You are on page 1of 1

GEJALA MIKRO FASISME DALAM PEMBELAJARAN

DI SEKOLAH DAN DI RUMAH


( Analisis Kontekstual Terhadap Film I Not Stupid )
Oleh : Petrus Charles Santui

Fasisme dapat dijelaskan dalam bentuknya yang lebih spesifik. Felix Guattari
mengistilahkannya dengan mikrofasisme, yakni bentuk penguasaan total yang tidak terbatas
hanya pada relasi negara dan masyarakat, tetapi lebih mikro daripada hal itu, yang menyata
dalam relasi gender, relasi ekonomi, relasi pusat dan daerah, relasi antaretnis (Piliang:
2004). Mungkinkah mikrofasisme dapat muncul dalam relasi guru-murid di sekolah atau
relasi anak-orang tua di rumah?
Film I Not Stupid berusaha menjawab pertanyaan di atas secara apa adanya. Dalam
film tersebut sebagian besar guru dan pihak di sekolah berusaha untuk menunjukkan
kekuasaannya yang total terhadap murid-muridnya. Murid-murid diklasifikasi secara tidak
adil berdasarkan metode penilaian yang timpang dan subjektif. Kreativitas dinilai sebagai
penyimpangan, bahkan pembangkangan terhadap otoritas guru atau sekolah. Di sini murid-
murid mengalami keterasingan (alienasi). Mereka hampir tidak tahu siapa diri mereka.
Situasi dan kondisi bertambah kompleks ketika orangtua yang dianggap sebagai tempat
perlindungan yang aman dan hangat juga berubah menjadi mikrofasis-mikrofasis yang
berusaha menguasai secara total anak-anaknya. Anak-anak dipaksa mengikuti selera dan
ambisi orang tua yang subjektif dan otoriter.
Film I Not Stupid merupakan sebuah episode dari berjuta episode nyata yang
menampilkan buramnya cara atau sistem pembelajaran kita, secara khusus di Indonesia.
Demi gengsi, image, ambisi dan kompetisi semu banyak sekolah-sekolah dan orangtua di
Indonesia mengharuskan anak-anaknya untuk berprestasi di sekolah. Sampai pada titik ini
yang terjadi adalah degradasi nilai-nilai pendidikan. Pendidikan lebih dilihat dan dipahami
sebagai salah satu cara meningkatkan kehormatan, gengsi, image atau popularitas di tengah
masyarakat daripada sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kadar humanitas
(inteligensi, emosi dan spiritualitas) seorang. Inilah sebuah gejala mikrofasisme dalam
dunia pembelajaran kita. Oleh karena penguasaan total hasrat semu sebagian orang tua dan
guru maka anak-anak telah bergeser dari keberadaannya sebagai buah hati menjadi robot
otomatis.
Gejala mikrofasis ini mesti dilawan dengan menyadari bahwa yang dididik adalah
manusia. Anak-anak atau murid-murid seharusnya ditempatkan kembali dalam posisi
awalnya sebagai subjek yang aktif. Hal ini relevan dengan intisari pemikiran Bruner, yakni
bahwa pembelajaran itu sebaiknya bernuansa inovatif (biarkan siswa/i menemukan dan
belajar sendiri sambil dibimbing oleh gurunya sesewaktu). Hal ini tentu membutuhkan
kolaborasi, yakni kerjasama yang baik antara siswa/i, guru-guru dan orangtua serta
pengondisian iklim kompetitif yang sehat dalam lingkungan belajar. Hal ini urgen
dilakukan bila kita tidak ingin terjebak dalam bahaya fasisme Hitler beberapa dasawarsa
silam.

You might also like