barang asing, terutama dari Jepang, makin membanjiri pasar-pasar nasional, menjatuhkan
ekonomi dalam negeri. Hutang Indonesia sebesar tujuh milliar dollar yang dipinjam dari IMF
harus terus dibayar beserta bunga, diperkirakan bisa lunas pada tahun 2030.

Masalah-masalah sosial diatas membuat awal tahun 1974 menjadi awal yang panas bagi
Indonesia. Stabilitas nasional melemah dan aksi-aksi protes mulai hidup, layaknya cacing
yang menggeliat setelah diinjak.

Kesenangan Soeharto menumpuk harta melalui pembangunan yayasan dan perusahaan-


perusahaan besar diikuti oleh para petinggi militer. Soeharto mendirikan yayasan dan
melakukan tindak kolusi dengan memasukkan rekan dan saudara dekatnya untuk mengelola
yayasan tersebut. Kaum elite militerpun tidak mau kalah dan beramai-ramai membuat bisnis
pribadi. Tidak segan-segan mereka bekerja sama dengan perusahaan asing dari Amerika,
China dan Jepang. Sistem kerja sama yang digunakan tidak lain bahwa militer menjadi
pelindung dari rintangan birokrasi yang sering diterima pemodal asing. Penanaman modal
Amerika banyak ditujukan untuk usaha penambangan d luar pulau Jawa sedangkan modal
Jepang banyak diinvestasikan pada perusahaan pembuat barang. Bahkan Jepang menjadi
negara dengan jumlah proyek terbesar 534 juta dolar setelah AS dengan jumlah aset sebesar
935 juta dolar.(Abadi , 4 Desember 1973)26

Kerjasama ini membuat investor betah dan menetap di Indonesia. Eksesnya bagi rakyat mulai
dirasakan ketika pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tidak mampu bersaing sehingga rugi
dan harus ditutup. Pengangguran meningkat, masyarakat miskin bertambah, dan gap antara si
kaya dan si miskin makin ketara. Apalagi ketika reklame neon raksasa bertuliskan TOYOTA
dan SANYO terasang di atas gedung-gedung tinggi, masyarakat dan mahasiswa makin
tersulut.

Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa pada saat itu terjadi perang dingin antara
Soemitro dan Ali Murtopo. Soemitro adalah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib), sedangkan Ali Murtopo adalah Asisten Pribadi (Aspri) Presiden
Soeharto. Soemitro memiiki kekuasaan yang lebih luas karena memegang kendali rastusan
26
Dikutip dari http://redbulletin.wordpress.com

11
prajurit serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Hal ini yang menyebabkan
timbulnya kecemburuan dari Asisten Pribadi Presiden (Ali Murtopo)27. Padahal saat itu Ali
Murtopo juga menjabat sebagai Komandan Opsus28

Pokok permasalahan keduanya ketika Soemitro mengusulkan agar Soeharto membubarkan


Komkaptib dan Opsus, slalu menyerahkan urusan Intelijen kepada BAKIN agar tidak ada
overlaping antara tugas badan intelijen. Selain itu Soemitro berkata

Menurut saya, Ali harus melepaskan diri dari Opsus, supaya BAKIN dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Soalnya, dengan adanya Opsus, bisa terjadi konflik kepentingan
antar intel, misalnya dengan BAKIN atau intel Komkaptib, sehingga wilayah pekerjaan
mereka overlaping. Kadang terjadi ketegangan yang sebenarnya tak perlu. (Ramadhan
KH,1994:233)29

Ali waktu itu menjabat sebagai wakil Kepala BAKIN merasa tersinggung karena ia merasa
bahwa dirinya adalah seorang intel ulung yang berhasil mempropaganda massa pada
peristiwa G30S. Selain itu, keberhasilan Soeharto dalam pemilu 1971 juga tidak lepas dari
kemampuan Ali dan kelompok intelijennya. Intinya, Ali amat diandalkan. Ali dinilai
berambisi menjadi Kepala BAKIN. Dengan segala prestasi yang ia miliki sebenarnya ia
berhak dan mampu meraih posisi itu, namun yang dikhawatirkan adalah prasangka
masyarakat terhadap BAKIN nantinya yang notabene adalah organisasi independen milik
pemerintah. Selain itu Ali juga memiliki citra buruk dimata kelompok HANKAM karena
HANKAM lebih suka membina hubungan dengan Amerika Serikat, sedangkan Ali Murtopo
dan kelompok Asprinya lebih mengandalkan keuntungan minyak yang meningkat tajam.
Akhirnya Soemitro mengajukan agar Ali diangkat menjadi menteri penerangan. Soeharto
setuju namun Ali tidak.

Setelah itu mereka berdua sibuk masing-masing dan Soemitro lebih mendekatkan diri dengan
mahasiswa. Ia sering meyampaikan tiga hal kepada mahasiswa. Pertama, pola kepemimpinan
yang baru yaitu kepemimpinan dua arah dan komunikasi dua arah. Kedua, siapapun yang
berani mengkritik establishment akan populer. Ketiga, mempertegas larangan unjuk rasa.

Dari kedekatan Soemitro dengan mahasiswa dan poin pertama materi yang ia ajarkan,
terdengar selentingan bahwa Soemitro berambisi menggantikan Soeharto. Soemitro terlihat
27
Dikutip dari Dian Andika Winda & Efantino Febriana. Perang Sejarah Para Jenderal. Hlm 75
28
Opsus adalah organisasi yang didirikan tahun 1964 dengan berfungsi sebagai gerakan rahasia untuk menyelesaikan
konflik Indonesia dengan negara luar.
29
Dikutip dari Dian Andika Winda & Efantino Febriana. Perang Sejarah Para Jenderal. Hlm 76

12
menjauh dari pemerintah dan memberi semangat kepada mahasiswa untuk bersama-sama
menghajar kelompok aspi. Selain itu Soemitro dianggap tengah mengompori mahasiswa
untuk melakukan aksi unjuk rasa menurunkan Presiden Soeharto. Kali ini Soemitro
membantah tegas.

Perang dingin antara dua jenderal ini yang dirasa melatarbelakangi peristiwa lima belas
januari 1974. Peristiwa itu dimulai ketika mahasiswa dari Bandung dan Jakarta yang
tergabung dalam “Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia” melakukan aksi
menentang kedatangan Menteri Jan P.Pronk selaku ketua IGGI30 dengan membawa poster
bertuliskan “Modal Asing membantu Kolonialisme Intern”, “”Telah Meninggal dunia :
Modal Pribumi”, “Aduh Mak Sayang, Hatiku Hilang, Minyak Bumiku Disedot Orang,
Sedap”, dll sebagai bentuk perlawanan terhadap modal asing.31

Selain itu terjadi banyak penentangan terhadap China dan Jepang. Pada 13 Agustus 1973
terjadi insiden kecelakaan di Bandung yang melibatkan seorang China yang akhirnya menjadi
penyulut huru hara penghancuran rumah-rumah dan toko warga Tionghoa.32 Dalam kasus ini,
tentara tidak muncul. Ada anggapan bahwa mereka (tentara) justru mendukung aksi tersebut
karena sama-sama muak dengan elite yang menumpuk kekayaan, sedangkan mereka sendiri
tidak mendapat apa-apa.

Pada bulan Agustus-September 1973, konflik tebuka mulai banyak terjadi setelah adanya
berita di media bahwa Thanon Kittakachorn di Muangthai yang terkenal sulit dijatuhkan
ternyata berhasil ditumbangkan, setelah para pemimpinnya meniru aktifitas mahasiswa
Indonesia dalam menurunkan Soekarno 1966. Pemberitaan semacam ini yang membuat
pemerintah marah dan menganggap media menjadi pembakar semangat mahasiswa untuk
melakukan aksi unjuk rasa.33

Di akhir Oktober, mahasiswa di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Makassar dan Medan semakin
sering melakukan diskusi, dan pada tanggal Universitas Indonesia mengeluarkan taringnya
melalui “Petisi 24 Oktober” yang memprotes pelanggaran hukum, korupsi,penyalahgunaan
kekuasaan, kenaikan harga dan pengangguran, serta pertimbangan kembali proyek
pembangunan yang selama ini hanya menguntungkan Golkar. Setelah itu mereka melakukan

30
IGGI atau Inter-Govermental Group On Indonesia yaitu organisasi pemberi dana bantuan luar negeri Belanda kepada
negara berkembang
31
Diambil dari harian KAMI edisi Senin 12 November 1973 haaman I
32
Disunting dari http://redbulletin.wordpress.com
33
ibid

13
aksi unjuk rasa saat Pronk tiba di Jakarta dan meneruskan aksi demonstrasi di depan Hotel
Indonesia saat berlangsungnya pemilihan Miss Indonesia.

Pers yang terkungkung pada masa itu terdorong dari sisi emosional untuk ikut berpartisipasi
mendorong semangat mahasiswa melalui tulisan-tulisan di koran. Harian KAMI menuliskan
judul-judul yang berusaha menarik perhatian dan kesadaran bahwa ada yang tidak beres
dengan negara ini. Beberapa Headline KAMI yang saya dapatkan misalnya “Krisis Minyak
Timbulkan Pengaruh Hebat” (Rabu, 7 Novemer 1973) dan “Hutang 7 Milyar Dollar
Mengancam Bangsa” (Sabtu, 17 November 1973). Berita-berita harian KAMI juga semakin
banyak diisi dengan huru-hara dan kerusuhan mahasiswa disana-sini. Akibatnya, stabilitas
nasional terguncang karena mahasiswa semakin berani berjalan di garda depan. Masyarakat
pun mulai kehilangan kepercayaannya terhadap pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan ikut
sertanya masyarakat dalam aksi massa.

Kemarahan mahasiswa makin berlarut-larut dan mencapai puncakny ketika Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia pada tanggal 14 januari 1974. Pada hari itu
mahasiswa berdemonstrasi ke kantor Ali Murtopo dan membakar boneka Tanaka. Sehari
sesudah itu yakni tanggal 15 Januar 1974, ribuan mahasiswa turun ke jalan dan menyebarkan
selebaran berisi tiga tuntutan rakyat (mereka menggunakan istilah Tritura 74 yang
mengadopsi tuntutan rakyat pada masa Soekarno) yaitu (1) Bubarkan Asisten Pribadi (2)
Penurunan Harga, dan (3) Pemberantasan Korupsi.

Awalnya ini adalah kegiatan menyebarkan poster dan pamlflet serta orasi menentang barang
Jepang. Namunmenjelang tengah hari aksi ini diikuti dengan pembakaran dan penggulingan
mobil-mobil Jepang ke sungai Ciliwung, menghancurkan toko pajangan Astra, dan
membakar serta merampok pertokoan Senen. Kerusuhan ini berlanjut hingga 16 Januari
1974.

ABRI dengan senjata lengkap tidak segan-segan menembakkan peluru dan korban pun
berjatuhan. Menteri Hankam/Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Panggabean dalam
keterangannya di depan DPR hari Senin kemarin menyebutkan jumlah korban dalam
kerusuhan selama 2 hari minggu lalu: 11 orang meninggal, 17 orang lukaluka berat dan 120
orang luka-luka ringan. Di antara yang luka-luka juga terdapat sejumlah anggota ABRI. Saya
pribadi menganggap angka itu sebagai klaim belaka dan jumlah sebenarnya jauh melebihi itu.
Sedangkan kerugian materi menurut Gubernur Jakarta Ali Sadikin meliputi 522 buah mobil
269 di antaranya dibakar, 137 buah motor 94 buah di antaranya dibakar, 5 buah bangunan

14
dibakar ludes termasuk 2 blok proyek Pasar Senen bertingkat 4 serta gedung milik PT Astra
di jalan Sudirman sementara 113 buah bangunan lainnya rusak. Di samping itu masih tercatat
kerusakan yang dialami oleh 4 buah perusahaan antaranya pabrik minuman Coca Cola di
Cempaka Putih. Namun Jenderal Panggabean yang berbicara di depan sidang pleno DPR hari
Senin kemarin malahan menyebut angka-angka yang lebih besar dari yang disebutkan oleh
Ali Sadikin.Menurut Jenderal Panggabean, dalam huru-hara selama 2 hari minggu lalu
sebanyak 807 mobil dan 187 motor rusak atau hancur, 144 buah gedung rusak atau terbakar
dan 160 kilogram emas hilang.34

Soeharto merasa amat malu karena kejadian ini berlangsung di hadapan tamu negara. Nama
Hariman Siregar selaku Ketua Dewan Mahasiswa UI disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan
dan sempat ditahan pada 16 Januari 1974, namun tidak terbukti. 35 Ali Murtopo juga sempat
diduga merencanakan kerusuhan ini untuk merusak nama Sumitro. Sumitro sendiri yang
belakangan dekat dengan mahasiswa dituduh ingin melakukan kudeta terhadap presiden dan
alhasil dipecat dengan alasan mengundurkan diri. Jabatan panglima Kopkamtib diserahkan
kepada Sudomo, kawan lama Soeharto.

Belakangan saya membaca sebuah artikel dengan judul “Bagaimana ABRI Menggunakan
Preman” dari web apakabar@access.digex.net. Isinya tidak begitu mengejutkan karena ada
paragraf panjang dari seorang preman penghuni LP Cipinang yang berbunyi:

Dalam politik kita mengenal adagium klasik “tak ada musuh yang langgeng, tak ada kawan
yang abadi. Yang ada hanya kepentngan. Antara ABRI dan preman ternyata juga
menyimpan fenomena hubungan klasik tadi. Pada setiap musim pemilu, preman selalu
dimanfaatkan oleh ABRI dan adik kandungnya, Golkar, untuk memenangkan pemilu. Namun
ketika Pemilu usai maka kembali preman dicampakkan. Bahkan pada awal 80-an ribuan
preman dibunuh secara misterius oleh ABRI. Pada 1996 ini kembali preman mendapat
kehormatan menyelesaikan masalah politik nasional dengan membantai pengikut setia
Megawati Soekarno Putri. Kehormatan yang diterima kurang lebih sama dengan yang
diterima senior mereka pada 1974 dengan order dari Ali Murtopo untuk membakar pasar
Senen dan membuat kerusuhan untuk meredam gerakan mahasiswa pada saat itu. 36

Selain pemecatan Soemitro dan “pendubesan” rekan-rekannya, ada satu dampak yang paling
besar dari peristiwa Malari bagi pers di Indonesia. SIT (Surat Izin Terbit) beberapa koran
34
Dikutip dari artikel “musibah bagi golongan menengah (Malari 1974)” dari http://peristiwanasional.worpress
35
Dikutip dari Tempo Online, 12 November 1983
36
Dikutip dari http://www.hamline.edu

15
harian seperti Indonesia raya, Abadi, The jakarta Times, Pedoman, Ekspres dan KAMI,
dicabut karena dianggap menyulut emosi masyarakat sehingga berani berbuat rusuh di depan
tamu negara. Namun ada beberapa koran yang terbit kembali setelah meminta maaf secara
resmi kepada Presiden, misalnya Berita Yudha.

Kesimpulan

Pada awal orde baru, pers dan pemerintah berjalan berdampingan karena pers merasa orde
baru dapat memberikan sesuatu yang berbeda dari orde lama. Mulanya pers bersedia menjadi
alat propaganda dan penyampai kebijakan kepada masyarakat. Dengan adanya pers,
masyarakat tahu akan keberhasilan program orde baru dan semakin percaya dengan Soeharto.
Dengan begitu stabilitas nasional akan tercipta dengan sendirinya.

Lama kelamaan pers sadar bahwa banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalam


tubuh elite politik, seperti pengambilan utang luar negeri yan tidak diketahui rakyat, tindak
korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi rakyat.
Sebagian pers merasa bahwa mereka harus bersikap lebih kritis dan memberitakan kebenaran
kepada masyarakat.

Beberapa pers seperti Indonesia raya dan KAMI mulai menulis berita-berita yang secara tidak
langsung mengritik cara Soeharto dalam mengedalikan kehidupan ekonomi politik Indonesia.
Melalui berita ini rakyat mulai gelisah dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Hal
ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi penguasa.

Berita-berita yang dimuat mulai bernada provokatif. Apalagi di bulan November 1973
banyak terjadi aksi menolak modal asing karena rencana kedatangan PM Jepang, Tanaka, ke
Indonesia yang dikhawatirkan membawa maksud penawaran hutang atau investasi sejenis
yang merugikan rakyat.

Di saat yang sama sedang terjadi ketegangan antara asisten pribadi Soeharto, Ali Murtopo,
dengan kepala Pangkopkamtib, Sumitro. Soeharto merasa kecewa karena dua orang
keercayaannya berada di kubu yang berseberangan dan ada indikasi melakukan kudeta
terhadapnya. Kondisi chaos ini makin diperparah dengan posisi pers yang kini juga
mengambil jarak terhadap pemerintah. Puncaknya adalah peristiwa Malari 1974 dimana 12
koran dibredel karena dianggap provokator dan dicopotnya Sumitro dari jabatan

16
Pangkopkamtib. Mulai saat itu pemerintah bersikap tegas pada siapapun yang berani
menentangnya.

Keberanian pers benar-benar membuat situasi politik berubah drastis. Pemerintah yang
awalnya berwajah manis mengambil hati masyarakat berubah menjadi macan berkuku tajam
yang siap menerkam siapapun yang menghalangi. Aksi demonstrasi mahasiswa tanggal 15
januari 1974 dimanfaatkan oleh Ali Murtopo dengan mengirim preman-preman ke lokasi dan
melakukan penjarahan serta huru-hara. Hal ini bertujuan untuk merusak nama Sumitro dan
melemahkan pers yang sudah dianggap sebagai lawan pemerintah. Malari menjadi
kesempatan emas bagi pemerintah untuk menyingkirkan ketakutannya kepada pers, yakni
melalui pencabutan SIT (Surat Izin Terbit) 12 koran yang dianggap provokatif, salah satunya
Harian KAMI.

Meskipun pada akhirnya dibredel, harian KAMI telah menjalankan fungsinya sebagai
katalisator perubahan dan memperkuat perubahan itu. Hal ini sesuai dengan tiga efek media
terhadap kebijakan menurut Coyne dan Leeson 200937. Efek pertama yakni “gradual effect”
yaitu kemampuan untuk memperkenalkan perubahan dengan mempengaruhi pikiran, persepsi
dan informasi konsumen secara perlahan. Yang kedua, “punctuation effect” yakni
kemampuan media untuk memfasilitasi perubahan. Yang terakhir, “Reinforcement Effect”
yakni kemampuan media untuk menciptakan dan memperkuat pemahaman umum untuk
menciptakan perubahan.

37
Dikutip dari buku Coyne, J Christoher. Media, Development and institutional Change. Hlm. 18

17

You might also like