You are on page 1of 11

BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN

RUU KUHP BARU

Oleh :
Prof. Dr. Muladi, S.H.

Disampaikan pada
Seminar Nasional RUU KUHP Nasional
Diselenggarakan oleh
UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM
BATAM – 17 Januari 2004

1
BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN
RUU KUHP BARU
--------------------------------------------------------------
Prof. Dr. Muladi, SH
(Anggota Tim Perancang RUU KUHP)

Perkembangan hukum pidana nasional sampai saat ini mengikuti pelbagai


pendekatan (reform approach) sebagai berikut :

a. Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal


tertentu baik yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP Jo.
UU No. 1 Tahun 1965 ) maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi
Pasal V UU No. 1 Tahun 1946);
b. Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana
khusus di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU tentang
Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan sebagainya, mengingat
kekhususan-kekhususan pengaturan baik di bidang hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formil;
c. Pendekatan kompromi, dengan pengaturan suatu Bab baru dalam KUHP
akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab XXIX
A KUHP Jo. UU No. 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi
terhadap Konvensi-konvensi Montreal, Tokyo dan Konvensi The Haque
tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana
Penerbangan) ;
d. Pendekatan komplementer dengan munculnya hukum pidana
administrative (administrative penal law) di mana sanksi hukum pidana
digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (UU Pers, UU
tentang HAKI, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya).

2
Sepanjang berkaitan dengan RUU KUHP baru pendekatan yang dilakukan
adalah bersifat menyeluruh dan bukan bersifat ‘amandemen’ dengan maksud
untuk menggantikan WvS warisan Belanda dengan KUHP Nasional, sehingga
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan global (global approach), yang
tidak mungkin bisa difahami secara sepotong-sepotong (fragmented) seperti
yang tersirat dalam polemik di masyarakat akhir-akhir ini.. Usaha ini sudah
berlangsing lebih dari 40 tahun (1963) semenjak Seminar Hukum Nasional I di
Semarang yang dimotori oleh BPHN Departemen Kehakiman.. Tokoh-tokohnya
seperti Prof. Oemar Senoadji, Prof. Sudarto, Prof Ruslan Saleh bahkan sudah
wafat.
Karakteristik pendekatan global ini nampak terutama dalam pengaturan-
pengaturan yang mendasar, baik yang berkaitan dengan asas-asas hukum
pidana (criminal law principles) sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP,
maupun dalam pengaturan 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana yaitu
pengaturan tentang pelbagai perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal
act), pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility)
dan pengaturan tentang sanksi baik yang berupa pidana (punishment, straf)
maupun tindakan (treartment, maatregel).
Mengutip pendapat salah satu anggauta Tim Perancang Prof. Dr. Barda
Nawawi Arif, SH, maka asas-asas dan system hokum pidana nasional dalam
Konsep RUU KUHP disusun berdasarkan ‘ide keseimbangan’ yang mencakup :
- keseimbangan monodualistik antara ‘kepentingan umum/masyarakat’ dan
‘kepentingan individu/perseorangan’;
- keseimbangan ide perlindungan/kepentingan korban dan ide
individualisasi pidanal
- keseimbangan antara unsure/factor ‘obyektif’ (perbuatan/lahiriah) dan
‘subyejtif’ (orang/batiniah/sikap batin); ide ‘daad-dader strafrecht’;
- keseinbangan antara criteria ‘formal’ dan ‘material’’;
- keseimbangan antara ‘kepastian hukum’, ‘kelenturan /elastisitas/
fleksibilitas’ dan ‘keadilan’;

3
- keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/
universal.
Dalam merumuskan RUU KUHP para pakar yang terlibat telah berusaha
menyerap aspirasi.yang bersifat multidimensional baik yang berasal dari
elemen-elemen suprastruktural, infrastruktural, akademis maupun aspirasi
internasional dalam bentuk pengkajian terhadap pelbagai kecenderungan
internasional dan pelbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo Saxon,
Kontinental, Timur Tengah, Timur Jauh dan Sosialis). Namun demikian selalu
tidak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen
partikularistik);
Sepanjang mengenai Asas-asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I,
beberapa hal yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut :
1. Nuansa HAM dalam rangka menciptakan hukum pidana yang manusiawi
(humanitarian criminal law) sangat menonjol, baik untuk kepentingan
masyarakat, kepentingan pelaku maupun kepentingan korban kejahatan.
Sifat hukum pidana yang semula merupakan hukum pidana perbuatan
(Daadstrafrecht) (WvS) yang dipengaruhi Aliran Klassik setelah Revolusi
Perancis disempurnakan menjadi hukum pidana yang juga berorientasi
pada pelaku, atas dasar pengaruh Aliran Modern/ Aliran Neo-Klassik
(Daad-daderstrafrecht); Pidana yang semula semata-mata bertujuan
untuk pembalasan (retribution) ditujukan kearah yang lebih bermanfaat
(lihat Butir 9 di bawah);
2. Dalam kaitannya dengan Butir 1 di atas, sesuai dengan Konvensi tentang
Hak-hak Anak, maka secara khusus diatur tentang ‘ Pidana dan Tindakan
Bagi Anak’ dalam Bab tersendiri (Bab Keempat, Pasal 106 s/d Pasal 123
RUU). Dalam Pasal 106 RUU juga ditegaskan batas minimum umum
pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal responsibility)
yaitu 12 tahun;

4
3. Korban kejahatan (victim of crime) juga memperoleh perhatian,
khususnya antara lain pada pengaturan tentang pedoman penjatuhan
pidana (sentencing guidelines) dan jenis sanksi pidana (strafsoort) (Pasal
50 dan Pasal 51 ayat (1) huruf I RUU;
4. Asas legalitas dilengkapi dengan kemungkinan berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat dan berlakunya hukum adat. Dengan demikian
dimungkinkan berlakunya ajaran sifat melawan hukum materiil ( materiele
wederechtelijkheid) dalam fungsinya baik negatif maupun positif (Pasal 1
ayat (3) RUU;
5. Masalah keadilan (justice) yang bersifat dominan. Dalam Pasal 16 RUU
diatur, bahwa dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan,
hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum;
6. Dalam merumuskan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tidak lagi
dibedakan antara kejahatan ( misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)
(WvS Buku II dan Buku III). Teori dan konsep yang mendasari
pembedaan tersebut (‘wetsdelict’ dan ‘rechtsdelict’) tidak lagi relevan
karena tidak lagi diterapkan secara konsisten. Kedua jenis delik tersebut
disatukan dengan satu istilah “Tindak Pidana’ (Bab II) ;
7. Pengaturan ‘corporate criminal responsibility’ yang bersifat umum atas
dasar Teori Identifikasi (Pasal 44 s/d Pasal 49 RUU);
8. Pengaturan kemungkinan diterapkannya bentuk ‘ vicarious liability’ dan
‘strict liability’ (Pasal 32 RUU);
9. Tujuan pemidanaan (the aim of punishment) yang bersifat komprehensif-
integral dan teleologis dirumuskan, baik yang memperhatikan si pelaku
(memasyarakatkan terpidana dan membebaskan dari rasa bersalah)
maupun yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya
tindak pidana demi pengayoman masyarakat ) serta mengembalikan
harmoni kehidupan social (menyelesaikan konflik). Tujuan yang bersifat
retributive dianggap ‘implied’ dalam pelbagai tujuan pemidanaan yang
multi-dimensional tersebut (Pasal 50 RUU);

5
10. Pengaturan tentang pedoman penjatuhan pidana ( standard guidelines of
sentencing/straftoemetingsleidraad) untuk meciptakan pemidanaan yang
obyektif dan rasional (Pasal 51 RUU);
11. Kecenderungan untuk menghindari pidana kemerdekaan jangka pendek
(short prison sentence) yang cenderung merusak, dengan mengatur
sebanyak mungkin sanksi alternative (alternative sanctions) seperti pidana
tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja social dan pidana denda
(Pasal 60 RUU dan seterusnya);
12. Demikian pula mengenai system tindakan yang diatur secara luas pada
Pasal 94 RUU dan seterusnya. Sistem tindakan diterapkan sehubungan
dengan ketentuan Pasal 34 RUU yang mengatur tentang pelaku yang
menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental dan Pasal
35 RUU bagi mereka yang kurang dapat dipertanggungjawabkan karena
menderita gangguan jiwa,,penyakit jiwa atau retardasi mental; Pengaturan
simultan antara pidana (straf) dan tindakan (maatregel) dalam suatu
harmoni dikenal dalam hokum pidana modern sebagai system 2 (dua)
jalur (double-track system, Zweispurigkeit);
13. Pidana mati (capital punishment) tetap dipertahankan, namun diatur
dalam pasal tersendiri sebagai ‘pidana yang bersifat khusus’ dan selalu
diancamkan secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai ‘upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat’ (Pasal 80 RUU). Dengan syarat-
syarat tertentu juga dimungkinkan penerapan ‘Pidana Mati Percobaan’
(conditional death penalty) (Pasal 82 RUU), di mana pidana mati
dimungkinkan untuk diubah menjadi pdana seumur hidup atau pidana
penjara 20 tahun penjara;
14. Pidana denda diatur dengan system kategori I-VI untuk mengatasi
persoalan inflasi dan sebagainya (Pasal 75 RUU);
15. Pengaturan sanksi adat berupa ‘pemenuhan kewajiban adat’ (Pasal 93);

6
16. Dalam Pasal 126 diatur pemberatan pidana bagi mereka yang melakukan
tindak pidana dengan mendayagunakan keahlian atau profesinya,
memanfaatkan anak di bawah usia 18 tahun atau dilakukan pada saat
negara dalam keadaan bahaya/huru hara/bencana alam;
17. Guna menampung perkembangan modern seperti kejahatan telematika
(cyber-crime) dan sebagainya pada Pasal 174 RUU diatur bahwa definisi
‘barang’ mencakup pula ‘benda berujut’ (air) dan ‘benda tak berujut’
seperti aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa komputer dan
telpon;
Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan Tindak Pidana (Bab II), hal-hal
yang menarik adalah sebagai berikut :
1. Kriminalisasi terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran
Komunisme /Marxisme/Leninisme secara melawan hukum; Apabila
sampai menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat maka ada
pemberatan pidana. Hal ini sebagai konsekuensi keberadaan TAP MPRS
No. XXV/MPRS/1966 (Pasal 193 dan Pasal 195 RUU);
2. Tindak pidana yang terkenal sebagai pasal-pasal penyebaran kebencian
dan permusuhan (haatzaai-artikelen), (Pasal 154 dan Pasal 156 WvS)
tetap diatur dengan perobahan merupakan ‘penghinaan’ dan
dirumuskan secara materiil. Untuk penghinaan pada pemerintah sah
harus menimbulkan akibat terjadinya keonaran dalam masyarakat dan
terhadap golongan rakyat Indonesia harus berakibat timbulnya
kekerasan terhadap orang atau barang ( Pasal 247 dan Pasal 249 RUU);
3. Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam
Bab Khusus (Bab VII RUU). Hal ini merupakan refleksi bahwa Indonesia
merupakan ‘Nation State’ yang religius, di mana semua agama (religion)
yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan hukum yang besar
yang harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari
ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau
ketenteraman hidup beragama; Hal ini semacam ‘Blasphemy’ di Inggris
atau ‘Godslasteringswet’ di Belanda;

7
4. Bab khusus baru yang lain adalah Bab VI RUU yang mengatur ‘Tindak
Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan’. Tindak pidana di sini
tidak hanya mengatur ‘Contempt of Court’, tetapi juga ‘Obstruction of
Justice’. Catatan : Ada kritik mengapa dalam Pasal 288 ayat (1) RUU
yang diancam pidana hanya penasihat hukum ?
5. Pasal 255 RUU mengatur ‘bukan delik santet’ yang bersifat delik
materiil, tetapi delik formil untuk mencegah dan memberantas praktek
‘black magic’ (setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai
kekuatan magis memberitahukan, menimbulkan harapan , menawarkan
atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain untuk menimbulkan
kematian, penderitaan mental atau fisik). Dengan kriminalisasi
diharapkan dapat mencegah praktek penipuan, praktek ‘black magic’
benar atau tidak, dan praktek main hakim sendiri anggota masyarakat
dalam menangani mereka yang dituduh sebagai dukun santet di
beberapa daerah;
6. Perluasan delik perkosaan dan delik perzinahan (adultery) (delik aduan);
menghamili wanita secara tidak bertanggungjawab; persertubuhan
dengan janji kawin yang diingkari; homoseksualitas terhadap anak di
bawah usia 18 tahun; hidup bersama diluar kawin (kumpul kebo)
(merupakan delik materiil dan delik aduan); persetubuhan antara orang
dewasa yang tidak kawin atau ‘fornication’ (merupakan delik materiil dan
delik aduan); ‘incest’ dan ‘loitering’ (bergelandangan di muka umum
untuk melacurkan diri); (Bab XV);Selanjutnya tindak pidana
homosukseualitas yang sebenarnya bukan hal yang baru. Pembaharuan
dari KUHP hanya berkaitan dengan pembatasan terhadap homosek
yang dilakukan terhadap anak di bawah 18 tahun (Pasal 427 RUU
KUHP) Catatan : Ada yang berpendapat agar delik yang tersebut pada
Butir 5 dan delik kumpul kebo dan fornication diatasi saja dengan hukum
adat (Pasal 1 ayat 3 RUU);

8
7. Dalam membahas delik susila tersebut pada Butir 6, ada kecenderungan
masyarakat perkotaan yang secular untuk menerapkan konsep
‘victimless crimes’ sebagaimana yang berlaku di Barat yang melihat
korban sebagai korban individual. Dalam Konsep Timur konsep korban
harus dilihat dalam konteks social.

Catatan :
RUU KUHP nampaknya masih memerlukan penyempurnaan dan
konsolidasi kembali, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(a). Masih kurangnya sosialisasi dan mengingat pula bahwa setelah selesainya
perumusan RUU KUHP pada tahun 2000 telah terjadi perkembangan yang
pesat dalam hukum pidana, seperti UU tentang Pemberantasan Terorisme yang
materinya antara lain juga diatur dalam RUU KUHP (Pasal-pasal 256, 302 dan
303 RUU, ), UU tentang Pengadilan HAM yang mengatur ‘genocide’ yang juga
diatur dalam RUU KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula
Tindak Pidana Jabatan yang juga diatur dalam Pasal 304 RUU KUHP, UU No.
23 Tahun 1997 yang mengatur Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang diatur
pula dalam Pasal 329-330 RUU KUHP, dan Tindak pidana Pencucian Uang
(Money Laundering) serta pemahaman tentang ‘Delik Pers’ dalam kaitannya
dengan HAM dan UU Pers (the freedom of expression) dan lain-lain , maka
disarankan agar RUU KUHP tersebut diaudit dan dikonsolidasikan kembali,
dengan melibatkan :
a. Pakar-pakar yang terlibat dalam perancangan; dan
b. Pakar-pakar lain yang relevan.
Jangka waktu yang dibutuhkan kira-kira antara 3-6 bulan (auditing, konsolidasi
dan sosialisasi). RUU yang sudah diperbaharui kemudian diajukan kepada DPR
hasil Pemilu 2004, mengingat masa kerja DPR saat ini tidak lama lagi (apalagi
mereka sudah disibukkan dengan kegiatan mengadapi Pemilu), padahal RUU
terdiri atas lebih dari 600 pasal yang membutuhkan waktu pembahasan yang
relatif lama.

9
Sebagai contoh untuk bahan ‘auditing’ dan konsolidasi yang bisa juga
bermanfaat secara timbal balik dengan perkembangan tindak pidana di luar
KUHP, adalah kriminalisasi terhadap orang yang menjadi anggota organisasi
terorisme yang diatur dalam Pasal 303 RUU, tetapi belum diatur dalam UU
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Demikian pula beberapa
tindak pidana baru sebagaimana diatur dalam Palermo Convention Tahun 2000
misalnya tentang ikut serta dalam organisasi kejahatan, penyelundupan imigran
gelap (human cargo), perdagangan wanita dan anak-anak untuk pelacuran juga
belum diatur dalam RUU;

(b). Perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP), khususnya berupa


pelbagai UU Tindak Pidana Khusus nampaknya sulit dihindarkan mengingat
berkembangnya pelbagai tindak pidana berat yang sering dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti korupsi, terorisme, kejahatan
transnasional terorganisasi (organized transnational crimes) dll., yang
memerlukan cara-cara luarbiasa juga untuk menanggulanginya (extraordinary
measures) dan seringkali cara-cara luar biasa ini harus menyimpang dari asas-
asas hukum pidana umum baik hukum pidana materiil (KUHP) maupun hukum
acara pidana (KUHAP); Catatan : Baru-baru ini Indonesia menandatangani UN
Convention Against Coruption, Vienna, 2003. Perlu dikaji implikasinya terhadap
hukum nasional yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok hukum pidana.

(c). Telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang mempunyai


implikasi terhadap hukum pidana dalam bentuk kriminalisasi. Sesuai dengan
system yang dianut oleh Indonesia, maka kriminalisasi tersebut tidak terjadi
secara otomatis, namun masih memerlukan adanya ‘implementing legislation’.
Beberapa Konvensi tersebut antara lain adalah Convention Against Torture,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan Convention Against Racial
Discrimination.

10
(d) Perlu dikaji pekembangan asas-asas hukum pidana sehubungan dengan
perkembangan hukum pidana nasional dan internasional (international criminal
law) yang sangat pesat sepertin keberadaan Statuta Roma 1998, penyimpangan
terhadap asas legalitas, kejahatan korporasi, ketentuan pidana mati, penerapan
jurisdiksi universal dan asas dalam pengadilan terhadap pelanggaran HAM
berat, ‘crimes by omission’ dalam kaitannya dengan ‘command responsibility’,
‘war crimes’, pemahaman terhadap hukum pidana khusus, perkembangan
ajaran sifat melawan hukum materiil dan sebagainya;
(e) Antisipasi tentang implikasi KUHP baru terhadap hukum acara pidana
(KUHAP). Sebagai contoh adalah akibat dihapuskannya perbedaan antara
kejahatan dan pelanggaran yang disatukan dalam satu istilah ‘tindak pidana’.
(f) Penyesuaian dengan iklim demokratisasi sebagai inti Gerakan Reformasi
yang bergulir sejak awal tahun 1998.

Jakarta, 17 Januari, 2004.

11

You might also like