Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang memiliki resiko tinggi
untuk persalinan preterm telah direkomendasikan oleh beberapa ahli karena
kortikosteroid antenatal dihubungkan dengan penurunan insiden terjadinya sindroma
gawat nafas janin (RDS), kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler (IVH).
Dibuktikan dengan meta analisis Cochrane pada percobaan dengan pengambilan sample
acak dengan 18 wanita hamil yang menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid antenatal
menurunkan resiko terjadinya sindroma gawat nafas janin, kematian neonatal dan
hemoragik intraventrikuler Stalker S,2004
Terapi kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan secara prematur
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 untuk meningkatkan pematangan paru janin.
Meta-analisis baru-baru ini berkesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid terutama
untuk mengantipasi kelahiran preterm yang dihubungkan dengan berkurangnya insiden
kematian neonatal, RDS, IVH, dan NEC. NIH,1994
Penggunaan kortikosteroid dalam kehamilan tidak menunjukkan peningkatan
insiden infeksi maternal maupun fetal, baik pada kasus dengan prematur ruptur membran
maupun tidak.Stalker S,2004
Pada sebuah karya ilmiah penting, Liggins dan Howie memperlihatkan bahwa
pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang mempunyai risiko
melahirkan prematur mengurangi insiden sindrom gawat nafas (RDS) dan kematian anak.
Efisiensi terapi kortikosteroid antenatal belakangan ini telah dikonfirmasikan dengan
lebih dari selusin percobaan dengan memakai plasebo sebagai kontrol secara acak. Meneguel
JF et al,2003
1
BAB II
PATOFISIOLOGI PEMATANGAN PARU JANIN
Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama terdiri
dari 2 tipe sel, yaitu penumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli
merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel
endotel kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih
kecil dari tipe I terletak di sudut-sudut alveoli, berbentuk kuboid dan mengandung
lamelar inclusion spesifik bila dilihat dibawah mikroskop elektron. Badan lamelar adalah
tempat penyimpanan surfaktan intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata badan
lamelar mengandung surfaktan sejenis phospholipid.Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004
Sel tipe II menangkap prekusor pembentuk phospholipid dan protein. Sintesa terjadi
dalam retikulum endoplasma. Setelah dimodifikasi dalam aparatus golgi, komponen
surfaktan dibawa dan disimpan dalam badan lamelar. Badan lamelar ini disekresikan
dengan cara eksositosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular mielin. Dari sini
dihasilkan surfaktan monolayer, yang diabsorbsi ke air – liquid interface. Dengan
mikroskop elektron tubular mielin terlihat seperti kisi – kisi berbentuk tabung segi empat.
Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap trauma.
Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II
berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang menjadi sel tipe
I. Serudji J, Sulin D, 2004
2
Dipalmitoylphosphatidyl choline (DPPC) merupakan komponen utama surfaktan paru
yang berjumlah hampir 50% di antara glycerophospholipid dari surfaktan.
Phosphatidylglycerol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak kedua, yaitu
8-15%. Phosphatidylglycerol dapat mengurangi tegangan permukaan di alveoli,tapi
secara tepatnya belum diketahui. Pembentukan lapisan phospholipids dipermudah oleh
protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung tiga protein unik yaitu SP-A, SP-B, dan
SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan menyerupai kolagen dalam strukturnya.
SP-A ini diperkirakan mempunyai beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik
pengambilan surfaktan oleh sel alveolus epitel tipe II yang mensekresinya. Sintesa SP-A
diketahui dapat ditingkatkan dengan pengobatan jaringan paru janin cyclic AMP
(analog), epidermal growth factor, dan triiodothyronine. SP-B dan SP-C adalah protein
yang lebih kecil yang memfasilitasi pembentukan lapisan phospholipids. Cunningham FG et al, 2001;
Jobe AH, Soll RF, 2004
Sel alveoli tipe II yang menghasilkan surfaktan dapat mencegah kolapsnya alveoli
pada saat akhir ekspirasi sehingga bayi dapat bernafas dengan usaha nafas yang minimal.
Dalam kehidupan lebih lanjut, pada saat alveolus ditandai dengan suatu interface air ke
jaringan, badan – badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan –
gerakan semacam pernafasan yaitu: pernafasan janin. Gambaran surfaktan dalam cairan
amnion menunjukkan mulainya pematangan fungsional paru – paru. Cunningham FG et al, 2001
Perkembangan surfaktan pada jaringan paru- rongga udara, mencegah alveoli kolaps
selama ekspirasi dan membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi berikutnya.
Pada bayi dengan paru- paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan dalam
jumlah yang cukup pada saat lahir sehingga alveolus akan kolaps pada saat akhir
ekspirasi dan tidak mampu berkembang kembali pada saat inspirasi, sehingga pada waktu
inspirasi butuh usaha besar. Kolapsnya alveolus karena kurangnya surfaktan akan
menimbulkan sesak nafas pada BBL yang dikenal respiratory distress syndrome.
Every dan Mead (1959) pertama kali menunjukkan bahwa respiratory distress
syndrome disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan
neonatus. Defisiensi surfaktan paru dengan struktur dan fungsi yang imatur dari paru
dapat menimbulkan gangguan. Cunningham FG et al, 2001
3
Pengurangan pengembangan paru-paru berperanan penting pada hipoventilasi
alveolus, dan ventilasi- perfusi yang tidak seimbang. Hipoksemia dapat menyebabkan
asidosis metabolik, dan keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan
hipoksemia yang menganggu. Jobe AH, Soll RF, 2004
Secara makroskopik, paru-paru tampak berwarna kemerahan. Paru-paru pada bayi
ini butuh tekanan terbuka yang lebih tinggi untuk mengembangkan paru-paru. Secara
mikroskopik tampak atelektasis difus pada rongga udara bagian distal dengan distensi
pada saluran nafas bagian distal dan area perilimphatik. Atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen menimbulkan kerusakan sel
epitel pada saluran nafas bagian distal, sehingga menimbulkan eksudat matriks fibrin. Stalker
S, 2004
4
BAB III
KORTIKOSTEROID
5
Semua steroid sintetik mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor yang
muncul secara alami dibanding kortisol. Ternyata betametason mempunyai afinitas 5,4
kali lipat dan deksametason 7,1 kali lipat lebih tinggi. Perbandingan pemberian
betametason fosfat/asetat 12 mg setiap 12 jam, deksametason 6 mg setiap 12 jam, dengan
100 mg hidrokortison setiap 8 jam menunjukkan bahwa hidrokortison, diukur setelah 8
jam sebagian besar sudah hilang (cleared). Sebaliknya betametason dan deksametason
masih terdeteksi. Masa kerja peningkatan aktivitas kortikosteroid ± 32 jam untuk
hidrokortison, 60 jam untuk deksametason, dan 72 jam untuk betametason. Ternyata
waktu total pengaruh steroid pada jaringan target adalah lebih lama dibanding jangka
waktu pendeteksian kadar plasma oleh karena pelepasan yang lambat steroid dari
reseptornya. Dudley DJ et al,2003
Karena kerjanya yang dapat diterima, regimen betametason tampak lebih disukai
daripada deksametason. Deksametason mempunyai nilai puncak yang lebih tinggi dan
variasi kadar sirkulasi lebih signifikan. Setelah pemberian betametason, konsentrasi
puncak dari steroid yang tak terikat adalah sama dengan kadar yang muncul setelah lahir
pada janin prematur yang tidak diterapi yang kemudian berkembang menjadi RDS.
Penekanan adrenal diukur sampai 72 jam setelah pemberian betametason, ini lebih sedikit
daripada stressed sick newborns. Karena itu betametason prenatal dapat dibandingkan
dengan respon stress fisiologik yang dialami oleh neonatus. Dudley DJ et al,2003
Betametason dan deksametason hanya sedikit berbeda dalam hal kadar sirkulasi
glukokortikoid aktif pada janin. Betametason kadar puncaknya lebih rendah tapi
peningkatan aktivitasnya lebih lama. Hal ini meramalkan efektifitas yang sama pada
kedua regimen. Klinis tidak terdapat kerugian secara teoritis untuk berpindah- pindah
regimen ke yang lain. Injeksi langsung ke janin tidak mempunyai keuntungan karena obat
ini dapat dengan cepat berpindah melalui plasenta dalam bentuk aktifnya. Dudley DJ et al,2003
2. Metabolisme dan Ekskresi
Hanya sedikit proporsi kortikosteroid yang diekskresikan melalui ginjal, dan
clearance ginjal tidak meningkatkan selama kehamilan. Tempat utama untuk clearance
betametason adalah hati ibu. Suatu mekanisme yang mungkin untuk peningkatan
clearance pada wanita hamil adalah metabolisme betametason oleh unit plasenta janin.
6
Penelitian yang mendukung teori ini termasuk adalah gradian plasma transplasental yang
rendah, metabolisme invitro betametason dalam system human plasenta invitro, tidak
adanya peningkatan dalam metabolisme hepatik intrinsik dari betametason, dan tidak ada
bukti peningkatan ekskresi ginjal. Dudley DJ et al,2003
B. Mekanisme Kerja
1. Pengaruh secara fisiologi
Efek fisiologi glukokortikoid pada perkembangan paru adalah meningkatkan
surfaktan paru. Penelitian-penelitian awal yang dilakukan terhadap kelinci dan domba
menunjukkan bahwa glukokortikoid merangsang pembentukan struktur paru dan mulai
timbul produksi surfaktan paru. Secara histologi dapat diamati sebagai pendataran epitel,
penipisan septum alveolus, peningkatan differensiasi sel. Selain dari efek terhadap
surfaktan , glukokortikoid meningkatkan compliance paru dan volume maksimal paru.
Pemberian glukokortikoid janin juga mengurangi kebocoran protein dari pembuluh
pulmoner ke ruang udara dan meningkatkan clearance cairan paru sebelum kelahiran. Hay
WW,2001; Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 2001
7
3. Pengaruh terhadap jaringan lain
Observasi klinis terhadap efek multisistem terapi steroid terhadap bayi baru lahir
konsisten dengan data yang didapat dari penelitian hewan.Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kortikosteroid membantu perkembangan hati, usus, kulit,glandula
adrenal, ginjal, dan jantung janin.Contoh-contoh ini menggambarkan efek global steroid
terhadap transisi perkembangan mayor dan menyediakan suatu dasar ilmiah untuk
penggunaan terapi steroid antenatal untuk mempercepat fase perkembangan pada janin
manusia sebelum kelahiran preterm. Dudley DJ et al,2003
4. Ras dan jenis kelamin
Dari beberapa percobaan tidak ada kejadian bahwa gender pada bayi menentukan
keuntungan pada pemakaian kortikosteroid. Pada laki-laki yaitu OR 0.43, dan pada
perempuan OR 0.36. Analisis dari kelompok Collaborative meyakini bahwa bayi berkulit
hitam lebih menguntungkan daripada bayi berkulit putih. Tidak ada bukti yang
meyakinkan dari beberapa penelitian klinis bahwa jenis kelamin atau ras berpengaruh
terhadap terapi kortikosteroid antenatal.NIH,1994; Crowley P,1997; Mupanemunda RH et al, 1997
C. Tipe kortikosteroid
Deksametason dan betametason merupakan kortikosteroid yang lebih banyak
digunakan untuk terapi antenatal, tapi hidrokortison tidak menunjukkan keuntungan yang
sama. Dua komponen ini identik dalam aktifitas biologi dan dengan mudah melewati
plasenta dalam aktivitas biologinya. Mereka sama sekali tanpa aktifitas
mineralokortikoid, secara relatif lemah dalam aktifitas imunosupresif, dan mempunyai
durasi yang lebih lama daripada kortisol dan metilprednisolon. Mereka juga
kortikosteroid antenatal yang paling luas diteliti untuk peningkatan maturitas janin.NIH, 1994
Komposisi kimia kedua obat ini hanya berbeda pada deksametason mempunyai
suatu kelompok metil di posisi 16 dalam konfigurasi alfa, sedangkan betametason
mempunyai metil di posisi beta. Dudley DJ et al,2003
Liggins dan Howie meggunakan suspensi betametason pada penelitian mereka
karena kortikosteroid fluorinasi melewati plasenta dari ibu ke janin dan mencapai level
darah janin lebih kurang 30% dari level darah ibu, dan juga karena garam asetat
merupakan larutan yang bebas.
8
Betametason dan deksametason adalah secara struktur fluorinasi kortikosteroidnya mirip,
dan mempunyai potensi genomik yang sama.Betametason secara signifikan mengurangi
kematian, sedangkan deksametason tidak. Pada penelitian retrospektif Baud dkk
dilaporkan bahwa deksametason dihubungkan dengan peningkatan kualitatif
periventricular leukomalacia , dimana betametason secara signifikan mengurangi
periventricular leukomalacia .
Betametason adalah rangsangan yang lebih poten untuk pematangan paru, efek
kemudian dari perkembangan saraf pada tikus kurang dibandingkan deksametason. Pada
manusia efek variabilitas denyut jantung janin pada betametason kurang dibanding
deksametason, tapi perbedaan ini tidak dijumpai pada penelitian lain. Peningkatan
periventricular leukomalacia yang dihubungkan dengan deksametason antenatal
merupakan hasil dari bahan pengawet sulfit yang terkandung dalam produk itu. Sulfit
dapat merusak sel neural in vitro. Jadi disimpulkan bahwa betametason dan
deksametason tidaklah sama ,dan betametason merupakan obat pilihan untuk pengobatan
kortikosteroid antenatal.Jobe AH et al, 2004
Tabel 1. Glukokortikoid Relatif, Aktifitas Mineralokortikoid dan Dosis Equivalent Pada Steroid Adrenal
Natural dan Sintetik
Glukokortikoid Perkiraan dosis Potensi Relatif Anti Potensi Relatif
equivalent ( mg ) inflamasi Mineralokortikoid
(Glukokortikoid )
Kortison 25 0.8 2
Hidrokortison 20 1 2
Prednison 5 4 1
Prednisolon 5 4 1
Triamsinolon 4 5 0
Metilprednisolon 4 5 0
Deksametason 0.75 20-30 0
Betametason 0.65-0.75 20-30 0
Dari Mercer BM.Assesment and Induction of Fetal Pulmonary Maturity.In Maternal Fetal Medicine 4rd ed
WB Saunders Company Philadelphia, p.456. 2001
BAB IV
PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID SAAT ANTENATAL
9
Pemberian kortikosteroid saat antenatal pada wanita hamil dengan resiko
kelahiran preterm adalah merupakan salah satu terapi yang paling efektif dan penting.
Pemberian kortikosteroid ini dapat memperbaiki fungsi paru janin dan melindungi janin
dari kematian dini.Newnham JP et al, 2002
A. Indikasi
Beberapa indikasi penggunaan kortikosteroid saat antenatal pada usia kehamilan
24 – 34 minggu :
Persalinan preterm
Perdarahan antepartum (HAP)
Premature ruptur of the membran (PROM)
Ketika usia kehamilan bertambah, wanita hamil yang dirawat sebaiknya diberikan
kortikosteroid untuk mencegah peningkatan insiden RDS.Stalker S, 2004
B. Kontraindikasi
Satu – satunya kontraindikasi penggunaan steroid antenatal adalah infeksi uterin
yang terbukti secara klinis. The British National Formulary menyatakan bahwa terapi
kortikosteroid merupakan kontraindikasi untuk infeksi sistemik. Pada wanita dengan
kelahiran preterm yang mungkin menderita infeksi intra uterin subklinis, anjuran
pemberian steroid pada masa kehamilannya masih dipertanyakan. Mereka meneliti
169 bayi yang mendapat steroid dengan korioamnionitis histologi ditemukan pada
evaluasi patologi post partum terhadap 358 bayi dengan korioamnionitis histologi
tanpa terapi steroid antenatal.Terdapat peningkatan sepsis neonatus yang tidak
bermakna (18,3 % vs 14 %). Mereka menyimpulkan bahwa pengobatan steroid
antenatal pada wanita dengan infeksi intra uterin subklinis bukan merupakan
kontraindikasi. Dudley DJ et al, 2003;Stalker S, 2004
10
Dosis yang lebih tinggi atau lebih sering tidak meningkatkan keuntungan terapi
kortikosteroid dan mungkin meningkatkan kerugian dari efeknya.NIH, 1994; Dudley DJ et al; Cunningham
FG et al, 2001; Mupanemunda RH et al, 1997; Martin JN, 2003
Pasien rawat jalan yang diberikan deksametason oral juga telah dipertimbangkan
pada pasien yang rawat jalan yang mempunyai risiko melahirkan prematur.
Deksametason digunakan sebagai obat oral dengan absorpsi yang baik. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan pemberian deksametason antenatal secara
intamuskular dan oral pada 170 pasien yang kemudian dihentikan karena terdapat
peningkatan yang signifikan neonatal sepsis (10.1% oral vs 1.2% im) dan IVH
(10.1% oral vs 2.4% im). Tidak ada penjelasan efek buruk pada janin pada pemakaian
deksametason oral ini. Mereka menyimpulkan bahwa deksametason oral sebaiknya
tidak diberikan pada yang sudah mendapatkan intramuskular. Keuntungan klinis
pemberian steroid intravena belum diteliti pada kehamilan manusia. Jobe AH, 2004
D. Waktu pemberian
Terdapat bukti kuat keuntungan pada neonatal pada pengobatan kortikosteroid
antenatal dimulai 24 jam dan paling lambat sampai 7 hari setelah pengobatan. Fakta
ini percaya bahwa berkurangnya kematian, RDS, dan IVH bahkan pengobatan yang
diawali kurang dari 24 jam pertama kelahiran. Baik secara klinik dan fakta invitro
percaya bahwa efek biologi kortikosteroid berlangsung sampai 7 hari dari awal
pengobatan.
Keuntungan klinis melebihi 7 hari setelah terapi kortikosteroid antenatal tidak
mempunyai data yang adekuat. Juga keuntungan atau risiko pengulangan pemberian
terapi setelah 7 hari belum diketahui.NIH, 1994; Evoy CM, 2000
11
Pada analisis sekunder berdasarkan interval waktu antara pemberian dan
kelahiran, bayi yang dilahirkan antara 48 jam dan 7 hari setelah pemberian
pengobatan glukokortikoid menunjukkan keuntungan yang paling besar (odds ratio
0,35 ). Odds ratio untuk bayi yang dilahirkan kecil 24 jam – 48 jam pemberian
pengobatan (0,8) atau lebih 7 hari (0,63) mengindikasikan potensi kecendrungan efek
menguntungkan tetapi tidak mencapai angka statistik yang bermakna. Crowley P, 1997; Dudley
DJ,2003
Liggins dan Howie mencatat bahwa frekuensi gawat pernapasan akan meningkat
kalau bayi dilahirkan antara 7 -21 hari setelah terapi dengan betametason
dibandingkan dibandingkan frekuensi gawat pernapasan pada bayi yang dilahirkan 1
hingga 7 hari setelah terapi itu selesai.17,25 Lebih lanjut, Brown dkk (1979)
menemukan pada janin domba bahwa peningkatan kadar surfaktan akan turun
kembali kepada nilai sebelum terapi dalam waktu 8 hingga 10 hari. Karena itu, jika
akan digunakan senyawa ini, terapi ulang harus dipertimbangkan kalau persalinan
bayi belum terjadi dalam waktu 7 hari sejak terapi pertama, dan bila risiko persalinan
dini masih terdapat.27 Dua penelitian besar menunjukkan pengurangan RDS setelah
pemberian steroid antenatal. Liggins dan Howie menemukan bahwa pengobatan
betametason antenatal mengurangi insiden RDS 30 %, dari 15,6 % menjadi 10 %
(P=0,02) pada 853 bayi. Ada 60 % pengurangan , dari 23,7 % menjadi 8,8 %
(p=0,001), pada subgroup yang melahirkan di atas 24 jam , tetapi kurang 7 hari
setelah pengobatan. Di Amerika Serikat, pada sebuah uji random multisenter
menggunakan deksametason, insiden RDS berkurang dari 16,1 % menjadi 10,1 %
pada janin tunggal yang diberi glukokortikoid antenatal. Dudley DJ,2003
Menurut penelitian Evoy dkk bahwa bayi yang dilahirkan setelah diberikan
kortikosteroid antenatal lebih dari 2 kali tapi dalam 7 hari dari pengobatan terakhir
secara signifikan memperbaiki compliance respirasi dibandingkan dengan
pengobatan dosis tunggal atau yang tanpa diobati.
Compliance paru pada bayi yang menerima kortikosteroid antenatal dosis tunggal tapi
dilahirkan setelah 7 hari pengobatan tidak berbeda dengan bayi yang tidak mendapat
pengobatan, yang meyakini bahwa perbaikan compliance paru adalah phenomen
12
yang dibatasi waktu dimana jika persalinan preterm tidak terjadi , maka pool
surfaktan ini menghilang. Kapasitas residual fungsional pada bayi yang dilahirkan
setelah dosis berulang tapi dengan pengobatan yang optimal ditemukan lebih tinggi
daripada bayi yang tidak mendapat pengobatan. Penelitian pada binatang telah
diperlihatkan bahwa struktur histologi berubah dengan meningkatnya volume rongga
udara setelah pemberian kortikosteroid antenatal.Evoy CM et al, 2000
Untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan 29-34 minggu, pengobatan dengan
kortikosteroid antenatal jelas mengurangi insiden RDS dan mortalitas. Untuk
neonatus yang lahir pada minggu ke 24-28 minggu usia kehamilan, kortikosteroid
antenatal tidak jelas menurunkan angka RDS, tetapi terapi ini berhubungan dengan
penurunan derajat berat RDS, insiden IVH, dan mortalitas. Sedikit bukti yang
mendukung pemakaian kortikosteroid antenatal sebelum usia kehamilan 24 minggu
meskipun baru terdapat sedikit alveoli yang sederhana pada usia kehamilan ini.
Penggunaan kortikosteroid antenatal tidak dianjurkan sebelum usia kehamilan
mencapai 24 minggu atau sesudah 34 minggu.NIH,1994; Martin JN, 2003
Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk
pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara
24-34 minggu. NIH,1994
13
wanita yang mempunyai risiko melahirkan prematur pada awal 34 minggu usia
kehamilan. NIH,1994; Arias F,1993; Guinn DA et al, 2001
14
penelitian lebih lanjut dibutuhkan sebelum rekombinasi ini dapat dijadikan standar
terapi. Dudley DJ et al, 2003
15
1. Keuntungan jangka pendek pada bayi
Pengobatan kortikosteroid antenatal pada bayi prematur pada banyak penelitian
secara random telah mengurangi mortalitas neonatal dan insiden RDS. Apabila
dikombinasi dengan pengobatan surfaktan post natal, angka kematian semakin lebih
rendah. Pada meta-analisis menunjukkan pengurangan insiden RDS dengan odds
rasio 0.5 (95% Cl 0.4-0.6) dan pengurangan mortalitas neonatal dengan odds rasio 0.6
(95% Cl 0.5-0.8). Data ini signifikan tidak hanya secara statistik, tapi secara klinis
juga menunjang. Perbaikan stabilitas sirkulasi dan berkurangnya kebutuhan oksigen
dan bantuan ventilasi merupakan keuntungan tambahan pada penelitian tersebut. NIH,
1994; Meneguel JF et al, 2003
Perbandingan apgar score pada menit pertama dan kelima, bayi baru lahir yang
mendapat kortikosteroid antenatal secara signifikan mempunyai apgar score pada
menit pertama lebih besar daripada bayi yang tidak mendapat kortikosteroid
antenatal. Apgar score yang tinggi ini mungkin karena stabilnya kardiovaskular dan
respirasi pada neonatus prematur yang mendapat kortikosteroid antenatal. Penelitian
pada binatang menunjukkan efek kortikosteroid pada mekanisme adaptasi pada
kehidupan ekstra uterin. Stein dkk mendemostrasikan pada anak domba prematur
bahwa kortikosteroid memperbaiki ventilasi, sirkulasi, dan fungsi metabolik dengan
meningkatkan aktifitas adenil siklase miokardium.
Kortikosteroid juga meningkatkan resptor adrenergik pada dinding pembuluh
darah dan miokardium, yang berpengaruh terhadap stabilnya kardiosirkulasi pada saat
lahir. Hal ini berpengaruh secara tidak langsung dengan berkurangnya frekuensi RDS.
Meneguel JF et al, 2003
16
Risiko pada janin dan neonatus setelah pemberian glukokortikoid antenatal
muncul lebih jarang dan reversibel. Dalam meta-analisis Crowley(1989) tidak ada
bukti yang meyakinkan akan adanya efek samping yang signifikan. Mercer BM, 2004
Kerugian jangka pendek pada pemberian kortikosteroid antenatal paling banyak
terjadi pada neonatus adalah infeksi dan supresi adrenal. Tapi pada fakta yang ada
pada data menunjukkan tidak ada peningkatan infeksi pada pengobatan pada bayi,
secara klinis tidak ada supresi adrenal yang penting, dan pengembalian secara cepat
fungsi adrenal bila pengobatan kortikostroid antenatal dihentikan.Beberapa
penelitian pada binatang percaya bahwa pengobatan kortikosteroid antenatal dapat
menimbulkan hipoksia. Tapi beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa
pemberian kortikosteroid dengan dosis yang sama yang juga digunakan pada manusia
pada antenatal melindungi dari hipoksia-iskemik kerusakan otak. Data lebih lanjut
pada penelitian pada manusia masih dalam penelitian. NIH, 1994
4. Kerugian jangka panjang pada bayi
Risiko jangka panjang dari pemberian preparat glukokortikoid pada bayi yang
berhasil diselamatkan masih belum diketahui.Penelitian yang diawali pada tahun
1970-an, yang telah mengikuti perkembangan anak-anak yang telah diobati
kortikosteroid antenatal sampai berumur 12 tahun, menunjukkan bahwa tidak ada
efek yang merugikan pada daerah motor skill, bahasa, kognisi, memori, konsentrasi.
Kerugian yang mungkin adalah perkembangan neurologi dalam jangka panjang pada
penelitian dengan pemberian kortikosteroid pada binatang. Penelitian ini
menggunakan dosis lebih kurang 10 kali daripada dosis yang digunakan pada
manusia. Pada penelitian ini tidak tampak risiko peningkatan kerusakan
perkembangan neurologi jangka panjang pada anak-anak. Spinillo A, 2004
Pada bulan September 1985, suatu lokakarya mengenai cara- cara pendekatan
untuk mencegah gawat pernapasan neonatal diselenggarakan di Washington DC,
Amerika Serikat. Lokakarya ini menelaah hasil penelitian kolaboratif tersebut.
Kelompok tersebut sepakat bahwa dalam pengertian fungsi kognitif, motorik atau
neurologi, tidak ditemukan perbedaan pada 406 bayi yang diikuti sampai usia 36
17
bulan, hasil ini menunjukkan bahwa terapi steroid tidak memberikan pengaruh yang
merugikan dalam perkembangan neurologi jangka pendek selanjutnya. Mercer BM, 2004 ;Spinillo A,
2004
18
kortikosteroid antenatal mungkin predisposisi kematian janin pada wanita hipertensi.
Kemudian, penelitian ini gagal untuk membuktikannya. Kerugian jangka panjang
pada ibu belum pernah dilaporkan.NHI, 1994; Cuningham FG et al, 2001
19
termasuk mortalitas (P=.911), RDS (P=.485), dan penyakit paru kronik (P=.978) Stalker S,
2004; Guinn DA,2004
20
96.4 %, P=0.03 )yang mendapat dosis ulangan. Risiko relatif dari morbiditas setelah
penggunaan kortikosteroid ulangan berkurang sesuai dengan meningkatnya usia
kehamilan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara berat lahir dan kortikosteroid
ulangan (2009 v 2139 grams, P=0.10), tapi berpengaruh terhadap ukuran yang mirip
dengan gambaran penelitian terdahulu.Mercer BM, 2004;French NP, 1999;NIH, 2000
Pada bulan Oktober 2001 hasil penelitian terhadap 502 wanita yang mendapat
kortikosteroid antenatal dosis tunggal atau multipel yang dipublikasikan oleh JAMA,
bahwa tidak terdapat perbedaan outcome neonatal (RDS, bronkopulmonal displasia,
sepsis, enterokolitik nekrotik, kematian) antara bayi yang mendapat dosis tunggal
versus multipel (28.0% vs 22.5%, p=0.16).MartinJN,2003;Guinn DA et al, 2001
Sebagai respon terhadap pengulangan penggunaan kortikosteroid pada wanita
yang berisiko tinggi untuk melahirkan preterm pada praktek klinis, dan penumpukkan
data yang mempercayai risiko potensial, maka National Institutes of Health
mengumpulkan kembali panel konsensus untuk mengulangi literatur yang ada
mengenai penggunaan kortikosteroid antenatal pada bulan Agustus tahun 2000. Hasil
konsensus kedua yang dipublikasikan, menetapkan lagi keuntungan penggunaan
kortikosteroid antenatal (National Institute of Health, 2001) yaitu: Cunningham FG et al,2001; Guinn
DA, 2004
Semua wanita hamil antara 24-34 minggu usia kehamilan yang berisiko untuk
melahirkan preterm dalam 7 hari seharusnya dipertimbangkan untuk pengobatan
kortikosteroid antenatal.
Tidak ada bukti bahwa regimen lain efektif pada penggunaan kortikosteroid antenatal
dibandingkan campuran 6 mg betametason fosfat dan 6 mg betametason asetat (total
12 mg betametason) yang diberikan secara intramuskular setiap 24 jam untuk dua
dosis, atau deksametason 6 mg diberikan intramuskular setiap 12 jam untuk empat
dosis.
Karena kurangnya data ilmiah dari penelitian mengenai efektif dan keamanan,
pengulangan kortikosteroid seharusnya tidak digunakan secara rutin.
21
BAB V
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Arias F: Preterm Labor, In Practical Guide to High-Risk Pregnancy and Delivery. Mosby
Year Book, Inc, 1993; 71-99.
Cuningham FG, Macdonald PC, Gant NF Preterm Birth: In Williams Obstetric 21 st Ed.
The Mc Graw-Hill Companies,New York,2001; 689 – 718.
Dudley DJ, Waters TP, Nathanielsz PW: Current Status of Single-Course Antenatal
Steroid Therapy. Clinical Obsteric and Gynecology. (46) (1), 2003, l32-149.
French NP, Hagan R, Evan SF. Repeated Antenatal Corticosteroids: Effect on Cerebral
Palsy & Childhood Behavior. Am J Obstet gynecol 2004; 190. (3), 588 – 95.
French NP, Hagan R, Evan SF. Repeated Antenatal Corticosteroid: Size at Birth and
Subsequent Development. Am J Obstet Synecol 1999; 180 (1). 114 – 121.
Hay WW, Hayward AR, Levin MJ: Current. The Newborn Infant. In Pediatric Diagnosis
& Treatment 15th ed, Appleton & Lange, 2001; 1 – 33.
23
Jobe AH, Soll RF: Choice and Dose of Corticosteroids for Antenatal Treatments. Am J
Obstet. Gynecol, 2004; 190: 878-81.
Meneguel JF, Guinsburg R, Miyosi MH, Antenatal Treatment with Corticosteroids for
Preterm Neonatus : Impact On the Incidence of Respiratory Disease Syndrome and Intra
– Hospital mortality. San Paulo Med. J. San Paulo 2003; 121 (2) 156 – 175.
Serudji J, Sulin D: Sistem Pernapasan Janin. Dalam Ilmu Kedokteran Feto Maternal. ed I.
Himpunan Kedokteran Feto Maternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
2004, hal 41 – 45
Spinillo A, Viazzof, Colleoni R, Chiara A,Cerbo RM, Fazzi E: Two Year Infant
Neurodevelopmental Outcome after Single and Multiple Antinatal Course Of
Corticosteroid to Prevent Complications of Prematury. Am J Obstet Gynecol. 2004, 191 :
217 – 24.
24