You are on page 1of 4

KONDISI INDUSTRI TELEKOMUNIKASI

1. Umum
Di Indonesia layanan jasa telekomunikasi telah dilakukan oleh perusahaan milik negara mulai tahun 1961. Seperti halnya negara berkembang
lainnya, pengembangan dan modernisasi atas infrastruktur telekomunikasi menjadi faktor penting dalam pembangunan ekonomi secara umum di
Indonesia. Disamping itu jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan telah
menimbulkan permintaan yang tinggi akan layanan telekomunikasi. Kenyataan ini mendorong Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan
Informatika untuk berperan aktif dalam menciptakan pertumbuhan bisnis telekomunikasi yang berkesinambungan dengan menerapkan seperangkat
kebijakan, kewenangan dan fungsi pengawasan sebagaimana tertuang dalam perundang–undangan dan peraturan di bidang telekomunikasi. Secara
historis, implikasi peran Pemerintah ini terlihat dimana bila semula layanan jasa telekomunikasi di Indonesia hanya dipegang oleh perusahaan tertentu
dengan diberikan hak eksklusif, kemudian hak eksklusifitas tersebut mengalami degradasi secara gradual yang lebih diorientasikan pada sistem
kompetisi, seiring dengan reformasi kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, beserta
peraturan teknis dibawahnya.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penetrasi layanan telekomunikasi atau rasio teledensitas yang masih terbilang rendah
dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pada akhir
Desember 2006, tingkat penetrasi pelanggan telepon tetap dan telepon bergerak masing-masing sebesar
4% dan 28% (sumber: Perseroan dan artikel Bisnis Indonesia, Maret 2007). Sejalan dengan pesatnya
perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia sebagai akibat dari meningkatnya jumlah populasi
serta meningkatnya pendapatan per kapita pada beberapa tahun terakhir ini, pasar telekomunikasi
bergerak di Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa selama periode tahun 2001 sampai
dengan tahun 2006 yaitu dari total 6,4 juta pelanggan di tahun 2001 menjadi 69,8 juta di tahun 2006 atau
CAGR 61,8% (sumber: riset Perseroan berdasarkan publikasi para operator telekomunikasi).
Diperkenalkannya jasa prabayar telah memiliki pengaruh besar pada meningkatnya jumlah pelanggan di Indonesia. Dibandingkan dengan
negara Asia lainnya, sektor telekomunikasi di Indonesia memiliki potensi yang signifikan untuk bertumbuh. Menurut Gartner, sebuah lembaga riset
independen menyatakan bahwa pendapatan agregat sektor industri telekomunikasi di Indonesia diperkirakan akan meningkat menjadi USD 10 miliar per
tahunnya pada tahun 2010 sejalan dengan.peningkatan ekonomi sebesar 5%-6% per tahun dan meningkatnya pendapatan per kapita yang berdampak
pada naiknya tingkat teledensitas dan pola pengeluaran dibandingkan sebelumnya. Kontribusi terbesar pendapatan diperkirakan berasal dari percakapan
(voice calls), yang mana sampai dengan saat ini tetap mendominasi pemakaian di Indonesia meskipun adanya pengenalan mobile data seperti SMS dan
GPRS, serta berbagai layanan nilai tambah seperti content download dan ring back tone.

2. Teknologi CDMA
Saat ini dua teknologi yang umum digunakan oleh telepon bergerak, yaitu GSM dan CDMA. Teknologi GSM diperkenalkan pada awal tahun
1990 sementara teknologi CDMA 2000 1x masih relatif baru di Indonesia yang diperkenalkan pada tahun 2003. Produk FWA Limited Mobility dengan
teknologi CDMA 2000 1x yang diperkenalkan pada awal tahun 2003 di Indonesia mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat pengguna layanan
telekomunikasi, mengingat tarifnya yang lebih murah dibandingkan dengan tarif produk seluler berbasis teknologi GSM. CDMA (Code Division Multiple
Access) adalah teknologi akses jamak dimana masing–masing pengguna menggunakan kode yang unik dalam mengakses kanal yang terdapat dalam
sistem. Pada CDMA 2000 1x, sinyal informasi pada transmitter di-coding dan disebar dengan bandwith sebesar 1.25 MHz (spread spektrum) kemudian
pada sisi repeater dilakukan decoding sehingga didapatkan sinyal informasi yang dibutuhkan. Teknologi ini dapat dimanfaatkan dalam layanan telepon
rumah, telepon bergerak dan layanan FWA Limited Mobility. Teknologi CDMA pada awalnya dipergunakan dalam komunikasi radio militer Amerika Serikat
mulai tahun 1990 dan dijadikan sebagai standar seluler digital di AS sejak tahun 1993.
Teknologi CDMA diperkirakan akan berkembang dengan pesat beriringan dengan teknologi wireless lainnya. Berdasarkan data CDMA
Development Group (CDG), terdapat 217 operator yang berbasis teknologi CDMA 2000 (termasuk CDMA 2000 1x dan 1xEV-DO) di 95 negara di dunia
pada pertengahan tahun 2007. Jumlah pelanggan CDMA 2000 di dunia pada kuartal pertama tahun 2007 diperkirakan sudah lebih dari 350 juta. (sumber:
CDMA Development Group).
Perkembangan pelanggan FWA Limited Mobility yang berbasis CDMA di Indonesia sangat signifikan sejak mulai diluncurkan pada tahun 2003.
Pada tahun 2003, pelanggan CDMA hanya 268 ribu, sedangkan pada akhir tahun 2006 telah mencapai lebih dari 6 juta pelanggan, atau tumbuh sebesar
CAGR 182,5%.

3. Kelebihan CDMA
Jika diimplementasikan pada sistem telepon seluler, teknologi CDMA menawarkan banyak kelebihan untuk penyelenggaraan seluler dan para
pelanggannya. Berikut ini adalah ringkasan kelebihan dari CDMA :
a Kemampuan kapasitas hingga lebih dari 2 kali dibandingkan dengan sistem GSM pada jumlah spektrum dan frekuensi yang sama (sumber: CDG)
b Jangkauan BTS CDMA2000 1x pada frekuensi lebih luas mencapai lebih dari 2 hingga 3 kali dibandingkan dengan BTS GSM, sehingga investasi jaringan
per pelanggan lebih rendah
c Migrasi trafik suara dan data ke layanan nirkabel. Perseroan memprediksikan layanan nirkabel akan semakin populer akibat dari jangkauan populasi
yang lebih luas, meningkatnya kualitas jaringan nirkabel, semakin terjangkaunya harga ponsel dan semakin banyaknya paket layanan prabayar.
Munculnya paket prabayar bagi kelas menengah ke bawah, yang memberikan penawaran layanan data dan suara dasar dengan harga yang kompetitif
dan dalam denominasi kecil, pada khususnya, telah memperluas pasar yang dapat dilayani oleh operator nirkabel terutama FWA Limited Mobility.
d Kualitas sambungan lebih baik, dengan suara lebih jernih (noise reduction)
e Perencanaan sistem telah disederhakanan dengan penggunaan frekuensi sama pada setiap sektor dari setiap cell, sehingga investasi lebih fleksibel dan
minim
f Power output kecil, sehingga penggunaan baterai telepon selular lebih tahan lama
g Lebih menjamin perpindahan sinyal dari satu BTS ke BTS lainnya dengan mulus tanpa putus sehingga meminimalisir drop call
h Kecepatan (actual throughput) transmisi data mencapai 4 kali dibandingkan dengan teknologi
GSM/GPRS.

4. Tren Industri
Beberapa tren yang mendasari pertumbuhan sektor telekomunikasi dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
• Sektor telekomunikasi yang terus tumbuh berkesinambungan. Perseroan berharap industri telekomunikasi dan kebutuhan atas jasa telekomunikasi akan
meningkat dalam jangka menengah bersamaan dengan berkembang dan semakin modernnya Indonesia dan juga meningkatnya penetrasi fixed wireless
di Indonesia.
• Migrasi trafik suara dan data ke layanan nirkabel. Perseroan memprediksikan layanan nirkabel akan semakin populer akibat dari jangkauan populasi
yang lebih luas, meningkatnya kualitas jaringan nirkabel, semakin terjangkaunya harga ponsel dan semakin banyaknya paket layanan prabayar.
Munculnya paket prabayar bagi kelas menengah ke bawah, yang memberikan penawaran layanan data dan suara dasar dengan harga yang kompetitif
dan dalam denominasi kecil, pada khususnya, telah memperluas pasar yang dapat dilayani oleh operator nirkabel terutama FWA Limited Mobility..
• Stabilnya tingkat pemakaian fasilitas telekomunikasi. Pertumbuhan atas penggunaan layanan data dan SMS diprediksikan akan mengalami peningkatan
di tahun-tahun mendatang. Hal tersebut akan membantu menstabilisasi penurunan tingkat ARPU dari layanan suara.
• Meningkatnya tingkat kompetisi jasa pelayanan telekomunikasi. Dengan adanya investasi yang dilakukan operator-operator telekomunikasi asing di
Indonesia, persaingan akan semakin meningkat dalam jangka menengah apabila para pemain baru yang memasuki pasar mampu mengembangkan
jaringan yang ekstensif dan menawarkan layanan yang berkualitas.

5. Regulasi
Di Indonesia, penyelenggaraan jasa telekomunikasi telepon tanpa kabel (wireless) dapat dibedakan berdasarkan ijin yang diberikan oleh
Pemerintah, yaitu:
1. Ijin Penyelenggara Jaringan Telepon Bergerak Seluler
Operator yang memiliki ijin ini dapat memberikan layanan tanpa dibatasi oleh kode area tertentu.
Contoh beberapa operator yang memiliki ijin ini adalah:
- PT Telkomsel
- PT Indosat Tbk
- PT Excelcomindo Pratama Tbk
- PT Mobile-8 Telecom
- PT Hutchinson CP Telecom
- PT Smart Telecom
- PT Natrindo Telepon Selular
- PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia

2. Ijin Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel (FWA Limited Mobility)
Operator yang memiliki ijin ini dapat memberikan layanan yang hampir sama dengan layanan full mobility, namun dibatasi oleh kode area tertentu.
Terdapat 3 operator yang memiliki ijin ini, yaitu:
- PT Telkom Tbk
- PT Indosat Tbk
- Perseroan

Undang-undang Telekomunikasi No. 36 tahun 1999 (“UU Telekomunikasi”) merupakan UU Telekomunikasi terbaru yang menggantikan
Undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 3 tahun 1989 dan berlaku sejak tanggal 8 September 2000. Undang – Undang Telekomunikasi ini memberikan
pedoman kunci bagi reformasi industri telekomunikasi, termasuk liberalisasi industri, ketentuan bagi penyelenggara baru dan peningkatan struktur
kompetitif industri. Undang – Undang Telekomunikasi yang baru ini memberikan kerangka kerja dan prinsip dasar bagi liberalisasi industri telekomunikasi
Indonesia. Pemerintah menetapkan peraturan – peraturan pelaksanaannya melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan peraturan – peraturan
lainnya.
Berdasarkan Undang–Undang Telekomunikasi, seluruh penyelenggara telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi, biaya hak penggunaan frekuensi dan/atau biaya hak penggunaan orbit satelit kepada Pemerintah seperti yang sudah ditetapkan. Biaya
hak penyelenggaraan telekomunikasi ditentukan sebesar 1% dari penghasilan kotor per tahun untuk setiap penyelenggara telekomunikasi dan
disesuaikan untuk hal-hal seperti pendapatan dari leasing jaringan, biaya interkoneksi, aktivasi pelanggan baru, biaya airtime, biaya roaming dan kartu
RUIM.
Pemerintah telah mengeluarkan rancangan proposal kebijakan penggunaan bersama dimana setiap penyelenggara dapat menggunakan
menara milik penyelenggara lainnya dan untuk menerapkan standarisasi menara melalui penerapan standar teknis minimum baik untuk menara yang
sudah ada maupun menara baru yang akan digunakan bersama. Standar tersebut diharapkan akan mencakup antara lain standar mengenai masalah
operasional dan pemeliharaan serta pengawasan. Kebijakan tersebut telah diberlakukan di DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 89
Tahun 2006 mengenai Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi di daerah DKI Jakarta yang ditetapkan pada 22 September 2006.

Satu untuk semua. Ini yang akan terjadi di era konvergensi yang merupakan kecenderungan tren global. Konvergensi bisa terjadi di berbagai
dimensi baik teknologi, jaringan atau infrastruktur hingga layanan. Sementara terkait market, terjadi konvergensi antara operator, terminal, maupun
regulasi. Tidak dipungkiri, era konvergensi dipicu oleh perkembangan teknologi informasi yang begitu gesit. Masih ingat bagaimana awal teknologi
telekomunikasi analog melalui NMT (Normadic Mobile Telephone) dan AMPS (Analog Mobile Phone System)? Sebagai generasi pertama atau 1G, sistem ini
mempunyai keterbatasan, salah-satunya dalam hal kapasitas. Imbasnya, pelayanan yang bisa ditampung dalam sistem ini tergolong minim. Menapak ke
generasi kedua atau 2G, tampil teknologi GSM dan CDMA. Secara paralel keduanya dikembangkan guna mengatasi kelemahan yang ada pada era 1G.
Hasilnya? Teknologi ini mempunyai kelebihan dalam kecepatan dan pelayanan yang lebih bervariasi. Nah, kelebihan dalam kecepatan akses digenjot lagi
di era 3G yang dibarengi dengan layanan yang lebih beragam baik suara, IP, maupun video atau foto. Di sini, konvergensi dimungkinkan dengan
digitalisasi berbagai sumber trafik non data yang secara konvensional adalah analog. Artinya, substansi layanan adalah bit-bit yang mempresentasikan
berbagai layanan suara, data, musik, video, dan lain-lain. Wujudnya, di dunia digital, konten yang sama dapat ditransmisikan melalui jaringan yang
berbeda dan layanan multimedia yang berbeda dapat ditawarkan dalam satu jaringan. Enabler utama berikutnya menuju konvergensi adalah perubahan
paradigma dari jaringan berbasis circuit switched ke jaringan berbasis packet switched. Praktis pengiriman bit menjadi lebih efisien dalam bentuk paket-
paket data. Perubahan paradigma dari analog ke digital dan dari circuit switced ke packet switched turut mendorong perubahan arsitektur jaringan dari
dunia telekomunikasi dari apa yang disebut sebagai vertical network ke horizontal network. Seperti diketahui, pada vertical network provider
menyediakan semuanya mulai dari service provision, akses sampai delivery melalui struktur infrastruktur jaringan yang dimiliki, selanjutnya dioptimalkan
untuk kategori layanan tertentu. Sementara itu, pada horizontal network, terjadi pemisahan secara vertikal untuk masing-masing aktivitas baik content,
service, network/infrastruktur, akses dan terminal.

Mengacu hal itu, menurut Hendrawan, ketua Program Studi Magister dan Doktor Sekolah Teknik Elektro dan Doktor (STEI) ITB bahwa konvergensi yang
terjadi saat ini adalah secara horizontal, tetapi secara vertikal terjadi divergence. “Konvergensi secara horisontal di level konten atau layanan bisa kita
sebut sebagai konvergensi layanan, sementara konvegensi di level network bisa kita sebut konvergensi jaringan. Begitu juga dengan lainnya,” ujarnya. Ia
mencontohkan konvergensi layanan. Di sini, konten yang sama bisa dicapai oleh berbagai platform teknologi berbeda seperti via akses internet, via
layanan telekomunikasi, atau via layanan broadcast berbasis DVB. Pendeknya, era konvergensi khususnya berbasis IP, merupakan integrasi progressive
dari platform jaringan yang berbeda untuk membawa layanan yang sama misalnya PSTN dan internet bisa membawa layanan yang sama seperti voice.
Sebaliknya layanan yang berbeda juga dibawa pada platform jaringan yang sama.
Pemerataan Akses dan Pergeseran Budaya
Gegap gempita menuju era konvergensi, juga mulai mewarnai negeri ini. Sudah mulai terjadi konvergensi di teknologi antara fixed dan mobile
serta core network dari berbagai jaringan yang konvergen ke dalam jaringan berbasis IP. Mengacu kajian yang sudah dilakukan dalam rangka penyusunan
Roadmap TIK Indonesia, perkembangan saat ini di sisi core network yang berbasis IP sudah mencapai 24%. Di sisi kontroler sebanyak 15% dan di sisi
akses 3%.Mengometari apa yang tengah terjadi di Indonesia, Muhammad Jumadi, Sekjen Indonesia Telecommunication User Group (Idtug), berpendapat,
kini tengah terjadi perkembangan teknologi konvergensi internet protokol television (IPTV) di mana penyediaan layanan streaming TV melalui jaringan IP
berbandwitdh lebar. “Secara teknologi sudah banyak operator dan vendor yang mulai men-demokan produknya, misalnya 3G, meski tidak terlalu gencar
dan mendapat respon bagus.” Apa yang terjadi menunjukkan adanya stagnasi di dalam konvergensi ICT. Apa yang didengung-dengungkan setelah
munculnya era 3G rupanya kurang begitu antusias di tanggapi masyarakat. Artinya, masyarakat pengguna di Indonesia masih banyak yang beranggapan
3G belum begitu perlu. “Karena bisa jadi kebutuhan mereka saat ini hanya untuk berkomunikasi secara dasar yaitu voice dan SMS,” tuturnya.

Selain respon market yang hingga kini masih minim, yang layak dicermati adalah kecanggihan konvergensi, secara berbarengan menawarkan dampak
positif sekaligus negatif. Lantas seperti apa dampak positifnya? Dimitri Mahayana, dosen STEI ITB, melihat era ini akan mempercepat proses pemerataan
layanan telekomunikasi ke seluruh tanah air. “Sehingga wong cilik di daerah terpencil dapat menikmati layanan telekomunikasi dan being connected ke
dunia global,” ucapnya. Maklum, hingga kini sekitar 43 ribu desa sama sekali belum terjamah akses telekomunikasi. Selain itu, lanjut Dimitri, konvergensi
akan menumbuhkan iklim kompetisi yang lebih dinamis dan inovatif sehingga membuat telekomunikasi semakin affor-dable (terjangkau-Red.) dan
semakin bernilai guna. Yang tak kalah menarik, lanjut Dimitri, “Konvergensi akan membuat industri telekomunikasi kita mampu bersaing dengan skype,
google, dan raksasa-raksasa dalam industri konvergensi dunia sehingga mampu mempertahankan bahkan mengembangkan market maupun revenue.”
Industri kreatif serta industri berbasis pengetahuan juga akan tumbuh sejalan dengan pemerataan connectivity. Jumadi malah menambahkan era
kovergensi akan dibarengi dengan tumbuhnya industri konten lokal yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

Adanya dampak positif tentunya juga akan diikuti dampak negatif. Dimitri memprediksikan pergeseran budaya yang tidak diantisipasi dengan baik bisa
menjadi tidak terkendali. Perencanaan yang tidak dilakukan secara bijak juga bisa menggoncangkan struktur industri telekomunikasi di Indonesia. Yang
tak kalah mencemaskan bagi Chairman Lembaga Riset Telematika SHARING VISION ini adalah, “Bertambahnya cyber crime di Indonesia secara
eksponensial baik yang merupakan pencemaran nama baik, pembocoran rahasia pribadi, pishing, hacking, carding dan lain-lain. Ini pada gilirannya bisa
berdampak citra buruk Indonesia di mata dunia.”

Kekhawatiran juga dilontarkan Hendrawan. Menurutnya, bila tanpa dibarengi dengan pengaturan frame-work regulasi yang baik, semisal unified licenses,
konvergensi kelembagaan seperti BRTI dan lembaga sejenis untuk penyiaran dan lainnya, akan membingungkan industri. Misalnya, layanan broadcast
audio visual yang dibawa lewat mobile phone atau webcasting apakah dikategorikan sebagai layanan telekomunikasi atau broadcast? “Contoh sederhana
seperti ini tidak mudah untuk bisa masuk ke dalam definisi eksisting yang ada.” Pertanyaan semacam ini sepatutnya dijawab dengan regulasi.
Persiapan Regulasi Sejauh ini, regulasi yang ada yakni UU 36/1999 lebih menfokuskan pada pengaturan transisi dari kondisi industri
telekomunikasi era monopoli menuju era kompetisi. Nah, mengingat perkembangan teknologi yang begitu pesat serta kecenderungan konvergensi, pasti
diperlukan perubahan atau perbaikan terhadap regulasi yang ada. “Misalnya regulasi yang coherent untuk infrastruktur/network dan netral terhadap
teknologi. Contohnya layanan voice tidak peduli platform network yang membawanya akan mendapat perlakuan regulasi yang sama, karena dengan
konvergensi voice bisa dibawa oleh macam-macam platform jaringan yang berbeda,” kata Hendrawan.

Regulasi Cenderung Batasi Industri Telekomunikasi


Bandung (Investor Daily) - Regulasi dalam industri telekomunikasi cenderung membatasi ruang gerak inovasi teknologi lebih murah. Padahal, tingkat
teledensitas telekomunikasi di Indonesia masih sangat rendah dibanding negara lain.
Demikian salah satu pendapat yang mengemuka dalam panel diskusi Kompetisi Telekomunikasi di Indonesia Menghadapi Era Konvergensi yang digelar di
Bandung, Kamis (28/6). Panel itu menghadirkan empat pembicara, yakni pengamat ekonomi Faisal Basri, pengamat telekomunikasi Dimitri Mahayana,
anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Koesmarihati, dan mantan Direktur PT Telkomsel Yusuf Kurnia.
Faisal mengatakan, pemerintah memberikan sistem lisensi secara parsial. Kondisi ini memunculkan diskriminasi pelaku usaha yang memiliki lisensi untuk
jasa yang terintegrasi. Pertimbangan pemerintah lebih dikaitkan kepada perlindungan pelaku usaha tertentu, ketimbang melakukan benefit cost analysis,
ujarnya (28/6).
Menurut dia, selama ini monopoli bisnis telekomunikasi telah gagal meningkatkan teledensitas industri telekomunikasi di Indonesia. Padahal di beberapa
negara jumlah operator telekomunikasi yang banyak mampu meningkatkan teledensitas dan harga layanan lebih murah. Bisnis telekomunikasi di beberapa
negara mampu menghasilkan pendapatan setara dengan 10% dari produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan Indonesia sekitar 2,1% dari PDB.
Dia mengatakan, pangsa pasar industri telekomunikasi di Indonesia sangat besar, sehingga banyak operator bersaing ingin mendapatkan izin masuk di
Indonesia. Pemerintah seharusnya menciptakan regulasi yang mendorong industri ini berkembang dengan menawarkan harga lebih murah. Hal ini bisa
dilakukan dengan memunculkan alternatif teknologi lebih baru dan murah, katanya.
Akan tetapi, Faisal menambahkan, hingga kini pemerintah belum memiliki road map yang jelas terkait dengan pengembangan industri telekomunikasi ke
depan.
Guna mendukung persaingan sehat dalam industri telekomunikasi, Faisal mengimbau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyusun
kebijakan yang jelas tentang tarif, kebijakan hasil inovasi baru, dan kebijakan kliring baru. Sebab, selama ini BRTI dinilai belum independen karena berada
di bawah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel). Landasan hukum pembentukan BRTI masih sangat lemah hanya dengan
menggunakan Keputusan Menteri Perhubungan, ujarnya.
Sementara itu, Koesmarihati mengatakan, BRTI menginginkan industri telekomunikasi bisa beroperasi dengan tidak saling memangsa. Menurut dia, di
sejumlah negara tidak ada operator yang menguasai pasar telekomunikasi dalam pangsa yang besar, tetapi cenderung merata. Kami membuat aturan
dengan harapan semua operator dapat berkinerja baik dengan menciptakan aturan level of playing field sama, ungkapnya.
Dimitri menambahkan, konsumen mengharapkan layanan telekomunikasi lebih murah dalam era konvergensi. Masyarakat mengharapkan layanan paling
murah dan kecepatan paling tinggi bagi semua orang, ujarnya.(hut)

You might also like